Anda di halaman 1dari 2

Berikut cara-cara yang bisa kita tempuh untuk menghadapi resistensi perubahan, seperti dikutip

oleh Dr. Kusdi dalam bukunya Teori Organisasi dan Administrasi:

1. Pendidikan, komunikasi, sosialisasi. Diperlukan ketik terdapat kesenjangan informasi,


misinformation, beredar informasi-informasi yang tidak akurat tentang program
perubahan atau kurangnya informasi yang diterima. Cara ini memakan waktu, namun
pemrakarsa perubahan harus menyadari pentingnya melakukan sosialisasi perubahan.
2. Pertisipasi dan melibatkan. Cara ini ditempuh bila pemrakarsa perubahan tidak memiliki
informasi lengkap untuk merancang perubahan dan pihak penentang memiliki kekuatan
untuk menentang lalu perlu dilibatkan. Harapannnya orang yang diajak berpartisipasi
akan sungguh-sungguh berkontribusi melaksanakan perubahan.
3. Memberi fasilitas dan dukungan; dilakukan ketika pihak-pihak menentang karena
kesulitan menyesuaikan dengan proses perubahan.
4. Negoisasi dan kesepakatan; kelompok-kelompok yang akan dirugikan dengan perubahan
dan lalu menentang diberikan kompensasi. Cara ini lebih mudah dilakukan namun
memakan biaya, apalagi jika dalam negoisasi terjdi tawar menawar yang alot.
5. Manipulasi dan kerjasama; bisa ditempuh bila cara lain tidak efektif. Namun bisa menjadi
masalah jika orang akhirnya merasa telah dimanipulasi.
6. Paksaan eksplisit dan implisit; diitempuh ketika pemrakarsa memiliki kekuatan yang
cukup dan perubahan harus cepat terwujud. Efektif mengatasi resistensi apapun namun
beresiko menyebabkan orang sakit hati.
Di tengah lingkungan bisnis yang sangat dinamis, para pemimpin perusahaan saat ini
menghadapi sebuah paradoks. Perusahaan harus fleksibel, adaptif, dan mampu melakukan
transformasi berkelanjutan untuk mencapai keberhasilan dalam persaingan dalam lingkungan
bisnisnya. Namun, dalam kenyataannya perubahan yang dilakukan oleh perusahaan tidak dapat
dipisahkan dari risiko yang muncul. Di antara kisah sukses perusahaan yang membuat
perubahan, ada juga beberapa kegagalan yang dialami oleh perusahaan lain. Hal ini
membuktikan bahwa perubahan yang dilakukan oleh organisasi dapat menjadi hal yang berisiko
bagi perusahaan jika manajemen perubahan tidak dilakukan dengan baik, terlebih karena
perusahaan akan selalu menghadapi perubahan tanpa akhir.

Banyak penelitian terdahulu yang mengkaji penyebab kegagalan dan keberhasilan inisiasi
perubahan. Hasilnya, menunjukkan bahwa keberhasilan tergantung pada “people factor” serta
komitmen mereka terhadap perubahan yang dilakukan oleh perusahaan. Dalam beberapa
penelitian, ditemukan bahwa kontribusi resistensi karyawan pada kegagalan dalam upaya
perubahan perusahaan sangat besat. Temuan ini menegaskan bahwa resistensi karyawan menjadi
tantangan ketika perusahaan memiliki inisiatif untuk berubah. Resistensi terhadap perubahan,
secara umum banyak dijumpai pada perusahaan, termasuk di Indonesia.
Perlu dipahami, resistensi terhadap perubahan dapat terjadi karena karyawan melihat perubahan
sebagai ancaman bagi kepentingan mereka di perusahaan. Mereka menganggap perubahan
sebagai sesuatu yang mengganggu, dan mengancam stabilitas dan kontinuitas pekerjaan mereka
serta berpotensi mengambil sesuatu yang bermanfaat bagi mereka (conflict of interest). Merujuk
pada yang dipaparkan diatas, keberhasilan perubahan yang dibuat oleh organisasi sangat
tergantung pada orang-orang di dalam organisasi. Sehingga tantangan selanjutnya yang dihadapi
oleh pembuat kebijakan adalah menemukan dan mengelola faktor apa pun yang membuat
karyawan anti terhadap perubahan.
Ada beberapa penelitian yang menemukan kebebasan, atau dalam istilah umumnya dikenal
dengan job autonomy yang diberikan perusahaan dapat mengurangi resistensi karyawan terhadap
perubahan. Lebih lanjut, jika perusahaan memberikan lebih banyak kebebasan bagi karyawan
untuk melakukan pekerjaan mereka, penolakan mereka terhadap perubahan akan berkurang, dan
sebaliknya, jika perusahaan membatasi kebebasan karyawan, resistensi mereka terhadap
perubahan akan meningkat. Kebebasan yang dimaksud ini contohnya adalah dengan
memberikan keleluasaan karyawan dalam menetukan cara mereka bekerja. Kedua, perusahaan
juga dapat memberikan keleluasaan karyawan untuk membuat, mempertimbangkan dan
mengambil keputusan terkait pekerjaan. Selain itu, perusahaan juga dapat memperluas
kesempatan karyawan untuk menggunakan skill yang mereka miliki dalam menyelesaikan
pekerjaan.
Selain dengan memberikan kebebasan dalam bekerja, ternyata karyawan dengan kepercayaan
diri yang tinggi juga akan membuat mereka menerima peruabahn yang terjadi. Hal ini berarti,
dengan meningkatkan kepercayaan diri, atau self-efficacy, karyawan menghadapi peruabahan
akan membantu perusahaan mengatasi resistensi yang terjadi akibat perubahan kebijakan. Tentu
saja, dengan adanya kepercayaan diri, mereka akan lebih mudah mengelola stres kerja yang
mereka alami, terutama yang terjadi akibat perubahan. Karyawan dengan kepercayaan diri yang
tinggi akan selalu optimis, bahwa meskipun ada perubahan, mereka tetap akan dapat
menyelesaikan pekerjaan mereka dengan baik.
Kedua solusi diatas, yaitu memberikan kebebasan dalam pekerjaan dan meningkatkan
kepercayaan diri karyawan diharapkan dapat mengatasi karyawan yang anti pada peruabahan.
Dengan demikian, akan membantu meningkatakan produktivitas karyawan ditengah kebijakan
perusahaan yang harus berubah menghadapi tuntutan lingkungan eksternal. Meskipun begitu,
kedua solusi diatas juga perlu diimbangi dengan paket kebijakan yang menitikberatkan kepada
efisiensi, keefektifan dan produktivitas dari perusahaan tentunya agar perubahan perusahaan
dapat mencapai keberhasilan.

Anda mungkin juga menyukai