Anda di halaman 1dari 3

HASIL PENGAMATAN

Sitoplasma
a

Gambar 1 Protozoa usus katak dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin


(perbesaran 10x10)

Sitoplasma
a

Gambar 2 Protozoa usus rayap dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin


(perbesaran 10x10)
PEMBAHASAN
Metode sediaan apus (smear) digunakan untuk pembuatan sediaan organ dan jaringan
yang sel-selnya mudah terlepas. Misalnya pembuatan sediaan apus otak, darah dan protozoa.
Proses pembuatan sediaan apus protozoa dan otak dimulai dari fiksasi, pewarnaan, dehidrasi,
penjernihan dengan xylol, kemudian perekatan kegelas obyek menggunakan entellan. Preparat
apusan darah dibuat setipis mungkin agar leukosit dan eritrosit dapat diamati dengan jelas dan sel
tidak menumpuk (Mescher 2012).
Fiksasi merupakan langkah dasar di balik studi patologi dan sangat penting untuk
mencegah autolisis dan degradasi jaringan serta komponen jaringan sehingga dapat diamati
dengan baik secara atonomis dan mikroskopis (Howat and Wilson 2014). Fiksatif yang
digunakan pada praktikum sediaan protozoa dan otak yaitu alcohol 70%. Menurut Musyarifah
dan Salmiah (2018) alkohol dapat mengganti ikatan air pada jaringan sehingga menganggu
ikatan hidropobik dan hydrogen kemudian mengekspos bagian hidrofobik internal dari protein
dan mengganggu struktur tersiernya beserta solubilitas di air. Apusan darah menggunakan
metanol sebagai larutan fiksatif.
Xylol berfungsi sebagai penjernih paraffin sebelum proses pewarnaan agar hasil sediaan
apusan didapat lebih jelas. Xylol memiliki indeks refraksi tinggi serta cepat menarik hasil
alkohol (Sumanto 2014). Hal tersebut didukung oleh Kandyala et al.(2010) yang menyatakan
bahwa xylol memiliki sifat pelarut yang tinggi sehingga perpindahan alkohol dapat
meningkatkan infiltrasi paraffin. Tahap terakhir dalam pembuatan sediaan apus adalalah
perakatan entellan pada kaca obyek (Iswara dan Nuroini 2017).
Pewarnaan adalah proses pemberian warna pada jaringan yang telah disayat yang
bertujuan memudahkan dalam pengamatan dengan mikroskop. Metode sediaan apus ada yang
menggunakan pewarna hematoksilin dan eosin serta pewarna giemsa. Penggunaanya tergantung
dari bahan yang akan digunakan sebagai sediaan apus. Pewarnaan Hematoksilin berfungsi
mewarnai inti sel dan memberikan warna biru sedangkan pewarna eosin mewarnai sitoplasma
dan kolagen menjadi merah muda. Prinsip pewarnaan hematoksilin yaitu mewarnai unsur
basofilik jaringan serta membuat inti dan struktur sel yang bersifat asam menjadi biru. Sifat asam
dari inti akan menarik zat/larutan yang bersifat basa akibatnya inti bewarna biru dari zat
hematoksilin. Berbeda dengan pewarnaan hematoksilin, Eosin merupakan pewarna yang bersifat
asam. Sifat asam dari eosin akan ditarik oleh sitoplasma yang bersifat basa sehingga sitoplasma
berwarna merah (Junqueira dan Carneiro 2005). Pewarna giemsa sebagai pewarna yang umum
digunakan dalam pembuatan sediaan apus, agar sediaan terlihat lebih jelas. Pewarnaan ini
sering disebut juga pewarnaan Romanowski. Metode pewarnaan ini banyak dipakai
untuk mempelajari morfologi darah, sel-sel sumsum dan juga untuk identifikasi parasit- parasit
darah misalnya dari jenis protozoa. Pewarna giemsa ini memberikan warna biru (Mescher 2012).
Hasil pewarnaan hematoksilin dan eosin yang dilakukan berhasil mewarnai protozoa
pada usus katak dan usus rayap. Keberhasilan ini dibuktikan dengan adanya bulatan lonjong
yang berwarna merah. Bulatan merah tersebut merupakan protozoa yang telah terwarnai oleh
pewarnaan eosin. Pewarnaan eosin mewarnai sitoplasma dari protozoa tersebut. Pewarnaan
hematoksilin belum mampu mewarnai inti sel. Hal ini mungkin terjadi karena kurang lama dalam
pewarnaan. Protozoa pada usus katak ditemukan terjepit oleh gelas objek sehingga ukurannya
melebar. Jenis protozoa usus katak yang ditemukan yaitu dari genus Balantidium.
DAFTAR PUSTAKA

Howat WJ, Wilson BA. 2014. Tissue fixation and the effect of molecular fixatives on
downstream staining procedures. Methods Elsevier Inc. 70(1): 9-12.
Iswara A, Nuroini F. 2017. Variasi konsentrasi KOH dan waktu clearing terhadap kualitas
preparat awetan Pediculus humanus capitis. Di dalam : Implementasi Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat Untuk Peningkatan Kekayaan Intelektual. Seminar Nasional
Universitas Muhammadiyah Semarang; 2017 September 30, Semarang, Indonesia.
Semarang (ID): LPPM UNIMUS. hlm 60-63.
Junqueira LC, Carneiro J. 2005. Basic Histology 11th Ed. New York (US): The McGraw-Hill
Companies Inc.
Kandyala R, Raghavendra SP, Rahasekharan ST. 2010. Xylene: an overview of its health
hazards and preventive measures. J Oral Maxillofac Pathol. 14(1):1–5.
Mescher AL. 2012. Histologi Dasar. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC.
Musyarifah Z, Salmiah A. 2018. Proses fiksasi pada pemeriksaan histopatologik. Jurnal
Kesehatan Andalas. 7(3):443-453.
Sumanto D. 2014. Belajar Sitohistoteknologi Untuk Pemula. Semarang (ID): IAKIS.

Anda mungkin juga menyukai