Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


PERIHAL KORUPSI DAN DAMPAKNYA BAGI PEMBANGUNAN BANGSA
DAN PERAN PEMERINTAH YANG BAIK DAN BERSIH DALAM HAL INI
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan
Pancasila Dan Kewarganegaraan

Dosen Pengampu : Lanny Polina, S.H., M.Pd.

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 6
1. Vera Arefanda (2201025056)
2. Amelia Nabilla Zahra (2201025137)
3. Aryani Nova Rossydah (2201025177)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Bismillah Alhamdulillah. Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas karunia-
Nya berupa nikmat iman dan kesehatan ini sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah bertema
“PERIHAL KORUPSI DAN DAMPAKNYA BAGI PEMBANGUNAN BANGSA DAN
PERAN PEMERINTAH YANG BAIK DAN BERSIH DALAM HAL INI” dengan tepat
waktu. Tidak lupa shalawat serta salam kita curahkan kepada Baginda Besar Kita Muhammad
SAW yang syafaatnya akan kita nantikan kelak.
Isi makalah ini membahas perihal korupsi dan dampaknya bagi pembangunan bangsa dan
bagaimana peran pemerintah yang baik dalam mengatasi permasalahan ini. Adapun penulisan
makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila Dan
Kewarganegaraan. Penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada Dosen Pengampu Mata
Kuliah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan yakni kepada Ibu Lanny Polina, S.H., M.Pd.
Dan teman seperjuangan kelompok 6 yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Harapannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi
pembaca sekaligus menumbuhkan rasa cinta tanah air kepada bangsa Indonesia.

Penulis menyadari makalah ini masih memerlukan penyempurnaan dan memohon maaf
apabila ada kesalahan pengetikan maupun pada kalimat yang kurang baik dan sopan. Kami
menerima segala bentuk kritik dan saran pembaca demi penyempurnaan makalah ini.

Terima Kasih.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Jakarta, 02 Desember 2022

Kelompok 6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI................................................................................................................................................ 3
BAB I ............................................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ............................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 8
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................................ 8
BAB II ........................................................................................................................................................... 9
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................... 9
1.1 Konsep Dan Bahaya Korupsi ........................................................................................................ 9
2.1 Dampak Korupsi Terhadap Pembangunan Nasional ........................................................... 11
3.1 Peran Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi .............................................................. 14
4.1 Upaya Dalam Pemberantasan Korupsi .................................................................................... 14
BAB III ....................................................................................................................................................... 17
PENUTUP .................................................................................................................................................. 17
A. KESIMPULAN ............................................................................................................................. 17
B. SARAN .......................................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................... 19
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Korupsi merupakan gejala masyarakat yang sangat sulit untuk diberantas. Sejarah
membuktikan, hampir setiap Negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tak hanya ‘menjangkiti’
pejabat public yang menyalahgunakan kewenangannya, kini korupsi juga mewabah pada
perorangan. Menyikapi keadaan ekonomi yang kian memburuk, tak sedikit yang menilai bahwa
berbagai permasalahan yang timbul adalah karena telah berurat-akarnya praktik-praktik kolusi,
korupsi, dan nepotisme (KKN). Praktik tercela ini disinyalir sudah menjadi bagian dari budaya,
sehingga dalam pikiran banyak orang terkesan sebagai sesuatu yang lumrah untuk dikerjakan,
meskipun secara moral dan hukum diakui sebagai hal yang salah.

Tindak pidana korupsi sudah mengkristal dalam sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia.
Tidak hanya mengancam perekonomian Negara, nyatanya korupsi juga dapat mengancam
lingkungan hidup, lembaga-lembaga demokrasi, hak-hak asasi manusia dan hak-hak dasar
kemerdekaan, dan yang paling buruk adalah menghambat jalannya pembangunan dan semakin
memperparah kemiskinan.

Di samping itu, korupsi juga terbukti telah melemahkan kemampuan pemerintahan untuk
memberikan pelayanan-pelayanan dasar, memperlebar jurang ketaksetaraan dan ketakadilan, serta
dapat berdampak pada pengurangan masuknya bantuan luar negeri dan investasi asing. Korupsi
menjadi unsur penting yang menyebabkan ekonomi kurang berkinerja sekaligus sebagai rintangan
utama dalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan.

Korupsi benar-benar telah menjadi permasalahan akut dan sistemik yang sangat
membahayakan dan merugikan Negara maupun masyarakat. Modus dan pelaku kejahatan korupsi
selalu berganti secara cepat. Sementara itu, laju perubahan undang-undang sendiri selalu terlambat
beberapa langkah di belakang kejahatannya. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh banyak
orang, kelompok, maupun oknum tertentu untuk melakukan berbagai perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Berdasar kondisi aktual di Indonesia, perbuatan para
koruptor sudah mengancam national security. Pelaku korupsi adalah orang-orang terdidik dan
relatif memiliki jabatan, karenanya patut disimpulkan bahwa pelaku kejahatan ini adalah yang
paling rasional dibanding pelaku dari jenis kejahatan lainnya. Sebelum melakukan kejahatan,
mereka telah berhitung masak-masak berdasar prinsip untung-rugi (benefit cost-ratio). Dalam
melaksanakan kejahatannya, mereka senantiasa berada dalam pilihan yang sadar.
Tindak pidana korupsi sudah merupakan tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime) dan
secara internasional telah diakui sebagai salah satu jenis transnational organized crime. Ia ada dan
tumbuh seiring laju peradaban manusia. Korupsi muncul karena laku manusia yang menyimpang
akibat syahwat materi yang tak pernah terpuaskan. Hal inilah yang menyebabkan korupsi sulit
diberantas. Menurut Abraham Samad, manusia dan korupsi adalah dua senyawa yang sulit
dipisahkan. Berasal dari satu sifat kekal manusia, yaitu keserakahan.

Tidak seperti kejahatan konvensional lainnya, korupsi adalah kejahatan yang berkembang
secara dinamis dari waktu ke waktu. Apabila sebelumnya orang hanya mengenal kerugian Negara
dan suap-menyuap, saat ini korupsi sudah berkembang menjadi penggelapan dalam jabatan,
perbuatan curang, pemerasan, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Di masa
mendatang, korupsi bisa saja berkembang lagi secara dinamis, karena korupsi mengikuti pola hidup
manusianya yang materialis. Karena bergerak secara dinamis, penegakan hukum dalam
pemberantasan korupsi tidak bisa hanya dengan mengandalkan cara-cara konvensional. Oleh
karena itu, penanganannya juga membutuhkan suatu tindakan penanganan luar biasa. Selain itu,
tuntutan ketersediaan perangkat hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta profesionalitas
lembaga yang menangani korupsi pun tidak dapat dielakkan lagi. Salah satu ‘upaya luar biasa’ yang
dilakukan adalah dengan membentuk sebuah lembaga penegak hukum baru dalam sistem peradilan
pidana, yaitu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang ditetapkan dalam
UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai amanat
dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain
pembentukan lembaga KPK, peraturan dan regulasi juga perlu dibenahi sehingga tidak ada lagi
celah bagi wabah korupsi untuk bertumbuh kembang. Pemberantasan tindak pidana korupsi dengan
menggunakan ketentuanketentuan yang ada dalam KUHAP dinilai kurang memadai. Tidak
diakuinya sistem pembalikan beban pembuktian, perampasan aset, pembayaran uang pengganti,
dan peradilan in absentia dianggap kurang ‘garang’ untuk memerangi salah satu bentuk kejahatan
luar biasa ini. Keberadaan pasal-pasal suap yang diintroduksikan dari KUHAP ke dalam Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi baik Pasal 1 ayat (1) sub c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
maupun Pasal 5 sampai dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, selama ini hanya
sebagai pasal-pasal tidur yang tidak memiliki makna. Dalam sejarah pemberantasan tindak pidana
korupsi, penerapan pasal-pasal tersebut tidak mencapai 0.1% dari totalitas perkara korupsi.

Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat sama dengan jenis kejahatan lain seperti
pencurian yang sudah ada sejak manusia bermasyarakat di atas bumi ini. Masalah utama yang
dihadapi adalah meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi.
Bahkan pengalaman memperlihatkan semakin maju pembangunan suatu bangsa semakin
meningkat juga kebutuhan mendorong orang untuk melakukan korupsi demi memenuhi segala
kebutuhan hidup yang ada. Pada dasarnya korupsi adalah kejahatan kerah putih yang rata-rata justru
dilakukan oleh para aparat negara yang seharusnya memberantas tindak pidana korupsi tersebut.
Sejarah membuktikan bahwa hampir di setiap Negara dihadapkan masalah korupsi. Persoalan
korupsi tidak hanya terjadi pada pejabat publik yang menyalahgunakan jabatannya dan
kedudukannya untuk mendapat keuntungan dengan mudah bagi kepentingan pribadi atau
kelompoknya. Korupsi dapat terjadi bila ada peluang dan keinginan dalam waktu yang bersamaan,
yaitu dapat dimulai dari aspek mana saja berupa suap yang ditawarkan kepada seorang pejabat,
pejabat meminta atau bahkan memeras uang pelicin, orang yang menyuap melakukan suap karena
menginginkan sesuatu yang bukan haknya, dan ia menyuap dengan mengabaikan peraturan.

Perbuatan korupsi dilakukan mulai dari mark up pengadaan barang dan jasa, pengadaan
barang dan jasa yang menyalahi prosedur, penyalahgunaan wewenang, suap, pemberian atau
penerimaan gratifikasi, penggunaan dana yang tidak sesuai dengan posting anggaran dan lain-lain
yang semuanya itu mempunyai potensi merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.

Pemberantasan korupsi merupakan masalah paling mendesak yang harus dilakukan karena
telah menghambat kemajuan suatu bangsa. Kebiasaan korupsi terlihat begitu besar dan diluar
kontrol pemerintah. Akan tetapi langkah untuk memberantas korupsi ini sering terhalang berbagai
masalah yang kompleks. Namun semua elemen bangsa harus bisa menghentikan perbuatan tercela
terebut.

Di Indonesia segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas korupsi
akan tetapi berdasarkan hasil penelitian dan evaluasi dari beberapa lembaga memperlihatkan
kecenderungan yang sangat memprihatinkan, umumnya mereka memiliki kesimpulan yang sama
bahwa Indonesia merupakan Negara paling korup di dunia. Korupsi di Indonesia telah berkembang
dan mengakar pada lembaga perwakilan rakyat bahkan dalam sistem peradilan pidana yaitu
kepolisian, kejaksaan dan lembaga peradilan yang seharusnya menjadi ujung tombak bagi upaya
pemberantasan korupsi justru dipandang oleh banyak kalangan sebagai institusi publik yang paling
korup dan paling banyak melakukan penyalahgunaan kewenangan.

Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi telah menjadi amanat bangsa Indonesia yang
telah dituangkan dalam ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang diwujudkan dalam Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dari berbagai jenis korupsi yang diatur dalam undang-undang, gratifikasi merupakan suatu
hal yang relatif baru dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Gratifikasi diatur
dalam pasal 12 B Undang-Undang nomor 20 tahun 2001. Dalam penjelasan pasal tersebut
gratifikasi didefinisikan sebagai suatu pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang,
barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya yang diterima di dalam negeri maupun diluar
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana eletronika maupun tanpa sarana eletronika.

Perbuatan penerimaan gratifikasi oleh pegawai Negara atau penyelenggara Negara yang
dianggap sebagai perbuatan suap apabila perbuatan tersebut dilakukan karena berhubungan dengan
jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Terbentuknya peraturan tentang
gratifikasi ini merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat mempunyai dampak yang
negatif dan disalahgunakan, khususnya dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga
unsur ini diatur dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi. Diharapkan jika budaya
pemberian dan penerimaan gratifikasi kepada atau oleh penyelenggara Negara dan pegawai negeri
dapat dihentikan maka tindak pidana pemerasan dan suap dapat diminimalkan atau bahkan
dihilangkan.

Pelaporan dalam gratifikasi mengandung delik sistem pembalikan beban pembuktian yaitu
beban pembuktian berada pada terdakwa dan proses pembuktian ini hanya berlaku pada saat
pemeriksaan di sidang pengadilan. Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian dilakukan agar
memudahkan penuntut umum untuk menjerat pelaku gratifikasi agar tidak lolos dari hukum juga
guna mencegah agar dapat meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi. Beban pembuktian
diletakkan kepada si penerima untuk membuktikan bahwa gratifikasi yang diterimanya tidak
berkaitan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban jika penerima melaporkan
gratifikasi yang diterima nya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi ( Pasal 12 C).

Diterapkannya pembalikan beban pembuktian sebagai wujud dari tekad para penyelenggara
negara dalam memberantas korupsi, asas ini dinilai sangat efektif untuk menjerat para pelaku tindak
pidana korupsi yang selama ini telah meresahkan masyarakat dan telah merugikan keuangan
negara.

Lebih lanjut penerapan sistem pembalikan beban pembuktian dalam ketentuan Undang-
Undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terdapat dalam pasal
37. Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian dalam pelaporan gratifikasi dalam rangka
pemberantasan tindak pidana korupsi sudah diterapkan juga oleh Malaysia dan Singapura.
Dengan adanya penerapan delik sistem pembalikan beban pembuktian pada pelaporan
gratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 diharapkan pencegahan terhadap tindak
pidana korupsi akan lebih optimal dan efektif, setidak-tidaknya dapat mengurangi praktek korupsi
yang selama ini telah terjadi.

B. Rumusan Masalah

A. Apakah konsep dan bahaya dari korupsi ?


B. Apa dampak korupsi terhadap pembangunan nasional ?
C. Apa saja peran pemerintah dalam memberantas korupsi ?
D. Apa upaya dalam pemberantasan korupsi ?

C. Tujuan

A. Untuk mengetahui konsep dan bahaya dari korupsi


B. Untuk mengetahui dampak korupsi terhadap individual dan masyarakat
C. Untuk mengetahui dampak korupsi terhadap generasi muda, ekonomi dan birokrasi
D. Untuk mengetahui peran pemerintah dalam memberantas korupsi
E. Untuk mengetahui upaya apa saja dalam pemberantasan korupsi
BAB II

PEMBAHASAN

Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio. Dalam bahasa Inggris adalah
corruption atau corrupt, dalam bahasa Perancis disebut corruption dan dalam bahasa Belanda
disebut dengan coruptie. Agaknya dari bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam bahasa
Indonesia. Korup berarti busuk, buruk; suka menerima uang sogok (memakai kekuasaannya untuk
kepentingan sendiri dan sebagainya). Korupsi adalah perbuatan yang buruk (seperti penggelapan
uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya).

Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak lama dengan menggunakan berbagai
cara, sanksi terhadap pelaku korupsi sudah diperberat, namun hampir setiap hari kita masih
membaca atau mendengar adanya berita mengenai korupsi. Berita mengenai operasi tangkap tangan
(OTT) terhadap pelaku korupsi masih sering terjadi. Yang cukup menggemparkan adalah
tertangkap tangannya 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang oleh KPK. Kemudian, tidak kalah
menggemparkannya adalah berita mengenai tertangkap tangannya anggota DPRD Kota Mataram
yang melakukan pemerasan terkait dengan dana bantuan rehabilitasi fasilitas pendidikan yang
terdampak bencana gempa bumi Lombok, NTB. Di bawah ini akan diuraikan mengenai penyebab,

Korupsi berakibat sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, baik aspek kehidupan sosial,
politik, birokrasi, ekonomi, dan individu. Bahaya korupsi bagi kehidupan diibaratkan bahwa
korupsi adalah seperti kanker dalam darah, sehingga si empunya badan harus selalu melakukan
“cuci darah” terus menerus jika ia menginginkan dapat hidup terus.hambatan, solusi dan regulasi
korupsi di Indonesia.

1.1. Konsep dan Bahaya Korupsi


a. Bahaya Korupsi terhadap Masyarakat dan Individu

Jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan menjadi makanan masyarakat
setiap hari, maka akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang kacau,
tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku dengan baik. Setiap individu dalam masyarakat hanya
akan mementingkan diri sendiri (self interest), bahkan selfishness. Tidak akan ada kerja sama dan
persaudaraan yang tulus. Fakta empirik dari hasil penelitian di banyak negara dan dukungan teoritik
oleh para saintis sosial menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif terhadap rasa keadilan
sosial dan kesetaraan sosial. Korupsi menyebabkan perbedaan yang tajam di antara kelompok sosial
dan individu baik dalam hal pendapatan, prestis, kekuasaan dan lain-lain. Korupsi juga
membahayakan terhadap standar moral dan intelektual masyarakat. Ketika korupsi merajalela,
maka tidak ada nilai utama atau kemulyaan dalam masyarakat. Theobald menyatakan bahwa
korupsi menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism. Chandra Muzaffar menyatakan
bahwa korupsi menyebabkan sikap individu menempatkan kepentingan diri sendiri di atas segala
sesuatu yang lain dan hanya akan berpikir tentang dirinya sendiri semata-mata. Jika suasana iklim
masyarakat telah tercipta demikian itu, maka keinginan publik untuk berkorban demi kebaikan dan
perkembangan masyarakat akan terus menurun dan mungkin akan hilang.

b. Bahaya Korupsi terhadap Generasi Muda

Salah satu efek negatif yang paling berbahaya dari korupsi pada jangka panjang adalah
rusaknya generasi muda. Dalam masyarakat yang korupsi telah menjadi makanan sehari-hari, anak
tumbuh dengan pribadi antisosial, selanjutnya generasi muda akan menganggap bahwa korupsi
sebagai hal biasa (atau bahkan budaya), sehingga perkembangan pribadinya menjadi terbiasa
dengan sifat tidak jujur dan tidak bertanggung jawab. Jika generasi muda suatu bangsa kacau.
Bahaya Korupsi terhadap Politik Kekuasaan politik yang dicapai dengan korupsi akan
menghasilkan pemerintahan dan pemimpin masyarakat yang tidak legitimate di mata publik. Jika
demikian keadaannya, maka masyarakat tidak akan percaya terhadap pemerintah dan pemimpin
tersebut, akibatnya mereka tidak akan patuh dan tunduk pada otoritas mereka. Praktik korupsi yang
meluas dalam politik seperti pemilu yang curang, kekerasan dalam pemilu, money politics dan lain-
lain juga dapat menyebabkan rusaknya demokrasi, karena untuk mempertahankan kekuasaan,
penguasa korup itu akan menggunakan kekerasan (otoriter) atau menyebarkan korupsi lebih luas
lagi di masyarakat. Di samping itu, keadaan yang demikian itu akan memicu terjadinya instabilitas
sosial politik dan integrasi sosial, karena terjadi pertentangan antara penguasa dan rakyat. Bahkan
dalam banyak kasus, hal ini menyebabkan jatuhnya kekuasaan pemerintahan secara tidak terhormat,
seperti yang terjadi di Indonesia.

c. Bahaya Korupsi Bagi Ekonomi


Bangsa Korupsi merusak perkembangan ekonomi suatu bangsa. Jika suatu projek ekonomi
dijalankan sarat dengan unsur-unsur korupsi (penyuapan untuk kelulusan projek, nepotisme
Keadaannya seperti itu, bisa dibayangkan betapa suramnya masa depan bangsa tersebut dalam
penunjukan pelaksana projek, penggelapan dalam pelaksanaannya dan lain-lain bentuk korupsi
dalam projek), maka pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari projek tersebut tidak akan
tercapai. Penelitian empirik oleh Transparency International menunjukkan bahwa korupsi juga
mengakibatkan berkurangnya investasi dari modal dalam negeri maupun luar negeri, karena para
investor akan berpikir dua kali untuk membayar biaya yang lebih tinggi dari semestinya dalam
berinvestasi (seperti untuk penyuapan pejabat agar dapat izin, biaya keamanan kepada pihak
keamanan agar investasinya aman dan lain-lain biaya yang tidak perlu). Sejak tahun 1997, investor
dari negara-negera maju (Amerika, Inggris dan lain-lain) cenderung lebih suka menginvestasikan
dananya dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI) kepada negara yang tingkat korupsinya
kecil.

d. Bahaya Korupsi Bagi Birokrasi


Korupsi juga menyebabkan tidak efisiennya birokrasi dan meningkatnya biaya administrasi
dalam birokrasi. Jika birokrasi telah dikungkungi oleh korupsi dengan berbagai bentuknya, maka
prinsip dasar birokrasi yang rasional, efisien, dan berkualitas akan tidak pernah terlaksana. Kualitas
layanan pasti sangat jelek dan mengecewakan publik. Hanya orang yang berpunya saja yang akan
dapat layanan baik karena mampu menyuap. Keadaan ini dapat menyebabkan meluasnya keresahan
sosial, ketidaksetaraan sosial dan selanjutnya mungkin kemarahan sosial yang menyebabkan
jatuhnya para birokrat.

2.1 Dampak Korupsi terhadap Pembangunan Nasional

Pembangunan diartikan sebagai suatu upaya perbaikan, yang tujuan utamanya adalah
peningkatan kesejahteraan rakyat. Apa pun yang dilakukan oleh pemerintah, melalui kebijakan
pembangunan yang diambil, sasaran akhirnya adalah masyarakat makmur dan sejahtera. Jika masih
banyak warga masyarakat yang miskin, maka akan ditanyakan berapa uang rakyat yang diakumulasi
dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD) dibelanjakan untuk kepentingan rakyat. Sejauh mana alokasi dana pemerintah
tersebut mengalir ke masyarakat, utamanya untuk tujuan memakmurkan mereka.

Kesejahteraan adalah suatu kondisi yang menunjukkan bagaimana standar kehidupan


masyarakat. Todaro dan Stephen C. Smith sebagaimana dikutip Badrudin (2012) memahami standar
kehidupan tersebut dalam makna kehidupan yang lebih baik, meliputi (1) peningkatan kemampuan
dan pemerataan distribusi kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan, kesehatan, dan
lingkungan, (2) peningkatan tingkat kehidupan, tingkat pendapatan, pendidikan yang lebih baik,
dan peningkatan atensi terhadap budaya dan nilai-nilai kemanusiaan, (3) memperluas skala ekonomi
dan ketersediaan pilihan sosial dari individu dan bangsa.
Indonesia dengan tingkat korupsi yang masih besar memperlihatkan kondisi kehidupan
masyarakat yang kurang baik. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya jumlah penduduk miskin
di Indonesia. Menurut data BPS (2012), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2011
mencapai 29,89 juta orang. Hingga Maret 2013, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan,
yaitu 28,07 juta orang (BPS 2013). Ini berarti, dalam rentang waktu 2 tahun, jumlah penduduk
miskin berkurang 1,82 juta orang. Kebijakan agresif dari pemerintah SBY, dengan program anti
korupsi dan program penanggulangan kemiskinan, merupakan faktor pemicu bagi pengurangan
penduduk miskin di Indonesia.

Faktor penyebab kemiskinan memang tidak hanya disebabkan oleh perbuatan korupsi, tetapi
korupsi yang terjadi di tubuh pemerintahan ditengarai memberi andil besar bagi berlangsungnya
kemiskinan di Indonesia. Sebagaimana dikatakan Pope (2007), “korupsi bukan disebabkan oleh
kemiskinan, tetapi kemiskinan disebabkan oleh korupsi”. Jeffrey D. Sachs, ekonomi lulusan
Universitas Harvard menunjukkan bahwa korupsi di Asia merupakan penghalang penting bagi
penanggulangan kemiskinan (Prasetyantoko 2009).

Dampak korupsi tidak hanya berkaitan dengan masalah kemiskinan, tetapi juga
berhubungan dengan persoalan lainnya. Seperti ditunjukkan Mashal (2011), korupsi menyebabkan
6 hal, yaitu (1) investasi menjadi rendah, (2) mengurangi pertumbuhan ekonomi, (3) mengubah
komposisi belanja pemerintah dari aktivitas sangat produktif menjadi aktivitas kurang produktif,
(4) ketidaksamaan dan kemiskinan menjadi lebih besar, (5) mengurangi efisiensi bantuan, dan (6)
menyebabkan negara mengalami krisis.

Dalam skala makro, korupsi memang dapat menyebabkan kondisi negara dalam keadaan
krisis. Krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997/1998, salah satunya disebabkan oleh praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dilakukan elit politik pemerintahan masa Orde Baru.
Pemerintah Orde Baru boleh bangga bahwa pada tahun 2000-an tingkat pertumbuhan ekonominya
cukup tinggi, tetapi substansi pertumbuhan ekonomi tersebut sejatinya hanya bermain pada level
angka saja. Ekonomi Orde Baru seperti gelembung busa, tampak indah berwarna warni, tetapi
sesungguhnya kosong melompong, hanya dinikmati oleh elit menengah ke atas, utamanya kroni-
kroni Soeharto. Masyarakat kalangan bawah (grassroot) tidak menikmati apa-apa, kecuali hanya
menerima tetesan sisa kenikmatan yang tidak lagi dibutuhkan oleh elit Orde Baru.

Dampak nyata dari korupsi pada masa akhir Orde Baru adalah pembangunan menjadi
tersendat. Kinerja ekonomi terganggu, investasi swasta berkurang, terbukti dari banyak investor
yang mengalihkan modalnya ke luar negeri. Korupsi ibarat pasir bagi roda pertumbuhan ekonomi,
artinya korupsi menjadi penghambat bagi pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi melemah,
menyebabkan pembangunan yang seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi
karena kegiatan pembangunan terganggu oleh korupsi, maka kesejahteraan yang didambakan
masyarakat tidak terwujud.

Dampak besar terhadap pelaksanaan program pembangunan Nasional, bahkan berdampak


merusak sendi-sendi perekonomian negara. Korupsi dapat memperlemah investasi dan
pertumbuhan ekonomi .Berbagai dampak korupsi ditinjau dari aspek ekonomi, adalah sebagai
berikut.

a. Menghambat Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi Korupsi akan menyebabkan investasi dari
negara lain berkurang karena para investor luar negeri hanya ingin berinvestasi pada
negarayang bebas dari korupsi. Ketidakinginan berinvestasi pada negara yang tingkat
korupsinya sangat tinggi memang sangat beralasan karena uang yang di investasikan pada
negara tersebut tidak akan memberikan keuntungan seperti yang diharapkan oleh para investor,
bahkan modal mereka pun kemungkinan hilang dikorupsi oleh para koruptor. Dalam sektor
privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembiayaan dan pembayaran
illegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan
perjanjian atau karena penyelidikan suatu kasus.
b. Melemahkan Kapasitas dan Kemampuan Pemerintah dalam Program Pembangunan Pada
institusi pemerintahan yang memiliki angka korupsi rendah, layananpublik cenderung lebih
baik dan murah. Korupsi juga turut mengurangi anggaran pembiayaan untuk perawatan fasilitas
umum, seperti perbaikan jalan sehingga menghambat roda perekonomian. Infrastruktur jalan
yang bagus, akan memudahkan transportasi barang dan jasa, maupun hubungan antar daerah.
Kuantitas dan kualitas barang juga menurun, karena besarnya biaya untuk proses yang terjadi
karena korupsi.
c. Meningkatkan Utang Negara Kondisi perekonomian global yang mengalami resesi melanda
semua negara termasuk Indonesia. Kondisi ini memaksa pemerintah untuk melakukan utang
untuk menutupi defisit anggaran. Korupsi makin memperparah kondisi keuangan.
d. Menurunkan Pendapatan Negara Pendapatan per kapita Indonesia termasuk rendah, berada
pada angka USD 4.000. Apabila dibandingkan dengan negara-negara maju, Indonesia
tertinggal jauh. Pada tahun 2010 saja, Luksemburg sudah mencapai USD 80.288, Qatar USD
43.100, dan Belanda USD 38.618 (KPK, 2013). Pendapatan negara terutama berkurang karena
menurunnya pendapatan negara dari sektor pajak. Kondisi penurunan pendapatan dari sektor
pajak, diperparah dengan korupsi pegawai pajak untuk memperkaya diri sendiri maupun
kelompok. Sebagai contoh kasus fenomenal GT, seorang pegawai golongan 3 A, yang
menggelapkan pajak negara sekitar Rp26 miliar. Dengan demikian, pendapatan pemerintah dari
sektor pajak akan berkurang Rp26 miliar, Research and Development Journal Of Education
Vol. 1 No. 2 April 2015 ISSN 2406-9744
e. Menurunkan Produktivitas Lemahnya investasi dan pertumbuhan ekonomi serta menurunnya
pendapatannegara akan menurunkan produktivitas.Hal ini akan berdampak pada meningkatnya
pengangguran.

Akibat dari penurunan produktivitas ini adalah kemiskinan masyarakatakan semakin


meningkat. Dengan kompleksitas dampak dari korupsi tersebut maka proses pemberantasan korupsi
di Indonesia tidak boleh hanya bersandar pada pemerintah saja. Tetapi harus berkesinambungan
antar pemerintah dari hasil pemilu ke pemilu lainnya. Juga harus dibuktikan adanya kepemimpinan
yang kuat dalam pemberantasan korupsi tersebut disertai dengan blueprint dan langkah yang
sistematis. Selanjutnya pemberantasan korupsi tak mungkin sukses hanya karena komitmen
pemerintah saja akan tetapi harus menjadi komitmen seluruh Pemerintah Daerah , Agamawan ,
LSM serta elemen civil society.

3.1 Peran Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi


Perubahan institusional yang cepat juga berpengaruh terhadap pelebaran korupsi di daerah.
Sebuah perubahan struktur pemerintahan dan politik akan mempengaruhi tingkah laku aktor politik
dan mekanisme kebijakan serta efek politik yang ditimbulkan. Belum lagi dengan rapuhnya aturan
legal formal dan belum komprehensif pelembagaan penegakan hukum di daerah, semakin
menambah carut-marutnya pelaksanaan otonomi di daerah. Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak
tinggal diam dalam mengatasi praktekpraktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui
berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-
Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung
dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

4.1 Upaya dalam pemberantasan korupsi


Dalam menjelaskan fenomena korupsi di daerah, banyak variabel dan berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Setidaknya ada beberapa indikator yang dapat dipakai untuk menjelaskan
maraknya korupsi di berbagai sektor baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif, yang juga
merambah pada sektor swasta, dan pejabat asing.

Pertama, korupsi yang terjadi di lingkungan legislatif dan eksekutif baik dipusat maupun
daerah dewasa ini, tidak terlepas dari kecenderungan DPR/DPRD yang lebih banyak memerankan
fungsi “budgeting” daripada fungsi legislasi dan pengawasan. Pada saat ini terdapat trends dari
kementerian dan lembaga pemerintah pusat/daerah untuk melakukan berbagai “pendekatan” dalam
rangka pembahasan rencana anggaran institusinya dengan DPR/ DPRD. Apabila tidak diwaspadai,
fenomena tersebut sangat rentan dan rawan menciptakan suap-menyuap karena masing-masing
akan berusaha dengan berbagai cara untuk menggolkan rencana anggaran institusinya masing-
masing. Apabila pengajuan anggaran saja menimbulkan berbagai kerawanan, maka dikhawatirkan
dapat berimbas pula terhadap implementasi penggunaan anggaran dimaksud. Terlebih lagi dengan
lemahnya pengawasan dan buruknya akuntabilitas di berbagai instansi, menjadikan salah satu faktor
mewabahnya korupsi di jajaran legislatif dan eksekutif.

Kedua, pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) dan salah kaprahnya
implementasi otonomi daerah, menjadikan maraknya korupsi yang melibatkan para pejabat daerah.
Otonomi daerah yang tidak diikuti peningkatan partisipasi dan pengawasan masyarakat menjadi
salah satu penyebab semakin banyaknya korupsi di daerah, sehingga otonomi daerah malah
menguatkan oligarki di tingkat lokal melalui persekongkolan elite atas dasar ikatan keluarga
(nepotisme), kesukuan (primordial yang sempit) hingga asosiasi bisnis (kolusi) dalam menguras
anggaran daerah untuk kepentingan pribadinya masing-masing. Bahkan otonomi seakan-akan
merupakan upaya memindahkan korupsi yang dulu marak di pusat ke daerah dan menyuburkan
kolusi antara pejabat daerah dengan para pengusaha hitam, melalui commitment fee atau sistem ijon
dalam pelaksanaan suatu proyek daerah.7 Pola Pemilukada yang membutuhkan banyak biaya,
menjadikan titik rawan munculnya money politic yang menjadi awal tumbuhnya persekongkolan
antara pejabat daerah dengan pengusaha hitam. Biasanya dalam dua tahun terakhir masa jabatannya,
pejabat yang akan mencalonkan menjadi kepala daerah lagi atau incumbent (petahanan) akan
jorjoran mencari uang dari proyek dan mencari pengusaha hitam yang mau mensponsori susksesi
kepemimpinannya, padahal tidak ada “makan siang” yang gratis.

Ketiga, implementasi sistem “desentralisasi” dan “dekonsentrasi” telah menimbulkan


dampak pemekaran daerah baru. Dalam pidato pengantar Nota Keuangan RAPBN tahun 2012 di
depan sidang paripurna DPR RI dan DPD RI tanggal 7 Hadi Supeno, Korupsi di Daerah; Kesaksian,
Pengalaman dan Pengakuan, Total Media, Yogyakarta, 2009, hlm. 53-54. Lex et Societatis, Vol.
II/No. 6/Juli/2014 141 16 Agustus 2011, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, antara lain
menyampaikan bahwa sejak tahun 1999 hingga sekarang terdapat adanya pemekaran daerah baru
sebanyak 205 yang terdiri dari 7 propinsi, 164 kabupaten dan 34 kota.

Keempat, instrumen hukum dalam pengelolaan keuangan daerah yang beragam dan
menimbulkan peluang terbukanya multi tafsir. Dikeluarkannya paket undang-undang di bidang
keuangan negara yang diikuti oleh berbagai peraturan pelaksanaannya, pada dasarnya dimaksudkan
untuk menciptakan tertib anggaran sesuai dengan semangat reformasi manajemen keuangan dan
otonomi daerah. Akan tetapi pada sisi yang lain, terdapat kesulitan dalam keseluruhan siklus
keuangan pemerintah daerah, mulai dari penyusunan anggaran dan pengesahannya sampai pada
tahap penyusunan laporan keuangan.

Dalam hal Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 misalnya, yang antara lain
mengatur bahwa DPRD mengeluarkan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) yang mirip dengan Arah
Kebijakan Umum (AKU) melalui program dan kegiatan yang jauh lebih rinci. Di sisi yang lain,
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2006 mengamanatkan agar DPRD juga
menyiapkan AKU, yang berfungsi sebagai panduan kebijakan umum bagi eksekutif dalam
menyusun rencana anggaran (RAPED). Hal ini akan menghasilkan rancangan anggaran yang
dihasilkan akan terlihat berbeda dengan KUA, sehingga terkadang menimbulkan konflik antara
DPRD dan eksekutif.

Kelima, tertundanya pengesahan APBD merupakan fenomena yang kerapkali terjadi,


sehingga banyak kegiatan dan proyek yang dilaksanakan di daerah ditalangi dahulu oleh “biaya
siluman Ketidakjelasan sumber dana dan besaran alokasi dana kegiatan dan proyek yang
dilaksanakan terlebih dahulu, menjadikan salah satu pemicu terjadinya berbagai penyimpangan
dalam pengelolaan anggaran di daerah. Selain itu masih terjadi pada akhir tahun anggaran proyek
yang belum selesai telah direkayasa sedemikian rupa seolah-olah sudah selesai sebagai syarat
pembayaran.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Korupsi kini telah berevolusi dan bermetamorfosis. Jika dahulu korupsi dilakukan oleh
orang-orang berusia di atas 40 tahun, kini korupsi dilakukan orang-orang muda inilah bukti evolusi
dalam korupsi. Korupsi juga bermetamorfosis dengan terlibatnya orang-orang berpendidikan tinggi
serta berintelektualitas tinggi sehingga sulit terdeteksi. Kejahatan korupsi semakin canggih, jauh
melampaui cara-cara tradisional seperti pungutan liar pada masa dulu. Sebagai bagian dari upaya
pencegahan, muncullah pemikiran perlunya pendidikan budaya anti korupsi dimasukkan ke dalam
kurikulum pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi di Indonesia. Di perguruan tinggi,
mahasiswa menjadi sasaran utama pendidikan ini, apalagi jika memandang ciri korupsi pada masa
kini seperti yang disampaikan Ketua KPK bahwa ada kecenderungan dilakukan mereka yang
berpendidikan tinggi. Artinya, mahasiswa sebagai calon penerus kepemimpinan bangsa perlu
dibekali pengetahuan implementasi budaya anti korupsi agar mereka pun kelak berperan sebagai
subjek yang mencegah, sekaligus memberantas korupsi.

Upaya yang dilakukan pemerintah dalam pemberantasan korupsi yakni dikeluarkannya


Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi. Dalam rangka
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KK sebagaimana tertuang dalam visi dan misi
strategi nasional dan rencana aksi nasional pemberantasan korupsi (Stranas dan RAN PK) 2010-
2005. Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) 2010-2014 yang diarahkan pada perbaikan tata kelola pemerintah yang baik melalui 7
(tujuh) strategi berkaitan upaya pemberantasan, upaya pemberantasan korupsi massive dan semakin
efektif. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi Menetapkan 6 (enam) strategi yaitu Strategi bidang pencegahan, penindakan harmonisasi
peraturan perundang-undangan, penyelamatan aset hasil korupsi, kerjasama internasional dan
strategi bidang pelaporan. Berbagai instrumen tersebut menunjukkan komitmen pemerintah dalam
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
B. SARAN

Bertolak dari berbagai realitas korupsi yang terjadi dan trends perkembangannya, maka
setidaknya hal-hal yang perlu menjadi bahan renungan dan pemikiran dalam rangka meningkatkan
kesadaran hukum dan pemahaman hukum bagi masyarakat khususnya dalam pencegahan,
pemberantasan dan penegakan hukum korupsi ke depan.

Tindak pidana korupsi yang terjadi baik di pusat maupun daerah akan memberikan andil
bagi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) secara nasional dan mempunyai dampak bagi negara Indonesia
dimata internasional, oleh karena itu mari kita berantas korupsi mulai dari diri sendiri, dari hal-hal
yang kecil dan mulai hari ini sehingga negara kita menjadi bebas korupsi. Dalam pemberantasan
dan penegakan hukum sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman
hukum bagi masyarakat, khususnya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

M.Akil Mochtar, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan MK, Jakarta, 2009, hlm 6.
Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Pertama, Referensi Jakarta, 2012, h. 99.
Ronny Rahman Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
2006, hlm. 65.
M. Akil Mochtar, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2009, hlm. 7.
Prayitno Iman Santosa, Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni, Bandung,
2015, hlm. 3.
Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm. 69.

(2022). Diakses 2 December 2022, dari https://repository.upnvj.ac.id/1914/3/BAB%20I.pdf


(2022). Diakses 2 December 2022, dari
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/4015/05.1%20bab%201.pdf?sequence=5&is
Allowed=y
(2022). Diakses 3 Desember 2022, dari LEX ET SOCIETATIS - E-Journal UNSRAT
https://ejournal.unsrat.ac.id › index.php › article › view

Anda mungkin juga menyukai