Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 19-21


(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah studi kitab kuning IV)
Dosen Pengampu: Bapak. Abd.Muqit, M.Ag

Oleh:
Muhammad Danis

Semester 4
Program Studi Manajemen Pendidikan Islam
Fakultas Tarbiyah
Institut Agama Islam Faqih Asy’ari (IAIFA)
Sumbersari Kencong Kepung Kediri
2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang,
puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana dengan limpahan
Rahmat serta Hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Ungkapan rasa terimakasih yang tak terhingga kami haturkan kepada
Bapak Abd.Muqit, M.Ag selaku Dosen pengampu mata kuliah sorogan kitab
kuning IV yang telah membimbing kami dalam memahami seluk beluk materi
selama satu semester ini.
Dan tak lupa ucapan terimakasih kami haturkan kepada beberapa pihak
yang ikut andil dalam mensukseskan penyusunan makalah ini, selanjutnya
makalah yang kami beri judul Tafsir surat An-Nisa ayat 19-21 ini semoga bisa
memeberikan sedikit informasi kepada pembaca tentang pemahaman akan
maksud dari isi ayat ini.
Makalah yang kami susun ini tentulah sangat jauh dari kata sempurna,
maka dari itu, kritik serta saran yang membangun sangat kami harapkan demi
mencapai kemajuan di bidang keilmuan.

Sumbersari, 24 Juni 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
A. Surat An-nisa ayat 19-21.....................................................................................2
B. Asbabun Nuzul surat An-nisa.............................................................................3
C. Tafsir surat An-nisa ayat 19-21...........................................................................4
BAB III PENUTUP.................................................................................................8
A. Kesimpulan..........................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................9
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah
SWT dalam Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang utama dan sebagai
pedoman bagi uamtnya. Setelah itu dilengkapai dengan as-Sunnah sebagai
penjelasannya dan juga sebagai sumber hukum kedua.
Penjelasan tentang hukum wanita yang di talak sebelum dicampuri dan telah
ditentukan atau disebutkan maharnya, maka baginya (wanita yang di talaq
tersebut) berhak (wajib) mendapatkan separuh dari mahar yang tersebut
kecuali apabila ia merelakan untuk tidak memintanya, demikian juga bagi
suami yang telah menceraikannya tersebut apabila merelakan untuk
memberikan seluruh mahar yang tersebut kepadanya maka hal itu adalah
lebih baik.
Dalam kesempatan kali ini penulis akan membahas dan menganalisis hukum
yang terdapat pada QS. An-Nisa: 19-21

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Pembahasan di atas, Maka muncul beberapa pertanyaan sebagai
berikut:
1. Apa saja hukum-hukum yang terkandung dalam surat an-nisa ayat 19-21?
2. Bagaimana isi kandungan tafsir Surat An-Nisa Ayat 19-21?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan Makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui tentang penafsiran ayat 19-21 dalam surat an-nisa
2. Memperbanyak pemahaman tentang Penafsiran Al-Qur'an
BAB II
PEMBAHASAN

A. Surat An-nisa ayat 19-21

‫َيٰٓـَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنو۟ا اَل َيِح ُّل َلُك ْم َأن َتِرُثو۟ا ٱلِّنَس ٓاَء َكْر ًۭه اۖ َو اَل َتْعُض ُلوُهَّن ِلَت ْذ َهُبو۟ا ِبَبْع ِض َم ٓا َء اَتْيُتُم وُهَّن ِإٓاَّل‬
‫َأن َيْأِتيَن ِبَفٰـِح َش ٍۢة ُّم َبِّيَنٍۢة ۚ َو َعاِش ُروُهَّن ِبٱْلَم ْعُروِف ۚ َفِإن َك ِر ْهُتُم وُهَّن َفَعَس ٰٓى َأن َتْك َر ُهو۟ا َش ْئًۭـ ا َو َيْج َع َل ٱُهَّلل ِفيِه‬
ۚ‫َو ِإْن َأَر دُّتُم ٱْس ِتْبَداَل َز ْو ٍۢج َّم َك اَن َز ْو ٍۢج َو َء اَتْيُتْم ِإْح َد ٰى ُهَّن ِقنَط اًۭر ا َفاَل َتْأُخ ُذ و۟ا ِم ْن ُه َش ْئًـ ا‬١٩ ‫َخْي ًۭر ا َك ِث يًۭر ا‬
‫ َو َكْيَف َتْأُخ ُذ وَن ۥُه َو َقْد َأْفَض ٰى َبْعُض ُك ْم ِإَلٰى َبْع ٍۢض َو َأَخ ْذ َن ِم نُك م ِّم يَثٰـ ًقا َغ ِليًۭظ ا‬٢٠ ‫َأَتْأُخ ُذ وَن ۥُه ُبْهَتٰـ ًۭن ا َو ِإْثًۭم ا ُّم ِبيًۭن ا‬
٢١

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan
bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” dan jika kamu ingin
mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan
kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu
mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata. bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,
Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai
suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian
yang kuat. (Q.S An-Nisa’: 19-21)
B. Asbab An-Nuzul

Q.S An-Nisa’ : 19-21


Ada beberapa riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat 19-21 dari surat
an-Nisa’ di atas, antara lain :
a. dari Ibnu Abbas, ia berkata : seorang lelaki di masa jahiliyah, jika ia
meninggal maka walinya laki-laki itu adalah yang paling berhak terhadap
istrinya daripada wali istrinya sendiri. Jika ia mau, maka ia sendiri yang
menikahinya. Atau ia nikahkan wanita itu dengan lelaki yang lain. Ini
diriwayatkan oleh al-Bukhori dan Abu Daud.1
b. al-Zuhri dan Abu Majliz berkata : diantara adat jahiliyah, bila seorang
meninggal maka anaknya yang dari istri lainnya atau kerabatnya yang
terdekat melemparkan baju pada istri yang meninggal tadi. Dengan demikian,
ia lebih berhak terhadap wanita itu daripada wanita itu pada dirinya sendiri
dan daripada walinya juga. Bila ia mau, ia nikahi tanpa mahar kecuali mahar
yang pernah diberikan si mayyit. Bila ia mau, ia nikahkan pada orang lain lalu
ia ambil maharnya tanpa memberinya sedikitpun. Jika ia mau, ia tahan wanita
itu ( tidak dinikahi dan tidak dinikahkan ) hingga ia menebus dirinya dengan
warisan dari si mayit atau ia meninggal dan diambil warisannya.2
c. al-Suddiy berkata : ahli waris si mayit bila lebih dulu melempar baju
kepada istri si mayit maka ia lebih berhak terhadap wanita itu. Bila istri si
mayit lebih mendahuluinya maka ia pulang ke keluarganya dan ia lebih
berhak atas dirinya.
d. diriwayatkan : ada lelaki punya istri sudah tua, sementara dirinya hanya
tertarik pada yang muda. Ia tidak mau mencerai yang tua karena hartanya,
tidak juga digaulinya agar wanita tua itu menebus dirinya dengan hartanya
atau ia mati hingga dapat diwarisi hartanya.
e. Zaid bin Aslam berkata tentang ayat ini : Ahli Yatsrib itu bila ada lelaki
meninggal maka ahli warisnya mewarisi istrinya. Lalu ia tahan wanita itu
hingga mati untuk diwarisi hartanya. Atau ia nikahkan wanita itu pada orang
lain. Sedangkan orang Tuhamah, seorang suami berbuat jelek dalam
1
Haji Abdul Malik Abdulkarim Amrullah (HAMKA). Tafsir Al-Azhar. (Jakarta: PT. Pustaka
Panjimas, 1983), h. 299
2
Haji Abdul Malik Abdulkarim Amrullah (HAMKA). Op.Cit. h. 299
menggauli istrinya hingga mencerainya, namun ia mensyaratkan atas istrinya
tidak menikah dengan lelaki lain kecuali yang ia kehendaki atau menebus diri
dulu dengan sebagian harta yang telah diberikan kepadanya. Maka Allah
SWT melarang orang beriman dari kebiasaan jahiliyah itu.3
f. Ikrimah berkata : ayat ini turun pada kisah Kubaisyah binti Ma'n bin 'Ashim
bin al-Aus, saat suaminya Abu al-Qois bin al-Aslat meninggal maka anaknya
menahan Kubaisyah. Lalu ia mengadu kepada Rosulullah : Ya RosulAllah,
saya tidak mendapat warisan suami saya dan tidak dibiarkan menikah lagi.
Maka Allah menjawab pengaduan ini dengan turunnya ayat tersebut.4

C. Tafsir Ayat An-Nisa 19-21


1. QS. An-Nisa: 19-21
‫اَل َيِح ُّل َلُك ْم َأْن َتِرُثوا الِّنَس اَء َكْر ًها‬. ....
Terjamah ayat ini : "…tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa". Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak
dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah
apabila seorang meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota
keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini
sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh
pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
Al-Qurtubi berkata : maksud ayat ini adalah menghilangkan adat kebiasaan
jahiliyah dan bahwa wanita tidak boleh dijadikan seperti harta yang dapat
diwarisi dari suaminya.5 Ibnu katsir berkata : Ayat ini mencakup semua
kebiasaan masyarakat jahiliyah ( sebagaimana yang diriwayatkan sebagai
sebab – sebab turunnya ayat) dan apa yang disebut Mujahid beserta yang
setuju dengannya.6 Diantara praktek jahiliyah yang dilarang itu antara lain :
3
Ibid,h.300
4
Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, al-Imam al-Hafidh Abul Fida Isma'il ibnu Katsir, (Maktabah al-Ulum
wal Hikam – Madinah, 1993 M.) h. 441

5
al-Jami li ahkamil Qur'an, Op.Cit. hal 62-63,

6
Tafsir al-Qur'an al-Adzim, Op.Cit. hal 441,
a. Menikahi istri bapak yang bukan ibunya setelah meninggalnya.
b. Menikahi istri kerabat yang meninggal tanpa mahar baru.
c. Menikahkan istri si mayit dan mengambil maharnya.
d. Meminta tebusan kepada istri si mayit atas dirinya.
e. Menahan istri sendiri atau istri si mayit, tidak dinikahi dan digauli atau
dibiarkan dinikahi orang lain, hingga ia mati agara dapat warisan hartanya.
‫َو اَل َتْعُض ُلوُهَّن ِلَتْذ َهُبوا ِبَبْع ِض َم ا َآَتْيُتُم وُهَّن ِإاَّل َأْن َيْأِتيَن ِبَفاِح َش ٍة ُم َبِّيَنٍة‬
Pada penggalan ayat ini, Allah mengarahkan pembicaraan kepada para suami
yang berlaku jelek, kasar atau dhalim terhadap istrinya : "dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa
yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata". Maksudnya : seseorang memiliki istri yang ia
tidak sukai padahal sudah diberikan mahar, lalu ia susahkan wanita itu agar
mau menebus dirinya dengan mahar tersebut. Demikian dikatakan al-
Dlohhak, Qotadah dan lainnya, pendapat ini yang dipilih ibnu jarir.
َ ‫َعاِش ُروُهَّن ِباْلَم ْعُروِف‬
Pada penggalan ayat ini, Allah SWT memerintahkan para suami untuk
bergaul optimal dan sempurna dengan istri dengan cara yang baik atau
dikenal dengan istilah Muasyaroh bil ma'ruf. Kata al-ma'ruf artinya segala
sesuatu yang dimaklumi atau dikenali kebaikan atau kebenarannya, baik
menurut atauran Allah dan Rosulnya maupun ukuran rasional manusia normal
dan masyarakat banyak. Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, yakni
"Baguskanlah perkataan kalian kepada istri-istrimu, perbaikilah tingkah laku
dan penampilan kalian sebatas kemampuanmu. Sebagaimana kamu senag istri
berlaku seperti itu, maka berlakulah kamu seperti itu pula. Hal ini sesuai
dengan firmannya : "Bagi istri berhak mendapat kebaikan seperti
kewajibannya" dan sabda Nabi : Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik
terhadap istrinya. Dan saya yang terbaik terhadap istri".

‫َفِإْن َك ِرْهُتُم وُهَّن َفَعَس ى َأْن َتْك َر ُهوا َشْيًئا َو َيْج َعَل ُهَّللا ِفيِه َخْيًرا َك ِثيًرا‬
Maknanya adalah : jika seorang suami mendapat sesuatu yang tidak disukai
pada istrinya dan sangat membenci hal itu serta tidak nyaman dekat
dengannya, namun dia tidak melakukan perbuatan keji dan nusyuz, maka
hendaknya ia bersabar atas hal tersebut, sebab bisa saja ini merupakan sesuatu
yang baik baginya.
Abul qasim bin abu habib balmahdiyah memberitakan pada saya , dari abul
qasim as-sayuri dari abu bakar bin abdur rahman , dia berkata , " syaikh abu
muhammad bin abu zaid dikenal sebagai sosok yang memiliki ilmu dan
agama yang sangat kuat . namun sayangnya , dia memiliki seorang istri yang
memiliki perilaku dan pergaulan yang buruk . dia banyak tidak memenuhi
hak–hak suaminya itu . dia sering menyakiti suami nya dengan ucapan dari
lidahnya dengan cara yang sangat pedas . Maka , ada sebagian orang yang
berkomentar tentang istrinya ini , dia mengatakan bahwa dirinya hendaknya
sabar atasnya . dia juga berkata , " saya adalah seorang lelaki yang telah Allah
sempurnakan ni'mat-Nya kepadaku ' dengan badan yang sehat , dengan ilmu
pengetahuan yang Allah berikan , serta budak yang aku miliki . Mungkin dia
diberikan kepada saya sebagai ujian atas agama saya . Maka saya khawatir
jika menceraikannya , Allah akan menurunkan ujian yang lebih berat
daripadanya kepada saya".7
..... ‫َو ِإْن َأَر ْدُتُم اْس ِتْبَداَل َز ْو ٍج َم َك اَن َز ْو ج‬
Muhammad Ali al-Shobuni menjelaskan maksud ayat ini : Dan jika kalian –
wahai orang beriman- akan menikahi wanita lain sebagai pengganti wanita
yang telah kamu ceraikan, dan kalian telah memberikan mahar besar yang
mencapai berat jembatan kepada yang dicerai itu, maka jangan kalian
mengambilnya walau sedikit. Apakah kalian akan mengambilnya dengan
dhalim dan melampaui batas ?
Tatkala Allah SWT telah membolhkan terjadinya perceraian dan
memungkinkan terjadi pernikahan kembali dengan yang lain, maka Dia
memberitahukan tentang agamaNya yang lurus dan jalanNya yang lapang :
7
Tafsir Wanita, tarjamah 'Tafsir al-Qur'an al-Azhim li an-Nisa karya Syaikh Imad Zaki al-Barudi,
penerjemah : Samson Rahman, (Pustaka al-Kautsar, 2003 M.), h. 400
yaitu tentang pemenuhan hak-hak mereka jika bercerai. Allah melarang para
suami mengusik-usik mahar yang telah diberikan kepada istrinya, sebab telah
menjadi hak istrinya itu.
‫ْأ‬
‫ َو َكْيَف َت ُخ ُذ وَنُه َو َقْد َأْفَض ى َبْعُض ُك ْم ِإَلى َبْع ٍض‬.....
Dan bagaimana dibolehkan mengambilnya bagi kalian, padahal kalian telah
menikmati wanita itu dalam hubungan suami istri dan persenggamaan,
padahal kalian telah menghalalkan farji mereka dengan kalimat Allah ( akad
nikah ). Bagaimana kalian mengambil kembali mahar yang telah diberikan
lewat perjanjian besar ini ? Imam al-Qurthubi berkata : Ayat ini adalah illat
( alasan ) larangan mengambil kembali mahar dari istri yang sudah kholwat
(berduaan walau tidak berjima) dengan suaminya.

a)
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Abul qasim bin abu habib balmahdiyah memberitakan pada saya , dari
abul qasim as-sayuri dari abu bakar bin abdur rahman , dia berkata , "
syaikh abu muhammad bin abu zaid dikenal sebagai sosok yang memiliki
ilmu dan agama yang sangat kuat . namun sayangnya , dia memiliki
seorang istri yang memiliki perilaku dan pergaulan yang buruk . dia
banyak tidak memenuhi hak–hak suaminya itu .
mazhab Imam Malik dan pendapat Imam Syafii dalam qaul qadim-nya.
Alasannya ialah karena walilah yang mengizinkan mempelai lelaki boleh
mengawininya, maka pihak walilah yang berkuasa menentukannya;
berbeda halnya dengan harta lain milik si mempelai wanita (maka pihak
wali tidak berhak ber-tasarruf padanya).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnur Rabi'
Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar,
dari Ikrimah yang mengatakan bahwa Allah telah mengizinkan untuk
memberi maaf, bahkan menganjurkannya. Karena itu, wanita yang
memaafkan, tindakannya itu diperbolehkan. Apabila ternyata dia kikir dan
tidak mau memaafkan, maka pihak walinyalah yang boleh memaafkan.
Hal ini jelas menunjukkan keabsahan tindakan pemaafan si wali, sekalipun
pihak mempelai wanita bersikap keras.
DAFTAR PUSTAKA

Haji Abdul Malik Abdulkarim Amrullah (HAMKA). Tafsir Al-Azhar. (Jakarta:


PT. Pustaka Panjimas, 1983
Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, al-Imam al-Hafidh Abul Fida Isma'il ibnu Katsir,
Maktabah al-Ulum wal Hikam – Madinah, 1993 M.
Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam minal Qur'an, Muhammad Ali al-Shobuni,
Dar Ihya Turots al-Arobi.
Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-
Anshori al-Qurthubi, Darul Kutub al-Ilmiyah – Bairut, 1993 M.
Kadar M. Yusuf. Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-ayat Hukum. Jakarta:
Bumi Aksara, 2013
Tafsir Wanita, tarjamah 'Tafsir al-Qur'an al-Azhim li an-Nisa karya Syaikh Imad
Zaki al-Barudi, penerjemah : Samson Rahman, Pustaka al-Kautsar, 2003 M.

Anda mungkin juga menyukai