Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sediaan apus darah tepi merupakan pemeriksaan dengan teknik mikroskopik
untuk mengamati morfologi sel darah (Nugraha, 2015). Seperti gambaran darah tepi,
jumlah eritrosit, indeks eritrosit, jumlah retikulosit dan trombosit. Sediaan apus darah
tepi ini meliputi 2 bagian pemeriksaan yaitu pemeriksaan hitung jenis sel darah dan
gambaran sel darah dan unsur- unsur lain (Budiwiyono I, 2002).
Pembuatan sediaan apusan darah perlu juga dilakukan fiksasi dan pewarnaan.
Fiksasi adalah Fiksasi adalah langkah dasar di balik studi patologi dan sangat penting
untuk mencegah autolisis dan degradasi jaringan serta komponen jaringan sehingga
mereka dapat diamati baik secara anatomis dan mikroskopis. Sedangkan pewarnaan
adalah suatu proses dimana untuk memudahkan dalam melihat berbagai jenis sel dan
juga dalam mengevaluasi morfologi dari sel-sel tersebut (Rodak, et al., 2007)
Dalam pengecatan giemsa, sebelumnya sediaan apus darah difiksasi
menggunakan methanol absolute. Fiksasi harus segera dilakukan setelah sediaan
dikering anginkan karena apabila tidak dilakukan fiksasi maka akan memberikan latar
belakang biru. Fiksasi menggunakan methanol absolute selama 5 menit berfungsi
untuk membuka dinding sel eritrosit. Methanol jika didiamkan terlalu lama dalam
udara akan menguap dan mengandung air sehingga akan mempengaruhi morfologi
eritrosit. Fiksasi methanol absolute berfungsi agar apusan darah dapat menyerap cat
dengan sempurna, juga dapat melekatkan apusan darah pada obyek glass sehingga
apusan darah tidak mengelupas serta menghentikan proses metabolisme tanpa
mengubah keadaan (struktur) sebenarnya (Houwen, Berend 2000).
Larutan fiksasi yang tidak baik dapat menyebabkan perubahan morfologi sel
dan perlekatan yang tidak baik. Ini dapat terjadi apabila larutan fiksasi yang
digunakan methanol yang tidak absolute karena telah menguap dan dapat mengubah
konsentrasi dari methanol tersebut yang dapat menyebabkan fiksasi yang tidak
sempurna (Masters, S. B. 2002).
B. Tujuan
Untuk memudahkan melihat berbagai jenis sel dalam apusan darah.
BAB II

METODE

A. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu spuit 3cc, tourniquet, botol vial,
object glass, cover glass, bak pengecatan, pipet dan mikroskop.
B. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu darah vena dengan antikoagulant
EDTA, cat giemsa, dan methanol.
C. Prosedur
1. Dilakukan sampling vena sebanyak 3cc.
2. Dibuat hapusan darah tipis.
3. Difiksasi selama 15 menit.
4. Setelah difiksasi diberi larutan methanol, inkubasi selama 5 menit dan 15 menit.
5. Methanol dibuang kemudian teteskan cat giemsa dan inkubasi selama 1 menit.
6. Setelah itu bilas dengan air.
7. Keringkan.
BAB III

HASIL dan PEMBAHASAN

A. HASIL

No Waktu Waktu Hasil Gambar


fiksasi methanol
(menit) (menit)
1 15 5 Dilihat secara mikroskopis
terlihat sel darah merah sebagian
besar bentuk normal, tidak lisis
dan masih ituh.

15 Dilihat secara mikroskopis


terlihat morfologi sel darah
merah sebagian berbentuk
normal dan sebagian tidak
normal. Ada beberapa yang
sudah lisis dan tidak utuh.

B. PEMBAHASAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan hasil pada apusan darah yang
difiksasi selama 15 menit dan dilakukan penambahan methanol selama 5 menit menghasilkan
sel darah merah yang sebagian besar berbentuk normal, tidak lisis dan masih utuh. Sedangkan
pada apusan darah yang difiksasi selama 15 menit dan diberi methanol selama 15 menit
menghasilkan morfologi sel darah merah sebagian berbentuk normal dan sebagian tidak
normal. Ada beberapa yang sudah lisis dan tidak utuh. Fiksasi methanol berfungsi agar
apusan darah dapat menyerap cat dengan sempurna, juga dapat melekatka apusan pada object
glass ssehingga apusan darah tidak mengelupas serta menghentikan proses metabolisme tanpa
mengubah keadaan (struktur) sebenarnya. Larutan fiksasi yang tidak baik dapat menyebabkan
perubahan morfologi sel dan perlekatan yang tidak baik (Rudyatmi, 2011).
Fiksasi bertujuan untuk mencegah atau menahan proses degeneratif yang dimulai
segera setelah jaringan kehilangan pasokan darah. Proses autolisis akan menyebabkan
jaringan dicerna dengan enzim intraseluler yang dilepaskan ketika membran organel pecah.
Salah satu proses yang harus dicegah adalah bakteri pengurai atau pembusukan yang
disebabkan oleh mikroorganisme yang mungkin sudah ada dalam spesimen. Kehilangan dan
difusi zat terlarut harus dihindari sebisa mungkin dengan cara presipitasi atau koagulasi atau
dengan melakukan cross-linking dengan komponen struktural tidak larut lainnya. Jaringan
harus sebagian besar terlindungi dari efek buruk pengolahan jaringan termasuk infiltrasi
dengan lilin panas, tapi yang paling penting, jaringan harus mempertahankan reaktivitas
untuk pewarnaan dan reagen lainnya termasuk antibodi dan probe asamnukleat.
Sediaan apus darah tepi merupakan pemeriksaan dengan teknik mikroskopis untuk
mengamati morfologi sel darah bahkan komponen lain yang dapat memberikan informasi
yang cukup banyak dan bermakna terhadap keadaan hematologik seseorang (Nugraha G,
2015).
Di Indonesia, pewarnaan yang umum digunakan ialah pewarnaan Giemsa sebab
Giemsa lebih tahan lama dalam iklim tropis. Beberapa klinik juga menggunakan pewarna
Wright dalam mewarnai apusan darah tepi. Terkadang pewarnaan Giemsa juga
dikombinasikan dengan Wright, dimana diharapkan kelebihan dari tiap-tiap zat warna
Giemsa dan Wright bisa didapatkan dan akan menjadikan sediaan apus darah tepi lebih jelas
terlihat secara mikroskopis dan jadi lebih tahan lama (Riswanto, 2013 ; Gandasoebrata, 2007)
Sediaan apus darah dilakukan pewarnaan giemsa atau wright sehinnga sel terwarnai,
agar mudah dibedakan dan dapat terlihat lebih jelas. Pewarnaan giemsa digunakan untuk
membedakan inti sel dan morfologi sitoplasma dari sel darah merah, sel darah putih,
trombosit dan parasit yang ada didalam darah. Sel mewarnai dirinya dengan pewarna netral
atau campuran pewarna asam dan basa serta akan tampak ungu. Granula pada sel yang
bersifat basa akan menyerap pewarna yang bersifat asam (eosin) dan kelihatan merah.
Garanula pada sel yang bersifat asam akan menyerap pewarna yang bersifat basa (azure B)
dan akan berwarna biru (Irianto, 2004).
Dalam menilai kualitas apus darah tepi menggunakan pewarnaan Giemsa, Wright, dan
kombinasi Wright-Giemsa digunakan penilaian terhadap morfologi eosinofil, karena eosinofil
memiliki ciri yang khas, jumlahnya cukup banyak dan mudah diamati.
Kriteria sediaan yang baik :
a) Sediaan tidak melebar sampai pinggir kaca objek, panjangnya 1⁄2 sampai 2⁄3
panjang kaca.
b) Harus ada bagian yang cukup tipis pada sediaan untuk diperiksa, pada bagian itu
eritrosit terletak bedekatan tanpa bertumpukan dan tidak menyusun gumpalan atau
rouleaux.
c) Pinggir sediaan itu rata dan sediaan tidak boleh berlobang-lobang atau bergaris-garis.
d) Penyebaran leukosit tidak boleh buruk, laukosit tidak boleh berhimpitan pada pinggir-
pinggir atau ujung-ujung sediaan (Subrata, 2007).
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa, lamanya
fiksasi dapat mempengaruhi bentuk morfologi sel darah merah. Dimana pada fiksasi
15 menit menghasilkan morfologi sel darah merah yang sebagian besar masih
berbentuk normal dan sebagian kecil berbentuk abnormal.
B. Saran
Pada praktikum yang telah di lakukan di saran kan agar dalam membuat preparat
darah harus di lakukan secara hati-hati untuk menghasilkan preparat yang baik dan
jelas, sebaiknya pada waktu melakukan pengapusan di usahakan setipis mungkin dan
harus menggunakan ketelitian dan kesabaran agar mendapatkan hasil yang
memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA

Rodak, B.F., George, A. F, and Kathryn, D. 2007. Hematology: Clinical Principles and
Applications. Sanders Elsevier. USA.

Budiwiyono, I. 2002. Prinsip pemeriksaan preparat hapus darah tepi. FK UNDIP. Semarang

Nugraha, G. 2015. Panduan pemeriksaan laboratorium hematologi dasar. Trans info media
Jakarta.

Rudyatmi, E. 2011. Bahan Ajar Mikroteknik. Semarang : jurusan Biologi FMIPA

UNNES.

Irianto, K. 2004. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis. Bandung.

Riswanto. 2013. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi. Alfamedika dan Kanal Medika.


Yogyakarta.

Gandasoebrata. 2007. Penuntun Laboratorium. Jakarta : Dian Rakyat.

Houwen, Berend. 2000. Blood Film Preparation and Staining Procedures. California :

Loma Linda University School of medicine

Masters, S. B. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik katzing: alkohol. Jakarta : Salemba
Medika.

Koko Putro Pamungkas. 2014. Gambaran Morfologi erytrosit dengan Perbandingan lama
Fiksasi. Universitas Muhammadiyah Semarang

Ramadhani, Agus. 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Nuha


Medika.

Zilvanhisna E. F. 2017. Klasifikasi Trombosit Pada Citra Hapusan Darah Tepi Berdasarkan
Gray Level Co-Occurrence Matrix Menggunakan Backpropagation. Institut Teknologi
Sepuluh Nopember. Surabaya
LAMPIRAN
LINK VIDIO :

Anda mungkin juga menyukai