Anda di halaman 1dari 2

Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih

kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan. Kemerdekaan tidak dapat tercapai
hanya melalui jalur politik, namun juga peran penting pendidikan. Agar pendidikan dapat
berjalan dengan baik di seluruh lapisan masyarakat, diperlukan penopang yang kuat untuk
menolak segala bentuk kekuatan ataupun kekuasaan yang mengancam pendidikan secara
menyeluruh. Selain pendidikan kecerdasan pikiran perlu ada pendidikan kultural agar tidak
melupakan budaya yang ada sejak dulu. Pendidikan di Indonesia banyak yang mencontoh
dari negara Barat. Oleh karena itu harus diimbangi dengan pendidikan budaya agar budaya
yang kita miliki tidak luntur tergerus zaman. Adat istiadat mungkin sudah mulai hilang dalam
masyarakat kita, namun budaya akan tetap ada dan tumbuh di dalam masyarakat contohnya
budaya gotong royong di sekolah. Siswa dilibatkan untuk bekerja bakti bersama-sama
membersihkan sekolah, kegiatan tersebut memperkuat kecerdasan sosial emosi peserta didik.
Ki Hadjar Dewantara memberikan nasihat “Didiklah anak-anak kita dengan cara yang sesuai
dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri.” Beliau juga mengatakan bahwa anak-anak
perlu diperkenalkan dengan adat istiadat bangsa, bukan berarti kita meniru mentah-mentah
adat tersebut namun menjadikan adat sebagai petunjuk yang berharga bagi kehidupan bangsa
di masa yang akan datang. Menurut Ki Hadjar Dewantara zaman sekarang tidak ada contoh
yang positif untuk ditiru model pendidikannya. Saat ini masih dipakai bentuk rumah sekolah,
daftar pelajaran yang kaku sehingga tidak memberi semangat mencari ilmu pengetahuan
sendiri dan tentunya siswa masih terancam dengan sistem penilaian yang intelektualis. Siswa
harus menghadapi ujian yang tuntutannya sangat berat. Mereka belajar hanya untuk
mendapatkan nilai kuantitatif yang tinggi dalam rapornya.

POLITIK PENDIDIKAN KOLONIAL DI ZAMAN VOC DAN HINDIA BELANDA

Pendidikan diberikan hanya untuk para buruh/karyawan perkebunan untuk mendukung


perdagangan Hindia Belanda. Pendidikan yang diberikan hanya membaca, menulis, dan
berhitung sederhana. Pendidikan diterapkan semata-mata untuk memperbesar keuntungan
perusahaan kolonial. Pada tahun 1816, pemerintah Hindia Belanda menyusun
Regeeringsreglement (disingkat R.R.) semacam undang-undang yang menyebut tentang
pemeliharaan pengajaran. Namun pada kenyataannya, aturan yang dibuat tidak pernah
dilakukan. Di tahun 1854 para bupati dibebaskan untuk mendirikan sekolah kabupaten. Akan
tetapi sekolah tersebut hanya diperuntukkan pada calon pegawai. Pada tahun 1866, sekolah
bumiputera lahir dengan hanya terdiri dari 3 kelas. Setelah itu pemerintah Hindia Belanda
memperbolehkan para pemuda pribumi untuk bersekolah. Tetapi hanya golongan tertentu
yang diizinkan, yaitu para calon dokter. Tujuan pendirian sekolah tersebut sama, yaitu
menambah keutungan perusahaan Hindia Belanda.

TAMAN SISWA

Pada tahun 1922 lahirlah Taman Siswa sebagai gerbang emas kemerdekaan dan kebebasan
kebudayaan bangsa. Sekolah Taman Siswa memiliki konsep memerdekakan dengan tiga
semboyan yaitu ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karya, tut wuri handayani. Yang
artinya di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi
dorongan. Ki Hadjar Dewantara ingin bangsa ini memiliki karakter yang sejalan dengan nilai
luhur dan norma yang berlaku. Pemikiran beliau relevan dengan kebijakan pemerintah saat
ini yaitu menggunakan konsep pendidikan karakter dalam merdeka belajar. Selama ini
pendidikan lebih menekankan aspek pengetahuan sehingga aspek karakter dan ketrampilan
kurang tersentuh. Seiring berkembangnya zaman, penanaman pendidikan karakter harus
diperkuat agar tidak hilang oleh budaya Barat.

Sumber:

https://www.kompasiana.com/ismilianurcahya4995/63a06e1208a8b57143139982/perjalanan-
pendidikan-sebelum-dan-sesudah-kemerdekaan-serta-refleksi-mata-kuliah-filosofi-
pendidikan-indonesia

Anda mungkin juga menyukai