Anda di halaman 1dari 7

Nama : Nida Fariha Salsabella

NIM : 2208010142
Mata Kuliah : Hukum Agraria

Kasus Sengketa Tanah Diselesaikan dengan Keadilan (non-litigasi)


PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ANTARA PETANI DENGAN
PT.MACKENZIE MELALUI MEDIASI (Studi Penyelesaian Sengketa Tanah
PT.Mackenzie di Kabupaten Pemalang)
PT.Mackenzie merupakan salah satu perusahaan milik Belanda yang
berada di Kabupaten Pemalang, yang bergerak dalam bidang perkebunan kelapa
dengan luas total tanahnya 297,41 Ha. PT.Mackenzie tersebut sudah dua kali
memperoleh HGU atas lahan yang dimaksud di Desa Klareyan dan Desa
Kendalrejo, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah.

Sejak tahun 1993 hingga akhir tahun 2008, petani penggarap yang
tergabung dalam Kelompok Tani STIP terdiri dari 653 KK (Kartu Keluarga) telah
menggarap lahan HGU PT.Mackenzie seluas 160,35 Ha. Lahan tersebut ditanami
pohon jarak, melati, palawija (ketela pohon, kacang dan padi gogo) dan budidaya
tambak sebagai sumber penghidupan warga. Hal ini disebabkan karena janji yang
diberikan oleh PT.Mackenzie untuk membayarkan gaji warga yang dipekerjakan
sebagai petugas keamanan tidak ditepati dan berbagai pola kemitraan antara warga
dengan PT.Mackenzie tidak pernah berjalan baik. Kemitraan tersebut diantaranya
produksi peralatan rumah tangga, seperti sapu lidi yang terbuat dari sabut kelapa
dan kemitraan dalam produksi minyak kelapa.

Dua tahun sebelum berakhirnya HGU pada tanggal 31 Desember 2008


yaitu pada tahun 2006, PT.Mackenzie telah mengajukan permohonan
pembaharuan HGU ke Kantor wilayah BPN Provinsi Jawa Tengah. Hanya kurang
satu persyaratan yang belum terpenuhi yaitu Rekomendasi dari Pemerintah
Kabupaten Pemalang. Pihak Pemkab Pemalang tidak mengabulkan rekomendasi
permohonan pembaharuan HGU PT.Mackenzie, sehingga PT.Mackenzie tidak
dapat mengelola lagi tanah tersebut.Pada tanggal 31 Desember 2008 dan dengan
diterbitkannya surat Bupati Nomor: 593.4/4132/Tapem, bahwa HGU
PT.Mackenzie telah berakhir dan Pemkab Pemalang tidak mengeluarkan
rekomendasi permohonan pembaharuan HGU kepada PT.Mackenzie. Hal
tersebut dikarenakan antara lain sebagian lahan telah dikuasai dan dimanfaatkan
oleh rakyat/warga desa untuk usaha pertanian dan tambak, hubungan kemitraan
antara warga dengan PT.Mackenzie juga tidak berjalan dengan baik. Tanah eks
HGU PT.Mackenzie ini akan dijadikan obyek Landreform sesuai peraturan
perundangan yang berlaku oleh Pemkab Pemalang dalam rangka melaksanakan
kebijakan pembaharuan agraria nasional aset reform tanah untuk kesejahteraan
rakyat, sehingga petani penggarap menuntut agar lahan tersebut dapat
disertifikatkan menjadi hak milik para petani. Pada tanggal 30 Juni 2010 petani
penggarap Desa Kendalrejo mengirimkan surat kepada Presiden RI dengan No.
01/30/V/KMR/2010 perihal : memohon perlindungan hukum dan perubahan
status tanah garapan menjadi tanah hak milik petani penggarap. Di tanggal yang
sama juga petani penggarap Desa Klareyan mengirimkan surat kepada Mendagri
No. 01/19/V/KKR/2010 perihal : memohon perlindungan hukum dan perubahan
status tanah garapan menjadi tanah hak milik penggarap. Pada tanggal 16 Juli
2010 SetNeg RI dengan No. Surat B 4395/Setneg/D-5/07/2010 mengirim surat
kepada Kakanwil BPN Provinsi Jawa Tengah dan Bupati Pemalang perihal
pengaduan masyarakat. Serikat Tani Independen Pemalang (STIP) atau
perwakilan dari petani penggarap juga telah melakukan pengaduan secara lisan
pada tanggal 18 Juli 2010, yaitu dengan datang ke Kantor Pertanahan Kabupaten
Pemalang dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kabupaten Pemalang.
Inti dari pengaduan tersebut yaitu menyampaikan permasalahan lahan seluas
160,35 Ha eks HGU PT.Perkebunan Kelapa Mackenzie yang telah digarap warga
Desa Klareyan dan Desa Kendalrejo selama bertahun-tahun. Menindaklanjuti
pengaduan oleh petani penggarap tersebut, Kepala Subseksi Sengketa dan Konflik
Kantor Pertanahan Kabupaten Pemalang melakukan klarifikasi dengan memanggil
kedua belah pihak, menanyakan terkait sengketa tanah tersebut. Para pihak
sepakat untuk menyelesaikan sengketa tanah melalui mediasi di tempat yang
telah disepakati bersama.
Proses penanganan dan penyelesaian sengketa tanah antara petani
penggarap dengan PT.Mackenzie melalui mediasi ini dilakukan secara 2 (dua)
tahap yaitu Mediasi yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten
Pemalang, dan Mediasi yang dilakukan oleh Kantor Wilayah Jawa Tengah. Mediasi
yang telah dilakukan tersebut keduanya sudah sesuai dengan Keputusan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 Tentang
Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, khususnya
Petunjuk Teknis Nomor 05/JUKNIS/D.V/2007 Tentang mekanisme Pelaksanaan
Mediasi. Berdasarkan hasil mediasi penyelesaian sengketa tanah eks HGU PT.
Mackenzie antara bekas pemegang hak dan petani penggarap, bahwa baik
mediasi yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Pemalang atau
Mediasi yang dilakukan oleh Kantor Wilayah Jawa Tengah keduanya tidak
menghasilkan kata sepakat. Para pihak dapat menempuh upaya lain atau upaya
hukum lain yaitu melalui Pengadilan hukum perdata guna menyelesaikan kasus
sengketa tanah PT.Mackenzie ini.Fungsi Kantor Pertanahan Kabupaten Pemalang
dalam penanganan dan penyelesaian kasus sengketa antara petani penggarap
dengan PT.Mackenzie adalah berfungsi sebagai fasilitator dan juga sebagai
mediator. Berfungsi sebagai fasilitator yaitu memfasilitasi proses penyelesaian
sengketa tanah PT. Mackenzie antara bekas pemegang hak dan petani penggarap
yang dilakukan melalui mediasi, dengan menampung pengaduan dari masyarakat
dan menindaklanjuti pengaduan tersebut. Pihak Kantor Pertanahan Kabupaten
Pemalang juga ikut menemani masyarakat
ketika penyelesaian sengketa tanah PT.Mackenzie yang dilakukan melalui mediasi
tersebut dilakukan oleh Kantor Wilayah Jawa Tengah. Disamping berfungsi
sebagai fasilitator, Kantor Pertanahan Kabupaten Pemalang juga bertindak
sebagai mediator dengan dibantu oleh Pemkab Pemalang.Akibat hukum dari
mediasi tersebut bagi kedua belah pihak yaitu akibat hukum yang pertama
terhadap HGU PT.Mackenzie tidak dapat dilanjutkan, dengan berakhirnya HGU
PT.Mackenzie pada tanggal 31 Desember tahun 2008 dan terbitnya surat Bupati
Pemalang Nomor: 593.4/4132/Tapem tentang penolakan pembaharuan HGU
PT.Mackenzie. Tidak dikabulkannya pembaharuan HGU PT.Mackenzie oleh
Pemkab Pemalang, maka tanah eks HGU PT.Mackenzie tersebut berubah menjadi
tanah negara. Oleh karena itu petani penggarap boleh menggarap tanah tersebut
karena tanah eks HGU PT.Mackenzie ini status tanah nya sudah berubah menjadi
tanah negara. Akibat hukum yang kedua yaitu bagi petani penggarap, bahwa
petani tidak dapat mensertifikatkan tanah tersebut. Kantor Pertanahan
Kabupaten Pemalang tidak bisa memproses sertifikat selama masih ada sengketa
di atas lahan eks HGU PT.Mackenzie.

Diharapkan Kantor Pertanahan dapat lebih meningkatkan program


penanganan dan penyelesaian sengketa pertanahan secara mediasi. Sosialisasi
mengenai adanya upaya penyelesaian sengketa pertanahan secara mediasi di
Kantor Pertanahan dapat dijadikan program berkala dan dilakukan secara meluas
agar menumbuhkan dan menciptakan kesadaran serta budaya hukum masyarakat
untuk menyelesaian sengketa pertanahan dengan mediasi, karena dalam
kenyataanya masyarakat Kabupaten Pemalang masih sedikit yang mengetahui
tentang penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi. Diharapkan pemerintah
untuk segera melaksakan reforma agrarian yakni segera menyelesaikan konflik-
konflik khususnya yang ada di Kabupaten Pemalang. Apabila mediasi yang telah
dilakukan tidak mencapai kata sepakat, maka petani penggarap diharapkan untuk
menyelesaikan sengketa tanah ini melalui jalur hukum Pengadilan yaitu hukum
perdata. Sehingga Petani penggarap dapat memohon perlindungan hukum dan
perubahan status tanah garapan menjadi tanah hak milik petani penggarap.

Kasus Sengketa Tanah Diselesaikan dipengadilan (litigasi)

Penyelesaian Sengketa Tanah Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Di Desa


Cigugur Kuningan Melalui Lembaga Peradilan

Kesatuan Masyarakat AKUR adalah masyarakat adat telah ada sejak


sebelum kemerdekaan Indonesia, yang dibentuk oleh Pangeran Sadewa Madrais
Alibassa Kusumah. Wijaya Ningrat atau yang biasa dikenal dengan nama
Pangeran Madrais sebagai pewaris Kerajaan Gebang di Losari, Jawa Barat. Pada
tahun 1802 Kerajaan Gebang dihancurkan oleh Belanda karena tidak mau
bersekutu dengan Pemerintah Belanda, dan sering melakukan pemberontakan.

Keberadaan Masyarakat AKUR tidak hanya bertempat di Desa Cigugur


saja, namun menyebar di daerah Parahyangan seperti Bandung, Garut, Ciamis,
Tasik, Subang, Karawang, dan Banjar, yang biasa berkumpul sebulan sekali di
Paseban Tri Panca Tunggal, Desa Cigugur, Kuningan. Masyarakat AKUR dipimpin
oleh seorang Pupuhu Adat. Masyarakat AKUR memiliki sebuah organisasi sosial
yang berbasis kepada struktur patrilineal, artinya kekuasaan tertinggi berada
pada keturunan laki-laki.

Tanah dan bangunan objek sengketa seluas 224m2 yang secara


administratif terletak di Blok Mayasih RT. 29/10, Kelurahan Cigugur, Kecamatan
Cigugur, Kabupaten Kuningan yang tercatat dalam Buku Letter C No. 2321 persil
78a kelas D.1 dari jumlah keseluruhan Letter C tersebut seluas 6210 m2 atas
nama Tedjabuana. Penggugat adalah Rd. Djaka Rumantaka. Beliau merupakan
cicit dari P. Madrais, cucu dari P. Tedjabuana, dan keponakan dari Ketua Adat
Masyarakat AKUR saat itu yaitu P. Djatikusuma. Pihak Tergugat I yaitu E. Kusnadi,
selaku pihak yang menempati objek sengketa. Beliau merupakan anak dari
Sumadihardja dan tidak ada hubungan keluarga dengan P. Tedjabuana. Tergugat II
yaitu K.Mimin, selaku istri E. Kusnadi yaitu pihak yang menempati objek segketa.

Beberapa Anggota Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menjelaskaan,


pada pokoknya sengketa tanah Masyarakat AKUR tersebut ada
ketidaksinambungan antar para pihak yang berperkara, sebab adanya
perberbedaan pendekatan. Pihak Penggugat menggunakan pendekatan waris
dan Para Tergugat menggunakan pendekatan adat.Di dalam surat gugatannya,
Penggugat memohon agar hakim dapat menetapkan Para Tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum (onrecht magendaag) yang tercantum
dalam Pasal 1365 KUH Perdata karena Para Tergugat telah menempati objek yang
seharusnya menjadi bagian waris dari Penggugat dan hakim mengabulkan
gugatannya tersebut.Berkaitan dengan dikabulkanya Penggugat oleh Hakim yang
menganggap objek sengketa tanah tersebut merupakan objek Waris.

Analisis dan argumentasi dari hakim yang dituangkan pada pertimbangan


hukum dalam Putusan PN Kuningan a quo dapat dipahami bahwa hakim hanya
memandang sengketa ini murni sebagai sengketa waris. Para hakim
berkesimpulan bahwa ketika Penggugat sudah memiliki alat bukti berupa Surat
Tanda Pendaftaran Sementara Tanah Milik Indonesia atau Letter C atas nama
Ratu Siti Djenar Alibassa No. C. 2321 Persil 78a Kelas d.1 tertangggal 20
November 2008 maka dengan begitu dapat disebut sebagai milik Ratu Siti Djenar
dan sah sebagai harta warisan yang dapat dibagikan kepada para ahli waris yang
berhak. Perlu digaris bawahi juga bahwa dibuatnya Letter C a quo ini didasari
oleh Surat Pernyataan Murkanda, seorang Mantan Kepala Kampung di Cigugur,
yang dibuat tanggal 20 November 2008 yang ditandatangani oleh dirinya sendiri.

Dasar pertimbangan hukum bagi hakim dalam memutuskan sengketa


tanah Masyarakat AKUR adalah, Hakim menganggap bahwa objek sengketa
adalah objek waris dan Hakim tidak mempertimbangkan keterangan saksi hidup
yang tidak disumpah. Hakim menganggap objek sengketa sebagai harta warisan
karena didasari adanya Surat Letter C No. C. 2321 Persil 78a Kelas D.1 tertangggal
20 November 2008. Hakim tidak mempertimbangkan keterangan saksi, karena
kolom agama di KTP kosong, jadi tidak dapat diambil sumpahnya. Pertimbangan
hakim didasarkan pendekatan atau paradigma Positivisme, karena hanya
dilandasi aturan tertulis dalam perundang-undangan dan belum dapat melihat
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Putusan peradilan umum terhadap sengketa tanah Masyarakat AKUR


tidak mencerminkan asas keadilan karena belum mencapai tiga komponen, yaitu:
komponen struktural, komponen kultural, dan komponen substantif. Komponen
struktural belum dipenuhi karena belum ada pemisahan untuk sengketa
pertanahan di lembaga peradilan umum. Komponen kultural belum dipenuhi
karena tidak mendasari pada nilai-nilai yang hidup pada Masyarakat AKUR.
Komponen substantif belum dipenuhi karena hanya melihat dari apa yang tertera
dalam peraturan perundang-undangan tidak melihat adanya sumber hukum lain
yang tidak tertulis, yaitu hukum adat setempat. Masyarakat AKUR tetap
mempertahankan tanah yang menjadi objek sengketa dikarenakan adanya alasan
filosofis, historis, dan sosial budaya. Alasan filosofisnya dapat dilihat dari aksi
penolakan objek sengketa, yang ingin menunjukkan eksistensi masyarakat hukum
adat. Alasan historisnya karena adanya ketentuan bahwa tanah yang menjadi
aset Masyarakat AKUR di Desa Cigugur tidak dapat dibagi wariskan dan harus
dipergunakan untuk kepentingan bersama, termasuk kedalamnya adalah objek
sengketa. Alasan sosial budayanya karena terdapat pertentangan antara putusan
lembaga peradilan umum dengan nilai-nilai Masyarakat AKUR sehingga
menimbulkan rasa ketidaktentraman.

DAFTAR PUSTAKA

Prasetyo, A. B. (2019). Penyelesaian Sengketa Tanah Masyarakat Adat Karuhun


Urang (AKUR) Di Desa Cigugur Kuningan Melalui Lembaga Peradilan.
Law, Development and Justice Review, 2(1), 72-84.

Rayiatmaja, O. M., & Ana Silviana, T. (2016). PENYELESAIAN SENGKETA


TANAH ANTARA PETANI DENGAN PT. MACKENZIE MELALUI
MEDIASI (Studi Penyelesaian Sengketa Tanah PT. Mackenzie di
Kabupaten Pemalang). Diponegoro Law Journal, 5(3), 1-20.

Anda mungkin juga menyukai