Laporan Akhir PKL Sapi Perah Bagian Klinik - Kelompok I 2022 - 2023 Fix-Signed
Laporan Akhir PKL Sapi Perah Bagian Klinik - Kelompok I 2022 - 2023 Fix-Signed
1508 (11/09/2023–07/10/2023)
Kesehatan Sapi
Disusun oleh:
Kelompok I PPDH Periode II 2022/2023
Disusun oleh:
Kelompok I PPDH Periode II 2022/2023
Menyetujui,
Mengetahui,
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Koordinator Mata Kuliah PKL
Kemahasiswaan SKHB IPB Kesehatan Sapi Perah
Prof. drh. Ni Wayan K. Karja, Ph.D drh. Riki Siswandi, M.Si., Ph.D
NIP 19690207 199601 2 001 NIP 19830824 200912 1 005
Tanggal Pengesahan:
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-
Nya sehingga kegiatan dan laporan Praktik Kerja Lapangan Kesehatan Sapi Program
Pendidikan Profesi Dokter Hewan, Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis, Institut
Pertanian Bogor di KSU Tandangsari, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat dapat
diselesaikan. Laporan ditulis berdasarkan kegiatan praktik kerja lapangan yang
dilakukan penulis pada tanggal 11 September 2023 – 7 Oktober 2023. Ucapan terima
kasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang membantu kegiatan praktik kerja
lapangan dan penulisan laporan, khususnya kepada:
1. Drh. Nsereko Godfrey selaku dokter hewan pembimbing lapang dan pengurus
KSU Tandangsari atas kesempatan untuk melaksanakan PKL di KSU
Tandangsari, serta bimbingan, arahan, nasihat, dan ilmu yang telah diberikan
selama kegiatan PKL.
2. Bapak Cahyana, Bapak Epi, Bapak Arifin, Bapak Mamad, Bapak Heri, selaku
paramedis dan staf pelayanan kesehatan hewan KSU Tandangsari atas arahan dan
bimbingan yang diberikan selama kegiatan PKL.
3. drh. Retno Wulansari, M.Si., Ph.D selaku dosen pembimbing atas bimbingan,
arahan, nasihat, dan ilmu yang telah diberikan selama kegiatan pembimbingan.
4. Drh. Riki Siswandi, MSi, PhD selaku dosen koordinator mata kuliah PKL
Kesehatan Sapi Perah pada Program PPDH SKHB IPB.
5. Ibu Tia dan Suami selaku orang tua penanggung jawab di tempat tinggal atas
arahan, nasihat, bimbingan, dan kebersamaan yang telah diberikan selama di
Sumedang.
Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun penulis harapkan
untuk menghasilkan karya yang lebih baik. Penulis berharap laporan ini bermanfaat
bagi semua pihak.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Pembengkakkan pada ambing sapi 4
Gambar 2 Susu yang diperah memiliki konsistensi kental dan berwarna kekuningan 5
Gambar 3 Benjolan pada dalam vulva 10
Gambar 4 Penanganan pungsi pada abses 10
Gambar 5 Persembuhan kasus abses vulva 11
Gambar 6 Penanganan kasus distokia oleh petugas keswan 15
Gambar 7 Pemberian terapi post partus distokia 16
Gambar 8 Discharge kasus retensio plasenta 17
Gambar 9 Penanganan kasus retensio plasenta secara manual 18
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jurnal harian praktik kerja lapangan bagian klinik di KSU Tandangsari 24
Tabel 2 Rekapitulasi kasus klinik di KSU Tandangsari berdasarkan gejala klinis di
lapang dan gejala klinis literatur 27
Tabel 3 Rekapitulasi kasus klinik di KSU Tandangsari berdasarkan terapi di lapang
dan terapi literatur 28
1
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi perah merupakan salah satu ternak ruminansia besar yang memiliki potensi
besar sebagai usaha dan sumber penghasilan. Sapi perah dapat memproduksi susu
dalam jangka waktu yang cukup lama jika manajemen pemeliharaan dilakukan dengan
baik. Sapi perah yang dikembangkan di Indonesia adalah sapi Friesian Holstein (FH).
Sapi FH berasal dari negara beriklim sedang yang memerlukan suhu optimum sekitar
18oC dengan kelembaban 55% untuk menghasilkan susu yang optimal. Sapi perah di
Indonesia pada umumnya memproduksi susu sebanyak 2.400–3.000 liter/ekor/laktasi.
Saat ini produksi dalam negeri baru bisa memasok tidak lebih dari 21% dari konsumsi
nasional, sedangkan 79% sisanya berasal dari susu impor (Kementan 2016). Salah satu
cara untuk mengoptimalkan produksi susu adalah memenuhi kebutuhan nutrisi ternak
khususnya pada masa kering kandang dan awal laktasi (Adi et al. 2020).
Koperasi Serba Usaha (KSU) Tandangsari didirikan pada tahun 1970, pada
awalnya berbentuk Koperasi Serba Usaha Desa (KSUD) dan Koperasi Pertanian
(KOPERTA) yang berkedudukan di wilayah usaha desa. Wilayahnya meliputi 15 desa
di Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. KSU Tandangsari unit Keswan atau
Kesehatan Hewan memberikan pelayanan kepada peternak. Jenis sapi yang dominan di
ternakan di wilayah Tandangsari adalah jenis sapi Friesian Holstein (FH). Visi dari
KSU Tandangsari yaitu dengan semangat berkoperasi membangun Kabupaten
Sumedang sebagai sentra Agribisnis peternakan sapi perah andalan, sedangkan misi nya
yaitu perluasan sebaran usaha peternakan sapi perah kepada daerah-daerah yang
potensial, pemeliharaan dan mempertahankan pedet yang lahir, pemuliaan turunan dan
rekayasa genetika untuk mendapatkan bibit unggul, penguatan kelembagaan kelompok
tani ternak dan koperasi, pelayanan kepada anggota dalam pemenuhan kebutuhan
sarana produksi, kesehatan hewan, inseminasi buatan, pemasaran produksi, kerjasama
dengan mitra usaha dalam fasilitasi permodalan dan pengembangan usaha, kerjasama
dengan pemerintah Kabupaten melalui SKPD yang berkepentingan dalam membangun
usaha peternakan dan pertanian pada umumnya secara terintegrasi dan
berkesinambungan, pengolahan susu menjadi produk siap pakai (pasteurisasi, keju, dil),
meningkatkan populasi sapi perah dan pembinaan kepada anggota peternak dalam hal
teknologi budidaya, kewirausahaan, manajemen usaha dan pengolahan pasca panen
(home industry, karamel, dodol susu, kerupuk susu).
Unit Pelayanan Keswan KSU Tandangsari memberikan pelayanan kepada para
peternak sapi perah di wilayah koperasi. KSU Tandangsari memiliki tenaga kesehatan
yang terdiri atas satu orang dokter hewan dan empat orang paramedis sekaligus
inseminator. KSU Tandangsari merupakan salah satu koperasi yang melakukan
pelayanan kesehatan sapi perah dengan tujuan utama untuk meningkatkan produksi
susu dan populasi ternak. Manfaat lain yang dapat dirasakan secara nyata oleh peternak
adalah peningkatan pendapatan. Peran dokter hewan dan paramedik KSU Tandangsari
2
Tujuan
Kegiatan praktik kerja lapangan kesehatan sapi bertujuan meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan sebagai mahasiswa Program Pendidikan Profesi Dokter
Hewan (PPDH) SKHB IPB dalam kegiatan manajemen pemeliharaan serta penanganan
gangguan kesehatan klinis dan reproduksi sapi perah.
Manfaat
Kegiatan praktik kerja lapangan kesehatan sapi KSU Tandangsari dapat
menambah wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan untuk mahasiswa
PPDH SKHB IPB dalam aplikasi ilmu-ilmu veteriner yang telah diperoleh di kampus.
3
Metode Pelaksanaan
Gejala Klinis
Ukuran ambing tidak simetris. Kuartir sebelah kanan membengkak dan terdapat
gumpalan pada susu yang dikeluarkan dan berwarna putih (Gambar 1 dan 2).
Pemeriksaan fisik
Padal pemeriksaan fisik ditemukan kelainan ambing berupa pembengkakan,
pengerasan, hangat saat disentuh dengan respons sakit saat dipalpasi, suhu tubuh sapi
(38,6°C), frekuensi denyut jantung (70x/menit), frekuensi nafas (32x/menit) berada
dalam kisaran normal. Pemerahan pada puting ambing tersebut mengeluarkan susu
yang bertekstur kental. Melalui inspeksi terlihat sapi tersebut memiliki BCS 3.
Diagnosis
Berdasarkan anamnesis yang dilaporkan oleh peternak dan gejala klinis serta
pemeriksaan inspeksi dan palpasi, sapi didiagnosa mengalami mastitis klinis.
Prognosis
Sapi menderita mastitis klinis dengan prognosa fausta.
Terapi
Pemberian antibiotik intramamari Terrexine® LC, 1 dosis untuk setiap kuartir
ambing setelah pemerahan setiap 24jam sebanyak 3 kali, injeksi antibiotik Lincomed®
dengan volume yang diberikan adalah 20 mL secara intramuskular dan multivitamin
berupa Vitamin ADE-plex® dengan rute intramuskular sebesar 20 ml.
PEMBAHASAN
Sapi pada kasus ini yang didiagnosa mastitis klinis merupakan sapi fresh laktasi
yang dua minggu sebelumnya baru saja melahirkan. Sapi ini dicurigai mastitis klinis
karena sapi mengalami penurunan produksi susu secara drastis (milk drop). Setelah
melakukan pemeriksaan fisik, ditemukan adanya pembengkakan pada ambing kanan
dan perubahan konsistensi susu. Susu saat diperah dari ambing kanan memiliki
konsistensi lebih kental. Pemeriksaan suhu tubuh, frekuensi nafas dan frekuensi nadi
menunjukkan nilai yang normal. Sapi tersebut tidak menunjukkan gejala sistemik
kemudian didiagnosa menderita mastitis klinis dengan prognosa fausta. Kasus mastitis
klinis sering bermula dari mastitis subklinis yang terjadi pada saat laktasi. Mastitis
klinis selalu diikuti tanda klinis, baik berupa pembengkakan ambing, rasa sakit,
panas, serta kemerahan bahkan sampai terjadi penurunan fungsi ambing.
6
sepenuhnya untuk menghilangkan bakteri, gumpalan susu, kotoran, dan juga racun
yang mungkin dikeluarkan oleh bakteri tersebut. Infus antibiotik intra-mammari
kemudian diberikan untuk mencapai ambing serta secara sistematis ke dalam sirkulasi
darah. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan resistensi antibiotik
pada sapi, selain itu antibiotik dapat meninggalkan residu pada hewan dimana residu
antibiotik tersebut dapat tertinggal pada susu. Pemberian parenteral bersamaan dengan
infus intra-mammari dianjurkan untuk diberikan atas saran dokter hewan. Prinsip
dalam pencegahan dan kontrol mastitis adalah praktik peternakan dan sanitasi yang
baik, menjaga higienitas sapi dan pemerah susu, pengobatan mastitis selama periode
kering kandang atau non laktasi, dan pemusnahan ternak yang terinfeksi kronis
(Nurhayati dan Martindah 2015). Penanganan lain merupakan teat dipping di akhir
pemerahan disertai dengan pencelupan puting ke dalam larutan desinfektan setelah
pemerahan selesai dapat mengurangi terjadinya infeksi mastitis sebesar 50% (Giantara
et al. 2019).
SIMPULAN
Abses merupakan salah satu masalah yang cukup sering terjadi pada sapi perah.
Kondisi abses banyak terjadi pada peternakan sapi perah yang memiliki tingkat sanitasi
kandang yang rendah. Abses merupakan kumpulan nanah (netrofil yang mati) yang
berada dalam kavitas jaringan tubuh, biasanya ditemukan pada daerah kulit dan
menimbulkan luka yang cukup serius karena infeksi dari bakteri pembusuk. Selain itu,
kejadian abses termasuk suatu reaksi ketahanan dari jaringan untuk menghindari
menyebarnya benda asing di dalam tubuh. Pada abses terdapat nanah yang terlokalisasi
dan dikelilingi oleh jaringan yang meradang. Gejala khas abses adalah peradangan,
merah, hangat, bengkak, sakit, dan apabila abses membesar biasanya diikuti dengan
gejala demam serta bila ditekan terasa adanya terowongan (Boden 2005).
Abses dapat bersifat akut maupun kronis. Umumnya kondisi abses yang bersifat
akut ditunjukan dengan adanya pembengkakkan, peningkatan suhu (panas), dan adanya
rasa sakit. Kondisi selanjutnya akan diikuti oleh adanya penurunan suhu tubuh dan
mulai berkurangnya rasa sakit. Abses kronis merupakan lanjutan dari abses akut,
dimana abses berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Abses ini dicirikan dengan
kerasnya jaringan pada lesio abses karena terbentuknya fibrosis, dan suhu daerah lesio
dingin. Abses kronis biasanya berwarna merah keabu-abuan. Selain itu, terdapat sedikit
atau bahkan tidak ada vaskularisasi di daerah lesio atau di sekitarnya. Nanah pada abses
kronis biasanya berbentuk serosa (Dahong 2009).
Kondisi abses biasanya diawali oleh adanya perlukaan pada tubuh. Adanya luka
terbuka memungkinkan masuknya agen mikroba. Agen mikroba yang masuk dalam
tubuh kemudian memicu terjadinya reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi ini akan
ditunjukkan salah satunya dengan kondisi abses. Beberapa bakteri pembentuk nanah
akibat abses antara lain Pseudomonas sp. dan Cocci pyogenes (kelompok
Streptococcus sp. dan Staphylococcus sp.). Bakteri tersebut umumnya terdapat di
lingkungan kandang peternakan sapi. Abses yang terjadi dapat membuat ruptur
jaringan, sehingga peradangan dan infeksi akan menjadi semakin lama (Ekawati et al.
2018).
Gejala Klinis
Terdapat ada benjolan di dalam vulva dengan ukuran sebesar ± 8 cm
menunjukkan adanya respon sakit dengan konsistensi benjolan lunak dan memiliki
9
fluktuasi. Ketika benjolan ditusuk menggunakan jarum, cairan yang keluar berwarna
bening dengan konsistensi cair lalu diikuti berwarna kekuningan dengan konsistensi
kental (bernanah).
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan benjolan lunak yang berisi cairan dan saat
dipalpasi memiliki respons sakit, suhu tubuh sapi berada pada batas atas normal
(38,5°C), frekuensi denyut jantung (84x/menit), frekuensi nafas (48x/menit). Melalui
inspeksi terlihat sapi tersebut memiliki BCS 3.
Diagnosis
Berdasarkan anamnesis yang dilaporkan oleh peternak dan gejala klinis serta
pemeriksaan fisik baik dari inspeksi dan palpasi, sapi tersebut didiagnosa mengalami
abses.
Prognosis: Fausta
Terapi
Procaben® LA diinjeksikan sebanyak 20 ml dan Prodryl Inj® sebanyak 20 ml
diberikan secara intramuskular (IM). Sekitar abses dibersihkan menggunakan povidone
iodine.
PEMBAHASAN
Berdasarkan keterangan pemilik, sapi dengan keluhan benjolan pada vulva sejak
3 hari yang lalu. Hasil temuan klinis menunjukkan adanya benjolan berdiameter ± 8 cm
di bagian dalam vulva dengan massa benjolan lunak, membengkak, adanya fluktuasi,
serta adanya respon sakit saat dipalpasi (Gambar 3). Temuan klinis ini sesuai dengan
dengan literatur, temuan klinis abses antara lain nyeri, panas, pembengkakan, nyeri, dan
kemerahan (Stephen dan Edward 2010). Menurut Setiawan (2021), gejala klinis abses
terlihat kebengkakan berupa benjolan yang ditemukan di lapangan yang memiliki
konsistensi yang lembek dan disertai fluktuasi di dalamnya jika dipalpasi. Apabila
benjolan tersebut ditekan akan keluar cairan kental, keruh akan berwarna merah
kekuningan. Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan secara inspeksi dan palpasi,
maka sapi kasus tersebut didiagnosa abses dengan prognosis adalah fausta.
10
Penanganan dari abses pada sebagian besar kasus adalah dengan pembedahan,
dimana dilakukan insisi untuk melakukan drainase dari abses tersebut. Penanganan
untuk mengalirkan isi dari abses penting untuk dilakukan, sebelum dipecah (Setiawan
2021). Pada kasus ini, penanganan yang dilakukan untuk kondisi abses adalah
intervensi berupa tusukan jarum (pungsi). Jarum yang digunakan adalah needle dengan
ukuran 18G yang sudah disterilkan menggunakan alkohol. Sebelum dilakukan
penusukan, bagian permukaan abses dibersihkan menggunakan povidone iodine untuk
mengurangi resiko kontaminasi bakteri. Pada kasus ini, pembedahan tidak
menggunakan pembiusan. Tindakan penusukan dengan jarum membuat cairan dalam
abses keluar secara perlahan (drainase) berupa cairan berwarna bening dengan
konsistensi cair lalu diikuti berwarna kekuningan dengan konsistensi kental (bernanah)
(Gambar 4). Pengeluaran cairan abses dipastikan sampai bersih tidak ada sisa nanah
yang tersisa pada rongga abses. Menurut Boden (2005), abses yang telah dibuka
biasanya memberikan hasil paling baik dengan membiarkan lubang tidak tertutup dan
Rongga abses yang telah disayat dibiarkan tetap terbuka agar penyembuhan lebih cepat
terjadi.
Setelah didrainase, umumnya hewan diberikan analgesik dan antibiotik topikal untuk
membunuh bakteri yang berada di dalam abses yang menyebabkan peradangan (Hassan
et al. 2019). Setelah dilakukan drainase, luka pungsi dibersihkan kembali menggunakan
povidone iodine untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pembersihan luka dengan
povidone iodine dilakukan setiap hari sampai kebengkakan jaringan menurun dan luka
mengering.
Terapi yang diberikan pada kasus ini adalah pemberian Procaben® LA, dan
Prodryl Inj® dengan dosis pemberian masing-masing sebanyak 20 ml yang diinjeksikan
secara intramuskular (IM). Procaben® LA termasuk dalam antibiotik yang
mengandung Penicillin-G yang merupakan agen bakterisida yang berspektrum luas dan
efektif membunuh bakteri gram positif. Penicillin memiliki struktur beta laktam yang
mampu menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat enzim bakteri
yang diperlukan untuk pemecahan sel dan sintesis selular (Plumb 2005). Prodryl Inj®
mengandung Diphenhydramine HCL, bekerja sebagai antihistamin untuk menghambat
pengeluaran histamin pada reseptor H1 (antialergi) dan bertindak sebagai sedativa,
antikolinergik, antitusif, serta antiemesis (Plumb 2011). Setelah dilakukan pengobatan
dan evaluasi pada kasus ini pasca 7 hari, hasil monitoring menunjukkan luka abses
tersebut sudah kering dan sembuh. Dari kasus ini, abses tersebut tidak memengaruhi
produksi hasil susu dan nafsu makan baik.
Jarum suntik yang tidak steril menyebabkan bakteri menginfeksi jaringan tubuh
terutama di bagian subkutan dan muskulus, sehingga terbentuklah nanah.
SIMPULAN
KASUS 3 : Distokia
Seekor sapi betina Friesian Holstein (FH) berusia 2 tahun dilaporkan oleh
peternak dengan keluhan terlihat ada tanda akan melahirkan, sapi sudah terus menerus
merejan tetapi tidak ada indikasi untuk partus. Sapi mengalami distokia akibat kejadian
torsio uteri. Sapi terlihat lemas, sudah dalam kondisi berbaring di atas alas jerami. Sapi
tersebut belum memiliki riwayat melahirkan atau masih dara.
Gejala Klinis
Gejala klinis yang paling utama adalah sapi terus-menerus merejan sejak pagi.
Sapi tersebut terlihat gelisah dan mulai lemas, sudah dalam posisi berbaring dan
kantong amnion sudah pecah.
Pemeriksaan fisik
Diagnosis
Prognosis : Fausta
Terapi
Lincomed LA diinjeksikan sebanyak 20 ml, Prodryl Inj® sebanyak 20 ml, dan
Calcidex plus sebanyak 10 ml diberikan secara intramuskular (IM). Selain itu, terapi
suportif berupa air gula sebagai pengganti vitamin.
PEMBAHASAN
Berdasarkan keterangan pemilik, sapi dengan keluhan terlihat ada tanda akan
melahirkan, sapi sudah terus menerus merejan tetapi tidak ada indikasi untuk partus.
Hasil temuan klinis menunjukkan sapi terus-menerus merejan sejak pagi dan terlihat
gelisah disertai mulai lemas, sapi sudah dalam posisi berbaring dan kantong amnion
sudah pecah. Berdasarkan anamnesis dan inspeksi secara langsung di lapangan, salah
satu penyebab kasus distokia dapat terjadi dikarenakan menjelang kelahiran sapi
mengalami torsio uteri. Hal ini sesuai dengan literatur, menurut Zaborski et al. (2009),
salah satu kategori utama penyebab distokia adalah faktor langsung (malpresentasi dan
torsio uteri). Selain itu, faktor lain yang menjadi penyebab kasus distokia ini adalah
ukuran pedet yang terlalu besar, dan dugaan kedua adalah ukuran area pelvis induk
sapi. Sebelumnya, sapi tidak memiliki riwayat partus atau sapi tersebut masih dara.
Beberapa studi ilmiah melakukan skoring tingkat kesulitan partus. Menurut Phocas dan
Laloe (2004), skoring tingkat kesulitan partus diklasifikasikan menjadi empat kategori,
yaitu tanpa bantuan, bantuan minor manual, bantuan mekanis, dan caesarean section
atau embriotomi. Pada kasus ini, distokia masuk ke dalam skoring kedua, yaitu dengan
bantuan manual berupa traksi.
Proses kelahiran dibagi menjadi tiga tahap, yaitu dilatasi serviks, pengeluaran
fetus, dan pengeluaran plasenta. Distokia terjadi ketika terjadi perpanjangan atau
perlunya pemberian bantuan pada tahap pertama dan kedua partus (Abera 2017). Tahap
pertama yaitu dilatasi serviks dapat berlangsung berhari-hari. Kontraksi uterus akan
terjadi pada akhir tahap satu yang menyebabkan dilatasi serviks semakin membesar.
Tahap kedua dapat berlangsung selama 2-5 jam setelah terlihat adanya membran (water
bag) keluar dari vulva. Pada sapi dara dengan fetus pada presentasi normal akan lahir
tanpa bantuan dalam 1 jam, bahkan pada sapi primipara akan lahir setelah 22 menit
dari mulainya tahapan kedua (Stuttgen 2011). Pada kasus ini, sapi telah 4 jam kontraksi,
setelah di palpasi pervaginal mengalami torsio uteri. Setelah dilakukan penanganan
torsio uteri dan terbukanya jalan kelahiran induk, petugas keswan peternak
15
memutuskan untuk melakukan traksi pada pedet. Pedet pada tahap kedua parturisi
dapat bertahan selama 8 jam, tetapi hal tersebut akan berdampak buruk pada pedet jika
tidak segera diekspulsikan keluar (Abera 2017).
Proses pertolongan kelahiran induk yang mengalami distokia, dilakukan dengan
penarikan paksa (traksi) yaitu pengeluaran fetus dari induk melalui saluran kelahiran
dengan menggunakan kekuatan atau tarikan dari luar oleh petugas keswan. Posisi fetus
dorsal dengan kedua kaki depan lurus dan kepala berada di atas kaki. Penarikan paksa
dilakukan karena kelemahan uterus dan fetus tidak menstimulasi perejanan. Tumpuan
penarikan dilakukan pada tiga titik, yaitu kedua kaki depan dan kepala. Setelah kepala
dan kedua kaki depan melewati vulva, penarikan dilakukan terhadap kedua kaki yaitu
pengikatan menggunakan kain panjang pada bagian pergelangan kaki depan fetus, lalu
dilakukan penarikan oleh petugas keswan dan peternak secara bersama-sama (Gambar
6). Penarikan pedet secara ritmis memungkinkan pedet keluar secara perlahan sehingga
induk terhindar dari rasa sakit berlebih dan meminimalisir sobeknya vulva atau vagina
(Wulan 2017). Pedet yang sudah lahir segera dipindahkan, kemudian lendir yang ada
di hidung dan mulut dibersihkan. Menurut Bojrab et al. (2022), jilatan induk pada pedet
akan membantu untuk menstimulasi gerak pernapasan dan merangsang peredaran
darah.
Gambar 6 Penanganan kasus distokia oleh petugas keswan (a) pengikatan kain pada
pergelangan kaki depan, (b) penarikan fetus, (c) pengeluaran kepala dari
vulva, (d) pedet berukuran besar
Tindakan terapi yang diberikan pasca penanganan untuk induk sapi perah yang
mengalami distokia di KSU Tandangsari yaitu pemberian injeksi antibiotik Lincomed
LA dengan dosis pemberian 20ml secara intramuskular (IM). Pemberian antibiotik
berspektrum luas ini dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder dari bakteri
sebagai akibat dari proses kelahiran yang tidak steril (Gohar et al. 2018). Selanjutnya,
sapi diberikan terapi Prodryl Inj® dengan dosis pemberian 20 ml secara intramuskular
(IM). Prodryl Inj® merupakan obat yang mengandung diphenhydramine HCl,
digunakan untuk menghambat pengeluaran histamin yang berlebihan (alergi). Reaksi
16
SIMPULAN
Seekor sapi betina Friesian Holstein (FH) berusia 10 tahun dilaporkan dengan
keluhan sudah melahirkan 31 jam lalu namun plasenta masih tidak dikeluarkan. Sapi
tersebut mengalami kekurangan nafsu makan dan cairan keluar dari vulva. Menurut
penternak, sapi mengalami distokia saat melahirkan dan kondisi pedet masih normal.
Sapi tersebut memiliki riwayat melahirkan sebanyak 7 kali.
Gejala Klinis
Temuan klinis yang paling utama adalah keluarnya cairan berbau busuk dan
berwarna merah-kecoklatan dari vulva dan tidak ada sekundinae yang menggantung di
luar kelamin (Gambar 8). Sapi tersebut masih tampak cerah dan responsif.
Pemeriksaan fisik
Diagnosis
Secara inspeksi hanya terlihat keluarnya discharge yang berbau busuk dari
vulva. Pemeriksaan dilanjutkan dengan palpasi pervaginal, teraba plasenta yang masih
dalam uterus dan ada perlekatan kotiledon dan karunkula. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan secara inspeksi dan palpasi intravaginal sapi tersebut didiagnosa retensio
plasenta.
Prognosis
Berdasarkan tingkat keparahan dari gejala klinis serta penanganan yang relatif
cepat diberikan, kasus ini memiliki prognosa yang fausta.
Terapi
Gambar 9 Penanganan kasus retensio plasenta secara manual oleh petugas keswan dan
mahasiswi koas
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, retensi plasenta yang terjadi disebabkan oleh induk kekurangan
kekuatan untuk mengeluarkan plasenta setelah melahirkan fetus. Hal ini dapat
disebabkan pada saat partus energi induk banyak terpakai pada induk mengalami
perejanan. Perejanan yang cukup lama khususnya saat sapi megalami distokia dapat
menyebabkan atoni uterus. Pada saat itu karunkula tidak berdilatasi, menyebabkan
kotiledon yang tadinya mengendur terhadap karankula tetap terjepit karena suplai darah
19
yang tidak terkendali. Akibat dari semua itu vili kotiledon tidak lepas dari kripta
karankula sehingga terjadi retensi plasenta. Masa bunting yang tidak normal dan
gangguan saat melahirkan merupakan faktor yang paling berpengaruh seperti gangguan
kontraksi uterus akibat infeksi (Barnouin dan Chassagne 1996).
Penanganan yang dilakukan adalah dengan melepaskan pertautan antara
kotiledon dan karunkula secara manual menggunakan plastic sheet khusus palpasi,
teknik ini dikenal dengan istilah manual removal. Setelah semua pertautan antara
kotiledon dan karankula lepas plasenta tersebut sudah dapat ditarik keluar sampai
seluruh plasenta keluar sempurna. Pelepasan secara manual terhadap plasenta tetap
menjadi praktek umum yang digunakan untuk penanganan kasus retensi, meskipun
telah banyak penelitian yang gagal menunjukkan efek menguntungkan pada reproduksi
setelah penanganan dengan pelepasan secara manual. Pelepasan secara manual dapat
mengakibatkan terjadinya infeksi rahim yang lebih sering dan parah bila dibandingkan
dengan pengobatan yang lebih konservatif dan pelepasan plasenta secara manual dapat
mengakibatkan calving interval yang berkepanjangan (Syarif 2017). Selain itu, sulit
untuk memastikan bahwa seluruh plasenta telah dikeluarkan dengan metode ini,
dengan sisa bagian nekrotik yang nantinya akan berkontribusi lebih lanjut terhadap
invasi bakteri ke endometrium yang rusak. Pengangkatan plasenta yang melekat
menyebabkan kerusakan pada endometrium, menekan fagositosis leukosit uterus, yang
mendorong invasi bakteri. Tahapan penanganan kasus yang kurang dilakukan yakni
pembilasan (flushing) uterus menggunakan larutan fisiologis steril seperti NaCl 0,9%.
Tahap ini dilakukan setelah plasenta dilepaskan. Hal ini penting dilakukan untuk
membantu pengeluaran debris dan jaringan nekrotik yang tersisa di dalam uterus (Jesse
et al. 2016).
Setelah plasenta berhasil dikeluarkan, selanjutnya diberikan pengobatan
antibiotik berupa bolus Sulfapros® 2 bolus yang mengandung sulfadiazine 1000 mg +
trimethoprim 200mg secara intrauterin serta injeksi antibiotik Procaben® LA 20 ml
secara IM untuk mengeliminasi bakteri uterus (Gilbert dan Esteras 2002). Penggunaan
antibiotik berbentuk bolus yang mengandung sulfamethoxazole bersifat bakteriostatik
dan trimethoprim bersifat bakterisidal sehingga penggunaan kombinasi ini dapat
meningkatkan spektrum kerja antibiotik terhadap bakteri Gram-positif seperti
Staphylococcus sp. dan bakteri Gram-negatif seperti Enterobacteriaceae (Plumb
2011). Procaben® LA merupakan antibiotik yang mengandung Procaine penicillin dan
Benzathine penicillin. Penisilin sangat umum digunakan dalam kedokteran hewan
karena spektrum aktivitasnya luas dan biasa digunakan pada sapi perah laktasi (Yusran
et al. 2020). Injeksi Pro B Plex® mengandungi Vitamin B kompleks berfungsi
membantu dalam meningkatkan nafsu makan dan daya tahan tubuh. Pemberian
suplemen energi yang mengandung ATP, vitamin B12 serta mineral yang terlibat di
dalam metabolisme energi disarankan untuk kasus retensio plasenta (Khan et al. 2020).
20
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Abera D. 2017. Management of dystocia cases in the cattle: A review. Journal
Reproduction and Infertility. 8(1): 1-9.
Adi DS, Harjanti DW, Hartanto R. 2020. Evaluasi Konsumsi Protein dan Energi
terhadap Produksi Susu Sapi Perah Awal Laktasi. Jurnal Peternakan Indonesia.
22(3): 292-305.
Ahmed WM and MM Zaabal, 2009. Analyzing the immunogenetic constituents of
dams, sires and calves in relation to placental retention in a Frisianherd. Global
Vet. 3: 32-36.
Amin RUI, Bhat GR, Ahmad A, Swain PS, Arunakumari G. 2013. Vet Clin Sci. 1(1):
1-9. Journal of Dairy and Veterinary Science. 5(1): 1-12.
Barnouin J, Chassagne M. 1996. Descriptive epidemiology of placental retention in
intensive dairy herds. Journal of Veterinary Research. 27: 491-501.
Blanchard TL, Varner DD, Scrutchfield WL. 2017. Reproduction: Dystocia. United
Kingdom (UK): Three Hills Farm Bartlow Cambridge.
Boden E. 2005. Black’s Veterinary Dictionary 21st. London (UK): A&C Black.
Bojrab MJ, Waldron DR, Toombs JP. 2022. Current Techniques In Small Animal
Surgery 5th Edition. United States (USA): Tenton New Media.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia Nomor
31411:2011 tentang Susu Segar. Jakarta(ID): Badan Standardisasi Nasional.
Burmańczuk A, Tomasz G, Gbylik-Sikorska M, Gajda A, Kowalski C. 2017.
Withdrawal of amoxicillin and penicillin g procaine from milk after
intramammary administration in dairy cows with mastitis. Journal of
Veterinary Research. 61(1):37-43.
Cahyo AD, Herdiyani PD, Qurotunnada Q, Tappa B. 2015. Isolation and identification
of Staphylococcus aureus from subclinical infection dairy cattle in
Tasikmalaya, West Java. In Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Biodiversitas Indonesia. 1(3): 413-417.
Dahong F. 2009. Abses dentogen subkutan. Dentofasial. 8(2):69-73.
Ekawati ER, Husnul SNY, Herawati D. 2018. Identifikasi kuman pada pus dari luka
infeksi kulit. Jurnal Sains Health. 1(2) : 31-35.
Fitiasari NE. 2021. Analisis kejadian penyakit dalam pada sapi perah di koperasi
peternak sapi bandung utara (kpsbu) lembang tahun 2015-2019 [skripsi]. Bogor
: Institut Pertanian Bogor.
Giantara E, Akhdiat T, Permana H, Widjaja N. 2019. Penggunaan dekok daun kersen
(Muntingia calabura L.) sebagai teat dipping terhadap persentase penurunan
california mastitis test dan total plate count air susu. Sains Peternakan. 17(2):
1-4.
Gilbert ET, Esteras. 2002. Retained Fetal Placenta and Dry Cow Therapy. Journal of
Veterinary Medicine. 10(11): 277-282.
Gohar MA, Elmetwally MA, Montaser A, Zaabel SM. 2018. Effect of oxytetracycline
treatment on postpartum reproductive performance in dairy buffalo-cows with
retained placenta in Egypt. Journal of Veterinary Healthcare. 1(3):45-53.
22
Hassan N, Parrah JD, Hamadani H, Ganie RA, Khurshid. 2019. Management of large
subcutaneous abscess in a dairy cow. Journal of Pharmacognosy and
Phytochemistry. 8(1): 1652-1653.
Jackson PGG, Cockroft PD. 2002. Clinical Examination of Farm Animals. Oxford
(UK): Blackwell Science.
Jesse FFA, Chung ELT, Abba Y, Sadiq MA, Bitrus AA, Hambali IU, Lila MAM,
Haron AW, Saharee AA. 2016. A Case of retained placenta in a dairy cow.
Livest Res Int. 4(4): 125-127.
Khan MZ, Khan A, Xiao J, Dou J, Liu L, Yu Y. 2020. Overview of folic acid
supplementation alone or in combination with vitamin B12 in dairy cattle
during periparturient period. Metabolites. 10(263): 1-12.
Kromker V dan Leimbach S. 2017. Pengobatan mastitis: Pengurangan penggunaan
antibiotik pada sapi perah. Reproduction in Domestic Animals. 52: 21-29
Phocas F, Laloe D. 2004. Genetic parameters for birth and weaning traits in French
specialized beef cattle breeds. Livest Prod Sci. 89:121-128.
Maneke E, Pridmore A, Goby L, Lang I. 2011. Kill rate of mastitis pathogens by a
combination of cefalexin and kanamycin. Journal of Applied Microbiology.
110(1): 184-190.
Manspeaker JE. 2009. Metritis and endometritis. Journal Dairy Integrated
Reproductive Management. 22(1): 92-98.
Nurhayati IS, Martindah, E. 2015. Pengendalian mastitis subklinis melalui pemberian
antibiotik saat periode kering pada sapi perah. Wartazoa. 25(2): 65–74.
Patel RV dan Parmar SC. 2016. Retention of fetal membranes and its clinical
perspective in bovines. Sch J Agric Vet Sci. 3(2): 111-116.
Pisestyani H, Lelana RA, Septiani YN. 2016. Teat length and lactation period as a
predisposition factor of subclinical mastitis in dairy cattle in Bandung,
Indonesia. Journal of Life Sciences. 10: 1-6.
Plumb DC. 2005. Veterinary Drug Handbook 5th edition. USA : Blackwell
Publishing.
Plumb DC. 2011. Veterinary Drug Handbook 7th Edition. Wisconsin (US):
PharmaVet Inc.
Purohit GN, Solanki K, Shekhar C, Yadav SP. 2012. Perspectives of Fetal Dystocia
in Cattle and Buffalo. Veterinary Science Development. 2(1): 8.
Rudy. 2021. Analisis tingkat kejadian penyakit bedah pada sapi perah di KPSBU
Lembang, Jawa Barat periode tahun 2015-2019 [skripsi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Samad MA. 2008. Animal Husbandry and Veterinary Science Volume II. Mymensingh
Bangladesh : Bangladesh Agricultural University.
Setiawan AH. 2021. Penanganan penyakit abses pada sapi potong di pt indo prima
beef ii desa lempuyang bandar lampung tengah [skripsi]. Lampung: Politeknik
Negeri Lampung.
Stephen JE, Edward CF. 2010. Textbook of Internal Medicine 7th ed. Saunders:
Elsevier.
Stuttgen S. 2011. The 3 Stages of Bovine Parturition. Wisconsin (US): University of
23
Wisconsin
Susanty H, Purwanto BP, Sudarwanto M, Atabany A. 2017. Spatial model of good
dairy farming practices and subclinical mastitis prevalence in West Java.
International Journal of Sciences: Basic and Applied Research. 35(2): 225-
236.
Syarif EJ. 2017. Studi kasus penanganan retensi plasenta pada sapi perah di PT.Ultra
Peternakan Bandung Selatan [skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Urakawa M, Zhuang T, Sato H, Takanashi S, Yoshimura K, Endo Y, Katsura T,
Umino T. 2022. Prevention of mastitis in multiparous dairy cows with a
previous history of mastitis by oral feeding with probiotic Bacillus subtilis.
Animal Science of Journal. 93(1): 13764.
Whittier WD, Currin, NM, Currin J, Hall JB. 2009. Calving emergencies in beef cattle:
identification and prevention. Virginia Cooperation Extension Publication.
400-418.
Wulan SRS. 2017. Penanganan kasus distokia pada sapi perah di pt. ultra peternakan
bandung selatan [skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Yusran AC, Hayati LN, Praja RN. 2020. Uji resistensi Staphylococcus aureus pada
susu kambing peranakan etawa penderita mastitis subklinis terhadap antibiotik
penisilin, streptomisin dan oxitetrasiklin di kelurahan Kalipuro Banyuwangi
[skripsi]. Surabaya: Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.jjackso
Zaborski D, Grzesiak W, Szatkowska I, Dybus A, Musxynska M, Jedrzejczak. 2009.
Factors affecting dystocia in cattle. Reproduction in Domestic Animals. 44: 540-
551.
24
LAMPIRAN
Tabel 1 Jurnal harian praktik kerja lapangan bagian klinik di KSU Tandangsari
Selasa, 12 Cyntia - Plasenta belum Sapi FH betina Post Partus - Selaput fetus - Inj Lincomed®
September keluar sejak 6 Umur : 5 tahun masih LA 20 ml (IM)
2023 jam post partus Warna : putih menggantung di - Inj Pro B Plex®
- Nafsu makan coklat vulva 20 ml (IM)
turun BCS : 3
-pernah bunting 1
kali
Rabu, 13 Keertana -Tidak Sapi FH betina Retensi -Sebagian selaput - Inj Bioprost
September mengeluarkan Umur : 4 tahun plasenta fetus menggantung TP® 20cc
2023 plasenta 8 jam Warna : hitam di vulva (IM)
post partus putih - Inj Procaben®
-nafsu makan BCS : 2,5 LA 20cc (IM)
turun -pernah bunting 1 - Inj Pro B
kali Plex® 20cc
(IM)
Kamis, 14 Keertana -Sapi tidak Sapi FH betina Endometritis -Lendir berupa - Metricure
September bunting setelah Umur : 4 tahun nanah berwarna (intrauterin)
2023 2x IB Warna : hitam putih-kekuningan
-Ada discharge putih dan berbau
seperti nanah BCS : 3 dikeluarkan dari
dari vulva. -pernah bunting 1 vagina.
kali, kelahiran
terakhir
mengalami
distokia
Sabtu, 16 Keertana -Plasenta terlihat Sapi FH betina Retensi -Sebagian selaput - Inj Procaben®
September menggantung di Umur: 7 tahun plasenta fetus menggantung LA 20cc (IM)
2023 vulva 11 jam post Warna : putih di vulva - Inj Pro B
partus coklat Plex® 20cc
-nafsu makan BCS : 4 (IM)
turun -pernah bunting 3
kali
Senin, 18 Cyntia - Partus sehari Sapi FH betina Post Partus Sebagian selaput - Lincomed®
September yang lalu Umur: 6 tahun fetus menggantung LA 20 ml (IM)
2023 - Plasenta sudah Warna : putih di vulva - Pro B Plex®
keluar hitam 20 ml (IM)
- Nafsu makan BCS : 3
turun Pernah bunting 2
kali
Selasa, 19 Cyntia - Terlihat ada Sapi FH betina Distokia - sapi terus - Inj
September tanda akan Umur : 2,5 tahun menerus merejan Lincomed®
25
Keertana Sapi mengalami Sapi FH Betina, 6 Mastitis klinis Susu mengental -Terrexine® LC
mengalami tahun, BCS 3, saat diperah seperti antibiotik
penurunan nafsu makan keju dan berdarah, (intramammari)
produksi susu 3 normal, sudah peradangan pada - Procaben® LA
hari lalu, pernah bunting 2 ambing bagian 20ml, IM
kemudian susu kali, kelahirkan kanan belakang. -Vitamin ADE
mengental saat terakhir 2 minggu plex®, 20ml IM
diperah, lalu
kelahiran
terakhir 2
minggu lalu.
Keertana -Nafsu makan -Sapi FH betina Post partus -Demam (suhu: -Manual removal
berkurang -Umur 5 tahun 39.5oC) -Inj Sulprodon®
-Pasca kelahiran -BCS 3 -Sisa-sisa 20cc IM
36jam -sudah bunting 2 kotiledon -Inj Prob B plex
-Plasenta sudah kali ditemukan di 20cc IM
keluar -kelahiran caruncles saat
terakhir dipalpasi.
mengalami
distokia
Rabu, 20 Cyntia - Partus 1 hari Sapi FH betina Post Partus Sebagian selaput - Procaben® LA
September yang lalu Umur: 4 tahun fetus menggantung 20 ml (IM)
2023 - Plasenta sudah Warna : putih di vulva - Pro B Plex® 20
keluar hitam ml (IM)
- Nafsu makan BCS : 2,5
turun Pernah bunting 1
kali
Kamis, 21 Cyntia - Partus sehari Sapi FH betina Post Partus Sebagian selaput - Procaben®
September yang lalu Umur: 4 tahun fetus menggantung LA 20 ml (IM)
2023 - Plasenta sudah Warna : putih di vulva - Biodin 20 ml
keluar hitam (IM)
- Nafsu makan BCS : 3
turun Pernah bunting 1
kali
jam lalu namun -Umur 10 tahun plasenta berbau busuk dan -antibiotik
plasenta masih -BCS 2 berwarna merah- Procaben®, 20cc
tidak -sudah bunting 7 kecoklatan dari IM
dikeluarkan. - kali vulva -antibiotik
kekurangan -kelahiran -tidak ada (Sulfapros® bolus)
nafsu makan terakhir sekundinae yang 2 kaplet
-cairan keluar mengalami menggantung di intrauterine
dari vulva distokia luar kelamin -Vitamin Pro B
Plex® 20cc IM.
suhu: 38.7
RR: 42x/menit 92
x/menit
HR: 92x/menit 52
x/menit
Sabtu, 23 Cyntia Muncul benjolan Sapi FH betina Abses vulva adanya respon - Drainase
September pada vulva sapi 3 Umur : 4 tahun, sakit dengan - Povidone
2023 hari yang lalu, Warna : Hitam konsistensi iodine
benjolan putih benjolan lunak. - Procaben®
semakin BCS 3 ketika benjolan di LA 20 ml (IM)
membesar. Terakhir pungsi, cairan - Prodryl® 20
Nafsu makan dan melahirkan 1 yang keluar ml (IM)
minum baik tahun yang lalu berwarna bening
dengan konsistensi
cair lalu diikuti
berwarna
kekuningan
dengan konsistensi
kental (bernanah).
- T : 38.5°C
- HR : 84 x/menit
- RR : 48 x/menit
Selasa, 26 Cyntia - Plasenta belum Sapi FH betina Post Partus Selaput fetus - Lincomed®
September keluar sejak 6 Umur : 6 tahun masih LA 20 ml (IM)
2023 jam post partus Warna : putih menggantung di - ADE Plex 20
- Nafsu makan coklat vulva ml (IM)
turun BCS : 4
Pernah bunting 2
kali
Sabtu, 30 Keertana Ambruk, tidak Sapi FH Betina Negative Tidak mau makan, - Infus
September mau makan dan berwarna hitam Energy minum, lemas Canimag-P®
2023 minum putih Balance tidak bisa berdiri, (IV)
BCS : 3 (NEB) leher terkulai ke - Inj Vitamin
Umur: 1.5 tahun samping kurva S, ADE plex®
suhu dibawah (IM)
normal (37,6°C),
HR 110x/menit,
27
RR 48x/menit
Setelah
pengobatan:
-bisa berdiri
setelah 30 menit
T: 38,7°C
HR: 102x/menit
RR: 36x/menit
Cyntia - Partus 20 jam Sapi FH betina Post Partus Sebagian selaput - Procaben®
- Plasenta sudah Umur: 3 tahun fetus menggantung LA 20 ml (IM)
keluar Warna : putih di vulva - Bioprost 20 ml
- Nafsu makan hitam (IM)
turun BCS : 3,5
Pernah bunting 1
kali
Cyntia - Partus 1 hari Sapi FH betina Post Partus Sebagian selaput - Procaben®
yang lalu Umur: 5 tahun fetus menggantung LA 20 ml (IM)
- Plasenta sudah Warna : putih di vulva - Biodin® 20
keluar hitam ml (IM)
- Nafsu makan BCS : 3
turun Pernah bunting 2
kali
Senin, 2 Keertana -Sapi tiba tiba -Sapi FH betina Hipokalsemia Lemas, tidak bisa -Inj
Oktober ambruk 1 hari -Umur 4 tahun (Pre-partus) berdiri Calcidex®
2023 lalu -BCS: 2 - T : 38.0℃ (IM)
-Sapi bunting 8 -sudah bunting - RR : 32 x/menit -Inj Biodin®
bulan sekali - HR : 52 x/menit (IM)
Tabel 2. Rekapitulasi kasus klinik di KSU Tandangsari berdasarkan gejala klinis di lapang dan gejala klinis literatur
Kasus Total Anamnesa Sinyalemen Gejala Klinis (Lapang) Gejala Klinis
(Literatur)
Mastitis Klinis 1 Sapi mengalami - Sapi betina ras -pembengkakan ambing -ambing yang bengkak,
mengalami FH belakang kanan panas, merah, susu yang
penurunan - Warna putih- -konsistensi susu kental mengalami
produksi susu 3 hari coklat dan berwarna kuning penggumpalan , dan
lalu (12L menjadi - Berumur 6 -Suhu: 38,6°C keluar darah
4L), kemudian susu tahun -RR: 32x/menit (Cahyo 2015).
mengental - Sudah 2 kali -HR:70x/menit
saat diperah, laktasi.
kelahiran terakhir 2 - BCS: 3
minggu lalu.
Abses 1 Menurut keterangan Sapi FH betina, Palpasi dilakukan pada Gejala klinis yang
peternak, muncul warna hitam putih benjolan di vulva ditemukan pada abses
benjolan pada vulva berumur 4 tahun, menunjukkan adanya antara lain, adanya
sapi 3 hari yang lalu terakhir respon sakit dengan benjolan, panas,
kemudian semakin melahirkan 1 konsistensi benjolan bengkak, dan terlihat
membesar. nafsu tahun yang lalu lunak. ketika benjolan di respon sakit saat
makan dan minum pungsi, cairan yang keluar dipalpasi, konsistensi
28
Distokia 1 - terlihat ada tanda Sapi FH betina - sapi terus menerus Gejala klinis yang
akan melahirkan, Umur : 2,5 tahun merejan sejak pagi. terlihat adalah pada
sapi sudah terus Warna : Putih - terlihat gelisah tahap pertama kelahiran
menerus merejan hitam - mulai lemas yang lama dan tidak
tetapi tidak ada BCS 3 - sudah dalam posisi progresif, sapi mengejan
indikasi untuk Belum pernah berbaring dengan kuat selama 30
partus bunting (dara) - kantong amnion sudah menit namun anak sapi
- Sebelumnya pecah. tidak muncul, cairan
terjadi kejadian - T : 38.8°C amnion telah tampak
torsio uteri - HR : 88 x/menit pada vulva selama 2 jam
- Sapi terlihat lemas - RR : 48 x/menit namun anak sapi gagal
- Sudah dalam keluar, fetus mengalami
kondisi berbaring malpresentasi, malpostur
di atas alas jerami. atau maldisposisi,
misalnya kepala keluar
tanpa kaki
depan, ekor keluar tanpa
kaki belakang atau
kepala keluar dengan
salah satu kaki
depan.
(Wulan 2017)
Retensi plasenta 1 -melahirkan 31 jam -Sapi FH betina -keluarnya cairan berbau -sebagian selaput fetus
lalu namun plasenta -Umur 10 tahun busuk dan berwarna keluar menggantung dari
masih tidak -BCS 2 merah-kecoklatan dari vulva atau plasenta
dikeluarkan. - -sudah bunting 7 vulva masih tertahan dalam
kekurangan nafsu kali -tidak ada sekundinae uterus selama
makan -kelahiran yang menggantung di luar 12 jam atau lebih setelah
-cairan keluar dari terakhir kelamin kelahiran normal,
vulva mengalami abortus atau distokia. -
distokia Suhu: 38.7 depresi, tidak ada nafsu
RR: 42x/menit makan, peningkatan
HR: 92x/menit suhu tubuh, frekuensi
pulsus meningkat dan
berat badan menurun
(Syarif 2017)
Tabel 3. Rekapitulasi kasus klinik di KSU Tandangsari berdasarkan terapi di lapang dan terapi literatur
Kasus Total Anamnesa Sinyalemen Terapi (Lapang) Terapi (Literatur)
Distokia 1 - terlihat ada tanda akan Sapi FH betina - Inj Lincomed LA - Penarikan
melahirkan, sapi sudah Umur : 2 tahun - Prodryl Inj (IM) menggunakan calf
terus menerus merejan Warna : Putih - Calcidex Plus puller
tetapi tidak ada indikasi hitam - Air gula - Antibiotik
untuk partus BCS 3 Colibact bolus
- Sebelumnya terjadi Belum pernah - Multivitamin
kejadian torsio uteri bunting (dara) Biosan Tp Inj
- Sapi terlihat lemas - 20 liter air hangat
- Sudah dalam kondisi ditambahkan
berbaring di atas alas dengan Mono
jerami. Propylene Glycol
(MPG)
- Calciject
- Pemberian pakan
dua kali sehari sapi
laktasi :
Total Mix Ration
(TMR)
(Wulan 2017)
Retensio 1 -Melahirkan 31 jam lalu -Sapi FH betina - Manual removal -Manual removal
Plasenta namun plasenta masih -Umur 10 tahun - Antibiotik -Pemberian hormon
tidak dikeluarkan. - -BCS 2 Procaben®, 20cc prostaglandin atau
Kekurangan nafsu makan -sudah bunting IM oksitosin.
-Cairan keluar dari vulva 7 kali - Antibiotik -Penggunaan
-kelahiran (Sulfapros® bolus) antibiotik
terakhir 2 kaplet intrauterine tetrasiklin intrauterin
mengalami - Vitamin Pro B Plek - Pemberian antibiotic
distokia 20cc IM. sistemik
(trimethropim,
oxytetracyclin)
(Patel dan Parmar
2016).