Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku seseorang yang secara khas
berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment)
di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi
psikologik, perilaku, biologik, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam
hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat (Maslim & Maramis
dalam Yusuf, 2015). Secara umum, klasifikasi gangguan jiwa menurut hasil
Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 dibagi menjadi dua bagian, yaitu gangguan
jiwa berat/kelompok psikosa dan gangguan jiwa ringan meliputi semua
gangguan mental emosional dan untuk skizofrenia termasuk dalam kelompok
gangguan jiwa berat (Yusuf,2015).
Menurut (WHO, 2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60
juta orang terkena bipolar, 21 juta orang terkena skizofrenia, serta 47,5 juta
terkena dimensia. Beberapa peneliti melaporkan kasus gangguan jiwa terbesar
adalah skizofrenia. Dari hasil Riskesdas 2018, terjadi peningkatan prevelensi
gangguan jiwa yaitu dari 1,7% pada tahun 2013 naik menjadi 7% di tahun 2018.
Dan untuk prevelensi gangguan mental dan emosional pada penduduk indonesia
yang berumur lebih dari 15 tahun juga terjadi peningkatan dari 6.0 % di tahun
2013 meningkat menjadi 9.8 % di tahun 2018.
Peningkatan prevelensi gangguan jiwa ini juga mengalami peningkatan di
Sumatra Barat. Di tahun 2013 dari 34 provinsi di Indonesia, Sumatera Barat
merupakan peringkat ke-9 dengan jumlah gangguan jiwa sebanyak 50.608 jiwa
dan prevalensi masalah skizofrenia pada urutan ke-2 sebanyak 1,9 permil. Dan
pada tahun 2018 dapat dilihat bahwa Sumatera Barat yang sebelumnya
menduduki peringkat ke 9 di tahun 2013 naik menjadi peringkat ke 7 dengan
prevelensi penduduk yang paling banyak mengalami gangguan jiwa. Di
Indonesia saat ini, Bali merupakan provinsi pertama dengan prevelensi
gangguanji wa terbanyak yaitu sebesar 11.% (Riskesdas, 2018).
Penderita skizofrenia yg pernah dipasung terbanyak berasal dari daerah
pedesaan yaitu sebanyak 17.7 % dan yang mengalami depresi pada penduduk
umur diatas 15 tahun adalah sebanyak 6.1 %. Dari sekian banyak penderita

1
depresi hanya 9 % penderita yang minum obat / menjalani pengobatan dan 91%
lagi tidak berobat. Untuk cakupan pengobatan penderita gangguan jiwa
(skizofrenia/psikosis) didapatkan data sebanyak 84,9% berobat dan 15.1 tidak
berobat ke pelayanan kesehatan, dan dari 84,9 % klien yang berobat diketahui
48,9 % berobat rutin dan 51,1 % di antaranya tidak berobat rutin. Alasan dari
mengapa mereka tidak berobat rutin yaitu 36.1% merasa sudah sehat, 33.7 tidak
mau berobat rutin, 23.6 % tidak mampu membeli obat rutin dan disertai dengan
alasan-alasan lainya. Alasan-alasan tersebut tentu dapat mengakibatkan
kekambuhan pada pasien jiwa jika tidak meminum obat rutin dari pelayanan
kesehatan (Riskesdas, 2018).
Gejala skizofrenia dibagi menjadi dua yaitu gejala negative dan gejala
positif. Gejala negative yaitu menarik diri, tidak ada atau kehilangan dorongan
atau kehendak. Gejala positif yaitu halusinasi, waham, pikiran yang tidak
terorganisir, dan perilaku yang aneh. Dari gejala tersebut, halusinasi merupakan
gejala yang paling banyak ditemukan lebih 90 % pasien skizofrenia mengalami
halusinasi (Yosep, 2013)
Halusinasi merupakan terganggunya persepsi dari panca indera seseorang
dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal
(dunia luar), dimana klien memberi persepsi tentang lingkungan tanpa adanya
suatu objek (Yosep, 2013). Sekitar 70% halusinasi yang dialami oleh pasien
gangguan jiwa yaitu halusinasi dengar, 20% mengalami halusinasi penglihatan
dan 10% mengalami halusinasi penghidu, pengecap, perabaan. Halusinasi dapat
mengancam dan menakutkan bagi klien walaupun klien lebih jarang melaporkan
halusinasi sebagai pengalaman yang menyenangkan. Mula-mula klien
merasakan halusinasi sebagai pengalaman nyata, tetapi kemudian dalam proses
penyakit tersebut, dia dapat mengakuinya sebagai halusinasi.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Barat (2017),
jumlah kunjungan rumah sakit jiwa terbanyak di kota Padang adalah RSJ Prof.
Dr. HB Saanin. Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. HB Saanin Padang merupakan satu-
satunya rumah sakit jiwa tipe A yang ada di Provinsi Sumatera Barat yang
menyediakan fasilitas pengobatan untuk pasien skizofrenia dan sebagai pusat
rujukan klien gangguan jiwa serta pusat pengembangan keperawatan jiwa di
provinsi Sumatera Barat. Rumah Sakit ini merupakan salah satu rumah sakit
pendidikan yang mendukung pengembangan dalam bidang penelitian.

2
Berdasarkan latar belakang dan fenomena diatas maka penulis terdorong untuk
menerapkan Asuhan keperawatan resiko perilaku kekerasan pada Tn “D” dengan
skizofrenia campuran di ruang Cendrawasih RSJ Prof. HB Saanin Padang.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana asuhan
keperawatan jiwa pada klien dengan masalah utama halusinasi di Ruang
Cendrawasih RSJ Prof. HB Saanin Padang.

1.3 Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum
Menggambarkan Asuhan Keperawatan Halusinasi pada Tn. D dengan
Skizofrenia Paranoid di Ruang Cendrawasih RSJ Prof. HB Saanin Padang
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian keperawatan pada Tn. D
b. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada Tn. D
c. Mahasiswa mampu menyusun intervensi keperawatan pada Tn. D
d. Mahasiswa mampu melakukan implementasi keperawatan pada
Tn.D
e. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada Tn. D

1.4 Manfaat Penulisan


1. Bagi Penulis
Hasil laporan kasus ini di gunakan untuk memperluas wawasan dan keilmuan
terutama perawatan pasien halusinasi pada skizofrenia paranoid, dan
merupakan implementasi dari kuliah yang telah diajarkan selama proses
pembelajaran.
2. Bagi Institusi
Hasil laporan kasus ini dapat digunakan sebagai referensi bagi mahasiswa
Profesi Keperawatan Universitas Andalas khususnya dalam pengelolaan
pasien halusinasi pada skizofrenia paranoid.
3. Bagi Intansi Rumah Sakit
Hasil laporan kasus ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dalam
memberikan asuhan keperawatan jiwa terkhususnya pada gangguan

3
skizofernia paranoid di ruang rawat inap Cendrawasih RSJ Prof. Hb Saanin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasara Halusinasi


1. Pengertian Halusinasi
Menurut keliat dalam Putri & Trimusarofah, 2018 Halusinasi adalah
gangguan penerimaan pancaindra tanpa stimulasi eksternal (halusinasi
pendengaran, penglihatan, pengecapan, penciuman, dan perabaan).
Halusinasi dapat didefenisikan sebagai suatu gejala gangguan jiwa pada
individu yang ditandai dengan perubahan sensori persepsi merasakan
sensasi palsu berupa panglihatan, pengecapan, perabaan, penghiduan,
atau pendengaran (Keliat dan Akemat, 2014).

Halusinasi merupakan persepsi yang salah atau persepsi sensori yang


tidak sesuai dengan kenyataan seperti melihat bayangan atau suara-
suara yang sebenarnya tidak ada (Yudi Hartono, 2017).

Menurut SDKI, 2017 gangguan persepsi sensori adalah dimana


perubahan persepsi terhadap stimulus baik internal maupun eksternal
yang disertai dengan respon yang berkurang, berlebihan atau
terdistorsi.

2. Rentang Respon
Respon perilaku klien dapat diidentifikasi sepanjang rentang respon
yang berhubungan dengan fungsi neurobiologik, perilaku yang dapat
diamati dan mungkin menunjukkan adanya halusinasi. Respon yang
terjadi dapat berada dalam rentang adaptif sampai maladaptif yang
dapat digambarkan pada bagan berikut:

Adaptif Maladaptif

4
Adaptif Psikososial Maladaptif
- Pikiran logis - distorsi pikiran ilusi - gangguan pikir
- Persepsi akurat - reaksi emosi berlebih - halusinasi
- Emosi konsisten - perilaku aneh atau - sulit merespon
dengan pengalaman tidak biasa emosi
- Perilaku sesuai - menarik diri - perilaku disorganisasi
- Berhubungan social - isolasi social

Bagan 2. Rentang Respon


Sumber : Muhith, 2015

a. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-
norma sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut
dalam batas normal, jika menghadapi suatu masalah akan dapat
memecahkan masalah tersebut. Respon adaptif meliputi:
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul
dari pengalaman ahli.
4) Mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus
berdasarkan informasi yang diterima melalui pancaindera
(pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan)
5) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam
batas kewajaran.
6) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain
dan lingkungan (Dalami dkk, 2014).
b. Respon maladaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan
lingkungan. Adapun respon maladaptif ini meliputi:
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan kenyataan sosial.

5
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi
eksternal yang tidak realita atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari
hati.
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak
teratur.
5) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu
dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu
kecelakaan yang negatif mengancam (Dalami dkk, 2014).
c. Respon psikososial
Respon psikososial meliputi:
1) Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan
gangguan.
2) Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang
penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan
panca indera.
3) Emosi berlebihan atau berkurang.
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi
batas kewajaran.
5) Menarik diri yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan
orang lain (Dalami dkk, 2014).

3. Faktor Penyebab
Menurut (Yosep, H.Iyus., 2016) terdapat 2 penyebab halusinasi yaitu:
a. Faktor presdisposisi
1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya
rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan
klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang
percaya diri, dan lebih rentan terhadap stress.
2) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungan sejak bayi
sehingga akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak
percaya pada lingkungannya

6
3) Faktor Biokimia
Hal ini berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka di
dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang bersifat
halusiogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak, misalnya
terjadi ketidakseimbangan acetylchoin dan dopamine.
4) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini
berpengaruh pada ketidakmampuan klien mengambil
keputusan tegas, klien lebih suka memilih kesenangan sesaat
dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian Menunjukan bahwa anak sehat yang diasuh oleh
orangtua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil
studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
b. Faktor Presipitasi
Menurut Rawlins dan Heacock dalam Yosep (2014) dalam
hakekatnya seorang individu sebagai mahluk yang dibangun atas
dasar unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat
dilihat dari lima dimensi, yaitu:
1) Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik
seperti kelelahan luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam
hingga delirium dan kesulitan tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak
dapat diatasi. Halusinasi dapat berupa perintah memasa dan
menakutkan. Klien tidak sanggup menentang sehingga klien
berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
3) Dimensi Intelektual
Dalam hal ini klien dengan halusinasi mengalami penurunan

7
fungsi ego. Awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego
sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh
perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku
klien.
4) Dimensi Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosialdi dalam fase awal
dan comforting menganggap bahwa bersosialisasi nyata sangat
membahayakan. Klien halusinasi lebih asyik dengan
halusinasinya seolah-olah itu tempat untuk bersosialisasi.
5) Dimensi Spiritual
Klien halusinasi dalam spiritual mulai dengan kehampaan
hidup, rutinitas tidak bermakna, dan hilangnya aktivitas
beribadah. Klien halusinasi dalam setiap bangun merasa hampa
dan tidak jelas tujuan hidupnya.

4. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala pada pasien dengan Halusinasi menurut yusuf dalam
Putri & Trimusarofah, 2018, adalah sebagai berikut:
1. Bicara,tersenyum, dan tertawa sendiri
2. Marah-marah tanpa sebab
3. Menunjuk kearah tertentu, ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas
4. Mencium seperti sedang membau-baui sesuatu, menutup hidung
5. Sering meludah atau muntah
6. Serta menggaruk-garuk permukaan kulit.

5. Jenis-Jenis Halusinasi
Menurut Muhith,(2015) jenis-jenis halusinasi adalah sebagai berikut:
a. Halusinasi pendengaran (auditory)
Mendengar suara-suara atau kebisingan, paling sering suara orang.
Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas, dimana pasien
disuruh untuk melakukan sesuatu yang kadang membahyakan.
b. Halusinasi penglihatan (visual)
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambaran geometris,

8
gambaran kartun, bayangan yang rumit dan kompleks. Bayangan
bisa menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster
c. Halusinasi penciuman (olfactory)
Halusinasi ini melibatkan berbagai bau yang tidak ada.bau ini
biasanya tidak menyenangkan seperti mau muntah, urin, feses asap
atau daging busuk. Kondisi ini juga sering disebut sebagai
Phantosmia dan dapat diakibatkan oleh adanya kerusakan saraf di
bagian indra penciuman.Kerusakan mungkin ini mungkin
disebabkan oleh virus,trauma,tumor otak atau paparan zat zat
beracun atau obat obatan.
d. Halusinasi pengecapan (gustatory)
Ini adalah sebuah persepsi yang salah mengenai rasa, biasanya
pengalaman ini tidak menyenangkan. Misalnya seorang individu
mungkin mengeluh telah mengecap rasa logam secara terus
menerus.Jenis halusinasi ini sering terlihat di beberapa gangguan
medis seperti epilepsi dibandingkan pada gangguan mental
e. Halusinasi perabaan (taktil)
Ini adalah sebuah persepsi atau sensasi palsu terhadap sentuhan
atau suatu yang terjadi di dalam atau pada tubuh. Halusinasi
sentuhan ini umumnya merasa seperti ada suatu yang merangkak di
bawah atau pada kulit.
f. Halusinasi cenesthetic
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh fungsi
tubuh seperti darah mengalir dari vena atau arteri, makanan dicerna
atau pembentukan urine.

6. Tahap Terjadinya Halusinasi


Terjadinya halusinasi dimulai dari beberapa fase, hal ini dipengaruhi
oleh intensitas keparahan dan respon individu dalam menanggapi
adanya rangsangan dari luar. Menurut Dalami dkk (2014), halusinasi
terjadi melalui beberapa tahap antara lain:
a. Stage I: Sleep disorder Merupakan fase awal individu sebelum
muncul halusinasi. Individu merasa banyak masalah, ingin
menghindar dari orang dan lingkungan, takut diketahui orang lain

9
bahwa dirinya banyak masalah (misalnya: putus cinta, dikhianati
kekasih, diPHK, bercerai, masalah dikampus dan lain-lain).
Masalah makin terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi
sedangkan support sistem kurang dan persepsi terhadap masalah
sangat buruk. Hal ini akan menyebabkan individu tersebut sulit
tidur terus menerus sehingga terbiasa menghayal. Individu akan
menganggap lamunan- lamunan awal tersebut sebagai upaya
pemecahan masalah.
b. Stage II: (Comforting Moderate Level of Anxiety) Pada tahap ini
halusinasi bersifat menyenangkan dan secara umum individu
menerima sebagai sesuatu yang alami. Individu mengalami emosi
yang berlanjut, seperti adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan
berdosa dan ketakutan sehingga individu mencoba untuk
memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan dan pada
penanganan pikiran untuk mengurangi kecemasan tersebut.
Individu beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensori yang
dialaminya dapat dikontrol atau dikendalikan jika kecemasannya
bisa diatasi. Dalam tahap ini ada kecenderungan individu merasa
nyaman dengan halusinasinya dan halusinasi bersifat sementara.
c. Stage III: (Condemning Severe Level of Anxiety) Pada tahap ini
halusinasi bersifat menyalahkan dan sering mendatangi individu.
Pengalaman sensori individu menjadi sering datang dan mengalami
bias sehingga pengalaman sensori tersebut mulai bersifat
menjijikan dan menakutkan. Individu mulai merasa kehilangan
kendali, merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan berusaha
untuk menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang
dipersepsikan individu. Individu akan merasa malu karena
pengalaman sensorinya tersebut dan akhirnya menarik diri dari
orang lain dengan intensitas waktu yang lama.
d. Stage IV: (Controling Severe Level of Anxiety) Pada tahap ini
halusinasi bersifat mengendalikan, fungsi sensori menjadi tidak
relevan dengan kenyataan dan pengalaman sensori tersebut menjadi
penguasa. Halusinasi menjadi lebih menonjol, menguasai dan
mengontrol individu sehingga individu tersebut mencoba melawan

10
suara-suara atau sensori abnormal yang datang. Hingga akhirnya
individu tersebut menjadi tidak berdaya dan menyerah untuk
melawan halusinasi dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya.
Individu mungkin akan mengalami kesepian jika pengalaman
sensori atau halusinasinya tersebut berakhir. Dari sinilah dimulai
fase gangguan psikotik.
e. Stage V: (Concuering Panic Level of Anxiety) Tahap ini adalah
tahap terahir dimana halusinasi bersifat menaklukan, halusinasi
menjadi lebih rumit dan individu mengalami gangguan dalam
menilai lingkungannya. Pengalaman sensorinya menjadi terganggu
dan halusinasi tersebut berubah mengancam, memerintah, dan
menakutkan apabila tidak mengikuti perintahnya sehingga klien
mulai terasa mengancam. Klien merasa terpaku dan tidak berdaya
melepaskan diri, klien tidak dapat berhubungan dengan orang lain
dan menjadi menarik diri. Klien merasa berada dalam dunia
menakutkan dalam waktu yang singkat atau bisa juga beberapa jam
atau beberapa hari atau selamanya/kronis (terjadi gangguan
psikotik berat).

7. Proses Terjadinya Halusinasi


Menurut Dalami, 2014, proses terjadinya halusinasi dapat dilihat dari
faktor presdiposisi dan faktor presipitasi :
a. Faktor presdiposisi
1) Biologis
Hal yang dikaji dalam faktor biologis meliputi : adanya faktor
herediter mengalami gangguan jiwa, adanya resiko bunuh diri,
Riwayat penyakit atau trauma kepala, dan Riwayat penggunaan
napza. Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptive
baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian
berikut :
a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan
otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofernia. Lesi
pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan

11
dengan perilaku psikotik
b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamine
neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah
pada sistem reseptif dopamine dikaitkan dengan terjadinya
skizofernia
c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal
menunjukkan terjadinya atropi yang signifikasi pada otak
manusia.
2) Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon dan kondisi psikologis klien. Salah sati sikap atau
keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas
adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup
klien adanya kegagalan yang berulang, kurangnya kasih sayang,
atau overproduktif
3) Sosial budaya
Kondisi social budaya mempengaruhi gangguan orientasi
realitas seperti : kemiskinan, konflik social budaya (perang,
kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolaso
disertai stress.

b. Faktor Presiptasi
1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang
mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme
pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan
untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh
otak untuk diintrepretasikan
2) Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap
stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan
perilaku
3) Sumber koping
Sumber kopinh mempengaruhi respon individu dalam

12
menanggapi stressor

8. Mekanisme Koping

Menurut Dalami dkk (2014) mekanisme koping adalah perilaku


yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman
yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologi maladaptif
meliputi:
a. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku
kembali seperti apa perilaku perkembangan anak atau berhubungan
dengan masalah proses informasi dan upaya untuk menanggulangi
ansietas.
b. Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan
emosi pada orang lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri
(sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi).
c. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik
maupun psikologis, reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari
menghindari sumber stressor, misalnya menjauhi polusi, sumber
infeksi, gas beracun dan lain-lain. Sedangkan reaksi psikologis
individu menunjukan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak
berminat, sering disertai rasa takut dan bermusuhan.

9. Penatalaksanaan
a. Penatalaksaan Keperawatan
a. Menurut Keliat, 2009 tindakan keperawatan yang dilakukan
1. Melatih klien mengontrol halusinasi
2. Menurut Pusdiklatnakes, 2012 tindakan keperawatan tidak
hanya ditujukan untuk klien tetapi juga diberikan kepada
keluarga, sehingga keluarga mampu mengarahkan klien
dalam mengontrol halusinasi
b. Psikoterapi dan Rehabilitasi
Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu
karena klien kembali ke Masyarakat, selain itu terapi kerja sangat

13
baik untuk mendorong klien bergaul dengan orang lain, klien
lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya klien tidak
mengasingkan diri karena dapat membentak kebiasan yang
kurang baik, dianjurkan untuk mengadakan permainan atau
Latihan bersama seperti Latihan modalitas yang terdiri dari :
- Terapi aktivitas
Meliputi : terapi music, terapi seni, terapi menari, terapi
relaksasi, terapi social, terapi kelompok, terapi lingkungan
b. Medis
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang paling sering terjadi
pada gangguan Skizofrenia, adapun tindakan penatalaksanaan
dilakukan dengan berbagai terapi (Pardede, J. A., Silitonga, E., &
Laia, 2020):
a) Psikofarmakologis
Obat lazim yang digunakan pada gejala halusinasi pendengaran
yang merupakan gejala psikosis pada klien skizofernia adalah
obat anti psikosis. Adapun kelompok yang umum digunakan
adalah :
Kelas Kimia Nama Generik Dosis Harian
Fenotiazin Tiodazin (Mellaril) 2-40 mg
Tioksanten Kloprotiksen 75-600 mg
(Tarctan)
Tiotiksen (Navane) 8-30 mh
Butirofenin Haloperidol 1-100 mg
(Haldol)
dibenzodiasepin Klozapin 300-900 mg
(Clorazil)
Tabel 9. Kelompok Obat
b) Terapi kejang listrik atau electro compulsive therapy (ECT)
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan
kejang grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran
listrik melalui elektrode yang dipasang pada satu atau dua
temples, terapi kejang listrik dapat diberikan pada skizofrenia
yang tidak mempan dengan terapi neoroleptika oral atau

14
ineksi. Dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik (purba,
wahyuni nasution, daulay, 2009).

B. Asuhan Keperawatan Teortis


Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan,
Menurut (Yusuf, 2015):
1. Pengkajian
1) Identitas
Biasanya identitas meliputi, nama pasien, jenis kelamin, umur,
alamat lengkap, tanggal masuk, no MR, tanggal pengkajian,
informasi dan alamat pasien, keluarga yang bisa dihubungi, serta
komposisi keluarga.
2) Alasan masuk
Biasanya pasien dengan halusinasi akan mengalami gangguan
persepsi sensori palsu, biasanya pasien akan mengalami mendengar
suara-suara, klien berbicara sendiri dan tertawa sendiri, berbicara
kacau dan kadang tidak masuk akal, tidak bisa membedakan hal
yang nyata dan tidak nyata, menarik diri dan menghindar dari
orang lain, bingung, kontak mata tidak ada, pandangan mata pada
satu arah tertentu, secara tiba- tiba marah dan menyerang orang
lain.
3) Faktor predisposisi
a) Pernah mengalami gangguan jiwa dimasa lalu
Biasanya klien mengalami gangguan jiwa dimasa lalu, dan
pengobatan yang dilakukan tidak berhasil, atau putus obat.
b) Pengobatan sebelumnya
Biasanya pengobatan pasien sebelumnya tidak berhasil karena
pasien tidak mengonsumsi obat secara teratur dirumah dan
lingkungan yang kadang membuat pasien kambuh dari
penyakinya.
c) Riwayat trauma
- Aniaya fisik
Biasanya pasien pernah mengalami aniaya fisik yaitu
sebagai korban, maupun saksi, tetapi tidak sebagai pelaku.

15
- Aniaya seksual
Biasanya pasien pernah mengalami aniaya seksual yaitu
sebagai korban, maupun saksi, tetapi tidak sebagai pelaku.
- Penolakan
Biasanya pasien pernah mengalami
penolakan/disingkirkan dari sebagai korban yaitu
disingkirkan dari masyrakat
- Kekerasan dalam keluarga
Biasanya pasien pernah mengaami kekerasan dalam
keluarga yaitu sebagai korban, biasanya pasien di pukul
oleh orang terdekat karena ketidaksukaan terhadap pasien.
- Tindakan kriminal
Biasanya pasien tidak pernah melakukan tindakan
kriminal baik sebagai korban, pelaku maupun saksi.
d) Adakah anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
Biasanya ada anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa. Biasanya hubungan pasien dengan keluarga tidak dekat.
e) Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan
Biasanya klien mengalami pengalaman dimasa lalu yang
tidak menyenangkan seperti konflik didalam keluarga,
disingkirkan dari lingkungan, kehilangan/ kegagalan.
4) Fisik
• Tanda- tanda vital
TD : Biasanya meningkat
N : Biasanya kencang
S : Biasanya normal
RR : Biasanya cepat
• Ukuran
TB : Biasanya perkembangan
BB : Biasanya sesuai perkembangan
• Keluhan fisik
Biasanya pasien tidak ada mengeluhkan fisiknya.
5) Psikososial
• Genogram

16
Biasanya dalam keluarga pasien terdapat anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa, mengkaji 3 generasi yang
menggambarkan klien dengan anggota keluarga yang lain. pola
komunikasi yang digunakan biasanya dua arah.

6) Konsep diri
a) Citra tubuh
Biasanya pasien merasa puas pada bagian tubuhnya atau ada
bagian tubuh yang disukai dan ada juga bagian tubuh yang
tidak disukai.
b) Identitas diri
Biasanya pasien menyadari kalau dirinya seoarang perempuan
atau laki-laki.
c) Peran diri
Biasanya dalam keluarga pasien berperan sebagai anak/ orang
tua kakak maupun adik. Biasanya pasien tidak bisa
menjalankan perannya yang sesuai dengan kondisi saat ini
karena sakit yang dididerita.
d) Ideal diri
Biasanya pasien mengatakan ingin cepat sembuh dan segera
pulang sehingga bisa menjalani perannya sebagaimana
mestinya dan masyarakat mau menerima keadaannya saat ini.
e) Harga diri
Biasanya pasien mengatakan malu dengan keadaannya saat ini,
pasien merasa disingkirkan oleh lingkungan tempat pasien
tinggal.
7) Hubungan sosial
a) Orang terdekat
Biasanya orang terdekat pasien adalah salah satu dari anggota
keluarga seperti ayah, ibu, ataupun kakak/adiknya sebagai
tempat mengadu, berbicara, dan meminta bantuan atau
sokongan.
b) Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat
Biasanya selama sakit peran dalam masyarakat pasien tidak

17
ikut serta bahkan tidak mengetahui tentang kegiatan di
lingkungan sekitarnya.
c) Hambatan berhubungan dengan orang lain
Biasanya hambatan dalam berhubungan dengan orang lain
karena tidak ada hubungan antara yang satu dengan yang
lainnya, perasaan takut ditolak.
8) Spiritual
a) Nilai dan keyakinan
Biasanya pasien dengan halusinasinya menyebutkan
agama yang dianutnya dan ada gangguan terhadap nilai dan
keyakinan yaitu biasanya pasien tidak mengikuti kegiatan
agama.
b) Kegiatan ibadah
Biasanya pasien dengan halusinasi menjalankan kegiatan
ibadah dirumah sebelum sakit dan selama sakit biasanya jarang
melakukan kegiatan ibadah.
9) Status mental
a) Penampilan
Biasanya pasien dengan halusinasi berpakaian tidak rapi,
rambut acak-acakan, kancing baju tidak tepat, resleting tidak
dikunci, baju terbalik, baju tidak diganti-ganti, penggunaan
pakaian tidak sesuai.
b) Pembicaraan
Biasanya cara bicara pasien dengan halusinasi adalah
inkoheren (pembicaraan berpindah-pindah dari satu kalimat ke
kalimat lain yang tidak ada kaitannya)
c) Aktivitas motorik
Biasanya keadaan pasien nampak tegang, gelisah, tidak
bergairah saat beraktivitas, lebih senang tidur dan menyendiri.
d) Alam perasaan
Biasanya keadaan pasien tampak seperti sedih, ketakutan,
putus asa, khawatir dan gembira secara berlebihan.
e) Afek
Biasanya afek pasien tidak sesuai dan emosinya tidak sesuai

18
atau bertentangan dengan stimulus yang ada.
f) Interaksi selama wawancara
Biasanya pada saat melakukan wawancara pasien kurang
kooperatif, bicara ngawur, terkadang berbicara sendiri, klien
tampak gelisah, dan sering tidak berkosentrasi saat ditanya.
g) Persepsi
Biasanya pada pasien dengan halusinasi akan mengalami
gangguan persepsi seperti pasien mendengar suara-suara yang
menyuruh klien melakukan sesuatu, melihat bayangan sendiri,
membau busuk seperti bau darah, dan merasa ada serangga
dipermukaan kulit.
h) Proses pikir
Biasanya pada pasien halusinasi akan mengalami flight of
ideas pembicaraan pasien meloncat dari satu topik ke topik
lainnya, masih ada hubungan yang tidak logis dan tidak
sampai pada tujuan
i) Isi pikir
Biasanya pada pasien halusinasi akan mengalami ketakutan
yang patologis/ tidak logis terhadap objek atau situasi tertentu.
j) Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran pasien biasanya pasien mengalami bingung
dan tampak kacau, dan akan mengalami orientasi waktu,
tempat, dan orang
k) Memori
Biasanya pasien tidak mengalami gangguan daya ingat
ganggun jangka pendek dan jangka panjang, pasien biasanya
dapat mengingat kejadian yang lama maupun yang baru
terjadi.
l) Tingkah konsentrasi dan berhitung
Biasanya pasien dengan halusinasi konsentrasinya mudah
dialihkan, perhatian pasien mudah berganti dari satu objek ke
objek lain.
m) Kemampuan penilaian
Biasanya pasien dengan halusinasi tidak ada mengalami

19
gangguan penilaian, biasanya pasien dapat mengambil
keputusan yang sederhana dengan bantuan orang lain. Contoh:
beri kesempatan pada pasien untuk memilih mandi dulu
sebelum makan atau makan dulu sebelum mandi.
n) Daftar tilik diri
Biasanya klien mengingkari penyakit yang dideritanya dan
menyalahkan hal-hal lain diluar dirinya sebagai penyebab
pasien sakit dan ada juga yang menyadarinya dan
mengakhirinya.
10) Kebutuhan pasien pulang
a) Makan
Pada keadaan berat, klien cenderung tidak memperhatikan
dirinya termasuk tidak peduli dengan makan dan tidak
memiliki minat
b) BAB/ BAK
Observasi kemampuan klien untuk BAB/BAK serta
kemampuan klien untuk membersihkan dirinya
c) Mandi
Biasanya klien mandi berulang-ulang atau tidak mandi sama
sekali
d) Berpakaian
Biasanya tidak rapi, tidak sesuai dan tidak diganti-ganti
e) Istirahat/ tidur
Biasanya klien sulit untuk tidur
f) Pemeliharaan kesehatan
Untuk pemeliharaan kesehatan selanjutnya peran keluarga
dan sistem pendukung sangat diperlukan
g) Aktivitas
Biasanya klien sulit untuk mau melakukan aktivitas dirumah.
h) Mekanisme koping
1) Adaptif, Biasanya pasien mampu bicara tetapi pasien
berbicara berbelit-belit dan ngawur
2) Maladaptive, Biasanya pasien suka minum alcohol,
reaksi pasien lambat

20
i) Masalah psikososial dan lingkungan
Biasanya klien mengalami gangguan, masalah dengan
lingkunganyaitu disingkirkan dari lingkungan, kelompok
pekerja, perubahan ekonomi.
j) Pengetahuan
Biasanya pasien halusinasi mengalami gangguan kognitif

k) Aspek medis
Diagnosa medis: biasanya skizofrenia paranoid

2. Daftar Masalah
a. Resiko perilaku kekerasan
b. Harga diri rendah
c. Isolasi osial
d. Gangguan persepsi sensori : Halusinasi
e. Ansietas
f. Koping tidak efektif
g. Kekurangan pengetahuan
h. Distress pasca trauma

3. Pohon Masalah
Resiko Perilaku Kekerasan

Gangguan persepsi sensori : Halusinasi Core Problem

Isolasi sosial
(Sumber, Keliat 2014)

4. Kemungkinan Diagnosa Keperawatan


1) Halusinasi

21
2) Isolasi Sosial
3) Resiko Perilaku Kekesasan

22
INTERVENSI KEPERAWATAN
No Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1 Gangguan Klien mampu: Setelah 1 kali Sp 1 pasien: Membantu klien
 Mengenali pertemuan klien  Identifikasi jenis mengenalkan
persepsi sensoti:
halusinasi yang dapat menyebutkan: halusinasi, isi, tentang apa yang
Halusinasi dialaminya  Identifikasi jenis frekuensi, situasi, sedang ia alami
 Mengontrol halusinasi, isi, dan respon sehingga klien
pendengaran
halusinasi frekuensi, situasi, terhadap mengerti dengan
 Mengikuti dan respon halusinasi keadaannya.
program  Mampu  Latih cara Cara yang diajarkan
pengobatan mengontrol mengontrol perawat yaitu
halusinasi dengan halusinasi dengan mengontrol
cara menghardik. cara menghardik halusinanya dengan
 Masukan ke dalam cara menghardik.
jadwal harian
klien.
2 Setelah 2 kali Sp 2 pasien: Klien mampu
pertemuan klien  Evaluasi jadwal
memperlihatkan
mampu: kegiatan harian
 mengontrol  Latih cara perkembangannya
halusinasinya mengontrol
dengan cara
dengan dengan halusinasi dengan
cara minum obat cara minum obat mengontrol halusinasi
yang benar dan yang benar dan
dengan minum obat
teratur. teratur
 Masukan ke dalam yang benar dan teratur
jadwal kegiatan
sehingga dapat
harian.

23
mengurangi
halusinasinya.
3 Setelah 3 kali Sp 3 pasien: Klien mampu
pertemuan klien  Evaluasi jadwal memperlihatkan
mampu: kegiatan perkembangannya
 Mengontrol  Latih cara dengan cara
halusinasinya mengontrol mengontrol
dengan cara halusinasi dengan halusinasinya
bercakap-cakap. cara bercakap- dengan bercakap-
cakap cakap sehingga
 Masukan ke dalam dapat mengurangi
jadwal kegiatan halusinasinya.
harian.
Setelah 4 kali Sp 4 pasien: Klien mampu
pertemuan klien  Evaluasi jadwal memperlihatkan
mampu: kegiatan perkembangannya
 Mengontrol  Latih cara dengan cara
halusinasinya mengontrol mengontrol
dengan cara halusinasi dengan halusinasinya
aktifitas terjadwal cara aktifitas dengan cara
terjadwal aktifitas terjadwal
 Masukan ke dalam dan
jadwal kegiatan Sehingga dapat
harian meringankan gejala
halusinasinya dan
membantu klien
agar tidak terjadi
halusinasi yang

24
berkelanjutan.
Setelah 1 kali SP1 Keluarga: Keluarga membantu
pertemuan keluarga  Diskusikan masalah klien mengenalkan
dapat menyebutkan: yang dirasakan tentang apa yang
 Keluarga mampu keluarga dalam sedang ia alami
menjelaskan teori merawat pasien sehingga klien
halusinasi  Menjelaskan teori mengerti dengan
 Mampu merawat halusinasi jelaskan keadaannya.
pasien dengan cara merawat Cara yang diajarkan
halusinasi halusinasi keluarga yaitu
 Mampu  Latih cara merawat mengontrol
membantu pasien halusianasi (hardik) halusinanya dengan
mengisi jadwal  Anjurkan cara menghardik.
harian membantu pasien
mengisi jadwal dan
beri pujian.

Setelah 2 kali SP2 Keluarga:


pertemuan keluarga  Evaluasi kegiatan
mampu: mengontrol keluarga dalam
halusinasinya melatih pasien
dengan dengan cara  Jelaskan 6 benar
minum obat yang cara minum obat
benar dan teratur.  Latih cara minum
obat
 Anjurkan
membantu pasien
mengisi dan beri
pujian

25
Setelah 3 kali SP3 Keluarga:
pertemuan keluarga  Evaluasi kegiatan
mampu mengontrol keluarga dalam
halusinasinya melatih pasien
dengan cara  Jelaskan cara
bercakap-cakap. bercakap cakap
 Latih cara bercakap
cakap
 Anjurkan
membantu pasien
mengisi dan beri
pujian

Setelah 4 kali
pertemuan klien
mampu mengontrol
halusinasinya dengan
cara aktifitas
terjadwal

26
5. Implementasi
Merupakan langkah keempat dalam tahap proses keperawatan
dengan melaksanankan berbagai strategi kegiatan (tindakan
keperawatan) yang telah direncanakan dalam tindakan keperawatan
(Nursalam, 2015). Kemampuan yang harus dimiliki oleh perawat pada
tahap implementasi adalah kemampuan komunikasi yang efektif,
kemampuan untuk menciptakan hubungan saling percaya dan saling
bantu, kemampuan melakukan teknik psikomotor, kemampuan
melakukan observasi sistematis, kemampuan memberikan pendidikan
kesehatan, kemampuan advokasi dan kemampuan evaluasi (Keliat,
2011).
6. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada klien (Keliat, 2011). Evaluasi dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikir :
S: Merupakan respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan
yang telah dilaksanakan. Dapat diukur dengan menanyakan
“bagaimana perasaan bapak setelah melatih Latihan menghardik?”

O: Merupakan respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang


telah dilaksanakan. Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku klien
pada saat tindakan dilakukan. Atau menanyakan kembali apa yang telah
dijabarkan atau memberi umpan balik sesuai dengan hasil observasi.
A: Adalah analisis ulang atas data subjektif atau objektif untuk
menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru
atau ada data kontra indikasi dengan masalah yang ada. Dapat pula
membandingkan hasil dengan tujuan.
P: Merupakan perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis
pada respon klien yang terdiri dari tindak lanjut klien dan tindak lanjut
oleh perawat.

27
BAB III
KASUS KELOLAAN
A. Identitas Klien
Nama : Tn. D Tanggal Pengkajian : 22 Desember 2023
Jenis Kelamin : Laki-laki Tanggal Masuk : 14 Desember 2023
Umur : 21 tahun
No. Rekam Medik : 048541
Pendidikan : Tidak sekolah
Pekerjaan : Tidak berkerja
Agama : Islam
Suku Bangsa : Minang
Alamat : Pasaman Barat
Diagnosa Medis : GMP RM (Gangguan Mental Prilaku : Retradasi Mental)

B. Alasan Masuk
Klien gelisah sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, sebelumnya klien
mendapatkan perawatan di RSUD Pasaman Barat selama 3 hari. Klien sering
berbicara sendiri, terawa sendiri dan tiba-tiba marah sendiri. Klien tidak dapat
berbicara sejak kecil, apabila keinginannnya tidak dituruti klien akan mengamuk
dan menjadi tidak terkontrol. Sebelumnya klien beberapa kali mengejar dan
menampar anak-anak yang sedang lewat di jalanan tanpa alasan tertentu. Klien
juga sempat memukul saudaranya. Keluarga sebelumnya sudah mencoba untuk
menenangkan klien namun tidak ada kemajuan dan akhirnya keluarga membawa
klien ke rumah sakit jiwa. Klien mengalami keterbatasan bicara ( tuna wicara)
sejak klien masih kecil.

C. Faktor Predisposisi
1. Gangguan Jiwa Dimasa Lalu :
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekap medis pasien, didapatkan bahwa
saat ini pasien dirawat untuk yang pertama kalinya, belum ada bentuk
pengobatan mental yang didapatkan oleh pasien sebelumnya, baik berupa
perawatan di rumah sakit maupun terapi tradisonal.

28
2. Pengobatan sebelumya :
Pasien belum pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya
3. Trauma
- Aniaya Fisik :
Berdasarkan data yang diperoleh melalui rekam medis di dapatkan data
bahwa klien pernah memukuli saudaranya dan memukuli anak-anak yang
berada di sekitaran rumahnya.
- Aniaya Seksual :
Klien tidak pernah menjadi pelaku maupun korban dari aniaya seksual
sebelumnya.
- Penolakan :
Berdasarkan data yang diperoleh melalui rekam medis dan informasi dari
perawat yang bertugas di ruangan didapatkan data bahwa klien tidak
menerima penolakan di dalam keluarganya, namun klien mendapatkan
penolakan dari lingkungannya yang dikarenakan keterbelakangan mental
yang pasien alami.
- Kekerasan dalam Keluarga :
Berdasarkan data yang diperoleh melalui rekam medis dan informasi dari
perawat yang bertugas di ruangan didapatkan keterangan bahwa klien
tidak pernah menerima kekerasan dalam keluarga
- Tindakan Kriminal :
Berdasarkan data yang diperoleh melalui rekam medis dan informasi dari
perawat yang bertugas di ruangan bahwa klien pernah melakukan
tindakan kriminal seperti memukuli anak kecil yang lewat, memukuli
saudaranya.
Masalah Keperawatan : Perilaku Kekerasan

4. Adakah anggota keluarga yag mengalami gangguan jiwa?


Berdasarkan data yang diperoleh melalui rekam medis dan informasi dari
perawat yang bertugas di ruangan didapatkan keterangan bahwa dalam
keluarga pasien tidak ada anggota keluarga selain pasien yang memiliki
gangguan jiwa atau ketebelakangan mental.
Masalah Keperawatan : Tidak Ada Masalah

29
5. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan?
Berdasarkan keterangan yang didapatkan dari perawat yang bertugas di
ruangan, pasien cukup sering mendapatkan perilaku yang kurang
mengenakkan dari orang lain. Hal ini didasari oleh kondisi kecacatan yang
telah pasien alami sejak lahir. Karena memiliki kekurangan tersebut, pasien
menjadi sulit diterima oleh lingkungan dan sering menjadi bahan ejekan
orang-orang sekitarnya. Hal ini jugalah yag menyebabkan pasien menjadi
cukup sering mengamuk.
Masalah Keperawatan : Respon Pasca Trauma

D. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada 14 Desember 2023 (Data didapatkan dari rekam medis)
1. Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80 x/i
Suhu : 36,6o C
Pernapasan : 17 x/i
2. Ukuran tubuh
Tinggi badan :164 cm
Berat badan :56 kg
IMT : 20.89
3. Keluhan fisik
Terdapat fraktur tertutup pada lengan dan kaki kiri klien. Berdasarkan data
yang diperoleh melalui rekam medis dan informasi dari perawat yang bertugas
di ruangan, fraktur yang dialami klien disebabkan oleh karena klien pernah
mengalami kecelakaan pada saat klien berusia 16 tahun dan tidak
mendapatkan pengobatan secara layak sehingga luka pasien tidak pulih dan
menjadi kecacatan. Berdasarkan observasi yang dilakukan, klien tampak tidak
terganggu dengan kondisi tersebut dan tidak terlihat menahan rasa sakit.
Masalah Keperawatan : tidak ada masalah.

30
E. Psikososial

a. Genogram

Keterangan :

: Laki-laki

: Perempuan

: Pasien

: Meninggal dunia

Dari genogram dapat diketahui bahwa klien Tn. D tinggal serumah dengan kedua
orang tuanya dan 3 orang saudara lainnya, dimana Tn. D ini merupakan anak pertama
dari 4 bersaudara. Tidak ada anggota keluarga lain yang bukan merupakan keluarga inti
yang tinggal serumah dengan klien. Data terkait pola komunikasi keluarga, pola asuh dan
bagaimana pengambilan keputusan dalam keluarga tidak didapatkan, dikarenakan klien
tidak dapat berbicara untuk menjelaskan hal tersebut dan tidak terdapat akses langsung
untuk menanyakan hal tersebut pada keluarga klien.

Masalah Keperawatan : Tidak Ada Masalah


b. Konsep Diri
1) Citra tubuh

31
Presepsi klien terhadap gambaran dirinya tidak terkaji dengan baik
dikarenakan keterbatasann komunikasi dengan klien, serta melalui
kegiatan observasi tidak dapat dinilai bagaimana ideal diri klien selama
proses interaksi.
2) Identitas diri
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan klien tampak tidak memiliki
kepercayaan terhadap dirinya, hal ini dikarenakan klien terlihat seperti
menghindari orang lain dan tidak mengetahui arah tujuan hari-hari yang ia
lalui.
3) Peran
Peran klien dalam keluarga yaitu sebagai anak sulung, berdasarkan hasil
observasi, tugas pemenuhan peran klien dalam keluarga tidak dapat terjalani
dengan baik hal ini terlihat jelas dengan kondisi keterbelakangan mental yang
dialami oleh pasien sejak pasien masih kecil.
4) Ideal diri
Presepsi klien terhadap ideal dirinya tidak dapat terkaji dengan baik dikarenakan
keterbatasann komunikasi dengan klien dan tidak terlihat bagaimana ideal diri
klien selama dilakukannya proses interaksi.
5) Harga diri :
Berdasarkan gerak-gerik dan postur tubuh pasien selama proses interaksi dapat
dikatakan bahwa pasien memiliki harga diri yang rendah. Hal ini tampak jelas
dengan pasien yang takut berinteraksi dengan orang lain, selalu menundukkan
pandangan dan tidak betah saat sedang diajak berkomunikasi.

Masalah Keperawatan : Harga diri rendah

c. Hubungan Sosial
1. Orang terdekat
Orang terdekat yang klien miliki tidak dapat terkaji dengan baik
dikarenakan keterbatasan komunikasi dengan klien dan juga tidak ada
informasi terkait hal tersebut di rekam medis klien.
2. Peran serta dalam kegiatan kelompok/ masyarakat
Pasien tidak tegabung dalam kegiatan sosial apapun, hal ini juga terlihat dengan
situasi klien selama di rumah sakit, dimana klien jarang kooperatif dalam
mengikuti kegiatan kelompok yang ada seperti senam dan TAK.

32
3. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain
Hambatan klien dalam berhubungan dengan orang lain terletak pada kemampuan
klien untuk berkomunikasi. Seperti yang diketahui bahwa pasien tidak dapat berbicara
sejak masih kecil, sehinggi dirinya sulit untuk menyampaikan maksud dan
keinginannya pada orang lain dan kesulitan dalam berinteraksi termasuk
berkomunikasi dengan orang lain.
Masalah Keperawatan : Hambatan Dalam Berhubungan Sosial
d. Spiritual
1) Nilai dan keyakinan
Klien beragama islam, tidak dapat terkaji denga baik apakah ada
keyakinan tertentu yang diyakini oleh klien terhadap kondisi
gangguan jiwa yang selama ini klien alami.
2) Kegiatan ibadah
Pasien kurang aktif dalam melakukan kegiatan keagamaan selama berada/
dirawat di rumah sakit, hal ini dipengaruhi oleh keterbelakangan klien
sehingga klien kurang terpapar informasi terkait kegiatan keagamaan.
Masalah Keperawatan : Tidak Ada Masalah

F. Status Mental

a. Penampilan
Penampilan klien tidak rapi, terlihat kumuh dan tidak terawat. Terkadang
klien tidak dapat mengendalikan air liurnya dan menjadi berserakan. Klien
tidak dapat mandi sendiri, selama di rumah sakit pasien dibantu oleh teman
untuk kegiatan membersihkan diri. Namun klien masih dapat mengenakan
pakaian sendiri walaupun tidak rapi, pasien juga tidak mengenakan alas
kaki.
Masalah Keperawatan : Defisit perawatan diri

b . Pembicaraan
Pasien tidak dapat berbicara sejak dari kecil namun pasien dapat
mendengar. Apabila menginginkan sesuatu, biasanya pasien akan meracau
dan memberi isyarat menggunakan gerakan tangan.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah

33
c. Aktivitas Motorik
Klien tampak tegang selama proses berinteraksi, klien tampak gelisah dan
tidak bisa diam. Klien cenderung membuat gerakan tiba-tiba dan tidak
terkendali.
Masalah Keperawatan : Resiko perilaku kekerasan

d. Afek
Afek klien tidak sesuai, dimana klien menunjukan emosi yang berlawanan
atau bertentangan dengan stimulus yang ada. Seperti saat dilakukan
interaksi dengan klien, klien dapat dengan tiba-tiba memberontak dan
mencoba untuk menarik lawan bicara.
Masalah Keperawatan : Resiko perilaku kekerasan

e. Alam Perasaan
Masalah terhadap alam perasaan klien tidak dapat terkaji dengan baik, dan
tidak dapat dinilai melalui observasi selama interaksi dengan klien.
Masalah Keperawatan : Tidak dikaji

f. Interaksi Selama Wawancara


Selama interaksi kontak mata kurang, klien tidak mau menatap lawan
jenis. Klien tiba-tiba saja pergi dan meninggalkan perawat
Masalah Keperawatan :

g. Persepsi
Dari data rekam medis yang didapatkan bahwa klien terkadang bicara dan
teriak-teriak sendiri, tampak klien sering kali menutup telinga nya seperti
ada mendengarkan sesuatu. Klien menutup telinganya di setiap waktu dan
terkadang mondar mandir.
Masalah Keperawatan : Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
Pendengaran

h. Tingkat Kesadaran

34
Data yang didapatkan dari rekam medis klien tampak bingung, tidak bisa
orientasi waktu, tempat dan orang. Klien juga sering kali melakukan
pergerakan berulang-ulang seperti menutup telingga dan mendorong-
dorong pintu.
Masalah Keperawatan : Gangguan Proses Pikir

G. Kebutuhan Perencanaan
a. Makan
Klien tampak makan sendiri dengan porsi sedang, klien bisa menghabiskan
makannya. Klien makan 3x/hari, klien tidak bisa membersihkan alat
makan nya sendiri dan selama di rumah sakit klien di bantu oleh teman
untuk membereskan alat makannya
b. BAB/BAK
Klien dapat BAB/BAK mandiri ke wc
c. Mandi
Klien mandi 2x/hari, klien mandi dibantu oleh temannya, klien jarang
gosok gigi
d. Berpakaian/berhias
Klien tidak bisa berhias, tapi untuk berpakain klien bisa sendiri dalam
memaki bajunya
e. Istirahat dan Tidur
Didapatkan data dalam rekam medis bahwa klien sering terbangun di
malam hari dan meracau sendiri
f. Penggunaan Obat
Klien selama di rumah sakit diingatkan dan diawasi dalam minum obat

H. Mekanisme Koping
a. Koping Adaptif
Didapatkan data dari rekam medis klien tidak bisa memecahkan
masalahnya sendiri
b. Koping Maladaptif
Berdasarkan hasil observasi, apabila sedang mendapati situasi yang tidak
mengenakkan dan sulit, klien akan memberontak dan mencoba menunjukkan

35
keselannya pada orang lain.
Masalah Kesehatan :Pola Koping Tidak Efektif

I. Masalah Psikososial dan Lingkungan


a. Masalah dengan dukungan kelompok :
Data didapatkan dari rekam medis bahwa klien tidak diterima dengan baik
oleh kelompok masyarakat dikarenakan kekurangan yang dimilki oleh
pasien.
b . Masalah berhubungan dengan lingkungan :
Data didapatkan dari rekam medis bahwa klien terlihat memiliki
kepercayaan diri yang rendah yang dapat disebabkan dengan kondisi
kekurangan yang ia miliki dan penolakan yang diterima dari kelompok
masyarakat.
c. Masalah dengan pendidikan :
Data didapatkan dari rekam medis bahwa klien tidak pernah mendapatkan
pendidikan formal sejak kecil.
d. Masalah dengan pekerjaan :
Data didapatkan dari rekam medis bahwa pasien tidak pernah memilki
pekerjaan formal maupun kegiatan profesional tertentu.
e. Masalah dengan perumahan:
Data didapatkan dari rekam medis bahwa pasien tinggal bersama orang tua
dan saudara-saudaranya.
f. Masalah dengan ekonomi :
Data didapatkan dari rekam medis bahwa pasien berasal dari keluarga
dengan ekonomi yang menengah ke bawah. Hal ini jugalah yang menjadi
salah satu faktor mengapa pasien terlambat mendapatkan penanganan medis
terkait kondisi yang ia alami.
g. Masalah dengan pelayanan Kesehatan :
Data didapatkan dari rekam medis bahwa pasien mampu mencari pelayanan
kesehatan dengan didampingi oleh keluarga dengan memanfaatkan asuransi
kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah.
Masalah Keperawatan : Gangguan konsep diri dan perilaku
mencari bantuan Kesehatan

36
J. Pengetahuan
Tingkat intelektual pasien memang terlihat di bawah rata-rata orang
kebanyakan, termasuk jika dibandingkan dengan pasien lain yang berada di
ruangan. Pasien dapat dikatakan tidak mengetahui terkait penyakit yang
dialaminya termasuk faktor apa yang menyebabkan penyakit tersebut muncul.
Masalah Keperawatan : Defisit pengetahuan

K. Aspek Medis
Diagnostik medis : GMP RM (Gangguan Mental Prilaku : Retradasi Mental)
Terapi medis :
- Risperidone : 2 x 2 mg
- THP : 2x2 mg
- Clozapine : 1 x 50 mg
- Lorazepam : 1x1 mg

37
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dilakukan tindakan asuhan halusinasi pada Tn.D dengan skizofrenia
campuran di ruang Cendrawasih RSJ Prof. HB Saanin Padang dari tanggal 22
Desember 2023 hingga 26 Desember 2023, maka simpulan yang diperoleh
yaitu :
1. Dari hasil pengkajian yang dilakukan pada Tn. D diperoleh data bahwa
klien dengan Pasien sering berbicara sendiri, terawa sendiri dan tiba-tiba
marah sendiri. Pasien tidak dapat berbicara sejak kecil, apabila
keinginannnya tidak dituruti pasien akan mengamuk dan menjadi tidak
terkontrol. Sebelumnya pasien beberapa kali mengejar dan menampar anak-
anak yang sedang lewat di jalanan tanpa alasan tertentu. Pasien juga sempat
memukul saudaranya. Keluarga sebelumnya sudah mencoba untuk
menenangkan pasien namun tidak ada kemajuan dan akhirnya keluarga
membawa klien ke rumah sakit jiwa. Klien mengalami keterbatasan bicara
dari kecil.
2. Diagnosa prioritas yang muncul pada Tn. GH adalah halusinasi
3. Perencanaan tindakan yang disusun menggunakan Strategi pelaksanaan
(SP) yang meliputi 4 SP pasien dan 4 SP keluarga (Fitria 2009).
4. Tindakan yang dilakukan pada Tn. D sudah sesuai dengan strategi
pelaksaanaan, yaitu identifikasi halusinasi dan latihan menghardik (SP 1),
latihan mengontrol halusinasi dengan minum obat (SP 2), Latihan
mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap (SP 3), latihan mengontrol
halusinasi dengan melakukan kegiatan harian (SP 4).
5. Evaluasi hasil asuhan keperawatan pada Tn. D adalah pasien mampu
melaksanakan 4 SP yang diberikan dan dilakukan dalam kegiatan sehari-
hari.
B. Saran
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kepada Tn. D, pada sub bab ini penulis
memberikan saran kepada penulis, pasien, dan keluarga, Rumah Sakit, dan Institusi

38
pendidikan.
1. Penulis
Setelah melakukan tindakan keperawatan diharapkan penulis mampu
meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan dalam merawat pasien dengan
halusinasi di masa yang akan datang.
2. Pasien dan Keluarga
Pasien mampu terbebas dari halusinasi. Kemudian bagi keluarga diharapkan
mampu memberikan dukungan positif serta motivasi bagi pasien sehingga
pasien merasa lebih aman dan nyaman.
3. Rumah Sakit
Rumah sakit sebagai pemberi pelayanan kesehatan diharapkan bisa
melakukan pengobatan yang sesuai dengan program terapi serta
menggunakan sentuhan terapeutik.
4. Institusi pendidikan
Institusi pendidikan diharapkan mampu meningkatkan keilmuan dan kajian dalam
asuhan keperawatan jiwa, termasuk RSJ Prof. HB Saaniin Padang sebagai lahan
praktik bagi mahasiswa kesehatan salah satunya adalah pelayanan kesehatan jiwa

39
DAFTAR PUSTAKA

Afnuhazi, Ridhyalla. 2015. Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan Jiwa.


Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Dalami E, dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Jakarta:
CV. Trans Info Media.
Damaiyanti, Iskandar. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Cetakan Kedua.Bandung:
PT. Refika Adimata
Direja, dkk. 2011. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Jiwa. Jogjakarta:
Trans Info Media

Keliat, Budi Ana. 2014. Proses Keperawatan Jiwa. EGC: Jakarta

Keliat, Budi A, dkk (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN


(Basic Couse). Jakarta : EGC

Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori dan Aplikasi). Yogyakarta.

Pardede, J. A., Silitonga, E., & Laia, G. E. H. (2020). The Effects of Cognitive
Therapy on Changes in Symptoms of Hallucinations in Schizophrenic
Prabowo, Eko. (2014). Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan. Yogyakarta:
Nuha Medika
Riskesdas.2018. Data Riset Kesehatan Dasar Jiwa. Jakarta

Trimeilia. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Halusinasi. Jakarta Timur: CV Trans


Info Media

Putri, V. S., & Trimusarofah, T. (2018). Pengaruh Penerapan Strategi Pelaksanaan


Keluarga Terhadap Kemampuan Keluarga Merawat Pasien Halusinasi Di Kota
Jambi Tahun 2017. Jurnal Akademika Baiturrahim Jambi, 7(1), 17.
https://doi.org/10.36565/jab.v7i1.57

Yosep, H.Iyus., T. S. (2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. PT Refika Aditama


Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba

40
Medika.
Landra, I. K. G., & Anggelina, K. D. I. (2022). Skizofrenia Paranoid Paranoid
Schizophrenia. Ganesha Medicina Journal, 2(1), 66–71.
Yuluci, H. N., Mita, N., & Ibrahim, A. (2016). Karakteristik dan Pola Pengobatan Pasien
Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda. April,
29–34. https://doi.org/10.25026/mpc.v3i1.64
Direja., A. H. S., Ningrum., T. P., & .E, E. (2021). Hubungan Harga Diri Dengan Kejadian
Skizofrenia Pada Pasien Yang Dirawat Dirumah Sakit Khusus jiwa soepraptop
Bengkulu. Info Kesehatan, 11(2), 413–420.

41

Anda mungkin juga menyukai