Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENDIDIKAN INKLUSI

Tentang
“ANAK TUNA GANDA”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK : 11
SISRA ERIANTI (960823009)
ZAIZATUL RAHMI (960822006)

DOSEN PENGAMPU : Dr. WETI SUSANTI, MA

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM YAYASAN TARBIYAH
ISLAMIYAH (YASTIS) PADANG
1445 H / 2023

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki atribut fisik


dan/atau kemampuan belajar yang berbeda dari anak normal, sehingga
membutuhkan program individual dalam pendidikan khusus. (Heward &
Orlansky, 1992). Anak berkebutuhan khusus juga disebut anak dengan
ketunaan. Anak yang mengalami ketunaan memiliki berbagai hambatan dan
kelainan dalam kondisi fisik dan psikisnya sehingga mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan perilaku dalam kehidupannya.

Jenis gangguan atau ketunaan yang ada pada anak berkebutuhan khusus
diantaranya adalah gangguan fisik (tunadaksa), gangguan emosional atau
perilaku, gangguan penglihatan (tunanetra), gangguan komunikasi
(tunawicara), gangguan pendengaran (tunarungu), kesulitan belajar (tunalaras),
dan keterbelakangan mental (tunagrahita). Selain itu, terdapat beberapa anak
yang mengalami lebih dari satu gangguan atau ketunaan. Mereka dikenal
sebagai anak tunaganda.

Menurut (Mangunsong, dkk, 1998), anak tunaganda atau majemuk


adalah anak yang menderita kombinasi atau gabungan dari dua atau lebih
kelainan atau kecacatan dalam segi fisik, mental, emosi, dan sosial, sehingga
memerlukan pelayanan pendidikan, psikologik, medis, sosial, vokasional
melebihi pelayanan yang sudah tersedia bagi anak yang berkelainan tunggal,
agar masih dapat mengembangkan kemampuannya seoptimal mungkin untuk
berpartisipasi dalam masyarakat.

Ketika seorang ibu sedang mengandung, tentunya ia mengharapkan


anak yang ada dalam kandungannya itu akan lahir dengan sehat dan
2
sempurna. Biasanya para orangtua juga berharap bahwa bayinya kelak akan
menjadi anak yang pandai, sukses, atau menuruni bakat dan kelebihan yang
dimiliki orangtuanya. Namun, tidak semua anak yang lahir ke dunia ini
sesuai dengan impian dan harapan orangtuanya. Pada kenyataannya, tidak
semua anak terlahir dengan kondisi yang sehat dan sempurna. Beberapa dari
mereka terlahir dengan memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan, baik fisik
maupun psikis. Orang awam sering menyebut mereka sebagai anak
penyandang cacat. Istilah lain dari anak penyandang cacat adalah anak
berkebutuhan khusus.

Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang membutuhkan


pendidikan dan pelayanan khusus untuk mengembangkan segenap potensi
yang mereka miliki (Hallahan & Kauffman, 2006). Para anak berkebutuhan
khusus mungkin saja mengalami gangguan atau ketunaan, seperti gangguan
fisik (tunadaksa), emosional atau perilaku, penglihatan (tunanetra),
komunikasi, pendengaran (tunarungu), kesulitan belajar (tunalaras), atau
mengalami retardasi mental (tunagrahita). Adapun beberapa anak mengalami
lebih dari satu gangguan atau ketunaan. Mereka dikenal sebagai anak
tunaganda.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Anak Tuna Ganda


Menurut (Mangunsong, dkk, 1998), anak tunaganda atau majemuk
adalah anak yang menderita kombinasi atau gabungan dari dua atau lebih
kelainan atau kecacatan dalam segi fisik, mental, emosi, dan sosial, sehingga
memerlukan pelayanan pendidikan, psikologik, medis, sosial, vokasional
melebihi pelayanan yang sudah tersedia bagi anak yang berkelainan tunggal,
agar masih dapat mengembangkan kemampuannya seoptimal mungkin untuk
berpartisipasi dalam masyarakat. Anak tunaganda dikategorikan sebagai
penyandang ketunaan yang berat. The Individuals with Disabilities Education
Act (IDEA), menyebutkan bahwa apabila mengalami kombinasi dari dua atau
lebih ketunaan dengan taraf sedang dapat menjadikan seseorang sebagai
penyandang ketunaan yang berat dalam (Hallahan & Kaufmann, 2006).
Heward dan Orlansky dalam (Abdurrachman & Sudjadi, 1994)
menyebutkan pula bahwa anak-anak tunaganda dan ketunaan yang berat
merupakan anak-anak yang mempunyai masalah-masalah jasmani, mental,
atau emosional yang sangat berat, atau kombinasi dari beberapa masalah
tersebut, memerlukan pelayanan pendidikan, sosial, psikologis, dan medik
yang melebihi pelayanan program luar biasa reguler, agar potensi mereka
dapat berkembang secara maksimal sehingga berguna di masyarakat dan dapat
memenuhi kebutuhannya sendiri.
Lebih jauh dikatakan pula bahwa anak-anak tunaganda jika
dibandingkan dengan anak-anak berkebutuhan khusus yang menyandang
ketunaan bersifat tunggal memiliki kelainan yang lebih kompleks dalam hal

4
fisik, dalam kemampuan bersosialisasinya, dan juga dalam hal mental ataupun
intelektualnya. Dari definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa anak
tunaganda adalah anak yang menyandang kombinasi atau gabungan dari dua
atau lebih kelainan atau ketunaan dalam segi fisik, mental, emosi dan sosial
sehingga mengalami masalah-masalah jasmani, mental, atau emosional yang
sangat berat. Oleh karena itu membutuhkan pelayanan pendidikan, psikologik,
medik, sosial, vokasional melebihi pelayanan yang sudah tersedia bagi anak
berkelainan tunggal agar dapat memenuhi kebutuhannya sendiri,
mengembangkan kemampuannya seoptimal mungkin untuk dapat
berpartisipasi dan berguna dalam masyarakat (Rudiyati, sari, dkk : 2015)

B. Klasifikasi Anak Tuna Ganda


(Mangunsong, dkk, 1998) mengklasifikasikan anak tunaganda dan
majemuk guna memenuhi kebutuhan pelayanan pendidikan. Berikut
merupakan klasifikasi anak tunaganda adalah :
1. Anak tunaganda tingkat ringan
Mereka adalah anak-anak yang menyandang dua ketunaan atau lebih,
tetapi masih dalam tahap ringan. Kelompok ini masih memungkinkan
untuk dilayani dengan kurikulum SD dan SLB yang dimodifikasi sesuai
tingkat ketunaan yang disandangnya.
2. Anak tunaganda tingkat sedang
Kelompok ini masih memiliki kemungkinan untuk dilayani dengan
kurikulum SLB yang dimodifikasi sesuai dengan tingkat ketunaan yang
disandangnya.
3. Anak tunaganda tingkat berat
Anak-anak pada kelompok ini tidak mungkin lagi dilayani dangan
kurikulum SLB, maka untuk melayani kebutuhan mereka diperlukan

5
program pendidikan khusus (DNIKS dan BP3K, Depdikbud: 1987;
dalam Mangunsong, dkk., 1998)

C. Ciri-ciri Anak Tuna Ganda


(Guess dan Mulligan dalam Meyen, 1982) menjelaskan bahwa
keberagaman antar anak tunaganda jauh lebih besar diantara kesamaannya.
Tidak ada satupun anak yang memiliki ciri yang sama dengan anak tunaganda
lainnya. Lebih jauh dijelaskan, pada umumnya yang dialami oleh anak
tunaganda adalah keterlambatan perkembangan yang parah, dan juga
perkembangannya yang menyimpang, yang dimaksud adalah perkembangannya
tidak sama dengan anak normal pada umumnya. Adapun ciri-cirinya adalah
sebagai berikut :
1. Ciri-ciri fisik.
Memiliki kelainan lebih dari satu macam, bahkan ada yang memiliki
kelainan 3-4 macam. Gangguan-gangguan yang pada umumnya kerap
dialami adalah gangguan refleks dan motorik, fungsi sensoris, fungsi
metabolisme, fungsi pernafasan, gangguan perasaan kulit, dan gangguan
pembentukan ekskresi urine. Kemampuan motoriknya dapat dilatih, namun
perkembangannya tidak akan secepat anak normal
2. Ciri-ciri kognitif
Tingkat kecerdasan sangat bervariasi, tergantung pada kelainan-kelainan
yang disandangnya. Gangguan yang dialami dalam kemampuan
intelektual, emosional, dan sosial, seperti hiperaktif, gangguan pemusatan
perhatian, mudah depresi, cemas, dan sangat berpusat pada diri sendiri atau
self-centered (Mangunsong, dkk., 1998). Seringkali gagal dalam
kemampuan yang dibutuhkan untuk menulis dan membaca. Sulit mengenali
bentuk, warna, dan objek-objek lain. Walau ada beberapa dari mereka yang

6
cukup mampu melakukan hal-hal tersebut, tetap saja perkembangannya
tidak dapat disamakan dengan anak normal.
3. Ciri-ciri Sosial
Pada umumnya mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan
keseharian, juga rasa rendah diri, isolatif, kurang percaya diri, hambatan
dalam keterampilan kerja, self-help yang rendah, dan hambatan dalam
melakukan interaksi sosial. Sebagian dari mereka masih dapat bergaul
dengan lingkungan sosialnya, akan tetapi bagi penyandang ketunaan yang
sangat berat, kemampuan bergaul dan berkomunikasi dengan lingkungan
sosialnya bisa jadi amat sangat minim, bahkan untuk sekedar bersalaman
saja menjadi hal yang sulit (Rahayu Ginintasasi, 2009)
4. Ciri Kemampuan Berbahasa
Perkembangan kemampuan berbicara dan berbahasa mereka sangat
lambat. Pada umumnya mereka hanya mampu berbicara beberapa kata
ataupun frase. Selain itu mereka juga sulit berbicara dengan jelas, bahkan
mereka seperti meracau dan berbicara tentang hal-hal yang tidak
berhubungan dengan konteks. Oleh karena kemampuan berbicara dan
berbahasa mereka sangat terbatas, sering kali mereka kurang bisa
mengungkapkan apa yang diinginkan, hingga akhirnya mereka menangis,
bertindak agresif, bahkan tantrum atau perpaduan dari beberapa tindakan
destruktif (pembahasan tentang tantrum akan dijelaskan kemudian).

D. Masalah yang Dihadapi Anak Tuna Ganda

(Hallahan dan Kauffman, 2006) menyebutkan yang menjadi perhatian


utama mengenai anak-anak tunaganda, yaitu

1. kesulitan berkomunikasi akibat kelainan dalam hal fisik ataupun


kognitif, anak-anak tunaganda membutuhkan komunikasi alternatif,
7
yaitu bisa melalui sebuah alat elektronik ataupun secara manual.
Penggunaan komunikasi secara manual atau menggunakan olah tubuh
dapat digunakan oleh mereka yang masih tersisa sedikit kemampuan
berkomunikasi, namun bagi mereka yang tidak bisa melakukan
komunikasi sama sekali akan diperlukan sebuah alat bantu khusus.
Akan tetapi, apapun komunikasi alternatif yang digunakan, semua
bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi mereka dalam
berkomunikasi.

2. Masalah-masalah tingkah laku yang kerap terjadi pada mereka


diantaranya adalah self-stimulation, self-injury, tantrum, dan sifat
agresif terhadap orang lain.
a. Self-simulation adalah tingkah laku yang berulang kali dilakukan,
sepertinya tidak memiliki tujuan lain selain menstimulasi
kemampuan sensori diri sendiri. Seperti memutar-mutar suatu
benda, mengibas- ngibaskan tangan, menjambak diri, menggigit
bibir sendiri, dan lainnya. Self-stimulation yang juga dapat
disebut stereotyped behaviour, akan menjadi masalah apabila
dapat melukai diri sendiri, juga apabila sering dilakukan dapat
mengganggu proses pembelajaran. (Cutrona, 1994)
b. Self-injury adalah tingkah laku melukai atau tingkah laku yang
menyebabkan cedera pada diri sendiri. Seperti menggigit,
mencolok mata, mencakar, dan lainnya. Self-injury terkadang
merupakan tindakan self-stimulation yang terlalu intens.
c. Tantrums merupakan perpaduan dari berbagai tingkah laku, bisa
saja ia melakukan self-injury, berteriak, menangis, bersikap brutal
dan agresif sekaligus. Biasanya timbul ketika anak menolak
melakukan sesuatu, namun terkadang juga dapat timbul tanpa diduga
8
atau tanpa sebab yang jelas.
d. Agresif. Penyebabnya bisa jadi tidak diketahui atau muncul
tanpa sebab yang jelas, namun bisa juga muncul dikarenakan
sebab-sebab khusus yang hanya dapat diketaui oleh seseorang
yang sudah cukup mengenal anak tersebut. Agresif berbeda
dengan tantrum, karena anak dengan sifat agresif biasanya tidak
memunculkan tindakan-tindakan lainnya seperti pada tantrum.

3. Anak tunaganda ketika baru dilahirkan ada yang dengan cepat dapat
dikenali kondisi ketunaannya, namun ada juga yang pada awalnya
terlihat sama seperti bayi-bayi pada umumnya akan tetapi gejala
ketunaannya baru muncul di beberapa tahun setelah dilahirkan.
Dengan demikian intervensi awal bertujuan sebagai pemberian
penanganan dini begitu bayi dilahirkan ataupun sebagai penanganan
awal begitu kondisi ketunaan anak muncul.

4. Salah satu masa yang cukup penting pada perkembangan anak


tunaganda adalah masa transisi menuju masa dewasa. Pada masa ini,
penting untuk diperhatikan mengenai person-centered plan, yaitu
berfokus pada apa yang menjadi pilihan anak ketika beralih dewasa
dan juga menempatkan keluarganya sebagai perencana masa depan
anak tersebut. Tidak kalah pentingnya adalah natural support, yaitu
pemberdayaan orang-orang yang biasa bersama anak untuk
memberikan dukungan ketika anak melakukan pekerjaannya, seperti
anggota keluarga, teman, atau rekan kerjanya. Selain berfungsi
memberikan dukungan, mereka juga berfungsi sebagai pendamping
yang turut mengawasi, memberikan contoh, bantuan, dan hal- hal
lainnya.

9
E. Dampak Anak Tuna Ganda
Banyak aspek-aspek perkembangan yang terpengaruh akibat
kehilangan penglihatan dan atau hambatan lain. Bagi anak yang
kehilangan penglihatan sekaligus pengengaran dapat mengakibatkan
minimnya stimulus dari luar yang diterima anak. Mereka tidak belajar
dari interaksi dengan lingkungannya yang seperti anak lainnya.
Stimulus dari luar yang sangat berperan dalam memotivasi
perkembangan gerak atau motor dan menjadi dasar dalam
perkembangan gerak atau motor dan menjadi dasar dalam
perkembangan kognitif sangat terbatas karena terhambatnya saluran
atau akses. Akses atau indera yang ada terbatas pada
sentuhan/perabaan, pengecap, dan penciuman namun sayangnya
kemungkinan bahwa indera-indera ini pun masih terpengaruh karena
kelainan lain yang ada seperti misalnya intelektual.
Ketika dua saluran utama dalam menerima informasi terhambat atau
tidak berfungsi, ini akan berdampak pada perkembangan anak di beberapa area
utama, yaitu:
1. Perkembangan komunikasi.
2. Perkembangan gerak, perkembangan kognitif.
3. Perkembangan sosial emosi.
4. Perkembangan konsep dan citra diri

F. Pendidikan Anak Tuna Ganda


1. Intervensi Dini
Kata intervensi dini berasal dari kata dalam bahasa inggris
“intervention” yang berarti intervensi atau campur tangan.. Kata
intervensi digunakan dalam mempertegas bahwa layanan

10
pendidikan dini bagi individu dengan hambatan majemuk tidak
hanya dapat dilakukan oleh orangtua dan atau keluarga mereka,
akan tetapi pihak-pihak lain seperti tenaga ahli dan atau
profesional, masyarakat sekitar dan para pemeduli pendidikan
dapat ikut terlibat. Jadi pihak-pihak diluar orangtua dan atau
keluarga dalam layanan pendidikan individu dengan hambatan
majemuk tersebut bersifat intervensi atau campur tangan terhadap
orangtua dan atau keluarga bersangkutan.
Tujuan program intervensi dini adalah memungkinkan
individu dengan hambatan majemuk dilayani secara tepat dan
selekas mungkin oleh orang tua dan atau keluarganya sendiri
dengan campur-tangan pihak-pihak lain. Dengan demikian orang
tua atau keluarga dapat mempunyai pengetahuan dan keterampilan
untuk memberikan layanan pendidikan bagi individu atau keluarga
yang mengalami hambatan majemuk secara tepat.
Program-program intervensi dini yang dapat dilaksanakan
antara lain, konseling, keluarga, konsultasi dan demonstrasi,
pertemuan orangtua dan atau keluarga, workshop tentang layanan
pendidikan atau intervensi dengan hambatan majemuk, kampanye
kesadaran masyarakat tentang intervensi dini bagi individu dengan
hambatan majemuk (Sari Rudiyati, dkk, 2015)
2. Sekolah Khusus
Sekolah khusus atau yang disebut dengan sekolah Luar
Biasa adalah sekolah yang khusus diperuntukkan bagi individu
yang mengalami hambatan, termasuk individu yang mengalami
hambatan majemuk. Dalam sekolah khusus bagi individu dengan

11
hambatan majemuk ada berbagai bentuk layanan pendidikan yaitu
antara lain :
3. Sekolah Rumah Sakit “ Hospital school ”
Sekolah Rumah Sakit “Hospital School”, adalah bentuk
layanan pendidikan yang dilaksanakan di sebuah rumah saki.
Layanan semacam ini dibutuhkan jika terdapat siswa dengan
hambatan majemuk yang ternyata menyandang penyakit menahun
atau yang bersangkutan memerlukan perawatan secara intensif di
rumah sakit untuk jangka waktu yang cukup lama. Dengan
demikian tujuan sekolah Rumah Sakit “Hospital School” adalah
agar layanan pendidikan siswa dengan hambatan majemuk tidak
terputus, karena yang bersangkutan tetap dapat menempuh
pendidikannya di dalam sebuah rumah sakit. (Turner dan Noh,
1988)
Pihak rumah sakit menyediakan dokter dan guru khusus
untuk bekerja sama memberikan layanan pendidikan bagi siswa
dengan hambatan majemuk tersebut, yang pelaksanaannya
merupakan kerjasama antara sekolah dengan rumah sakit tersebut.
Di Indonesia sekolah ini masih jarang dilaksanakan.
4. Sekolah Khusus Berasrama “ Resident School “
Sekolah khusus berasrama“resident school”, adalah persekolahan
khusus bagi individu dengan hambatan majemuk yang disertai
dengan penyelenggaraan asrama bagi mereka. Siswa dengan
hambatan majemuk hanya berkesempatan pulang ke rumah masing-
masing pada waktu liburan saja. Tujuan dari sekolah khusus
berasrama “residential school”, adalah agar individu dengan

12
hambatan majemuk selain memperoleh pendidikan di sekolah
khusus, juga secara lebih intensif masih memperoleh bimbingan
dari ibu asrama atau pembimbing yang bertugas memberi
bimbingan kepada individu dengan hambatan majemuk setelah jam
sekolah selesai.
5. Sekolah Khusus Harian “ Day School “
Sekolah khusus hari “Day school” adalah sekolah khusus bagi
individu dengan hambatan majemuk, di mana individu dengan
hambatan majemuk tersebut setiap hari pergi ke sekolah dan pulang ke
rumah masing-masing setelah pelajaran selesai. Tujuan sekolah khusus
harian “Day School” antara lain agar selain memperoleh pendidikan di
sekolah khusus, individu dengan hambatan majemuk masih tetap
mendapat pendidikan dari orangtua mereka dan dapat berintegrasi
dengan masyarakat lingkungan rumahnya. Sebagian besar sekolah
khusus yang dilaksanakan di Indonesia adalah sekolah khusus
berasrama dan sekolah khusus harian. Sekolah khusus untuk individu
dengan hambatan majemuk sering disebut dengan sekolah Luar Biasa
Bagian G atau SLB/G. Dalam keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia nomor: 0491/U/1992 tentang
pendidikan luar biasa, telah ditetapkan bentuk satuan persekolahan
khusus meliputi : Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah
Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Lanjutan Pertama Luar Biasa
(SLTPLB) dan Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB).
6. Kelas Mandiri “ Self Contain Classes “
Kelas Mandiri atau Self Contain Classes adalah program
pendidikan bagi individu dengan hambatan tuna majemuk, di mana

13
sehalaman dengan sekolah umum dibangun kelas-kelas khusus
untuk siswa yang mengalami hambatan majemuk meskipun
demikian segi- segi pendidikan dan persekolahan antara siswa yang
mengalami hambatan majemuk dan siswa-siswa lain tetap terpisah.
Organisasi dan administrasi sekolah, kurikulum, dan tenaga
kependidikan dan lain-lain tetap terpisah (Vermeulen, 2012) Tujuan
dari program ini adalah agar siswa yang mengalami hambatan
majemuk dengan siswa yang tidak mengalami hambatan dapat
berintegrasi dan dapat saling bekerja sama, serta dapat saling
belajar, namun kenyataannya mereka tetap mengelompok dalam
kelompoknya sendiri.
7. Kelas Khusus atau “ Special Clases “
Kelas khusus atau “special classes” adalah program kelas khusus
bagi siswa yang mengalami hambatan majemuk yang ada di dalam
sebuah sekolah umum. Berbeda dengan program kelas mandiri,
organisasi, administrasi dan pengelolaan kelas khusus menjadi
bagian dari sekolah umum bersangkutan. Tujuan dari program ini
adalah agar siswa yang mengalami hambatan majemuk dengan
siswa yang tidak mengalami hambatan dapat berintegrasi. Namun
demikian maksud mengintergrasikan siswa yang mengalami
hambatan majemuk dengan siswa yang tidak mengalami kegagalan
seperti pada program kelas mandiri
G. Metode Pengajaran Untuk Anak Tuna ganda
Untuk anak tunaganda metode pengajaran yang cocok yaitu
communication, task analysis, direct instruction, prompts dan
cooperative learning. Tergantung tunaganda yang seperti apa dan

14
problematika yang bagaimana. Karena tunaganda memiliki jenis yang
berbeda-beda. Pendidik hendaknya juga menciptakan suasana belajar
yang menarik dan kondusif (Dinie Ratri Desiningrum, 2016)

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrachman, M., & Sudjadi, S. (1994). Pendidikan luar biasa umum.


Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi.

Cutrona, C. E, et al. (1994). Perceived Parental Social Support and Academic


Achievment: An Attachment Theory Perspective. Journal of Personality
and Social Psychology. 66, 2, 369-378.

Desiningrum, Dinie Ratri. (2016). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus.


Yogyakarta : Psikosain.

Ginintasasi, Rahayu. (2009). Kontribusi Pola Pengasuhan Orang Tua


Terhadap Perkembangan Kemandirian dan Kreativitas Anak.
Bahan Seminar. Bandung: Universitas Padjajaran

Hallahan, D. P., & Kauffman, J. F. (2006). Exceptional learners: an


introduction to special education (10th edition). Boston: Pearson.

Heward, W. L., & Orlansky, M. D. (1988). Exceptional children: an


introductory survey of special education (3rd edition). London: Merril
Publishing Company.

Mangunsong, F., dkk. (1998). Psikologi dan pendidikan anak luar biasa.
Depok: LPSP3 UI.

Meyen, E. L. (1982). Exceptional children and youth: an introduction (2nd


edition). Denver: Love Publishing.

Rudiyati, Sari., dkk. ( 2015). Identifikasi Pembelajaran bagi Anak Multiple


Disability and Visual Impairment (MDVI) secara Terpadu. Jurnal Ilmu
Pendidikan.

Turner, R. J., & Noh, S.( 1988). Physical Disability and Depression: A
Longitudinal Analysis. Journal of Health and Social Behavior, 29 (1),
23-27.

16
Vermeulen, A Jorine. Denessen, Eddie. Knoors, Harry. (2012). Mainstream
teachers about including deaf or hard of hearing students. Journal of
Teaching and Teacher Education. 28.174-181

17

Anda mungkin juga menyukai