Anda di halaman 1dari 5

Administration & Health Information of Journal Vol. 3 No.

1 April 2022
http://ojs.stikeslandbouw.ac.id/index.php/ahi

ANALISIS KETEPATAN PENGKODEAN DIAGNOSIS


KASUS FRACTURE PADA PASIEN RAWAT INAP
BERDASARKAN ICD-10 DI RS TK.III
DR. REKSODIWIRYO PADANG
TAHUN 2021
Wilda Permata Yuli1, Berly Nisa Srimayarti2
Prodi D3 Medical Record and Health Information STIKES Dharma Landbouw Padang
email: wildapermatayuli19@gmail.com
STIKES Dharma Landbouw Padang, West Sumatra, Indonesia;
email: berlynisasrimayarti@gmail.com

ABSTRAK
Ketepatan kode adalah kesesuaian diagnosa dengan kode yang ditentukan petugas coder sesuai aturan
ICD-10. Studi pendahuluan di RS Tk.III Dr.Reksodiwiryo Padang mengamati 10 berkas rekam medis rawat inap
dengan kasus fracture. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa ketepatan pengkodean diagnosis kasus
fracture berdasarkan ICD-10 di RS Tk.III Dr.Reksodiwiryo Padang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli
tahun 2021. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomologi. Informan pada
penelitian ini 1 orang Katim Casemix dan 2 orang petugas coder rawat inap. Analisis Pengolahan data
menggunakan metode colaizzi. Hasil penelitian ini menemukan bahwa masih ditemukan kesalahan pada kode
diagnosa fracture karena belum sesuai dengan aturan pengkodean ICD-10. Ketidaktepatan pengkodean
disebabkan karena faktor SDM dan tidak adanya kebijakan mengenai kode karakter ke-5. Sehingga disimpulkan
bahwa masih terdapat kesalahan pada kode diagnosa kasus fracture karena tidak sesuai dengan aturan ICD-10.
Ketidaktepatan pengkodean disebabkan karena kurangnya kepedulian dokter dan petugas coder dalam
menginput diagnosa penyakit yang lengkap, spesifik dan tidak memperhatikan kode karakter ke-5. serta
kebijakan yang belum tersedia.
Kata Kunci: Ketepatan, diagnosa, fracture, ICD-10, coder.

ABSTRAK
The accuracy of the code is in accordance with the diagnosis with the code determined by the coder in
accordance with the ICD-10 rules. A preliminary study at Tk.III Hospital Dr.Reksodiwi Recordryo Padang
observed 10 inpatient medical files with fracture cases. This study aims to ensure the accuracy of coding the
diagnosis of fracture cases based on ICD-10 at Tk.III Hospital Dr.Reksodiwiryo Padang. The research was
conducted in July 2021. This study used a qualitative research with a phenomenological approach. Informants
in this study 1 Katim Casemix and 2 inpatient coder officers. Analysis Data processing using the Colaizzi
method. The results of this study found that errors were still found in the fracture diagnosis code because it was
not in accordance with the ICD-10 coding rules. The coding inaccuracy is caused by HR factors and the absence
of a policy regarding the 5th character code. Therefore, there are still errors in the fracture diagnosis code
because it does not comply with the ICD-10 rules. The coding inaccuracy is caused by the lack of attention from
doctors and coders in entering a complete, specific disease diagnosis and not paying attention to the 5th
character code. and policies that are not yet available.
Keywords : Accuracy, diagnosis, fracture, ICD-10, coder.

48

Lembaga Penelitian dan Pegabdian


STIKES Dharma Landbouw Padang
e-ISSN: 2715-5250
Administration & Health Information of Journal Vol. 1 No.1 Februari 2020
http://ojs.stikeslandbouw.ac.id/index.php/ahi

PENDAHULUAN
Rumah sakit adalah bagian dari organisasi sosial dan kesehatan yang berfungsi memberikan
pelayanan paripurna, penyembuhan penyakit. Semua sarana pelayanan kesehatan harus membuat
rekam medis yang di buat oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya guna mencapai tertib administrasi
(Permenkes RI, 2020).
Rekam medis adalah berkas yang berisikan identitas pesien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan
dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan. Untuk memperoleh pelayanan
kesehatan yang bermutu maka diperlukan sarana penunjang yang memadai diantaranya dengan
menyelenggarakan rekam medis (Permenkes RI, 2008).
Salah satu kegiatan dalam mengelola rekam medis adalah kegiatan coding yang berfungsi
sebagai mengkode klasifikasi penyakit sesuai berdasarkan ICD-10. Coding menetapkan kode dengan
huruf atau angka atau kombinasi huruf dan angka. Ketepatan kode merupakan tanggung jawab petugas
rekam medis (Hatta, 2013). Pengkodean memiliki tujuan untuk menyamakan nama dan golongan
penyakit, cidera, gejala dan faktor lainnya. (Depkes RI, 2006).
Diagnosis ialah istilah yang menunjuk pada nama penyakit yang ada pada pasien yang perlu
dirumuskan/ditentukan oleh dokter. Setelah dilakukan penetapan diagnosis akhir tersebut kemudian
baru akan dilakukan pengkodean berdasarkan ICD-10 untuk kode diagnosis sedangkan ICD-9CM
untuk kode tindakan (Hardjodisastro, 2006).
Ketepatan data diagnosis sangat penting untuk manajemen data klinis, pembiayaan, dan hal lain
terkaitasuhan dan pelayanan kesehatan (Hatta, 2013). Untuk memperoleh data yang bermutu maka
diperlukan pengkodean yang tepat. Untuk mengkode dengan tepa maka rekam medis perlu trisi
dengan. Di lain sisi untu hasil pengkodean bermanfaat dalam membuat laporan morbiditas, mortalitas,
daftar 10 besar penyakit, dan pembuatan indeks penyakit. Kode yang tidak tepat akan memberikan data
tidak akurat, dan berpotensi merugikan rumah sakit ataupun pasien.
Penyebab ketetapan diagnosis karena tulisan dokter tidak terbaca, selain itu petugas tidak
mengkode dengan lengkap yang diikuti keterangan close atau open (Rusliyanti, 2016).
Penelitian lain juga dilakukan oleh (Rahmadani, 2018) tingkat kelengkapan berkas sudah
mencapai 84 berkas (99%). Kelengkapan kode mencapai 64%. Di sisi lain untuk ketepatan, mencapai
3%. Ketidaktepatan banyak terjadi pada kriteria beda 1 karakter yaitu 36%.
Kualifikasi petugas rekam medis tidak berpegaruh terhadap ketidaktepatan pengisian kode
diagnosis pada rekam medis. Melainkan, disebakan kendala pada SIMRS yang tidak menunjang untuk
pengkodean karakter ke-5, serta tidak adanya kebijakan terkait pengkodean karakter ke-5. Didapatkan
bahwa 27% kode diagnosis fracture tidak tepat dikarenakan mengikuti sistem pengkodean pada
computer (Kantara, 2017).
Berdasarkan survey awal yang telah penulis lakukan pada tanggal 11 Februari 2021 di RS
Tk.III Dr. Reksodiwiryo Padang. Penulis menemukan masalah saat petugas coder melakukan
pengkodean diagnosa kasus fracture. Penulis mengamati 10 berkas rekam medis rawat inap yang sudah
dituliskan diagnosa penyakitnya oleh dokter. Dalam pengkodean diagnosa kasus fracture terdapat 6
(60%) rekam medis yang tidak menggunakan karakter ke-5 dan 4 (40%) rekam medis yang
menggunakan karakter ke-5. Hal tersebut terjadi karena penulisan diagnosa yang dituliskan oleh dokter
kurang jelas dan tidak spesifik. Sehingga menyulitkan petugas coder untuk melakukan pengkodean
penyakit karena jika penulisan dokter kurang jelas dan tidak spesifik, petugas coder akan
mengembalikan berkas rekam medis tersebut ke dokter yang bersangkutan, jika dokter tidak
memperbaiki diagnosa tersebut, petugas coder akan mengkode sesuai dengan diagnosa yang ditulis

49
Lembaga Penelitian dan Pegabdian
STIKES Dharma Landbouw Padang
e-ISSN: 2715-5250
Administration & Health Information of Journal Vol. 1 No.1 Februari 2020
http://ojs.stikeslandbouw.ac.id/index.php/ahi

dokter. Maka dari permasalahan tersebut berpengaruh kepada ketepatan pengkodean yang akan
dilakukan petugas coder.
Pengkodean diagnosis fracture di RS Tk.III Dr. Reksodiwiryo Padang tidak semuanya terkode
dengan karakter ke-5. Penyebabnya karena kurangnya kepedulian petugas coder dalam mengisi atau
menginput kode diagnosa sampai karakter ke-5.
Untuk kasus fracture harus di kode dengan penggunaan karakter ke-5, jika tidak maka akan
kode menjadi tidak tepat dan berpotensi menimbulkan kerugian bagi Rumah Sakit. Menurut buku ICD-
10 pengkodean pada bab XIX harus dilengkapi dengan kode karakter ke-5 untuk menunjukkan fracture
tertutup atau terbuka. Penyebabnya persentase ketepatan kode diagnosis fracture yang rendah adalah,
seperti tulisan dokter yang tidak terbaca dan diagnosis fracture pada rekam medis tidak lengkap dengan
keterangan close atau open, akibatnya petugas hanya mengkode dengan karakter ke-4.
Berdasarkan masalah diatas, peneliti tertarik untuk meneliti terkait “Analisis Ketepatan
Pengkodean Diagnosis Kasus Fracture Pada Pasien Rawat Inap Berdasarkan ICD-10 di RS Tk.III Dr.
Reksodiwiryo Padang Tahun 2021”.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengambilan
sample menggunakan purposive sampling. Narasumber pada penelitian ini ialah 1 orang Katim
Casemix dan 2 orang petugas coding rawat inap. Peneliti melakukan penelitian di RS Tk.III Dr.
Reksodiwiryo Padang. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2021.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Komponen Input
Sumber Daya manusia
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan kepada 3 orang informan
diantaranya wawancara kepada Katim Casemix, 2 orang petugas coder rawat inap, mengenai sumber
daya manusia, diketahui bahwa jumlah petugas coder rawat inap cukup memadai dengan jumlah
coder rawat inap berjumlah 2 orang. Untuk kinerja para coder sudah cukup baik, walaupun hanya
terdapat dua orang petugas coder pada bagian rawat inap tetapi sudah sesuai dan kompeten karena
sudah pada bidangnya masing-masing. Untuk pelatihan tenaga coder sudah ada dari pihak rumah
sakit, tapi untuk pelatihan coding fracture petugas coder belum pernah mengikutinya.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan bahwa tenaga coder nya sudah cukup, dan
kinerja coder pun sudah terlaksana dengan baik walaupun hanya dua orang yang melakukan
pengkodean pada rawat inap. Upaya yang harus dilaksanakan adalah agar pihak rumah sakit lebih
memberikan perhatian kepada coder dalam hal memberikan pelatihan khusus untuk coder.
Standar Operasional Prosedure (SOP)
Berdasarkan uraian wawancara yang berkaitan dengan kebijakan dapat disimpulkan bahwa
petugas yang bekerja telah sesai SOP yang ditetapkan rumah sakit, tetapi ada permasalahan pada
diagnosa kasus fracture karena ada beberapa diagnosa fracture yang kodenya tidak didukung aplikasi
rumah sakit tersebut. Sehingga tidak sesuai dengan ketentuan ICD-10.

50
Lembaga Penelitian dan Pegabdian
STIKES Dharma Landbouw Padang
e-ISSN: 2715-5250
Administration & Health Information of Journal Vol. 1 No.1 Februari 2020
http://ojs.stikeslandbouw.ac.id/index.php/ahi

SOP merupakan petunjuk atau panduan untuk menjalankan pekerjaan petugas sesuai dengan
fungsi dan alat penilaian kinerja menurut petunjuk teknis teknis, administrasi, prosedur kerja pada
unit kerja terkait (Atmoko Tjipto, 2011).
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan bahwa sebaiknya semua petugas rekam medis
melaksanakan pekerjaan sesuai SOP yang ada di rumah sakit agar memudahkan petugas dalam
penyelenggaraan rekam medis dan petugas menanamkan sifat bertanggung jawab.
2. Komponen Proses
Pelaksanaan
Berdasarkan uraian wawancara mendalam yang berkaitan dengan pelaksanaan dapat
disimpulkan bahwa terdapat permasalah pada pelaksanaan ketepatan pengkodean diagnosis kasus
fracture berdasarkan ICD-10. Karena tidak semua diagnosis kasus fracture menggunakan karakter ke-
5 sedangkan aturan di ICD-10 harus menggunakan karakter ke-5. Jika pengkodean fracture tidak
sesuai dengan ICD-10 akan dapat merugikan salah satu pihak.
Pelaksanaaan adalah kewajiban bagi petugas dalam organisasi. Dalam melaksanakan tugas dan
kewajiban maka diperlukan tujuan berupa hasil yang baik dan sesuai dengan yang ditentukan
sebelumnya.
Berdasarkan wawancara dan pengamatan bahwa petugas coder harus lebih teliti dalam
menginput diagnosa penyakit ke aplikasi E-Klaim, karena jika terdapat kesalahan diagnosa akan
mengakibatkan ketidaktepatan diagnosa dan pending klaim yang dapat menunda pembayaran pada
rumah sakit. Dan sebaiknya, jika kode diagnosa menggunakan karakter ke-5 seharusnya petugas
coder mengkode diagnosa tersebut sampai pada karakter ke-5 sehingga tidak terjadi ketidaksesuaian
biaya.
Monitoring Dan Evaluasi
Berdasarkan uraian wawancara mendalam kepada petugas dapat disimpulkan bahwa monitoring
dan evaluasi tidak pernah dilaksanakan.
Monitoring dilakukan untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan, sementara itu evaluasi berguna
untuk memberikan penilaian terhadap suatu kegiatan (Notoatmodjo, 2007). Monev sangat penting
dalam proses guna mendapatkan umpan balik (feed back).
Monitoring dan evaluasi dipakai untuk memastikan perencanaan berjalan dengan sesuai, apabila
input terpenenuhi dan proses berlangsung sesuai rencana maka akan didapatkan hasil yang baik
pula.(Bustami, 2011).
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan bahwa sebaiknya diadakan monitoring dan
evaluasi guna menelaah masalah yang ditemui saat pelaksanaan kegiatan, agar pekerjaan lebih efektif
lagi untuk kedepannya.
3. Output
Berdasarkan uraian wawancara mendalam kepada petugas mengenai output ketepatan
pengkodean diagnosis kasus fracture pada pasien rawat inap berdasarkan ICD-10 di RS Tk.III Dr.
Reksodiwiryo Padang secara keseluruhan belum terlaksana dengan baik, karena masih terdapat
ketidaktepatan kode diagnosis kasus fracture berdasarkan ICD-10.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan bahwa salah satu upaya agar output ketepatan
pengkodean diagnosis kasus fracture pada pasien rawat inap berjalan dengan baik yaitu dengan cara
menyesuaikan pengkodean diagnosis kasus fracture berdasarkan ICD-10 yang berlaku di RS Tk.III Dr.
Reksodiwiryo Padang serta meningkatkan rasa kepedulian petugas coder dalam menginput diagnosa
yang lengkap dan sesuai.

51
Lembaga Penelitian dan Pegabdian
STIKES Dharma Landbouw Padang
e-ISSN: 2715-5250
Administration & Health Information of Journal Vol. 1 No.1 Februari 2020
http://ojs.stikeslandbouw.ac.id/index.php/ahi

PENUTUP
Kesimpulan :
1. Komponen input :
a. Sumber Daya Manusia (SDM) cukup dan sudah kompeten dalam bidangnya. Belum adanya
pelatihan khusus atau kebijakan dari rumah sakit terkait pengkodean fracture. Kesalahan yang
terjadi tidak sepenuhnya karena petugas coder tetapi juga karena dokter yang tidak menuliskan
diagnosa penyakit dengan lengkap dan tidak spesifik yang mengakibatkan petugas coder
mengkode diagnosa tidak tepat.
b. Standar Operasional Prosedur (SOP) nya sudah berlangsung baik dan sesuai harapan rumah sakit,
namun untuk kebijakan tentang pemberian kode karakter ke-5 belum ada sehingga mengurangi
rasa kepedulian petugas dalam menginput karakter ke-5.
2. Komponen proses :
a. Pelaksanaan untuk ketepatan pengkodean diagnosis kasus fracture berdasarkan ICD-10 masih
kurang tepat dan masih kurangnya kesadaran dokter untuk menuliskan diagnosis penyakit dengan
lengkap dan spesifik yang dapat membantu tugas coder dalam menginputkan kode diagnosa
penyakit yang tepat ke dalam aplikasi E-Klaim. Selain karena dokter yang tidak menuliskan
diagnosa penyakit tidaklengkap dan tidakspesifik, juga karena petugas coder yang lalai dan tidak
memperhatikan diagnosa pasien termasuk pada kode karakter ke-5 dalam pengkodean diagnosa
kasus fracture.
b. Monitoring dan evaluasi tidak pernah dilakukan, tetapi untuk evaluasi hanya dari petugas BPJS
sekali 1 tahun.
3. Komponen output; Ketidaktepatan pengkodean disebabkan karena kurangnya kepedulian dokter
dan petugas coder dalam menginput diagnosa penyakit yang lengkap, spesifik dan juga tidak
terlalu memperhatikan kode karakter ke-5.

UCAPAN TERIMAKASIH
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Dosen Program Studi D-3 Rekam Medis dan
Informasi Kesehatan dan Dosen Pembimbing Ibuk Berly Nisa Srimayarti, S.KM,M.KM yang telah
banyak membantu memberikan saran dan masukan.

DAFTAR PUSTAKA
Atmoko, Tjipto. (2011). Standar Operasional Prosedur (SOP) dan akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah. Bandung : Unpad
Bustami. (2011). Peminjaman Mutu Pelayanan Kesehatan dan Aksebtabilitas. Jakarta : Erlangga.
Hardjodisastro, D. (2006). Menuju Seni Ilmu Kedokteran : Bagaimana Dokter Berfikir, Bekerja dan
Menampilkan Diri. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Kantara, L. R. (2017). Kualifikasi Petugas Coder Terkait Ketepatan Kode Di.agnosis Fracture Tahun
2017 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 1–14.
Permenkes RI (2008). Permenkes RI 269/MENKES/PER/III/2008. In Permenkes RI No
269/Menkes/Per/Iii/2008 (Vol. 2008, p. 7).
Permenkes RI (2020). Permenkes No. 3 Tahun 2020 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
Rahmadani, H. F. (2018). Ketepatan Kode Diagnosis pada Kasus Fraktur di Rumah Sakit Umum PKU
Muhammadiyah Bantul. 1–9.
Sudarmanto. (2011). Kinerja dan Pengembangan Kompetensi SDM. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

52
Lembaga Penelitian dan Pegabdian
STIKES Dharma Landbouw Padang
e-ISSN: 2715-5250

Anda mungkin juga menyukai