Anda di halaman 1dari 10

PENGANGKUTAN LAUT DALAM KEGIATAN BISNIS

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Bisnis
Dosen Pengampu Bapak H. Nana Sahroni, S.E., M.M.

Disusun oleh:
Jason Rayhan Ruchiman 233402266
Lintang Citra Kusumadewi 233402408
Nayla Nazwa Nur Mufidah 233402272
Nazwa Azizatun Niswah 233402267
Raka Aditya Ramadhan 233402254

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS SILIWANGI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmatnya
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang berarti dan sesuai
dengan harapan.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada ibu Yuni Ertinawati,
M.Pd sebagai dosen pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia yang telah membantu memberikan
arahan dan pemahaman materi dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan karena
keterbatasan kamiMaka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.

Tasikmalaya, 29 Agustus 2023

Kelompok 6
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengangkutan Laut dalam Kegiatan Bisnis


Dalam kegiatan bisnis, pengangkutan laut memegang pe- ranan yang penting karena selain
sebagai alat fisik yang membawa barang-barang dari produsen ke konsumen, juga sebagai alat
penentu harga dari barang-barang tersebut. Di samping itu, jika ditinjau dari beberapa segi,
pengangkutan banyak mempunyai manfaat berikut ini.
a. Dari kepentingan pengirim barang
Pengirim memperoleh manfaat untuk konsumsi pribadi mau- pun keuntungan komersial.
b. Dari kepentingan pengangkut barang
Pengangkut memperoleh keuntungan material sejumlah uang atau keuntungan immaterial, berupa
peningkatan ke- percayaan masyarakat atau jasa angkutan yang diusahakan oleh pengangkut
c. Dari kepentingan penerima barang
Penerima barang memperoleh manfaat untuk konsumsi pribadi maupun keuntungan komersial
d. Dari kepentingan masyarakat luas
Masyarakat memperoleh manfaat kebutuhan yang merata dan demi kelangsungan pembangunan
terlebih mendorong pertumbuhan bisnis antarpulau dan/atau antarnegara.
A. Pengertian dan Pengaturan tentang Pengangkutan Laut
Khusus mengenai pengangkutan laut tidak dijumpai defini- sinya dalam KUHD. Namun, dalam PP
No. 17 Tahun 1988, di- jumpai pengertian pengangkutan laut, yaitu:
"setiap kegiatan pelayaran dengan menggunakan kapal laut untuk mengangkut penumpang, barang
dan/atau hewan untuk satu perja- lanan atau lebih dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain atau antara
beberapa pelabuhan." (Pasal 1 Angka 1 PP No. 17 Tahun 1988)
Berkaitan dengan pengaturan pengangkutan laut, pada awalnya hanya diatur dalam KUHD buku II
Bab V karena KUHD ini merupakan warisan dari Hindia Belanda, namun kemudian diganti dan
disempurnakan pada tanggal 17 September 1992 dengan UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
Semua peraturan pelaksanaan mengenai pelayaran dinya- takan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan UU ini (Pasal 130 UU No. 21 Tahun
1992).

1. Pelayaran Dalam Negeri


Menurut PP No. 17 Tahun 1988, pelayaran dalam negeri merupakan kegiatan angkutan laut
antarpelabuhan di Indonesia yang dilakukan secara tetap dan teratur dan/atau dengan pela- yaran
yang tidak tetap dan tidak teratur dengan menggunakan semua jenis kapal.
Selanjutnya, Pasal 73 UU No. 21 Tahun 1992 menyatakan bahwa penyelenggaraan angkutan laut
dalam negeri ini dilaku- kan dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan kapal
berbendera asing yang dioperasikan oleh badan hukum Indonesia dalam keadaan tertentu dan
memenuhi persyaratan yang ditetap- kan oleh pemerintah
2. Pelayaran Rakyat
Menurut PP No.17 Tahun 1988, pelayaran rakyat meru- pakan kegiatan angkutan laut khusus untuk
barang atau hewan antarpelabuhan di Indonesia dengan menggunakan kapal layar motor sesuai
dengan persyaratan di antaranya:
a. dilakukan oleh perusahaan dalam salah satu badan usaha, termasuk koperasi;
b. memiliki unit perahu layar atau kapal layar motor dengan ukuran sampai dengan 850 m³ isi kotor
atau kapal motor dengan ukuran sampai dengan 100 m³.\
Sementara itu, Pasal 77 UU No. 21 Tahun 1992 mengatakan pelayaran rakyat sebagai usaha rakyat
yang bersifat tradisional merupakan bagian dari usaha angkutan di perairan, mempunyai peranan
yang penting dan karakteristik tersendiri.

3. Pelayaran Perintis
Menurut Pasal 84 UU No. 21 Tahun 1992, pelayaran perintis ini berupa angkutan perairan yang
menghubungkan daerah- daerah terpencil dan belum berkembangAdapun sebagai penyelenggaranya
adalah pemerintahMengenai pelayaran pe- rintis ini, PP No. 17 Tahun 1988 menyatakan bahwa
pelayaran perintis merupakan kegiatan angkutan laut yang dilakukan secara tetap dan teratur
4. Pelayaran Luar Negeri
Pelayaran luar negeri merupakan pelayaran samudra sebagai kegiatan angkutan laut ke atau dari
negeri yang dilaku- kan secara tetap dan teratur atau dengan pelayaran tidak tetap dan tidak dengan
menggunakan semua jenis kapal (Pasal 9 ayat (5) PP No. 17 Tahun 1988).
Pelayaran luar negeri ini, menurut UU No. 21 Tahun 1992, dilakukan oleh badan hukum Indonesia
yang menurut UU No. 1 Tahun 1985 berbentuk perseroan terbatas dan/atau perusahaan asing.

C. Pihak-pihak dalam Pengangkutan Laut


Secara umum dapat dikemukakan bahwa pihak-pihak yang terkait dalam pengangkutan laut adalah
sebagai berikut.
1. Pengangkut
Mengenai pengangkut tidak dijumpai definisinya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD). Namun, me- nurut HMN. Poerwosutjipto (1985: 4), pengangkut adalah.orang yang
mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengang- kutan barang dan/atau orang dari suatu tempat
ke tempat tujuan tertentu dengan selamat.
2. Pengirim Barang
Mengenai pengirim barang tidak pula ditemukan definisi- nya dalam KUHD. Namun, secara
ringkas dapat dikemukakan bahwa pengirim adalah orang yang mengikatkan diri untuk mengirim
sesuatu barang dengan membayar uang angkutan.
Pengirim belum tentu adalah pemilik barang. Sering kali dalam praktik, pengirim adalah ekspeditur
atau perantara lain dalam bidang pengangkutan.
Pasal 86 ayat (1) KUHD menyatakan bahwa ekspeditur adalah orang, yang pekerjaannya menyuruh
orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang.
Karena merupakan perantara, ada dua jenis perjanjian yang perlu dibuat oleh ekspeditur, yaitu
sebagai berikut.

a. Perjanjian yang dibuat antara ekspeditur dengan pengirim disebut dengan perjanjian ekspedisi,
yaitu perjanjian timbal balik antara ekspeditur dengan pengirim, di mana ekspe- ditur mengikatkan
diri untuk mencarikan pengangkut yang baik bagi si pengirim, sedangkan si pengirim mengikatkan
diri untuk membayar provisi kepada ekspeditur.

b. Perjanjian antara ekspeditur atas nama pengirim dengan pengangkut disebut perjanjian
pengangkutan.

Dari dua jenis perjanjian tersebut, maka hubungan hukum, hak dan kewajiban ekspeditur adalah
sebagai berikut (HMN. Poerwosutjipto, 1985: 14-15).

a. Sebagai Pemegang Kuasa Ekspeditur melakukan perbuatan hukum atas nama pengirimDengan
demikian, ketentuan-ketentuan tentang pemberian kuasa yang tercantum dalam Pasal 1792 sampai
dengan 1819 KUHPerdata berlaku baginya.

b. Sebagai Komisioner

Kalau ekspeditur berbuat (melakukan perbuatan hukum) atas namanya sendiri, maka
diberlakukanlah kepadanya ketentuan-ketentuan hukum mengenai komisioner sebagai- mana
tercantum dalam Pasal 76 KUHD dan seterusnya.

cSebagai Penyimpan Barang Sebelum ekspeditur dapat menemukan pengangkut yang memenuhi
syarat, sering juga ekspeditur terpaksa harus menyimpan dulu barang-barang pengirim di
gudangnya. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan yang berlaku baginya adalah ketentuan mengenai
penyimpanan barang sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1694 KUHPerdata
d. Sebagai Penyelenggara Urusan (Zaakwarneming) Untuk melaksanakan tugas/amanat pengirim,
sering kali ekspeditur berurusan dengan pihak ketiga, seperti misalnya melaksanakan ketentuan-
ketentuan tentang pengeluaran dan pemasukan barang-barang di pelabuhan, bea cukai dan lain-lain.
Di sini ada urusan zaakwaarneming.

Selain ekspeditur dalam pengangkutan laut, dikenal pula

pihak-pihak yang terkait lainnya, yaitu sebagai berikut

a. Pengatur Muatan

Pengatur muatan atau juru padat adalah orang yang tugasnya menetapkan tempat di mana suatu
barang harus disimpan dalam ruangan kapal. Pengatur muatan ini merupakan perusahaan tersendiri
dan mempunyai anak buah tersendiri. Dengan demikian, pengatur muatan terlepas dari perusahaan
pengangkut/pemilik kapal. Namun, dalam melaksanakan tugasnya di pengangkut, pengatur muatan
harus tunduk pada aturan yang ada di kapal (Pasal 321 KUHD). Jadi, perbuatan yang merugikan
pengirim yang dilakukan oleh pengatur muatan dan/ atau anak buahnya di dalam kapal menjadi
tanggung jawab pengusaha kapal.

b. Per-Veem-An/Ekspedisi Muatan Laut

Per-Veem-an dan ekspeditur muatan laut adalah dua jenis perusahaan yang biasa terkait dalam
proses pengangkutan barang dan lazim ada dalam praktik pengangkutan laut di Indonesia. Kedua
jenis perusahaan ini diatur bersamaan dalam PP No. 2 Tahun 1969 tentang Penyelenggaraan dan
Pengusa- haan Angkutan Laut. Sementara itu, untuk persyaratan usaha Per-Veem-An dan usaha
ekspeditur ditetapkan oleh Menteri Per- dagangan dengan Surat Keputusan No. 122/Kp/VI/1970
tanggal 8 Juni 1970 tentang Persyaratan dan Prosedur Memperoleh Izin Usaha. Surat Keputusan
Menteri Perdagangan ini dikeluarkan sebagai pelaksanaan Pasal 28 (1) PP No. 2 Tahun 1969.

Menurut Pasal 1 PP No. 2 Tahun 1969 yang dimaksudkan dengan Per-Veem-An ialah:

"usaha yang ditujukan kepada penampungan dan penumpukan barang-barang yang dilakukan
dengan mengusahakan gudang- gudang, lapangan-lapangan, di mana dikerjakan dan disiapkan
untuk diserahkan kepada perusahaan pelayaran untuk dikapalkan, yang meliputi antara lain kegiatan
ekspedisi muatan, pengepakan, penge- pakan kembali, sortasi, penyimpanan, pengukuhan,
penandaan dan lain-lain pekerjaan yang bersifat teknis ekonomis yang diperlukan
perdagangan dan pelayaran."
Dari ketentuan Pasal 1 PP No. 2 Tahun 1969 tersebut, maka tugas Per-Veem-An dapat dirinci di
antaranya:

1) pengurusan dokumen-dokumen dan pekerjaan-pekerjaan yang menyangkut penerimaan dan


penyerahan barang-ba- rang muatan yang diangkut melalui lautan untuk diserahkan kepada
perusahaan pengangkutan;

2) pengepakan atau pengepakan kembali, penandaan barang- barang untuk kepentingan pemilik
barang dan pengiriman selanjutnya dari barang-barang dimaksud dengan angkutan laut;

3) penerimaan dan penyimpanan barang dalam gudang-gu- dang, lapangan-lapangan yang


diusahakan untuk itu tanpa mengerjakan perubahan yang bersifat teknis kepada barang- barang; dan

4) sortasi barang-barang untuk kepentingan pemilik barang. Sementara itu, tugas ekspedisi muatan
laut menurut peraturan pemerintah yang sama adalah usaha yang ditujukan kepada pengurusan
dokumen-dokumen dan pekerjaan yang menyangkut penerimaan/penyerahan muatan yang diangkut
melalui lautan untuk diserahkan kepada/diterima dari haan pelayaran untuk kepentingan pemilik
barang. perusahaan pelayaran untuk kepentingan pemilik barang.

Dengan memerhatikan pengertian dan tugas Per-Veem-An serta tugas ekspedisi muatan kapal laut
di atas, tampaknya sama dengan tugas dari ekspeditur, pengaturan muatan, Agen Duane. Oleh
karena itu, dalam praktik sekarang ini hanya dikenal istilah EMKL atau Ekspedisi Muatan Kapal
Laut.

3. Penerima

Kedudukan penerima dalam pengangkutan barang adalah sebagai pihak yang menerima barang-
barang, yang tercantum dalam konosemen. Kedudukan ini timbul karena sebagaimana yang telah
dikemukakan bahwa kewajiban pengangkut adalah menyerahkan barang yang diangkut kepada
penerima.

Dalam hal ini, mengenai penerima ada dua kemungkinan yaitu sebagai berikut.

a. Penerima adalah juga pengirim barang. b. Penerima adalah orang lain yang ditunjuk
Untuk yang pertama, dapat dicontohkan jika seorang Duta Besar Republik Indonesia di luar negeri
(misalnya di Jepang) akan kembali/pulang ke Indonesia karena habis masa jabatan- nyaUntuk itu,
Duta Besar tersebut memerlukan jasa pengangkut untuk mengangkut barang-barangnya, yang
nantinya Duta Besar itu sendiri yang akan menerimanya di Jakarta. Jadi, kedudukan Duta Besar ini
adalah pengirim sekaligus penerima barang.

Adapun untuk yang kedua dapat dicontohkan dalam hal ekspor impor suatu barangPengirim dalam
contoh ini adalah si eksportir (misal di Amerika) yang akan memerlukan jasa peng- angkut untuk
mengangkut barang-barang yang diimpor oleh importir Indonesia. Importir ini berkedudukan
sebagai penerima.

Dalam contoh yang kedua ini, importir tidak terikat dalam perjanjian pengangkutan karena ia
berkedudukan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan atas terlaksananya perjanjian peng-
angkutan.

Sementara itu, kewajiban penerima adalah membayar uang angkutan. Kewajiban ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 491 KUHD yang menyatakan sebagai berikut. "Setelah barang angkut- an itu
ditentukan di tempat tujuan, maka si penerima wajib membayar uang angkutan dan semua yang
wajib dibayarnya menurut dokumen- dokumen atas dasar mana barang tersebut
diterimakan kepadanya."

Anda mungkin juga menyukai