Anda di halaman 1dari 3

Menjadi Ayah yang Tinggal di Rumah.

“Ih, angngapai Anchu? Angngapai nasipa’rua ji anakna battu?” tanya seorang tetangga pada
Mace. Tetangga ini, bertanya dengan nada cemas begitu melihat saya datang hanya berdua
Cora. Ia bertanya ada apa dengan saya, kenapa hanya saya dan Cora, tanpa ibunya, yang
datang. Saat itu, saya dan Cora, -yang baru berusia 6 (enam) bulan- baru saja tiba dari
Bantaeng.

Reaksi tak jauh berbeda saya dapati dari seorang tetangga kompleks di Bantaeng, saat
melihat saya menggendong Cora menyeberang jalan, untuk masuk ke kompleks kami.
Situasinya sama. Saya hanya berdua Cora. Tetangga tersebut, seorang lelaki berusia sekira 60
tahun, memaksa saya menerima tawaran untuk ikut membonceng motornya masuk ke
dalam kompleks. Meski enggan, saya menerima kebaikan hatinya. Dalam perjalanan menuju
rumah, si tetangga bertanya dengan nada prihatin. “Mamanya ke mana?”

Kedua tetangga di atas, sedikit banyak menampilkan bagaimana reaksi dan pandangan
masyarakat kita dalam melihat peran ayah dalam keluarga. Mungkin tak lazim bagi mereka
melihat seorang bayi hanya bersama ayahnya tanpa disertai kehadiran seorang Ibu. Idealnya
dalam pandangan masyarakat tradisional, seorang bayi haruslah bersama ibunya, bukan
ayahnya. Ayah adalah kepala keluarga, tugasnya keluar rumah mencari nafkah, bukan
mengasuh anak.

Meskipun saya selalu menikmati kebersamaan dengan anak-anak kecil, dan sering kali
menjadi pengasuh bagi adik-adik sepupu, saya tak pernah membayangkan bahwa saya akan
menjadi ayah yang tinggal di rumah dan merawat anak. Namun, kehendak Tuhan berjalan di
atas rencana saya. Saya menemukan diri saya menjadi ayah yang tinggal di rumah begitu
Cora lahir.

Pengalaman menjadi ayah yang tinggal di rumah atau ayah pengasuh bermula ketika istri
saya harus mengikuti Pendidikan dan Latihan (Diklat) sebagai syarat kelulusan menjadi
Aparat Sipil Negara (ASN). Sementara saya, yang memiliki pekerjaan yang dapat dilakukan
dari rumah, memutuskan untuk tinggal bersama anak kami. Cora belum genap berusia 40
hari saat itu.

Selama tiga pekan saya berperan dan bertanggung penuh sebagai ayah sekaligus ibu bagi
bayi yang baru berusia satu bulan lebih. Berat? Tentu saja saya harus jujur mengakui bahwa
peran baru ini tidaklah mudah. Ada banyak hal baru bagi saya yang mau tak mau harus saya
pelajari dan lakukan. Dari mengganti popok, bermain, mengatur jadwal tidur, memandikan
hingga memastikan asupan ASI tepat waktu. Kami ingin Cora tetap mendapatkan ASI meski
terpisah dari ibunya. Untuk itu, ibunya memompa ASI di sela-sela pelatihan yang ia ikuti.
Setiap pagi dan malam, saya menjemput ASI di tempat pelatihan ibunya.

Memasuki hari keempat pelatihan ibunya, kami bertiga jatuh sakit. Di asrama, mungkin
karena stress memikirkan anaknya, plus beban pelatihan, membuat ibunya juga jatuh sakit.
Di rumah, Cora juga terserang demam. Besoknya, saya karena kurang istirahat jadi ikutan
sakit. Untungnya, kala itu kami berada di rumah Ibu saya. Ada supporting system yang bisa
membantu saat kondisi berat seperti itu.

Momen di mana kami bertiga jatuh sakit secara bersamaan ini menjadi pelajaran yang
sangat berharga buat saya. Sangat penting untuk bisa membagi waktu dengan benar. Di
antara peran menjadi ayah pengasuh dan tenggat kerjaan, tetap harus berlaku adil pada
tubuh. Luangkan waktu untuk istirah jika tubuh sudah memberi sinyal kelelahan. Di tengah
kebahagiaan dan tanggung jawab sebagai ayah, kesehatan tetaplah harus dijaga. Bagaimana
bisa menjaga anak jika kita sendiri yang sakit?

Tantangan berikutnya hadir ketika masa cuti istri selesai. Kami harus kembali ke Bantaeng.
Berdua mengasuh Cora. Tanpa supporting system lagi. Dalam sebulan istri harus bekerja 16
hari, 1x24 jam, di dua tempat. Terkadang, istri harus berada di tempat bekerja sampai 4 – 5
hari berturut-turut. Meninggalkan saya dan Cora berdua di rumah. Otomatis, segala urusan
pengasuhan Cora adalah tanggung jawab saya. Sering kali, memasuki hari keempat saya
sudah terserang jenuh dan merasa lelah mengasuh Cora sendirian. Mengatur waktu
istirahat dengan mengikuti pola tidur bayi berusia di bawah enam bulan bukanlah hal
mudah. Kadang sudah menemukan ritme, eh pola tidur bayi yang berubah. Jadinya, saya
kurang istirahat.

Selain tubuh, kesehatan mental juga perlu mendapat perhatian. Inilah tantangan terbesar
saya. Sebelum menikah, waktu saya lebih banyak saya gunakan di luar rumah. Entah itu di
warkop atau di kafe. Selain untuk bekerja, juga memudahkan untuk bertemu dengan orang-
orang. Saya yang dulunya senang bertemu orang banyak kini harus tinggal di rumah dan
menjalani peran sebagai pengasuh bayi. Perubahan ini, tentu membutuhkan kesiapan
mental yang cukup, jika tidak tentu saya akan stress. Namun, rasa cinta pada keluarga
ditambah kebahagiaan memiliki anak yang sehat dan lucu, membuat saya bisa bertahan
sejauh ini.

Bersama istri, kami memiliki kebiasaan membawa Cora berkeliling kompleks. Bisa pagi hari,
tapi seringnya sore hari. Kebiasaan itu kami mulai sejak pertama kali kami kembali ke
Bantaeng. Sering kali pula, saat istri bertugas, hanya saya yang membawa Cora berkeliling.
Awalnya, sering kali saya menangkap pandangan-pandangan iba atau aneh dari tetangga.
Namun seiring waktu pandangan-pandangan seperti itu berkurang dan menghilang.

Jika dulunya mungkin hanya saya, kini pemandangan seorang ayah bersama anaknya bukan
lagi hal yang tak lazim. Setiap sore, di kompleks kami, kini mudah kita jumpai seorang ayah
bersama anaknya. Ada yang menemani anaknya yang baru belajar berjalan, ada yang
mendorong kereta bayi, atau menggendong bayi sambil bercengkrama dengan tetangga.
Ada ayah-ayah lain yang juga mengasuh anak mereka. Saya merasa bahwa saya menjadi
bagian dari perubahan kecil dalam pandangan masyarakat terhadap peran ayah.

Kebersamaan ini juga membawa saya pada momen-momen penuh tawa dan kebahagiaan.
Bersama anak, dunia terasa lebih berwarna. Saya mungkin bukan ahli dalam memilih baju
yang pas bagi Cora, tetapi saya belajar setiap harinya. Menjadi ayah yang tinggal di rumah
bukan berarti menjadi ahli dalam segalanya, melainkan belajar untuk tumbuh bersama anak.
Mungkin perjalanan ini tak selalu mulus, dan ada hari-hari ketika pekerjaan menumpuk atau
saat-saat ketika rasa lelah datang begitu saja. Tetapi pada akhirnya, ketika saya melihat
senyuman Cora, semua itu seakan sirna. Keberanian untuk mengambil peran ini membuka
jendela ke dunia yang lebih dalam, di mana peran ayah tak lagi terbatas pada pemburu
nafkah, melainkan seorang pendamping yang setara.

Jadi, menjadi ayah yang tinggal di rumah bukan hanya tentang mengganti popok,
membuatkan mpASI atau memastikan kebutuhan anak tercukupi. Ini adalah tentang
menciptakan kenangan bersama, melibatkan diri dalam setiap langkah perkembangan anak,
dan menjadi dukungan yang tak tergantikan bagi keluarga. Tentu saya bukan ayah yang
tinggal di rumah yang sempurna. Pada akhirnya, kita semua hanya orangtua yang berusaha
memberikan yang terbaik bagi anak-anak kita, apa pun bentuk peran yang kita ambil.

Menjadi ayah yang tinggal di rumah adalah pengalaman yang luar biasa bagi saya. Saya bisa
melihat Cora tumbuh dan berkembang setiap hari. Saya bisa merasakan ikatan yang kuat
antara saya dan anak saya. Saya juga bisa menghargai perjuangan istri saya yang bekerja
keras untuk keluarga kami. Saya bangga menjadi ayah pengasuh. Saya yakin, Cora juga
bangga punya ayah seperti saya.

-----

Koreksi:

- Yang dan Di, ditulis huruf kecil


- Kalimat-kalimat yang terlalu panjang
- Memasukkan unsur patriarki Bugis dan Makassar
-

Anda mungkin juga menyukai