Anda di halaman 1dari 102

HUJAN KESEPIAN

dan cerita-cerita lainnya


Undang-Undang Republik Indonesia

No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

Pasal 2

1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana

Pasal 72

1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling bayak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual


kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ii
HUJAN KESEPIAN
dan cerita-cerita lainnya

Ridwan Khalifatulloh

2022
Hujan Kesepian
dan cerita-cerita lainnya
@Ridwan Khalifatulloh

viii + 90 hlm; 14 x 21 cm
ISBN

Penyelia naskah
Ridwan Khalifatulloh
Ilustrasi Cover
A. Rouv
Setting
Ridwan Khalifatulloh

I Judul II Ridwan, Khalifatulloh III Ridwan, Khalifatulloh

Copyright @ 2022
Hak cipta dilindungi undang-undang
All right reserved

Penerbit
DiKSi Publisher
Rt 03/Rw 06, Gadingan, Bojong,
Mungkid, Magelang 56511

iv
PENGANTAR

Buku ini merupakan terbitan ulang sekaligus revisi dari


buku kumpulan cerpen “Hujan Sendirian dan lain-lain cerita
pendek” yang diterbitkan pada tahun 2014 oleh penerbit
Garudhawaca, Yogyakarta; dengan mengeliminir 5 cerpen dan
menambahkan 1 cerpen baru, sehingga total jumlah cerpen
dalam buku ini adalah 9 buah. Pengeliminasian jumlah cerpen
dari buku lama tersebut dilandasi oleh penilaian ulang yang
menghasilkan kesimpulan bahwa 5 cerpen yang dieliminasi
tersebut kurang memenuhi standar teknis dan estetika sebuah
cerpen. Hal ini sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab
penulis dalam upayanya mendekatkan karya kepada standar
estetika sastra yang dipahami penulis seiring dengan
perkembangannya mengenal, mempelajari, dan memahami
karya sastra, khususnya cerpen.

Penulis.

v
vi
Daftar Isi

Pengantar v

Sayatan Tanda Cinta 1


Pertemuan Penghabisan 17
Dalam Penjara Rumah Tangga 25
Pulang Melalui Samar Ingatan 31
Tiga Perbandingan yang Sepadan 45
Dongeng Apel Adam 51
Mawar Sepanjang Jalan 61
Seorang Pemuda dan Anjingnya 73
Hujan Kesepian 83

vii
viii
Sayatan Tanda Cinta

SAYA memegang lenganmu, dan bertanya, "Ini kenapa,


sayang?" Kamu ceritakan dengan sedikit senyum kecut itu
bahwa suamimu marah-marah, lalu memberimu tamparan,
pukulan, dan tendangan. Kamu marah dan tertekan, tapi
tak bisa berbuat apa-apa selain mengambil pecahan kaca
dan melukai lenganmu sendiri.
"Ini adalah sayatan tanda cinta." Dan tetap saja
kata itu yang kamu gumamkan.
Kamu memang perempuan yang begitu bangga
dengan luka-lukamu. Terang itu membikin saya cemburu.
Saya pernah tanya, kenapa? Jawabnya adalah karena kata
yang begitu sulit saya mengerti sampai saat ini.
“Kamu memang tak akan mengerti,” katamu.
“Mengapa begitu?”
“Karena kamu tak tahu bahwa mencinta itu begitu
mengasyikkan.”
“Seberapa mengasyikkankah dibanding dengan
bercinta?”
“Bercinta cuma kegiatan tukar-menukar cairan
saja. Dan mencinta sungguh lebih dari itu.”
“Seperti apa itu tepatnya?”
“Semacam nilai moral yang paling moral. Bahwa
kamu peduli dengan sesuatu, kamu begitu setia padanya,
dan kamu berani menempuh semua resiko untuk itu.”

1
“Bahwa pukulan dan tamparan adalah bagian dari
nilai moral? Bagian dari kenikmatan mencinta?”
“Kamu belum utuh mengertinya. Kamu sendiri tak
tahu kapan kamu mulai suka sama saya.”
Kamu beranjak memunguti baju dan pakaian
dalam yang berserak di lantai kamar saya, kemudian
mengenakannya satu per satu. Saya masih di ranjang. Saya
tarik selimut biru yang tak lepas dari aroma tubuh kamu.
Saya katupkan ke tubuh saya yang telanjang dan telentang.
Saya pandangi dinding kamar putih yang agak buram
karena lampu kamar yang padam kamu matikan itu; tak
ada apa-apa, tak nampak gurat wajah sesiapa. Segala
kecamuk dan pengelamunan mulai menggerayangi saya.
Saya jadi membayangkan hari-hari sepasang suami
isteri yang penuh dengan hal-hal kasar dan tetek-bengek
kebodohan. Mengapa tak diisi saja dengan kegiatan-
kegiatan mencerahkan semacam menonton film,
mendiskusikan buku, mengunjungi panti-panti, berkebun,
atau tamasya? Jangan-jangan hal-hal semacam itu juga
terseret-seret sampai ke ranjang? Saya jadi ngeri
membayangkannya. Bagaimana kalian hendak
membangunkan masa depan yang gilang-gemilang?
Bagaimana kalian bisa memperanakkan bocah-bocah
cemerlang? Apa yang membuat kalian terus betah
mempertahankan rumah tangga penuh kebodohan itu?
Mencintakah, seperti katamu? Apakah mencinta
mengamini tumbuhkembangnya reranting kebodohan?
Kamu masih tenang saja ketika acara berpakaian
yang luar dan yang dalam itu usai kamu lakukan.
Kemudian kamu ikut rebahan di sisi saya.

2
“Suami saya selalu minta maaf sehabis memukuli
saya. Suami saya selalu berjanji tak akan mengulanginya
lagi.”
“Naif sekali.”
“Yang kita lakukan selama ini juga naif.”
“Maksud kamu?”
“Kamu selalu berlebihan meniup-niup
pengelamunan kamu tentang saya. Makanya kamu
kebanyakan selalu melayang-layang saja. Mungkin
kebenaran tentang kamu adalah bahwa kamu itu memang
lelaki sepi yang naif sekali.”
“Saya memang lelaki sepi. Itu kamu tahu. Tapi
yang paling naif tentunya adalah kamu; perempuan kurang
ajar yang telah menjahati hati saya dengan kebohongan-
kebohongan nyata.”
“Menjahati hati kamu?” Kamu menengok ke arah
saya.
“Betul sekali.”
“Mengapa bisa begitu?”
“Mulanya adalah senyum tiga per empat yang
kamu sodorkan itu. Senyum yang saya artikan sebagai
ajakan kebertemuan. Dan kamu pandai memanfaatkan
itu.”
“Apa pula itu?”
“Intensitas kebertemuan di waktu-waktu
selanjutnya menumbuhkan semacam perasaan tak ingin
kehilangan di hati saya. Itu artinya saya mulai terlarut.”
“Lalu kamu mulai suka sama saya?”
“Entahlah.”
“Baiklah. Anggap saja bahwa kamu memang suka

3
sama saya.”
“Mungkin.”
“Kapan itu tepatnya?” Sedikit bersemangat, kamu
rebahan miring menghadap saya. Saya cuma diam.
"Kamu selalu diam bila saya tanya kamu seperti
itu. Dan kamu kemudian selalu menuduh saya sebagai
pembohong.”
“Banyak kebohongan yang kamu beri sama saya.
Seperti kebohongan bahwa awalnya kamu tak mengaku
kalau kamu telah bersuami, meski sekarang ini saya sudah
bisa menerimanya. Dan yang paling menyakitkan bagi
saya adalah kekhawatiran saya bahwa kamu sebetulnya
tak pernah menikmati kegiatan bercinta yang selama ini
saya dan kamu lakukan bersama. Itu membikin saya
merasa rendah diri. Bahwa ternyata, selama ini saya cuma
pandai menyenangkan diri sendiri dengan pengelamunan
yang berlebihan. Dan kamu menganggap bahwa kegiatan
itu cuma sekedar kegiatan tukar-menukar cairan saja. Apa
mungkin karena kamu selalu merindukan pukulan,
tamparan, dan hal-hal kasar serta kebodohan-kebodohan
lain lagi untuk melengkapi kegiatan tukar-menukar cairan
itu dari saya? Tentu saja kamu tak akan pernah
mendapatkannya.”
“Plak.” Satu tamparan manis dari kamu. Lalu
kamu palingkan wajah kamu.
“Betulkah itu? Bahwa kamu adalah korban
kesekian dari lelaki kasar masokis? Bahwa kamu amat
sangat menikmatinya?”
“Plak!” Satu tamparan lagi.
Dan kamu menangis sendiri. Terus menangis

4
begitu bersama hujan pertama musim penghujan yang
datang lebih cepat dari biasanya. Airnya yang tumpah dari
keluasan langit memukuli atap rumah, dedaunan, dan
tanah, meruapkan segala gerah. Betapa uap itu terus
mengepul, tapi tak kunjung tuntas nuju langit. Ia tertahan
dingin yang mulai menguasai udara. Dingin yang pelan
mulai dan terus melingkupi kamar saya juga. Dingin yang
mulai membekukan kita berdua. Jadi tak ada kata sudah.
Hanya sunyi saja yang menyisa antara kamu dan saya.
Hanya pandang kosong saja yang nampak di wajah kamu
kemudian, ketika tangis kamu reda dikalahkan hujan yang
datang terlalu tergesa itu. Cuma tatap nihil saja yang ada
pada saya. Kita serupa sepasang boneka yang ngungun
kena sihir hujan itu. Meski saya tahu, sihir percakapan kita
tadi justru yang paling membikin ngilu, buat saya, juga
untuk kamu.
Kamu mungkin lebih ngilu. Karena mungkin, tak
satu pun kata yang saya tujukan sama kamu, atau semua
bayang-bayang pengelamunan saya tentang kamu
mewakili kebenaran tentang kamu. Tapi semuanya
memang telah terlanjur hadir di kepala saya, dan telah
saya semprotkan sama kamu seorang saja. Entah kenapa
begitu. Mungkin karena saya ini cuma sedikit marah dan
cemburu. Bahwa saya ini cuma lelaki sepi yang mudah
sekali lanun oleh senyum tiga per empat dari seorang
perempuan yang telah bersuami. Lalu, kamu tetap saja
beranggapan bahwa hal-hal kasar serta kebodohan-
kebodohan adalah bagian dari mencinta. Itu betul-betul
memberi pesangon yang lain lagi buat saya. Terutama
mengenai rasa sakit dan hubungannya dengan sesuatu

5
yang mesti diperjuangkan. Kamu memang perempuan
yang betul-betul berusaha mengajarkan saya bagaimana
hendaknya menjadi lelaki.
“Hujan!” serumu. Kamu pernah bilang bahwa
kamu sangat menyukai hujan. “Hujan datang lebih cepat
dari biasanya.” Secepat kamu bilang begitu pula, kamu
lantas beranjak dari ranjang sambil membenahi sisa-sisa
tangis dan rambut kamu yang agak berantakan. Kamu
berlari nuju pintu kamar yang langsung menghadap ke
luar. Di pintu itu kamu tertegun sebentar, lalu menengok
ke saya.
“Ayo hujan-hujanan!”
Secepat itu pula senyum kamu tawarkan. Saya
pandangi senyummu; senyum tiga per empat yang lekat
tersimpan di kepala saya. Senyum yang mengikat saya
begitu eratnya.
“Aduh, kenapa cuma melamun kamu? Sini!”
Kamu tarik saya dari ranjang. Kamu seret tubuh
saya yang masih terbungkus selimut biru ke luar, ke
halaman depan kamar. Kamu lepas saya di situ. Saya diam
di tempat saya, tak ke mana-mana. Saya katupkan selimut
biru itu ke kepala dan seluruh tubuh saya. Saya pandangi
kamu yang mendadak berubah seperti anak kecil yang
begitu lepas dan riangnya mengencani hujan pertama
musim penghujan yang datang lebih cepat dari biasanya
pada sebuah siang nuju senja yang tak biasa.
“Hujan. Wuuu!”
Kamu teriak seperti itu sambil tengadah, menadahi
butir-butir air yang tumpah dari langit itu dengan mulut
terbuka dan tangan lepas terentang. Lalu kamu berputar-

6
putar merayakan air yang ruah melimpah. Kamu tertawa-
tawa, memejam mata, menginjak-injak tanah basah.
Saya terus diam saja di tempat saya. Tubuh saya
basah sudah. Selimut biru itu jadi agak berat karena terlalu
basah. Sia-sia saja ia melindungi saya dari air yang
tumpah melimpah. Saya mulai kedinginan, dan terus
merapatkan balutan selimut itu ke tubuh saya. Sementara,
hujan yang kamu sukai itu cepat sekali merubah suasana
hati kamu dari kemurungan menjadi keriangan.
Sesungguhnya perasaan macam apa yang sedang kamu
rasakan?
Saya sendiri bisa merasakan semua bagian-bagian
tubuh saya ketika tubuh saya mulai kuyub diguyur hujan
itu. Saya merasa benar telanjang meski tubuh saya
terbungkus selimut biru itu. Mungkin sebenarnya kamu
begitu menginginkan ketelanjangan yang benar-benar
telanjang yang hanya bisa kamu rasakan sendiri meski
tubuh kamu terbalut berbagai macam pakaian; pakaian
yang dalam dan pakaian yang luar. Seperti keadaan kamu
sekarang ini. Mungkin itulah mengapa kamu sangat
menyukai hujan, gemar hujan-hujanan. Kamu bisa
merasakan ketelanjangan yang benar-benar telanjang,
meski orang lain yang melihat kamu tak menganggap
bahwa kamu sedang telanjang.
Saya sendiri sangat mengagumi tubuh kamu yang
telanjang. Bagi saya tubuh kamu yang telanjang adalah
sebentuk puncak keindahan. Salah satu obsesi besar saya
memang untuk bisa melihat keindahan tubuh perempuan
telanjang dengan mata saya yang telanjang. Tapi kamu
selalu malu bila saya pandangi saat kamu telanjang. Meski

7
itu cuma ada saya dan kamu saja di kamar saya. Kamu
selalu meminta saya buat memadamkan lampu kamar bila
kegiatan tukar-menukar cairan itu hendak kita lakukan.
Kamu akan lekas berpakaian ketika kegiatan itu berakhir
kemudian. Apakah hal-hal berlawanan semacam itu selalu
ada pada kamu? Hingga kamu cepat sekali berubah-ubah
seperti itu? Hal itu sungguh sangat sulit saya mengerti.
“Tidak semua hal memerlukan alasan. Tidak
semua tanya menuntut adanya jawaban, sayang,” kata
kamu suatu waktu.
Saya lebih tak mengerti. Yang saya mengerti
adalah bahwa kamu memang perempuan paling tabah
yang pernah saya kenal. Kadang saya berpikir bahwa
mungkin saya ini tak ada bedanya dengan suami kamu
yang kasar dan bodoh itu.
“Bahwa perkataan-perkataan kamu yang selalu
menganggap saya sebagai perempuan penjahat yang telah
tega menjahati hati kamu dengan kebohongan-kebohongan
nyata itu tak ada bedanya dengan pukulan-pukulan dan
tendangan-tendangan suami saya.” Kamu pernah berkata
begitu saat saya peluk tubuh kamu dari belakang, usai
acara bercinta kita yang kesekian. Ingatan akan hal itu
membikin tubuh saya serasa ditusuk-tusuk ribuan titik air
yang menjelma jarum-jarum kecil yang tumpah dari
keluasan langit di musim penghujan yang datang terlalu
tergesa itu.
Akhirnya, saya kejar tubuh kamu yang masih saja
memutari halaman itu. Saya hentikan kamu. Saya peluk
tubuh basah kamu dari belakang bersama selimut biru
yang kuyub itu. Saya ciumi tengkuk kamu. Kamu

8
mendadak diam sudah, seperti memasrahkan diri saja saya
begitukan.
“Kamu. Kamu jangan hilang dari saya. Kamu
jangan hilang dari saya,” kata saya bertubi-tubi.
Dan saya menangis sesenggukan. Kamu pegangi
lengan saya begitu eratnya. Saya peluk tubuh kamu sama
eratnya.
“Atas nama hujan, biarlah saya terus mencintai
lelaki sepi ini,” kata kamu terbata-bata. Lalu, kamu susul
saya dengan tangis yang sama sedunya. Saya, kamu,
tangis, dan hujan. Kita berdua di antara tangis dan hujan.
*
HAL gila terakhir apakah yang saya lakukan? Adalah
mempersilakan kamu yang sebetulnya masih sebagai isteri
orang tinggal di rumah saya. Sebenarnya, bukan saya yang
meminta kamu untuk datang sama saya. Bukan pula kamu
yang datang dengan sendirinya sama saya. Mungkin
senyum tiga per empat milik kamu itulah yang
mempertemukan dan menyatukan kita. Dan menurut saya,
suami kamu itu adalah orang gendeng yang mabuknya
terlalu. Suami kamu itu begitu teganya memberi pukulan
dan tendangan bertubi-tubi ke tubuh kamu yang begitu
indah itu. Suami kamu itu pula yang menjadi penyebab
timbulnya empat keloid di lengan bawah kanan kamu.
Empat sayatan tanda cinta, kamu masih sering
menyebutnya seperti itu.
Adalah sangat wajar jika kamu kemudian mencari
ketenangan sama saya. Dan kamu sungguh sangat
beruntung mendapatkan lelaki sepi macam saya ini. Lelaki
sepi macam saya ini tak pernah suka dengan hal-hal kasar

9
serta kebodohan-kebodohan. Lelaki sepi macam saya ini
selalu merindui hal-hal tenang, memuja keindahan-
keindahan.
“Tapi tubuh saya tak lagi seindah dulu. Ada
beberapa bekas luka di situ.”
“Lelaki sepi macam saya ini tak begitu peduli
dengan yang namanya bekas luka atau semacamnya.
Sebab keindahan itu bisa jadi adalah pengertian buta akan
serah terima yang nilainya melebihi apa pun yang disebut
indah. Saya ini lebih begitu peduli pada bagaimana
caranya agar keloid di lengan kanan kamu itu berhenti
mengantar kenangan-kenangan buruk ke kamu. Hingga
kamu tak harus selalu merasa sakit bila sekedar
memandangnya. Hingga mungkin lengan kamu atau
bagian tubuh kamu yang lain yang tak lagi indah bagi
sebagian orang itu tetap saja indah di mata saya. Hingga
kamu sadar betapa seluruh tubuh kamu itu seindah
perasaan-perasaan kamu ke saya.”
“Kamu membuat saya bingung. Apa maksud
perkataan kamu itu? Apakah kamu cuma ingin
mengatakan bahwa kamu memang suka dan jatuh cinta
sama saya?”
Seperti biasa, saya cuma akan diam saja.
“Kamu selalu diam bila saya mulai menanyakan
hal itu.”
“Bukankah kamu pernah bilang sama saya bahwa
tak selamanya setiap pertanyaan menuntut adanya
jawaban?”
Gantian kamu yang diam sekarang.
Dan, ya, mungkin memang benar bahwa tak

10
selamanya setiap pertanyaan menuntut adanya sebuah
jawaban. Saya tak begitu mempermasalahkan ketika kamu
mulai banyak diam dan merenung akhir-akhir ini. Saya
selalu mencoba berprasangka baik, meski kadang saya
gagal. Bahwa mungkin sekeras-kerasnya usaha saya untuk
membantu membuat kamu kebal terhadap kenangan buruk
itu kadang harus menemui jalan buntu. Karena
bagaimanapun dekatnya hubungan perasaan saya ke kamu,
tetap saja tak akan berpengaruh besar terhadap pikiran dan
perasaan kamu sepenuhnya. Bagaimanapun kamu tetaplah
manusia dengan segala pikiran dan pengelamunan yang
sendiri. Lagipula manusia rentan seperti kamu itu begitu
mudah sekali diombang-ambingkan keadaan. Jadi tak ada
yang salah ketika kamu sekali waktu akan terlarut kembali
pada kenangan buruk itu. Meski kadang keadaan semacam
itu membikin saya sakit. Betapa saya ini gagal untuk
sekedar menyembuhkan kamu dari sebuah kenangan
buruk. Atau di lain keadaan, saya ini gagal membendung
perasaan-perasaan buruk saya semacam cemburu yang
amat terlalunya bila ternyata diam dan melamunnya kamu
itu sedang memikirkan suami kamu. Jika cemburu itu
makin menyayat-nyayat perasaan saya, maka saya sering
tak tahan dan menyemprotkan tanya curiga sama kamu.
“Kamu sedang melamunkan apa, sayang? Kamu
baik-baik saja, kan?” Atau bila sedikit dibumbui aroma
marah, “Kamu tidak sedang memikirkan suami kamu,
kan? Kamu tidak sedang merindukan suami kamu, kan?”
“Ssst, kamu jangan berpikiran yang tidak-tidak.
Nanti bisa berakibat tidak baik.”
Saya memang selalu mencoba berpikiran baik.

11
Tapi kadang saya gagal. Entah kenapa. Saya tak pernah
bisa utuh menguraikannya. Mungkin itu seperti yang
pernah kamu bilang bahwa kadang suatu hal tak
memerlukan alasan bagi ke-ada-annya. Dan kecemburuan
buta yang mengantarkan pada pengelamunan semacam
rasa khawatir hendak kehilangan itu mungkin kadang bisa
berubah menjadi sugesti yang begitu kuat yang bisa saja
ditangkap udara lalu direspon oleh semesta menjadi hal-
hal yang kadang sama sekali tak kita inginkan. Maka
begitulah keadaan yang selanjutnya terjadi. Semuanya
memang tak sesederhana yang saya dan kamu inginkan.
Bahkan mungkin tak sesemenjana seperti mencinta itu
sendiri.
Itu adalah hari ke delapan dari saat pertama hujan
turun lebih awal dari biasanya di musim penghujan kali
ini. Pada sebuah senja saat hujan tak juga turun seperti
hari-hari sebelumnya, ketika saya pulang kerja, saya
mendapati suara-suara asing dari dalam rumah saya.
Dengan sedikit penasaran, saya melangkahkan kaki
hendak masuk ke dalam. Suara-suara itu makin
kedengaran jelas sekali; suara seorang lelaki dewasa, suara
kamu, dan suara riang anak-anak. Saya terpaku di depan
pintu, lupa mengucap salam. Pandang saya bersirobok
dengan tatap mata kamu. Lalu kamu menundukkan wajah
kamu. Saya bisa melihat, kamu mengenakan kerudung
ungu. Benda yang selama kamu menginap di rumah saya,
tak pernah kamu kenakan. Lelaki dewasa itu berhenti dari
kegiatannya membaca sebuah buku kecil dengan sampul
warna keemasan bergambar huruf-huruf melengkung.
Lelaki dewasa itu mengucap salam yang terdengar teduh

12
di telinga saya, lalu menghambur ke arah saya, menyalami
saya. Saya makin terpaku di tempat saya.
“Mikail, Niel, bisakah ananda berdua bermain di
luar sebentar?” kata lelaki dewasa itu pada dua bocah,
lelaki dan perempuan. Mereka saling mencari pandang,
lalu menjawab serempak bersamaan, “Iya, abi.”
Dengan langkah-langkah kecil yang riang dan
lucu, keduanya beranjak dari posisi masing-masing. Bocah
lelaki yang selama itu berkeliaran di ruang depan rumah
saya menatapi lukisan-lukisan di dinding itu menghentikan
tingkahnya. Bocah perempuan kecil yang selama itu
menggelendot manja di pangkuan kamu sambil membuka-
buka majalah anak itu turun dari pangkuan kamu.
Berbarengan mereka berdua nuju halaman. Mereka
berhenti sebentar di tempat saya terpaku di depan pintu.
“Lukisan-lukisannya bagus, om.”
“Cerita-ceritanya keren, om.”
Saya cuma senyum semili. Baru ketika kedua
bocah riang ini menyalami tangan saya, saya merasa agak
lega. Saya geser sedikit posisi saya. Saya persilakan
keduanya menghambur ke luar, ke halaman. Mereka
berlarian kegirangan.
“Saya ingin menangkap capung.”
“Saya mau menjaring kupu-kupu.”
Saya hendak dituntun lelaki dewasa berkopyah
putih bulat itu, tapi saya kibaskan dengan sopan. Lalu saya
duduk di sofa hitam, bertentangan dengan tempat kamu
diam menunduk itu. Lelaki dewasa itu duduk di tengah di
antara kamu dan saya, meletakkan buku kecil yang selama
itu ia pegang.

13
“Sebelumnya, maafkan kelancangan saya ini.”
Sunyi di dalam sini. Sementara dari luar,
kedengaran jelas sekali suara-suara riang kedua bocah,
lelaki dan perempuan.
“Ijinkanlah saya mulai menjelaskan.”
Tapi tak juga lekas ada kata-kata yang keluar dari
mulut lelaki dewasa ini. Lelaki dewasa ini cuma menatapi
saya dan kamu berganti-ganti. Sesekali ia menatapi buku
kecil yang tergeletak di atas meja itu. Lalu cuma gumaman
dalam bahasa asing saja yang kemudian keluar dari mulut
lelaki dewasa ini. Dengan sedikit saya paksa, akhirnya
sayalah yang membuka percakapan lebih jauh dengan
lelaki dewasa ini.
“Maafkan, siapakah anda sebenarnya?”
Lelaki dewasa ini lalu cuma menangis
sesenggukan. Lelaki dewasa ini menghambur ke tempat
saya duduk. Lelaki dewasa ini memeluk erat kedua kaki
saya, seperti menyembah-nyembah saya. Saya ingin
mengibaskan lelaki dewasa ini. Tapi saya tak bisa.
“Saya suami dari perempuan yang sangat saya
cintai yang sekarang menginap di rumah anda. Saya telah
berbincang banyak hal dengan istri saya tadi, juga dengan
orang tuanya sebelumnya. Saya mohon dengan amat
sangatnya, ikhlaskanlah istri saya kembali sama saya.”
Lelaki tampan ini berkata-kata begitu terbata. Kaki
saya basah oleh air matanya. Sementara saya dengar,
kamu mulai melepaskan tangis yang tergugu.
Seperti disengat ribuan kalajengking di perut saya,
saya merasa mual dan limbung. Betul-betul sebuah
keadaan yang amat membingungkan saya. Siapa saya ini

14
hingga seorang lelaki dewasa yang begitu santunnya mau
menyembah-nyembah saya? Memohon-mohon sama saya?
Saya ini cuma lelaki sepi yang kurang ajar sekali
mengundang istri orang ke rumah saya. Cuma pikiran
semacam itulah yang kini ada sama saya.
Saya tak lagi ingat semua cerita-cerita kamu
sebelumnya sama saya tentang suami kamu. Saya lupa
bahwa kamu pernah menangis di pelukan saya. Saya tak
ingat bahwa kamu dan saya teramat sering menukar cairan
tanda mencinta. Saya menjadi pikun harus mengingat
pengertian-pengertian saya sendiri tentang ketelanjangan,
apalagi keindahan. Saya tak bisa melihat kebenaran yang
sebenarnya dari semua kejadian ini. Saya buntu sama
sekali. Saya cuma bisa menunduk. Mata saya panas dan
basah. Saya pandangi lelaki dewasa yang masih saja
sesenggukan memegangi kaki saya. Tangannya begitu erat
memeluk kaki saya. Saya melihat sesuatu lewat lengan
kemeja yang tersibak dari lengan bawah sebelah kiri lelaki
dewasa ini. Sesuatu yang sepertinya tak asing bagi mata
saya.
“Sayatan tanda cinta,” saya menggumamkannya di
hati saja.

Magelang, 5 September 2012.

15
16
Pertemuan Penghabisan

JADI kita putuskan; ke gunung. “Malam nanti,” kau


menambahi, “tidak, tidak. Pagi. Aku suka sunrise. Matari
bundar sempurna dan kuning kemerahan. Seperti apel, ah,
semangka.” Jadi kita ke gunung sore ini juga, mampir di
rumah kakek, kakekku sendiri. Kita nonton wayang,
wayang orang. “Kapan nikah?” tanya kakek. Kau cuma
tersipu. Kakek tahu aku selalu mangkir buat ia pinta
menggantikannya kelak. “Aku mau ke selatan, ke Jogja,”
kataku waktu itu. Itu sepuluh Suro, empat tahun lalu.
Kakek cuma sinis tersenyum atau diam merenung? Bapak
pun dulu memilih minggat ke kota Magelang, mengawini
gadis keturunan Cina pedagang, dan dari merekalah aku
lahir. Aku besar di antara kakek dan bapak. Aku tahu
antara keduanya masih timbul saling keseganan. “Jam
sembilan lebih sekarang. Kita jadi naik?” kau
menyentakku. “Ayoh.” Kulihat kakek tengah memberi
instruksi pada beberapa anak wayang. Ia melirikku. Aku
menyingkir pelan, menyandang ransel.
Pendakian ini seperti masa remaja dulu, cuma
bedanya kini ada kau. Terasa semua kawan pendakian
masa remaja itu tak ada apa-apanya, meski kali ini banyak
abu sepanjang jalan setapak, dan gerimis kecil-mengecil.
Merapi batuk beberapa bulan lalu. “Terus menanjak, terus
menanjak. Mau balapan?” kau berlari, berlari. “Curang,”
sahutku mengejarmu. Kau di depan, aku di belakang. Tak
17
banyak orang mendaki. Cuma ada lampu-lampu jauh di
bawah sana dan bintang gemintang jauh di atas sana. “Itu
Magelang. Tidar tak kelihatan malam begini. Besok kalau
terang, mau kuajak kau ke sana? Ketemu bapak ibuku?”
Aku ngos-ngosan. Kau mengatur nafas. Jariku masih
menunjuk kota itu. “Kota sejuk yang melenakan,” kataku.
“Mengapa kau pilih Jogja tinimbang Salatiga atau
Semarang, atau tidak lebih ke barat sana, Jakarta
misalnya?“ tanyamu. “Barangkali karena Realino atau
Malioboro. Mengapa kau tanyakan itu? Kalau saja aku tak
ke Jogja, aku tak kan ketemu kau.” Aku cium kau
sekelebat dan berlari mendaki. “Kau curang!” katamu
menyusulku. Kita berkejaran. Aku di depan, kau di
belakang. Atau aku di atas, kau di bawah?
Kita tak sampai ke puncak, terjebak badai di Pasar
Bubrah. Cepat-cepat kita dirikan tenda, kita susun api
unggun, mengusir dingin, menghalau badai. Dan kita
minum, dan kita makan. “Mengapa kau menatapiku
begitu?” Aku cium kau lama kali ini. Bibirku dan bibirmu
yang dingin beku serasa membikin kita jauh. Dan tenda
kecil yang kita dirikan bergoyangan ditiup badai. “Peluk,
peluk aku,” katamu. Kita bertukar capai dan dingin,
sebelum terbit kehangatan, sampai seterusnya kita tertidur.
Sunrise telah berlalu, kita dibangunkan suara-suara
orang yang memantul-mantul yang baru turun dari puncak.
Dan di Pasar Bubrah memang tak ada sunrise yang indah.
Harusnya kita naik ke puncak. “Tak apa, lain kali kita
pasti sampai puncak,” katamu, lebih seperti menghibur
diri. Aku tak enak sama kau, sedang puncak berabu begitu

18
teramat rentan, dan badai tadi malam sungguh menggigil
tulang.
“Lihat!” Dua orang, lelaki dan perempuan muda -
yang naik gunung jarang terdapat orang tua- berlari,
seperti menggelinding dari puncak menerabas tumpukan
abu tebal di punggung puncak itu, dan teriak tawa mereka
berderai, terdengar sampai sini. “Gila!” seruku. Dan kau
ketawa-tawa, berseru-seru menyemangati. Juga orang-
orang yang telah sampai bawah sini. Aku pandangi debu
yang mengepul yang ditinggal pijakan-pijakan cepat dan
terlalu berani itu. Lama sekali debu itu pudar. Juga
tawamu terus berderai, berderai, dan masih berderai
sepanjang jalan menurun. Kali ini aku berkeras di depan.
“Supaya kau tak bablas ke jurang,” kataku. Dan tak seperti
biasanya, kau menurut.
“Ke mana lagi?” tanyaku ketika sampai rumah
kakek. “Ke selatan,” katamu. “Kembali?” tanyaku lagi.
“Mungkin,” jawabmu. Sebentar saja kita istirahat. Kita
lalu berkemas. “Buru-buru amat. Emang nggak mau
nginap?” tanya nenek. Di tangannya ada setumpuk buah-
buahan dan kembang dan dupa. Kau menghampiri nenek,
dan tersipu-sipu, beramah tamah mencari-cari alasan. Kau
dan nenek nampak akrab begitu. Aku ingat ibu. Berapa
lama tak ketemu? “Jangan lupa, sering-sering ke sini,
gus.” Nenek telah hafal padaku. Ia berlalu menuju kamar
dalam. Aku lihat kau mengambil sesuatu dari yang
ditenteng nenek ketika nenek menatap ke arahku tadi.
Kau menahan bau keringat orang-orang yang
berdesakan di Angkudes sepanjang perjalanan nuju jalan
besar. Aku menahan tawa. Waktu kecil dulu, kami, anak-

19
anak kampung, mesti sampai bergelantungan di pintu dan
atap jika berangkat dan pulang sekolah. “Anak muda
sekarang, sukanya ugal-ugalan,” keluh seorang tua ketika
seorang pelajar ngebut dengan motornya menyalip mobil
kecil yang kami tumpangi. Kau melepas napas waktu kita
turun di tepi jalan besar. Juga aku, kali ini sambil ketawa
lepas. Kita lanjut naik bus. Ke Jogja, ya, ke selatan lagi.
Dalam bus, kulihat kau ketiduran nyaman sekali. Dan
bibirmu menyungging senyum, senyum kepuasan.
Bukankah aku telah lunasi janjiku membawamu ke
gunung? Meski tanpa sunrise yang kau ingini, setidaknya
kau telah ketemu kakek nenekku. Ah, kau, mudah akrab
dengan siapa saja, itu yang aku suka.
Bersandar pada bangku begini -aku berdiri-, aku
keluarkan sebuah buku, membaca, sambil sesekali
menengok pada kaca jendela. Gedung-gedung dan sawah-
sawah dan pepohon yang pada kenyataannya diam di
tempatnya serasa ikutan bergerak, mundur. Dan bus ini,
dengan aku berdiri di dalamnya, terus melaju. Manusia-
manusia itu berjalan maju seperti bus ini, atau kelihatan
mundur seperti gedung-gedung atau sawah-sawah atau
pepohon yang pada diam ditinggalkan itu. Aku ingin
sekali salah satu manusia itu melambai padaku. Cuma
patung-patung andesit saja yang melambai kaku sepanjang
jalan sebelum berakhir di sebuah jembatan dan tugu
selamat jalan itu. Kulihat wajahku sendiri, tak begitu
kentara, di kaca jendela. Lalu kutengok kau dalam
tidurmu. “Teruslah begitu, sampai kita tiba nanti,”
gumamku. Apakah kau sempat bermimpi? Dan aku
teruskan membaca.

20
“Ayoh kita photo-photo,” ajakmu sambil menyeret
tanganku nuju patung manusia tak berwajah, kepalanya
tertekuk. Kita dekatkan wajah ke kepala patung itu.
“Keren, kan?” kau merajuk. Aku tak jawab. Dari stasiun
Tugu di belakang, lewat pengeras suara, terdengar suara
perempuan mengabarkan keberangkatan kereta. Dan jauh
di belakang sana, Merapi, apakah sudah mulai kau
lupakan? Kau mulai mengutak-atik smartphonemu. Dan
kau, selalu tak mau dicampuri bila sudah berurusan
dengan itu. Lalu sering dengan tiba-tiba aku akan dapati
photo-photo dengan pose beragam lewat pesan bergambar,
email, atau di fb. Biarlah, yang penting tak ada gambar tak
senonoh yang pernah kau kirim. Aku teguk habis air
mineral dan kubuang botolnya ke tong sampah.
Dan Malioboro, kita menyisirnya. “Tak bosan-
bosan, ya?” katamu sambil mengulum lollipop. Berapa
lama kita di Jogja? Berapa kali kita menyambanginya?
Melewatinya sebelum ke alun-alun? Dan alun-alun dan
beringin kembar dengan mitosnya, dan Keraton, Taman
Sari, dan Kaliurang, dan kali Code, dan Galeria,
Gramedia, dan kafe-kafe, TBY, dan Gembira Loka? Ah,
ini klasik, klasik, pikirku sendiri.
Tapi ini kita masih di tepian Malioboro,
meninggalkan kilometer nol. “Apa kita akan bablas ke
alun-alun?” tanyaku padamu. Kau henti dan membuang
lollipop. Ingin kujilati bibirmu rasanya. Tapi ini siang hari
dan banyak orang. Aku menanti jawabmu. “Sebentar, kita
duduk-duduk sebentar,” katamu akhirnya. Kita duduk-
duduk di bangku beton membelakangi benteng Vredeburg.
Kantor Pos Besar di sana seperti menunggu sesiapa.

21
Perempatan itu masih tertib mengatur pengendara. Dan
agak jauh di sana, alun-alun tak nampak selapang yang
sebenarnya. Kau mengeluarkan sesuatu dari ranselmu.
“Surprise!!!” kau berseru, “Pisang!! Kucuri dari nenekmu.
Aku mau mengambil kembang, tapi mawar dan melati
terlalu klasik, dan dupa itu, aku tak suka baunya. Apelnya
hijau, aku mau apel merah.” Kau mengupasnya, dan,
“Mengapa pisang berbentuk pisang?” iseng kau berteka-
teki. Aku tak jawab. Kau menyuapkannya padaku
semuanya waktu kau dapati aroma dupa padanya. Aku
harap kau tak menolak keris kecil yang diam-diam kutaruh
di ranselmu. Itu pemberian kakek.
Kau teguk air mineral. Aku turut minum, segar
sekali. Kau teguk lebih banyak. “Kita ke pantai,” katamu
yakin sekali. Aku pikir sebentar. “Baik, kita ke pantai.”
Dan kita ke pantai. Dan kita snorkeling di laguna yang
kudapat tahu dari seorang kawan. Pantai selatan ternyata
tak melulu tentang gemuruh ombak besar atau semrawut
sampah atau jejalan orang-orang pendatang. Di Gunung
Kidul ada pantai dengan laguna, mungkin satu-satunya.
“Apa di sana bermukim Nyi Roro Kidul seperti kata
nenekmu yang pernah kau ceritakan padaku?” tanyamu
menunjuk tengah laut. “Sekarang, kupikir, kau sendirilah
dia itu,” Dan kuguyur kau dengan air laut. Kita terus
menyelam mencumbu air garam dan ikan dan udang dan
kerang, berenangan, berkejaran sampai lelah, sampai
matari langsir ke barat, sampai senja tiba, atau datang?
Aku tak tahu pasti, apakah ini romantika atau apa. Apa
melankolia? Dari gunung, terasa cepat sekali kita ke laut,

22
ke tepinya saja sebenarnya. Apa kau tak benar merasai
capai?
Dan kita rebahan di pasir beralaskan kain yang kita
beli di Malioboro. Sepi pantai ini ditinggal
pengunjungnya. Kurasa hanya kita berdua saja sedari tadi
di sini. Pantai di sebalik bukit situ memang lebih ramai
dikunjungi, kata orang. Kita merenungi senja. “Sunset,”
gumammu, lalu diam, menyerahkan semuanya pada
sekeliling. Berapa lama? Tak ada yang bisa menghitung.
Hanya gemuruh ombak yang tertahan karang, dan deru
angin yang makin kencang sampai segalanya meremang.
Meremang, ya, meremang. Matari benam sudah
seluruhnya, ganti bulan yang muncul dari sebelah timur,
yang kucari-cari ketika tahu tak banyak lampu dekat-dekat
sini tapi masih ada cahaya yang membikin remang
sekeliling beranjak lebih terang. “Purnama, bulan
purnama,” gumamku. “Mana?” tanyamu. Dan kau
beranjak berdiri menatap bulan itu, lalu pejam beberapa
waktu seperti hendak menelan dan menyimpannya buatmu
saja. “Perfect,” katamu jelas sekali. Pelan mulai kau
tanggalkan pakaian yang tersisa, semuanya, dan berbalik,
beranjak ke laguna menatap lurus ke tengah laut, ke
selatan sana. Aku pandangi kau. Kau terus menembus
laguna sampai tungkaimu terendam separuh. Kau umpama
patung tembaga yang mencair hendak menyatu dengan air
laut. Aku diserang haru, lalu berlari padamu. Kuhentikan
kau. Kupeluk kau seutuh-utuhnya sampai kurasa kau dan
aku sendiri tak ada, tapi pun bukan jadi merasai yang lain
juga. Aku? Kau? Kita? Siapa?

23
“Jadi besok kau tetap akan berangkat?” sambil
masih kuatur napas.
“Begitulah.”
Jadi, kau memang tetap akan pergi ke lebih ke
selatan sana.
“Kenapa tak pulang ke barat, atau menetap di sini
saja?”
“Negeriku tengah bangkrut, kau tahu. Di sini?
Bagaimanapun aku masih belum siap nikah dan apalagi
punya anak.”
Purnama meninggi. Angin makin kencang. Laut
terus pasang.

Magelang, 15 Desember 2013.

24
Dalam Penjara Rumah Tangga

KE sudut smooking area ia menghindar dari kegaduhan


zona mainan, meninggalkan istri dan adik iparnya yang
kegirangan berpindah-pindah jenis permainan. Ia mau
pesan kopi, tapi tak jadi. Lalu ia lihat menu di situ, ada
juga menu minuman tradisional. Ia pesan beras kencur
hangat. Pelayan itu perempuan, tinggi, terlihat matang
dengan eye shadow cerah, tersenyum sebentar ketika ia
membayar pesanannya. “Silakan.Selamat menikmati,”
kata pelayan itu selanjutnya. Ia beranjak melewati area
bebas rokok pelan saja. “Dingin,” gumamnya. Ia masuk
ruangan selanjutnya, memilih meja di sudut dekat jendela.
Ia taruh nomor meja yang ia tanting itu; 11/12. Ia
menunggu pesanannya, duduk menghadap televisi plasma
lebar; selintas berita, iklan-iklan, sebuah drama.
Itu sore yang hujan pada akhir pekan saat ia dan
isterinya mengantarkan adik iparnya buat belanja
keperluan piknik sekolah adik iparnya ke Bali seminggu
lagi. Sedangkan akhir pekan sebelumnya, istrinya telah
minta liburan ke kebun binatang. “Lama tak melihat
binatang-binatang buas. Maksudku binatang selain
piaraan; kucing, ayam, kambing. Aku ingin melihat macan
atau gajah atau jerapah, buaya,” kata istrinya. Ia setuju
saja. Maka berangkatlah mereka tanpa anaknya yang satu
tahunan itu ke kota J, tempat kebun binatang besar yang

25
paling dekat berada. Saat melihat-lihat macan dalam
kurungan dan mata hewan itu bertemu dengan matanya, ia
melihat mata yang basah dan sayu, dan ia merasa kasihan.
Tapi istrinya kegirangan saja. “Kereng, ya mas? Gagah,
ya?” Hampir ketakjuban seperti itu pula yang istrinya
lontarkan saat melihat-lihat binatang buas lainnya,
binatang buas yang dikandangkan. Ia menurut saja ajakan
istrinya yang sepertinya memang cuma suka
menyambangi binatang-binatang yang katanya gagah itu.
Istrinya hanya diam saja atau manggut-manggut ketika
menyambangi burung-burung atau kera-kera kecil yang
bergelantungan dan merambat di pohon-pohon yang
disediakan untuk mereka.
*
Tiga tahun lebih usia perkawinannya, dan satu
anak telah dilahirkan istrinya. Apa lagi yang kurang?
Tentu saja ia selalu bersyukur dengan keadaan yang
sekarang. Ia menikah tanpa perencanaan yang matang. Ia
belum punya pekerjaan waktu itu, apalagi rumah sendiri,
bahkan sampai sekarang. Ia tak malu harus mengatakan
pada kawannya ketika ditanya soal pernikahannya dulu,
“Sebagian besar ditanggung keluarga istriku karena
tempatku sendiri tak mengadakan hajatan. Sebagian
ngutang. Masih kucicil sampai sekarang.” Waktu-waktu
itu ia justru malu jika tak bisa lekas menikahi perempuan
yang sekarang jadi istrinya itu. “Mas, kapan kau akan
melamarku? Bapak sudah sering menanyakannya.” Begitu
kerap kalimat itu diterimanya. Lima tahun mereka ubyang-
ubyung, dan di kampung, sungguh merupakan pergulatan
batin yang menguras perasaan dan pikiran anak muda

26
yang beranjak dewasa yang memiliki hubungan intim
dengan lawan jenisnya; omongan orang, nama baik orang
tua dan keluarga yang dipertaruhkan. Maka ia merasa lega
akhirnya bisa menikahi perempuan yang sekarang jadi
istrinya itu. Ia merasa lengkap, waktu itu.
Ia memboyong istrinya ke kota S setelah setahun di
kampung di rumah mertua, ia tak juga mendapat pekerjaan
selain membantu mertuanya mengurusi kebun Salak yang
poranda diterjang abu tebal Merapi. Merapi meletus hanya
beberapa bulan setelah mereka menikah. Rencana-rencana
keluarganya yang baru terbentuk itu harus tertunda sampai
hampir setahun. Di kota S, ia dan istrinya menumpang
pada kenalan dekat kakaknya sebentar sebelum kemudian
membuka usaha jasa binatu atas pinjaman modal kolega
lama kakaknya itu. Malam-malam saat mereka berdua
lembur kerja, ketika istrinya bertanya padanya kenapa ia
pilih kota S, ia jawab, “Kota ini dulu yang mengenalkanku
pada uang.Bukan dalam hal bagaimana mencarinya tapi
dalam hal menghabiskannya. Kan pernah kuceritakan
padamu?” Istrinya diam merenung, dan lalu tersenyum. Ia
memang sempat dibesarkan kota itu selama masa kanak
dan remaja yang berlimpah ketika kakaknya begitu sukses
dengan bisnis kayu ukirnya yang besar dan diekspor ke
luar negeri. Itu telah lama sekali. Sekarang, setelah
bangkrut dagang dan cerai dengan istrinya, kakaknya
bertani organik menggarap sawah warisan yang
diwariskan sebelum waktunya itu, dan tinggal menumpang
di rumah bapak mereka.
Anaknya lahir hampir setahun setelah ia dan
istrinya menetap di kota S. Istrinya minta ditemani ibunya

27
bila saatnya melahirkan. Pulanglah mereka berdua ke
kampung. Ia kurang yakin apakah anaknya itu ia bikin di
waktu-waktu antara Merapi meletus atau ketika ia telah
menetap di kota S. Yang jelas ia sendiri merasa bersyukur
bahwa anaknya lahir dan tumbuh dengan cukup baik.
Anaknya memang kemudian lebih sering diasuh ibu
mertuanya sendiri, karena waktu itu pun mereka
menumpang lagi di rumah orang tua istrinya itu. Setelah
persalinan istrinya dan setelah obrolan panjang dengan
istrinya itu, mereka memang memutuskan untuk tidak
kembali lagi ke kota S. “Kukira cukup kita mengenal kota
S,” katanya pada istrinya. Kebetulan sekali waktu itu kota
agak besar terdekat dengan kampungnya sedang gencar
ditumbuhi pusat-pusat belanja. Kemudian atas bantuan
seorang kolega kakaknya yang ikut investasi di salah satu
pusat belanja yang baru dibangun di kota itu, dan dengan
sisa simpanan hasil usaha dari kota S, ia memutuskan
untuk menyewa satu stand dan membuka
counter,berdagang produk-produk alat komunikasi,
telepon genggam. Ia lebih giat lagi, terasuk nuansa kota itu
yang terus tumbuh dan bergerak, dan juga karena anaknya.
Setiap pulang sore dari counter bersama istrinya -mereka
mengelola usaha itu bersama-sama sambil istrinya menjual
produk-produk parfum isi ulang-, ia akan lantas menuju
anaknya. Mereka pasti berebut untuk mencium, memeluk,
atau menggendongnya hingga anaknya kerap susah tidur,
sampai jauh malam. Setelah akhirnya berhasil menidurkan
anaknya, mereka masih meluangkan waktu sejenak buat
berdua mengingat-ingat segala hal yang telah mereka lalui
hari sebelumnya. Kadang ia mengajak istrinya

28
sembahyang malam, dan jika kebetulan mertuanya juga
melakukan itu, mereka masih akan mengobrol pula. Hari-
hari yang padat dan memanjang. “Bagaimanapun kita
masih menumpang. Kita tak bisa seenaknya sendiri di
rumah ini. Meski ini juga rumahmu sendiri,” katanya suatu
malam pada istrinya. “Shhh,” istrinya selalu berusaha
membesarkan hatinya. Istrinya terlalu baik buatnya,
penurut. Tapi entah kenapa, kadang ia merasa ada yang
kurang dalam dirinya sendiri. “Berapa tahun kita akan
bertahan seperti ini?” Ia sering menggumam seperti itu.
Dirinya dua tujuh, istrinya dua tiga. Mereka masih begitu
muda. Dulu sekali saat sekolah, ia pernah belajar drama.
Dan justru sekarang ia merasai benar semua yang ia
dapatkan dari belajar drama itu. “Ini panggung lebih,
lebih,” gumamnya tertahan. Kerap gumaman itu ia ulang-
ulang ketika memandangi orang-orang yang lalu lalang di
depan counternya, atau ketika memandangi istrinya yang
tengah sibuk berhitung dan menyusun pembukuan.
*
Masih gerimis. Ia melongok ke luar lewat jendela.
Di bawah, nampak beberapa orang di pintu keluar, diam di
tempatnya, dan yang lain menepi-nepi menuju tempat
parkir. Ia melongok lebih jauh ketika melihat seseorang
yang mengenakan baju yang hampir mirip dengan yang ia
pakai di sudut jauh gedung itu. “Ah,” ia mengeluh.
Punggungnya agak nyeri. Dulu ketika remaja, ia pernah
jatuh dari pohon dan tulang punggungnya masih kerap
sakit sampai sekarang. Itu pula kenapa ia berhenti belajar
bermain drama. Tapi, “Ini panggung lebih, lebih,”
gumamnya sambil menahan nyeri di punggung. “Berapa

29
tahun aku akan bertahan dengan sakit ini?” Lalu
smartphonenya berdering. Istrinya memanggil, “Mas di
sebelah mana?” di sela-sela keriuhan jauh segala macam
permainan. “Aku di food court, di sudut, meja 11/12.”
Mati, dan ia menyeruput minumannya. “Hangat, hangat
sekali. Wangi,” gumamnya. Ia kebayang pelayan yang
lebih muda darinya yang mengantarkan minuman
pesanannya.
Itu telah pukul 20an lebih. Pengunjung lain hanya
tinggal satu dua. Di luar masih menetas gerimis. Tak
terdengar desaunya, tapi bisa ia lihat lewat jendela kaca.
Dengung ac pelan timbul tenggelam antara suara yang
keluar dari televisi; ftv, iklan-iklan, dan selintas berita
setiap tiga puluh menit, dan kadang suara langkah kaki
pelayan yang membenahi meja yang ditinggalkan
pengunjung. Langkah-langkah kaki yang telah terlatih
antara televisi dan pengunjung. Ia iseng merunutnya
sampai pintu kaca yang membuka sendiri begitu ada orang
berdiri di depannya itu. Pintu membuka, pelayan keluar,
istrinya di depan pintu, adiknya menampakkan wajah
puas. Istrinya tersenyum, melambaikan tangan. Ia balas
tersenyum, lalu ia seruput lagi minumannya. Ia ingin cepat
pulang menemui anaknya. Istrinya masih berdiri di
tempatnya sementara adik iparnya itu beranjak ke
mejanya. Melihat ia sendirian di meja di ruang yang
hampir lengang itu, mungkin istrinya teringat liburan
seminggu lalu.

Magelang, 14 Desember 2013.

30
Pulang Melalui Samar Ingatan

“PABILA esok embun belum sempat dihangatkan matari


dan halimun belum lagi buyar, temui aku di sini.” Sambil
melenggang, kau menyelipkan kartu nama di saku bajuku.
Kartu nama dari lempeng batu persegi, tipis sempurna
seperti kartu kredit. Kartu nama tanpa ukiran namamu
kecuali ukiran arus kali pedalaman. Lempeng batu yang
selalu menggemakan cerita-cerita yang kau gumamkan,
kau lengkingkan, kau embuskan, kau bisikkan, kau ratapi,
kau tangisi, kau timpali tawa sumbang. Cerita-cerita yang
akan dengan sangat susah payah coba selalu kuingat.
Cerita-cerita di hampir setiap menjelang fajar di atas batu
besar mirip bulus raksasa di tepi alas tak bernama yang
kusinggahi kali ini sesaat sebelum orang-orang kampung
mulai datang menggerayang air, pepasir, kerikil, dan
bebatu dengan kaki tangannya yang telanjang. Pasti
sebelum itu, sebab bila sinar pertama menerbangkan
burung hitam di pohon besar yang menjulang di antara
rimbunan pohon lain di kejauhan sana itu kau pasti segera
bergegas ingin pulang.
“Sebetulnya aku masih ingin bersama, bercerita-
cerita. Ingat-ingatlah aku.” Tapi, namamu begitu sulit
kueja. Jadi, kuingat saja kau sebagai Nyai Watu Kali.
Kuingat-ingat dengan sangat susah payah ceritamu tentang
orang-orang kampung yang beringas menyembelih
31
ayahmu yang seorang kyai lalu beramai-ramai
mempecundangi ibumu pada sebuah bulan hujan yang
merah. Lantas, dirimu seorang saja yang sengaja disisakan
selamat hanya untuk perkawinan yang terpaksa harus kau
lakukan dengan salah seorang dari mereka yang beringas
itu. Beberapa minggu kemudian, ketika kau mulai
mengandung benih lelaki yang kau benci itu, giliran
orang-orang beringas lain lagi yang menyeret lelakimu,
menyiksa, membunuh, dan membuangnya entah ke mana
lalu beramai-ramai menanamkan benih mereka ke dalam
tubuhmu. Lengkaplah sudah kesakitanmu. Kau jadi begitu
benci pada semuanya; pada orang-orang yang dulu
menghabisi keluargamu, pada mereka yang memberimu
benih dendam bertambah-tambah dalam rahimmu.
Meskipun begitu, kau tak dapat membenci bayimu yang
kelahirannya dibantu kaok gagak hitam di tepat tengah
malam saat purnama ditelan mendung dan gerimis itu.
“O, mengerikan sekali! Ingin sekali kucekik
lehernya saat itu juga. Tapi, perasaan perempuan yang
begitu aneh yang mungkin dulu diturunkan ibuku itu
menghalanginya. Juga bayi itu begitu polosnya. Aku jadi
merasa begitu tolol, lalu kubekap saja tangisnya yang
pertama itu dengan bengkak putingku.
“Aku beranak! Memperanakkan bayi dari benih
yang tak kuingini, dari lelaki-lelaki yang sangat kubenci.
Kususui juga ia, kumandikan, kuceboki, kutimang,
kutidurkan, kuselimuti, meski terpaksa. Terus begitu, hari
demi hari. Entah kekuatan macam apa yang menuntunku
tetap melakukan semua hal itu. Barangkali kekuatan
perasaan perempuan yang begitu aneh yang dulu

32
diturunkan ibuku itu yang terus menggerakkanku untuk
terus saja menyusui, memandikan, menyeboki, menimang,
menyelimuti tidur lelapnya bayi itu. Tentu, setelahnya,
kudongengi pula tentang hari-hari ngeri yang menitiskan
ia dalam rahim seorang ibu yang dikutuk untuk memikul
sumpah serapah dan tatap hina nan benci orang
sekampung sepanjang sisa hidup selanjutnya; Perempuan
jahanam! Istri lelaki bajingan ekstrimis nan murtad!
Pemilik barang rayahan! Jalang! O!
“Sampai suatu siang saat ia menemuiku dengan
muka aneh seperti cemburu juga beringas yang tertahan
itu. Ia berusia belasan tahun saat itu, dan bulan Juli
menjadi amat terasa keringnya ketika ia tiba-tiba saja
berkata dengan bengis, „Kau! Ajari aku jadi kucing!‟
“Aku tak tahu menahu dengan maksud
perkataannya. Tanpa mengindahkan aku lagi, ia
menyeretku ke sebuah semak. Dagunya menunjuk ke
sebuah tanah berumput. Sepasang kucing, hitam dan
belang-belang, saling mengadu ngiaunya, begitu ngeri
dan ngilu. Itu seperti ungkapan keganasan tapi juga
begitu menyentuh.“
*
AKU selalu mudah tersihir pada cerita-cerita. Dalam
setiap arus waktu yang menepikanku, begitu mudah
ocehan manusia berupa-rupa itu singgah padaku dan aku
padanya. Maka, aku tak dapat menolak pintanya untuk
ketemu di dini hari nan sepi di pinggir kali nan nglangut di
atas batu bulus raksasa di tepi alas tak bernama. Sekali itu
kau datang membawa sekeranjang karangan kembang. *)1

33
Katamu, hendak kau larung ke arus kali yang
menggelontor itu.
“Banyak yang bisa dikenang di sini. Kali ini
adalah saksi. Dengarlah arusnya yang menggelontor
bebatuan besar kecil itu. Ia menggemericikkan cerita-
cerita yang sama sekali tak lucu, memperdengarkan jerit
pahit leluhurku. Aku selalu ngilu mendengarnya. Tapi, ia
terus mengalir umpama waktu menyeret segala laku
manusia. Waktu yang terus menarikku untuk selalu ke sini.
Mungkin untukku terus memelihara benci. Pada mereka,
kau tahu.”
Mereka yang jelasnya tak begitu kutahu. Seperti
halnya diriku sendiri yang tak kutahu macam apa. Aku,
lelaki minim deskripsi yang jelas selain bahwa aku ini
lelaki yang gemar menepi dari hiruk pikuk
kesilangsengkarutan hubungan-hubungan manusia untuk
menemani yang menyingkir, yang tersingkir, dan yang
disingkirkan. Karena barangkali pula, aku ini memang
salah satu bagian dari mereka.
Aku memang lelaki yang gemar menepi, tapi tak
bisa menolak sihir cerita-cerita yang kebetulan kutemui.
Maka, kutemui ia di sini, dan kutemani ia bercerita-cerita.
Meski kadang cerita-ceritanya ribut berpaut, tetap saja aku
betah mendengarkannya.
“Mereka itu betul-betul laknat. Orang menggolok
orang tanpa kasihan, memfitnah sepalsu-palsunya,
memperkosa wanita-wanita suci, merajam bayi-bayi,
membakar tempat–tempat sembahyang, membungkam
santri, murtad dari kiyainya sendiri. Kadang aku
bertanya, untuk apa segala adat, tatakrama, dan berjenis-

34
jenis aturan kitab yang suci dan kitab yang tak suci itu
mereka pelajari? Apa yang mereka pandang dan mereka
cari dari sesuatu yang bernama hidup ini?”
Aku sendiri tak menentu menyikapinya. Seperti
arus sungai itu, aku hanyut saja merunut arusku, melewati
tempat-tempat dengan ribuan nama-nama dan tempat-
tempat tak bernama sisanya. Aku kadang menyisir
tepiannya, tempat arus melambat, dan menawarkan
persinggahan-persinggahan. Aku menepi, atau terdampar,
tinggal sebentar, kadang agak lama untuk kemudian
hengkang juga dari sana. Terus saja begitu, tanpa pernah
kutahu, apa yang hendak kutuju dari semua laku semacam
itu. Tanpa pernah aku memikirpanjangkannya. Tanpa
pernah kutahu kenapa mesti ada aku, kenapa aku mesti
hanyut, kenapa mesti menepi, kenapa harus ada arus,
kenapa cuma tepiannya yang kusenangi, kenapa cerita-
cerita selalu menuntut telingaku untuk mendengarnya,
kenapa aku nyaman dan betah saja didongengi.
“Kau tahu? Aku ini dibesarkan dalam limpahan
ujaran kitab suci. Tuntunan yang mengharamkan dendam
dan benci. Tapi, lihatlah! Orang bisa saja berubah. Meski
sesungguhnya ia tak ingin sama sekali. Seandainya semua
cerita buruk itu tak terjadi, mungkin aku telah nyaman
kawin dengan putra seorang kyai, meski harus berbagi
suami dengan tiga atau empat istri. Aku bisa terus
menjalin silaturahmi dengan semua kerabat, handai
taulan, dengan penuh martabat dan kehormatan. Semua
itu tinggal jadi kenangan serupa abu yang lindap oleh
hujan. Hujan bulan merah.”

35
Ah, teruskanlah ceritamu, Nyai Watu Kali. Aku
memang suka mendengar cerita. Cerita, bagiku sudah
seperti sekepal nasi. Nasi pemberian orang yang akan
kukunyah sebentar saja, kadang tidak sama sekali, lalu
kudorong ke kerongkongan, jatuh ke lambung,
menetralisir lapar, terdorong ke usus terus jadi tahi,
kubuang ke kali, memberi nyaman barang sehari.
Barangkali pula itulah alasan kenapa aku mesti ada;
mengunyah nasi, menetralisir lapar, mencari nyaman
barang sehari, umpama mendengarkan ceritamu, Nyai
Watu Kali.
“Dan siapa pun tahu bahwa hujan tak seharusnya
berwarna merah. Semua hiruk pikuk itu akhirnya memang
reda. Meski mungkin takkan seluruhnya meredakan bumi
yang telah ia buat giris dan bergetar. Gelombangnya tak
kan merata hinggap pada setiap orang. Mungkin orang
sekampung akan lekas melupakannya. Tapi, aku kira aku
tak kan pernah melupakannya. Makanya aku memilih
hengkang dari kampung, tanah asalku sendiri itu, dan
tinggal di tengah alas berteman binatang-binatang,
tetumbuhan, angin gunung, lembah, dan kali. Dan aku
akan berteman hari demi hari, bulan, dan tahun yang
akan terus saja sepi jika tak ada anakku yang lahir dari
benih yang kubenci, dari cerita yang mestinya cuma ada
dalam khayalan, yang mungkin seharusnya tak perlu
didongengkan.”
Tapi, kau telah tersihir oleh ceritamu sendiri.
Ceritamu terus memaksa untuk kau dongengkan, dan juga
terus menyihirku hingga aku terus betah menyimaknya.
Apakah nanti akan juga kukisahkan pada seseorang yang

36
barangkali saja kutemui dalam persinggahan-
persinggahanku selanjutnya?
Aku ini lekas sekali lupa, gampang sekali lalai.
Bagiku, setiap kelebatan peristiwa sama saja dengan
sekepal nasi, mirip nasibku, dan juga barangkali cerita-
cerita yang menyihirku itu sendiri. Semua itu demi
kenyamanan barang sehari. Meski tetap saja yang
namanya cerita memang mampu menyihir telingaku
sedemikian rupa ketika ia mulai dihembuskan dari mulut
seseorang hingga yang ada tinggal betah saja, telaten
untuk terus mendengarkan.
“Anakku betah sekali mendengarkan cerita-cerita
yang kudongengkan padanya. Meski aku tak pernah tahu
pasti apakah ia betul-betul mengerti. Apakah gampang
bagi seorang bayi menyimak cerita nestapa? Bukankah
setiap bayi adalah suci? Mungkin baginya, dongeng ngeri
yang sejatinya adalah bagian dari masa lalunya juga itu
umpama suara-suara asing yang terus saja menggelitik
telinganya, mengenalkan bahasa kata padanya. Pelan aku
pun mengerti, tak seharusnya ia terus kubenci. Semestinya
ia lebih kusayangi, sebab ia sajalah yang menemani
keterbuanganku, betah mendengarkan setiap cerita-cerita
yang kubisikkan, kugumamkan, kuembuskan, kusertai
tawa sumbang, tangis, ratapan, lanturan hiba
berkepanjangan...”
Seperti apakah ia?
“Ia seperti kamu, lelaki; selalu diam, seolah acuh,
tapi sebenarnya penuh perhatian. Aku tahu, tak perlu kau
iyakan.”

37
Kata siapa? Jangan-jangan, kau ini janda kesepian
yang gampang percaya pada orang asing, dan gemar sekali
memaksa mereka untuk mau mendengarkan segala keluh
kesahmu.
“Tak seorang pun mau mempercayaiku, tak
seorang pun pernah mau menemuiku, tak seorang pun
hendak mendengar aku berbicara, berbela diri, apalagi
bercerita. Tak pernah. Aku juga tak memaksa siapa pun
untuk mau menyimak semua ceritaku ini. Seperti juga aku
tak pernah memaksa anakku untuk hengkang menyusur
kali ini dulu, setelah kukira cukup kuajarkan apa-apa
yang perlu kuajarkan padanya cara-cara mensiasati hidup
yang kutahu tak akan gampang, setelah aku mengerti
bahwa meski ia lahir dari benih yang tak kuingini, ia
tetaplah anakku sendiri; seorang manusia kecil yang sama
sekali tak adil harus menanggung dosa bapak ibunya.
Beberapa hari setelah ia memaksaku mengajarkan
caranya menjadi kucing itu, ia pergi menyusur kali ini
tanpa pernah mengungkapkan alasan kepergiannya, tanpa
sempat mengatakan tujuannya.”
Jadi kau ini memang seorang janda yang amat
menyedihkan; dikawin paksa oleh seseorang yang kau
benci, dipecundangi segerombolan lelaki bengis, ditatap
dina nan benci, menyingkir dan tinggal dengan seorang
bocah laki-laki yang akhirnya juga pergi
meninggalkanmu. Janda kesepian. Kasihan. Meski kuakui
parasmu memang elok seperti peri.
“Bunga-bunga ini untuknya. Aku berharap sekali,
suatu saat ia akan mencium wanginya. Mungkin itu bisa
menghidupkan kenangannya akan masa kecil bersamaku

38
dulu, bersama ibunya ini. Mungkin bisa mengantarnya
pada sebuah keinginan untuk merunut masa lalunya.
Karena kutahu, ia pasti setia dengan arus yang telah ia
pilih yang tak pernah kutahu mengapa ia memilihnya, dan
kenapa arus itu memilihnya. Arus yang seperti
memaksanya untuk selalu pergi dan mencari itu.”
Aku hanyut saja menurut arusku, melewati tempat-
tempat dengan ribuan nama-nama dan tempat-tempat tak
bernama sisanya. Aku juga menyisir tepiannya, tempat
arus melambat dan menawarkan persinggahan-
persinggahan. Aku terus hanyut, dan menepi atau
terdampar, tinggal sebentar kadang agak lama untuk
kemudian hengkang juga dari sana. Terus saja begitu,
tanpa pernah kutahu apa yang hendak kutuju dari semua
laku semacam itu. Tanpa pernah aku
memikirpanjangkannya. Tanpa pernah kutahu pasti kenapa
mesti ada aku selain untuk mencari kenyamanan barang
sehari. Mungkinkah aku punya masa lalu selain yang
sekedar kutahu sebagai lelaki yang gemar menepi? Gemar
menyimak cerita-cerita yang menyihirku?
Pernah susah payah mesti kuingat bahwa aku
memang punya masa lalu yang berpangkal pada cerita
seorang perempuan paruh baya yang menemukanku pada
sebuah senja nan kelabu pada sebuah arus sungai berbatu-
batu pada tempat jauh di sana yang telah kulupa itu. Susah
payah kuingat ceritanya bahwa aku diambilnya dari arus
kali yang mengapung-apungkan tubuhku. Kisahku
berpangkal dari situ. Sebelum itu, aku tak tahu. Mungkin
aku ini anak malang yang lanun dihantam sungai
penghujan. Tapi perempuan itu pun tak mengerti, dan ia

39
sepertinya tak mau tahu. Ia merawatku cuma seketika itu.
Setelah aku sadar dan luka-lukaku belum sepenuhnya
pulih, aku ditinggalkannya begitu saja.
“Aku mesti pergi anak muda. Dan aku tak
mungkin membawamu serta. Aku tak ingin suamiku
cemburu. Kau tak mungkin kuakui sebagai anakku karena
kau memang bukan anakku. Anak-anakku sendiri sudah
seperti bebek-bebek muda yang selalu ribut berebut
makanan. Bukannya aku tak punya hati. Tapi memang
lebih baik kau urus dirimu sendiri. Kau bebas memilih
yang kau sukai. Tabahlah, lekas sembuh, dan kembalilah
pada orang tuamu.”
Ia tak tahu kalau luka di jidatku ini adalah kutukan
yang membuatku lupa segala yang telah lalu. Sepertinya ia
tak mau tahu kalau aku tak pernah tahu orang tuaku,
asalku, siapa sebenarnya diriku.
“Kasihan. Kasihan sekali anakku itu. Pergi tanpa
tahu arah pasti, tanpa tahu hendak ke mana menuju. Aku
ingin sekali ia kembali. Aku ingin ia lekas mencium wangi
bebunga ini. Kau tahu? Aku sebetulnya sangat menyesal
sekali kenapa membiarkan ia pergi. Sangat menyesal
sekali.”
Kau melarung bebunga itu satu demi satu, hati-
hati, sehati-hati air mata yang menitis satu-satu dari
matamu. Seolah-olah kau titipsertakan mantra dalam
setiap lemparannya, dan kau ramu bersama air mata itu.
Mantra dan airmata yang kau katakan sebagai ramuan suci
penarik rindu; rindu akan anakmu yang belum juga
kembali.
*

40
TAK seperti biasanya. Masih dinihari yang terlalu dini,
dan kau hendak minta diri. Dari semenjak kau datang
wajahmu tak tenang. Belum sekata pun kau lontarkan.
Belum sekalimat pun cerita kau mukadimahi. Ditingkah
wajah resah, sekali-kali menengok kanan kiri, datang
tanpa sekeranjang kembang, tanpa serantang makanan
yang selalu kau bawa karena kau mengerti kalau aku
selalu datang tanpa perut kenyang, kau tampak
mencurigakan.
“Maafkan aku.”
Untuk apa? Sepertinya tak perlu ada permintaan
maaf segala. Sudah cukup semua kudengar darimu.
Harusnya orang-orang bengis itu sajalah yang minta maaf
padamu.
“Aku. Aku tak enak sama lelakiku.”
Lelaki? Jadi, cerita-cerita selama dinihari berturut-
turut hampir setengah purnama ini? Mungkinkah kau
menipuku? Untuk apa?
“Jangan berprasangka yang bukan-bukan. Semua
ceritaku itu benar adanya. Aku memang janda kesepian
yang menyedihkan. Tapi itu dulu sekali. Ah, maafkanlah,
aku mesti pulang. Aku tak enak sama lelakiku. Selama ini
ia sudah selalu setia, rela melepasku tiap dini hari untuk
ke sini, ke tepi kali ini, ke batu bulus raksasa ini, sekedar
mengingat kenangan akan orang yang sangat kusayang.
Untuk juga menemuimu, satu-satunya orang asing yang
mau mendengar ceritaku.”
Lelaki macam manakah yang begitu berbesar hati
mau menerimamu? Katamu kau ditatap hina nan benci
orang sekampung? Ingin kudengar ceritamu lebih banyak

41
lagi. Perempuan aneh yang rupa-rupanya tak mudah untuk
kupercaya ini. Tapi, kau lebih dulu ngeloyor pergi tanpa
sempat kumelihat kapan kau beranjak dari
batu bulus raksasa ini.
Kau telah di tepian kaliini ketika aku menoleh-
noleh mencarimu. Sinar purnama ke sekian yang lolos dari
awan dan pedut membiaskan sebentuk bayang-bayang
yang beranjak dari batu pijakan terakhir sebelum nuju
daratan. Ia hilang sejenak, sebelum sebentuk
cahaya obor kemudian menambah-nambah
kebingunganku. Kau tak pernah membawa penerang
selama ini. Maka, itu memaksaku berbicara, hal yang telah
lama kulupa kapan terakhir kali aku melakukannya.
“Sssiapa dia?!” Aku merasa aneh mendengar
suaraku sendiri yang lantang menantang gemelontor
arus kali, menguak gelap sepi dinihari. Dan memang tak
ada jawaban darimu. Tapi cahaya obor di sisimu itu
mobat-mabit, bergoyang-goyang seperti hendak memberi
sandi. Sepertinya, orang di balik obor itulah yang
kemudian menjawab pertanyaanku. “Aku anaknya. Anak
dari seorang ayah durhaka. Cucu dari lelaki bajingan
bengis murtad nan ekstrimis! Itulah aku jika kau ingin
tahu.” Jawaban itu tak kalah lantangnya. Seterusnya cuma
diam. Lalu obor itu melenggang pelan, tanpa suara, makin
mengecil di kejauhan sana.
*
AKHIRNYA semua akan tiba pada suatu hari yang biasa.
Pada suatu tempat yang telah lama kita ketahui.*)2
Sebuah perpisahan yang biasa setelah pertemuan-
pertemuan yang jika susah payah kuingat dan kurangkum

42
ternyata cuma mengetengahkan hal-hal yang itu-itu saja;
cerita yang kau ulang-ulang tentang gerombolan manusia
bengis, janda nelangsa, anak durhaka, tentang benci,
dendam, dan sakit hati. Cerita yang sebelum-sebelumnya
mampu menyihirku, kini kurasa benar-benar telah ikut-
ikutan jadi semacam hal yang sama saja dengan nasib
sekepal nasi pemberian orang yang kutemui di tiap
perjalananku dalam arus tepian ini; masuk ke perut,
menetralisir lapar, dan keluar lewat dubur sebagai
tahi. Semua hanya demi kenyamanan barang sehari.
Aku masih nyaman di sini, di atas
batu bulus raksasa ini, merenung lempeng batu persegi
tanpa ukiran namamu itu. Cerita-ceritamu serasa mudah
sekali kulupa, dan sulit sekali kuingat kembali, terasa
mengelangutkan.
Dan entah kenapa, tiba-tiba saja aku berharap
sekali bahwa semua cerita itu adalah bagian dari masa
laluku, dengan sebagian cerita yang kemudian sangat
susah payah kukoreksi jadi semacam ini;
Sampai suatu siang yang hujan itu. Belasan tahun
ia saat itu. Ia menemuiku dengan muka aneh, mulut
cemberut, menjengkelkan aku yang lagi menanak nasi.
Kutanya kenapa, ia malah ganti bertanya,“Siapa bapakku
sebetulnya, bu?”
Selama ini ia tak pernah rewel menanyakan
bapaknya. Mungkin ia telah kelayapan ke kampung. Hal
yang sangat kularang. Dan justru di sana, ia mendapati
diri diejek penuh benci, diolok-olok sebagai anak wanita
jahanam menyedihkan, bekas isteri bajingan bengis
murtad nan ekstrimis. Ia meradang, tapi tak kuasa, sebab

43
sepertinya begitulah adanya kebenaran tentang dirinya. Ia
tak terima. Dan padakulah ia hendak mengadu, mencari
tahu kebenaran itu. Meski aku kaget, marah, dan jengkel,
ia tetap tak kutanggapi. Alhasil, ia terus merajuk, terus
cemberut, mencecarku dengan tanya itu-itu juga. “Siapa,
bu? Siapakah ia? Ia gerombolan bengis bajingan
ekstrimis nan murtad itukah?”
Aku tetap tak menanggapi. Ia terus merajuk, terus
mencecarku dengan tanya serupa, berulang-ulang hingga
memuncak juga amarahku itu. Kusuruh ia diam, berhenti
bertanya. Tapi ia tak mau. Ia terus berlagak begitu. Maka,
kukejar ia hingga keluar pintu. Hingga kemudian
kupukulkan centhong itu ke jidatnya. Dan ia diam
membisu, menatapku penuh benci, membiarkan darah
menetes dari jidatnya. Ia diam, berbalik meninggalkan
aku seumpama orang kecewa amat sangatnya. Seperti
orang linglung kena tenung, ia terus beranjak tanpa
mengindahkan aku yang memintanya untuk kembali, tanpa
mengindahkan tangis penyesalan ibunya ini.
“Maafkan ibu, nang. Maafkan ibu.”
Tapi ia memang terlanjur lamur, kabur tanpa
mengindahkan derasnya hujan bulan September yang
nanti memerosokkan kakinya pada sebuah jurang,
melemparkannya ke deras arus kali penghujan. Kali
berbatu-batu yang sepertinya tanpa sadar ia pilih, dan
rupanya memilihnya itu. Kali yang akan
menghanyutkannya dan mendamparkannya ke tempat-
tempat yang bernama dan tak bernama. Tempat-tempat
yang akan menghidanginya dengan cerita-cerita, sebelum
melemparnya kembali pada arus kali yang sama.

44
Magelang, 22 Mei 2011.

Catatan kaki:
*)1. Variasi dari larik sajak “Sia-Sia”; Chairil Anwar, “Penghabisan
kali itu kau datang//Membawa karangan kembang//Mawar merah dan
melatiputih//.”
*)2. Salah satu larik puisi “Sebuah Tanya”; Soe Hok Gie.

45
46
Tiga Perbandingan yang Sepadan

“AKU feminim. Aku feminim,” katanya nggrentes, bikin


aku meremang.
Aku berbisik pada kekasihku, “Aku mau pulang,”
sambil merangkul tengkuknya dari samping. “Aku mau
pulang saja. Punggungku sakit.”
“Sst, sebentar. Tunggu sampai ini selesai,” kata
kekasihku merengkuh kepalaku.
Dan aku makin merasa sakit. Dan bulan terus turun
dari langit selatan di atas tembok yang jadi latar belakang
panggung pertunjukan. Panggung itu terbuka menengadah
langit malam. Langit hitam, latar panggung kain hitam,
dan kabel yang melintang sedikit di atas tembok itu juga
hitam. Lampu panggung, lampu sorot, selalu warna-warni,
banyak yang suram, kecuali jika mc memenggal acara satu
dengan yang lain. Aku dan kekasihku duduk di undakan
atas di muka panggung terbuka yang mirip coloseum kecil
itu. Kekasihku memakai t-shirt merah dan sweater putih-
merah muda. Dia selalu terlihat cantik, mirip kekasihku
yang lain. Kenapa kekasih-kekasihku selalu mirip satu
dengan yang lain? Sakitku reda memikirkan hal ini.
Aku melirik-lirik aktor monolog itu lagi. Tapi
mataku ini maunya pejam terus karena tak kuat menatap
raut aktor monolog itu; “Aku feminim, aku feminim,”
katanya.
47
Ia turun panggung mendekati salah seorang
penonton. “Aku feminim,” katanya kesekian kali, mirip
seorang bocah yang tak berterima atas sesuatu. Tapi,
mungkin tepatnya ia sedang merajuk, “Mengapa aku
begini?” Dan ia, aktor itu, mempertanyakan
kecenderungan tumbuh tubuhnya yang mengarah pada
orientasi tak umum sekaligus mempertanyakan persepsi
dan anggapan umum atas keberadaannya yang lain itu.
“Aku feminim,” katanya, lalu meraba-raba tubuhnya. Ia
terus menangis, tak sekedar meratap, sejak turun
panggung.
Ia terus mendatangi penonton, yang muda, yang
tua, lelaki, perempuan, merajuk; “Aku feminim, aku
feminim …”Dan ia tak sampai memperoleh jawab kecuali
sebuah elusan lembut di kepalanya oleh seorang berambut
uban, dan tawa seorang bocah penonton yang tak pernah
terdeteksi dengan jelas; apa itu cemoohan atau histeria
belaka, dan sungguh-sungguh membikin penonton lain
ikut tertawa ketika, akhirnya, aktor monolog itu benar
menyingkapkan handuk yang selama itu melilit pinggang
sampai dadanya, menampakkan penis yang besar dan
panjang menggelantung di pangkal pahanya sambil
berteriak pada dunia: “Aku feminim!!” Dan lalu menangis
tersedu.
Aku melupa rasa sakitku dan ikutan ketawa,
mengetawai tawa bocah itu yang lucu. Kekasihku juga
ketawa di sampingku, dan bibirnya yang tipis itu yang
membikin aku suka kalau ia ketawa seolah ia tak punya
bibir, selain bekas luka di dagu yang sering kuraba dan
kuhidu dengan khusyuk itu.

48
Aktor itu merangkak lagi ke panggung, tertatih,
menggerayang. Kau mungkin sudah mengira; jalan buat
membaca keberadaanya sungguh-sungguh terjal dan tak
memiliki petunjuk arah yang jelas. Tapi mataku cuma
melihat bahwa begitu mulai, begitu lampu panggung
menyala tadi, aktor ini langsung terjelempah, terlempar
dari dunia mana, dan rambut palsunya terjatuh dari
kepalanya. Ia setengah telanjang hanya melilitkan handuk
dari pinggang sampai dadanya, meraba-raba tubuhnya,
mengambil lagi rambut palsunya dan lalu melemparnya ke
lantai, dan meratap: “Aku feminim …” sebelum kemudian
turun dari panggung, dan, begitu: terus meraba-raba
tubuhnya, meratap, dan ditambah tangis yang nggrentes.
Membentur latar belakang panggung dari kain
hitam yang di sebaliknya kukuh membentang tembok dari
beton itu, tangannya menggerayang sambil tersedu-sedan,
mencari-cari; barangkali ada celah di tembok itu, dan tak
ada ia dapatkan sesuatu buat menghentikan ratapnya. Ia
berbalik pada penonton. Matanya seperti menusukku;
“Aku feminim!” teriaknya. Marah.“Aku mau pulang,”
bisikku pada telinga kekasihku.“Sst, sebentar,” katanya
lagi berkilah. Ia kecup keningku, “Sebentar, ya?”
Aku jadi heran sendiri. Mestinya aku yang betah
menyaksikan pertunjukan semacam ini, bukan ia. Aku
melirik ke gadgetnya; sebuah jejaring sosial, dan kawan-
kawan perempuannya yang cantik-cantik pulasan,
berderet-deret mengomentari photo si aktor monolog
telanjang yang barusan kekasihku unggah. Nampak ramai
ketawaan. Banyak cemoohan ringan guyonan. Dan aku,
entah mengapa, merasa sakit lagi. “Aku mau pulang.

49
Ayoh, kita pulang.” Kekasihku ketawa, asyik masyuk
dengan teman-teman mayanya. Ia berhasil menangkap
momen nyata di depan matanya, lalu menciptakan momen
maya yang seperti nyata dari itu. Sementara, aku terus
merasa sakit sepanjang akting aktor itu. Seberapa parah
sakit punggungku dibanding dengan sakit yang diperankan
si aktor itu?
Aku mau pulang, tapi kekasihku tak mau tahu.
Untung sekali seorang kenalan menghampiriku. “Apa
kabar?” Selalu tanya yang sama yang paling sopan buat
sebuah perjumpaan atas ketidakbertemuan yang lumayan
lama. “Baik,” jawabku sopan pula. “Ini punggungku
sedikit sakit,” kataku. Ia menyeretku ke deretan belakang,
dan kami mulai mengobrol tentang seluk beluk dunia
pertunjukan dari masa-masa silam sampai kekinian.
Kemudian sampai ia berucap, “Pertunjukan dari
aktor-aktor muda selalu berangkat dari naskah-naskah
yang sama dengan yang kita pakai saat mula berproses
dulu.”
“Tapi referensi kontekstualnya jelas berbeda,”
kilahku, “dan itu menciptakan nuansa yang beda pula. Itu
mungkin yang membuat pertunjukan selalu nampak baru,”
tambahku sedikit menggumam.
“Hm. Yang beranjak tua begini mesti lebih banyak
bergelut dengan naskah yang mendesak dan tak punya
rumus pasti,” timpalnya, dan ketawanya bercucuran.
Aku tahu, rumah tangga kawanku ini berantakan
gara-gara tingkahnya yang sulit buat mencari dan
mengumpulkan uang.

50
Aku telah diseret lagi ke depan panggung ketika
sebuah pertunjukan lain lagi sampai menggugat tuhan
segala dalam naskahnya.
“Masih seperti itu, kan?” Katanya. “Kegelisahan
masa muda. Naskah-naskah yang cocok dengan mereka,”
tambahnya, dan lalu ketawa kecut sekaligus seperti
meremehkan. Aku memberengut dan merasa sakit lagi;
punggungku rupa-rupanya mengajak tidur. Aku mencari-
cari kekasihku di deretan yang kutinggalkan sebelumnya.
Dia mulai sudah menguap-uap. Aku pamit pada kawanku
dan mendekati kekasihku. Senyumnya, astaga, senyum
dari bibir tipis itu cuma buatku seorang! “Ke mana aja
kamu?” tanyanya lembut. Aku ceritakan pertemuanku
dengan kawanku tadi, dan ia manggut-manggut sambil
mengeluarkan batang rokok dari bungkusnya: buatku satu
dan buatnya satu. Kami merokok sampai habis beberapa
batang ketika pertunjukan monolog dari aktor gondrong
yang mempertanyakan keadilan kepada tuhan itu usai
sudah.
“Eh, yang belakangan tadi temanya apa?” tanya
kekasihku ketika kami sampai parkiran.
“Itu tentang hal-hal di luar yang bisa kau jangkau
dengan akalmu,” jawabku sekenanya.
Seperti biasa, dia cuma akan senyum. Dia selalu
mengerti bahwa ia cukup mengerti saja hal-hal yang bisa
ia mengerti.
Jalanan mulai sepi. Kami lewat alun-alun, dan
patung pangeran dari keraton dari jaman dulu sekali yang
menghunus kerisnya ke arah jalan besar dan pusat belanja
itu masih nampak marah di bawah malam begini.

51
“Aku capek,” kata kekasihku. Itulah kenapa aku
yang memboncengkan. Biasanya aku yang minta bonceng
kalau naik motor. Aku suka membonceng, lebih leluasa
buat memeluknya dari belakang. Waktu kami sampai di
ranjang, aku betul-betul lupa dengan rasa sakitku, dan
kekasihku mulai lupa dengan capeknya karena rupanya ia
terus mengoceh tentang ajakan buat menikah dengan
berbagai alasan yang masuk akal semacam bahwa
hubungan kami sudah sedemikian intim, usia kami sudah
cukup matang, dan ia telah mapan bekerja, dan yang
paling penting adalah ia perempuan dan aku laki-laki. Ia
betah sekali bermonolog sambil tak henti-henti bibirnya
yang tipis itu mengepulkan asap rokok.Sementara itu,
mulutku cuma bisa terus diam. Aku yakin bahwa aktor-
aktor muda yang mengisi rangkaian acara tadi sekarang
sedang terlibat dalam diskusi penuh semangat dan dengan
sedikit amarah dan ketegangan dan banyak perdebatan
mempertahankan idealisme-idealisme, seperti kecamuk
pikiranku. Lama-lama aku pun capek juga dan tertidur,
bermimpi betapa mudahnya menikahi kekasihku.

Magelang, 7 Juni 2014.

Catatan:
Cerpen ini mendapatkan pemantiknya dari sebuah pertunjukan
Monolog "Feminim" garapan sebuah kelompok seni dalam salah satu
mata acara Penutupan PEKAN SENI TIDAR, Open Stage Gedung
Kyai Sepanjang, Jl. Kartini, Magelang, Kamis 5 Juni 2014 Pukul
19.30.

52
Dongeng Apel Adam
: Dongeng warisan ibu yang kudongengkan lagi padamu.

CERITANYA, Iblis hendak memikat Hawa. Ia berlari-lari


menuju Tuhan, ingin mengabarkan niatnya mencari kawan
yang bisa diajak ke neraka. Kau masih ingat lagu Apel
Adam?
Hm. Buah Apelmu Adam, buah Apelmu. Itu,
kan?)*1
Ya, itu. Tentu, tentu Tuhan yang selalu maha
memahami itu mau mendengarkannya. “Tuhan,
bolehkah?” Rajuk Iblis setelah tenang dari megap-
megapnya mendekati Arsy. Tuhan cuma menanggapinya
seperti biasa; kalem, tersenyum sedikit menampakkan -
bukan memamerkan- salah satu dari sifatnya yang lurus,
terpuji, dan teruji itu. “Boleh saja,” begitulah kira-kira
artinya.
Maka, Iblis pun bersorak seketika itu juga tanpa
malu-malu. Seperti kamu yang selalu terlalu amat
girangnya saat apa pun yang kamu minta selalu dituruti
ayahmu. Selalu, dan akan selalu begitu.
Hihihi.
Itulah seonggok makhluk bernama Iblis. Mungkin
dialah sebenar-benar anak kesayangan dari Sang Maha
Segala. Bukankah keinginannya selalu terkabul -
53
dikabulkan- tanpa harus melalui prosedur dan diplomasi
berkepanjangan? Begitulah, sampai saat Sabtu yang merdu
itu, saat Iblis dengan kelegalan mandat penuhnya
gentayangan mengintai calon kawannya: Hawa.
Siapa sih sebenarnya Hawa itu?
Hawa adalah makhluk Tuhan paling peka
perasaannya. Ia lembut serupa kabut. Ia berlimpah airmata
suka juga duka. Ia keras kepala sekaligus rapuh.
Kekeraskepalaannya hampir menyerupai Iblis. Keinginan
puncaknya mesti dipenuhi. Dan ialah serapuh-rapuhnya
makhluk. Ia selalu merasa dirinya bukan makhluk
sempurna, karena ia sadar dari mana ia mengada; dari
belahan hidup paling dalam makhluk impiannya. Maka ia
selalu merasa kurang lengkap, kurang utuh, selalu
memburu kelengkapan sebagai nikmat sekaligus kutukan.
Apa pun yang ia lakukan selalu tertuju pada yang itu, tak
kan meleset dari garis yang telah ia amini itu.
Tertuju pada yang itu?
Ya, memang Adamlah makhluk yang ia tuju itu.
Dan mereka, Adam dan Hawa itu, sungguh sangat
beruntung sekaligus begitu merana. Dari dua kata itulah
kemudian memuasalkan tresna, cinta.
Ye, Cinta?
Ya, cinta. Cinta yang sarat makna. Ialah begitu,
sebab kedua makhluk Tuhan, lelaki dan perempuan, bisa
terlampau dimabuk pesonanya. Ia bisa saja melahirkan
suka atau menumbuhkan luka, menetaskan bening airmata
sedih atau bahagia, atau menderaskan pekat sayatan rindu
berdarah-darah. Jika dirunut sampai kapan pun, nuju mana
pun, cinta cuma setia pada beruntung dan merana. Seperti

54
Adam yang mencinta Hawa sebagai sesuatu yang
senyatanya adalah keharusan itu. Atau juga halnya Iblis
yang katanya membenci nikmat cinta keduanya itu, ia
tetap saja bergumul di dua kata itu, kan?
Tak canda, ini nyata adanya. Senyata bahwa Adam
memang lelaki dan Hawa adalah perempuan. Dan bahwa
keduanya sangat bahagia memakmurkan surga. Kenyataan
yang selalu ditolak Iblis, sebab mengusik kemanjaan yang
senyatanya dulu di-kun-kan oleh Tuhan untuknya seIblis.
Itu menurut Iblis. Iblis, Iblis, eksperimenTuhan tentang
keburukan yang melengkapi kesempurnaan. Hm, ini pun
kehendak Tuhan pula. Mau apa?
Mau Apel.
Becanda! Iblis cuma mau mencari Hawa buat
menemaninya kelak di neraka. Hawa cuma mau dekat-
dekat dengan Adam, sumber muasal adanya. Ia yang
rentan itu sangat takut kehilangan. Dan Adam masih selalu
sebagai makhluk Tuhan kombinasi surga dan neraka yang
sempurna.
Ah, becanda.
Becanda?
He‟em.
Lho?
Kan cuma Tuhan yang sempurna?
Hihihi. Benar juga. Jadi, Adam memang makhluk
Tuhan kombinasi ideal surga dan neraka. Begitulah.
Hihihi.
Ketawa.Adam yang mulanya kesepian. Adam yang
ngungun merenung hampa. Untuk apa aku ada jika cuma
memantik benci? Iblis itu, ia begitu membenciku, curiga

55
sekali padaku, menguntitku ke sana-ke mari seolah aku ini
pencuri. Seolah dialah tuan rumah di surga ini. Aku tak
boleh mandi di sungai-sungai susu yang katanya penuh
racun itu. Aku tak diijinkannya memasuki kastil-kastil
yang katanya berhantu itu.
Hihihi, Surga kok berhantu?
Ssst, kamu jangan rewel kayak Iblis gitu.
Hm.
Pendeknya, Iblis itu seperti, ingat dongeng
menusia kontet pengawal cincin bertuah yang selalu
dikawal makhluk melata sejenis cecak berambut itu?
Smeagol?
Hm.
Ya, mirip sekali dengannya. Ingat adegan saat ia
berseteru dengan hobbit pembantu itu? Seperti itulah kira-
kira Iblis itu. Parah sekali. Ia akan lekas merajuk pada
Tuhan jika mendapati Adam cuma melamun! Melamun
saja! Pasti dikiranya Adam sedang mengkhayalkan Kafur,
bejana perak sebening kaca, kastil emas, segelas jahe susu
dari Salsabil, terompah bersayap, denting peri, bidadari,
pelayan-pelayan yang tak pernah uzur, sutera halus hijau
tebal, pelangi milyaran warna, dan ini, dan itu, dan lagi,
dan terus.)*2
“Tuhan, lakukan sesuatu. Aku betul-betul benci
makhluk bernama Adam itu!”
Hm.
“Tuhan, ayolah!”
Hm.
“Lekaslah! Uss …. .”
Hm?!!!!

56
Tuh, kan, dasar Iblis itu memang kurang ajar.
Maksud kata terakhirnya barusan pasti, “Usirlah!” Sama
Tuhan saja dia berani memerintah. Keterlaluan sekali.
Mungkin Iblis telah mati kutu, hilang akal menghadapi
makhluk bernama Adam yang kebetulan waktu itu lagi
menampakkan sifat penyabarnya yang amat membuat
trenyuh siapa pun yang ikut simpati padanya.
Iblis tahu bahwa melamun adalah sumber kekuatan
terbesar Adam. Itulah senjata andalan. Cukup dengan
melamun, Adam telah memperoleh apa pun yang ia
inginkan tanpa perlu merajuk pada Tuhan seperti Iblis itu.
Cukup dengan melamun, Tuhan akan langsung turun
tangan menyuruh segala ciptaanNya menyerahkan diri
pada lamunan Adam, menyatakan diri untuk Adam
nikmati, Adam makan, Adam pakai, Adam tangisi, Adam
kangeni, Adam tiduri, Adam injak, Adam tunggangi,
Adam elus, Adam lamunkan, Adam beginikan, begitukan,
dan masih banyak lagi ini itu yang bisa Adam nikmati itu.
Jadi, itu sepertinya merupakan titik kritis bagi perseteruan
yang sepertinya cuma dikipaskan Iblis seIblis saja.
Perseteruan yang dihadapi Adam selayak koboy nan
innocent, anggun, dan sedikit angkuh, plus agak-agak
mellow itu. Lihatlah bagaimana ia bermuram durja selayak
pecinta putus asa dirundung duka nan menghiba. Apakah
yang membuat ia putus asa?
Hm?
Uu, makanya dengerin. Adam tu putus asa kerana?
Ia dimusuhi. Ia butuh tempat buat mengadu, buat
share. Ia kesepian.

57
He‟eh! Tapi kenapa ia tak langsung mengadu saja
pada Tuhan? Karena begitulah sifat Adam yang koboy. Ia
adalah makhluk yang agak santun dan sedikit bijak. Beda
dengan anak sekarang; kakak-kakaknya pasti sok dewasa,
adik-adiknya pastilah manja. Adam itu jarang bermanja. Ia
cuma senang melamun, mengandai-andai. Dan celakanya
iblis tak suka, lalu memprovokasi Tuhan supaya Adam
diusir saja dari surga kerana Iblis iri dengan kekuatan
Adam yang cuma sepele tapi bisa mendatangkan segala
ingin berupa-rupa jadi nyata itu. Lalu?
Lalu sampailah pada cerita buah apel itu.
Hehehe. Coba gimana ceritanya?
Ceritanya, Adam itu terus kesepian. Ia butuh
tempat buat share, buat mengadu. Dan ia jarang langsung
mengadu pada Tuhan karena ia adalah anak yang koboy.
Tuhan yang maha segalanya itu paham. Ia paham apa
yang harus Ia lakukan untuk menetralisir suasana itu,
tentunya. Ia tak mau mengecewakan Iblis. Ia tak hendak
menyakiti Adam. Maka, Kun fayakun! Atas nama firman,
diciptakanlah makhluk serupa Adam. Makhluk itu
berambut hitam. Makhluk itu adalah representasi imaji,
pengelamunan, dan angan-angan Adam yang paling penit
yang bisa ia lakukan. Ia adalah bayangan Adam yang
kemudian dipahat Tuhan jadi seonggok makhluk bernama
Eve, Hawa, perempuan.
Buah apelmu Adam, buah apelmu.
Aaahhh.
Hem, lalu?
Berfirmanlah Tuhan; “Wahai Adam, diamilah oleh
kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-

58
makanan yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu
sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang
menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang
zalim.”)*3
Maka, Adam pun tahu bahwa ia juga disayang
Tuhan. Ia telah diberi mandat untuk menjadi empunya
surga. Ia boleh tidur dimana saja ia suka, mandi dimana
saja ia mau, buang hajat, makan sepuasnya, cebok,
berbisik-bisik, mencangkul, leyeh-leyeh, dan tentu saja;
melamun, hal yang dulu paling ia sukai, dan kemudian
jarang ia lakukan. Kini, ia telah dengan terang mendengar
firman Tuhan. Ia mestinya tak canggung lagi untuk
berbuat sesukanya. Ia tak perlu lagi takut pada Iblis,
sekedar tak enak, atau kasihan pada makhluk Tuhan serba
rewel yang selalu mencurigainya itu. Tapi yang paling
mengasyikkan tentu saja karena; Hawa.
Hawalah jawaban segala muasal putus asa atas
ngungun dan sepi yang tak terkira. Hawa yang
mengajaknya berbincang mesra, saling berbisik, dan
bercerita. Hawa yang tak pernah lelah bersisian langkah
dengannya. Hawa yang mencarikan kayu bakar dan
menjerangkan air hangat untuknya. Hawa yang selalu
tertawa saat Adam melucu. Hawa yang menghidangkan
jahe susu. Hawa yang menambal sutera hijau tebalnya
yang robek tersangkut ranting emas pohon makanan.
Hawa yang mengajaknya sembahyang. Hawa yang tak
henti berdo‟a untuknya. Hawa yang tak hendak berpisah
darinya. Dan Hawa pula yang keras kepala hendak
mengajaknya mendekati „pohon ini Tuhan‟, pohon
larangan itu.

59
Adalah simalakama, sebab dengan telinganya
sendiri Adam telah mendengarkan firman Tuhan untuk tak
sekali-kali mendekati ‟pohon ini Tuhan‟, pohon larangan
itu. Sebab pula, dengan apa ia hendak membalas semua
kebaikan Hawa, kalau memenuhi sekedar pintanya saja ia
tak bisa?
Di saat genting itulah Iblis seperti mendapat angin
segar. Hal yang bisa membuatnya memonopoli surga
abadi. Sebab, ia tahu tak mungkin lagi meruntuhkan hati
Adam yang setangguh koboy itu. Ia telah jera berurusan
langsung dengannya. Dan ia tahu satu-satunya kelemahan
adik bungsunya yang telah jadi musuh bebuyutannya itu;
cinta. Ia tahu siapa pujaan hati si koboy palsu itu. Siapa
lagi kalau bukan; Hawa? Maka, Iblis hendak memikat
Hawa. Maka, setelah ia anggap Tuhan mengijinkan,
dengan muslihatnya ia terus mengelus-elus sisi lain hati
kekasih Adam yang ia tahu sangat rentan melebihi tulang
yang paling rawan.
“Pohon itu pohon Khuldi,” pelan ia membisiki
Hawa. Santai saja lagaknya, seperti makelar yang santun
menjaga reputasinya.
Hihihi.
“Buahnya lezat, sangat lezat.”
Kikikik.
“Lebih lezat dari jahe susu ramuanmu, dari air
yang kau ambil dari Kafur atau Salsabil itu.”
Ikikik.
“Iciplah barang sekupas, niscaya kau bisa mencipta
kerajaan yang tak akan pernah binasa!”
Wakakaka.

60
“Karena cinta yang amat hebatnya mesti dijaga.
Walau bagaimanapun, walau sampai kapanpun.”
Wuakakaka.
Dengan pendekatan gaya makelar yang serius agak
kemacho-machoan dan sedikit menyitir sajak penyair,
sangatlah wajar luruh hati rentan kekasih Adam nan rapuh
itu. Hawa yang memang tak ingin kehilangan cinta
sejatinya. Hawa nan nyata takut tercerabut dari muasalnya
yang sungguh-sungguh ia cintai sepenuh hati. Ia, bila bisa,
ingin bercinta-cinta sepuas-puasnya dengan kekasih
pujaan tambatan hatinya. Walau bagaimanapun, walau
sampai kapanpun.
Iblis sungguh mengerti. Ia belajar banyak dari
perjalanan Adam sang musuh bebuyutan, dari sejak Adam
suka melamun sampai diciptakannya Hawa untuk Adam
seorang. Itu semua menginspirasi hal-hal penting dan
menginisiatifkan strategi jitu semacam lagak makelar nan
puitis tapi tetap santun menjaga reputasi itu demi
mensiasati tangguhnya hati Adam yang segentle koboy
dan rapuhnya hati Hawa melebihi rapuhnya tulang rawan
nan paling rawan. Dan ternyata cuma satu saja intinya;
cinta. Cinta yang merekatkan hati keduanya begitu rupa,
cinta yang enggan dipisahkan, cinta yang mulanya
dihidupkan oleh kekuatan ngungun sepi lamunan, dan
tentu saja cinta yang menuntut adanya pengorbanan. Ia
paham apa yang mesti ia lakukan. Dan Adam sepertinya
mengerti apa yang bakal terjadi.
Ialah?
He‟eh.
Yeuk.

61
Karena sejarah rupanya dimulai oleh orang-orang
berani yang digerakkan oleh kekuatan maha dahsyat cinta.
Sudah, cukup! Yuk tidur! Besok kesiangan!
*
KETIKA kemudian dongeng ini sampai padamu, ia akan
telah mengalami tambalsulam-tambalsulam hingga
mungkin kau sendiri takkan tahu seperti apa rupa
sebetulnya dongeng ini. Tapi, ia tetaplah dongeng abadi,
seabadi „pohon ini tuhan‟, pohon larangan, pohon
Khuldi(?) itu. Ia seabadi kebingungan manusia
menelusuri bingung itu sendiri.

Magelang, 17 Mei 2011.

Catatan kaki:
)*1 : Salah satu baris dari lirik lagu “Apel Adam”, Melancholic Bitch
band: Yogyakarta.
)*2: Sebagian yang disebut di atas adalah benda-benda yang ada di
surga berdasar kitab AL- Qur‟an.
)*3: AL-Qur‟an surat 1 ayat 35. Pohon yang dilarang Tuhan (Alloh)
mendekatinya tidak dapat dipastikan karena Al- Qur‟an dan Hadits
tidak menerangkannya. Ada yang menamakan pohon khuldi (bukan
buah khuldi, jadi penulis menyebut buah dari pohon larangan itu
dengan buah apel, yang dijadikan judul dari cerita ini, terinspirasi
dari lirik lagu “Apel Adam”) sebagaimana tersebut dalam surat ke-20
ayat 120, tapi itu adalah nama yang dibisikkan syetan/iblis. (Catatan
kaki no. 37 dari AL-Qur‟an surat 1 ayat 35).

62
Mawar Sepanjang Jalan

“SASTRA kita sastra Indo!” Tiba-tiba ia telah berada di


depanku. Matanya yang suntuk itu memerah. Roman
mukanya serius. Kami bersitatap sejenak. Terus terang aku
kaget dan gugup. Aku sedang duduk-duduk di taman kota
di sebuah tembok rendah yang mengelilinginya,
menghadap jalan raya. Sebenarnya aku bukan sedang
merenung ramainya kendaraan senja hari. Pikiranku lebih
sibuk bercakap-cakap tentang peringatan hari
kemerdekaan yang jatuh dua hari lagi. Mau tak mau aku
terpengaruh juga oleh semaraknya umbul-umbul, bendera
merah putih, dan banner-banner berisi slogan-slogan
bernada semangat patriotisme yang memenuhi hampir
setiap ruang dan sudut kota. Apakah setelah setengah abad
lebih kita merdeka masih juga memerlukan slogan-slogan
yang berlebihan? Semua itu belum lagi kurangkum
sebagai sebuah kesimpulan ketika kemudian ia datang dan
mengagetkanku dengan pernyataannya yang menambah
bingung itu. “Bagaimana?” Ia lebih dulu tersadar dari
keadaan serba salah itu. Ia jeling mukaku. Keningnya
berkerut. Aku masih agak gugup ketika menggagapi saku
kemeja dan saku celana mencari rokok, dan ternyata tak
ada. Kutemukan sebungkus rokok itu beserta pemantiknya
di samping tempatku duduk ketika tanganku geragapan
menawarinya untuk duduk. “Duduk dulu, kita bisa lebih

63
enak berbicara. Rokok?” kutawarkan rokok. Ia mengambil
sebatang. Kusodorkan pemantik. Disulutnya rokok itu.
“Bagaimana?” Ia sudah kembali pada perangainya
yang banyak tanya, terburu-buru, dan terkesan terlalu
bersemangat itu. Meski kali ini ia tak seperti kemarin-
kemarin. Mungkin karena ia kasihan mendapati mukaku
yang sedikit pucat. Maksudku datang ke taman kota ini
memang hendak bersantai, melepas penat, mencari hawa
luar ruangan yang lebih segar. Kepalaku agak pening tadi.
“Harus kumulai dari mana?”
“Dari mana sajalah! Toh nanti pasti bisa menjalin
dengan sendirinya.”
“Yang kau maksud dengan Indo?”
“Ya Indo, blasteran. Bukan asli Indonesia.”
“Jadi yang asli Indonesia itu yang seperti apa?”
“Tunggu! Tunggu! Jangan ke situ dulu!” sergahnya
sedikit kecewa.
“Terus?”
“Kita kan sama-sama penyair. Meski kau seorang
sejarahwan, tapi kau juga menulis sajak dan menganggit
cerpen. Bahkan karyamu lebih banyak dimuat, diterbitkan,
dan diapresiasi khalayak daripada karya-karyaku. Juga
daripada esai atau penelitian sejarahmu yang lain.”
“Terus?”
“Masa', kau tak merasakannya?”
“Merasakan apa?”
“Karya-karya itu. Sajak, cerpen, novel.”
“Maksudmu?”
Dia mengerutkan kening, sepertinya betul-betul
keheranan. Mungkinkah aku sendiri yang tak nyambung?

64
“Ah, mungkin karena kau sedang sakit. Wajahmu
agak pucat.”
“Aku memang sedikit pusing.”
“Kalau begitu lain kali saja kita bicarakan.
Sebaiknya kau pulang dan istirahat.”
Dia bisa juga merasa iba. Mukanya menyiratkan
kecewa untuk kedua kalinya.
“Begitu mungkin lebih baik.”
“Mau kuantar?”
“Terimakasih. Lain kali sajalah. Aku masih kuat
mengendarai sendiri.”
“Betul?”
“Hm.”
Sebenarnya tubuhku sudah agak limbung dan
pandanganku mulai berkunang. Tapi aku sedang tak ingin
banyak berbincang. Kalau ia yang memboncengkanku
sampai rumah, aku sangsi perbincangan dengannya akan
berhenti. Temanku yang satu ini sulit sekali ditebak
tingkahnya. Dan kalau sudah cocok, kami bisa berbincang
sampai lupa waktu. Kadang aku juga tak kalah bandel.
Menariknya perbincangan kadang bisa mengalihkan
segala kesakitan.
Begitu sampai di rumah aku langsung nuju kamar,
rebah di ranjang tanpa melepas kaus kaki dan pakaian
kerja.
*
KEESOKAN paginya, kuputuskan untuk tetap ke kantor
meski kepala masih pening dan tubuh agak meriang.
Lagipula keberadaanku diperlukan untuk memeriksa
naskah-naskah yang masuk hari ini, juga beberapa urusan

65
lain yang belum sempat kuselesaikan. Apa tidak lebih baik
jika kukerjakan saja di rumah? Kan ada laptop dengan
koneksi internet? Aku jadi bimbang. Sambil mandi,
kuingat-ingat lagi percakapan dengan teman penyair itu
senja kemarin. Sastra Indo, katanya. Kalau maksudnya
ingin menyindir, jelas maksudnya dengan Indo itu sendiri
adalah blaster. Lalu? Mungkin dia lupa bahwa Indo dalam
bahasa Indonesia sendiri sebetulnya berasal dari kata
Indisch, Insulinde. Terus? Kepalaku belum bisa diajak
kompromi. Baiklah, kutunggu saja kapan ia mau
menuntutku lagi untuk mendengarkan celotehannya.
Penyair memang aneh-aneh, terutama temanku ini. Dia
punya pesangon teks yang banyak, tapi dalam mencipta
karya, dia bilang sendiri bahwa ia lebih banyak bermain
rasa, seperti katanya kemarin, “Masa‟ kau tak
merasakannya?” Terus terang, kerjaku lebih banyak
melibatkan pemilihan bentuk dan terutama sesuai dengan
karakter harian kami. Aku jadi ingat perkataan seorang
kawan dalam sebuah forum, “Coba kau hilangkan nama-
nama penyair dari sajak-sajaknya. Kau akan mendapati
gaya yang sama dari nama-nama Chairil Anwar, Sapardi
Djoko Damono, bla bla bla.” Betulkah begitu? Lalu apa
hubungannya dengan sastra Indo? Ah, makin melantur
saja.
Aku telah siap dengan pakaian kerja. Setelah
mandi, tubuhku tak juga beranjak membaik. Barangkali
sarapan telur dan susu bisa membuat sedikit lebih segar.
Barangkali sakitku karena perut kosong, tak ada asupan
energi. Kutuang susu ke dalam gelas, kuberi air panas.
Malas merebus telur, kuambil sekerat roti. Aku sarapan

66
duduk di kursi beranda depan rumah menghadap jalan
mencari segarnya udara pagi. Roti kukerat sedikit-sedikit,
kukunyah, dan kutelan. Lalu gelas itu kudekatkan ke bibir,
dan aku mulai menyeruput pelan sambil melirik jalanan
depan situ yang mulai ramai orang dan kendaraan,
terutama orang-orang berseragam dan anak-anak sekolah.
“Ah, sudah sembuh rupanya! Bagaimana, bung?!”
Hampir saja aku tersedak, dan susu itu tumpah
membercaki kemeja yang kupakai. Ampun! Dia telah
berdiri di halaman yang luasnya tak seberapa itu, sebelah
tangannya bertolak pinggang, dan tangan satunya lagi
menunjuk mukaku. Kepalanya dengan wajah kusut
itu sedikit dimiringkan. Mulutnya terbuka, giginya yang
agak kuning itu menyeringai.
“Ah, kau. Pagi-pagi benar sudah kelayapan. Sejak
kapan kau berada di situ?"
“Kau saja yang keenakan sarapan,” katanya sambil
menuju ke arahku.
“Mau? Biar kubuatkan.”
“Ah, tak usah. Biar kita berbagi sekerat roti dan
segelas susu itu untuk berdua, sepagi ini.”
Tanpa basa-basi, ia rebut gelas di tanganku lalu
meneguknya. “Susu panas. Hm, nikmatnya.” Kemudian
dia bersendawa. “Rotinya juga, ya?” Tanpa menunggu
anggukan kepalaku, ia mencomot roti di atas meja,
membelahnya separuh, dan mengunyahnya terburu-buru.
“Bagaimana yang kemarin itu, bung? Aku mesti
mendengar tanggapanmu.” Pertanyaannya masih terkesan
buru-buru, menuntut seenaknya. Dan sambil berkata
begitu, ia mengaduk-aduk isi tas cangklong yang selalu ia

67
tenteng ke mana-mana itu. “Ini memang merk seorang
aku. Lebih enak menenteng tas cangklong yang berisi
tulisan-tulisanku, beberapa buku, dan bendel-bendel teori
yang berat ini daripada menentengnya dengan tangan. Kau
tahu sendiri, tak ada waktu luang bagiku, harus kuisi
dengan nutrisi segar biar produktif. Bendel-bendel dan
buku-buku itu nutrisi. Sajak-sajak itulah produksiku,”
katanya padaku suatu kali. Kasihan juga orang seperti dia.
Sebagian kawan pesimis memandangnya sebagai seorang
penganggur terselubung, tukang bual, atau pengkhayal.
Padahal, hidupnya suntuk menelusup kesana-kemari
sepanjang waktu, terutama saat-saat malam, memburu
orang-orang, menuntutnya dengan diskusi-diskusi
panjang, atau kadang sekedar memburu sunyi malam itu
sendiri tanpa teman selain sepi, pikiran, dan atau bacaan.
“Kerja? Kerjaku ya seperti ini,” jawabnya ketika
suatu kali kutanyakan apa pekerjaannya. Masih ada juga
penyair model klasik seperti dia; tikus got, kata seorang
kawan, aktor tua yang beralih profesi menjadi seorang
guru. Sedang aku? Aku pun menganggit sajak. Aku kerja
kantoran. Aku juga mengajar di beberapa perguruan tinggi
swasta. Berarti kerjaku lebih serabutan daripada dia.
“Bangsa kita bangsa Indo!” Kali ini lain lagi istilah
yang ia pakai. Aku tak mau terburu-buru menanggapinya.
Bicara dengannya harus sabar.
“Coba kau lihat ini!” Dia menyodorkan sebuah
bendel tebal. Kubuka, ada hubungannya dengan
periodisasi sastra Indonesia.
“Hm, aku sudah pernah menemuinya.” Kubolak-
balik juga.

68
“Itu aku tahu.”
“Lantas?”
“Hanya Angkatan Pujangga Lama saja sepertinya
yang bisa disebut asli. Itu pun hanya mendekati, tidak
sepenuhnya. Mungkin karya-karya sebelum itu lebih
mewakili.” Aku terhenyak. Orang seprogresif dia bisa
bicara begitu?
“Maksudku pengaruh dari isme-isme barat belum
begitu kental di situ.”
Apa regresi bisa jadi progresi?
“Tapi, bahasanya kan keMelayu-Melayuan?”
“Itulah yang membuat aku sedikit bingung.
Indonesia itu sebenarnya yang seperti apa?”
“Melayu yang berevolusi sedemikian rupa.”
“Ya. Dengan mencomot sana-sini. Barat, timur
tengah, timur asing.”‟
“Itu kan dari segi bahasa.”
“Sama saja. Orang Aceh belajar dari Turki. Orang
Minang, Jawa, Menado, dan lainnya dari Eropa. Terutama
dari Belanda. Yamin? Hatta? Tan Malaka? Soekarno?
Marko? Semaun? Syahrir?” Dia menyebut lebih banyak
lagi nama.
“Mereka kan negarawan.”
“Sama aja. Sanusi Pane? Jassin? Bahkan Chairil
pun. Idrus? Pramoedya? Sitor? Rendra? Taufik?
Goenawan?” Banyak nama lagi.
“Produk barat juga.”
Aku makin tersentak. Dia mengatur nafasnya.
“Tapi justru dari belajar dengan orang asing itu,
kita kemudian baru mengerti tentang keIndonesiaan kita.”

69
“Memang tak bisa dipungkiri. Yang aku sayangkan
justru kita makin Indo, terlalu Indo. Dari rambut sampai
kaki, pakaian hingga makanan. Parah lagi gagasan-
gagasannya, pola-pola pikirnya, ungkapan-ungkapan,
simbol-simbol, karya-karyanya.”
Orang seperti dia kalau sudah bersemangat,
bicaranya sering tak terkontrol, kata-katanya berloncatan
tak karuan. Padahal, pesangon teks dan pengalamannya
bertukar pikiran mungkin lebih padat dan intens dari pada
aku. Dan teks-teks serta teman debatnya itu, dari mana
mereka membentuk dirinya?
“Aku lebih suka bermain rasa.” Dia pernah
berterus terang padaku.
Rasa? Rasa yang seperti apa? Dia Jawa. Apakah
yang dia maksud roso dalam istilah Jawa itu? Dan
Indonesia? Rasa yang Indonesia? Rasa yang bagaimana
pula? Dan Sastra Indo? Aku hampir lupa membahasnya.
Sewaktu ingin kutanyakan padanya, ia keburu melenggang
sambil mengempit tas cangklong yang tak lagi dapat
dikenali warna aslinya itu.
“Mau ke mana?”
“Bosan duduk-duduk.”
Atau apakah ia bingung sendiri? Cepat sekali
sikapnya berubah. Bukankah ia yang terlalu bersemangat
tadi? Dan roman mukanya sewaktu jeda tadi menerawang,
ngambang.
“Lantas apa yang hendak kau lakukan?”
“Ambil bagian dalam pesta.”
“Pesta?”

70
“Pesta menyambut peringatan kemerdekaan. Masa'
kau lupa?”
“Oh.” Aku manggut-manggut.
“Barangkali besok dan setelahnya, aku bisa merasa
merdeka sepenuhnya.”
Apakah ia seorang nasionalis? Bukankah KTP pun
ia tak punya? Ia sendiri masih sangsi dengan Indonesia
serta keIndonesiaannya.
“Bung, lain kali kau bisa lebih mengenal aku dan
menyusun konsep tentang Indonesia dan keIndonesiaan itu
dari sana.” Ia menoleh sebelum mencapai pagar pintu
halaman. Pandangnya menusuk mataku.
*
JALANAN masih sepi. Orang-orang lebih banyak
memadati halaman-halaman atau lapangan-lapangan,
hendak memperingati detik-detik proklamasi. Bila jalanan
tak terlalu padat seperti ini, aku lebih bebas melenggang,
bebas dari kemacetan, kecuali bila harus berhenti di lampu
merah. Dan nuansa peringatan kemerdekaan
mengingatkanku pada temanku yang penyair itu. Kemarin
dia bilang ingin ambil bagian dalam pesta peringatan
kemerdekaan. Apakah hari ini ia mengikuti upacara-
upacara itu? Di mana? Di lapangan mana? Di halaman
kantor mana? Rasanya-rasanya, tak ada tempat bagi orang
seperti dia. Jika saja ia nekat masuk ke barisan anak-anak
dan atau orang-orang berseragam itu dengan t-shirt kumal
dan jeans belel serta sandal jepit tipis belang-belang itu,
kira-kira apa reaksi mereka? Aku jadi geli sendiri
membayangkannya.

71
Meriang dan pusingku pelan mulai hilang. Segar
saja yang kurasakan. Acara keliling kota dengan motor
jadi lebih menyenangkan, meski sendirian. Istriku masih
tetirah ke rumah ibunya, besok lusa baru pulang.
Aku mulai bisa menikmati jalan-jalan di kotaku
sendiri yang mulai melebar dipenuhi ruko, kios-kios, dan
pedagang kaki lima di sepanjang pinggirannya, ketika
kemudian terdengar suara sirine meraung-raung dari
sebuah arah. Suara sirine itu seperti menggiringku pada
suasana revolusi. Umbul-umbul yang berkelebatan ditiup
angin itu seperti gerilyawan yang dengan gagahnya
memasuki kota sambil menyapa setiap orang yang mereka
temui.
”Merdeka!”
“Sekali Merdeka Tetap Merdeka!”
“Merdeka! Teruslah Berjuang! Revolusimu Belum
Selesai!”
Aku merasa trenyuh. Tapi, tak lama kemudian,
banyak sekali remaja berseragam mengalir keluar dari
sebuah sekolah di pinggir jalan yang kulalui. Aku menepi
ke sebuah mulut gang, dan terus masuk menyusuri gang
itu. Beberapa ratus meter kemudian aku celingukan,
kebingungan mencari arah. Akhirnya kupilih saja secara
serampangan; belok kiri, kanan, lurus, belok kanan lagi,
lurus, belok lagi berulangkali hingga suara-suara tinggal
sayup-sayup saja. Belum juga kutemukan arah menuju
jalan besar, ketika tiba-tiba dari mulut sebuah gang
melintas orang-orang dengan wajah lebih banyak ditekuk.
Dengan sendirinya aku menepi. Kuperhatikan jalanan
dengan seksama. Ada taburan mawar di sepanjang jalan

72
situ. Ada juga orang mati di hari peringatan proklamasi,
pikirku. Kutunggu rombongan itu lewat. Mereka tak
banyak cakap. Karena penasaran, kuhentikan seseorang di
barisan belakang rombongan.
“Maaf mas, siapa yang meninggal?”
“Seseorang.”
“Ya?”
“Seorang warga yang indekos di sini.”
“Oh. Kapan meninggalnya?”
“Kemungkinan semalam tadi, mas.”
“Lelaki atau perempuan?”
“Lelaki.”
“Dikuburkan di kampung sini?”
“Itu keputusan kami bersama. Tak ditemukan
identitas padanya. Kami hanya tahu bahwa ia indekos di
sini. Orangnya jarang berbaur dengan tetangga. Tapi,
selebihnya, ia tak pernah berbuat onar, meski
penampilannya sedikit urakan.”
“Orang tanpa identitas yang jelas mengapa
diijinkan indekos di sini?”
“Entahlah. Hal itu sedang kami usut. Maksudnya,
setelah ini, ibu kosnya baru akan disidang oleh Pak Rt.
Yang penting bagi kami adalah mengurus jenazahnya
secara layak. Nah, bapak ini sedang apa?”
“Oh, saya sedang mencari gang yang menuju jalan
besar. Saya kehilangan arah tadi.” Ditunjukkannya padaku
gang yang menuju jalan besar itu.
“Terimakasih, mas.” Aku melenggang di atas
motor mengikuti arah yang telah ditunjukkan orang tadi,

73
pelan saja. Wangi mawar memenuhi hidung, bukan
menyegarkan tapi membikin nglangut.

Magelang, 2012.

74
Seorang Pemuda dan Anjingnya

AKU belum juga memperoleh pekerjaan baru. Maksudku


pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Namun, aku tidak
benar-benar menganggur. Sebagian besar waktuku
kuhabiskan untuk menulis. Aku berharap menulis bisa
menafkahiku. Meskipun kenyataannya sampai saat ini
belum ada satu pun tulisan yang kukirim ke media pernah
dimuat dan menghasilkan uang. Aku cuma mengandalkan
sisa simpanan gaji terakhir dari pekerjaanku sebelumnya.
Dan hari ini uangku benar-benar habis. Aku tak mampu
lagi membeli makanan. Aku masih belum tahu bagaimana
caranya agar bisa makan hari ini dan untuk hari-hari
selanjutnya.
Bisa saja aku pulang ke rumah ibuku. Kalau
kuberitahukan kesulitanku padanya, pasti ia akan
memberiku makanan yang layak dan juga uang. Tapi di
balik itu, aku tahu ia akan merasa sedih dan nelangsa.
Lagipula aku masih enggan jika mesti bertemu bapakku di
sana. Perseteruan antara kami belum bisa dibenahi.
Perseteruan yang membikinku memutuskan untuk tinggal
indekos sendiri. Tidak. Aku tak akan pulang. Setidaknya
untuk saat ini. Begitu pula, aku tak mungkin menghubungi
kawan-kawan dekatku hanya untuk mengabarkan kalau
aku tengah kesulitan dan butuh uang. Mereka sudah
memiliki kehidupan dengan keluarga masing-masing. Aku

75
tak mau merepotkan mereka. Maka, kuputuskan saja kalau
hari ini aku akan puasa.
Aku melirik sofa hitam yang mulai lapuk di
sebelah kiri pintu kamar tempatku berdiri bersandar.
Anjingku masih malas-malasan di situ. Ia belum tahu
kalau pagi ini tak bakal dapat makan. Baiklah, biar ia
tenang dalam ketidaktahuannya. Oh, perut. Bagaimana
bisa aku tergelincir dan terpuruk dalam urusan begini?
Aku harus mengalihkan pikiranku ke hal-hal lainnya.
Sebaiknya aku menulis saja. Aku sedang merampungkan
sebuah cerita pendek tentang seorang pemuda sebatang
kara yang dalam situasi terburuk dalam hidupnya justru
berhasil mengenali jati dirinya.
Kututup pintu kamar. Aku segera menuju meja
belajar, duduk, dan menyalakan notebook. Aku berharap
kali ini akan berjalan lancar. Aku mulai mengingat
sebagian cerita yang telah kutulis. Namun, pikiranku
selalu berbelok pada bagaimana caranya agar aku dan
anjingku dapat makan, bagaimana caranya membayar
sewa kos, dan sederet pikiran lain yang berhubungan
dengan hal itu. Alhasil, aku gagal fokus. Sementara itu
notebook telah menyala. Aku membuka file ceritaku.
Kubaca dan kubaca ulang sampai aku mulai bisa fokus
pada ceritaku sambil membenahi bagian-bagian yang
kurasa kurang sesuai. Pikiran-pikiran mengenai kesulitan-
kesulitanku belakangan ini kujadikan landasan bagi bentuk
dan jiwa ceritaku. Tak mudah memang. Kadang aku
berhenti di satu kalimat, atau merombak satu paragraf.
Tapi aku terus bertahan. Aku menulis, membaca ulang,
berhenti untuk berpikir lebih jernih, dan menulis lagi,

76
begitu seterusnya hingga perhatianku sepenuhnya tertuju
pada cerita yang kutulis. Aku sampai mengabaikan waktu
sholat. Aku mengabaikan gonggongan anjingku. Aku kira
itu hanya gonggongan biasa. Hanya ketika kemudian
gonggongan itu semakin gencar disertai ketukan berulang
di pintu, aku berhenti sejenak, menggeliat untuk
melemaskan ketegangan di tubuhku, lalu beranjak ke pintu
dan membukanya. Anjingku berhenti menggonggong, dan
menguik-nguik menatapku. Aku tersadar kalau belum
memberinya makan sejak pagi. Dan kini hari telah sore.
Aku tersadar lagi kalau aku juga belum makan. Tapi aku
kan puasa? Tapi bagaimana dengan anjingku? Aku
menatapinya. Ia menjulur-julurkan lidahnya.
"Maafkan aku. Tak ada makanan hari ini," kataku
sambil menggelengkan kepala.Ia menguik kecewa. Aku
merasa iba dan bersalah pada anjingku. Tapi aku hanya
diam menatapinya. Tiba-tiba ia menggonggong penuh
semangat dan berlari ke pintu pagar, lalu kembali padaku
dan merangkul kakiku dan menarik-narik ujung celana
panjangku dengan kaki depannya sambil terus
menggonggong dan menengok-nengok ke pintu pagar.
Aku masih diam. Aku tahu ia hendak mengajakku jalan-
jalan sore. Namun, kali ini aku tak berhasrat
melakukannya.
"Maafkan aku. Kita tak akan melakukannya kali
ini," kataku sambil menggelengkan kepala untuk ke dua
kalinya. Ia menguik dan nampak kecewa untuk ke dua
kalinya. Aku duduk bersila di pintu dan menatapinya. Ia
menghindariku dan mulai berlarian tak jelas di beranda
dan di halaman sambil menguik-nguik dan mengendusi

77
lantai, dinding, dan setiap benda yang ia temui sebelum
akhirnya kelelahan sendiri dan berakhir nglumpruk di sofa
hitam ketika terdengar adzan Maghrib. Rupanya ia pura-
pura tidur. Sesekali ia membuka matanya dan melirikku
dan kembali menutup matanya. Aku berdiri dan menekan
saklar di dinding dekat pintu. Aku mencari air minum di
dalam kamar. Namun, bahkan air minum pun aku sudah
tak punya. Aku lalu berjalan melewati lorong beranda
kamar-kamar tetangga kos yang kosong menuju kamar
mandi di deretan paling ujung. Aku masuk, dan membuka
keran, menadah airnya dengan tangan dan meminumnya.
Itu lumayan sedikit mengurangi rasa haus dan laparku.
Aku teringat pada anjingku. Barangkali ia juga belum
minum seharian ini. Aku belum mengganti air di tempat
minum anjingku. Lalu aku keluar kamar mandi menuju
sofa hitam dan mengambil tempat minum anjingku,
mengisinya dengan air keran, dan meletakkannya di lantai
di depan sofa hitam. Anjingku masih nglumpruk di sofa
hitam. "Minumlah!" kataku. Ia cuma membuka matanya
dan melirik padaku. "Ayo, minumlah!" kataku lagi. Ia
cuma menguik pelan. "Baiklah kalau tak mau," kataku
akhirnya. Kutatapi matanya. Ia melengos dan menutup
matanya lagi. Kutepuk-tepuk kepalanya. Ia diam saja.
Sambil menghela napas, aku masuk kamar dan menutup
pintu.
Aku kembali menghadap notebook dan
melanjutkan lagi ceritaku. Kali ini aku dengan mudah
masuk pada jalan cerita yang kutinggalkan sebelumnya.
Air keran itu lumayan mengganjal perutku dan menjaga
kesadaranku. Aku mulai menulis lagi dengan pelan dengan

78
cara yang sama seperti sebelumnya. Aku berhenti ketika
mendengar kokok ayam jantan bersahutan. Aku melihat
jam. Pukul satu dinihari. Ceritaku belum selesai. Namun,
aku memang sudah lelah dan mengantuk. Kusimpan
ceritaku, kumatikan notebook, lalu rebahan di kasur busa.
Aku tak tahu kapan mulai tertidur. Aku tersadar
ketika pagi-pagi sudah terdengar gonggongan dan ketukan
berulang di pintu kamar. Aku tergeragap bangun lalu
membukanya. Anjingku berhenti menggonggong,
menguik-nguik, menggigit ujung celana panjangku, dan
menyeretku ke sofa hitam. Aku disuruh duduk kemudian
ia menatapiku dan menggonggong lagi dan memalingkan
moncongnya ke pintu pagar dan menunjuk-nunjuk padaku
dan menggeleng-geleng. Aku belum dapat memahami
maksudnya dengan jelas.
"Kamu mau apakah?" tanyaku sambil mengucek-
ngucek mata.
Ia menggonggong, menunjuk-nunjuk padaku
dengan moncongnya, dan menggeleng-geleng, dan lalu
beranjak ke pintu pagar. Aku membuntutinya. Ia berhenti
dan menggeleng-geleng dan mendorongku ke sofa hitam
kembali. Aku duduk. Ia menunjuk-nunjuk padaku dan
menggeleng-geleng dan kembali menuju pintu pagar. Aku
diam. Ia berhenti di pintu pagar dan berbalik menatapiku
dalam diam. Aku menatapinya. Matanya sedikit berkaca-
kaca. Jadi ia ingin pergi sendirian. Jadi ia telah tahu kalau
aku sudah tak punya makanan. Ia ingin mencari makanan
sendiri di luaran sana; di jalanan atau di kampung-
kampung; mengais-ngais sisa makan orang atau
mengemis. Hal yang sebelum ini tak pernah ia lakukan.

79
Aku merasa sedih dan iba. Aku ingin mencegahnya, tapi
tak kuasa, karena ia sendiri yang berkeinginan untuk pergi.
Kami bertatapan agak lama sampai kemudian ia menguik,
berbalik, dan berjalan pelan melewati pintu pagar, menuju
halaman, dan menghilang di gang. Aku masih diam di
tempatku. Aku hanya berharap agar ia mendapatkan
makanan yang bersih. Aku berharap agar ia tak diganggu
anjing lain atau orang jahat, dan ia tak menerkam anak
ayam milik orang lain. Aku berharap agar ia lekas
kembali. "Maafkan aku," bisikku lalu kembali masuk
kamar.
Aku rebahan di kasur busa dan merenung. Ini
memasuki hari ke dua dimana aku tak bisa makan dan tak
bisa memberi makan anjingku hingga ia memutuskan
pergi mencari makan sendiri. Apa yang mesti kulakukan?
Apa aku minta pekerjaan lagi di percetakan saja? Tidak
mungkin. Posisiku telah digantikan orang lain. Apa aku
hutang di warung saja? Tapi aku belum pernah hutang
sebelum ini. Aku malu. Lagipula apa pemilik warung akan
percaya padaku? Apa aku pulang saja kali ini? Semuanya
tak memberikan penyelesaian yang terang. Aku merasa
sedikit pusing. Perutku juga mulai mengeluarkan suara
tanda kosong tak ada yang dicerna. Tenang. Tenangkan
dirimu, kataku pada diri sendiri. Aku bangun dan duduk di
kasur busa bersandar pada dinding. Kupejamkan mataku
dan mengatur napas. Selang beberapa saat aku mulai bisa
fokus pada napasku. Pusing di kepala sedikit berkurang.
Dan perutku, meski kadang masih berbunyi, namun tidak
sampai melilit. Aku membuka mata. Lebih baik aku puasa
lagi. Lebih baik aku melanjutkan ceritaku, kataku yakin.

80
Aku beranjak ke depan meja belajar dan duduk dan
menyalakan notebook. Begitu notebook menyala, aku
segera mencari file ceritaku. Begitu ketemu, kubuka dan
mulai membacanya. Namun perhatianku pecah lagi.
Bagaimana, bagaimana, dan lapar dan haus dan pusing.
Alhasil, aku jadi kesulitan melanjutkan ceritaku. Kadang
aku menulis begitu pelan karena jadi lamban berpikir.
Kadang aku menulis dengan cepat seperti kesetanan
menuruti imajinasi yang mekar tak tentu arah akibat rasa
cemas. Tentu saja kuhapus setelah kubaca berulang kali.
Itu semua hanya membuat tulisanku sulit berkembang.
Keadaan itu terus berlangsung sampai siang hari, sampai
aku merasa begitu lelah dan lapar dan haus, sampai tanpa
sadar aku pun tertidur.
Sorenya ketika aku terbangun, perutku terasa
melilit-lilit, dan tubuhku mulai gemetar, dan kepalaku
pusing. Ketika aku menahan itu semua sambil memikirkan
anjingku dan mencari cara bagaimana agar dapat makan,
lamat-lamat kudengar gonggongan anjing dari arah utara.
Hatiku berkecamuk antara rindu dan iba; rindu pada
anjingku, dan iba pada diriku sendiri yang kualihkan
seluruhnya pada anjingku. Aku memang kelaparan.
Namun, bagaimana dengan anjingku? Batinku mulai
didera bermacam pertanyaan dan jawaban yang simpang
siur. Di mana kamu sekarang? Tak tahu. Bagaimana
makanmu? Aku masih puasa. Apakah kamu telah
mendapatkan tuan yang jauh lebih baik daripada aku?
Tuanku telah kehilangan anjingnya. Mengapa kamu tak
pulang? Aku sudah kembali. Apakah anjing yang
menggonggong itu kamu adanya? Untuk meredakan

81
semua itu, kupaksakan diri beranjak ke jalan di depan
gang meski tubuh agak gemetar dan menahan lilitan perut
dan sedikit pusing, dan cemas. Kantor Polisi Sektor
nampak ayem-ayem saja. Dua orang polisi sedang
bercakap-cakap di trotoir. Aku tak menghiraukan atau
menyapa mereka. Jalan memang agak sepi. Tak banyak
orang maupun kendaraan yang lewat. Suara gonggong
anjing masih terus menyalak tapi anjingnya masih tak
tampak. Aku tertatih mencari-cari asal suara itu. Aku
sangat berharap suara itu keluar dari moncong anjingku.
Anjingku, kamukah itu? Bukan. Apakah kamu mencariku?
Tak perlu mencariku. Kamu kangen juga padaku? Tidak.
Aku berjalan ke kanan, menyusur trotoir. Belum juga
tampak. Baru beberapa meter kemudian aku mendapati
suara itu makin keras, makin jelas. Aku berdebar-debar.
Tanganku berkeringat. Aku sangat berharap bahwa suara
itu memang keluar dari moncong anjingku. Tapi salak
anjing itu kini bertingkahan dengan suara bocah-bocah
kecil yang bersorak.
"Abu! Abu! Ck, ck, ck!"
"Guk! Guk!"
Aku sampai di sebuah mulut gang dan bersandar di
dindingnya. Ada beberapa anak kecil yang jongkok
menjentikkan ibu jari dan jari tengahnya ke arah seekor
anjing yang warna dan resam tubuhnya mirip dengan
anjingku. Suara-suara mereka ramai bersahutan. Masing-
masing berebut untuk mendapatkan perhatian anjing yang
berwarna abu-abu itu. Seorang bocah yang nampak alim
duduk di sebuah tembok rendah pinggir gang. Di
tangannya tergenggam seutas rantai yang berujung di leher

82
si anjing. Anjing itu berlarian ke arah bocah-bocah yang
jongkok tadi, namun tak pernah mencapai mereka karena
si bocah alim selalu menarik rantai ke arahnya sendiri, dan
si anjing dengan agak terpaksa kembali padanya. Bocah-
bocah kecil saling tertawa gembira. Pelan aku ikutan
jongkok dan menjentikkan jariku dan memanggil anjing
itu, "Ck, ck, Abu, Abu," aku menirukan bocah-bocah itu.
Anjing itu diam dan menatapiku. Bocah-bocah ikutan
diam dan menatapiku. Aku mendekat setindak dua tindak
pada si anjing. Anjing itu tetap diam di tempatnya. Aku
berhenti begitu dekat dengan si anjing. Anjing itu
menggonggong menunjuk ke arahku dengan moncongnya,
namun masih duduk di tempatnya. Kuusap kepalanya
dengan tanganku yang gemetaran. Dia menguik-nguik,
dan hendak menjilatiku. Aku mundur dua tiga tindak. Dia
hendak mendekat padaku, namun ditarik oleh si bocah
alim. Dia kembali diam menatapiku. Aku menatap
matanya. Tidak begitu jelas, kecil, tapi aku yakin aku
melihat cerminan diriku. "Guk!" ia menggonggong.
"Apakah ia anjingmu?" tanyaku pada si bocah alim yang
selama itu diam. Bocah alim itu mengangguk meyakinkan.
"Baru," tambahnya. "Jaga ia baik-baik," kataku pelan,
lebih kepada diri sendiri. "Guk! Guk! Guk!" Anjing itu
kembali menggonggong dan terus menggonggong
berusaha mendekatiku. Aku berbalik, pulang, dan bertekad
menyelesaikan ceritaku.

Magelang, 2021.

83
84
Hujan Kesepian
(Sebuah Parabel)

BANJIR bah melanda kota itu beberapa puluh tahun lalu.


Beberapa orang yang selamat dari malapetaka itu mulai
meragukan faedah matahari. Bagi mereka justru
mataharilah penyebab besar atas terjadinya malapetaka itu.
Panas matahari telah menyerap seluruh air kota itu,
mengumpulkannya di langit kota itu, dan kemudian
menumpahkannya tak habis-habis selama berminggu-
minggu hingga benar-benar menenggelamkan kota itu.
Maka mereka mencari cara agar matahari tak melewati
langit kota mereka. Mereka menyimpulkan bahwa
menyelubungi penampakan matahari yang melintasi langit
kota mereka adalah cara yang paling masuk akal. Itu
seperti dalam prinsip gerhana matahari. Bedanya adalah
mereka membikin benda hitam yang mampu mencegah
penampakan matahari seluas kota itu. Benda itu diorbitkan
di langit kota mereka dimulai pada satu lokasi dimana
fajar biasanya terbit di kota itu dan dikontrol dengan
sistem otomatis seturut lintasan matahari sampai titik
terbenamnya matahari di kota itu. Begitulah siang hari
berjalan layaknya terjadi gerhana matahari. Alhasil kota
itu kemudian sulit sekali didatangi hujan.
Tanpa matahari, bagaimana mungkin seluruh air
kota itu bisa diubah menjadi hujan? Rupanya mereka
85
cukup puas dengan hujan kiriman kota tetangga yang tak
seberapa atau membikin hujan buatan yang bisa
dikendalikan.
Akan tetapi untuk melihat dengan terang mata
mereka membutuhkan cahaya. Maka dengan akal mereka
kemudian menciptakan sendiri sumber cahaya yang
mereka sebut lampu. Maka kemudian bertebaranlah
lampu-lampu di setiap sudut kota itu yang cahayanya
membias ketika menyentuh kulit bening orang-orang kota
itu. Setelah peristiwa banjir bah beberapa orang kota itu
yang selamat dan terus hidup memang kemudian berkulit
bening akibat terlampau lama mengucindani hujan dan
menanggung dingin yang kejam. Kota itu memang masih
dapat tumbuh dan dikenali karena cahaya lampu. Tapi
bayang-bayang orang kota itu mudah membiak dan
memanjang menembus tiang-tiang dan gedung-gedung,
dan jatuh hingga tempat-tempat terjauh hingga membikin
kacau penglihatan. Orang seolah mampu berada di mana-
mana. Orang kota itu jadi tak mempedulikan lagi nama
mereka. Bila ditanya, siapa namamu? Maka mereka lebih
suka menjawab, Aku. Alhasil ada banyak Aku di kota itu.
Kalau begitu bagaimana mungkin orang kota itu bisa
membedakan satu sama lain?
Ada yang tumbuh di tubuh kota itu yang sewaktu-
waktu bisa saja menciptakan malapetaka seperti yang
pernah terjadi pada leluhur mereka sebelumnya. Tapi hal
itu terlindas oleh rutinitas yang tak lagi menyisakan waktu
luang buat merenungkannya lebih dalam. Orang-orang
nampak lebih percaya bahwa diri mereka seluruhnya
bening dan mudah bersinar. Mereka percaya bahwa

86
mereka jadi mudah untuk lebih dekat satu sama lain dan
belajar mengutarakan maksud-maksud mereka dengan
terang demi mencapai tujuan mereka masing-masing.
Mereka terus mensiasati waktu tanpa melibatkan matahari.
Mereka mulai pandai berhitung tanpa bantuan terang
matahari. Mereka memang mampu menciptakan alat-alat
sendiri buat berhitung; kalender, jam, kalkulator, stop
watch. Mereka mempercayakan langkah mereka setiap
harinya pada alat-alat itu buat diukur dan dibandingkan.
Kecepatan langkah dan kepandaian berhitung itulah yang
digunakan orang-orang untuk membedakan dirinya satu
sama lain.
Maka begitulah, seperti kunang-kunang dengan
bayangan yang menyeribu mereka mulai menyesaki kota
itu tiap-tiap pagi yang datangnya cuma bisa ditandai lewat
hitungan jam, yang terangnya memendar dari lampu-
lampu dan membias dari tubuh orang-orang kota itu.
Mereka mulai dan terus berlomba untuk cepat-cepat
sampai ke tempat-tempat dan tujuan-tujuan mereka,
bersaing untuk meningkatkan kemampuan mereka,
menukarkan kecepatan gerak dan kepandaian berhitung
untuk terus bisa ditukarkan dengan oksigen kota tetangga.
Orang-orang jadi sering bergesekan dan bertubrukan satu
sama lain dan dengan bayangan mereka sendiri dan yang
lainnya.
Ditambah dengan sedikitnya tumbuhan dan
semakin menjamurnya bangunan-bangunan selain dari
kayu, kota itu kemudian mudah sekali terselubungi hawa
panas. Orang-orang pun kemudian semakin mudah gerah.
Orang-orang jadi makin lekas marah. Orang-orang mulai

87
saling curiga satu sama lain. Orang-orang harus lebih teliti
berhitung dengan kesempatan karena sudah harus
mempertaruhkan kepercayaan yang mulai retak. Orang-
orang mulai was-was meneropong kemungkinan-
kemungkinan akan kesempatan yang mulai sulit
didapatkan itu dalam setiap waktu yang bergegas.
Hawa panas itu juga mudah menguapkan air dan
menciptakan mendung di kota itu yang sesekali didorong
angin kota tetangga entah ke mana. Cahaya lampu pun
menjadi berkurang terangnya. Hari-hari kota itu pun mulai
sering datang dan berlalu dengan muram. Orang-orang
pun mulai enggan turun ke jalan. Mereka mulai lebih
sering berdiam di rumah masing-masing untuk
menghindari gerah yang terus melingkupi kota itu. Mereka
belajar membaca kemungkinan-kemungkinan di rumahnya
masing-masing. Mereka mulai suntuk menghitung
kesempatan dengan kulit tubuh mereka yang pelan mulai
kehilangan beningnya akibat dari hawa kota itu yang terus
sumuk dan dari gesekan-gesekan dan tabrakan-tabrakan
dengan sesama mereka dan dengan bayangan-bayangan
mereka sendiri dan lainnya. Mereka memang mulai
kehilangan kepercayaan pada diri mereka masing-masing,
lalu kehilangan kepercayaan satu sama lain.
Begitu sadar bahwa kemungkinan-kemungkinan
kesempatan itu makin sukar diperhitungkan, mereka
mencari sisa-sisanya yang masih tersimpan di kamar-
kamar yang sebelumnya sering mereka tinggalkan, di
ruang keluarga yang sebelumnya mereka acuhkan
keberadaannya, di kamar mandi yang makin keruh airnya,
di dapur mereka yang jarang menyediakan makanan buat

88
mereka sendiri. Mereka mulai mempelajari lagi makna
sebuah rumah, canda tawa keluarga, senyum tetangga.
Mereka memang lebih sering berada di rumahnya
menghindari gesekan-gesekan dan tabrakan-tabrakan
dengan sesamanya dan bayangan mereka, dan hawa
sumuk dari mendung yang makin sering menjadi terlalu
lama menggantung di langit kota itu. Kota itu makin sulit
mendapatkan sejuknya. Begitupun angin kota tetangga
mulai jarang mampir. Hujan buatan makin jarang mereka
bikin.
Makin jarang orang-orang keluar rumah, makin
sedikit lampu kota itu yang dinyalakan, makin jarang
mereka berkitaran di jalan-jalan, keluar masuk gedung-
gedung. Mungkin di dalam kamar masing-masing mereka
mulai berpikir untuk kembali mendatangkan matahari ke
langit kota itu. Mungkin dengan begitu mereka bisa
menumbuhkan tanaman dengan baik dan menyediakan
oksigen sendiri secara layak. Mungkin dengan itu mereka
bisa melihat dengan terang segala perhitungan mengenai
kesempatan. Mungkin dengan satu sumber cahaya saja
masing-masing mereka cuma akan memiliki satu
bayangan saja sehingga tak membikin mata mereka
kerepotan membedakan bayangan masing-masing dan
bayangan orang lain.
Tapi itu memang pagi yang lain. Mendung sudah
terlalu berat dan lama menggantung di langit kota itu.
Sebelum seseorang memutuskan untuk keluar melihat-
lihat keadaan kotanya, akhirnya sebentuk tiupan mulai
menggoyangkan mendung itu. Tiupan angin dari kota
tetangga itu makin kencang dan terus kencang. Mendung

89
itu akhirnya teramat lelah menanggung segala air yang
telah diserapnya dari kota yang lesu dan payah itu selama
bertahun-tahun terakhir. Mendung itu pun mulai
menumpahkan airnya, melepaskan lelahnya ke kota itu.
Hujan benar jatuh membasuh seluruh sudut kota itu dan
terus melebat memukuli jalan-jalan yang lengang, gedung-
gedung yang muram dan kesepian, tiang-tiang dan menara
yang diam dan hitam umpama arca tentara kalah perang.
Seluruh sudut kota itu mulai dihajar hujan yang mungkin
saja sama dengan hujan yang menghantarkan bencana
banjir bah di kota itu beberapa puluh tahun lalu. Orang-
orang kota itu merasakan hujan begitu gencar memukuli
atap rumah mereka, menimbulkan dengingdesau di kepala
mereka. Mereka merasa kesunyian dalam kamar masing-
masing.

Magelang, 2013-2019.

90
Tentang Penulis

Ridwan Kh, lahir di Magelang, 28 Juli. Buku


kumpulan cerpennya yang pertama adalah
“Hujan Sendirian dan lain-lain cerita pendek” yang terbit tahun
2014 oleh Garudawaca. Beberapa puisinya terhimpun dalam
Antologi Sajak 18 Penyair Kontemporer Magelang “Kilometer
Nol” pada tahun 2014;Seri Dokumentasi Sastra Antologi Puisi
Pendhapa #25 “Cermin Waktu” pada tahun 2019, bukuKatta
TBJT; Antologi Puisi 38 Penyair Magelang “Taman di
Seberang Ingatan” pada tahun 2020, Tri Bee, Magelang. Saat
ini mengelola DiKSi Bookshop dan DiKSi Publisher.

FB: Ridwan Kh
IG: cholifatul_ridwan
Email: cholifatulridwan1@gmail.com

91
92
“Ada yang tumbuh di tubuh kota itu yang sewaktu-waktu bisa
saja menciptakan malapetaka seperti yang pernah terjadi pada
leluhur mereka sebelumnya. Tapi hal itu terlindas oleh rutinitas
yang tak lagi menyisakan waktu luang buat merenungkannya
lebih dalam. Orang-orang nampak lebih percaya bahwa diri
mereka seluruhnya bening dan mudah bersinar. Mereka
percaya bahwa mereka jadi mudah untuk lebih dekat satu sama
lain dan belajar mengutarakan maksud-maksud mereka dengan
terang demi mencapai tujuan mereka masing-masing. Mereka
terus mensiasati waktu tanpa melibatkan matahari. Mereka
mulai pandai berhitung tanpa bantuan terang matahari.”

“Hujan Kesepian” merupakan buku kumpulan cerpen karya


Ridwan Khalifatulloh yang berisi 9 cerpen. Buku ini merupakan
terbitan ulang dari buku kumpulan cerpen yang berjudul
“Hujan Sendirian dan lain-lain cerita pendek” yang diterbitkan
tahun 2014 dengan mengeliminir 5 cerpen dan menambahkan
1 cerpen.

DiKSi Publisher @ Juni 2022

93
94

Anda mungkin juga menyukai