Anda di halaman 1dari 7

Perang salib dan pengaruhnya pada perubahan sosial,ekonomi dan

politik di abad pertengahan

Anita Selviana
Email: anitaselvia28@gmail.com
Pendidikan Sejarah, Universitas Islam Sumatera Utara

Abstrack
Perang Salib merupakan serangkaian ekspedisi militer oleh kekuatan Kristen Eropa ke
Timur Tengah pada abad ke-11 hingga abad ke-13. Tujuan utamanya adalah merebut
kembali Yerusalem dan Tanah Suci dari kekuasaan Muslim. Perang ini bermula dari
seruan Paus Urbanus II pada 1095 yang memobilisasi raja-raja Eropa untuk berperang.
Setelah berlangsung selama hampir 200 tahun dalam delapan gelombang besar, Perang
Salib ternyata memberi dampak mendalam bagi peradaban Eropa dan Islam dalam
bidang sosial, ekonomi, dan politik. Secara sosial, ia melahirkan ethos kesatriaan dan
militerisme baru di Eropa. Secara ekonomi, jalur perdagangan internasional menjadi
semakin ramai. Sementara secara politik, keseimbangan kekuatan Islam dan Kristen di
Timur Tengah mengalami pergeseran. Walaupun pada akhirnya gagal mewujudkan
ambisinya, Perang Salib tetap menjadi peristiwa bersejarah yang mengubah hubungan
Barat dan Timur. Ia meninggalkan jejak dalam yang hingga kini masih berpengaru

Kata kunci: Perang salib,pengaruh,dampak,

Abstract
The Crusades were a series of military expeditions by European Christian powers to
the Middle East in the 11th to 13th centuries. The main goal was to reclaim Jerusalem
and the Holy Land from Muslim rule. This war began with Pope Urban II's call in 1095
to mobilize European kings to fight. After lasting almost 200 years in eight major
waves, the Crusades apparently had a profound impact on European and Islamic
civilization in the social, economic and political fields. Socially, he gave birth to a new
ethos of chivalry and militarism in Europe. Economically, international trade routes are
becoming increasingly busy. Meanwhile, politically, the balance of Islamic and
Christian power in the Middle East has shifted. Even though it ultimately failed to
realize its ambitions, the Crusades remained a historical event that changed relations
between West and East. He left deep traces that are still influential to this day

Keywords: Crusade, influence, impact,


PENDAHULUAN
Perang Salib merupakan suatu peristiwa sejarah yang paling spektakuler
sepanjang masa. Kejadian ini mampu merubah dan membolak-balikkan dua
peradaban yang saling berhadap-hadapan, dunia Islam dan dunia Barat
(Styawati & Sulaeman, 2020). Perang Salib merupakan serangkaian perang religius
yang terjadi antara Kristen Eropa dan kekuatan Muslim di Timur Tengah pada abad ke-
11 hingga abad ke-13. Perang Salib perang antara kekuatan Kristen Eropa melawan
kekuatan Muslim di Timur Tengah pada Abad Pertengahan. Perang ini berlangsung
dalam delapan gelombang utama antara tahun 1096 hingga 1291 Masehi. Istilah
"Perang Salib" atau "Perang Suci" juga digunakan untuk berbagai ekspedisi tentara
Kristen di wilayah Arab selama abad pertengahan terhadap orang non-Kristen. Ini
terjadi dari abad ke-11 hingga abad ke-13 (1097-1292 M), dengan tujuan untuk
membebaskan Baitul Maqdis Yerusalem (Ayyubi, n.d.).
Perang Salib pertama kali dimulai setelah Paus Urbanus II menyerukan perang
suci untuk merebut kembali Yerusalem dan Tanah Suci dari tangan kaum Muslim.
Seruan ini disampaikan dalam sebuah pidato di Konsili Clermont, Prancis pada tahun
1095 Masehi. Pidato Paus Urbanus II ini menuai respon yang sangat antusias dari raja-
raja Eropa, bangsawan, dan rakyat. Mereka berbondong-bondong mendaftarkan diri
untuk berangkat ke Tanah Suci demi menebus dosa dan meraih indulgensi
(pengampunan dosa) dari Gereja. Gelombang moralitas religius yang tinggi ini memicu
terbentuknya pasukan Perang Salib yang terdiri dari bangsawan, kesatria, dan petani
dari berbagai penjuru Eropa. Mereka dipimpin oleh sejumlah bangsawan terkemuka,
Ekspedisi militer Perang Salib pertama berangkat menuju Konstantinopel pada tahun
1096, sebelum melanjutkan perjalanan ke arah perbatasan Suriah dan menyerbu
wilayah kekuasaan Muslim.
Timur Tengah pada masa itu telah dikuasai oleh kekuatan Muslim selama
berabad-abad sejak masa penaklukan oleh tentara Islam pada abad ke-7 Masehi. Kota
suci agama Kristen Yerusalem telah berada di bawah kekuasaan Muslim sejak
ditaklukkan oleh Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 637 Masehi. Selama berabad-
abad umat Kristen dapat mengunjungi kota Yerusalem untuk berziarah, meskipun
sebagai warga negara kelas dua di bawah pemerintahan Muslim.
Pada abad ke-11, perlakuan Muslim terhadap peziarah dan warga Kristen di
Yerusalem makin memburuk. Ini terjadi karena provokasi dari penguasa Fatimiyah di
Mesir serta ketegangan politik internal di antara kelompok Muslim sendiri. Peziarah
Kristen dari Eropa sering disiksa dan diperas. Masjid Al-Aqsa bahkan sempat ditutup
untuk mencegah aktivitas ibadah Kristen. Kondisi ini memicu kemarahan di Eropa dan
menjadi salah satu pembenaran dilancarkannya Perang Salib.
Tujuan utama Perang Salib adalah merebut kembali Yerusalem dan
membebaskan Tanah Suci dari kekuasaan Muslim. Menurut (Affan, 2016) Yerusalem
di Palestina diakui sebagai salah satu tempat yang sangat disucikan tidak hanya oleh
umat Islam dan Yahudi, tetapi juga oleh orang Kristen. Namun dalam
perkembangannya, ambisi para pemimpin Perang Salib semakin meluas. Mereka
bertekad menaklukkan seluruh wilayah Timur Tengah hingga Mesir dan mendirikan
entitas politik Kristen yang permanen di sana. Tentara Salib dalam delapan gelombang
utama perang ini berhasil menaklukkan Yerusalem dan sejumlah wilayah penting
lainnya seperti Antioch, Tripoli, dan Edessa. Sejumlah county dan kerajaan Kristen
didirikan, meskipun pada akhirnya sebagian besar kembali direbut oleh kekuatan
Muslim.
Perang Salib yang berlangsung selama hampir dua abad ini ternyata membawa
dampak besar dalam berbagai bidang kehidupan, jauh melampaui tujuan awal merebut
Tanah Suci. Dampaknya terasa baik di Eropa maupun dunia Islam. Dalam artikel ini
akan dibahas secara detail mengenai pengaruh Perang Salib terhadap perubahan sosial,
ekonomi, dan politik di Eropa dan Timur Tengah pada Abad Pertengahan. Ketegangan
yang ditimbulkan akibat benturan antara Islam dan Kristen ini pada akhirnya mengubah
medan sejarah di kedua belahan dunia tersebut. Kesadaran baru ini melahirkan
semangat militerisme yang mengangkat martabat para kesatria. Kesatria kini dipandang
sebagai pembela agama Kristen, bukan lagi hanya sekadar tentara bayaran feudal. Citra
kesatria Kristen menjadi sangat positif dan mulia. Nilai-nilai kesatria seperti
keberanian, kesetiaan, disiplin, dan pengabdian kepada Tuhan sangat dijunjung tinggi.
Kode etik dan aturan kesatriaan menjadi rumit dan rinci. Tatanan sosial feodal Eropa
ikut terpengaruh oleh semangat militer dan agama ini.
Selain itu, Perang Salib juga melahirkan berdirinya Ordo Militer Kristen, yaitu
organisasi monastik yang menggabungkan gaya hidup biara dengan profesi militer. Dua
ordo yang paling terkenal adalah Kesatria Templar dan Kesatria Hospitaller. Mereka
bertugas melindungi peziarah Kristen, mendirikan rumah sakit, serta mempertahankan
wilayah Kristen di Tanah Suci. Ordo-ordo ini sangat kaya dan berpengaruh hingga
akhirnya dibubarkan beberapa abad kemudian.
Dampak lainnya, intensitas kontak antara Barat dan Timur yang meningkat
drastis akibat Perang Salib turut memicu terjadinya asimilasi budaya. Pengetahuan,
teknologi, seni, dan ide saling dipertukarkan antara Eropa dan dunia Islam melalui jalur
perdagangan maupun konflik militer. Misalnya, gaya arsitektur dan dekorasi Eropa
dipengaruhi Timur Tengah, demikian pula sebaliknya. Pemikiran filsafat Yunani kuno
kembali dikenal di Eropa setelah diterjemahkan dari bahasa Arab. Interaksi intensif ini
secara bertahap mengikis perbedaan dan ketertutupan antara kedua peradaban.
PEMBAHASAN
Sejarah Perang Salib
Sebagai tanggapan Kristen Eropa terhadap Islam Asia, perang salib terjadi selama
hampir dua abad. Ini terjadi setelah banyak kota dan tempat suci Kristen diduduki oleh
Islam sejak tahun 632 M. Pasukan Salib muncul bersamaan dengan awal permulaan
kebangkitan peradaban Eropa (Amrullah, 2022). Militer Kristen menggunakan salib
sebagai simbol perang suci, yang bertujuan untuk membebaskan Baitul Maqdis
(Yerussalem) dari orang Islam. Selain itu, perang salib disebabkan oleh munculnya
ekspansionisme di Eropa, seperti yang dilakukan oleh Saljuq terhadap Imperium
Bizantium, dan penghancuran gereja suci Yerussalem oleh al–Hakim, seorang
pemimpin kaum Muslim di Mesir. Khalifah dari Dinasti Fathimiyyah pada tahun 1009
M. Selain itu, terdapat banyak hasutan tentang harta rampasan, kemuliaan, penguasaan
wilayah, dan komitmen untuk menghilangkan dosa dan mengabdi kepada Tuhan.Setiap
anggota armada dan pasukan Barat yang berangkat ke medan perang harus mengenakan
salib pada layar perahu, bendera, perisai, baju besi, dan peralatan lainnya untuk
menunjukkan bahwa perang itu benar-benar perang suci. Sekitar tahun 1096–1291 M.,
perang salib meluas ke wilayah yang luas di sekitar Yerussalem. Melalui inilah,
hubungan antara Barat dan Timur terjalin. Pengajuan orang Timur yang progresif dan
maju pada saat itu menjadi daya dorong bagi intelektual Eropa Barat. Khalifah dari
Dinasti Fathimiyyah pada tahun 1009 M. Selain itu, terdapat banyak hasutan tentang
harta rampasan, kemuliaan, penguasaan wilayah, dan komitmen untuk menghilangkan
dosa dan mengabdi kepada Tuhan.Setiap anggota armada dan pasukan Barat yang
berangkat ke medan perang harus mengenakan salib pada layar perahu, bendera, perisai,
baju besi, dan peralatan lainnya untuk menunjukkan bahwa perang itu benar-benar
perang suci. Sekitar tahun 1096–1291 M., perang salib meluas ke wilaya di sekitar
Yerussalem.
Perang Salib berpengaruh besar pada perubahan sosial, ekonomi, dan politik di
Eropa dan dunia Islam pada Abad Pertengahan
1. Perubahan sosial
Perang Salib membawa dampak mendasar bagi perubahan sosial di Eropa pada Abad
Pertengahan. Dampaknya terutama terlihat pada tumbuhnya semangat militerisme dan
tatanan kesatriaan yang baru. Melalui khotbah Paus Urbanus II yang menyerukan
perang suci untuk merebut kembali Tanah Suci, konsep berperang atas nama agama
menjadi sesuatu yang mulia dan terhormat.
Perang Salib dianggap sebagai jihad versi Kristen, yaitu cara untuk menebus
dosa dan meraih pengampunan dari Gereja. Kesadaran kolektif masyarakat Eropa
berubah, di mana berperang melawan kaum "kafir" kini diyakini sebagai jalan menuju
surga. Ini melahirkan semangat militerisme baru yang mengubah pandangan
masyarakat terhadap para kesatria. Sebelumnya, kesatria dianggap hanya sebagai
tentara bayaran feodal yang melayani tuan tanah. Namun kini citra kesatria naik drastis
menjadi pembela agama, pelindung Gereja, dan pejuang suci. Nilai-nilai kesatria ideal
seperti keberanian, kesetiaan, kedisiplinan, dan pengabdian kepada Kristus menjadi
populer. Kode etik kesatriaan yang terdiri atas berbagai aturan, pantangan, dan ritual
menjadi semakin rumit dan rinci.
Perang Salib ikut memengaruhi feodalisme di Eropa. Para bangsawan dan
kesatria berbondong-bondong mendaftar untuk berangkat ke Timur Tengah. Mereka
rela meninggalkan harta dan tanahnya demi tugas suci ini. Raja-raja Eropa juga terlibat
langsung dalam ekspedisi militer ini, yang meningkatkan gengsi dan martabat mereka.
Selain itu, muncul pula Ordo Militer Kristen yang menggabungkan tradisi biara
dengan profesi militer. Ordo Kesatria Templar dan Kesatria Hospitaller adalah yang
terbesar dan paling berpengaruh. Mereka bukan hanya bertarung di medan laga, tapi
juga menjaga keamanan rute ziarah, membangun benteng pertahanan, serta mendirikan
rumah sakit bagi tentara Salib yang terluka. Kedua ordo ini menjadi sangat kaya raya
karena menerima banyak sumbangan dan hibah tanah. Mereka juga terlibat dalam
aktivitas perbankan. Kekuatan yang mereka kumpulkan kemudian menimbulkan
kekhawatiran penguasa Eropa, hingga akhirnya kedua ordo ini dibubarkan beberapa
abad kemudian.
Dampak sosial lainnya adalah meningkatnya praktik perbudakan terhadap
tawanan perang dari kalangan Muslim. Para tawanan dijual sebagai budak atau
dipekerjakan secara paksa tanpa upah. Perdagangan budak menjadi komoditas penting
yang menguntungkan bagi pedagang Eropa. Praktik ini tentu saja sangat merendahkan
martabat manusia. Secara keseluruhan, gelombang militerisme Perang Salib telah
mengubah cara pandang masyarakat Eropa terhadap agama, perang, dan kehidupan
sosial. Nilai-nilai kesatriaan yang dielu-elukan pada masa itu memberi warna tersendiri
dalam sejarah dan budaya Eropa di Abad Pertengahan.
2. Perubahan Ekonomi
Perang Salib juga membawa dampak besar terhadap perkembangan ekonomi, baik di
Eropa maupun di Timur Tengah. Secara umum, perdagangan internasional menjadi
semakin ramai dan menguntungkan akibat lalu lintas intensif tentara Salib dan minat
baru orang Eropa terhadap barang-barang dari Timur. Kota-kota pelabuhan di Italia
seperti Venice, Genoa, dan Pisa menjadi sangat makmur berkat Perang Salib. Armada
dan angkatan laut mereka ditugaskan mengangkut pasukan Salib melalui laut
Mediterranean menuju ke Tanah Suci. Mereka mendapat keuntungan besar dari bisnis
transportasi ini. Selain itu, kota-kota Italia juga menguasai jalur perdagangan rempah-
rempah dan barang mewah dari Timur ke Eropa. Venice misalnya memonopoli
perdagangan rempah-rempah seperti pala, kayu manis, dan merica dari Asia ke Eropa.
Rempah langka dan mahal ini memberi keuntungan besar bagi pedagang Venice.
Mereka juga menjual sutra, permadani, keramik, dan barang seni kepada bangsawan
Eropa yang haus akan barang mewah Timur. Kekuatan armada laut Venice bahkan
mampu mengalahkan pesaingnya Genoa dalam perang di Mediterranean demi
memperebutkan rute dagang. Sementara itu, negara-negara penghasil rempah seperti
kerajaan-kerajaan Islam di Mesir dan Suriah juga diuntungkan oleh meningkatnya
volume perdagangan dengan Eropa pasca Perang Salib. Barang-barang mewah dari
Eropa seperti linen, wol, alat tembaga, dan minyak zaitun mengalir ke timur lewat jalur
perdagangan baru ini. Timur Tengah kaya akan rempah, sementara Eropa kaya akan
hasil pertanian dan kerajinan.
Selain perdagangan jarak jauh, kegiatan ekonomi lokal di sekitar jalur
perjalanan tentara Salib juga meningkat tajam. Penginapan, rumah makan, toko, dan
penyedia jasa transportasi meraup untung besar melayani ribuan tentara Salib yang
singgah dalam perjalanan menuju Tanah Suci. Perekonomian kota-kota transit seperti
Konstantinopel, Antiokia, dan Aleppo menjadi bergairah.
Aktivitas perbankan dan pemberian kredit ikut berkembang untuk mendanai
biaya perjalanan yang mahal bagi para tentara Salib. Ordo Kesatria Templar misalnya
memberikan jasa pemindahan uang dan kredit bagi bangsawan Eropa yang hendak
berangkat ke Tanah Suci. Mereka juga menyimpan dan memindahkan harta rampasan
perang. Di sisi lain, perekonomian di perdesaan Eropa sempat melemah karena banyak
petani yang berhenti bekerja dan pergi berperang ke Timur Tengah. Namun dampaknya
tidak besar dan bersifat sementara. Secara keseluruhan, gelombang Perang Salib selama
dua abad ini telah memperkuat jalur perdagangan jarak jauh dan meningkatkan
kesejahteraan ekonomi di Eropa maupun Timur Tengah
3. Perubahan politik
Gelombang Perang Salib selama hampir dua abad ternyata juga membawa implikasi
besar bagi perkembangan politik di Eropa dan Timur Tengah. Secara geopolitik, peta
kekuatan di kedua wilayah ini mengalami pergeseran seiring berlangsungnya ekspedisi
militer tentara Salib. Di Eropa, kekaisaran Romawi Suci yang dipimpin kaisar Jerman
semakin melemah pengaruhnya. Para kaisar sibuk berperang di Timur Tengah sehingga
otoritas mereka di Eropa sendiri memudar. Kekuasaan beralih ke tangan raja-raja
nasional seperti Inggris, Prancis, dan Spanyol yang makin berdaulat penuh.
Sementara itu, kekuasaan Sri Paus dan Gereja Katolik justru semakin
meningkat. Ini karena Paus berperan vital memimpin dan mengatur kepentingan politik
Perang Salib. Khotbah Paus Urbanus II pada 1095 M yang memulai gelombang Perang
Salib pertama mencerminkan ambisi kekuasaannya. Ia ingin memperluas pengaruh
Gereja ke Timur Tengah, bukan hanya persoalan agama belaka. Di Timur Tengah
sendiri, kekuatan Muslim yang tadinya mendominasi menjadi terdesak dengan
berdirinya sejumlah entitas Kristen hasil penaklukan tentara Salib. Kota Yerusalem
berhasil direbut pada 1099 dan County Edessa dibentuk di Suriah utara. Selanjutnya
Kerajaan Yerusalem didirikan sebagai negara Salib paling penting.
Kesultanan Fatimiyah di Mesir masih mampu bertahan, namun harus
kehilangan kendali atas Yerusalem dan Palestina. Sementara kekuatan Turki Seljuk di
Baghdad sempat terdesak ke timur, meskipun kemudian berhasil merebut kembali
sebagian wilayah Suriah. Pendirian permukiman Kristen di Syria dan Palestina ini
menciptakan ketegangan politik dan agama yang panjang dengan penduduk Muslim
setempat. Berbagai dinasti Muslim kemudian bangkit untuk mengusir tentara Salib,
seperti Ayubiyah di Mesir dan Suriah, serta Mamluk di Mesir. Mereka akhirnya mampu
merebut kembali Yerusalem dan sebagian besar wilayah yang direbut tentara Perang
Salib.
Walaupun gagal mempertahankan wilayah jangka panjang, keberadaan negara-
negara Salib selama hampir dua abad ini sempat mengubah peta geopolitik Timur
Tengah. Hubungan Kristen dan Islam menjadi semakin tegang. Perang Salib juga
meninggalkan trauma mendalam di pihak Muslim, yang tercermin dari sentimen anti-
Kristen yang menguat pasca Perang Salib. Secara keseluruhan, gelombang besar Perang
Salib yang berlangsung antara 1096-1291 M ini telah memperkuat kekuasaan Gereja
dan raja-raja Eropa, sekaligus melemahkan dominasi Muslim di Timur Tengah. Konflik
dan ketegangan yang berlarut-larut akibat benturan dua peradaban ini telah mengubah
medan politik global pada Abad Pertengahan.

KESIMPULAN
Perang Salib yang berlangsung antara umat Kristen Eropa melawan kekuatan Muslim
di Timur Tengah pada abad ke-11 hingga abad ke-13 merupakan peristiwa besar yang
mengubah peradaban dunia pada masa itu. Serangkaian ekspedisi militer ini awalnya
digerakkan oleh ambisi Paus Urbanus II untuk menaklukkan kembali Tanah Suci dari
tangan kaum Muslim. Setelah berlangsung selama hampir dua abad dengan delapan
gelombang utama, Perang Salib ternyata membawa implikasi jauh melampaui sekadar
perebutan Yerusalem. Dampaknya terasa signifikan dalam bidang sosial, ekonomi, dan
politik baik di Eropa maupun dunia Islam. Secara sosial, Perang Salib melahirkan ethos
kesatriaan dan militerisme baru di Eropa. Secara ekonomi, jalur perdagangan
internasional menjadi semakin sibuk dan menguntungkan. Sementara secara politik,
keseimbangan kekuatan antara Islam dan Kristen mengalami pergeseran seiring
berdirinya entitas-entitas Salib di Levant. Perang Salib telah menorehkan bekas dalam
sejarah yang tidak terhapuskan. Konflik dan permusuhan yang ditimbulkannya berlarut
hingga berabad-abad lamanya. Walaupun gagal mewujudkan tujuan mulanya, Perang
Salib tetap menjadi babak penting yang mengubah hubungan Timur dan Barat serta
mempengaruhi kedua peradaban tersebut hingga kini.

REFRENSI
Affan, M. (2016). Trauma Perang Salib dalam Hubungan Islam-Barat. Jurnal Sosiologi
Reflektif, 8(2), 13–27.
Amrullah, W. (2022). Sejarah Perang Salib Dan Dampaknya Terhadap Perkembangan
Peradaban Islam. Al-Urwatul Wutsqa: Kajian Pendidikan Islam, 2(2), 147–158.
Ayyubi, A. (n.d.). PERANG SALIB III.
Styawati, Y., & Sulaeman, M. (2020). Perang Salib Dan Dampaknya Pada Dunia. Realita:
Jurnal Penelitian Dan Kebudayaan Islam, 18(2).

Anda mungkin juga menyukai