Anda di halaman 1dari 14

HADITS AHKAM:

HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI

Dosen pembimbing : Munirah, M.Hum

Disusun oleh kelompok 11 :

Muhammad Ilhami

Dedi rusadi

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

RASYIDIYYAH KHALIDIYYAH (RAKHA) AMUNTAI

PRODI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadrat ALLAH S.W.T karena dengan


petunjuk serta pertolongan-nyalah, kami sebagai penyusun bisa menyelesaikan
makalah ini. Tak lupa juga Shalawat beruntaian salam selalu kita curahkan kepada
junjungan kita Nabi besar, Nabi MUHAMMAD S.A.W, dengan sebab beliau lah
kita dapat hijrah daripada alam kejahilan menuju alam yang terang benderang
yang berlandaskan Iman, Islam, dan Ihsan. Juga kepada para keluarga beliau,
shahabat, serta para pengikut jejak langkah beliau dari awal hingga akhir masa
nanti.

Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas perkuliahan dalam mata
kuliah “HADIST AHKAM” yang judul pembahsannya “HAK DAN
KEWAJIBAN ISTERI” pada Sekolah Tinggi Agama Islam Rasyidiyyah
Khalidiyyah (STAI RAKHA) Amuntai.

Dalam penyusunan makalah ini kami sebagai penulis telah berusaha


semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan kami. Namun sebagai manusia
biasa, kami sebagai penyusun tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan baik dari
segi teknik penulisan maupun tata bahasa. Tetapi walaupun demikian, kami
berusaha sebisa mungkin menyelesaikan makalah meskipun tersusun sangat
sederhana.

Demikian dengan mengharap ridha dan rahmat dari ALLAH S.W.T


semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami sebagai penyusun dan para
pembaca pada umumnya. Aamin..Amin..Amin..Yaa Rabbal ‘alamin.

Amuntai, 10-09-2019
Penulis,

Kelompok 11

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan masalah....................................................................................1
BAB II : PEMBAHASAN
A. Hak Isteri.................................................................................................2
B. Kewajiban Isteri.......................................................................................5
BAB III : PENUTUP.........................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................11

iii
ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasutri pasti selalu menginginkan keluarganya terus tentram dan langgeng.
Namun kadang yang terjadi di tengah-tengah pernikahan adalah pertengkaran dan
perselisihan. Ini boleh jadi karena tidak mengetahui manakah yang menjadi hak atau
kewajiban dari masing-masing pasutri. Oleh karena itu, mengetahui kewajiban suami
atau kewajiban istri sangatlah penting. Sehingga istri atau suami masing-masing
mengetahui manakah tugas yang mesti ia emban dalam rumah tangga. Kali ini kami
sebagai Penulis makalah ini akan mengulas sedikit bahasan tentang Hadis Nabi yang
mengenai Hak dan Kewajiban Istri. Semoga makalah yang telah penulis susun ini
menjadi Ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah isi Hadis serta penjelasan dari hadis hak seorang Istri ?
2. Bagaimanakah isi Hadis serta penjelasan dari hadis kewajiban seorang Istri ?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar bisa mengetahui dan mengambil pelajaran dari hadis hak seorang istri
2. Supaya bisa mengetahui dan mengambil pelajaran dari hadis kewajiban seorang
istri ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hak Istri
Hadits tentang hak isteri

‫ َأن‬:‫ يارسول هللا َم ا َح ُّق ِز ْو َج ِة َأَح ِد َنا عليِه ؟ قال‬:‫قلت‬:‫عن ُم َعاِوَية الُقَشْيِر ي قال‬
‫وال َتْض ِر ِب الَو ْج ِه وال ُتَّقِبْح‬, ‫ َأِو اْك َتَس ْبَت‬, ‫َو َتْك ُس وَها إذا ْك َتَس ْيَت‬, ‫ُتْطِع َم َها ِإَذ ا َطَعْم َت‬
‫ َأْن َتُقْو َل َقَّبَح ِك هللا‬: ‫ َو اَل ُتَقِّبْح‬:‫ قال أبو داود‬.‫َو َال َتْهُج ْر إأل في الَبْيِت‬.

2142. diriwayatkan oleh Muawiyah al-Qusyairi, dia berkata, saya berkata “ wahai
rasulullah, apa hak isteri-isteri kami? Maka rasulullah SAW menjawab, engkau cukupi
kebutuhan makanya jika engkau makan, engkau cukupi kebutuhan pakainnya jika
engkau berpakaian atau jika engkau mendapatkan sesuatu. Jangan engkau memukul
wajahnya, jangan mencelanya, jangan engkau meninggalkannya (pisah ranjang) kecuali
di rumah”. Abu Daud berkata,Jangan engkau berkata buruk, yaitu engkau mengatakan.
Allah akan mmberikan kepadamu,(hasan, Shahih)1
Hak-hak isteri yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi dua: hak-hak kebendaan,
yaitu mahar (maskawin) dan nafkah, dan hak-hak bukan kebendaan, misalnya berbuat
adil di antara para isteri (dalam perkawinan poligami), tidak berbuat yang merugikan
isteri dan sebagainya.
a. Hak-hak Kebendaan
1. Mahar (Maskawin)
Q.S. An-Nisa ayat 24 memerintahkan, “Dan berikanlah maskawin kepada
perempuan-perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib. Apabila
mereka dengan senang hati memberikan sebagian maskawin itu kepadamu,
ambillah dia sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.”2
Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat diperoleh suatu pengertian bahwa
maskawin itu adlah harta pemberian wajib dari suami kepada isteri, dan
merupakan hak penuh bagi isteri yang tidak boleh diganggu oleh suami, suami

1
Tajuddin Arif, Abdul Syukur Abdul Razak, dan Ahmad Rania, Lc. SHAHIH SUNAN ABU
DAUD.,hlm,828
2
Hadits Riadatus Shalihin, Hak dan kewajiban suami istri Hal : 222

2
hanya dibenarkan ikut makan maskawin apabila diberikan oleh isteri dengan
sukarela.
Hadits Nabi riwayat Ahmad, Hakim, dan Baihqi dari Aisyah mengjarkan,
“Perempuan-perempuan yang paling besar mendatangkan berkah Allah untuk
suaminya adalah yang paling ringan biayanya.” Yang diamksud dengan ringan
biayanya ialah yang tidak memberatkan suami, sejak dari mahar sampai kepada
nafkah, pakaian, dan perumahan dalam hidup perkawinan.
Hadits riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, dan Nasai dari
Sahl Bin Sa’ad menyatakan bahwa Nabi pernah mengawinkan salah seorang
sahabatnya dengan maskawin mengajar membaca Al-Qur’an yang dihafalnya
(menurut salah satu riwayat, yang dihafalnya itu adalah Surah Al-Baqarah dan Ali
Imran).
Hadits riwayat Bukhari-Muslim, dan lain-lain dari Anas menyatakan
bahwa Nabi pernah memerdekakan Sofiah yang kemudian menjadi isteri beliau,
dan yang menjadi maskawinnya adalah memerdekakannya itu.3
2. Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah adalah mencukupkan segala keperluan
isteri,meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, dan
pengobatan, meskipun isteri tergolong kaya.
Q.S. Ath-Thalaq : 6 mengajarkan, “Tempatkanlah isteri-isteri dimana kamu
tinggal menurut kemampuanmu; janganlah kamu menyusahkan isteri-isteri untuk
menyempitkan hati mereka. Apabila isteri-isteri yang kamu talak itu dalam
keadaan hamil, berikanlah nafkah kepada mereka hingga bersalin … “ Ayat
berikutnya (Ath-Thalaq :7) memrintahkan, “ Orang yang mampu hendaklah
memberi nafkah menurut kemampuannya, dan dan orang yng kurang mampu pun
supaya memberi nafkah dari harta pemberian Allah kepadanya; Allah tidak akan
membebani kewajiban kepada seseorang melebihi pemberian Allah kepadanya
….”
b. Hak-hak Bukan Kebendaan
Hak-hak bukan kebendaan yang wajib ditunaikan suami terhadap isterinya,
disimpulkan dalam perintah Q.S. An-Nisa: 19 agar para suami menggauli isteri-
isterinya dengan makruf dan bersabar terhadap hal-hal yang tidak disenangi, yang
terdapat pada isteri.
3
Asep.M,S.S dan Abdullah Jinan, .Lc. Bulughul Maram min Adillatul Ahkam, hlm434

3
Menggauli isteri dengan makruf dapat mencakup:
1. Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik, serta
meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu
pengetahuan yang diperlukan.
Hadits riwayat Turmudzi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah r.a.
mengajarkan, “Orang-orang mukmin yang paling baik budi perangainya, dan
orang-orang yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik perlakuannya
terhadap isteri-isterinya.”
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. 4 mengajarkan,
“Bersikap baiklah kamu terhadap isteri-isterimu sebab orang perempuan diciptakan
berkodrat seperti tulang rusuk; yang paling lengkung adalah tulang rusuk bagian
atas; apabila kamu biarkan akan tetap meluruskannya, ia akan patah dan apabila
kamu biarkan akan tetap lengkung, bersikap baiklah kamu terhadap para isteri.
Termasuk perlakuan baik yang menjadi hak isteri ialah, hendaknya suami
selalu berusaha agar isteri mengalami peningkatan hidup keagamaannya, budi
pekertinya, dan bertambah pula ilmu pengtahuannya. Banyak jalan yang dapat
ditempuh untuk memenuhi hak isteri, misalnya melaui pengajian-pengajian,
kursus-kursus, kegiatan kemasyarakatan, bacaan buku, majalah, dan sebagainya.
2. Melindungi dan menjaga nama baik isteri
Suami berkewajiban melindungi isteri serta menjaga nama baiknya. Hal ini
tidak berarti bahwa suami harus menutupi-nutupi kesalahan yang memang terdapat
pada isteri. Namun, adalah menjadi kewajiban suami untuk tidak membeberkan
kesalahan-kesalahan isteri kepada orang lain. Apabila kepada isteri hal-hal yang tidak
benar, suami setelah melakukan penelitian seperlunya, tidak apriori, berkewajiban
memberikan keterangan-keterangan kepada pihak-pihak yang melontarkan tuduhan
agar nama baik isteri jangan menjadi cemar.
3 Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis isteri
Hajat biologis adalah kodrat pembawaan hidup. Oleh karena itu, suami wajib
memperhatikan hak isteri dalam hal ini. Ketentraman dan keserasian hidup
perkawinan anatara lain ditentukan oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang
dialami dalam masalah ini dapat menimbulkan keretakan dalam hidup perkawinan;

4
Kumpulan Hadits Riwayat Bukhary dan Muslim. 2002.

4
bahkan tidak jarang terjadi penyelewengan isteri disebabkan adanya perasaan kecewa
dalam hal ini.
Salah seorang sahabat Nabi bernama Abdullah bin Amr yang terlalu banyak
menggunakan waktunya untuk menunaikan ibadah; siang untuk melakukan puasa dan
malam harinya untuk melakukan shalat, diperingatkan oleh Nabi yang antara lain.
“Isterimu mempunyai hak yang wajib kau penuhi.
Demikian pentingnya kedudukan kebutuhan biologis itu dalam hidup manusia
sehingga Islam menilai hubungan suami isteri yang antara lain untuk menjaga
kesucian diri dari perbuatan zina itu sebagai salah satu macam ibadah yang berpahala.
Dalam hal ini hadits Nabi riwayat Muslim mengajarkan, “Dan dalam hubungan
kelaminmu bernilai shadaqah.” Mendengar kata Nabi itu para sahabat bertanya, “ Ya
Rasulullah, apakah salah seorang di antara kita memenuhi syahwatnya itu
memperoleh pahala?” Nabi menjawab, “Bukkankah apabila ia melakukannya dengan
yang haram akan berdosa? Demikian sebaliknya, apabila ia memenuhinya dengan
cara yang halal akan mendapat pahala.”
B. Kewajiban Istri
Sebelum lebih lanjut kepembahasan tentang kewajiban seorang istri lebih
baiknya terlebih dahulu kita sedikit mengetahui hak suami yang menjadi kewajiban
istri.
Hak suami yang menjadi kewajiban istri asalnya dijelaskan dalam ayat berikut ini ;
‫الِّر َج اُل َقَّواُم وَن َع َلى الِّنَس اِء ِبَم ا َفَّض َل ُهَّللا َبْع َض ُهْم َع َلى َبْع ٍض َو ِبَم ا َأْنَفُقوا ِم ْن َأْم َو اِلِهْم َفالَّصاِلَح اُت َقاِنَتاٌت َح اِفَظاٌت‬
‫ِلْلَغْيِب ِبَم ا َح ِفَظ ُهَّللا َو الاَّل ِتي َتَخ اُفوَن ُنُش وَزُهَّن َفِع ُظوُهَّن َو اْهُجُروُهَّن ِفي اْلَم َض اِج ِع َو اْض ِرُبوُهَّن َفِإْن َأَطْعَنُك ْم َفاَل َتْبُغ وا‬
‫َع َلْيِهَّن َس ِبياًل‬
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu
maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS.
An Nisa’: 34)
Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah besar sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫َلْو ُكْنُت آِم ًرا َأَح ًدا َأْن َيْس ُجَد َألَحٍد َألَم ْر ُت الِّنَس اَء َأْن َيْسُج ْد َن َألْز َو اِجِهَّن ِلَم ا َجَعَل ُهَّللا َلُهْم َع َلْيِهَّن ِم َن اْلَح ِّق‬
“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu
aku akan memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah
menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud

5
no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketaatan seorang istri pada suami termasuk sebab yang menyebabkannya
masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ِإَذ ا َص َّلِت اْلَم ْر َأُة َخ ْمَسَها َو َص اَم ْت َشْهَر َها َو َح ِفَظْت َفْر َجَها َو َأَطاَع ْت َز ْو َجَها ِقيَل َلَها اْدُخ ِلى اْلَج َّنَة ِم ْن َأِّى َأْبَو اِب‬
‫اْلَج َّنِة ِش ْئِت‬
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di
bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan
benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat
mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR.
Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan
bahwa hadits ini shahih)
Berikut adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi kewajiban istri:
Pertama: Mentaati perintah suami
Istri yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak membangkang yang
membuat suami benci, itulah sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, dia berkata,
‫ِقيَل ِلَر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َأُّي الِّنَس اِء َخْيٌر َقاَل اَّلِتي َتُسُّر ُه ِإَذ ا َنَظَر َو ُتِط يُعُه ِإَذ ا َأَم َر َو اَل ُتَخ اِلُفُه ِفي‬
‫َنْفِسَها َو َم اِلَها ِبَم ا َيْك َر ُه‬
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah
wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika
dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada
diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan
Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Begitu pula tempat seorang wanita di surga ataukah di neraka dilihat dari
sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.
Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke
tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari
keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
،‫ َفاْنُظِر ْي أيَن َأْنِت ِم ْنُه‬: ‫ َقاَل‬.‫ َم ا آُلْو ُه ِإَّال َم ا َع َج ْز ُت َع ْنُه‬: ‫ َكْيَف َأْنِت َلُه؟ َقاَلْت‬: ‫ َقاَل‬. ‫ َنَعْم‬: ‫َأَذ اُت َز ْو ٍج َأْنِت؟ َقاَلْت‬
‫َفإَّنَم ا ُهَو َج َّنُتِك َو َناُر ِك‬
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.”
“Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam
perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena
suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini
shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib
no. 1933)
Namun ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami
untuk tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria lain, meninggalkan shalat
lima waktu, atau bersetubuh di saat haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini
tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ ِإَّنَم ا الَّطاَع ُة ِفى اْلَم ْعُروِف‬، ‫َال َطاَع َة ِفى َم ْع ِصَيٍة‬

6
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara
yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan,


‫َال َطاَع َة ِلَم ْخ ُلْو ٍق ِفي َم ْع ِصَيِة ِهللا‬
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad
1: 131. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Kedua: Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan izin suami
Allah Ta’ala berfirman,
‫َو َقْر َن ِفي ُبُيوِتُك َّن َو اَل َتَبَّرْج َن َتَبُّر َج اْلَج اِهِلَّيِة اُأْلوَلى‬
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab:
33).

Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya.
Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan
yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi


seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata,
“Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz
(pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas
mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)

Ketiga: Taat pada suami ketika diajak ke ranjang

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


‫ِإَذ ا َدَعا الَّرُجُل اْمَر َأَتُه ِإَلى ِفَر اِشِه َفَأَبْت َأْن َتِج ىَء َلَع َنْتَها اْلَم َالِئَك ُة َح َّتى ُتْص ِبَح‬
“Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan
memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR.
Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).
Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,
‫َو اَّلِذ ي َنْفِس ي ِبَيِدِه َم ا ِم ْن َر ُج ٍل َيْد ُعو اْمَر َأَتُه ِإَلى ِفَر اِشَها َفَتْأَبى َع َلْيِه ِإَّال َك اَن اَّلِذ ي ِفي الَّس َم اِء َس اِخ ًطا َع َلْيَها‬
‫َح َّتى َيْر َض ى َع ْنَها‬
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami
memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya
melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai
suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim no. 1436)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya wanita


enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur karena
suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya” (Syarh Shahih Muslim, 10: 7).
Namun jika istri ada halangan, seperti sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur
dan suami harus memaklumi hal ini.

Keempat: Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami

7
Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,
‫َفاَّتُقوا َهَّللا ِفى الِّنَس اِء َفِإَّنُك ْم َأَخ ْذ ُتُم وُهَّن ِبَأَم اِن ِهَّللا َو اْسَتْح َلْلُتْم ُفُروَج ُهَّن ِبَك ِلَم ِة ِهَّللا َو َلُك ْم َع َلْيِهَّن َأْن َال ُيوِط ْئَن‬
‫ُفُر َش ُك ْم َأَح ًدا َتْك َر ُهوَنُه‬
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena
sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian
menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas
mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian
sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR. Muslim no. 1218)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َو َم ا َأْنَفَقْت ِم ْن َنَفَقٍة‬، ‫ َو َال َتْأَذ َن ِفى َبْيِتِه ِإَّال ِبِإْذ ِنِه‬،‫َال َيِح ُّل ِلْلَم ْر َأِة َأْن َتُصوَم َو َز ْو ُج َها َش اِهٌد ِإَّال ِبِإْذ ِنِه‬
‫َع ْن َغْيِر َأْم ِر ِه َفِإَّنُه ُيَؤ َّد ى ِإَلْيِه َش ْطُره‬
“Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya
ada kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk
rumah suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada
perintah dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya”. (HR.
Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)

Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Hurairah,

‫َال َتْأَذ ُن الَم ْر َأُة ِفي َبْيِت َز ْو ِج َها َو ُهَو َش اِهُد ِإَّال ِبِإْذ ِنِه‬
“Tidak boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah
suaminya sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin suaminya.” (HR.
Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini
shahih sesuai syarat Muslim)

Hadits di atas dipahami jika tidak diketahui ridho suami ketika ada orang lain
yang masuk. Adapun jika seandainya suami ridho dan asalnya membolehkan orang
lain itu masuk, maka tidaklah masalah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)

Kelima: Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami
Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk
melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َال َيِح ُّل ِلْلَم ْر َأِة َأْن َتُصوَم َو َز ْو ُج َها َش اِهٌد ِإَّال ِبِإْذ ِنِه‬
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada
(tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan
Muslim no. 1026)

Dalam lafazh lainnya disebutkan,

‫َال َتُصوُم اْلَم ْر َأُة َو َبْع ُلَها َش اِهٌد ِإَّال ِبِإْذ ِنِه َغْيَر َر َم َض اَن‬

8
“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan
suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR.
Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392 mengatakan,
“Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”)

Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi
dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya. (Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 28: 99)

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di atas


dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan
waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di
atas adalah larangan haram.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan


puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan.
Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya masih
lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami. … Hadits ini
menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami.
Demikianlah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 9: 295)

Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam: (1) puasa
sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis), (2)
puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang
kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan
berikutnya.5

5
https://rumaysho.com/2205-kewajiban-istri-1.html Di akses 06/09/19 22:58

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
a. Hak istri atas suami
1) Hak-hak Kebendaan
a) Istri berhak mendapatkan Mahar (Maskawin) yang layak atau yang sesuai
dengan keinginan sang istri dan sesuai dengan kemampuan sang suami.
b) Istri berhak mendapatkan Nafkah dari suami.
2) Hak-hak Bukan Kebendaan
a) Menggauli isteri dengan makruf dapat mencakup:
b) Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik, serta
meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan
ilmu pengetahuan yang diperlukan.
c) Melindungi dan menjaga nama baik isteri
d) Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis isteri
b. Kewajiban istri kepada suami
1) Mentaati perintah suami
2) Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan izin suami
3) Taat pada suami ketika diajak ke ranjang
4) Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami
5) Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami

10
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddiqie, prof. Dr. TM. Hasbiy, sejarah dan pengantar ilmu al-Qur’an dan Tafsir,
(jakarta: bulan bintang, cet. Ke. 13, 1990).

Hadits Riadatus Shalihin, Hak dan kewajiban suami istri


Kumpulan Hadits Riwayat Bukhary dan Muslim. 2002.
Tajuddin Arif, Abdul Syukur Abdul Razak, dan Ahmad Rania, Lc. SHAHIH SUNAN ABU
DAUD.: PUSTAKA AZZAM. Jakarrta Selatan 2002

https://rumaysho.com/2205-kewajiban-istri-1.html Di akses 06/09/19 22:58

11

Anda mungkin juga menyukai