Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ILMU LINGKUNGAN TERNAK

MEKANISME DAN PROSES PENYEIMBANGAN PANAS TUBUH TERNAK PADA


KONDISI LINGKUNGAN YANG BERBEDA

Dosen Pengampu:
drh. ANNISA RAHMI, M.Si.

Disusun Oleh:

ALFIAN FEBRIANSYAH HERMAWAN A.2211249

ARIEF SUKMANA A.2210020

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS DJUANDA BOGOR
TA 2023/2024

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materi. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan
dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bogor, Desember 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

ILMU LINGKUNGAN TERNAK


MEKANISME DAN PROSES PENYEIMBANGAN PANAS TUBUH TERNAK PADA
KONDISI LINGKUNGAN YANG BERBEDA
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...................................................................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.....................................................................................................................................4
A. Sumber Panas Dalam Tubuh Ternak......................................................................................4
B. Produksi Panas Dalam Tubuh..................................................................................................5
C. Insulasi (Tahanan) Pelepasan Panas........................................................................................6
D. Dampak Kegagalan Homeostasis..............................................................................................7
BAB III..................................................................................................................................................10
PENUTUP.............................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Lingkungan ternak adalah semua faktor fisik, kimia, biologi, dan sosial yang ada di
sekitar ternak. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah iklim (suhu, cahaya,
humiditas), tingkah laku ternak, penyebab penyakit, dan pengelolaan ternak
(kandang, pemberian makan dan minum, pemeliharaan). Lingkungan Ternak
(livestock environment) merupakan salah satu faktor penentu kelangsungan hidup
ternak.
Lingkungan selalu ikut dimana ternak itu berada. Lingkungan mikro atau mikroklmat
adalah keadaan yang lebih mengarah pada kondisi ternak dimana diekspos secara
langsung selama beberapa waktu tertentu. Lingkungan mikro ternak ini terdiri dari
lingkungan fisik, lingkungan biologi, lingkungan kimia dan lingkungan
sosial. Lingkungan fisik ternak meliputi suhu atau temperatur, kelembaban, curah
hujan, angin, radiasi matahari, cahaya dan ketinggian tempat.
Ternak adalah hewan berdarah panas yang membutuhkan suhu lingkungan yang
sesuai agar proses metabolisme bisa berlangsung dengan normal. Kebutuhan akan
kesesuaian suhu lingkungan dikenal dengan suhu Termoneutral Zone. Suhu
lingkungan yang dingin ekstrim atau panas ekstrim akan mengakibatkan stress pada
ternak atau yang disebut dengan heat strees. Heat stress diakibatkan adanya
ketidakseimbangan antara jumlah energi yang dikeluarkan ternak ke lingkungan
dengan jumah energi yang diproduksi oleh tubuh ternak. Ketidakseimbangan
tersebut merupakan akibat dari perubahan faktor lingkungan (cahaya matahari,
radiasi matahari, suhu lingkungan), profil ternak (tingkat metabolisme dan
kehilangan cairan tubuh), dan mekanisme termoregulatori.

3
BAB II
PEMBAHASAN

Hewan yang hidup pada suatu tempatt (tempat yang baru) akan berusaha
menyesuaikan diri terhadap lingkungan tersebut. Keadaan lingkungan yang didukung
oleh beberapa faktor seperti suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari, lama
penyinaran, kecepatan angin, tinggi tempat dari permukaan laut (altitude), letak lintang
tempat di permukaan bumi (latitude). Unsur-unsur iklim dan faktor pengendali unsur-
unsur iklim tersebut akan berpengaruh terhadap keseimbangan panas pada tubuh ternak.
Kemampuan ternak dalam mengatur suhu tubuhnya dapat dikatakan cukup rumit.
Proses ini sangat erat kaitannya dengan fungsi fisiologi tubuh ternak dan kesanggupan
ternak untuk melepaskan kelebihan panas tubuhnya ke lingkungan. Pengaturan panas
tubuh ternak berhubungan pula dengan kondisi lingkungan (iklim mikro) sekitar ternak.
Banyak ternak yang sanggup mempertahankan suhu tubuhnya relatif konstan walaupan
suhu disekitar ternak telah berubah dalam selang yang agak luas. Ada pula ternak tidak
sanggup beradaptasi bahkan tidak sanggup bertahan hidup meskipun suhu lingkungan
berubah dalam selang yang tidak lebar.
A. Sumber Panas Dalam Tubuh Ternak
Di dalam tubuh energi panas dihasilkan oleh jaringan aktif terutama dalam otot, ke-
mudian juga dalam alat keringat, lemak, tulang, jaringan ikat, serta saraf. Sebagian besar
panas yang diproduksi di dalam tubuh merupakan hasil oksidasi, maka sumber utama
panas adalah jaringan yang paling aktif, yaitu hati, kelenjar sekresi, dan otot. Energi panas
yang dihasilkan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah, namun suhu
bagian- bagian tubuh tidak merata. Ketiganya merupakan lebih dari separuh tubuh,
begitulah maka suhu masing-masing jaringan dapat berbeda tergantung pada derajat
metabolismenya, kecepatan darah yang mengalir ke dalamnya, dan perbedaan suhunya
dengan jaringan disekitarnya.
Sistem termoregulator tubuh harus dapat mencapai dua gradient suhu yang sesuai,
yaitu: a) antara suhu inti dengan suhu permukaan, b) antara suhu permukaan dengan suhu
lingkungan. Dari keduanya, gradient suhu inti dengan suhu permukaan adalah yang
terpenting untuk kelangsungan fungsi tubuh yang optimal. Selanjutnya pertukaran panas
dengan lingkungan sekitar berlangsung melalui alat pernapasan dan kulit, karna setiap
usaha untuk mempertahankan suhu inti akan mempengaruhi bagian perifer tubuh
terutama tangan dan kaki.

4
B. Produksi Panas Dalam Tubuh
Ternak dapat menghasilkan energi panas dalam tubuhnya dengan cara merubah energi
kimia yang tersimpan dalam pakan ternak menjadi energi daya kerja. Selain memiliki
energi panas yang berasal dari dalam tubuh, ternak juga menerima beban panas dari
lingkungan. Sapi yang dijemur akan menerima beban panas dari lingkungan berupa
radiasi matahari. Radiasi matahari yang diterima oleh ternak dapat secara langsung atau
tidak langsung. Secara langsung, pancaran radiasi matahari dapat mengenai permukaan
tubuh ternak yang terluar. Secara tidak lagsung dapat berasal dari pantulan radiasi
matahari oleh permukaan bumi yang selanjutnya mengenai permukaan luar tubuh ternak.
Radiasi matahari yang secara langsung maupun tidak langsung ini akan menambah beban
panas pada ternak. Kelebihan beban panas pada tubuh ternak tersebut harus dikeluarkan
dari tubuh ternak agar ternak merasa nyaman (comfort).
Jumlah panas yang dihasilkan dalam tubuh ternak dapat diduga dengan menghitung
konsumsi oksigen (O2), sebab konsumsi oksigen mencerminkan tingkat pembakaran
(metabolisme) yang terjadi dalam tubuh ternak. Makin tinggi konsumsi oksigen, makin
tinggi pula pebakaran zat-zat makanan dalam tubuh ternak sehingga makin tinggi pula
produksi panas metabolisme pada ternak. Konsumsi Oksigen pada setiap alat tubuh
beragam tergantung dari kerja alat tubuh tersebut.
Oksigen dapat dikatakan bahwa Tingkat produksi panas dalam tubuh ternak
dipengaruhi oleh beberapa faktor yiatu ukuran tubuh ternak, konsumsi ransum, insulasi
tubuh dan kondisi lingkungan. Makin tinggi berat badan dan makin besar ukuran tubuh
produksi panas dalam tubuh ternak akan makin tinggi pula. Ternak yang semakin besar
dan berat mengkonsumsi ransum lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan energi untuk
kebutuhan hidup pokok (maintenance) dan untuk produksi. Sebagai hasil samping dari
proses metabolisme zat-zat makanan maka energi metabolisme yang dihasilkan juga
meningkat. Insulasi tubuh ternak dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu insulasi internal
(lemak sub cutan) dan insulasi eksternal (bulu). Makin tinggi insulasi berarti proses
transfer panas dari atau ke tubuh ternak tidak lancar. Suhu udara, kelembaban udara dan
kecepatan angin secara bersama-sama akan berinteraksi mengahasilakn panas lingkungan.
Pada areal peternakan yang mempunyai panas lingkungan rendah akan memudahkan
ternak melakukan transfer panas dari atau ke tubuh ternak.
Gerakan mekanik seperti aktivitas otot yang dilakukan oleh ternak mempengaruhi
besarnya panas yang tersimpan dalam tubuh ternak. Besarnya jumlah panas yang

5
tersimpan

6
dalam tubuh ternak tergantung pula dengan cara apa ternak tersebut melepaskan pnas
tubuh (efektivitas pelepasan panas). Sebagai contoh ternak yang melakukan kerja (berlari)
denga kecepatan 10 Km/jam pada suhu udara lingkungan 22 oC akan mentimpan panas
berbeda sesuai dengan jenis ternaknya.

C. Insulasi (Tahanan) Pelepasan Panas

Insulasi termal, insulasi panas, atau isolasi termal adalah metode atau proses yang
digunakan untuk mengurangi laju perpindahan panas/kalor. Panas atau energi panas
(kalor) bisa dipindahkan dengan cara konduksi, konveksi, dan radiasi atau ketika
terjadi perubahan wujud. Mengenai insulasi termal, hanya dibicarakan perpindahan panas
secara konduksi, konveksi, dan radiasi. Aliran panas dapat dikendalikan dengan proses
ini, tergantung pada sifat material yang dipergunakan. Bahan yang digunakan untuk
mengurangi laju perpindahan panas itu disebut atau insulator atau isolator. Panas dapat
lolos meskipun ada upaya untuk menutupinya, tetapi insulator mengurangi panas yang
lolos tersebut. Sebagai contoh ternak sapi yang mengalami beban panas meningkat akan
di respon dengan jalan berteduh (berlindung di bawah pohon). Pada ternak babi, beban
panas berlebihan akan di respon dengan cara merendam badannya dalam tempat
kubangan. Cekaman panas pada broiler pada masa prestater (brooding) ditandai dengan
tingkah laku anak ayam yang menyebar menjauhi sumber panas. Pada kebanyakan ternak
yang mulai merasakan beban panas yang meningkat, secara cepat akan mempercepat
pernafasannya. Hal seperti ini dapat dilihat dengan jelas pada anjing dan ayam yang
pernafasannya kelihatan terengahengah (panting). Ternak melakukan hal tersebut dengan
tujuan melepaskan kelebihan beban panas yang ada dalam tubuh ternak. Peningkatan
denyut nadi juga merupakan respon cepat, sebagai akibat mendapat beban panas
lingkungan yang meningkat. Peningkatan denyut nadi bertujuan untuk meningkatkan
peredaran darah di dalam tubuh , termasuk peredaran darah di permukaan kulit (jaringan
perifer). Melalui peredaran darah ini, beban panas yang tertahan di dalam tubuh ternak
secara cepat dapat dikeluarkan dari tubuh ke lingkungan sekitar dengan cara konduksi dan
konveksi. Setelah sampai dipermukaan tubuh, panas tubuh akan dilepaskan ke lingkungan
dengan cara pancaran (radiasi) atau dengan cara konveksi melalui gerakan udara yang
menyentuh permukaan kulit ternak.

7
D. Dampak Kegagalan Homeostasis
Homeostasis merupakan suatu keadaan stabil yang dipelihara oleh semua proses aktif
dalam tubuh untuk mengantisipasi terhadap perubahan proses fisiologis. Ketahanan
terhadap perubahan ini mungkin merupakan karakteristik semua organisme dalam
pengaturan proses fisiologis. Sifat pendapar (buffer) cairan tubuh, pengaturan-pengaturan
oleh ginjal dan pernapasan apabila terjadi kelebihan asam merupakan contoh-contoh
mekanisme homeostasis. Beberapa mekanisme pengaturan ini atas dasar umpan balik
negatif penyimpangan dari keadaan normal yang akan dideteksi oleh sebuah sensor dan
isyarat dari sensor untuk mencetuskan perubahan kompensasi yang berlangsung terus
sampai normal kembali.
Pada ternak unggas kegagalan homeostasis sering terjadi karena unggas merupakan
hewan homeothermic (berdarah panas) dengan ciri spesifik tidak memiliki kelenjar
keringat serta hampir semua bagian tubuhnya tertutup bulu. Kondisi biologis seperti ini
menyebabkan ternak unggas dalam kondisi panas mengalami kesulitan membuang panas
tubuhnya ke lingkungan. Akibatnya, ternak unggas yang dipelihara di daerah tropis rentan
terhadap bahaya stres panas. Stres dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi pada ternak
yang menyebabkan meningkatnya suhu atau stresor lain yang berasal dari luar ataupun
dari dalam tubuh ternak (Ewing et al. 1999), sedangkan Moberg (2000)mendefinisikan
stres sebagai setiap respons biologis yang dapat menimbulkan ancaman dan mengganggu
homeostasis pada hewan, bahkan setiap stresor yang menyebabkan dampak negatif pada
kesejahteraan binatang dapat dikategorikan sebagai stres.
Setiap makhluk hidup memiliki suatu zona fisiologis yang disebut zona homeostasis
(Noor & Seminar 2009). Apabila terjadi stres, maka zona homeostasis ini akan terganggu
dan tubuh akan berusaha mengembalikan ke kondisi sebelum terjadi stres. Ternak unggas
yang menderita stres akan memperlihatkan ciri-ciri gelisah, banyak minum, nafsu makan
menurun dan mengepak-ngepakan sayap di lantai kandang. Disamping itu, ternak yang
menderita stres akan mengalami panting dengan frekuensi yang berbanding lurus dengan
tingkat stres, suhu rektal meningkat yang disertai dengan peningkatan kadar hormon
kortikosteron dan ekspresi HSP 70 (Tamzil et al. 2013b). Munculnya stres panas pada
ternak unggas dapat menjadi pemicu munculnya berbagai macam penyakit, laju
pertumbuhan dan produksi telur menurun dan berakhir dengan turunnya tingkat
keuntungan. Penurunan produksi (pertumbuhan dan produksi telur) antara lain disebabkan
oleh berkurangnya retensi nitrogen dan berlanjut ke penurunan daya cerna protein dan
beberapa asam amino (Tabiri et al. 2000).

8
Secara fisiologis, suhu lingkungan tinggi mempengaruhi sintesis, stabilitas dan
aktivitas enzim. Perubahan temperatur mempengaruhi keseimbangan reaksi biokimia,
terutama pembentukan ikatan kimia yang lemah (Noor & Seminar 2009), sehingga ternak
yang dipelihara di atas suhu nyaman akan mengalami perubahan fisiologis. Suhu
lingkungan tinggi akan mempengaruhi tingkah laku ternak serta fungsi beberapa organ
tubuh, seperti jantung dan alat pernapasan, serta secara tidak langsung mempengaruhi
peningkatan hormon kortikosteron dan kortisol, menurunnya hormon adrenalin dan
tiroksin dalam darah (Sohail et al. 2010), serta meningkatkan suhu rektal (Delezie et al.
2007; Tamzil et al. 2013b). Ketika ternak menderita stres, maka sistem neurogenik
langsung diaktifkan (Virden & Kidd 2009), yang pada fase alarm ditandai dengan
peningkatan tekanan darah, otot, sensitivitas saraf, gula darah dan respirasi. Bila upaya ini
gagal untuk mengatasi stres, maka tubuh akan mengaktifkan hypothalamic-pituitary-
adrenal cortical system. Ketika sistem ini diaktifkan, hipotalamus menghasilkan
corticotrophin-releasing factor, yang pada gilirannya merangsang pituitari untuk
pelepasan adreno kortikotropik hormon (ACTH). Sekresi ACTH menyebabkan sel-sel
jaringan korteks adrenal berproliferasi mengeluarkan kortikosteroid. Hormon ini
kemungkinan difasilitasi oleh aksi katekolamin yang menyebabkan katekolamin
merangsang corticotrophin-releasing factor yang dibebaskan dari hipotalamus, sedangkan
ACTH dibebaskan dari pituitari, sementara kortikosteroid dibebaskan dari korteks adrenal
(Siegel 1995; Virden & Kidd 2009). Distribusi dan pengiriman kortikosteroid ke jaringan,
setidaknya dikontrol oleh corticosteroid-binding globulins. Menurut Virden & Kidd
(2009) kortisol adalah kortikosteroid yang paling utama pada mamalia, sedangkan
kortikosteron adalah kortikosteroid utama pada bangsa burung. Kortisol dan kortikosteron
merupakan salah satu dari adrenal cortical hormone major yang tergolong glucocorticoids
yang berfungsi dalam proses glycolysis, gluconeogenesis dan lipolisis (Ewing et al.
1999). Kehadirannya dapat mengganggu fungsi kekebalan tubuh dan jaringan limfoid
(Virden & Kidd 2009). Terganggunya fungsi kekebalan tubuh tersebut ditandai dengan
peningkatan rasio heterofil-limfosit dalam darah (Davis et al. 2008; Tamzil et al. 2014).
Peningkatan kadar hormon stres seperti hormon glukortikoid pada unggas
berpengaruh buruk padakesehatan dan pertumbuhan ternak (Nesheim et al. 2005; Etches
et al. 2008), karena hormon ini menginduksi glukoneogenesis serta mengganggu fungsi
kekebalan tubuh dan jaringan limfoid (Virden & Kidd 2009). Cekaman panas juga
menyebabkan kadar Hb dan PCV menurun, sehingga berpengaruh pada berkurangnya
asupan oksigen tubuh (Hilman et al. 2000; Tamzil et al. 2014). Keadaan ini menjadi

9
pemicu terjadinya

10
kerusakan sel jaringan pada organ tertentu, baik berupa degenerasi maupun nekrosis.
Cekaman panas kronis pada suhu 40oC selama 1,5-2 jam menyebabkan terjadi
peningkatan suhu tubuh (suhu rektal), nilai hematokrit, perbedaan jumlah leukosit, rasio
antara heterofil dan limfosit (Altan et al. 2000; Tamzil et al. 2014). Nilai hematokrit darah
ayam yang menderita stres disajikan pada Tabel 3. Disamping itu, juga terjadi perubahan
mikroskopis pada jaringan hati dan ginjal yang merupakan organ yang aktivitasnya
selama mengalami cekaman panas meningkat terkait dengan fungsinya sebagai organ
detoksifikasi dan sekresi (Aengwanich & Simaraks 2004). Perubahan fisiologis lain yang
terjadi pada ayam broiler yang mengalami stres panas adalah secara mikroskopis pada
jaringan hati ditemukan adanya degenerasi lemak dengan adanya vakuola, serta
ditemukan adanya nekrosis dan infiltrasi sel-sel radang (Sugito et al. 2007). Adanya
degenerasi dan nekrosa pada hati dan ginjal diduga karena kekurangan asupan oksigen
dan gangguan pengaturan energi pada sel selama mengalami cekaman panas. Pada saat
stres panas, terjadi respons termoregulasi tubuh dalam upaya mengurangi pembentukan
panas dan meningkatkan pengeluaran panas.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyesuaian diri (adaptasi) terhadap lingkungan merupakan proses yangsangat


penting pada ternak . Keberhasilan penyesuaian diri ini menentukan perkembangan hidup
ternak selanjutnya. Ternak berusaha menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan
baik cekaman panas ataupun cekaman dingin adalah agar suhu tubuh tetap normal dan
fungsi fisiologis dalam tubuh tetap berjalan normal. Hal ini dapat dilakukan dengan
menyeimbangkan anatara panas yang diproduksi dengan panas yang dilepaskan ke
lingkungan. Ternak mendapatkan beban panas tubuh dari hasil samping proses
metabolisme zat-zat makanan (heat increament) dan dari radiasi matahari. Pelepasan
panas dari tubuh ternak dilakukan dengan cara konduksi, konveksi, radiasi dan evaporasi.
Perubahan kondisi lingkungan yang mengarah cekaman dingin (hipotermia) maupun
cekaman panas (hipertermia) diterima melalui sensor yang ada pada kulit yang
selanjutnya disampaikan ke hipotalamus. Hipotalamus bagian anterior berfungsi untuk
memerintahakan organ tubuh yang berfungsi untuk mengatasi cekaman panas dengan
mengatur proses pelepasan panas dari dalam tubuh ternak . Cekaman panas akan direspon
oleh ternak dengan cara menurunkan konsumsi ransum dan meningkatkan konsumsi air.
Pelepasan panas tubuh dapat pula dipercepat dengan cara menurunkan insulasi tubuh.
Hipotalamus bagian posterior berperan dalam mengatasi cekaman dingin pada ternak.
Cekaman dingin akan diterima oleh sensor dingin pada kulit yang selanjutnya disampaika
ke hipotalamus. Hipotalamus kemudian memerintahkan organ tubuh untuk meningkatkan
produksi panas dan meningkatkan insulasi tubuh. Ternak termasuk homeoterm dimana
ternak akan selalu berusaha mempertahankan suhu tubuhnya dengan cara menjaga
keseimbagan antara produksi panas dengan jumlah panas yng dilepaskan ke lingkungan.
Proses penyesuaian diri ini berimbas pada penggunaan energi untuk mempertahankan
hidup pokok (maintenance) meningkatdan energi untuk produksi menurun. Proses
penyesuaian diri terhadap cekaman dingin dan panas dalam waktu yang cukup lama
diistilahkan dengan aklimatisasi. Perlu diingat bahwa kemampuan ternak melakukan
aklimatisasi ada batasnya. Diatas ambang batas aklimatisasi maka ternak akan mengalami
penurunan tingkat produksi bahakan akan terjadi mortalitas.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ewing SA, Donald C, Lay J, Von Borrel E. 1999. Farm animal well-being: stress
physiology, animal behaviour and environmental design. Upper Saddle River (New
Jersey): Prentice Hall.
Moberg GP. 2000. Biological response to stress: Implications for animal welfare. In:
Moberg GP, Mench JA, editors. Biol Anim Stress. Oxfordshire (UK): CABI
Publishing. p. 1- 21.
Noor RR, Seminar KB. 2009. Rahasia dan hikmah pewarisan sifat (ilmu genetika dalam
Al- Qur’an). Bogor (Indonesia): IPB Press.
Tamzil MH, Noor RR, Hardjosworo PS, Manalu W, Sumantri C. 2013b. Keragaman gen
heat shock protein 70 ayam Kampung, ayam Arab dan ayam Ras. J Vet. 14:317-
326.
Tabiri HY, Sato K, Takashi K, Toyomizu M, Akiba Y. 2000. Effect of acut heat stress on
plasma amino acid concentrations of broiler chickens. Japan Poult Sci. 37:86-94.
Sohail MU, Ijaz A, Yousaf MS, Ashraf K, Zaneb H, Aleem M, Rehman H. 2010.
Alleviation of cyclic heat stress in broilers by dietary supplementation of mannan-
oligosaccharide and Lactobacillus-based probiotic: Dynamics of cortisol, thyroid
hormones, cholesterol, C-reactive protein, and humoral immunity. Poult Sci.
89:1934-1938.
Delezie E, Swennen Q, Buyse J, Decuypere E. 2007. The effect of feed withdrawal and
crating density in transit on metabolism and meat quality of broilers at slaughter
weight. Poult Sci. 86:1414-1423.
Virden WS, Kidd MT. 2009. Physiological stress in broilers: ramifications on nutrient
digestibility and responses. J Appl Poult Res. 18:338-347.
Davis AK, Maney DL, Maerz JC. 2008. The use of leukocyte profiles to measure stress in
vertebrates: a review forecologists. Funct Ecol. 22:760-772.
Nesheim MT, Nassem S, Younus M, Zafar ICH, Amir GH, Asim A, Akhter S. 2005.
Effects of potassium chloride and sodium bicarbonate supplementation on
thermotolerance of broiler exposed to heat stress. Int J Poult Sci. 4:891-895.
Etches RJ, John TM, Verrinder Gibbins AM. 2008. Behavioural, physiological,
neuroendocrine and molecular responses to heat stress. In: Daghir NJ, editor. Poult
Prod hot Clim. p. 49-69.

13
Hilman PE, Scot NR, Van Tienhoven A. 2000. Physiological, responses and adaption to
hot and cold environments. In: Yousef MK, editor. Stres Physiol lvestock. Vol. 3
Pou. Florida (USA): CRC Press Inc. p. 1-71.
Altan Ö, Altan A, Çabuk M, Bayraktar H. 2000. Effects of heat stress on some blood
parameters in broilers. Turk J Vet Anim Sci. 24:145-148.
Aengwanich W, Simaraks S. 2004. Pathology of heart, lung, liver, and kidney in broiler
under chronic heat.
Sugito MW, Astuti DA, Handharyani E, Chairul. 2007. Histopatologi hati dan ginjal pada
ayam broiler yang dipapar cekaman panas dan diberi ekstrak kulit batang Jaloh
(Salix tetrasperma Roxb). JITV. 12:68-73.
Sonjaya, Herry. 2013. Dasar Fisiologi Ternak. IPB press. 21-22
Tamzil, MH. 2014. Stress Panas Pada Unggas: Metabolisme, Akibat dan Upaya
penanggulangannya. Lab. Produksi Ternak Unggas, Universitas Mataram. Lombok.
I Made Nuriyasa. 2017. Homeostasis Pada Ternak. Universitas Udayana. Denpasar. (13-16)

14

Anda mungkin juga menyukai