Anda di halaman 1dari 9

Bentuk – Bentuk Dasar Awan

1. Stratus
Stratus berasal dari Bahasa Yunani yang artinya lapisan. Persebarannya merata secara
horizontal dan berlapis, sehingga kita sulit membedakan mana langit dan mana awan.
2. Cumulus
Dalam bahasa Yunani, Cumulus artinya bertumpuk. Sesuai dengan namanya, awan Cumulus
berbentuk gumpalan kapas yang menumpuk. Pergerakan awan ini dapat terjadi secara
vertikal.
3. Cirrus
Terakhir, awan Cirrus. Masih berasal dari bahasa Yunani, Cirrus artinya serat atau helaian
rambut ikal. Dinamakan Cirrus karena terdiri dari kristal es yang tergores oleh angin,
sehingga menyerupai goresan halus dan berserat layaknya rambut.
Jenis Awan Berdasarkan Ketinggiannya
1. Awan Rendah

Adalah awan yang memiliki ketinggian kurang dari 2 km dari permukaan tanah. Terbagi
menjadi Stratus, Nimbostratus, dan Stratokumulus.
a. Awan Stratus (St)
Bentuk awan stratus yaitu berlapis-lapis seperti kabut tipis. Bisa ditemukan di mana saja
dengan komposisi berupa kumpulan tetes air. Stratus menjadi pertanda cuaca cerah, tetapi
dapat berpotensi gerimis.
b. Awan Nimbostratus / Nimbus (Ns)
Dalam bahasa Yunani, ‘Nimbus’ berarti ‘menimbulkan hujan’. Awan ini berwarna abu-abu
gelap dan terlihat basah. Kalau kamu bertemu dengan awan Nimbostratus, tandanya akan
turun hujan atau salju tebal dalam jangka waktu yang lama.
c. Awan Stratocumulus (Sc)
Awan rendah yang terakhir yaitu Stratokumulus yang terdiri dari kumpulan tetesan air.
Bentuknya bergumpal dan bisa menyebabkan hujan ringan atau terkadang salju.
2. Awan Tengah atau Sedang

Adalah awan yang memiliki ketinggian 2 – 6 km dari permukaan tanah. Terbagi menjadi
Altostratus dan Altokumulus.
a. Altostratus (As)
Sekilas, awan ini bentuknya seperti pita. Komposisinya berupa tetesan air dan kristal es.
Makanya, Altostratus berpotensi menghasilkan gerimis atau virga, yaitu hujan yang tidak
sampai jatuh ke tanah.
b. Altokumulus (Ac)
Awan Altokumulus berbentuk gumpalan-gumpalan kapas yang pipih. Bisa menyebabkan
hujan ringan meskipun frekuensinya sangat jarang. Komposisinya terdiri dari tetesan air dan
kristal es.
3. Awan Tinggi
Adalah awan yang memiliki ketinggian 6-12 km dari permukaan tanah. Terbagi menjadi
Cirrus, Cirrocumulus, dan Cirrostratus.
a. Cirrus (Ci)
Cirrus adalah awan yang komposisinya berupa kristal es yang tergores oleh angin. Sehingga,
bentuknya mengkilap dan sering kita temui pada siang hari. Tapi tenang aja, awan ini tidak
menimbulkan hujan atau salju.
b. Cirrocumulus (Cc)
Sama seperti Cirrus, Cirrocumulus tidak menyebabkan terjadinya hujan, namun berpotensi
menghasilkan salju pada kondisi tertentu. Terdiri atas kristal es yang berbentuk gumpalan
melingkar menyerupai sisik ikan.
c. Cirrostratus (Cs)
Nah, kalau Cirrostratus berasal dari penyebaran dan penggabungan awan Cirrus. Bentuknya
tipis dan sangat halus, serta tidak berpotensi hujan atau salju.
4. Awan Vertikal
Adalah awan yang bisa naik dan bentuknya terus berkembang. Awan vertikal dapat berada
di ketinggian rendah, sedang, dan tinggi.
a. Cumulus (Cu)
Awan yang bergerak secara vertikal berbentuk kubah atau menyerupai bunga kol dengan
lengkungan bulat. Awan Cumulus muncul pada pagi hari dan menghilang sebelum malam
tiba. Awan ini tidak menimbulkan hujan.
b. Cumulonimbus (Cb)
Awan Cumolonimbus merupakan hasil perkembangan dari Awan Cumulus. Awan ini lebih
besar, tinggi, dan dapat mengandung listrik. Butiran air di dalamnya juga lebih banyak. Awan
Cumulonimbus menimbulkan badai dan hujat lebat yang disertai petir.
Jenis-jenis Curah Hujan
Menurut Tjasyono, Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi 3 pola iklim utama dengan
melihat pola curah hujan selama setahun. Tiga wilayah iklim Indonesia yaitu wilayah A
(monsun), wilayah B (ekuatorial) garis dan titik, wilayah C (lokal).
1. Curah Hujan Pola Monsunal (Wilayah A)

Curah hujan pola monsun dicirikan oleh tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu
puncak musim hujan) dimana pada bulan Juni, Juli dan Agustus terjadi musim kering.
Sedangkan untuk bulan Desember, Januari dan Februari merupakan bulan basah. Sisa enam
bulan lainnya merupakan periode peralihan atau pancaroba (tiga bulan peralihan musim
kemarau ke musim hujan dan tiga bulan peralihan musim hujan ke musim kemarau).
Daerah dengan pola monsun (wilayah A) ini didominasi oleh Sumatera bagian Selatan,
Kalimantan Tengah dan Selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan sebagian Papua.
2. Curah Hujan Pola Ekuatorial (Wilayah B)

Curah hujan pola ekuatorial dicirikan oleh tipe tingkat rata-rata hujan tahunan dengan
bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober
atau pada saat terjadi ekinoks.
Daerah dengan pola ekuatorial (wilayah B) ini meliputi pulau Sumatra bagian tengah dan
Utara serta pulau Kalimantan bagian Utara.
3. Curah Hujan Pola Lokal (Wilayah C)
Curah hujan pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan),
tetapi bentuknya berlainan dengan tipe hujan monsun.
Daerah dengan pola lokal (wilayah C) hanya meliputi daerah Maluku, Sulawesi dan sebagian
Papua.
Macam-macam Hujan Berdasarkan Ukuran Butirannya
Berdasarkan ukuran butirannya, klasifikasi hujan dibedakan menjadi empat yaitu:
1. Hujan Gerimis (Drizzle)
Hujan gerimis merupakan butiran air dan halus yang turun dari langit disebut dengan gerimis
dengan jumlah sedikit. Bahkan, hujan gerimis disebut ringan yang umumnya memiliki
diameter kurang dari 0,5 mm.

Gerimis disebabkan oleh awan stratus kecil dan awan stratocumulus yang memiliki
ketinggian 2.000 hingga 7.000 kaki di atas permukaan laut.
2. Hujan Salju (Snow)
Salju adalah kristal-kristal kecil air yang menjadi es dan memiliki temperatur di bawah titik
beku. Hujan salju berbentuk padat dan berasal dari awan nimbostratus.
Nimbostratus merupakan awan dengan ketinggian sedang yang berada pada daerah dingin
(wilayah di atas garis ekuator).
3. Hujan Batu Es
Hujan batu es merupakan bongkahan-bongkahan es yang turun dari awan yang memiliki
temperatur dibawah 0° derajat celcius yang terjadi pada cuaca panas.
Jenis hujan ini termasuk hujan lokal yang jarang terjadi dan biasanya terjadi kurang lebih 10
menit. Penyebabnya adalah adanya pengembunan mendadak.
Seluruh wilayah di dunia dapat mengalami hujan batu es, termasuk wilayah tropis. Ukuran
hujan es sekitar 6 cm per bongkahan. Hujan es berasal dari awan cumulonimbus yang
bertumpuk secara vertikal hingga mencapai ketinggian 30.000 kaki atau lebih.
4. Hujan Deras (Rain)
Hujan deras merupakan curahan air yang memiliki butiran kurang lebih 7 milimeter dan
berasal dari awan yang memiliki temperatur di atas 0°.
Pembagian Hujan Berdasarkan Proses Terjadinya
Hujan dapat diklasifikasikan berdasarkan proses terjadinya, antara lain yaitu:
1. Hujan Siklonal
Hujan siklonal adalah hujan yang terjadi akibat naiknya udara panas dari permukaan bumi
disertai adanya angin yang berputar-putar pada titik tertentu.
2. Hujan Zenithal
Hujan zenithal adalah hujan yang diakibatkan pertemuan angin pasat tenggara dan angin
pasat timur. Hujan jenis ini juga umumnya hanya terjadi di sekitar khatulistiwa.
3. Hujan Orografis
Hujan orografis adalah hujan yang terjadi akibat pergerakan awan ke arah horizontal yang
dibawa angin. Angin membawa awan mencapai suatu daerah pegunungan dan mengalami
kondensasi karena suhu dingin yang ada di sekitarnya.
4. Hujan Frontal
Hujan frontal adalah hujan yang terjadi akibat pertemuan massa udara dingin dengan massa
udara panas. Pertemuan kedua udara tersebut terjadi pada sebuah tempat yang bernama
“bidang front”. Pertemuan ini mengakibatkan massa udara dingin berada di bawah dan
menstimulasi terjadinya hujan di sekitar bidang front.
5. Hujan Muson
Hujan muson adalah hujan yang diakibatkan pengaruh angin muson. Angin muson sendiri
terjadi akibat pengaruh gerak semu tahunan matahari terhadap katulistiwa bumi.
6. Hujan Buatan
Hujan buatan adalah hujan yang terjadi akibat campur tangan manusia dalam memanipulasi
keadaan fisik atmosfer lokal, tepatnya dengan memanfaatkan proses tumbukan dan
penggabungan dalam pembentukan awan (ice nucleation).
Alat Ukur Curah Hujan
Data curah hujan sangat penting dalam mengatur pengelolaan air dalam memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Sebab rata-rata hujan tahunan antara daerah satu dengan daerah
lainnya berbeda-beda dan dapat terjadi setiap saat.
Oleh karena itu diperlukan alat yang dapat memantau curah hujan secara otomatis, real-
time, dan mampu menyimpan data curah hujan di masing-masing daerah.
Penakar hujan atau ombrometer merupakan alat untuk mengukur tingkar rata-rata hujan
tahunan. Ada 2 jenis penakar hujan yaitu penakar hujan rekam (recording) dan penakar
hujan non rekam (non recording).

1. Ombrometer Manual
Pengukuran curah hujan secara manual ini dilakukan dengan mengukur volume air secara
berkala dalam jangka waktu tertentu untuk memperoleh hasil curah hujan suatu wilayah.
Ombrometer manual dibagi menjadi dua jenis yaitu:
A. Ombrometer Biasa
Ombrometer ini terbuat dari bahan sederhana yaitu seng dengan tinggi 60 cm dan pipa
paralon dengan tinggi 100 cm. Cara kerja alat penakar ini masih sangat sederhana.
Air yang ditampung oleh penakar selanjutnya dibagi berdasarkan parameter luas mulut dan
volume air hujan. Dalam penggunaannya, alat sederhana ini diletakkan di ketinggian 120
hingga 150 cm. Namun, kelemahan alat ini masih belum mampu mencatat secara otomatis.
B. Ombrometer Observatorium
Pengukuran curah hujan dengan ombrometer observatorium dilakukan dengan
menggunakan gelas ukur dan menjadi standar yang biasa digunakan di Indonesia.
Penggunaan alat ini cukup mudah dan pemeliharaanya murah. Namun kelemahan dari
ombrometer observatorium yaitu data yang terbatas karena hanya dapat digunakan untuk
mengukur curah hujan selama 24 jam.
Selain itu, derajat kesalahan pengukuran satu alat dengan alat lainnya juga kerap terjadi dan
menunjukkan hasil yang berbeda.
2. Ombrometer Otomatis
Ombrometer otomatis memiliki cara kerja yang sudah beroperasi dengan mekanisme
otomatis dalam pencatatannya. Kelebihan ombrometer ini hasil perhitungan yang diperoleh
lebih akurat dibandingkan ombrometer manual.
Selain itu, alat ini juga sanggup mengukur kondisi curah hujan tinggi maupun rendah dan
melakukan pencatatan dalam waktu tertentu.
Contoh ombrometer otomatis, antara lain:

 Penakar Hujan Tipe Hellman


 Penakar Hujan Tipping Bucket
 Penakar Hujan Tipe Bendix
 Penakar Hujan Tipe Weighing Bucket
 Penakar Hujan Tipe Optical
 Penakar Hujan Tipe Tilting Siphon
 Penakar Hujan Tipe Floating Bucket
3. Automatic Weather Station
Selain ombrometer, terdapat alat pengukur cuaca otomatis yang jauh lebih efisien dan
memiliki banyak kelebihan. Alat ini mampu mengukur suhu, curah hujan, kelembaban, lama
penyinaran matahari, kecepatan dan arah angin, serta pengukuran lainnya.
Automatic Weather Station terdiri dari sensor-sensor yang bekerja dalam sebuah sistem.
Penggunaan alat ini biasanya diperuntukkan ketika cuaca ekstrim seperti kemarau panjang
dan badai.
Pencatatan otomatis secara real time dan akurat merupakan keunggulan dari Automatic
Weather Station. Selain itu, pada beberapa tipe Automatic Weather Station telah dilengkapi
alam pengukur ketinggian awan (Ceilometer).
Metode Perhitungan Curah Hujan
Perhitungan curah hujan dapat dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya yaitu:
1. Metode Aritmatik
Metode aritmatik ini dilakukan dengan menentukan curah hujan rata-rata pada daerah aliran
sungai dengan membagi beberapa wilayah pada DAS atau disebut stasiun. Kemudian, pada
masing-masing stasiun dilakukan penghitungan curah hujan.
Selanjutnya, jumlah curah hujan pada setiap stasiun akan ditotal dan dibagi dengan jumlah
wilayah perhitungan curah hujan yang dilakukan. Sehingga diperoleh hasil rata-rata curah
hujan pada wilayah DAS yang sudah ditentukan.
Cara pengukuran curah hujan dengan metode aritmatik ini memiliki kelebihan yaitu mudah
dilakukan karena masih sederhana.

Tapi metode ini memiliki juga kekurangan yaitu kurang akurat karena bergantung pada
distribusi hujan terhadap ruang dan ukuran daerah aliran sungai (besar atau kecil).
Selain itu, metode aritmatik memiliki syarat kondisi agar bisa mendapatkan hasil
perhitungan, seperti banyaknya jumlah tempat yang dibutuhkan dengan konsistensi dan
konsentrasi curah hujan yang merata.
2. Metode Poligon Thiessen
Metode poligon thiessen ini dilakukan dengan memperhitungkan bobot dari masing-masing
stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Cara ini digunakan apabila penyebaran stasiun
hujan di daerah yang ditinjau tidak merata. Metode ini stasiun hujan minimal yang
digunakan untuk perhitungan adalah tiga stasiun hujan. Hitungan curah hujan rata-rata
dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap stasiun
Apabila terdapat perubahan jaringan stasiun hujan seperti pemindahan atau penambahan
stasiun, maka harus dibuat lagi poligon yang baru.
3. Metode Isohyet
Metode isohyet jauh lebih kompleks dibandingkan 2 metode lainnya. Teknik ini harus
dilakukan dengan menggunakan komputer agar data yang diperoleh akurat dan hasil analisa
dapat terjaga konsistensinya.

Anda mungkin juga menyukai