Sejarah Gereja Di Indonesia
Sejarah Gereja Di Indonesia
Gereja, khususnya dalam mata kuliah Sejarah Gereja di Indonesia dan untuk membantu
para mahasiswa mengikuti mata kuliah tersebut maka sebagai Dosen Sejarah Gereja dan
pengampu Mata Kuliah ini, saya berusaha untuk menyusun diktat ini. Di Sekolah Tinggi
Teologi (STT) Bethel Ambon, mata kuliah Sejarah Gereja di Indonesia adalah salah satu
mata kuliah keahlian teologi tetapi juga pendidikan agama kristen, yang wajib diselesaikan
oleh setiap mahasiswa dalam memperoleh gelar Sarjana. Mata kuliah Sejarah Gereja di
Indonesia bertujuan untuk membantu mahasiswa agar dapat memahami sejarah gereja-
gereja di Indonesia. secara garis besarnya, mulai dari awal sejarahnya abad 16 sampai
dengan abad 20 ini. Diktat ini kami susun sesuai dengan kurikulum dan silabus mata kuliah
Sejarah Gereja di Indonesia yang berlaku di STT Bethel Ambon. Diktat ini sangat
didasarkan atas beberapa buku yang dipakai sebagai sumber kepustakaan. Isi dari diktat ini
Disadari bahwa isi dari diktat ini masih jauh dari sempurna, dan di sana-sini masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu sangat diharapkan saran-saran serta kritik yang
membangun dari para pembaca demi menyajikan yang terbaik dan untuk
penyempurnaannya tentunya. Dan semoga diktat ini bisa dipergunakan dengan sebaik-
1
Sylabus Mata Kuliah Ini:
Mata Kuliah ini mengarahkan mahasiswa mempelajari dan mampu memahami serta
secara garis besar. Pembahasan ini meliputi latarbelakang kelahiran, pertumbuhan dan
Sebagaimana tujuan intruksional umum di atas, focus pembahasan kuliah ini diarahkan
ke pembahasan:
a. Gambaran umum tentang Indonesia secara wilayah, sosial masyarakat dan politik
negara Indonesia adalah negara yang sangat pluralis) seperti Islam, Budha dan
2
III. Materi/Pokok Pembahasan Mata Kuliah ini.
a. Pertemuan I
Penjelasan tentang Sylabus mata kuliah Sejarah Gereja Indonesia serta beberapa
kuliah ini.
b. Pertemuan II
sebab gereja-gereja di Indonesia lahir adalah dari hasil pekerjaan lembaga misi yang
sangat beragam, dan dapat dikatakan bahwa misi sedikit banyak ada berhubungan
VOC (Belanda).
3
Masehi Injili Bolang Mongondow: GMIBM; Gereja Kristen Sulawesi Tengah:
GKST; Gereja Kristen Toraja Makale Rantepao; Gereja Toraja Mamasa; Gereja
Protestan Sulawesi Tenggara: Gepsultara; Gereja Kristen Sulawesi Selatan:
GKSS).
- Nusa Tenggara dan Bali (Gereja Masehi Injili di Timor: GMIT, Gereja Kristen
Sumba: GKS, Gereja Kristen Protestan Bali: GKPB)
- Kalimantan seperti: Gereja Kalimantan Evangelis (GKE), Gereja Metodis di
Kalimantan, Beberapa badan zending yang lain yang pernah bekerja di
Kalimantan.
- Jawa Timur dan Jawa Tengah, pandangan umum mengenai penginjilan di Jawa,
gereja Kristen di Jawa Timur dan gereja Kristen di Jawa Tengah.
e. Pertemuan IX-XV
Pertemuan-pertemuan ini (7 pertemuan) membahas topik tentang gereja-gereja di
Jawa Barat dan di Jakarta.
Fokus pembahasan diarahkan pada: lahir, tumbuh dan berkembangnya gereja-gereja
dari rumpun Evanggelical serta kharismatik di Indonesia seperti Pentakosta, gereja-
gereja dari rumpun Kemah Injil, gereja-gereja dari rumpun Baptis, Bala
Keselamatan (Salvation Army), Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (Seventh Days
Adventists), Gereja Roma Katolik, serta Pergumulan kekristenan di Indonesia.
Pada bagian pertemuan akhir pertemuan kuliah ini, diskusi akan diarahkan pada
semacam evaluasi tentang sifat dan karakter kekristenan di Indonesia, seperti:
motivasi menjadi Kristen, hidup persekutuan jemaat Kristen, perjumpaan gereja
dengan budaya, masalah lahirnya gereja-gereja suku dan gereja-gereja daerah, serta
masalah hubungan gereja dan negara di Indonesia.
IV. Tugas-Tugas
Sesuai dengan perkembangan tema dalam diskusi di kelas dan untuk menyempurnakan
evaluasi dosen pengampu mata kuliah ini kepada kemampuan mahasiswa mengikuti
perkuliahan, maka untuk pemberian nilai akhir kepada mahasiswa di samping hasil
ujian MID Semester dan ujian akhir Semester, kepada mahasiswa masih diberikan
tugas-tugas sebanyak minimal tiga pokok tema. Waktu pemberian tema, pengerjaan
hingga pengumpulan tugas-tugas akan ditentukan dan diinformasikan kemudian kepada
mahasiswa.
(Bobot Nilai : 20/100 x hasil rekapitulasi tugas)
Tugas I (75) ; tugas II (65) ; Tugas III (80)
4
75 + 65 + 80 = 220 (220 : 3 = 73)
Contoh: 20/100 x 73 = 14.6
Nilai akhir semester
30% hasil ujian MID = 24
50% hasil ujian Semt = 42.5
20% hasil tugas = 14.6
Total : (81.1) Kategori (A)
V. Buku-Buku Pegangan:
- Aritonang Jan S, Berbagai Aliran Dalam Gereja (BPK-GM: Jakarta, 2004)
- Krueger, M. Th., Sejarah Gereja di Indonesia (BPK-Jakarta: 1966)
- En, Van Den. Th., Ragi Carita: Volume 1….dst (BPK-Jakarta: 1978)
- Abineno, J.L. Ch., Sejarah Apostolat di Indonesia: Volume 1, II/1, II/2 (BPK-GM:
Jakarta)
- Benih Yang Bertumbuh (Jilid I-XII): Hasil Survey Mengenai Gereja-Gereja di
Indonesia
- Sejarah Gereja Katolik di Indonesia (Jilid 1, 2, 3A-B, 4)
- Cooley. J.L. Ch/Ukur. F, Jerih Dan Juang (Jakarta, 1979)
- Kruyt, A.C., Keluar Dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen (BPK-GM:
Jakarta, 1976)
- Halle, Leonhard., Jujur Terhadap Pietisme (BPK-GM: Jakarta, 1993)
- Enklaar. L.H., Joseph Kham Rasul Orang Maluku (BPK-GM: Jakarta, 1980)
Daftar Kepustakaan
- F.L. Cooley/F. Ukur, Jerih dan Juang, Jakarta, 1979.
- F. Ukur, “Pengkajian Kembali Sejarah Gereja di Indonesia”, dalam
THEODORON, Buku Kenangan Menghormati Usia 75 Tahun Prof. Dr. Theodor
Mueller Krueger, Jakarta: BPK, 1979, Hal. 39-94.
- I.H. Enklaar, Joseph Kam, Rasul Maluku, Jakarta: BPK, 1980.
- F.L. Cooley, The Growing Seed, The Christian Church in Indonesia, Jakarta:
BPK, 1982.
- Chris Hartono, dkk. (ed.), Perjumpaan Gereja di Indonesia dengan Dunianya
yang Sedang Berubah, Hasil Studi Institut Gereja 5-15 Juli 1993 di Kaliurang
Yogyakarta, Jakarta: Persetia, 1995.
Pendahuluan
1. Deskripsi Mengenai: Agama dan masyarakat Indonesia asli. Sebelum datangnya
agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam dan Kristen ke bumi Indonesia,
5
masyarakat Indonesia asli adalah penganut agama suku (agama primitif). Setiap suku
yang ada di Indonesia mempunyai agamanya yang tersendiri dan satu sama lain sangat
berlainan menurut corak dan bentuk serta karakter masing-masing (lain agama suku
Batak, lain agama suku Jawa, suku Dayak, Irian, dll). Walau berlainan satu sama lain,
ada kesamaan corak secara umum, kesamaan ini nantinya akan banyak memberi
pengaruh terhadap sejarah kekristenan di Indonesia, misalnya soal:
a. Agama-agama suku itu menganut paham animisme, yakni: kepercayaan tentang
adanya roh-roh atau kekuatan-kekuatan yang menguasai alam ini. Setiap benda,
baik itu pohon, binatang-binatang, tempat-tempat, diyakini didiami oleh roh-roh
tertentu.
b. Agama-agama suku itu mempunyai aturan hidup atau adat yang mengatur segala
aspek kehidupan, rohani dan jasmani. Adat itu tidaklah merupakan aturan yang
lepas dari agama dan menurut kepercayaan suku-suku itu, adat tersebut diturunkan
oleh dewa-dewa melalui nenek moyang suku-suku atau marga-marga itu. Karena itu
wibawa nenek moyang sangat dihormati bahkan juga disembah bagaikan suatu
dewa.
c. Apabila adat itu diikuti secara sempurna, dipercayai akan membawa selamat atau
berkat bagi masyarakat suku itu, tetapi sebaliknya apabila dilanggar akan membawa
kutuk atau malapetaka.
Secara umum semua suku di Indonesia mempunyai masyarakat yang kolektif. Ini
berarti tidak ada tempat bagi perorangan untuk mengambil jalan sendiri. Dalam segala
aspek kehidupannya, mereka dipimpin oleh kepala-kepala suku yang mana mereka
biasanya adalah para “datu” atau orang-orang yang mempunyai kesaktian khusus,
sehingga wibawa mereka sangat besar dan kata-katanya dituruti oleh seluruh
masyarakat suku itu. Susunan masyarakat itu dapat dijelaskan dengan menggunakan
pohon. Pohon itu keseluruhannnya adalah masyaraakat suku itu. Pohon itu mempunyai
batang, dahan, cabang, ranting yang menggambarkan bagian-bagian atau cabang-
cabang dari suku itu yang tidak terlepas satu sama lain.
(Agama-agama dari luar yang datang ke Indonesia) Mulai dari abad pertama
Masehi sampai abad dua puluh ini telah ada beberapa agama dari luar yang masuk ke
Indonesia, yakni agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen. Mengenai agama-agama ini
dapat dikatakan bahwa:
a. Agama Hindu dan agama Budha telah masuk ke Indonesia sejak abad pertama
Masehi yakni melalui pedagang-pedagang yang datang dari India. Pada waktu itu
Indonesia memang telah ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari berbagai
negara di dunia, antara lain dari Tiongkok, India, Persia dan Mesir. Dari India
banyak pedagang-pedagang yang datang ke Indonesia untuk membeli rempah-
rempah dari saudagar-saudagar yang berasal dari Jawa dan Sumatera. Kemudian
dari antara pedagang-pedagang India itu ada juga yang berhasil tinggal di Indonesia.
Di Indonesia mereka berusaha untuk mengembangkan pengaruh mereka yakni
dengan menyebarkan agama dan budaya mereka, dan juga dengan mendirikan
beberapa kerajaan yang besar seperti kerajaan Sriwijaya yang menganut agama
Budha di Sumatera Selatan dan kerajaan Mojopahit yang menganut agama Hindu di
Jawa. Kehadiran agama Hindu dan agama Budha itu memang tidak menghalau
begitu saja agama-agama suku yang sudah ada. Malah di beberapa tempat seperti di
6
Tapanuli (Tanah Batak), pengaruh Hindu itu telah memperkaya agama dan budaya
suku setempat yakni suku Batak. Bagi masyarakat dan kepercayaan suku Batak,
pengaruh kebudayaan dan agama Hindu dan Budha sangat nyata sekali. Hal ini
telah diteliti oleh H. Parkin yang dituangkan dalam sebuah disertasi mengambil
Doktor Teologi yang berjudul “Batak Fruit of Hindu Thought” (Buah Batak dari
pemikiran Hindu), yang telah diterbitkan di Madras, India, tahun 1978. Begitu
besarnya pengaruh agama Hindu dan Budha atas masyarakat Indonesia nampak dari
sejumlah peninggalan-peninggalan mereka di Indonesia, antara lain berupa candi-
candi dan kuil-kuil, seperti Candi Mendut dan Candi Borobudur. Sampai sekarang
penganut agama Hindu dan agama Budha masih banyak dijumpai di Indonesia,
seperti di Jawa dan Bali, dan bahkan kedua agama itu sudah merupakan agama yang
diakui secara resmi di Indonesia.
b. Agama Islam masuk di Indonesia sejakabad ke-13, yang juga melalui jalur
perdagangan. Pedagang-pedagang Gujarat dari India Barat, yang datang berdagang
ke Indonesia menyebarkan agama itu di Indonesia. Para pedagang-pedagang Gujarat
yang membawa agama Islam itu sebelumnya mengenal agama itu melalui para
pedagang yang datang ke negeri mereka dari Arabia, dari Mesir dan Persia, sejak
abad 9. Di Indonesia, daerah yang pertama dimasuki oleh agama Islam itu ialah
Aceh, yang karena itu negeri tersebut masih digelari “serambi Mekkah”. Kemudian
setelah dari Aceh, agama Islam itu menyebar lagi ke daerah-daerah Indonesia yang
lain. Cara penyiaran agama Islam itu ialah dengan memasuki kota-kota pelabuhan
dan mengikuti jalur-jalur perdagangan. Kemudian di tempat-tempat yang telah
dimasuki, penyebar-penyebar agama Islam itu berusaha menjalin hubungan dengan
raja-raja, sultan-sultan atau penguasa-penguasa setempat yakni dengan mengawini
putri-putri raja-raja tersebut atau sebaliknya. Dengan demikian pengaruh raja-raja
setempat tersebut bisa dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang Islam tersebut dalam
usaha penyebaran agama itu. Melalui raja-raja atau sultan-sultan itu maka berdirilah
kerajaan-kerajaan Islam yang berpusat di kota-kota pelabuhan atau di pusat-pusat
perdagangan, baik di Sumatera, Jawa sampai ke Maluku. Dari antara pemimpin-
pemimpin agama Islam yang kita kenal dari sejarah Indonesia, antara lain Maulana
Malik Ibrahim dan Falatehan.
c. Agama Kristen yang kita kenal sekarang ini masuk ke Indonesis melalui orang-
orang Eropa (Barat) mulai pada abad 16 yang lalu. Tetapi dalam penelitian sejarah
belakangan ini, telah ditemukan suatu bukti yang memberi petunjuk bahwa sekitar
pertengahan abad ke tujuh (kira-kira tahun 645 M) yang lalu kekristenan telah
pernah masuk di Indonesia yakni di daerah Barus, Tapanuli Tengah. Hal ini
diketahui dari sebuah dokumen sejarah kuno di Mesir yang melaporkan bahwa di
sebuah tempat bernama Pancur (dekat Barus) telah pernah berdiri beberapa biara
Kristen. Kekristenan yang dijumpai di Barus itu dibawa oleh pedagang-pedagang
Kristen Nestorian dari Mesopotamia atau Persia. Pada waktu itu Barus sudah
merupakan sebuah kota pelabuhan yang ramai disinggahi oleh pedagang-pedagang
dari banyak negara dan bahkan menjadi sebuah kota perdagangan yang laris, karena
daerah sekitar Barus itu banyak menghasilkan kapur Barus yang pada waktu itu
merupakan bahan perdagangan yang sangat laris, terutama ke Mesopotamia dan
Mesir. Tetapi tidak diketahui dengan jelas sampai kapan kekristenan di sana bisa
berlangsung. Dan kekristenan yang pernah ada di sana itu tidak berkesinambungan,
7
karena tidak ada orang-orang Kristen di Indonesia sekarang yang berasal dari
kalangan Kristen Nestorian tersebut. Rupanya kekristenan yang di Barus itu sempat
menjadi hilang lenyap, setelah pedagang-pedagang Nestorian itu meninggalkan
tempat tersebut.
Kemudian kekristenan masuk ke Indonesia pada abad 16, ini sangat dimotori oleh
datangnya orang-orang Portugis dari Eropa (mulai datang ke Indonesia tahun 1522).
Ada tiga faktor yang mendorong kedatangan orang-orang Portugis ke Indonesia dan
daerah-daerah Asia lainnya.
Faktor pertama ialah alasan ekonomi. Mereka mau mencari keuntungan yang besar
dengan berusaha menguasai perdagangan sampai ke Indonesia, di mana diperoleh
banyak rempah-rempah sebagai bahan perdagangan yang sangat laris di Eropa pada
waktu itu.
Faktor kedua ialah alasan politis. Mereka mau melumpuhkan kekuatan Turki (yang
sudah beragama Islam), yang sebelumnya telah menguasai perdagangan antara Asia
dan Eropa. Pada waktu itu dengan mengandalkan kekuatan ekonominya, bangsa
Turki telah mencoba memperluas pengaruh dan kekuasaannya sampai ke Eropa.
Faktor ketiga ialah alasan agama. Sebagai penganut Kristen Roma Katolik (RK),
mereaka merasa bertanggungjawab untuk menyiarkan agama Kristen itu di negeri-
negeri yang baru mereka temukan di luar Eropa.
Pembagian periode yang lain dibuat oleh peserta studi Institute Sejarah Gereja
tahun 1977 di Jakarta, berdasarkan perluasan dan perkembangan gereja itu, demikian:
1522-1570 : Zaman perluasan pertama, berakhir dengan pembunuhan Sultan Hairun
di Ternate dan merosotnya kekuasaan Portugis di Nusantara.
1570-1815 : Zaman stagnasi; ada sedikit perluasan pada masa pertama VOC, tetapi tidak
begitu berarti.
1815-1870 : Zaman mulainya didirikan pangkalan-pangkalan baru, tetapi belum terjadi
pengkristenan secara besar-besaran, kecuali di Minahasa.
1870-1950 : Zaman didirikannya gereaja-gereja suku.
1950-… : Zaman penyebaran Injil di pulau Jawa dan juga di daerah-daerah lain.
Pengkristenan penganut-penganut agama suku pada dasarnya sudah
berakhir.
9
Th. Van den End, dalam bukunya Ragi Carita 1, menggunakan periodisasi yang
berdasarkan beberapa segi sejarah gereja yang digabung, sehingga dengan demikian dia
membagi sejarah gereja di Indonesia atas dua zaman besar, yakni:
I. 1522-1800: Pada periode ini negara (Portugis dan VOC) memainkan peranan
penting dalam perluasan dan pemerintahan gereja. Di pihak lain PI diselenggarakan
oleh suatu lembaga gereja dan membawa serta bentuk ibadah dan ajaran yang
berlaku dalam gereja itu. Pendekatan terhadap agama dan kebudayaan yang mereka
temukan di Indonesia bersifat negatif semata-mata. Dan orang-orang Indonesia
tidak ikut serta dalam kepemimpinan gereja; organisasi gereja bersifat hierarkis dan
dipimpin oleh orang-orang Barat.
II. 1800-1940-an: Yang dibagi atas beberapa sub-periode yakni: 1800-1860-an; 1860-
1920-an; 1920-1940-an. Pembagian ini didasarkan atas faktor perluasan, faktor pola
berfikir para zendeling (missionar), faktor peranan orang-orang Indonesia dalam
kehidupan gerejani dan faktor perkembangan di bidang politis. Faktor-faktor ini
berlaku bagi sejarah gereja di Indonesia dilihat sebagai satu kesatuan.
A
Di daerah Maluku
Seperti sudah disinggung dalam uraian pendahuluan di atas bahwa sebelum adanya
VOC di Indonesia, orang-orang Portugis telah berhasil memasuki Indonesia terutama di
daerah Maluku, yakni dengan mendirikan benteng Portugis di Ternate tahun 1522.
Sebelumnya, tahun 1511, orang-orang Portugis juga telah berhasil membuat Malaka di
Malaysia sekarang sebagai benteng pertahanan mereka, yang sekaligus sebagai pusat
ekonomi, politik dan juga gerejani. Sedangkan di India yang menjadi benteng
pertahanan Portugis adalah di Goa, India Barat. Dengan berdirinya Ternate sebagai
salah satu benteng Portugis, maka pada waktu itu telah ada tiga pusat kekuasaan
Portugis di Asia yakni di Goa, Malaka dan Ternate. Ternate adalah menjadi pusat
kekuasaan dan missi Portugis di Indonesia bagian Timur. Dari Ternate inilah dilakukan
usaha penyebaran Injil, yakni kepercayaan Katolik ke berbagai tempat di sekitar daerah
Maluku, antara lain ke Ambon, Halmahera dan Morotai. Namun imam-imam Katolik
yang bekerja di daerah itu tidak memandang usaha penyiaran agama Kristen kepada
penduduk asli sebagai tugas utama, tetapi hanya merupakan tugas sampingan, karena
tugas utamanya adalah untuk melayani kerohanian orang-orang Portugis yang bekerja
di sana. Penyebaran agama Katolik itu dilakukan juga dalam rangka memudahkan
penguasan penduduk setempat. Dan banyak penduduk setempat yang ingin masuk
menjadi Kristen bukan karena mereka sudah percaya kepada Injil itu, tetatpi hanya
10
untuk meminta perlindungan kepada orang-orang Portugis, karena sebelumnya
penduduk setempat sering mengalami tekanan-tekanan dan serbuan-serbuan dari
Kesultanan Ternate yang sudah beragama Islam. Seperti halnya yang terjadi bagi
penduduk Mamuya, suatutempat di sekitar Ternate itu. Mereka datang kepada orang-
orang Portugis dalam menghadapi tetangga-tetangga yang menyusahkan mereka.
Orang-orang Mamuya inilah yang pertama dibaptis menjadi Kristen di sana, yakni
tahun 1534, setelah diberi sedikit pengajaran agama Kristen kepada mereka. Pada
mulanya orang-orang Kristen ini masih berada di bawah keuskupan Goa di India, tetapi
setelah Malaka ditetapkan menjadi satu keuskupan tahun 1558, maka gereja Katolik
yang ada di Maluku itu ditetapkan berada di bawah keuskupan Malaka. Dari sinilah
dikirim beberapa orang imam Katolik untuk melayani orang-orang Kristen yang baru
itu dan juga untuk menjalankan misi ke daerah lain. Namun pembinaan terhadap orang-
orang Kristen yang baru itu belum bisa dilakukan secara intensif. Demikian juga misi
itu belum dilakukan secara terarah dan sungguh-sungguh. Karena pembinaan yang tidak
ada, maka orang-orang Kristen yang baru dibaptis itu masih tetap mengikuti cara-cara
kehidupan mereka yang lama yang masih kafir. Arti hidup sebagai orang-orang Kristen
belum bisa dimengerti dan dihayati. Tetapi sejak tahun 1540an, pekerjaan misi Katolik
di Maluku mengalami perubahan. Pekerjaan misi itu mulailah dilakukan lebih terarah
dan intensif. Pada waktu itu mulailah berdatangan penginjil-penginjil yang mempunyai
semangat penginjilan yang besar dari Eropa. Munculnya penginjil-penginjil yang
bersemangat itu didorong oleh semangat kontra-reformasi yang teradi dari pihak gereja
RK terhadap golongan Protestan, terutama setelah berdirinya “Serikat Yesus” sebagai
salah satu perwujudan dari kontra-reformasi itu. serikat Yesuit itu telah melatih dan
mempersiapkan sejumlah penginjil-penginjil RK yang sangat bersemangat. Penginjil-
penginjil Yesuit itu menjalankan metode-metode penginjilan yang baru, yang berbeda
dari imam-imam yang ditugaskan oleh pemerintah Portugis. Metode-metode
penginjilan yang dilakukan oleh penginjil-penginjil Yesuit itu antara lain:
Orang-orang yang mau menjadi Kristen dari penduduk setempat tidak lagi asal
dibaptiskan begitu saja. Penginjil-penginjil Yesuit itu tidak mau lagi membaptiskan
orang begitu saja, apabila baptisan itu tidak bisa dilanjutkan dengan pembinaan
yang memadai.
Mengusahakan pendidikan agama yang lebih mendalam kepada orang-orang yang
sudah dibaptis. Untuk ini beberapa orang-orang Kristen setempat dipersiapkan
untuk bisa membantu para missionar itu sebagai pengajar.
Baptisan massal yang dilakukan sebelumnya, masih terus dipertahankan, tetapi
dengan ketentuan orang-orang yang sudah dibaptis tidak dibiarkan lagi begitu saja,
melainkan terus diusahakan untuk memperoleh pembinaan dari mereka. Tetapi
untuk menjalankan baptisan masal itu penginjil-penginjil Yesuit tersebut masih
tetap meminta bantuan dan perlindungan dari penguasa Portugis.
Seorang penginjil Yesuit yang pertama dan juga terkemuka di Maluku ialah Fransiscus
Xaverius. Dia lahir tahun 1506 dari keluarga bangsawan di Spanyol. Tahun 1542 dia
diutus mengabarkan injil ke Asia. Dalam penginjilannya di Asia, dia mula-mula bekerja
di Goa, India Barat, membina jemaat-jemaat terlantar yang didirikan orang-orang
Portugis di sana. Kemudian tahun 1546-1547 dia bekerja di Maluku, setelah lebih dulu
belajar sedikit bahasa Melayu di Malaka. Setelah dari Maluku, dia berangkat ke Jepang
dan dia meninggal dalam perjalanan menuju Tiongkok tahun 1552.
11
Beberapa Usaha Misi Fransiscus Xaverius di Maluku yakni:
Walaupun dalam usaha yang relatif singkat bekerja di Maluku, namun hasil pekerjaan
Xaverius di sana telah cukup banyak, a.l.:
Setiap hari selama 2x1 jam dia menyelenggarakan pembinaan agama Kristen bagi
orang-orang-orang yang sudah dibaptis menjadi Kristen, anak-anak dan orang
dewasa. Pokok pengajarannya terutama dipusatkan kepada: Pengakuan Iman Rasuli,
Doa Bapa Kami, Salama Maria, Kesepuluh Perintah Allah, dll.
Pada malam hari dia pergi keliling kota dari rumah ke rumah mengajak setiap orang
untuk berdoa.
Menulis sebuah buku Katekhismus dalam bahasa Portugis dan bahasa Melayu.
Buku ini dipakai untuk menjadi bahan pengajaran agama Kristen itu sendiri.
Mengunjungi orang-orang sakit di rumahnya.
Mengusahakan hubungan yang akrab dengan orang Islam.
Berusaha mengabarkan Injil kepada orang-orang yang masih menganut agama
nenek moyang.
Dengan usaha yang dilakukan pengnjil Yesuit seperti Xaverius, usaha pekabar Injil
Katolik itu dapat dengan cepat mengalami perkembangan baik ke Maluku Utara,
maupun ke Maluku Selatan. Maluku dijadikan oleh Serikat Yesuit tersebut sebagai
daerah kerja mereka. Dan ke sana tenaga-tenaga penginjil Yesuit semakin banyak
dikirimkan. Tetapi selama abad 16, gereja Kristen di Maluku banyak menderita
terutama karena pergolakan politis yang terus menerus di sana.
Salah satu rintangan berat yang dihadapi Gereja pada waktu itu ialah dari pihak
penguasa setempat, terutama dari Sultan Hairun di Ternate, yang berkuasa dari tahun
1535-1570. Sultan Hairun ini ingin mendirikan suatu kerajaan besar yang meliputi
seluruh Maluku dan daerah sekitarnya. Dalam usaha mewujudkan rencananya itu,
kehadiran orang-orang Portugis di sana dilihat sebagai rintangan. Karena itu Sultan
Hairun selalu berusaha untuk menghempang pengaruh orang-orang Portugis dan
sekaligus menghambat masyarakat setempat untuk masuk menjadi Kristen. Tetapi
karena di antara penguasa-penguasa setempat yang beragama Islam itu juga tidak ada
kesatuan, di mana mereka juga saling berebut kuasa, maka jemaat Kristen bisa bertahan
terus. Penguasa Islam itu ada juga yang mencari perlindungan dan bersahabat dengan
orang-orang Portugis. Tahun 1557 Sultan Hairun memaksa banyak orang Kristen
Halmahera masuk Islam. Para missionaris banyak yang dibunuh dan gereja banyak
yang dirusak. Akibat dari tindakan ini, orang-orang Portugis berusaha menangkap
Sultan Hairun, dan dibunuh tahun 1570. tetapi tindakan ini adalah tindakan yang kurang
bijaksana. Karena akibat terbunuhnya Sultan Hairun tersebut, masyarakat Islam yang
ada di sana menjadi marah. Dengan dipimpin oleh anak sultan yang terbunuh,
perkampungan-perkampungan Kristen dibakar dan benteng orang-orang Portugis
diserang. Akibatnya missi Kristen di sana semakin surut. Orang-orang Kristen di sana
semakin berkurang karena murtad, dan kekuasaaan Portugis semakin surut dan akhirnya
runtuh. Gereja juga terpaksa menjadi hancur. Hanya di Bacan dan Tidore ada sejumlah
kecil yang bisa bertahan selama beberapa puluh tahun lagi. Dan sejak tahun 1580,
orang-orang Spanyol yang menjadi Sekutu Portugis dan sebelumnya telah berkuasa di
Filipina berhasil mengalahkan Ternate tahun 1606. Berkat kemenangan ini maka missi
12
Kristen bisa kembali dijalankan di Halmahera (1606-1613), dalam jumlah yang kecil.
Namun missionaris RK itu tahun 1613 terpaksa meninggalkan Halmahera karena diusir
oleh orang-orang Belanda yang telah berhasil menguasai daerah itu sejak tahun 1613.
Sedangkan orang-orang Belanda membiarkan orang-orang Kristen yang kecil itu begitu
saja, yang membuat kekristenan di sana sempat terlantar dan hilang lagi. Penginjilan ke
Halmahera baru dilanjutkan kembali pada abad 19.
Keadaan orang-orang Kristen di Halmahera pada zaman Portugis hampir sama dengan
keadaan di Maluku Selatan (Ambon dan Lease). Di sini kekristenan juga sempat
berkembang dengan cepat setelah kehadiran penginjil-penginjil dari Serikat Yesuit.
Tahun 1558 di banyak tempat di daerah Maluku Selatan terjadilah perang gerilya,
antara penduduk setempat yang beragama Islam dengan orang-orang Portugis.
Akibatnya orang-orang Kristen hidup menderita. Karena tekanan-tekanan dan
penderitaan yang dialami banyak orang-orang Kristen itu yang murtad, tetapi banyak
juga yang harus mengungsi ke hutan-hutan untuk mempertahankan imannya. Di sana
orang-orang Kristen yang mengungsi itu juga berusaha untuk mendirikan jemaat-
jemaat. Tetapi jemaat-jemaat di pedalaman itu sangat jarang dikunjungi oleh iman atau
pastor. Akibatnya terjadilah perbedaan cara kehidupan jemaat yang tinggal di
pedalaman dengan jemaat-jemaat yang tinggal di pusat. Di jemaat-jemaat pedalaman
itu, satu-satunya sakramen yang dijalankan hanyalah sakramen baptisan. Pengajaran
agama tidak diberikan kepada mereka dan tidak ada penggembalaan atau pastoral dari
seorang imam atau pelayan gereja. Akibatnya orang-orang Kristen itu tidak mengetahui
apa-apa mengenai agama Kristen yang dianutnya itu. Berbeda halnya dengan jemaat
yang ada di pusat pelayanan imam. Di sana pengajaran agama Kristen dijalankan oleh
para pater kepada anak-anak dan orang dewasa. Bagi orang-orang Kristen yang
dianggap sudah mempunyai pengertian yang secukupnya mengenai iman dan
kesusilaan Kristen, diberi kesempatan untuk menerima sakramen Pengakuan dosa
(biecht) dan selanjutnya berhak menerima sakramen Ekaristi (Perjamuan Kudus). Dan
orang-orang Kristen yang bisa sampai ke tingkat seperti itu sangat sedikit jumlahnya.
Jadi jelas ada tingkatan atau penggolongan orang-orang Kristen itu sendiri.
B
Sulawesi Utara,
Sangir dan Talaud
Pada zaman Portugis, usaha penyebaran kekristenan ke Sulawesi Utara, Sangir dan
Talaud juga telah diusahakan. Tahun 1560an agama Kristen telah mulai diterima oleh
masyarakat di sana. Tetapi alasan penerimaan agama Kristen itu adalah sama dengan
alasan penerimaannya di daerah Maluku, yakni terutama dalam rangka meminta
perlindungan kepada orang-orang Portugis, dalam menghadapi tekanan dan serbuan
tentara-tentara Sultan Hairun dari Ternate yang juga berusaha untuk memperluas daerah
kekuasaannya sampai ke sana. Karena adanya serangan dari pasukan-pasukan Sultan
Hairun itu, maka raja setempat meminta bantuan dari tentara orang-orang Portugis di
Maluku untuk melindungi mereka. Dan sebagai imbalan dari bantuan perlindungan
yang diberikan itu, maka masyarakat tersebut bersedia untuk dibaptis menjadi Kristen.
Penginjil pertama yang diutus oleh orang Portugis dari Maluku ke Sulawesi Utara ialah
Diego Magelhaes, tahun 1568. Dia disambut oleh penduduk daerah Manado dengan
13
gembira. Setelah mengajar mereka hanya selama lebih kurang dua minggu lamanya,
maka dia membaptis raja setempat bersama dengan sejumlah 1500 orang rakyatnya.
Jadi merupakan pembaptisan massal yang sangat sedikit persiapan pengajaran yang
dilakukan. Beberapa daerah lain juga dikunjungi Magelhaes, di mana juga diadakan
pembaptisan secara massal hanya dengan pengajaran yang sangat singkat. Misalnya di
Kaidipan (pantai Utara Gorontalo) dia membaptiskan sebanyak 2000 orang secara
massal setelah dia memberi pengajaran hanya selama delapan hari. Lima tahun
kemudian seorang missionaris yang lain membaptis seorang raja di pulau Sangir
bersama-sama dengan rakyatnya. Tetapi di kemudian hari cara pengkristenan massal
seperti itu makin disadari sebagai pekerjaan yang tidak bertanggungjawab. Karena apa
gunanya membaptis begitu banyak orang tanpa persiapan pengajaran yang wajar dan
tidak bisa dilanjutkan dengan usaha-usaha pembinaan yang intensif. Ternyata orang-
orang yang sudah dibaptis itu tetap mengikuti kepercayaan dan cara kehidupan serta
kebiasaan mereka yang lama yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Dan karena
pembinaan yang tidak ada, kekristenan tersebut lama kelamaan menjadi hilang lenyap.
Ketika seorang pater RK mengunjungi daerah Manado tahun 1585, agama Kristen
dijumpai di sana sudah hilang lenyap sama sekali. Semua orang Kristen yang sudah
pernah ada di sana, sudah kembali menjadi penganut agama suku mereka. Pater itu
akhirnya pulang tanpa berbuat apa-apa. Tahun 1606, orang-orang Spanyol dari Filipina
memasuki Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol itu berusaha menghidupkan kembali
kekristenan yang sudah sempat ada di sana dengan mengirimkan sejumlah missionar
RK ke sana. Tetapi usaha mereka gagal, karena para missionaris itu banyak yang mati
dan juga karena mendapat perlawanan yang keras dari penduduk setempat.
C
Nusa Tenggara Timur
Pada abad ke 16, kekristenan juga telah masuk ke daerah Nusa Tenggara Timur,
terutama di daerah Solor, Flores dan Timor. Pekabar-pekabar Injil Katolik yang bekerja
di sana adalah dari Ordo Dominikan. Orang-orang Portugis juga melakukan usaha
perdagangan ke sana terutama perdagangan kayu cendana yang sangat berharga itu.
Pada tahun 1556, telah dibaptis sejumlah 5000 orang Timor oleh Pater Taveira dari
Ordo Dominikan. Pembaptisan juga dengan cepat sampai di daerah Solor dan Flores,
sehingga menjelang akhir abad 16, sudah ada sekitar 25000 orang yang dibaptis
menjadi Kristen di sana. Namun gereaja untuk orang-orang Portugis dan pribumi masih
dibedakan sebagaimana juga halnya yang terjadi di daerah Maluku. Tetapi usaha
penginjilan itu tidak begitu berkembang karena kurangnya tenaga untuk membina
orang-orang Kristen itu. Dan missi RK itu juga makin terpukul, setelah datangnya
serangan dari Belanda ke sana mulai tahun 1613. Tetapi kendatipun demikian, beberapa
penginjil RK masih bisa tetap bertahan di Solor dan Ende. Karena itu orang-orang
Katolik bisa bertahan terus di sana.
D
Blambangan dan Panarukan
di ujung Timur Pulau Jawa
Sejumlah missionaris RK dari Ordo Fransiskan pernah diutus ke daerah ini dari tahun
1569-1599. Pada waktu itu penduduk daerah tersebut masih menganut agama Hindu,
14
sehingga sejumlah penduduk di sana berhasil dibaptiskan termasuk beberapa anggota
keluarga raja. Tetapi menjelang tahun 1600 usaha pekabaran Injil itu terpaksa
berakhir, karena kedua kerajaan itu berhasil diruntuhkan dan dikuasai oleh kerajaan
Islam. Orang-orang Kristen di sana juga pada akhirnya menjadi hilang.
A
ORGANISASI, AJARAN DAN KEHIDUPAN GEREJA PADA JAMAN VOC
Ada beberapa hal dapat dikatakan sebagai ciri-ciri umum keberadaan gereja jaman VOC di
Indonesia , yakni:
a. Pada zaman VOC, gereja-gereja di Indonesia semuanya dikendalikan (berpusat) di
Belanda. Atas keadaan ini, sebenarnya gereja tidak berkewibawaan apa pun atas
dirinya. Pemerintah VOC sama sekali tidak memberikan suatu kebebasan yang
sesungguhnya kepada Gereja-gereja di Indonesia. Mereka juga tidak
memperdulikan kritik serta peringatan-peringatan yang dikeluarkan oleh synode-
synode wilayah di Belanda, yang sekali-sekali mengeluarkan suara tegasnya atas
keadaan ini. Dapat ditambahkan, VOC menanggung segala ongkos pengeluaran
Gereja dan juga tak mengizinkan bahwa oleh pihak lain, misalnya oleh "ibu-gereja",
disediakan uang bagi Gereja di Indonesia. Segala-galanya harus datang dari pihak
pemerintah, sebenarnya gereja-gereja di Indonesia ingin berkuasa atas segala hal.
b. Dari sudut pengaruh rohani dari Gereja di Belanda, kepada gereja di Indonesia
sangatlah besar. Bentuk-bentuk organisasi gereja, dasar-dasar pengakuan iman,
ketentuan-ketentuan siasat gereja, corak-corak kehidupan geredja, dengan
sendirinya menjadi contoh dan ukuran bagi gereja-gereja di Indonesia. Pengaruh ini
berlaku sesuai dengan maksud-maksud pemerintah serta didalam keadaan-keadaan
yang memungkinkannya di Indonesia. Sebenarnya gereja-gereja di Indonesia ingin
dibangun "sesuai dengan aturan jemaat gereformeerd (menurut ajaran Calvin)",
sebagaimana dinyatakan oleh wakil pemerintah pada sidang am pertama di Jakarta
tahun 1642. Dikatakan harus sesuai dengan bentuk Gereja-gereja Calvinis di
Belanda, ini harus dilaksanakan sesuai dengan tata-gereja presbyterial. Artinya,
yang pertama harus adalah adalah jemaat yang berdiri sendiri lengkap dengan
majelis-majelis gerejanya yang dipilih sendiri, berhak untuk memanggil serta
meneguhkan pendeta-pendetanya sendiri, memiliki kebebasan serta kemerdekaan
untuk memimpin jemaat-jemaat setempat. Dan selanjutnya, sama seperti di Belanda,
jemaat-jemaat ini akan digabungkan didalam klasis-klasis, dan klasis-klasis ini
didalam suatu badan synodal. Maksud ini gagal dilakukan di Indonesia.
c. Secara umum gereja gereja di Indonesia sangat tergantung kepada pendudukan
orang-orang Eropa, seperti di Kupang, Ternate atau pun Ambon dan tempat-tempat
lain! Sangat sukar bagi jemaat-jemaat di daerah-daerah ini untuk membentuk suatu
kelompok yang tetap didalam masyarakat yang selalu berubah. Jemaat tidak
dibentuk tersendiri disamping jemaat-jemaat Eropa, yang sudah barang tentu
diadakan kebaktian-kebaktian tersendiri menurut golongan-golongan bahasa. (di
Jakarta misalnya terdapat satu bagian jemaat khusus untuk orang-orang "merdeka"
15
yang berbahasa Portugis dan yang berbahasa Melayu. Di Ambon terdapat satu
jemaat, yang didalamnya termasuk juga jemaat-jemaat kampung dari seluruh pulau
itu, bahkan dari Saparua dan Haruku). Dengan sendirinya terdapat lebih banyak
penatua-penatua serta syamas-syamas bangsa Eropa. Bahkan di Jakarta hanya
terdapat orang-orang Eropa didalam majelis gereja. Akan tetapi dimana ada orang-
orang Indonesia menjadi anggota, hampir-hampir mereka tidak bersuara apapun.
Perbedaan tingkat dan perbawa demikian besar didalam masyarakat kolonial,
sehingga sukar untuk bekerja-sama secara menguntungkan. Tambahan pula majelis-
majelis gereja itu seluruhnya berbahasa Belanda. Orang-orang Kristen Indonesia
yang ribuan banyaknya itu sebenarnya tidak bersuara didalamnya, bukannya
pertama-tama oleh sebab mereka disendirikan, melainkan oleh sebab dasar-dasar
tata-gereja presbyterial dari negeri Belanda tersebut kurang sesuai dalam
masyarakat kolonial ini untuk suatu perkembangan yang subur bagi orang-orang
Kristen Indonesia.
d. Soal lain ialah hak untuk memanggil pendeta-pendeta. Dapat dikatakan, bahwa
mengingat keadaan-keadaan geografi maka perlu diadakan semacam pusat
pimpinan Gereja. Artiny bahwa hak jemaat untuk memanggil se-tidak-tidaknya
harus ditempatkan pada suatu instansi Geredja yang tertinggi. Sebenarnya
pemerintah VOC telah merampas begitu saja hak ini. Biarpun para pendeta dan juga
"ibu-gereja" di Belanda memajukan keberatan-keberatannya dengan tegas, namun
para penguasa di Indonesia tetap berpegang keras pada haknya untuk menempatkan
serta memindahkan pendeta-pendeta menurut kebidjaksanaan mereka. Hanja dalam
satu hal Geredja di Belanda dapat melaksanakan hak-gerejanja, yaitu bahwa
synode-synode provinsi dari Noord-ataupun Zuid-Holland ataupun Zeeland -
artinya provinsi-provinsi pantai yang banyak sangkut-pautnya dengan VOC - dapat
memilih pejabat-pejabat Gereja sendiri, meneguhkannya serta mengutusnya, biar
pun memang hal itu terjadi dengan persetujuan tuan-tuan XVII. Akan tetapi
jelaslah, bahwa hal ini tidak mempunjai arti apapun bagi pertumbuhan, serta
kemerdekaan Gereja-gereja di Indonesia. Ternyata bahwa suatu tata-gereja
presbyterial tidak dapat dijalankan begitu saja.
e. Mengenai pengakuan dan ajaran Gereja. Ketiga pasal keesaan, yakni: pasal-pasal
ajaran Synode Dordrecht, pengakuan iman Belanda, dan Katekismus Heidelberg
merupakan dasar-dasar yang kuat bagi Gereja di Indonesia berlaku pada waktu itu.
Baru pada tahun 1745 Gubernur Jenderal Imhoff membolehkan didirikannya suatu
jemaat Lutheran di Jakarta. Itu pun disebabkan adanya pasukan sewaan Jerman.
Ajaran diawasi dengan tegas supaya tetap murni dan tidak boleh dinodai. Akan
tetapi rupa-rupanya jarang ada alasan untuk bertengkar tentang per-bedaan-bedaan
ajaran ataupun untuk menyelidiki ajaran-ajaran sesat. Djadi dalam hal ajaran ada
tercapai persesuaian dengan "ibu-geredja". Makanya sejak mulanya diusahakan
untuk memperoleh terjemahan-terjemahan dari Katekismus Heidelberg, formulir-
formulir tentang baptisan dan perjamuan kudus dsb. Juga terjemahan buku
pertanyaan karangan Marnix sejak permulaan memainkan peranan yang penting.
VOC telah menerbitkan dan menyiarkan beribu-ribu buku kecil ini.
f. Sudah barang tentu yang terutama diperlukan ialah terdjemahan Alkitab. Dengan
kagumnya kita melihat terjadinya terjemahan-terjemahan Alkitab dalam jumlah
yang banjak. Pada tahun 1629 keluarlah terjemahan Perjandjian Baru, pada tahun
1648 keempat kitab Indjil, pada tahun 1668 seluruh Perjandjian Baru dan kitab
16
Kejadian (Ds. Brouwerius). Pada akhirnya seorang pendeta di Jakarta, yaitu
Leydekker menyelesaikan seluruh terjemahan Alkitab sesudah bekerja bertahun-
tahun dengan rajinnya. Untuk tugas yang besar dan berat itu ia telah dibebaskan dari
pekerjaannya sebagai pendeta. Tetapi pada tahun 1701 ia meninggal sebelum
tugasnya selesai. Mulai dari Epesus 6:6 terjemahan iini diteruskan oleh
penggantinya, yaitu Ds. P. van der Vorm. Lalu seluruh terjemahan itu diperiksa
sekali lagi oleh seorang pendeta Swis, namanya Werndly. Pada tahun 1723 Alkitab
ini siap di cetak, akan tetapi baru pada tahun 1733 keluar cetakan yang pertama.
Sebenarnya lebih dari dua puluh tahun lamanya naskah-naskah ini disimpan di
dalam lemari tuan-tuan XVII. Sebabnya ialah karena mereka menunggu berachirnya
suatu pertikaian yang disebabkan oleh Ds. Valentijn. Pendeta ini - disamping
pekerjaannya sebagai pendeta dan penulis dari 5 jilid buku: "Oud en Nieuw Oost
Indië" - telah menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu Ambon dan
mencoba supaya terjemahannya itu yang dicetak dan bukan terjemahan Leydekker.
Pendapatnya ialah bahwa bahasa tinggi dari Leydekker tidak akan dimengerti oleh
orang-orang Kristen di Indonesia bagian Timur. Akhirnya VOC memberi putusan
yang lain, dan justru terjemahan Leydekkerlah seakan-akan memperoleh nilai
pusaka di Timur Besar.
g. Sebagaimana "ibu-gereja", hendak menjadi suatu Gereja di bawah Alkitab,
demikian halnya dengan anaknya di Indonesia. Meskipun begitu agak
mengherankan, bahwa sesudah seabad berselang barulah diberikan kepadanya
segenap Alkitab. Akan tetapi hal itu tentu disebabkan oleh kenyataan, bahwa untuk
kebaktian-kebaktian Belanda setidak-tidaknya orang memiliki Alkitab Belanda
yang disebut "Statenvertaling". Dan selanjutnya untuk dipergunakan oleh "para
guru" ternyata cukup buku-buku katekisasi dan terjemahan-terjemahan kitab-kitab
Injil yag sudah disebut tadi. Dalam hubungan ini patut disebutkan bahwa orang-
orang Kristen berbahasa Portugis memperoleh Alkitabnya di dalam bahasa Portugis.
Malah terdapat tiga terjemahan Perjanjian Baru dalam bahasa Portugis. Tetapi yang
diterima dan dicetak di Belanda pada tahun 1681, ialah terjemahan Ferreira (lih.
hlm. 51), seorang keturunan Portugis. Terjemahan Perjanjian Lama yang pada tahun
1691 hampir selesai ketika Ferreira meninggal dunia, barulah di cetak pada tahun
1753.
h. Persesuaian ini juga meliputi penggunaan nyanyian-nyanyian mazmur didalam
kebaktian-kebaktian. Pada permulaan abad ke-17, dijumpai sudah ada empat
nyanyian gereja yang pertama, yaitu: "Kesepuluh firman", "doa Bapa Kami",
"Mazmur 100" yang telah digubah dan sebuah "nyanjian malam". Hingga 1652,
terutama oleh Heurnius, selesai dikarang 150 nyanyian mazmur. Kira-kira seabad
kemudian yakni tahun 1735 terbit suatu terjemahan serta gubahan baru oleh Ds.
Werndly. Memang tidak mungkin untuk menyesuaikan juga lagunya dengan "ibu-
geredja". Sejak tahun 1624 sudah sering diadakan surat-menyurat, bahwa
hendaknya ditinggalkan saja "cara Inggris" dalam menyanyikan mazmur-mazmur
itu. Sebenarnya "cara Inggris" ini tak ada sangkut pautnya dengan cara pembacaan
mazmur di dalam doa pagi dan malam di Gereja Anglikan, dimana seorang juru
baca (liturgis) dan jemaat berganti-ganti dalam mengucapkan ayat-ayat mazmur.
Kesulitan terutama untuk mengucapkan mazmur-mazmur itu sebaris demi sebaris
sebelum jemaat menyanyi ialah kurangnya buku-buku nyanyian mazmur dan tidak
pandainya kebanyakan orang-orang Kristen Indonesia membacanya.
17
i. Khotbah dengan sendirinya merupakan hal yang utama di dalam kebaktian.
Memang hanya pendeta-pendeta saja yang boleh mengadakan khotbah. Akan tetapi
dalam hal kekurangan pejabat-pejabat yang berwenang maka orang membutuhkan
juga para penghibur-orang-sakit dan para guru Indonesia, tetapi yang tidak berhak
untuk membuat khotbahnya sendiri. Mereka hanya boleh membacakan khotbah-
khotbah saja. Terutama kumpulan-kumpulan khotbah dalam bahasa Melayu
karangan Wiltens, Caron dan Molanus, yang beberapa kali dicetak-ulang, yang
dipergunakan untuk maksud itu. Malah doa-doa untuk kebaktian-kebaktian tidak
diperbolehkan diucapkan secara bebas. Oleh karena itulah diterbitkan dalam satu
jilid buku katekismus, pasal-pasal keesaan dan doa-doa.
j. Gereja di Belanda selalu mendesak, supaya "Gereja di Indonesia tidak menyimpang
dari cara-cara yang berlaku didalam Gereja Calvinis dinegeri Belanda." Dan di
dalam tata-gereja 1643 dengan tegas dikatakan: "Perlulah juga, bahwa pengawasan
terhadap orang-orang Kristen Indonesia diperkeras, agar supaya merekapun didalam
kebiasaan-kebiasaannya secara lahir sesuai dengan cara-cara orang-orang Belanda."
Hal ini dilaksanakan demikian keras sehingga diharuskan memakai pakaian-gereja
hitam yang diperuntukkan bagi para penatua dan syamas-syamas. Bahkan sesuai
dengan kebiasaan di Gereja Belanda maka Katekismus juga dikhotbahkan, dan
malahan jam Kebaktian Katekismus disesuaikan dengan cara Belanda yaitu jam 3
sore.
k. Dalam soal-soal baptisan dan perjamuan kudus. Dalam soal baptisan misalnya,
orang segera menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh "ibu-
gereja". Pertama-tama orang menghadapi soal, apakah anak-anak boleh
dipermandikan jika mereka itu lahir diluar perkawinan yang sah antara seorang
Kristen Eropa dengan seorang wanita Indonesia, dan apakah "anak-anak kafir"
boleh dipermandikan jika mereka itu menjadi anak-anak angkat dari orang-orang
Kristen. Mengenai soal pertama baptisan itu diperbolehkan, jika salah seorang dari
orang tua adalah anggota jemaat. Soal kedua lebih sukar jawabannya. Yang disebut
anak-anak angkat ialah anak-anak yang lahir dari hubungan antara seorang Eropa
dengan seorang budak perempuan Indonesia. Disebabkan oleh baptisan yang
diterimanya maka mereka memperoleh hak untuk menjadi warga-negara Belanda.
Mengenai soal ini Synode Dordrecht memberi nasehat, untuk membiarkan dulu
anak-anak ini lanjut usianya dan mengajar mereka sebaik-baiknya, sebelum mereka
dibaptiskan. Akan tetapi kemudiannya menjadi kebiasaan untuk toh membaptiskan
anak-anak ini, jika dapat diunjukkan surat keterangan adopsi. Mengenai baptisan
untuk anak-anak Indonesia yang ibu bapanya masih berada didalam kekafiran telah
dicarikan jalan sendiri oleh "synode am" pertama pada tahun 1620. Diusulkan
supaya terhadap anak-anak sedemikian diadakan upacara pemberkatan saja. Kelak
apabila mereka sudah dewasa mereka dapat meminta sendiri untuk dibaptiskan
sesudah memperoleh didikan dalam kepercayaan Kristen. Akan tetapi kebiasaan
"penyerahan" dan "pentahbisan" ini tidak diperbolehkan oleh ibu-gereja Belanda.
l. Pertanyaan-pertanyaan ini pada hakekatnya sudah menunjukkan kearah suatu
persoalan, yang menjadi sangat penting bagi Gereja di Indonesia dan yang akibat-
akibatnya masih nampak dibeberapa daerah. Persoalan itu ialah pemisahan
sakramen-sakramen. Singkatnya soal itu ialah kalau-kalau mereka yang sudah
dibaptiskan langsung dapat diperbolehkan ikut serta dalam perjamuan kudus
ataukah sebelumnya mereka harus dahulu mendapat pelajaran yang lebih dalam
18
tentang kepercayaan Kristen. Dengan kata lain: dapatkah sakramen Perjamuan
Kudus dipisahkan daripada sakramen Baptisan dengan menyelipkan lagi suatu
pengajaran kateksasi diantara kedua sakramen itu? Jadi sebenarnya yang menjadi
persoalan ialah baptisan orang dewasa, sedangkan baptisan anak-anak dengan
sendirinya diikuti kemudian oleh pelajaran katekisasi, sehingga menjadi sidi dan
diperbolehkan duduk pada meja perjamuan Tuhan. Rupa-rupanya persoalah ini
sudah terdapat pada zaman Portugis. Para padri memang merasakan betapa
sukarnya untuk memperbolehkan begitu saja beribu-ribu orang-orang Kristen, yang
kadang-kadang dibaptiskan tanpa memperoleh suatu pengajaran apapun, ikut serta
dalam sakramen komuni. Kecuali di Ambon sendiri, dimana oleh pemeliharaan
rohani dapat diadakan pengajaran seperlunya, maka pada umumnya seorang yang
baru dibaptiskan hampir-hampir tak diperbolehkan mengikuti komuni. Kira-kira
keadaan yang serupa itu kita dapati dimana saja ada segolongan bangsa Indonesia
menjadi anggota Gereja oleh baptisan massa, tanpa persediaan yang mendalam.
m. Synode Dordrecht dengan tegas telah menetapkan, bahwa orang-orang dewasa yang
telah menjadi anggota Gereja oleh baptisan dewasa, pada kesempatan pertama harus
juga duduk pada meja perjamuan. Akan tetapi bagaimanakah hal itu dapat
dilaksanakan pada orang banyak, yang pada suatu perkunjungan singkat sering
dibaptiskan tanpa diberi pengajaran yang mendalam? Sering juga dilakukan
pembaptisan yang serba cepat, sebab dengan demikian para pendeta menyangka
dapat menghindarkan orang-orang kafir dari pengaruh Islam. Bahkan untuk
mengajak orang-orang lain supaya menganut agama Kristen. "Juga untuk
menyatakan betapa senangnya kita, bahwa penduduk-penduduk kita yang beragama
kafir dan Islam itu boleh mencari keselamatannya pada Juru Selamat yang satu-
satunya yakni Tuhan Jesus Kristus", maka kepada "tiap-tiap orang bumiputera"
yang minta dibaptiskan, diberikan suatu hadiah. Pendeta yang membaptiskannya
pun menerima semacam "uang sekolah" dan bahkan sang raja, yang membawa
orang-orang kafir itu, mendapat upah. Bagaimanapun juga, cara pembaptisan serba
cepat ini terhadap "orang-orang Kristen nasi" itu kelak dapat
dipertanggungjawabkan, jika segera dapat dijamin suatu pengajaran dan
pemeliharaan rohani yang mencukupi bagi orang-orang yang baru dibaptiskan itu.
Tetapi hal ini tak pernah dilaksanakan. Satu-satunya hal yang dilihat oleh orang-
orang Kristen ini ialah perkunjungan-perkunjungan yang hanya sekali-sekali
diadakan oleh para pendeta dan para penghibur orang sakit, yang jumlahnya hanya
sedikit, itu pun juga sering ber-tahun-tahun sesudah baptisan. Karena itu tidaklah
mengherankan, bahwa misalnya Ds Brand pada tahun 1705 di Siau sama sekali
tidak melayani perjamuan kudus, malah merasa tidak perlu untuk berkotbah
dihadapan sekian banyak orang. "Diantara 3298 orang yang telah dibaptiskan
agaknya tidak ada seorangpun anggota jemaat"! Inilah salah satu akibat yang
menyedihkan dari praktek baptisan ini bahwa hampir-hampir tidak ada seorangpun
yang menjadi anggota tetap didalam jemaat.
n. Dan kehidupan rohani apakah dapat diharapkan dari suatu Gereja, jika rata-rata
hanya 3% dari orang-orang Kristen itu yang diperbolehkan turut serta dalam
perjamuan kudus?! Dalam hal ini timbul kesangsian bahwa mereka belum
memutuskan keadaannya dahulu yang bersifat kekafiran. Juga kita menaruh sangsi
bahwa tidak terjadi suatu perhubungan yang sesungguhnya dengan Tuhan Jesus
Kristus, bahwa mereka tidak menjadari bahwa mereka merupakan GerejaNya.
19
Mereka hanyalah "orang-orang Kristen mulut", "orang-orang Kristen tanpa
Kristus", orang-orang "Laodikea". Itulah sebutan-sebutan yang sering terbaca
didalam laporan-laporan para pendeta. Akan tetapi apa boleh buat ? "Didesak oleh
ketakutan akan agama Islam, dan oleh pertimbangan bahwa suatu pengkristenan
secara cepat dan sekaligus adalah cara bekerja yang tepat, baik ditinjau dari sudut
pekabaran injil maupun politik", maka praktek semacam itu diteruskan. Dan itu
terjadi walaupun ada suara-suara yang memperingatkan agar supaya lebih ber-hati-
hati, seperti yang dapat dibaca didalam tata gereja Ambon 1673 yang bunyinya
sebagai berikut: "juga orang-orang yang sudah dewasa baik yang merdeka maupun
yang budak, tidak boleh semudahnya dibawa kepada baptisan......". Sebenarnya
dengan cara bekerja seperti ini maka "pemisahan sakramen" sudah menjadi
kenyataan. Bagaimanapun aneh kedengarannya, tetapi didalam keadaan-keadaan ini
maka hal itulah satu-satunya jalan untuk toh masih dapat mempertahankan sedikit
taraf kerohanian Gereja. Sebab apakah yang akan terjadi jika orang banyak yang
baru dibaptiskan itu diperbolehkan duduk pada meja Tuhan, tanpa kesadaran
sedikitpun pada mereka apakah sebenarnya ini kepercayaan mereka dan khusus
artinya perjamuan kudus? Jika demikian halnya maka agaknya agama kafir ini
begitu saja memperbolehkan kelandjutannya didalam agama Kristen.
Dalam usaha menjalankan perdagangan itu VOC jauh lebih kuat dari orang-orang
Portugis. Daerah Maluku yang semula dikuasai oleh orang-orang Portugis dapat dengan
mudah ditakhlukkan oleh VOC. Sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang
Portugis, di daerah-daerah yang dikuasai oleh VOC itu, petugas-petugas gereja juga
segera ditempatkan. Tetapi tujuan utama dari penempatan petugas-petugas gereja ini
ialah untuk kepentingan pelayanan rohani orang-orang Belanda yang bekerja di sana.
Sedangkan usaha pekabaran Injil kepada penduduk setempat sangat kurang dilakukan.
Pekabaran Injil baru dilakukan oleh pendeta-pendeta VOC apabila pekerjaan itu dirasa
mendukung kepada usaha mempercepat penguasaan penduduk setempat. Apabila di
daerah-daerah itu masih dijumpai orang-orang Katolik yang masih bertahan, mereka
dipaksa oleh orang-orang Belanda menjadi Protestan dan seluruh petugas-petugas
gereja RK itu diusir. Dalam hal ini orang-orang Belanda atau VOC tetap memegang
semboyan: “cuius regio eius religio”. Artinya siapa punya daerah atau negara dia punya
agama. Selaku orang-orang yang beragama Protestan, orang-orang Belanda yang telah
berkuasa, menakhlukkan orang-orang Kristen yang baru itu menjadi Protestan. Namun
petugas-petugas gereja Katolik itu tidak diganti oleh VOC dengan tenaga-tenaga
Protestan, sebab VOC belum mempunyai tenaga untuk memelihara orang-orang Kristen
yang sudah ada ataupun mengabarkan Injil kepada orang-orang yang bukan Kristen.
Karena itu tidak ada lagi pelayanan ibadah dan pembinaan rohani bagi orang-orang
Kristen peninggalan orang-orang Portugis itu.
20
Seperti sudah disinggung di atas, VOC hanya merasa wajib untuk menyediakan tenaga-
tenaga untuk menyelenggarakan pemeliharaan rohani bagi orang-orang Belanda, baik
yang bekerja di lautmaupun yang bekerja di darat. Untuk ini selama kekuasaan VOC di
Indonesia (1602-1799), VOC telah mempekerjakan dan membelanjai sebanyak 254
orang pendeta dan kira-kira 800 orang “penghibur orang sakit” (zieketrooster). Seluruh
pekerjaan di dalam gereja serta sekolah-sekolah adalah tanggungan VOC, termasuk
juga pembangunan gedung-gedung gereja dan penerbitan buku-buku bacaan yang
diperlukan. Gereja-gereja yang diasuh oleh VOC ini sering juga disebut “Gereja VOC”
atau juga Gereja Negara. Seluruh jemaat Kristen peninggalan orang-orang Portugis itu
juga dialihkan menjadi Gereja VOC, yang sekaligus menjadi tanggungan VOC.
Akan tetapi di kemudian hari tugas dari pendeta VOC itu juga meluas sampai kepada
penduduk yang dijajah yang belum Kristen. Pemerintah Belanda juga “diwajibkan
untuk memberantas dan melawan segala penyembahan-penyemabahan berhala dan
agama kafir”, atau dengan kata lain mengkristenkan bangsa-bangsa yang ditahklukkan.
Akan tetapi tugas ini hanya sedikit dilakukan. Dan apabila ini dilakukan selalu
dikaitkan dengan pertimbangan ekonomis dan politis, yakni usaha pengkristenan itu
diperhitungkan bisa membantu usaha untuk memperlancar keuntungan ekonomis atau
perdagangan mereka dan memperlancar proses penguasaan atas masyarakat setempat.
Dalam hal ini pemerintah Belanda memang menghendaki rakyatnya agar menjadi
orang-orang Kristen. Karena dengan dikristenkannya rakyatnya itu, mereka dianggap
telah berada di bawah kekuasaan Belanda. Tetapi demi menjaga ketertiban dan
keamanan usaha perdagangan dan pemerintahannya, kewajiban untuk mengkristenkan
itu tidak banyak dilakukan. Dan bahkan hak-hak pendeta selalu dibatasi, dan selalu
disesuaikan dengan kebijaksanaan politik dari pemerintah. Segala kegiatan yang
dipikirkan oleh pendeta harus mendapat persetujuan lebih dulu dari pemerintah
Belanda. Termasuk surat-surat yang dikirimkan kepada gereja-gereja di negeri Belanda,
harus terlebih dahulu melalui penilaian gubernur jenderal Belanda di Indonesia. Dengan
demikian maka perkembangan gereja di Indonesia menjadi sulit diketahui oleh Gereja
Induk di negeri Belanda. Dengan kata lain bahwa pada zaman VOC, gereja adalah
benar-benar di bawah kekuasaan dan pengawasan pemerintah Belanda.
2. Penyebaran Gereja di Indonesia Pada Abad 17 dan 18. Seperti sudah disinggung di
atas, bahwa pada zaman VOC boleh dikatakan hampir tidak ada usaha pekabaran Injil
kepada orang-orang pribumi dari pihak VOC itu sendiri, karena sebagai suatu serikat
dagang, VOC selalu mementingkan keuntungan dan kemajuan usaha perdagangannya.
Karena itu VOC hanya berusaha memelihara kerohanian orang-orang Kristen yang
sudah ada terutama orang-orang Belanda yang bekerja di Indonesia, baik sebagai
tentara, pegawai atau pedagang. Untuk memelihara mereka inilah dikirim tenaga-tenaga
pelayan gereja dari negeri Belanda. Tenaga-tenaga yang mula-mula dikirim adalah
penghibur-penghibur orang-orang sakit dan baru kemudian menyusul beberapa orang
pendeta. Pendeta pertama yang ditempatkan Belanda di Indonesia terjadi tahun 1612,
yakni Ds Wiltenz. Dia ditempatkan di daerah Ambon. Tahun 1615 dibentuklah majelis
gereja Kristen Protestan yang pertama di Ambon. Majelis gereja inilah yang
menyelenggarakan pemeliharaan rohani atas orang-orang Kristen yang ada di daerah
Ambon dan sekitarnya. Tetapi usaha untuk mengabarkan Injil kepada penduduk
pribumi setempat tidak dilakukan. Orang-orang pribumi itu masih tetap sebagai kafir.
21
Jadi pendeta dan majelis gereja yang ada di Ambon itu hanya memelihara yang sudah
ditanam. Tidak ada usaha mereka menanam Injil itu bagi mereka yang belum Kristen.
Selain di Ambon tahun 1621 berdirilah sebuah jemaat di daerah Banda. Dan jemaat
inipun diperuntukkan untuk orang-orang Belanda yang bekerja di sana. Barulah di
daerah Aru ada sekitar 100 orang yang dibaptis dari penduduk setempat. Itupun tidak
bertumbuh dengan baik karena pemeliharaan yang kurang. Pada pertengahan abad 17,
orang-orang Spanyol yang sempat menguasai daerah Maluku Utara dan beberapa
daerah Sulawesi Utara sampai Sangir dan Talaud ditakhlukkan oleh orang-orang
Belanda. Orang-orang Kristen yang dulu sempat diasuh oleh orang-orang Spanyol itu,
diambil alih oleh orang-orang Belanda. Pendeta Belanda yang bertugas di Ternate
sekitar tahun 1680-1689 berusaha menghubungi orang-orang Kristen di sana. Sekitar
tahun 1700, diperkirakan ada sejumlah 2500 orang Kristen di sana. Tetapi jumlah ini
semakin merosot karena kurangnya pemeliharaan terhadap mereka. Bahkan kekristenan
yang ada di Halmahera menjadi lenyap, karena orang-orang Kristen di sana tidak
pernah dikunjungi oleh pendeta VOC itu. orang-orang Kristen yang ada di pulau Timor
mulai mendapat pemeliharaan dari pendeta VOC tahun 1670, karena raja setempat
meminta perlindungan Belanda dan meminta dirinya untuk dibaptis menjadi Kristen.
Tetapi orang-orang Kristen di Solor dan Flores hasil penginjilan Ordo Dominikan dari
gereja RK dibiarkan hidup terus oleh orang-orang Belanda, karena tidak ada
kepentingan VOC di sana. Itulah sebabnya gereja RK bisa bertahan hidup di sana
dengan kuat sampai sekarang.
Pada abad 17, pendeta VOC di Jakarta ditugaskan juga untuk mengunjungi tempat-
tempat yang sudah didiami oleh orang-orang Belanda yang ada di daerah Jawa dan
Sumatera Barat. Di Jakerta itu sendiri telah berdiri sebuah jemaat VOC tahun 1619, dan
di Surabaya berdiri sebuah jemaat tahun 1669. Di Padang Sumatera Barat dan di
Semarang masing-masing berdiri sebuah jemaat tahun 1750. Jadi menjelang akhir abad
18, yakni menjelang akhir zaman VOC di Indonesia, jemaat-jemaat Kristen yang ada di
Indonesia ada sebanyak sepuluh jemaat yakni: 6 jemaat di Indonesia bagian Timur,
yaitu di Ambon, Banda, Ternate, Makassar, Manado dan Kupang; 3 jemaat di Jawa
yakni di Jakarta, Surabaya dan Semarang, dan satu jemaat di Sumatera yakni di Padang.
Di daerah Jawa dan Sumatera, sama sekali tidak dilakukan usaha penginjilan kepada
orang-orang pribumi. Menurut catatan, jumlah orang-orang Indonesia yang dibaptis
selama zaman VOC itu sebanyak 43.000 orang, tetapi dari antaranya hanya sebanyak
1205 orang yang diperbolehkan menerima sakramen Perjamuan Kudus. Sedangkan
yang ditinggalkan oleh Portugis sudah ada sebanyak 40.000 orang Katolik.
22
a. Gereja Protestan di Indonesia (Indische Kerk). Berbeda dengan pemerintahan
VOC yang hanya mengakui satu gereja yakni Gereja Protestan, pemerintah kerajaan
Belanda yang baru dipengaruhi oleh semangat “pencerahan” di Eropa, menjadi
bersifat netral. Di kerajaan itu kebebasan agama mulai diberlakukan. Karena itu
tidak ada lagi gereja negara, dan negara tidak akan memihak lagi kepada agama
Kristen. Tetapi ada dua kenyataan yang dihadapi di Indonesia oleh pemerintah
kolonial Belanda yang menghambat pelaksanaan dari azas itu secara penuh, yakni:
Adanya sejumlah jemaat di Indonesia bekas asuhan dari VOC. Pemerintah
Belanda sebagai pewris VOC, tidak bisa melepaskan jemaat-jemaat itu begitu
saja. Ini mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk mendirikan Gereja
Protestan di Indonesia yang dapat menampung dan mengasuh seluruh jemaat
bekas asuhan VOC itu.
Pemerintah kolonial Belanda sadar bahwa orang-orang Islam di Indonesia rata-
rata bersikap lebih memusuhi pemerintah Belanda daripada orang-orang
Kristen. Untuk mengatasi keadaan ini, maka pemerintah kolonial Belanda
mengambil kebijaksanaan bahwa sebaiknya daerah-daerah yang masih
beragama suku dikristenkan, sedangkan daerah Islam jangan. Dalam usaha
untuk mengkristenkan daerah-daerah yang masih menganut agama suku itulah
maka lembaga-lembaga PI diizinkan masuk ke Indonesia. Pada zaman VOC,
lembaga-lembaga PI belum diizinkan masuk ke Indonesia.
Pada permulaan abad 19, atau pada permulaan pemerintahan kolonial Belanda di
Indonesia, keadaan jemaat-jemaat Kristen yang diwariskan oleh VOC itu tidak
menentu. Pendeta yang bertugas untuk melayani jemaat-jemaat itu hanya
ditinggalkan beberapa orang saja. Daerah-daerah di luar pusat tidak dikunjungi lagi.
Karena itu jumlah anggota jemaat semakin mundur. Karena kesulitan ekonomi
pemerintah Belanda pada waktu itu yang diakibatkan keadaan perang yang terjadi di
negeri itu, maka gereja Belanda tidak sanggup membantu berupa uang dan tenaga.
Pemerintah Belanda berusaha mengatasi keadaan ini, barulah setelah Inggris
mengembalikan Indonesia yang sudah sempat dijajah beberapa tahun dari tahun
1811-1816. Raja Belanda yang baru pada waktu itu yakni Willem Islam, berusaha
menggabungkan seluruh jemaat Protestan yang ada di Indonesia menjadi satu
badan, yakni Gereja Protestan di Indonesia. Dan gereja ini langsung ditempatkan di
bawah asuhan pemerintahan kolonial Belanda. Untuk mengatur penyelenggaraan
gereja ini, maka ditetapkanlah aturan-aturan dari gereja tersebut.
Isi dari aturan-aturan dari gereja itu secara garis besarnya adalah sebagai berikut:
Yang menjadi anggota GPI adalah semua jemaat dan orang-orang Kristen
Protestan.
GPI dipimpin oleh sebuah Dewan Pengurus yang diangkat oleh Gubernur
Jenderal yang berkedudukan di Batavia (Jakarta). Ketua Dewan Pengurus ini
harus seorang yang menjabat pangkat tinggi dalam pemerintahan atau negara.
(baru pada abad 20 ketua dari dewan pengurus itu ditetapkan dari kalangan
pendeta). Anggota dari Dewan Pengurus ini ialah pendeta-pendeta jemaat
Protestan yang ada di Batavia dan tiga orang anggota jemaat yang terkemuka.
23
Jemaat setempat dipimpin oleh sebuah Majelis Jemaat yang dipilih oleh jemaat
setempat itu sendiri, tetapi pengangkatannya harus disetujui oleh pemerintah
setempat.
Para pendeta yang melayani di gereaja itu adalah yang diangkat dan
ditempatkan oleh Gubernur Jenderal setelah ada usul dari Pengurus Pusat.
Tugas-tugas gereja antara lain ialah:
a. Memelihara kepentingan agama Kristen pada umumnya dan kepentingan
Gereja Protestan khususnya.
b. Menambah pengetahuan keagamaan dan memajukan kesusilaan Kristen.
c. Menegakkan ketertiban serta kerukunan dan menumpuk cintah kepada
pemerintah dan tanah air.
Hubungan dengan gereaja di negeri Belanda akan berlangsung melalui
sekelompok pendeta yang ada di sana, yang bertugas untuk menguji dan
meneguhkan pendeta-pendeta dan pekerja-pekerja gereja yang alain yang akan
diutus ke daerah-daerah jajahan.
Kalau kita memperhatikan isi dari peraturan tersebut di atas maka ada tiga hal yang
perlu kita catat yang berhubungan dengan keberadaan GPI, yakni:
Dari peraturan-peraturan tersebut nampak bahwa walaupun secara teori
pemerintah telah menyatakan bersifat netral terhadap agama/gereja, namun
dalam prakteknya GPI itu masih berada di bawah kekuasaan pemerintah, dan
bahkan GPI yang diberi tugas untuk “menegakkan ketertiban”, berarti GPI
dijadikan sebagai alat negara untuk menegakkan kekuasaannya di daerah
jajahannya itu.
Pemerintah mencampuri secara langsung urusan-urusan gereja. Akibat dari
campur tangan pemerintah itu ialah:
- GPI diberi struktur yang tidak sesuai dengan hakekat gereja. Menurut
hakekatnya, gereja harus dipimpin oleh wakil-wakil Kristen sebagai Kepala
Gereaja, dan berpedoman kepada Firman Tuhan. Tetapi GPI dipimpin oleh
tokoh-tokoh pemerintah, yang berpedoman kepada kepentingan negara
Belanda di Indonesia.
- Perbedaan antara gereja dan negara menjadi kabur.
- Gereja itu tidak mempunyai pengakuan iman, dan tidak ada tugas PI dan
pelayanan sesama manusia. GPI hanya suatu “lembaga yang bertugas
memenuhi kebutuhan-kebutuhan religius masyaraakat Protestan di Indonesia”.
GPI itu hanya diurus oleh orang-orang Belanda saja. Orang-orang Indonesia
diabaikan sama sekali. Orang-orang yang menyusun peraturan itu seakan-akan tidak
mengetahui bahwa dalam gereaja itu juga terdapat orang-orang Indonesia bahkan
mayoritas anggaotanya adalah orang-orang Indonesia. Dalam pengurus GPI tercipta
juga pangkat-pangkat yang bersifat hierarkhis yakni:
24
Pendeta Pribumi: yakni pendeta yang diangkat dari orang Indonesia yang
biasanya tidak bisa melayani sakramen.
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa GPI pada mulanya
mempunyai tiga ciri yakni:
- Ia diikat dan diperalat negara.
- Ia tidak mempunyai tata gereja dan pengakuan iman sebagaimana selayaknya
dimiliki oleh suatu gereja.
- Ia tidak memberi suara kepada orang-orang Indonesia yang berada di dalamnya
dan secara resmi tidak mengaku bertanggungjawab kepada mereka yang masih
di luar.
- Gereja-gereja di Indonesia yang ada sekarang yang berasal dari GPI atau Gereja
Pemerintah itu, selain dari GPI itu sendiri ialah:
a. Gereja Protestan Maluku (GPM) yang berpusat di Ambon.
b. Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) yang berpusat di Manado.
c. Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) yang berpusat di Kupang.
d. Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) yang berpusat di Jakarta.
4. Munculnya beberapa lembaga PI di Eropa. Mulai pada abad 18, di Eropa telah
bermunculan banyak lembaga-lembaga PI yang bukan diorganisir oleh gereja, tetapi
diorganisir oleh orang-orang Kristen perorangan atau kelompok yang mempunyai
semangat penginjilan yang besar. Munculnya lembaga-lembaga PI itu didorong oleh
pengaruh gerakan Pietisme atau Kebangunan Rohani (Revival) yang timbul di Eropa.
Pietisme adalah suatu aliran yang berusaha memperbaharui keadaan gereja di Eropa
pada waktu itu, dengan membina iman dan kesalehan orang-orang Kristen perorangan.
Kelompok yang menganut aliran ini mau mengamalkan imannya dengan cara rajin
membaca Alkitab, memupuk persaudaraan Kristen dan menyaksikan atau
memberitakan Injil itu kepada orang-orang yang belum mengenal Kristus. Oleh
pengaruh gerakan Pietisme itu bermunculanlah pusat-pusat pembinaan PI dan lembaga-
lembaga PI di Eropa. Di Jerman, gerakan ini berpusat di Halle, di mana terbentuk
kelompok Hernhut (saudara-saudara dari Moravia) yang didirikan oleh Zinzendorf.
Orang-orang dari kelompok Hernhut ini dilatih untuk siap diutus mengabarkan Injil ke
seluruh dunia, termasuk ke Indonesia. Hanya pada masa VOC mereka tidak diizinkan
masuk.
Di Inggris, sekitar tahun 1790an telah berdiri sejumlah lembaga PI. Misalnya tahun
1792 berdiri “Baptist Missionary Society”, dan tahun 1795 berdiri “London Missionary
Society”, dll. Di negeri Belanda tahun 1797 berdiri “Nederlands Zendeling
Genootschap (NZG) atau lembaga utusan-utusan Injil Belanda. NZG ini berdiri, selain
didorong oleh kejadian-kejadian di Inggris di mana pada waktu itu telah berdiri
beberapa badan zending,juga didorong oleh orang-orang Hernhut dari Jerman yang
pengaruhnya sudah sampai di negeri Belanda dan telah mendirikan sebuah lembaga PI
atahun 1793. Pendiri NZG berasal dari anggoata gereaja Hervormd. Di samping NZG
ini muncul juga lembaga-lembaga lain di Belanda yang bekerja untuk Indonesia yakni:
Java Committee (1855), “Nederlands Zendings Vereeniging” (NZV) tahun 1858, dll. Di
Jerman tahun 1824 berdiri “Rheinische Missionsgesselschaft (RMG) yang
mengabarkan Injil di Indonesia untuk daerah Kalimantan dan tanah Batak. Dan di
Indonesia, orang-orang Kristen yang tidak puas dengan keadaan GPI membentuk
25
lembaga-lembaga yang menunjang usaha penginjilan di Indonesia yaitu: lembaga
Alkitab (1814) serta lembaga-lembaga PI di Batavia (1815) dan Surabaya (1815), dll.
Dalam pengertian ini ditekankan karya Kristus demi keselamatan orang perorangan,
dan kurang melihat Kristus sebagai Raja Dunia dan Kepala Gereja.
• Mereka bersikap lebih terbuka kepada kebudayaan suku, tetapi pelaksanaan sikap ini
di Indonesia masih belum dapat dilakukan dengan sepenuhnya karena beberapa
faktor, a.l.:
a. Sifat superioritas orang-orang Barat yang semakin kuat. Artinya mereka
menganggap diri dan budaya mereka jauh lebih tinggi dari diri dan budaya orang-
orang Indonesia.
b. Dalam lapangan penginjilan yang dimasuki, mereka sulit membedakan mana
unsur budaya dan mana unsur keagamaan yang terdapat di tengah-tengah
masyaraakat suku yang diinjili. Dalam kehidupan suku-suku yang diinjili, faktor
keagamaan memang sulit dipisahkan dari budaya setempat, yang akibatnya
hampir semua unsur budaya itu dianggap bersifat kekafiran. Namun sikap ini
kemudian berubah, karena sejak tahun 1870an telah mulai ada usah untuk
menampung unsur-unsur pribumi dalam kehidupan jemaat.
6. Hubungan antara Zendeling dan pemerintah Belanda. Hubungan itu secara hukum
diatur dalam Aturan Pemerintah (Regeringsreglement) tahun 1854. Aturan ini pada
dasarnya menegaskan kebebasan beragama, tetapi dalam pasal terakhir dari Aturan ini
(Pasal 123), ada berbunyi:
“Guru-guru Kristen, Imam-imam serta pendeta-pendeta zending, harus
memiliki izin khusus yang diberikan oleh atau atas nama gubernur jenderal
agar dapat menyelenggarakan pekerjaan dinas mereka di suatu bagian
Hindia Belanda tertentu…”
Dari peraturan itu nampak bahwa pekabar Injil yang bekerja di Indonesia harus
memperoleh izin khusus dari pemerintah kolonial Belanda. Ketentuan ini sering dipakai
oleh pemerintah Belanda untuk mempersulit bahkan melarang usaha PI di daerah-
daerah tertentu. Jadi di sini kepentingan pemerintahan atau kepentingan politis masih
tetap diutamakan, sebagaimana halnya dulu diberlakukan oleh VOC. Kalau di daerah
26
tertentu, “keamanan dan ketertiban” nya akan terganggu oleh usaha PI itu, maka daerah
itu ditutup untuk PI. Artinya pekabar Injil dilarang masuk ke sana. Tetapi di pihak lain,
pemerintah sering juga mendukung pekerjaan zending. Khususnya di daerah-daerah
suku. Ini didasari oleh pertimbangan, kalau suku-suku tertentu itu telah dikristenkan,
diharapkan mereka akan dapat menunjang kekuasaan Belanda. Untuk inilah diberi
bantuan berupa subsidi kepada lembaga-lembaga PI bagi usaha-usaha pekabaran Injil
yang dijalankan. Jadi di sini zending dipergunakan juga sebagai alat mempertahankan
kekuasaan Belanda.
7. Sikap Zending terhadap Pemerintah. Bagi zending, Kerajaan Allah tidak sama
dengan Kerajaan Belanda. Mereka tetap menyadari bahwa mereka bekerja demi
perluasan Kerajaan Allah, bukan demi perluasan Kerajaan Belanda. Tetapi kadang-
kadang perluasan Kerajaan Belanda itu mereka anggap perlu, demi perluasan Kerajaan
Allah. Misalnya dalam mengadakan perubahan dan perbaikan kehidupan/kebudayaan
suku-suku yang diinjili. Para petugas zending telah merasa kewalahan menyudahi
kebiasaan perang antar suku, dll, maka mereka sering meminta bantuan penguasa,
karena mereka yakin bahwa kebiasaan yang tidak baik itu hanya dapat diatasi oleh
bangsa kuat pemerintah kolonial. Ini bukan berarti bahwa petugas-petugas zending itu
menghendaki penjajahan yang dilakukan Belanda atas Indonesia. Mereka tidak
menganut ideologi imperialisme dan tetap bersikap kritis kalau pemerintah tidak
melayani kepentingan-kepentingan orang-orang Indonesia yang dijajah itu.
1. Gereja-gereja di Maluku. Di daerah Maluku, ada dua gereja yang tergolong besar,
yakni: Gereja Protestan Maluku (GPM), yang kadang-kadang juga disebut Gereja
Ambon, dan satu lagi Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH).
a. Gereja Protestan Maluku (GPM). GPM mempunyai sejarah yang terbilang paling
lama di Indonesia, karena seperti sudah diterangkan di atas, daerah Maluku itulah
awal Sejarah Gereja di Indonesia. Sejarah Gereaja Maluku boleh dikatakan sebagai
ringkasan dari sejarah gereja di Indonesia. Periodisasi dari sejarah gereja itu dapat
dibagi sbb:
- 1522 – 1605: Usaha missi RK, serta pengkristenan yang pertama.
- 1605 – 1815: Gereja di Maluku di bawah pemeliharaan VOC (sampai thn 1800),
dan sesudah itu di bawah pemeliharaan Pekabaran Injil dari
Inggris (1811-1815).
- 1811 – 1864: Hidupnya kembali gereja di Maluku atas usaha PI dari NZG,
yang bekerjasama dengan Gereaja Protestan di Indonesia asuhan
pemerintah.
- 1864–1935: Gereja Maluku di bawah pimpinan gereja Protestan/ pemerintah.
- 1935–skrng: GPM sebagai gereja yang berdiri sendiri.
2. Thn 1522 dijadikan titik permulaan kekristenan di Maluku karena pada tahun itulah
orang-orang Portugis mulai tinggal menetap di beberapa tempat di sana antara lain di
Ternate, Ambon, dll. Seperti sudah diterangkan juga, petugas-petugas gereja yang
dikirim pemerintah Portugis ke sana pada mulanya hanya memelihara kerohanian
orang-orang Portugis itu sendiri, tetapi kemudian missi Kristen juga dilakukan kepada
27
orang-orang penduduk setempat. Namun usaha missi Kristen itu tidak begitu maju
karena beberapa hal, yakni: persaingan raja-raja setempat yang sudah beragama Islam.
Adanya jumlah petugas (imam) yang sangat sedikit. Dan karena orang-orang Portugis
itu kurang memperlihatkan kehidupan Kristen yang baik.
Baru setelah tahun 1540an mulai terjadi kemajuan, yakni setelah datangnya orang-
orang Yesuit di sana, seperti Fransiscus Xaverius yang sudah disinggung pada bagian
muka. Mereka ini telah mempersiapkan calon-calon baptisan lebih baik dan juga
melakukan pembinaan setelah dibaptiskan. Tetapi di saat-saat kekristenan itu mulai
mengalami kemajuan, kekristenan di sana segera menghadapi rintangan berat dari
penguasa Islam yang ada di sana, terutama dari Sultan Hainun. Sultan Hainun ini
dibunuh tentara Portugis tahun 1570. Tetapi akibatnya orang Islam di sana menjadi
marah. Orang Kristen ditindas berat, perkampungan Kristen dibakar. Oleh sebab itu
orang-orang Kristen semakin berkurang karena banyak yang murtad, dan akhirnya
kekristenan semakin surut, sejalan dengan runtuhnya kekuasaan Portugis di sana yang
diganti oleh Belanda.
3. Tahun 1605 orang-orang Belanda melalui badan VOC mulai menggantikan kedudukan
Portugis di Maluku. Pada masa ini pekabaran Injil tidak dilakukan. Beberapa jemaat
Kristen memang didirikan, seperti di Ternate, tetapi anggota dari jemaat itu umumnya
adalah orang-orang Belanda yang bekerja di tempat itu, dan sejumlah kecil orang-orang
pribumi yang diwarisi dari zaman Portugis. Tetapi orang-orang pribumi itu akhirnya
makin berkurang, karena kurangnya perhatian dan pembinaan dari pendeta-pendeta
Belanda yang melayani jemaat itu.
4. Tahun 1815, NZG mengutus penginjil Josef Kam (1769-1833) bekerja di Ambon
untuk mengurus dan melayani gereja yang ada di sana bersama pemerintah kolonial
Belanda. Dia melakukan pekerjaan itu dengan penuh kesungguhan dan pengabdian.
Karena usahanya yang sungguh-sungguhn dan karena kemajuan besar yang diperoleh,
maka Josef Kam di kemudian hari mendapat gelar sebagai rasul orang Maluku atau
seorang Reformator Maluku. Sebelum datangnya Josef Kam, hidup kekristenan di sana
masih sangat dangkal. Kekristenan masih bercampur dengan tahyul dan perbuatan-
perbuatan yang bersifat magis. Selain itu pengaruh adat dan raja-raja kampung (regent)
begitu besar dalam kehidupan gereja. Raja-raja kampung itu beranggapan turut serta
menentukan segala sesuatu di dalam gereja. Tetapi kebiasaan-kebiasaan itu sangat
ditentang oleh Josef Kam dan pendeta-pendeta lainnya yang diutus oleh NZG.
Usaha-usaha dari Josef Kam di Maluku yang membuat gereja di sana mengalami
kemajuan dan pembaharuan antara lain ialah:
► Dia memilih pekerja-pekerja gereja dengan memperhatikan bakat-bakatnya.
► Dia menerbitkan buku-buku bacaan, majalah dan buku-buku Nyanyian Kristen atau
gereja.
► Dalam menunjang usaha penerbitan buku-buku bacaan Kristen itu, maka dia
mendirikan percetakan di Ambon.
► Dia mendirikan Sekolah Guru Jemaat (1821), supaya memperoleh tenaga yang
cukup untuk mengasuh jemaat-jemaat itu. (Catatan: tahun 1885, Gereja Protestan
Maluku yang diasuh pemerintah mendirikan sebuah sekolah guru Injil yang disebut
STOVIL – Schooltot Opleidiing van Indlanse Leeraren), yang tamatannya diangkat
sebagai pegawai pemerintah atau guru-guru sekolah yang diasuh oleh pemerintah.
28
► Mendirikan biduan suling sebagai alat musik di gereja. Sampai sekarang alat musik
suling itu masih tetap dipergunakan di Gereja Ambon.
► Dia mengusulkan supaya pekabar-pekabar Injil mendapat kuasa pemerintahan di
desa-desa. Tetapi usul ini tidak terlaksana, karena bertentangan dengan
kebijaksanaan pemerintah Belanda.
29
Kesulitan karena sikap pemerintah Belanda yang tidak mendukung usaha
mereka.
Kesulitan ekonomi.
Kesulitan politik yang dimaksud ialah gangguan dari Kesultanan Ternate dan
Tidore yang beragama Islam, yang sama sekali tidak menghendaki masuknya
kekristenan di daerah itu. Kedua kesultanan itu berusaha terus untuk mengislamkan
masyarakat Halmahera. Bagi penguasa Islam tersebut, menjadi Kristen sama dengan
menjadi Belanda. Banyak orang-orang Kristen di daerah Halmahera yang ditangkap
dan dipenjarakan oleh serdadu-serdadu kesultanan itu. Kesulitan yang kedua ialah
sikap pemerintah Belanda di tempat itu yang tidak mendukung usaha mereka.
Residen Belanda di Halmahera tidak berani berbuat apa-apa untuk membantu usaha
pekabaran Injil itu, dengan alasan agar bisa mempertahankan keamanan dan
ketertiban di daerah itu. Malah penguasa Belanda itu mengusulkan agar penginjil-
penginjil UZV itu segera meninggalkan daerah Halmahera. Jadi dengan demikian
sikap pemerintah Belanda itu adalah merupakan rintangan bagi usaha pekabaran
Injil yang digiatkan di sana.
Gerakan pengkristenan di Tobelo baru terjadi setelah masuknya raja mereka itu
menjadi Kristen. Tahun 1901 terjadilah pembaptisan massal atas 3200 orang Tobelo
itu. Tetapi sayang tenaga untuk memelihara dan membina iman mereka tidak cukup.
Untunglah di sana telah banyak orang-orang Ambon yang dipekerjakan sebagai
guru-guru sekolah zending. Mereka inilah yang turut membantu usaha pekabaran
Injil itu dengan cara memberi pengajaran Kristen terhadap orang-orang yang baru
dibaptis itu. Dari antara orang-orang Halmahera itu sendiri pun ada juga yang ikut
dipersiapkan untuk bisa dipekerjakan sebagai guru dan penginjil. Dengan cara
seperti itu maka kekristenan sudah tersebar di seluruh kepulauan Halmahera,
30
dengan tujuh ressort, yakni: Tobelo, Morotai, Galela, Loloda, Kau (Doding), Buli-
Weda, dan Jailolo. Namun banyak juga penduduk di sana yang belum Kristen,
terutama mereka yang sudah menganut agama Islam. Tetapi kemudian hubungan
antara Kristen dan Islam di daerah itu adalah cukup baik. Toleransi beragama sangat
terpelihara dengan baik sekali.
Gereja Halmahera sudah mulai mempersiapkan diri menjadi sebuah gereaja yang
mandiri tahun 1917. Tetapi karena pada waktu itu pengaruh pekabar-pekabar Injil
dari Eropa masih kuat dan tenaga pribumi belum ada yang mampu untuk memimpin
gereja itu, kemandirian itu baru bisa terwujud tahun 1947. Gereja itu diberi nama:
Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH). Pada dasawarsa berikutnya GMIH
mengalami suatu goncangan yang berat yang disebabkan oleh gerakan-gerakan
yang datang dari luar seperti: gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII),
PERMESTA, dan PKI.
1. Daerah Irian Jaya (Papua) agak lama baru mendapat perhatian dari dunia luar. Pernah
orang Portugis mencoba menduduki negeri ini setelah terlebih diadakan penyelidikan
tahun 1784. tetapi mereka segera meninggalkan tempat itu karena diketahui pantainya
kurang sehat untuk didiami. Tahun 1828 orang Belanda juga mencoba memasuki
daerah itu, tetapi mereka juga segera meninggalkannya dengan alasan yang sama.
Karena itu daerah Irian Jaya lama sekali menjadi daerah kesultanan Tidore dari Maluku
yang sudah mulai mengembangkan kekuasaannya di sana sejak abad 16. Tetapi orang
Belanda kemudian juga berusaha lagi untuk berkuasa di sana mulai tahun 1898. Namun
sebelum masuknya kekuasaan Belanda itu, tahun 1855 pekabar-pekabar Injil dari Eropa
telah memulai usaha pekabaran Injil di Irian Jaya. Adapun periodisasi sejarah gereja di
Irian Jaya adalah sbb:
1855 – 1924 : Perintisan dan permulaan Injil di Irian Jaya
1924 – 1942 : Masa pembinaan gereja oleh badan zending UZV
1942 – 1946 : Masa penginjilan pada waktu pendudukan Jepang dan perang dunia
II.
1946 – 1956: Pembangunan kembali gereja itu oleh badan zending UZV yang
kemudian berubah menjadi ZNHK (Zending der Nederlandsc Hervormde Kerk)
1956 – sekarang: Gereja Kristen Injili di Irian Jaya yang berdiri sendiri
2. 1855-1924. Pada thn 1855, ada 2 orang penginjil tukang (penginjil yang sambil bekerja
sebagai tukang) diutus dari Belanda, tiba di Irian Jaya yakni C.W. Ottow dan J.G.
Geissler. Keduanya adalah orang Jerman tetapi diutus dari Belanda. Mereka memulai
penginjilan itu di daerah Kwawi. Lalu kedua mereka disusul lagi tahun 1863 oleh 4
orang utusan zending UZV. Namun dalam waktu yang lama hasil pekerjaan mereka
tidak terus ada. Banyak kesuliatan mereka hadapi di daerah itu, a.l.:
Daerah itu sebagai sarang penyakit malaria.
Keadaan geografis yang sangat sulit: daerah pegunungan, hutan yang lebat dan jalan
yang tidak ada.
Penduduk yang sangat jarang sekali.
31
Adat istiadat suku-suku setempat yang sangat keras.
Daerah pantai yang pada umumnya sudah dikuasai oleh Islam.
Karena kesulitan-kesulitan tersebut, maka dari antara 18 tenaga UZV yang dikirim ke
Irian Jaya sampai tahun 1900, 6 orang meninggal, 3 orang pindah karena sakit, 3 orang
berhenti karena tidak sanggup, 3 orang dipindahkan ke pulau lain, hingga hanya 3 orang
yang bisa bertahan. Orang Irian Jaya yang pertama dibaptis terjadi tanggal 1 Januari
1865, oleh Geissler, yakni dua orang wanita. Empat tahun berikutnya bertambah tiga
orang laki-laki dan satu orang wanita. Selama masa waktu 25 tahun pengbinjilan di sana
(1855-1880), hanya 22 orang yang berhasil dibaptis, dan dalam 20 tahun berikutnya
sampai tahun 1900, bertambah lagi 209 orang, dan pembaptisan itu hanya terjadi di
Mansiman, Kwawi dan Andai. Sejak tahun 1907, penginjilan diperluas sampai ke
Sorong (Irian Barat), Pulau Biak dan Supiori di bagian Utara, ke Fak-fak di bagian
Selatan dan ke Senatani di bagian Timur. Tahun 1917 Pdt. Van Hasselt membuka
Sekolah Guru di pulau Mansiman yang diberi subsidi dari pemerintah. Tahun 1924, di
daerah ini sudah terbentuk 11 ressort, yang masing-masing dipimpin oleh pendeta
utusan UZV.
3. 1924-1942: Pada masa-masa ini usaha-usaha zending di setiap wilayah kerjanya makin
diintesifkan. Tahun 1925, pusat pendidikan Guru di Mansiman dipindahkan ke Miei di
Teluk Wandamen di bawah pimpinan Ds. I.S. Kijne. Sejak tahun 1929, karena zending
UZV kekurangan biaya (karena zaman Malaise), daerah penginjilan di Fak-fak dan
Babo diserahkan menjadi daerah asuhan GPM. Di jemaat yang sudah maju diangkatlah
penatua-penatua dan syamas-syamas (diaken-diaken), yang bersama guru jemaat
membentuk majelis jemaat.
32
Mengkonsolidasikan pekerjaan dan organisasi gereja (ressort, klasis dan jemaat).
Untuk ini didatangkanlah sejumlah tenaga pendeta dari Belanda.
Usaha pengembangan pendidikan dan sekolah-sekolah dengan bantuan pemerintah.
Membuka kembali Sekolah Penginjil di Miei.
Membuka kursus guru jemaat di Serui (P. Yapen) yang tahun 1954 ditingkatkan
menjadi Sekolah Theologia.
1952, menahbiskan pendeta yang pertama dari Irian Jaya, yakni Pdt. Rumainum,
setelah melalui kursus khusus.
Mempersiapkan pembentukan tata gereja yang berdiri sendiri pada Sinode tahun
1954.
6. 1956 – sekarang: Gereja Kristen Injili di Irian Jaya berdiri sendiri. Kemandirian gereja
itu mulai 26 Oktober 1956, dengan nama pada waktu itu: Gereja Kristen Injili di Irian
Barat. Tetapi sejak nama Irian Barat diganti menjadi Irian Jaya tahun 1973. Nama
gereja itu juga diganti menjadi: Gereja Kristen Injili di Irian Jaya. Anggotanya pada
permulaan kemandirian itu: 135.000 orang, yang terdiri dari 500 jemaat dan 200 bakal
jemaat. Sampai tahun 1962, pimpinan gereja sebagian masih dipegang oleh Belanda,
barulah sejak tahun 1962, semua unsur pimpinan sudah dipegang oleh orang Irian itu
sendiri. Tahun 1959, Sekolah Tinggi di Serui dipindahkan ke Abepura (dekat Jayapura),
yang sejak 1968 ditingkatkan menjadi sebuah Sekolah Tinggi Theologia. Sejak tahun
1959 itu, gereja ini telah bekerja sama juga dengan RMG/VEM untuk mengadakan
usaha pekabaran Injil di Lembah Balicum di Wamena dan juga di Angguruh.
7. Badan-badan zending yang lain yang bekerja di Irian Jaya. Selain UZV?ZNHK,
badan-badan zending yang lain yang pernah bekerja di Irian Jaya ialah:
Unevangelized Fields Mission (Amerika)
Region Beyrod Missionary Union (Amerika)
Evangelical Alliance Mission (Amerika)
Christian And Missionary (Amerika)
Mennonit (Belanda)
VEM (Verenigte Evangelische Mission) atau RMG
GEREJA-GEREJA DI SULAWESI
1. Ada delapan yang tergolong gereja Protestan ayang tumbuh di daerah Sulawesi, yakni:
Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM)
Gereja Masehi Injili Sangir dan Talaud (GMIST)
Gereja Masehi Injili Bolang Mongondow (GMIBM)
Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST)
Gereja Kristen Toraja Makale Rantepao
Gereja Toraja Mamasa
Gereja Protestan Sulawesi Tenggara (Gepsultara)
Gereja Kristen Sulawesi Selatan (GKSS)
33
Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM)
2. 1822-1875: Pekabaran Injil di Minahasa oleh NZG. Utusan pekabaran Injil NZG yang
pertama ke Minahasa ialah Miller dan Lammers. Ahanya sayang keduanya meninggal
dalam waktu yang singkat (1824 dan 1826). Setelah itu NZG juga bekerjasama dengan
gereja pemerintah (Protestan), di mana pemerintah juga menempatkan seorang pendeta
di Manado, yakni: Ds. Hellendoorn. Dia bekerja di sana sampai akhir hayatnya tahun
1839. Sejak itu bantuan dana juga telah diperoleh dari pemerintah untuk membina
kehidupan Kristen itu. Penginjil yang sangat terkenal di Manado ialah Riedel dan
Schwarz. Keduanya adalah orang Jerman yang mempunyai pendidikan di pusat
Pietisme Halle. Sesudah mereka tiba di Minahasa, mereka bekerja dengan sangat aktif,
sehingga kekristenan berkembang dengan cepat. Ada beberapa faktor yang turut
memperlancar usaha PI di Minahasa, yakni:
Daerah Minahasa yang sudah dirintis lebih dahulu untuk menerima Injil pada
zaman Portugis dan zaman VOC.
Keadaan geografis yang baik: penduduk rapat, dan hubungan lalu lintas baik.
Kontak yang sudah lama dengan pemerintah Belanda. Banyak anak-anak
Minahasa yang masuk ketentaraan Belanda.
Kebijaksanaan para pekabar Injil yang menempatkan tenaga dalam jumlah yang
besar.
Adanya pemeliharaan iman yang intensif: evangelisasi, khotbah, katekhisasi,
perkunjungan rumah tangga dan sekolah-sekolah yang diasuh zending.
Dipergunakannya bahasa daerah sebagai pengantar.
Tenaga-tenaga pribumi segera dipergunakan: guru sekolah, guru jemaat,
evangelis, dan bahkan pendeta (sejak tahun 1847).
Didirikannya sekolah-sekolah, rumah sakit dan pelayanan sosial.
34
3. 1876-1934: Gereja Minahasa di bawah naungan Gereja Protestan (Pemerintah).
Adanya perkembangan kekristenan yang sangat pesat di Minahasa pada periode II,
mengakibatkan NZG tidak sanggup lagi membiayai pekerjaan itu. Supaya pekerjaan itu
dapat berkelanjutan, jalan satu-satunya ialah menyerahkan pekerjaan itu kepada
pemerintah. Pemerintah menerimanya, dengan pertimbangan:
Pemerintah merasa wajib untuk memelihara warisan yang asalnya dari VOC,
walaupun jumlahnya telah diperkembangkan NZG dari 3000 orang menjadi 80.000
orang.
Pemerintah menyadari bahwa daerah Minahasa sangat penting artinya dalam politik
pemerintahannya.
Penyerahan itu dilakukan tahun 1876. Sejak itu semua pekerja yang fulltimer adalah
mendapat gaji dari pemerintah, mulai dari pendeta, pendeta pembantu, guru-guru
Injil dan guru-guru jemaat. Sejak tahun 1886, RK berusaha kembali masuk di
Minahasa. Walaupun sebenarnya pada waktu itu ada larangan pekabaran Injil
rangkap. Kegiatan RK melalui sekolah-sekolah dan rumah sakit sangat banyak
menarik perhatian penduduk setempat.
4. 1934-sekarang: Gereja dinamakan sebagai gereja yang berdiri sendiri dengan nama:
Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM). Artinya sejak tahun itu GMIM telah
mempunyai tata gereja sendiri. Tetapi walaupun sudah dikatakan berdiri sendiri, soal
keuangan masih tetap berhubungan dengan pemerintah di Jakarta. Anggaran belanjanya
sebagian besar masih dipikul oleh pemerintah Belanda. Hal itu masih terus berlaku
sampai tahun 1949, yakni ketika penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda ke RI.
Belakangan ini telah ada beberapa gereja/sekte yang memisah dari GMIM, yakni:
a. Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM), memisah tahun 1933.
b. Adventis
c. Pentakosta
35
2. Masuknya penginjil-penginjil tukang sejak tahun 1855. Pemerintah Belanda merasa
enggan mengambil alih bekas asuhan VOC itu kepada gereja Protestan, karena
pertimbangan biaya yang diperlukan. Untunglah ada jumlah penginjil-penginjil tukang
datang ke sana mulai tahun 1855. Mereka diutus dari negeri Belanda, kendatipun
kebanyakan mereka adalah orang-orang Jerman yang beraliran pietis. Mereka datang ke
sana dipimpin oleh Ds. Heldring. Dalam usaha pekabaran Injil itu mereka juga bekerja
sebagai tukang. Namun pekabar-pekabar Injil itu juga mengalami kesulitan karena
subsidi yang diberikan pemerintah Belanda sangat sedikit. Dan walaupun keterampilan
bertukang ada pada mereka, tidak mungkin mereka melakukan pekerjaan itu, karena
luasnya pekerjaan mereka dan penduduk setempat tidak ada yang membutuhkan hasil
pertukangan mereka. Akhirnya penginjil-penginjil tukang ini mengundurkan diri.
Tetapi kemudian suatu badan zending yang bernama “komite Jawa” bekerjasama
dengan UZV dan NZV berusaha memelihara jemaat-jemaat Protestan yang ada di sana
dengan membentuk sebuah badan yang bernama “Komite Sangir dan Talaud”.
3. Permulaan abad 20. Sejak permulaan abad 20 ini kekristenan Sangir dan Talaud
semakin berkembang. Hal itu disebabkan antara lain oleh:
a. Jumlah subsidi dari pemerintah Belanda makin ditingkatkan, yakni tiga perempat
dari anggaran belanaja dari gereja itu.
b. Dengan subsidi tersebut semakin banyaklah Pelayan Firman Allah (Verbi Divini
Minister) yang bisa dibiayai.
c. Usaha pendidikan makin ditingkatkan, termasuk kursus-kursus terhadap guru-guru
dan penginjil-penginjil.
Tahun 1934: Sejak tahun 1934 gereja ini telah dipersiapkan menjadi sebuah gereja
yang berdiri sendiri, tetapi pelaksanaannya baru bisa dilakukan setelah Perang Dunia II
tahun 1947 dengan nama: Gereja Masehi Injili Sangir dan Talaud (GMIST).
a. Gereja ini berdekatan dengan gereja Minahasa di Sulawesi Utara. Pada zaman VOC
sudah pernah ada sejumlah orang Kristen di sana, tetapi kemudian mereka murtad
menjadi kafir dan Islam, karena tidak ada pemeliharaan terhadap mereka. Pada abad 19
daerah ini sudah diislamkan oleh orang-orang Gorontalo, sehingga daerah itu menjadi
sulit dimasuki oleh Injil itu.
b. Kekristenan mulai kembali masuk ke daerah Bolang Mongondow baru pada permulaan
abad 20 ini, yakni melalui orang-orang Minahasa yang berpindah ke sana. Pada abad
sebelumnya NZG sudah meminta untuk bisa masuk ke sana, tetapi izinnya ditolak oleh
pemerintah Belanda. Baru pada abad 20 ini izin bisa diberikan, yakni setelah adanya
orang-orang Kristen Minahasa bermukim di sana.
c. Penginjil NZG yang pertama masuk ke sana ialah Dumnebier, tahun 1904. Dan tahun
ini dianggap oleh gereja tersebut sebagai tahun permulaan gereja di sana. Tetapi
masyarakat setempat yang pada umumnya sudah menjadi Islam sudah sulit masuk
menjadi Kristen. Anggota gereja di sana mayoritas adalah orang-orang Kristen
Minahasa yang berpindah ke sana. Tetapi keadaan ini telah menimbulkan kesulitan bagi
perkembangan gereja itu sendiri terutama dalam hal yang menyangkut kesatuannya,
karena sifat kedua sukku itu berbeda. Orang-orang Kristen Minahasa sudah lama
menjadi Kristen, sedangkan orang-orang Bolang-Mongondow itu sendiri masih baru
36
menjadi Kristen. Kesulitan yang lain juga karena bahasa mereka yang berbeda. Orang-
orang Kristen Minahasa itu sudah biasa memakai bahasa Melayu yang menjadi bahasa
persatuan dalam gereja, sedangkan orang-orang Bolang-Mongondow itu sendiri
berpegang kepada bahasa daerah itu sendiri.
d. Sinode yang pertama dari gereja itu terjadi tahun 1940, dan sekaligus sebagai penetapan
gereja itu menjadi gereja yang berdiri sendiri dengan nama: Gereja Masehi Injili Bolang
Mongondow, yang berpusat di Kotamobagu.
1) Usaha PI di Sulawesi Tengah dilakukan oleh NZG, mulai tahun 1893. Dua orang
utusannya yang pertama ialah Dr. A.C. Kruyt dan N. Adriani, seorang ahli bahasa dari
Lembaga Alkitab Belanda. A.C. Kruyt adalah anak dari J. Kruyt, yang pernah menjadi
penginjil di Mojowarno, Jawa Timur, dan adik dari H. Kruyt, penginjil pertama di
Tanah Karo. Semula mereka bermaksud bekerja di Gorontalo, karena di sana sudah ada
sebuah jemaat kecil yang anggotanya terdiri dari orang-orang Minahasa. Tetapi karena
perkembangan kekristenan di sana dirasa sudah sangat sulit sekali karena penduduknya
sudah beragama Islam, maka mereka pindah ke Poso Sulawesi Tengah, di mana
penduduknya masih banyak yang beragama suku. Di Sulawesi Tengah, A.C. Kruyt
berusaha menjadi kekristenan itu berakar dalam kehidupan masyarakat setempat,
janganlah agama Kristen itu dianggap sebagai “agama Belanda”. Untuk itu metode
yang dia lakukan ialah:
a. Mempelajari secara mendalam bahasa dan adat-istiadat daerah setempat. Bahasa
Melayu tidak dipergunakan, karena pada waktu itu bahasa tersebut dianggap oleh
masyarakat setempat sebagai bahasa pemerintah kolonial Belanda. Untuk budaya
dan adat-istiadat bahkan dalam hal yang menyangkut kepercayaan suku setempat,
A.C. Kruyt bisa menjadi ahli, dan menulis beberapa buku. Salah satu buku yang
ditulisnya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul: “Keluar
dari agama suku dan masuk menjadi Kristen”.
b. Kekristenan itu diusahakan bisa diterima secara kolektif, sesuai dengan sifat-sifat
suku itu, bukan secara individual. Tetapi dia tidak amu kekristenan itu diterima
secara dangkal sekali. Karena itu dia lebih dulu melakukan pengajaran kekristenan
yang memadai kepada masyarakat itu sebelum mereka dibaptis menjadi Kristen.
Agar kekristenan itu bisa diterima secara kolektif, maka dia berusaha mendekati
lebih dulu kepala-kepala suku atau kepala-kepala kampung. Dan memang orang
yang pertama dibaptis menjadi Kristen di daerah itu ialah seorang kepala suku
Topebato di sebuah aampung dekat Poso, yang bernama Papa Islam Wunte, tahun
1909. Pembaptisan yang pertama itu terjadi 16 tahun setelah mereka memulai
pekerjaan di sana. Itu menunjukkan bahwa dia tidak terlalu tergesa-tergesa untuk
melakukan pembaptisan itu sebelum adanya persiapan pengajaran yang cukup.
Kepala suku itu dibaptis bersama istrinya, dan 167 orang anggota masyarakat
sukunya. Sejak itu maka seringlah terjadi pembaptisan secara berkelompok,
sehingga tahun 1938, gereja Kristen sudah berdiri di seluruh suku-suku yang ada di
negeri itu.
c. Mengadakan pendidikan yang intensif. Untuk ini dia mendatangkan sejumlah guru-
guru sekolah dan guru-guru Injil dari Minahasa.
d. Mengadakan kursus-kursus pendidikan guru dan penginjil bagi penduduk setempat,
yakni di Pendolo (1913) dan Tentena, dibuka sebuah sekolah guru Injil tahun 1929.
37
Sejak tahun 1940, sekolah itu juga mendidik calon-calon pendeta bagi warga gereja
setempat.
e. Mendirikan ressor-ressort sebagai pusat pelayanan bagi jemaat-jemaat yang sudah
berdiri.
2. Pada tahun 1947, gereja ini diresmikan sebagai gereja yang berdiri sendiri. Bentuk gereja
ini ialah presbyterial-synodal, yang strukturnya mulai dari majelis jemaat – klasis –
synode. Jemaat diurus oleh majelis jemaat, klasis diurus oleh badan pekerja klasis yang
dipimpin oleh seorang pendeta yang dipilih oleh synode. Pusat dari gereja ini ialah di
Tentena Poso.
4. Usaha PI yang pertama di daerah Toraja Mamasa dilakukan oleh Gereja Protestan mulai
tahun 1912. Tetapi karena gereja itu tidak sanggup lagi meneruskannya, maka
pekerjaan itu diserahkan kepada Gereja Kristen Gereformeerd Belanda. Tahun 1927
gereja ini mengutus untuk pertama kali pekabaran Injil yang bernama Bikker. Pada
waktu itu dia telah menjumpai di sana sejumlah orang-orang Kristen dan beberapa
sekolah yang dipimpin oleh guru-guru Kristen dari Ambon. Sepuluh tahun sesudah itu
jumlah orang Kristen di sana bertambag menjadi 5000 orang dalam 30 jemaat.
Perkembangan yang lebih cepat terjadi setelah kemandirian gereja itu tahun 1948.
Seperti halnya gereja-gereja lain di Sulawesi Selatan, tahun 1950 gereja ini banyak
mengalami penderitaan dari gerombolan Darul Islam. Gereja ini berpusat di Mamasa
Sulawesi Selatan.
5. Pada permulaan abad 20 ini di kota Kendari Sulawesi Tenggara sudah berdiri sebuah
jemaat Kristen yang anggotanya terdiri dari orang-orang Ambon dan Minahasa yang
bekerja di sana. Tetapi pada waktu itu belum ada badan zending yang bekerja di sana.
Badan zending yang pertama bekerja di daerah ini ialah Nederlansche
Zendingsvereniging (NZV), dengan mengutus penginjilnya yang pertama bernama Van
der Klift, tahun 1915. tetapi pembaptisan yang pertama dilakukan atas penduduk
setempat baru terjadi tahun 1929 di Sanggona, sebanyak 50 orang. Kira-kira sepuluh
tahun berikutnya jumlah itu bertambah menjadi 3000 orang. Penginjilan di sana banyak
mengalami kesulitan dan hambatan karena pengaruh Islam yang sudah cukup kuat.
38
Orang-orang yang beragama suku hanya tinggal sedikit saja, dan merekalah yang
berhasil dikristenkan. Tahun 1950an, orang-orang Kristen di sana juga mengalami
penderitaan dari gerombolan Darul Islam. Kantor Pusat dari gereja itu di Lambuya
habis dibakar. Tetapi setelah itu pusatnya dipindahkan ke kota Kendari. Gereja ini
mulai berdiri sendiri tahun 1957.
6. Sejak VOC menduduki daerah Sulawesi Selatan tahun 1667, di sana telah berdiri
beberapa jemaat VOC, antara alain di Makassar, Bontain, Bulukumba dan Salayar.
Tetapi usaha PI kepada penduduk setempat tidak dilakukan sama sekali. Usaha PI di
daerah itu mula-mula dipelopori oleh seorang pendeta GPI yang bernama Toewater,
tahun 1840 dan Dr. Matthes yang diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk
menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa daerah setempat. Dr. Matthes inilah yang
mengusulkan supaya NZG memulai usaha PI di sana. Itu dilakukan oleh NZG mulai
tahun 1851 dengan mengutus beberapa orang penginjil ke sana. Tetapi selama 13 tahun
usaha penginjilan itu dilakukan oleh NZG, hasilnya tidak ada, sehingga pekerjaan itu
terpaksa dihentikan. Kemudian sejak tahun 1895 badan zending NZV mencoba usaha
PI ke sana, tetapi setelah selama 10 tahun hasilnya juga tidak ada, maka penginjil-
penginjil NZV itu akhirnya dipindahkan ke Halmahera Maluku. Usaha PI yang ketiga
dimulai tahun 1933 yang dilakukan oleh GPI dan juga Gereja Gereformeerd dari pulau
Jawa. Gereja Protestan itu menempatkan seorang pendeta dan sejumlah guru sekolah
untuk bekerja di sana. Sedangkan gereja Gereformeerd membuka sebuah rumah sakit di
Labuang Baji, Sulawesi Selatan, beserta sebuah gereja, sekolah dan rumah bacaan.
Sesudah Perang Dunia II, usaha kedua gereja itu dipersatukan dan mendirikan sebuah
sekolah penginjil di Makassar. Rumah sakit di Labuang Baji itu pun makin
ditingkatkan. Tahun 1965, gereja ini menjadi sebuah gereja yang berdiri sendiri, yang
berpusat di kota Ujung Pandang.
A.
Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)
1. Gereja di Timor memperlihatkan gambaran dan latar belakang yang beraneka ragam.
Ada jemaat yang sudah tua yang berasal dari zaman VOC, ada jemaat-jemaat hasil PI
NZG dan ada jemaat-jemaat baru hasil PI yang dilakukan oleh Gereaja Timor itu
sendiri. Gereja di sana telah melalui sejarah yang cukup panjang ayang periodisasinya
dapat dibagi sbb:
1556-1612 : permulaan kekristenan di zaman Portugis.
1612-1800 : Gereja Timor pada masa VOC.
1800-1942 : Gereja Timor pada masa pemerintah kolonial Belanda.
1942-1945 : Gereja Timor pada masa pendudukan Jepang.
1945-1947 : Masa persiapan pembentukan GMIT.
1947-sekarang: GMIT sebagai gereja yang berdiri sendiri.
39
2. Seperti yang sudah diuraikan di atas, bahwa pada zaman Portugis, penginjil-penginjil
RK dari Ordo Dominikan sudah pernah melakukan penginjilan di beberapa daerah di
Timor, tetapi hasilnya tidak seberapa banyak.
a. Tahun 1612 pendeta Belanda yang pertama bekerja di Indonesia, yakni Ds. M. van
den Broek adalah bertempat di Kupang. Tetapi ketika pendeta-pendeta Belanda
diminta supaya menuruti segala kemauan penguasa VOC, ada juga dari antara
pendeta-pendeta itu yang tidak merasa senang menuruti kemauan itu begitu saja,
termasuklah Ds. M. van den Broek itu. Karena tidak mau tunduk begitu saja kepada
perintah VOC, dia terpaksa kembali ke negerinya tahun 1615. Sejak itu daerah
Timor hampir tidak mendapat perhatian lagi. Dan penempatan pendeta di sana tidak
terus lagi dilakukan, hanyalah pada tahun 1670-1688 dan 1753-1758. Di luar waktu
tersebut jemaat-jemaat di Timor ditempatkan di bawah pengawasan gereja VOC
dari Jakarta. Pulau Rote baru dimasuki Injil tahun 1730 dan pulau Sawu tahun 1750.
Akan tetapi pemeliharaan orang-orang Kristen di daerah itu tidak dilakukan,
sehingga ketika PI diusahakan kembali ke tempat itu tahun 1872 oleh NZG, di sana
hampir tidak dijumpai lagi adanya sisa-sisa penginjilan sebelumnya.
b. Setelah terjadi peralihan dari VOC kepada pemerintah kolonial Belanda, maka
pemerintah Belanda tidak sanggup memelihara jemaat-jemaat peninggalan VOC itu.
karena itu NZG turut membantu dengan memberikan beberapa orang tenaga kepada
pemerintah. Tenaga-tenaga yang diberikan oleh badan zending itu biasanya lebih
aktif dari pendeta-pendeta Belanda yang ditempatkan oleh pemerintah. Namun
tenaga-tenaga yang diberikan oleh zending itu juga dibiayai oleh pemerintah, tentu
dengan gaji yang jauh lebih rendah dari pendeta yang ditempatkan oleh pemerintah.
Pekerja NZG ayang paling terkenal di daerah Timor ialah Ds. De Bruyn, yang
ditempatkan di Kupang tahun 1820. Dengan berbagai usaha dia mencoba
memperbaiki keadaan gereja yang di sana yang sudah hampir kehilangan
anggoatanya karena sudah berpuluh-puluh tahun diabaikan.
B
Gereja Kristen Sumba (GKS)
1. Karena pulau ini agak terpencil, maka sampai pertengahan abad 19 yang lalu, pulau ini
tidak mempuanyai hubungan yang berarti dengan daerah-daerah lain. VOC tidak
mengadakan pemerintahan di sana, karena hasilnya kurang memuaskan. Dan
pemerintah Belanda juga merasa enggan masuk ke daerah itu karena banyaknya
perompak-perompak pantai di sana. Baru pada tahun 1906 pemerintah Belanda mulai
berkuasa di pulau itu. Tetapi sebelum itu residen dari Timor telah mengambil
kebijaksanaan untuk memindahkan sebagian penduduk pulau Sawu ke pulau Sumba,
karena penduduk pulau Sawu sudah terlalu padat. Orang-orang yang dipindahkan dari
pulau Sawu itulah yang pertama membawa Injil ke pulau Sumba, karena sebagian besar
dari antara mereka sudah beragama Kristen. Mereka ini mula-mula dibimbing oleh
seorang guru Injil asal orang Ambon. Ini terjadi di antara tahun 1870-1875. Kemudian
atas dorongan residen Esser, badan zending NGZV mengutus seorang pekabar Injil dari
pulau Sumba tahun 1881, yang bernama J.J. van Alphen. Kemudian seorang pekabar
Injil dari pulau Sawu di Sumba. Tetapi dalam usaha untuk mengabarkan Injil di tengah-
tengah suku Sumba itu, para penginjil itu menghadapi banyak kesulitan antara lain:
Kuasa raja-raja yang sangat besar dan sifatnya yang masih sangat kolot sehingga
menentang penduduk untuk masuk menjadi Kristen.
Masyarakat di sana terbagi atass tiga kasta yakni: kasta raja-raja, kasta orang-orang
merdeka dan kasta hamba-hamba.
Penduduknya sangat jarang dan hidup berjauhan, sehingga mereka sulit ditemui.
Perhubungan dengan pulau-pulau lain juga sulit, sehingga hubungan mereka dengan
dunia luar menjadi kurang.
41
Penduduk yang masih kolot, dan tidak terbuka kepada kemajuan.
Kuasa kekafiran yang besar.
2. Salah satu usaha yang dilakukan oleh para penginjil itu untuk mengatasi kesulitan-
kesulitan tersebut ialah dengan mendirikan sekolah-sekolah rakyat mulai tahun 1910.
sekolah-sekolah itu semakin dapat menunjang kemajuan usaha penginjilan di sana
setelah pemerintah mengeluarkan: “Sumba Accaord” tahun 1913 seperti halnya yang
terjadi pulau Timor. Isi dari peraturan itu ialah: Pemerintah menyerahkan segala usaha
pendidikan di Sumba ke tangan pekabar-pekabar Injil, dengan menerima subsidi dari
pemerintah. Pembaptisan yang pertama atas orang-orang Sumba itu baru terjadi tahun
1915. Dan sejak itu jumlah orang-orang Kristen di sana semakin bertambah, hingga
tahun 1940 tercatatlah sebanyak 6500 orang yang terkandung dalam 11 jemaat. Tetapi
tahun 1939 telah terjadi perpecahan dalam gereja di Sumba. Sebabnya ialah karena
seorang pekabar Injil pribumi dipecat dari jabatannya, oleh karena dia melakukan suatu
kesalahan yang menyangkut jabatannya. Tetapi yang dipecat itu tidak menerima
tindakan yang diberikan atas dirinya sehingga dia memisahkan diri dan memabawa
sebagian anggota jemaat pengikutnya. Mereka menggabungkan diri kepada salah satu
gereaja Gereformed yang baru berdiri di negeri Belanda. Sejak tahun 1947, Gereja
Kristen Sumba telah menjadi sebuah gereja yang berdiri sendiri yang berpusat di
Waingapu, Sumba. Pada waktu itu jumlah anggotanya masih sekitar 5000 orang. Tetapi
sekarang ini jumlah anggota gereja tersebut diperkirakan telah ada sekitar 14000 orang.
1. Perintis PI di Pulau Bali. Bali termasuk daerah paling lama tertutup untuk usaha PI.
Pulau itu sejak abad 15 merupakan benteng pertahanan agama Hindu yang diusir dari
Jawa, setelah kerajaan Islam menguasai Jawa. Walaupun VOC sejak semula telah
berkuasa di Bali, namun usaha PI sama sekali tidak dilakukan di pulau itu. pada tahun
1630, seorang pendeta VOC yang bernama Heurnius, sudah mengajak VOC supaya
memberitakan Injil di pulau Bali, namun ajakan itu tidak diacuhkan sama sekali oleh
VOC. Yang lebih dipentingkan oleh VOC ialah embeli budak-budak dari pulau itu.
Tahun 1866, masuklah UZV ke Bali, dengan mengutus dua orang pekabar Inil ke sana.
Tetapi baru setelah tujuh tahun pekerjaaan itu dilakukan di sana, ada seorang orang Bali
yang dibaptis menjadi Kristen yakni Gusti Wayan Karangasem, tahun 1873. Namun
masuknya Karangasem menjadi Kristen bukanlah merupakanawal dari perkembangan
kekristenan di sana. Masyarakat Bali itu sendiri sangat benci dengan masuknya Wayan
Karangasem itu menjadi Kristen. Dia dibuang dari keluarganya,dikucilkan dari
masyarakat, dihina bahkan dianggap sebagai orang asing, sehingga dia hidup terpencil.
Sikap keluarga dan masyarakat Bali yang sangat keras kepadanya, membuat dia tidak
bisa bertahan dalam kekristenan itu. Dan anehnya, dia menjadi marah kepada pekabar
Injil yang telah membaptiskannya, sehingga dia berusaha membunuh pekabar-pekabar
Injil itu. Hal itu berhasil dilakukan melalui pelayan-pelayan pekabar Injil itu sendiri
yang adalah orang-orang Bali juga. Jadilah kedua pekabar Injil itu mati terbunuh atahun
1881. tetapi akibat dari perbuatannya itu Wayan Karangasem menjalani hukuman mati,
dan pulau Bali ditutup oleh pemerintah Belanda untuk segala usaha pekabaran Injil.
2. Berdirinya gereja di Bali. Pada tahun 1929, seorang kolportir (penjual buka) yang
diutus oleh CAMA (kemah Injil) dari Makassar, bernama Tsang Kam Fock (Tsang To
42
Hang) mendapat izin memasuki pulau Bali untuk menjual buku-buku kepada orang-
orang Tionghoa yang ada di pulau itu. tetapi pada waktu penjualan buku-buku itu,
sambil lalu dia juga mengadakan penginjilan atau evangelisasi. Oleh karena penginjilan
yang dilakukan banyak orang Bali yang minta untuk dibaptis. Tanggal 11 Nopember
1931 ada sebanyak 12 orang Bali yang dibaptis. Dan pada tahun 1931, ketua CAMA
dari Makassar, yaitu Dr. Jaffray dimintakan datang ke pulau Bali untuk membaptiskan
sebanyak 113 orang Bali. Dengan demikian berdirilah jemaat Kristen Bali yang
pertama. Tetapi pemerintah koloniaal Belanda tidak menghendaki kejadian itu dan
perbuatan itu dianggap sebagai pelanggaran atas peraturan yang sudah ditetapkan.
Karena itu tahun 1933 izin untuk menjual buku bagi sang kolportir tersbut dicabut
kembali oleh pemerintah Belanda, dan kolportir itu diusir dari sana. Sebenarnya yang
ditakutkan oleh pemerintah Belanda atas usaha penginjilan di sana ialah hilangnya
kebudayaan Bali yang sangat unik itu apabila kekristenan masuk ke sana. Setelah
kolportir dari CAMA itu diusir oleh pemerintah Belanda, maka orang-orang Kristen
yang baru dibaptis itu sempat menjadi terlantar. Hal itu terdengar bagi Dr. Hendrik
Kramer, seorang yang bekerja sebagai penasehat penginjilan Belanda. Dia
menganjurkan agar “Gereaja Kristen Jawi Wetan” (GKJW) atau Gereaja Kristen Jawa
Timur berusaha untuk menampung orang-orang Kristen Bali yang pertama itu. GKJW
mengikuti ajaran itu, sehngga tahun 1933, gereja itu mengutus dua orang pendeta Jawa
ke Bali, yakni Mas Tartib Eprajim dan Mas Darmaadi. Mereka tidak memerlukan izin
memasuki Bali, karena mereka adalah orang-orang pribumi. Mereka sangat giat berkeja
di sana, dan dengan bantuan H. Kraemer, mereka juga memperjuangkan agar
pemerintah Belanda memberi kebebasan bagi orang-orang Bali untuk memilih
agamanya. Kraemer juga berusaha agar di Bali terwujud sebuah gereja yang berdiri
sendiri. Namun dalam melakukan usaha penginjilan di Bali, banyak kesulitan yang
dihadapi oleh pendeta-pendeta tersebut, antara lain:
Kesulitan dari pihak pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda merasa khawatir,
bahwa apabila kekristenan memasuki Bali, tatanan kehidupan masyarakat Bali itu
sendiri akan terganggu. Pemerintah Belanda melihat bahwa tatanan masyarakat Bali
itu banyak bersangkut paut dengan agama setempat yakni agama Hindu dan Budha.
Orang-orang Eropa pada umumnya sangat tertarik kepada kebudayaan Bali itu.
Mereka khawatir bahwa kebudayaan Bali yang unik itu bisa hancur oleh kekristenan
itu sendiri. Kebudayaan di sana, seperti seni tari, pahat dan lain-lain, menjadi tidak
berartai apa-apa lagi jika tidak berakar dengan agama masyarakat setempat.
Kesulitan dari pihak masyarakat Bali itu sendiri. Masyarakat Bali merupakan satu
kesatuan yang tidak mengizinkannya kemerdekaan pribadi anggota-anggotanya. Raja-
raja berkuasa dan berusaha untuk menjaga agar kesatuan itu jangan terganggu oleh
adanya orang-orang yang memilih jalannya sendiri. Keagamaan mereka tidak terepas
dari kehidupan mereka sehari-hari, seperti kebiasaan gotong-royong untuk
memperbaiki jalan, saluran air, dll.
3. Gereja Kristen Protestan Bali menjadi gereja yang berdiri sendiri. Pada zaman
Jepang, gereja Bali yang masih muda itu sangat menderita, tanpa adanya pertolongan
dari lauar dan belum ada pendeta mereka yang dapat melayani sakramen. Tetapi situasi
itu telah memberanikan adanya seorang dari antara waraga gereja itu yang bernama
Made Rungu, pergi ke Mojowarno (pusat GKJW), pada tahun 1943. Lalu di sana dia
menerima pendidikan istimewa untuk menjadi pendeta dan ditahbiskan menjadi pendeta
43
pertama orang Bali. Kemudian dia kembali dan memimpin gereja itu sebagai gereja
yang berdiri sendiri. Setelah kemerdekaan Indonesia, gereja Bali itu bisa merasa
beruntung, karena sejak itu di seluruh Indonesia sudah ada kebebasan beragama. Tetapi
dari tahun 1950-1954, masyarakat di sana sempat tidak mengizinkan tenaga pekabar
Injil dari luar bekerja di sana. Baru pada tahun 1954, seorang pekabar Injil diminta
untuk membuka lagi pendidikan pengiNjilan. Namun kekristenan itu tidak banyak
meluas di tengah-tengah masyarakat Bali. Tahun 1975, jumlah anggota Gereja ini
hanya 4700 orang. Belakangan selain GKPB, di Bali telah banyak berdiri gereja lain,
seperti: GPIB, HKBP dan anggota gereaja Katolik sendiri telah ada kira-kira 8000
orang. Gereja GKPB berpusat di Balun, Denpasar-Bali.
GEREJA-GEREJA DI KALIMANTAN
1. Gereja Kalimantan Evangelis (GKE). Periodisasi sejarah GKE: Dr. Fridolin Ukur
dalam bukunya: Tantang Jawab Suku Dayak, membuat periodisasi sejarah GKE, sbb:
1835-1920: Masa pembukaan dan penggarapan yang pertama oleh Rheinische
Missionsgesselschaft (RMG).
1920-1935: UPI di Kalimantan dialihkan oleh RMG ke tangan Basler Mission
(BM).
1935-sekarang: Gereja Kalimantan menjadi gereja yang berdiri sendiri.
Sebelum abad 17, missi RK memang sudah pernah mencoba memasuki daerah
Kalimantan bagian Selatan, yaitu melalui orang-orang Portugis yang berusaha
memperoleh pangkalan-pangkalan perdagangan. Pada waktu itu, ada beberapa
orang Dayak yang sempat dibaptiskan, tetapi akhirnya mereka menjadi murtad,
dan missioner RK yang bernama Ventimiglia itu mati terbunuh tahun 1691. Jadi
usaha itu gagal sama sekali. Usaha PI Protestan di Kalimantan mulai tahun 1835,
yang dilakukan oleh pekabar-pekabar Injil RMG di Jerman. Masuknya PI RMG di
Kalimantan adalah berdasarkan lapaoran dari seorang pendeta Inggris yang
bernama Medhurst, yang bekerja di kalangan orang-orang Tionghoa di Batavia.
Tahun 1829 dia pernah mengunjungi Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan,
dan memberi laporan mengenai hasil kunjungannya itu kepada masyarakat Kristen
Eropa. Tetapi laporannya itu terlalu optimis, karena dalam laporan itu dia
menggambarkan daerah Kalimantan sebagai daerah yang sangat subur untuk
usaha penginjilan. Laporannya itu dipublikasikan di Eropa, sehingga dengan
membaca laporan itu pimpinan zending RMG tertarik untuk mengutus penginjil-
penginjilnya ke Kalimantan, walaupun pada waktu itu RMG telah mempunyai
lapangan penginjilan di Namibia, Afrika Selatan.
Pada tahun 1834, RMG mengutus dua orang penginjilnya ke Kalimantan, tetapi di
Jakarta mereka sempat ditahan oleh pemerintah Belanda, tidak diberi izin untuk
memasuki daerah Kalimantan, karena dikhawatirkan kedatangan mereka di sana akan
mengganggu keamanan dan ketertiban di daerah itu. Tetapi setelah kedua penginjil itu
berjanji tidak akan memberi ajaran-ajaran yang memungkinkan timbulnya
pemberontakan dari masyarakat setempat kepada pemerintah Belanda, barulah mereka
diizinkan memasuki Kalimantan. Mereka tiba di daerah itu tahun 1835. Salah seorang
di antara mereka bernama Barnstein. Di Kalimantan, mereka menetapkan Banjarmasin
sebagai pangkalan untuk usaha PI. Lalu tahun 1836, RMG menambah penginjil itu
sebanyak empat orang lagi ke Kalimantan. Dan dari tahun 1849-1850, selain utusan
44
RMG, ada juga utusan penginjil dari Amerika ke Pontianak dan sekitarnya. Sehingga
sampai tahun 1857, telah ada sebanyak 20 orang penginjil yang bekerja di Kalimantan,
yang diutus oleh suatu badan zending yang lain dari Amerika.
c. Setelah perang Hidayat yang telah menewaskan sejumlah pekabar Injil itu, maka
untuk beberapa waktu lamanya daerah pedalaman Kalimantan ditutup oleh
pemerintah Belanda untuk usaha PI. Baru pada tahun 1899, pemerintah Belanda
kembali mengizinkaan masuknya usaha PI dengan membuka pangkalan-pangkalan
penginjilan di pedalaman. Pada waktu itu keadaan masyarakat Dayak sudah
mengalami banyak perubahan. Orang-orang Dayak itu menyadari berkat dan
keuntungan yang dibawa oleh para missionar itu bagi masyarakat mereka. Karena
itu mereka semakin terbuka untuk menyuruh anak-anak mereka untuk memperoleh
pendidikan di sekolah-sekolah yang diasuh oleh zending itu demi kemajuan mereka.
Sejak tahun 1881, mulailah berdiri beberapa jemaat di daerah-daerah sungai Kapuas
dan Kahayan Ilir. Dan sejak itu jumlah orang-orang Kristen di beberapa pusat
penginjilan juga semakin bertambah. Namun jumlah orang-orang Kristen itu belum
sebanding dengan tenaga dan usaha yang dikerahkan oleh zending RMG, khususnya
dalam kurun waktu 1866-1904. Tahun 1885 jumlah orang-orang Kristen masih
sebanyak 1000 orang, tahun 1901 sebanyak 2000 orang. Perkembangan yang lebih
pesat baru mulai tahun 1911, dengan jumlah orang Kristen pada waktu itu sebanyak
3000 orang dan tahun 1920 sebanyak 5000 orang.
d. Periode kedua. Sejak tahun 1920, RMG menyerahkan pekerjaan zending itu kepada
Basler Mission atau Zending Basel dari Swiss. Adapun alasan RMG menyerahkan
pekerjaan itu kepada Basler Mission ialah karena kesulitan keuangan yang dialami
oleh RMG. Sejak kekalahan Jerman dalam PD II, terjadilah kesulitan ekonomi di
negeri itu yang pengaruhnya juga sampai kepada keuangan RMG. Pada waktu itu
daerah Tapanuli yang diasuh oleh RMG sejak tahun 1861 mengalami kemajuan
yang sangat pesat dalam usaha penginjilan yang digiatkan. Jadi agar RMG bisa
lebih mengkonsentrasikan potensi untuk makin menggiatkan penginjilan di Tanah
Batak, maka RMG melepaskan usaha penginjilan di Kalimantan dan
menyerahkannya ke Basler Mission (BM). BM menerima pekerjaan itu dengan
senang hati, dengan tidak melakukan perubahan yang luar biasa terhadap apa yang
sudah dimulai oleh RMG, walaupun latar belakang BM agak berbeda dari latar
belakang RMG. Penginjil-penginjil RMG lebih banyak berlatar belakang Lutheran
sedang penginjil-penginjil BM pada umumnya berlatar belakang Calvinis atau
Reformed. Dalam pengajaran kekristenan yang diberikan, BM masih tetap
mempergunakan Katekhismus Lutheran. Pada tahun 1932 untuk pertama sekali
Sekolah Pendeta dibuka di Banjarmasin, dan hasilnya tahun 1935, untuk pertama
kali lima orang pendeta Dayak yang pertama ditahbiskan. Sejak tahun 1953, sekolah
46
pendeta ini ditingkatkan menjadi Sekolah Theologia Menengah agar gereja itu bisa
memperoleh tenaga-tenaga pendeta yang mempunyai tingkat pendidikan theologia
yang lebih tinggi. Belakangan sekolah ini juga sudah ditingkatkan menjadi sebuah
Sekolah Tinggi Theologia yang menghasilkan pendeta-pendeta yang berprdeikat
Sarjana Theologia.
e. Periode ketiga. Mulai 4 April 1935 gereja ini mulai dinyatakan sebagai sebuah
gereja yang berdiri sendiri, dengan namanya pada waku itu: “Gereja Dayak
Evangelis”. Tahun 1939, jumlah anggota gereja itu tercatat sebanyak + 15000
orang, 16 orang pendeta, 33 orang pambrita/pemberita, 158 orang guru, 26 orang
pembantu perawat, seorang kolportir dan seorang dokter. Di samping itu masih ada
sebanyak 40 orang lagi pekerja zending dari luar. Sejak tahun 1950 nama gereja ini
diubah menjadi: “Gereaja Kalimantan Evangelis” (GKE), dengan maksud supaya
wawasannya jangan hanya meliputi suku Dayak saja tetapi meliputi seluruh
masyarakat Kalimantan. Sampai sekarang hubungan GKE dengan Basler masih
tetap berjalan dengan baik. Misalnya dalam soal pembangunan dan tenaga-tenaga
pendidikan teheologi, GKE masih menerima bantuan dari BM. Salah seorang
tenaga pendidikan theologi yang pernah diberikan oleh BM kepada gereja itu ialah
Dr. Christof Barth, yang setelah dari Banjarmasin juga pernah mengajar di STT
Jakarta.
47
GEREJA-GEREJA DI JAWA TIMUR DAN JAWA TENGAH
48
ini menjadi suatu tantangan bagi penginjilan, karena bagi pencari ngelmu itu Ratu
Adil-lah yang dianggap sebagai pelepas manusia.
Persoalan bentuk kekristenan. Persoalan yang lain ialah mengenai bentuk kekristenan
yang diterapkan, apakah kekristrenan itu dibentuk secara Barat atau Jawa. Dalam hal
ini, para misionaris itu tidak sependapat karena ada yang mengatakan harus dibentuk
secara Barat karena ke-Jawa-an dianggap sebagai kekafiran, tetapi ada yang
berpendapat kekristenan harus dibentuk secara Jawa.
Tantangan dari raja-raja setempat/Penghulu-penghulu. Raja-raja atau penghulu-
penghulu desa banyak yang menghambat kekristenan itu, karena mereka merasa
dirugikan oleh kehadiran kekristenan itu. Dengan datangnya kekristenan, fungsi
mereka untuk meresmikan pernikahan menjadi berkurang, karena dalam kekristenan
pemberkatan perkawinan dilakukan oleh para pendeta.
Emde (1774-1859). Dia adalah seorang Jerman yang beraliran pietis yang datang
merantau ke Indonesia di mana ia ingin melihat dengan mata dankepala sendiri
apakah benar perkataan dari Kej. 8:22 tentang musim dingin dan musim panas tidak
sesuai dengan keadaan iklim di daerah khatulistiwa. Pada mulanya ia bekerja
sebagai tukang arloji di Surabaya tetapi kemudian menjadi tentara Belanda. Sejak
49
tahun 1815, ia telah mendirikan sebuah perkumpulan PI di rumahnya di mana ia
mengadakan pertemuan-pertemuan agama Kristen. Alat-alat untu PI itu
diperolehnya dari Brueckner, yakni seorang PI yang diutus oleh lembaga PI Baptis
dari Inggris selama masa pemerintahan Inggris sementara yang sempat terjadi di
Indonesia. Atas desakan Emde, Brueckner sempat menterjemahkan kitab PB ke
dalam bahasa Jawa dan menulis beberapa surat selebaran yang berbahasa Jawa
tetapi semuanya itu kemudian di sita oleh pemerintah Belanda seperti sudah di
singgung di atas. Mula-mula pekerjaan Emde ini tidak banyak membawa hasil.
Pendeta GPI di Surabaya yang memandang dia sebagai saingan mengadukan
perbuatannya itu kepada pemerintah. Akibatnya Emde ditangkap dan sempat
dipenjarakan selama beberapa minggu (1820). Tetapi kemudian sikap GPI menjadi
lebih positif. Setelah Emde pensiun dari pekerjaannya sebagai tentara, ia
memperoleh sebidang tanah di Wiung dan menjadikan sebuah perkampungan di
sana. Di tempat ini ada sekelompok orang yang taat beragama yang merasa tertarik
kepada kekristenan. Emde melayani mereka dan mengajarkan kekristenan yang
bercorak Barat kepada mereka. Sikapnya terhadap klebudayaan Jawa sangat negatif
dan dianggap sebagai kekafiran. Di Wiung, berbeda dengan perbuatan Coolen orang
Kristen itu dibaptiskan dan dilayani Sakramen. Karena orang-orang Kristen Wiung
dibentuk dalam corak kebudayaan Eropa maka dia sangat dicela oleh masyarakat
Jawa yang beragama Islam dan orang-orang Kristen itu dijuluki sebagai “orang-
orang Belanda tanpa topi atau Belanda tanpa kursi atau orang Kristen Londo”,
artinya orang yang kebelanda-belandaan. Anak perempuan Emde kemudian juga
menjadi seorang penginjil wanita.
Paulus Tosari. Nama aslinya adalah Kasan, berasal dari Madura. Pada mulanya dia
adalah seorang pencari ngelmu, tetapi kemudian bergabung dengan kelompok
Coolen di Ngoro. Tetapi karena dia bersama sebagian kelompok Coolen itu
menuntut baptisan, maka mereka diusirnya dari Ngoro, sehingga mereka
mendirikan sebuah desa baru bernama Mojjowarno (1844). Di sini Paulus Tosari
menjadi guru jemaat kecil ayang baru terbentuk, yang anggotanya hanya terdiri dari
orang-orang Jawa saja. Di kemudian hari Paulus Tosari menjadi pendeta yang
pertama dari putra Jawa asli.
2. 1850-1931, Perkembangan Gereja Jatim dengan Bimbingan NZG. Pada tahun 1850,
masuklah badan zending NZG ke Jatim, setelah memperoleh izin dari pemerintah
Belanda. Utusannya yang pertama ialah Jelessma (1817-1858). Mula-mula dia menetap
di Surabaya, tetapi kemudian pindah ke Mojowarno (1851), bergabung dengan jemaat
Kristen Jawa yang dipimpin oleh Paulus Tosari. Di sini dia tidak mengambil pimpinan
jemaat itu. Pimpinan tetap dibiarkan berada di tangan Paulus Tosari. Dia yakin bahwa
usaha PI itu akan lebih maju kalau diselenggarakan oleh putra daerah sendiri dengan
cara yang sesuai dengan lingkungan setempat. Dalam hal ini sikapnya berada antara
sikap Emde dan Coolen. Kalau Coolen terlalu bersikap positif terhadap budaya Jawa
dan Emde terlalu bersikap negatif, maka Jelessma bersikap selektif, yakni memilih dari
unsur budaya itu yang tidak berlawanan dengan kekristenan. Dia mempunayai
kerjasama yang baik dengan Paulus Tosari. Usaha-usaha Jelessma dan zending NZG
yang terutama di Jawa Timur ialah:
Mengusahakan penterjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jawa
50
Menentang pendirian Coolen yang menolak baptisan dan perjamuan kudus
Menentang sikap Emde tentang kekristenan Londo (yang kebelanda-belandaan).
Kebudayaan daerah tidak usah dihapuskan sama sekali.
Mempergunakan tenaga-tenaga pribumi untuk UPI itu.
Mendirikan sekolah penginjil yang pertama di pulau Jawa, yakni di Mojowarno.
Menganjurkan supaya orang Kristen membuka tanah di Mojowarno dan di daerah
Malang. Pembukaan tanah itu dimaksudkan sebagai sarana penunjang terhadap
usaha PI. Pada mulanya Mojowarnolah yang dijadikan sebagai pusat kekristenan
dan gereja di Jatim, tetapi kemudian dipindahkan ke Malang.
Mendirikan sebuah rumah sakit diMojowarno (1892) yang dipimpin oleh dokter
Bervoets. Pelayanan rumah sakit ini sangat baik, sehingga sampai sekarang rumah
sakit ini sangat terkenal. R.A. Kartini sangat tertarik kepada usaha ini, dan dia
sempat bermaksud hendak mengikuti pendidikan bidan di sana.
Di kemudian hari (1925, NZG mendirikan sekolah pendeta di Malang, ayang tahun
1928 diberi nama: Bale Wyoto, yang dipimpin oleh Dr. Shurman dan Nortier.
1. Pendahuluan. Nama Gereja Kristen Jawa Tengah baru muncul atahun 1949, ketika
nama disatukan menjadi satu gereja semua orang Kristen di Jawa Tengah yang berasal
dari hasil penginjilan perorangan, maupun hasil penginjilan beberapa badan zending
seperti NZG di bagian Utara Jawa Tengah dan NGZV di bagian Selatan. Tetapi nama
itu tidak bisa dipertahankan, karena gereja-gereja ayang sempat bersatu itu, berpisah
lagi.
51
oleh gereja atau badan-badan zending. Di antara penginjil perorangan itu yang terkenal
ialah:
Keukhenius (orang Belanda). Dia adalah seorang Kristen yang setia. Dia
mengusahakan dua orang penginjil bekerja di kota Tegal. Kedua orang itu berasal
dari kelompok Mr. Anthing, yaitu seorang wakil Ketua Mahkamah Agung dalam
pemerintahan Belanda. Kedua orang penginjil itu mengumpulkan orang-orang Jawa
di sekeliling mereka untuk diajar tentang pengetahuan kekristenan. Keukhenius juga
menarik pekabar Injil pertama yang diutus oleh NGZV yang bernama Vermeer
untuk bekerjasama dengan dia di Tegal. Di Tegal mereka telah membentuk satu
jemaat kecil sejak tahun 1861.
Tunggul Wulung (sekitar 1803-1885). Dia adalah seorang yang berasal dari
Juwono (dekat gunung Muria). Karena keadaan ekonomi yang sangat sulit di Jawa
Tengah pada masa mudanya, banyak orang yang terpaksa mengungsi dari Jawa
Tengah ke Jawa Timur, termasuk di antaranya Tunggul Wulung, yang pada waktu
itu masih bernama Kyai Ngabdullah. Di lereng gunung Kelud, dia menjadi seorang
pertapa. Ketika itulah nama Tunggul Wulung dikenakan kepadanya, karena dia
dipandang sebagai penjelmaan seorang pangliama perang raja Joyoboyo yang
bernama Tunggul Wulung. Pada waktu itulah dia juga berkenalan dengan agama
Kristen, karena gunung Kelud adalah berdekatan dengan Ngoro dan Mojowarno,
yakni pusat kekristenan yang pertama di Jawa Timur. Pada tahun 1853 dia telah
menjadi salah seorang pengikut Kristen di Mojowarno, dan dibaptiskan oleh
Jelesma tahun 1855 dengan nama Ibrahim. Setelah belajar kekristenan di sana, dia
kemudian menjadi seorang penginjil keliling di pulau Jawa, terutama di Jawa
Tengah bagian Selatan. Dalam usaha menyebarkan Injil itu di tengah-tengah
masyarakat Jawa, dia bertindak seperti seorang kyai, dan menyajikan Injil itu
sebagai “ngelmu”, sehingga dia sering juga disebut Kyai Ibrahim. Pada waktu
kematiannya tahun 1885, jumlah pengikutnya telah melebihi seribu orang. Tetapi
jemaat-jemaat yang dipimpin oleh Tunggul Wulung itu kemudian beralih kepada
Mennonit.
Kyai Sadrakh (1840-1924). Sadrakh adalah juga seorang Kristen Jawa yang
berasal dari Jepara. Dia termasuk salah seorang murid Tunggul Wulung, tetapi
dibaptiskan menjadi Kristen di Gereja “Sion” Jakarta setelah menerima pendidikan
kekristenan selama dua tahun dalam kelompok Mr. Anthing. Pada waktu itu ada
sekitar 50 orang Jawa yang dibiayai Mr. Anthing untuk menerima pendidikan
sebagai penginjil untuk orang Jawa. Setelah memperoleh pendidikan sebagai
penginjil, Sadrakh sempat menjadi penginjil keliling diJawa Barat, tetapi sejak
tahun 1867 dia kembali ke negeri asalnya di Jepara. Dia juga mengikuti jejak
Tunggul Wulung menjadi penginjil keliling di Jawa Tengah, dan mengajarkan
kekristenan itu dalam bentuk Jawa. Ini berarti dia menenatang kekristenan Londo.
Dalam menyebarkan Injil itu dia juga bertindak sebagai seorang kyai. Sebagaimana
kebiasaan seorang kyai, untuk menarik murid yang sebanyak-banyaknya, para kyai
mempertandingkan “ngelmu” yang mereka miliki. Seorang kyai yang kalah dalam
pertandingan itu, maka dia harus tunduk kepada kyai yang menang bersama dengan
murid-muridnya. Demikianlah halnya dengan Kyai Sadrakh, dengan “ilmu” yang
baru dia miliki yakni Injil itu, dia selalu menang dalam pertandingan “ngelmu”
52
dengan kyai-kyai lainnya. Sehingga banyak kyai beserta dengan murid-muridnya,
menjadi murid dari Kyai Sadrakh. Kepada mereka Sadrakh mengajarkan Injil itu
dan dibaptis menjadi Kristen. Setelah memperoleh pengajaran Injil dari Kyai
Sadrakh, kyai-kyai yang sudah menjadi Kristen itu diangkat oleh Sadrakh menjadi
pimpinan jemaat-jemaat kecil. Tetapi jemaat-jemaat yang dibentuk Sadrakh ini
tidak mau bergabung dengan jemaat-jemaat yang dibentuk oleh badan zending yang
bekerja di Jawa Tengah. Pada tahun 1890 sudah ada + 53 jemaat kecil dengan
jumlah seluruh anggotanya sekitar 3000 orang, yang dibentuk oleh Kyai Sadrakh.
Kyai Sadrakh membangun gedung gereja mirip dengan bangunan Jawa, dan tidak
memakai tanda salib yang biasa dipakai gereja ala Eropa, tetapi dengan penyilangan
dua buah panah.
3. Karena tidak mau bergabung dengan jemaat-jemaat yang dibentuk oleh zending, maka
jemaat-jemaat Sadrakh ini akhirnya menjadi satu bidat, yang disebut “bidat kerasulan”.
Bidat kerasulan ini juga berpengaruh di daerah Pasundan Jawa Barat. Dan di kalangan
bidat kerasulan ini, Sadrakh dianggap sebagai “rasul Jawa”. Menjelang akhir hidupnya,
Sadrakh menyadari bahwa jemaat-jemaat hanya dapat hidup apabila hidup bersatu
dalam Kristus dengan jemaat-jemaat yang lain. Karena itu sesudah Sadrakh meninggal
tahun 1924, banyak jemaat yang dibentuknya menjadi bergabung dengan jemaat-jemaat
yang didirikan oleh zending, tetapi sebagian jemaat itu tetap dalam bidat kerasulan.
Sekarang salah satu jemaat Kyai Sadrakh ini masih dilestarikan di sebuah desa di Jawa
Tengah, yang bernama Karangjasa, dekat Purworejo.
Seorang penginjil Tionghoa bernama Paulus Khow Tek San, yang baru dibaptis
menjadi Kristen tahun 1867, menjadi seorang penginjil yang sangat giat sekali di
kalangan orang-orang Tionghoa yang ada di Jawa.
Di bagian Selatan Jawa Tengah, ada dua orang Indo-Belanda yang bekerja sebagai
penginjil di sekitar Banyumas dan Purworejo, yang bernama nyonya Oostrom-
Philips dan saudara iparnya yang bernama Ny. Philips-Steven. Mereka ini
mengumpulkan pelayan-pelayannya bersama satu kelompok masyarakat Jawa yang
berminat kepada kekristenan itu di rumah mereka masing-masing. Dalam
pertemuan-pertemuan itu mereka mengajarkan Injil itu yang kelompok yang hadir
itu. Akhirnya terbentuklah jemaat-jemaat kecil, tetapi jemaat-jemaat tersebut
bergabung dengan badan zending NGZV (Nederlands Gereformeerde Zending
Vereeniging). NGZV ini berusaha dengan giat mengabarkan Injil di kota-kota Jawa
Tengah seperti di Solo dan Yogyakarta.
53
Utusan-utusan harus pelayan Firman yang berpendidikan akademis, dan yang
berhak penuh sebagai pendeta juga dalam gereja induk.
Usaha zending tidak pertama diarahkan kepada orang perorangan, melainkan
kepada bangsanya (sukunya) dan bermula pada pusat-pusat kehidupan bangsa
(suku) itu.
Orang-orang yang masuk menjadi Kristen secepat mungkin dihimpun menjadi
sebuah jemaat yang setingkat dengan jemaat induk di Belanda dan jemaat itu
sedapat mungkin dilayani oleh seorang pendeta yang setingkat dengan pendeta
di jemaat induk di Belanda.
Mengadakan perbedaan tajam antara Pelayan Firman (pekabar Injil, pendeta)
yang merupakan pelayan utusan dan pelayan di bidang kesehatan, pendidikan,
dll, yang dianggap sebagai pelayan penunjang.
5. Walaupun NGZV dibentuk oleh Gereja Gereformeerd, namun badan itu bukanlah sebuah
seksi dari gereja tersebut. Badan ini hanya sebagai pengkoordinir dari usaha-usaha PI
yang dilakukan oleh jemaat-jemaat setempat. Dalam hal ini jemaat setempat dari Gereja
Gereformeerd yang ada di negeri Belanda berhubungan langsung dengan tempat-tempat
penginjilan tertentu di Jawa, seperti: Jemaat Utrecht berhubungan dengan Purworejo,
Zeeland dengan Magelang, Amsterdam dengan Yogyakarta, Rotterdam dengan
Purbolinggo, dll. Dengan demikian juga nampak bahwa kota-kotalah yang menjadi
sasaran utama dari penginjilan ini. Pekerjaan zending dari gereja Gereformeerd ini
mulai berjalan dengan giat sejak tahun 1902. Dan seperti terlihat dalam azas-azasnya di
atas, tekanan mereka ialah supaya PI itu senantiasa dijalankan sebagai pemuliaan Allah.
Jemaat-jemaat hasil penginjilan NGZV ini kemudian terhimpun dalam satu gereja yang
bernama Gereja Kristen Jawa, dengan sinode yang pertama 17-18 Februari 1931. Tetapi
jemaat-jemaat dari GKJ ini tersebar bukan hanya di Jawa Tengah tetapi juga terdapat di
Jawa Timur, Jawa Barat dan DKI Jakarta.
6. PI Salatiga. Badan ini sering juga disebut “Faith Mission”, karena sifatnya yang pietis
selalu menekankan bahwa UPI itu harus senantiasa dilakukan dalam iman. PI Salatiga
ini dilakukan oleh sebuah perhimpunan PI di Jerman yang bernama “Neukirchener
Missionshaus”, yang didirikan tahun 1880. Badan ini bekerja di Jawa bagian Utara
yang berpusat di Salatiga, mulai tahun 1884. Badan ini yang selalu menekankan bahwa
PI harus dilakukan dalam iman, maka badan ini kurang memperhatikan soal-soal
keuangan, organisasi dan pejabat gereja. Pimpinan dan synode tidak dipentingkan. Bagi
gereja yang dihasilkan oleh badan ini yang ada adalah Parepaten Agung, yang sifatnya
merupakan musyawarah dari jemaat-jemaat setempat. Hasil dari musyawarah itu tidak
mengikat, apakah dijalankan atau tidak dijalankan oleh jemaat setempat. Jemaat-jemaat
setempat adalah mempunyai otonomi tersendiri, di mana setiap jemaat setemapat bebas
mengatur diri sendiri, termasuk dalam hal yang menyangkut penerimaan pendeta.
Bentuk gereja yang seperti ini biasanya disebut “Congreagationalistis”. Dari sudut
situasi Indonesia, penerapan bentuk gereja yang kongregationalistis tidak cocok dan
bahkan bisa menimbulkan bahaya, karena:
54
Karena dalam hal yang menyangkut penempatan, pemindahan atau pemberhentian
seorang pendeta atau tenaga pekerja yang lain adalah hak jemaat setempat, maka
sesuai dengan point di atas, tindakan tersebut cenderung hanya mengikuti keinginan
atau kemauan jemaat setempat.
Di Indonesia jumlah pendeta masih kurang, sehingga masih sulit mencari tenaga
pendeta untuk satu-satu jemaat sesuai dengan bakat-bakatnya.
Usaha PI Salatiga ini bertolak dari daerah Salatiga dan meluas ke arah Barat sampai ke
Tegal, dan ke Timur sampai ke Bojonegoro. Di kemudian hari mereka juga menampung
sebagian jemaat-jemaat pengikut Sadrakh.
7. PI yang Dilakukan Oleh NZG. Zending NZG sebenarnya telah mulai mengutus tenaga
penginjil ke Semarang, bekerjasama dengan badan PI dari Inggris, yakni G. Brueckner
(seorang Jerman) tahun 1815. tetapi pada akhirnya dia bekerja secara perorangan dan
berusaha menterjemahkan dan menerbitkan Kitab PB ke dalam bahasa Jawa. Selain itu
dia juga menulis sejumlah buku-buku Kristen ke dalam bahasa Jawa, walaupun
semuanya buku yang ditulisnya itu termasuk terjemahan kitab PB disita oleh
pemerintah Belanda. Sampai ia meninggal tahun 1849, tidak ada satu jemaat pun yang
didirikannya. Tahun 1849, NZG kembali lagi mengutus tenaga penginjil ke Semarang
yaitu yang bernama Hoezoo. Dia ingin memupuk bibit-bibit kekristenan yang mulai
bertumbuh pada waktu itu oleh penginjil-penginjil perorangan, terutama di daerah
bagian Utara Jawa Tengah.
Upaya Menyatukan Gereja-gereja Kristen di Jawa Tengah.
Sejak terjadinya PD II, segala bantuan personil maupun materil yang datang dari
luar terputus kepada gereja-gereja yang ada di Jawa Tengah. Karena itu timbullah
keinginan gereja-gereja yang ada di Jawa Tengah, baik yang berdiri atas usaha
penginjilan perorangan, maupun yang berdiri atas usaha badan-badan zending yang
datang dari Eropa, untuk bersatu membentuk satu gereja. Keinginan itu bisa
disepakati tahun 1949. Ketika itu seluruh jemaat di Jawa Tengah, mulai dari Tegal,
Bojonegoro, Cilacap sampai ke gunung Kidul, kecuali jemaat yang di sekitar
gunung Muria, bersatu membentuk satu gereja yang bernama Gereja Kristen Jawa
Tengah. Pada waktu itu telah disepakati bahwa jemaat-jemaat yang bergabung itu
akan menyusun tata gereja yang baru. Tetapi tahun 1953, sebagian jemaat-jemaat
itu melepaskan diri dari gereja kesatuan dan tahun-tahun berikut beberapa jemaat
lain menyusul. Persoalannya, selain dari jemaat-jemaat yang bergabung itu
mempunyai latar belakang historis yang berbeda-beda, juga karena menyangkut
harta benda gereja. Dengan demikian penyatuan itu tidak dapat berkelanjutan.
8. Gereja Kristen Sekitar Gunung Muria. Gereja ini adalah beraliran Mennonit, yang
dihasilkan oleh “Doopsgezinde Zendingsvereniging” (DZV). Pendirian gereja yang
beraliran Mennonit adalah hampir sama dengan pendirian Gereja Baptis, yakni:
Menjauhkan kehidupan politik.
Memantangkan pemakaian kekerasan. Mereka tidak mau menjadi tentara atau
mengangkat senjata biarpun dalam usaha untuk mempertahankan diri.
Memberikan otonomi kepada jemaat-jemaat setempat (kongregationalistis).
Mempertahankan disiplin gereja yang ketat.
Menolak baptisan anak-anak.
55
Perhimpunan zending Doopsgezinde didirikan tahun 1847 di Belanda. Inilah badan
zending yang pertama memasuki Jawa Tengah, dengan utusannya yang pertama P.
Jansz, seorang guru SD di Belanda, yang tiba di Jepara tahun 1851. Pada tahun 1854 ia
dapat membaptiskan lima orang. Tetapi selama 20 tahun bekerja di sana, jumlah yang
berhasil dibaptiskan hanya mencapai 16 orang laki-laki dan 21 orang perempuan.
Pekabar Injil yang lain yang diperbantukan kepadanya ialah Klinkert, yang kemudian
ditugaskan untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu. Pada awal
pekerjaannya, seorang pemilik tanah di Cumbring dekat Jepara memberinya
kesempatan untuk mendirikan sekolah dan mengabarkan Injil di tengah-tenagh buruh
perkebunannya, yang berjumlah 7000 orang. Tetapi ternyata tuan Eropa itu
beranggapan bahwa Injil itu akan bisa menjadi semacam obat penenang bagi buruhnya.
Karena pemberitaan Jansz berlainan dengan apa yang dia harapkan, maka hubungan
mereka menjadi putus tahun 1864 dan Jansz kemudian menetap di kota Jepara. Tetapi
beberapa tahun kemudian dia bentrokan dengan pemerintah, karena ada surat selebaran
berbahasa Jawa yang bertemakan: “Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan
percayalah kepada Injil”. Surat selebaran ini dianggap pemerintah Belanda akan
mengganggu “keamanan dan ketertiban” masyarakat setempat. Pemerintah meminta
para bupati di Jepara dan Pati memberi penilaian terhadapnya. Ketika mereka ini
menyatakan keberatan terhadap isinya maka izin Jansz dicabut. Hanya berkat campur
tangan menteri jajahan di negeri Belanda, Jansz dapat meneruskan pekerjaannya di
Jawa Tengah walaupun tetap tanpa izin.
9. Pekabar Injil Mennonit ini juga tidak mempunyai hubungan yang baik dengan golongan
Kristen yang lain. Misalnya, hubungannya dengan NZG agak buruk, karena perbedaan
paham mengenai pembaptisan anak. Selain itu dia juga mempunyai konflik dengan
Tunggul Wulung, karena dia tidak mau membaptiskan Tunggul Wulung yang
memintanya untuk dibaptis tahun 1854. Alasannya karena P. Jansz memandang iman
Tunggul Wulung dibaptis oleh Jelessma, penginjil NZG. Pada tahun 1874, P. Jansz
memikirkan suatu cara baru untuk menyebarkan Injil itu, yakni dengan membuat
sebuah surat selebaran yang berjudul: “Usaha PI dengan jalan membuka tanah”.
Dengan cara ini Jansz membuka suatu perkampungan Kristen, sehingga orang-orang
Jawa banyak yang tertarik untuk berkumpul di sekitarnya. Melalui gagasannya itu,
berdirilah beberapa perkampungan Kristen, antara lain: Margorejo (1881), Margokerto
(1901) dan Pakis (1925). Pimpinan desa dipegang oleh pekabar-pekabar Injil. Di dalam
desa-desa itu mereka juga mengusahakan usaha-usaha sosial, seperti poliklinik-
poliklinik, rumah sakit, dan juga asrama orang-orang kusta, yang semuanya memberi
pengaruh yang tidak sedikit. Penghuni dari perkampungan itu bisa juga dari orang-
orang Islam, tetapi mereka harus taat dengan peraturan yang ditetapkan, yakni: tidak
boleh bekerja pada hari Minggu, tidak boleh berpoligami, dilarang meminum minuman
keras dan menghisap ganja, dll. Di samping di desa-desa, zending ini juga
memberitakan Injil di kota-kota, seperti di Kudus dan Pati. Dan untuk menghimpun
seluruh jemaat yang telah berdiri itu, maka tanggal 30 Mei 1940 didirikanlah sebuah
organisasi yang bernama: “Patunggilan Pasamuan Kristen Jawi tata Injil ing kresdenan
Pati, Kudus lan Japara” (Persekutuan Gereja Kristen Jawa yang Injili di keresidenan
Pati, Kudus, dan Japara). Pada waktu itu dalam organisasi ini bergabung 12 jemaat,
dengan anggota seluruhnya 5000 orang, termasuk anak-anak. Sedangkan yang sudah
terbaptis baru mencapai kira-kira 2000 orang. Di Pati sekolah ini telah mempunyai
sekolah theologi, yang sudah menjadi anggota Persetia. Dan walaupun gereja ini
56
mempunyai beberapa ajaran yang berbeda dengan gereja-gereja lain di Indonesia,
namun gereja ini ikut bekerjasama dengan gereja-gereja lain secara oikumenis,
sehingga gereja ini telah menjadi salah satu anggota DGI/PGI. Dan mulai tahun 1956
nama gereja ini ialah: “Gereja Injili di Tanah Jawa”. Dalam perhitungan tahun 1975,
jumlah anggota gereja ini tercatat sebanyak 65000 orang.
1) Badan zending yang mula-mula bekerja di daerah Jawa Barat (Pasundan) ialah NZV,
yakni tahun 1865. Badan ini mula-mula tinggal di Bandung. Tetapi izin untuk
mengabarkan Injil kepada orang-orang Sunda di sana tidak diperoleh dari pemerintah,
karena pemerintah takut PI itu akan bisa menimbulkan huru-hara didaerah itu. Karena
itu mereka mula-mula hanya bekerja bagi orang-orang Kristen Ambon yang ada di
sana. Tetapi setelah menteri jajahan di negeri Belanda turun tangan, maka para penginjil
NZV itu akhirnya diizinkan bekerja di Cianjur (1865), kemudian di Bogor dan Depok
(1868), Sukabumi (1872), Sumedang (1872), Jatinegara (1884), Lebak (Banten Selatan,
1894) dan Tasikmalaya (1898). Tetapi tidak semua tempat ini bisa dipertahankan terus.
Misalnya di Banten, setelah tahun 1902 tidak ada lagi tenaga penginjil NZV. Depok
kemudian menjadi salah satu daerah Kristen yang terkenal.
2) Suatu cara yang dipakai untuk menyebarkan Injil itu aialah dengan membeli tanah
untuk dapat dijadikan sebagai perkampungan Kristen. Cara ini perlu mengingat orang-
orang Pasundan yang pada umumnya beragama Islam. Kalau ada dari antara mereka
yang beralih menjadi Kristen, maka mereka akan diusir dari tengah-tengah keluarga dan
masyarakat. Maka untuk menampung mereka yang telah menajdi Kristen itu sangat
diperlukan adanya desa atau perkampungan Kristen, agar mereka jangan sampai
terpencil. Ternyata memang sangat sulit untuk mengkristenkan orang-orang Pasundan
itu. Karena itu cara lain yang ditempuh oleh zending ialah dengan mendirikan sekolah-
sekolah, pelayanan kesehatan dan usaha-usaha sosial. Zending juga berusaha untuk
mendirikan asrama-asrama untuk para mahasiswa, misalnya di Bandung. Dari antara
golongan terpelajar ini ada juga yang tertarik kepada agama Kristen dan masuk menjadi
Kristen. Untuk pelayanan kesehatan didirikan sebuah rumah sakit yang besar di
Bandung tahun 1910, yang diberi nama Rumah Sakit Immanuel. Rumah sakit ini
sampai sekarang masih merupakan salah satu rumah sakit yang terkenal di Bandung,
karena pelayanan dan pengobatannya yang cukup baik. Perkembangan kekristenan di
daerah Pasundan, ikut juga ditunjang oleh bantuan pribadi seorang pejabat tinggi
pemerintahan Belanda, yang bernama Mr. Anthing. Dia berusaha untuk membelanjai
satu kelompok yang beranggotakan 50 orang yang dididik menjadi calon-calon
penginjil pribumi. Cara ini memang sangat efektif, karena penginjil-penginjil pribumi
itu mudah memberi pendekatan terhadap masyarakat daerah setempat. Dan lagi Mr.
Anthing meminta supaya penginjil-penginjil yang berasal dari kelompoknya itu
janganlah menjadi mata-mata Belanda, tetapi kiranya mereka benar-benar berlaku
sebagai sebagai penginjil untuk orang Jawa asli. Pada mulanya Mr. Anthing dalam
bantuan yang diberikannya juga memperoleh pertolongan dari “Perhimpunan Pekabaran
Injil di dalam dan luar gereja”, yang dibentuk oleh orang-orang Kristen di Jakarta yang
mempunyai perhatian terhadap usaha penginjilan. Dalam perhimpunan ini Mr. Anthing
57
ikut sebagai salah seorang anggota pendiri. Hanya sayang dia kemudian beralih ke bidat
“kerasulan”, karena gagal memperoleh bantuan dari sebuah Perhimpunan PI di negeri
Belanda. Dalam bidat kerasulan ini dia diangkat menjadi salah seorang “rasul” Jawa.
Setelah Anthing meninggal tahun 1883, NZV mencoba mendekati dan memelihara
jemaat-jemaat yang dihasilkan oleh kelompok Mr. Anthing tersebut dan dialihkan
menjadi anggota Gereja Kristen Pasundan.
Pada tanggal 14 Nopember 1934, Gereja Kristen Pasundan menjadi sebuah gereja
yang berdiri sendiri. Pada waktu itu klasis belum dibentuk,namun sudah ada 20
jemaat yang berdiri sendiri, dan 15 jemaat yang belum mempunyai majelis sendiri
tetapi masih langsung di bawah asuhan zending. Dan semua anggota gereja itu
tercatat sebanyak 6215 orang (di antaranya 1460 orang Tionghoa). Pendidikan
khusus untuk pendeta belum ada, tetapi telah diadakan kursus-kursus penginjil yang
dari antara merekalah kemudian diangkat menjadi pendeta. Pendeta Pasundan yang
pertama ialah Pendeta Titus, yang ditahbiskan tahun 1918. Sekarang ini jumlah
anggoata GKP tercatat + 28000 orang dengan 42 jemaat.
58
adalah tunas dari “gerakan kesucian” (holiness movement) yang timbul dalam gerakan
Methodis pada abad 19. Gerakan kesucian itu ingin kembali kepada semangat dan
kesederhanaan yang terdapat dalam gereja Methodis pada zaman John Wesley, serta
menekankan pertobatan mendadak dan kesempurnaan Kristen seperti dianjurkan dalam
theologia Wesley. Untuk membangun kembali hidup kerohanian warga gereja yang
telah suam, tertarik kepada ajaran pentakosta itu. Tahun 1923 ia kembali datang ke
Indonesia dan tinggal di Bandung sebagai penyebar ajaran pentakosta.
59
Hubungan jemaat setempat dengan organisasi pusat.
Prestise (gengsi) suku atau perorangan.
Sampai tahun 1931, gereja itu masih satu kesatuan, tetapi sejak tahun 1931 gereja
itu telah terbagi-bagi paling sedikit atas 25 gereja, belum termasuk gereja-gereaja
yang hanya terdapat di satu tempat yang berjumlah 28 gereja lagi (ini perhitungan
tahun 1980). Dan di Sumut, ada beberapa gereja pentakosta yang membawa nama
pribadi pendeta yang mendirikannya, misalnya: GPdI Sinaga (1941), GPdI Siburian
(1948), GPdI Sianturi (1966), GPdI Sianipar (1971), dll. Beberapa dari antara
gereja-gereja Pentakosta, telah ada yang masuk anggota DGI/PGI, yakni: Gereja Isa
Almasih, Gereja Bethel Injil Sepenuh, Gereja Pentakosta Pusat Surabaya dan Gereja
Gerakan Pentakosta. Jumlah anggaota seluruhnya yang tergolong kepada Gereja
Pentakosta di Indonesia berkisar antara 1,2-1,5 juta orang.
Ajaran yang keempat ini sangat mendapat tekanan, sehingga badan ini mementingkan
ajaran mengenai kedatangan kembali Yesus Kristus dan Kerajaan Seribu Tahun. Dan
itulah yang mendorong badan ini giat mengabarkan Injil itu kepada orang-orang yang
belum pernah mendengarnya, karena menurut mereka, dengan usaha PI itu, kedatangan
kembali Tuhan Yesus akan dipercepat. Salah seorang tenaga penginjil CAMA ialah
R.A. Jaffray, yang tahun 1897-1927 bekerja di Cina, tetapi mulai tahun 1928
melakukan pelayanan di kota-kota pelabuhan di Indonesia, yakni di Kalimantan Timur,
Sulawesi Selatan, Bali dan Jawa Timur.
60
Indonesia yang sudah dilatih. Di Makassar, yang merupakan pusatnya didirikan
sebuah gedung yang disebut “Kemah Injil”, dan di situ juga didirikan sebuah
Sekolah Alkitab yang diberi nama Kalam Hidup, dengan lama pendidikan 5-6
tahun. Sekolah ini sekarang sudah ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Theologia
Jaffray.
b. Tokoh penginjil CAMA di Kalimantan Timur ialah George E. Fish, yang mulai
bekerja di daerah itu tahun 1929. Di sana dia sering melakukan pembaptisan secara
berkelompok, dan yang dibaptis hanya orang dewasa, yang dianggap telah sanggup
untuk mengungkapkan iman: kepercayaannya mengenai keselamatan yang dibawa
oleh Kristus. Selain itu dia tidak menyerang langsung adat kebiasaan mereka, tetapi
dia menyerahkan hal itu kepada bimbingan Roh Kudus. Dan untuk nyanyian gereja,
dia memakai lagu-lagu pribumi, di samping lagu-lagu yang berasal dari Barat.
Mulai tahun 1938 CAMA membuka usaha penginjilan di pedalaman Irian. Untuk
itu pesawat udara untuk menjadi sarana perhubungan para penginjil itu didatangkan
dari Amerika (1939). Dan inilah yang pertama kali pesawat udara dipakai sebagai
salah satu sarana dalam usaha penginjilan di Indonesia.
Tahun 1956, CAMA mengambil dua langkah penting dalam proses kemandirian
cabang-cabangnya di seluruh Indonesia, yakni:
Tenaga luar negeri yang bekerja di lingkungan gereja itu berada di bawah
pengawasan pimpinan gereja itu. Dan pimpinan gereja berada di tangan pribumi.
Tunjangan yang diberikan kepada sejumlah besar pendeta Indonesia dihentikan.
Untuk menanggulangi belanja pendeta Indonesia, anggota jemaat diajar untuk
memberi persepuluhan.
Pada tahun 1956 itu juga, bantuan keuangan kepada jemaat-jemaat Cina juga
dihentikan. Jemaat-jemaat itu kemudian bergabung dalam dua badan gereja, yakni:
Gereja Kebangunan Kalam Allah (GKKA), dan Gereaja Persekutuan Kristen (GPK).
Mulai tahun 1985, GKKA sudah masuk menjadi anggota PGI.
5. Pembentukan KINGMI/GKII. Pada tahun 1965, seluruh gereja yang termasuk aliran
CAMA (Kemah Injil) mengadakan konferensi di Makassar. Di situ diadakanlah
persekutuan dari seluruh gereja yang seazas, yakni: “Kemah Injil Gereja Masehi
Indonesia” (KINGMI). Dan tahun 1983, kembali diadakan konferensi di Makassar, di
mana seluruh gereja itu disatukan dalam satu Gereaja kesatuan yang bernama: “Gereja
61
Kemah Injil Indonesia” (GKII), yang berpusat di Jakarta. Di dalamnya terdapat enam
gereja wilayah, yakni:
GKII bagian Timur, beranggota : 16000 orang
GKII Kaltim, beranggota : 55000 orang
GKII Kalbar, beranggota : 35000 orang
GKII Toraja, beranggota : 40000 orang
GKII Irian Jaya, beranggota : 240000 orang
GKII Jawa-Sumatera beranggota : 12000 orang
Angka-angka ini merupakan jumlah anggota, termasuk yang belum dibaptis (anak-
anak), dalam perhitungan tahun 1983.
Jika dibandingkan dengan gereja-gereja lain di Indonesia hasil penginjilan zending dari
Belanda dan Jerman, maka Gereja Kemah Injil Indonesia, mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
Dalam hal ekklesiologi (pandangan mengenai gereja), cirinya yang paling menonjol
ialah penolakan terhadap pembaptisan anak-anak. Yang dibaptis hanyalah orang-
orang dewasa yang sudah mengikrarkan imannya, dengan cara baptisan selam.
Dalam hal hukum kelakuan masing-masing anggota jemaat, kekudusan jemaat harus
nyata dalam kehidupan sehari-hari. Untuk ini:
Anggota tidak boleh berurusan lagi dengan ibadat kafir, seperti di Toraja: tidak
boleh menghadiri upacara orang mati.
Kesucian perkawinan dijaga ketat.
Tidak boleh minum alkohol, merokok dan makan sirih.
Gereja-gereja yang masuk rumpun KINGMI tidak memiliki jaringan lembaga-
lembaga umum, seperti sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit.
62
9. Masuknya ke Indonesia. Ketika Indonesia sempat dijajah oleh Inggris tahun 1811-
1816, usaha PI Baptis telah mulai masuk ke Indonesia, yang diutus oleh “Baptist
Missionary Society” dari Inggris, dan juga melalui pusat PI Baptist yang didirikan oleh
William Carey di India. Antara tahun 1813 dan 1857, sudah ada 20 orang utusan Baptis
bekerja di Indonesia. Di antaranya yang terkenal ialah Nathaniel Ward dan Richard
Burton, yang telah berhasil menerobos sampai ke daerah Silindung dan tepi Danau
Toba, Tapanuli Utara, tahun 1824. merekalah penginjil yang pertama masuk ke Tanah
Batak, walaupun hasil penginjilan mereka belum ada. Dari tahun 1814-1818, Jaber
Carey (anak dari William Carey), pernah bekerja di Ambon. Tetapi setelah pemerintah
Belanda kembali berkuasa di Indonesia, kebanyakan penginjil berkebangsaan Inggris
kembali ke India. Namun Nathaniel Ward yang pernah datang ke Tanah Batak, bertahan
terus di Padang sampai kematiannya tahun 1850. Dan di Semarang, Gottlab Brueckner
menerjemahkan kitab PB ke dalam bahasa Jawa, yang kemudian disita oleh
pemerinatah dan dilarang peredarannya. Sesudah kematiannya tahun 1857, PI Baptis di
Indonesia menjadi terhenti. Kemudian tahun1952, Konvensi Baptis Selatan (KBS) dari
Amerika Serikat diberi izin untuk masuk bekerja di Indonesia. KBS ini merupakan
golongan Baptis terbesar, tetapi ajarannya bersifat ortodoks, dan tidak masuk menjadi
anggota Dewan Gereja-gereja seDunia. Pusat PI KBS di Indonesia dijadikan di Jawa,
dengan mendirikan sebuah rumah sakit di Kediri tahun 1955, dan Seminary Theologia
di Semarang tahun 1954. Gereja-gereja Baptis yang ada di Indonesia yang berbenatuk
kongregationalis, bergabung dalam Gabungan Gereja Baptis Indonesia (GGBI) dengan
pusat di Jakarta dan beranggota kira-kira 60000 orang. Tetapi selain itu sudah ada lagi
satu badan gereja Baptis yang besar di Indonesia, yakni Gereaja Baptis Irian Jaya
(GBIJ), yang lahir oleh hasil penginjilan “The Australian Baptist Missionary Society”
di pedalaman Irian mulai tahun 1938. GBIJ beranggotakan kira-kira 75000 anggota.
Setelah itu muncullah fase kedua dari gerakan adventist ini, yang dipimpin oleh
seorang wanita yang bernama Ellen White. Dia tetap mempertahankan bahwa
kedatangan Kristus kedua kalinya bisa dihitung. Dan dia mencari jalan keluar atas
kekeliruan Miller. Dia katakan bahwa tahun 1844 yang disebut Miller itu bukanlah
tahun kedatangan kembalinya Tuhan Yesus, tetapi itu adalah saat Kristus
“memasuki tempat mahasuci” dalam sorga untuk menguduskannya. Gereja yang
tidak mempercayai ini tidak turut mengalami pengudusan itu. Tidak lama sesudah
itu, ajaran Adventist ditambah dengan suatu ajaran lain, yakni tentang “Hari
Sabbat”. Mereka menerima ajaran gereja Baptis hari ketujuh yang menentang hari
Minggu sebagai hari perayaan Kristen dan mempertahankan hari Sabbat sebagai
hari suci. Perintah mengenai Sabbat (hukum keempat dari Dasa Titah) malah
dijadikan sebagai perintah utama. Perayaan hari Minggu dinyatakan sebagai
perbuatan kekafiran dan yang merampas dari Allah, harinya yang suci. Karena
ajarannya yang sentral terhadap hari Sabbat ini maka gereja ini kemudian bernama
“Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh”. Ajaran-ajaran Adventis yang lain ialah
tentang baptisan, di mana baptisan anak-anak ditolak. Selain itu anggota gereja
dilarang makan daging babi, mengisap rokok dan meminum minuman alkohol; dan
mereka wajib memberi persepuluhan.
Masuknya Gerakan Adventist ke Indonesia. Gerakan Adevntis mulai masuk ke
Indonesia tahun 1900 yang dibawakan oleh seorang pendeta Adventis dari Amerika,
bernama Dr. Ralph Waldo Munson. Mula-mula dia menetap di Padang. Dari
Padang dia berusaha menyebarkan ajaran itu ke Tapanuli melalui seorang putera
Batak bernama Immanuel Siregar, yang telah menerima ajaran Adventis itu melalui
Waldo Munson. Immanuel Siregar adalah putera Simon Siregar, yakni salah
seorang orang Batak yang pertama masuk menjadi Kristen tahun 1861, yang pada
awal abad 20 ini pernah mengikuti pendidikan di Seminary Narumonda, tetapi
kemudian dikeluarkan dari sana karena menentang kebijaksanaan zending yang
mengasuh sekolah itu. Waldo Munson dan Immanuel Siregar datang di Tanah Batak
tahun 1907. Tetapi ketika mereka tiba di Tarutung, mereka dinasehati oleh seorang
pendeta Batak, Pdt. Henock Lumbantobing, supaya mereka “janganlah bertindak
seperti pencuri tanaman dari ladang sesamanya, tetapi sebaiknya mengerjakan
ladang yang masih kosong”. Artinya jangalah mereka datang untuk menggarap
orang-orang Batak yang sudah Kristen, tetapi sebaiknya membuka lapangan PI yang
baru di tengah-tengah orang-orang yang belum mengenal Injil itu. Tetapi nasehat itu
tidak diindahkan sama sekali, dan Waldo Munson telah bertekad untuk
menyebarkan ajaran Adventis itu di tengha-tengah orang-orang Kristen Batak.
Untuk itu Immanuel Siregar segera disekolahkan ke Singapura.
Pada atahun 1910, R.W. Munson pindah ke Bandung. Tetapi karena di sana dia
mendapat larangan dari pemerintah Belanda, maka dia pindah ke Jakarta. Sementara
itu Immanuel Siregar yang sudah memperoleh pendidikan penginjil Adventis dari
Singapura memulai pekerjaannya di Balige dengan membuka Sekolah bahasa Inggris
dan mulai menyebarkan ajaran-ajaran Adventis itu melalui murid-muridnya. Tetapi
setelah kegiatannya itu diketahui oleh pemerintah Belanda, maka dia diusir dari
65
Balige. Akhirnya dia pindah ke Sipogu (dekat Sipirok, Tapanuli Selatan), di mana
sebelumnya seorang missionaris Adventis dari Amerika bernama S. Kime, telah
memulai pekerjaannya membuka sekolah yang sama. Pada tahun 1932, pemerintah
Belanda telah memberi izin bagi Adventis menjalankan missinya di Tanah Batak,
yang segera setelah itu berdirilah beberapa jemaat Adventis di daerah Tapanuli.
Tahun 1936, kota Pematangsiantar dijadikan sebagai pusat kegiatan Adventis di
Sumatera Utara. Selain melalui sekolah-sekolah, cara-cara penyebaran ajaran
Adventis yang dilakukan ialah perkunjungan dari rumah ke rumah, sambil
menjajakan buku-buku dan gambar-gambar Adventis.
1. Permulaan Gereja Roma Katolik di Indonesia. Seperti sudah diuraikan dalam bagian
terdahulu, sejarah Gereja Roma Katolik (RK) di Indonesia telah dimulai pada zaman
Portugis (abad 16). Pada waktu itu gereja-gereja RK telah berdiri di beberapa daerah di
Indonesia, seperti di daerah Maluku, Sulawesi Utara, Sangir dan Talaud, NTT, dll.
Tetapi pada zaman VOC, gereja-gereja Roma Katolik itu sempat menjadi hilang,
kecuali di sebagian daerah NTT, karena pemerintah VOC, sesuai dengan keadaan di
negeri Belanda, tidak mengizinkan keberadaan Gereja RK di daerah-daerah yang
dikuasai. Sebagian warga gereja RK peninggalan Portugis itu dipaksa menjadi pengikut
Gereja Protestan, dan sebagian lagi menjadi hilang begitu saja, karena tidak ada
pemeliharaan kepada mereka. Dan selama kekuasaan VOC itu, pekerjaan dan misi
gereja RK di Indonesia dilarang. Usaha gereja RK untuk memasuki kembali Indonesia,
terjadi setelah pemerintah Bealnda mengumumkan kebebasan beragama di negeri itu
dan juga di negeri yang dikuasai tahun 1808. Dengan demikian larangan terhadap RK
untuk memasuki Indonesia selama dua abad itu tidak berlaku lagi. Setelah itu mulailah
dikirim imam-imam gereja RK ke Indonesia. Dan tahun 1826 Paus menetapkan
“prefektur apostolis” yang pertama di Indonesia. Maksudnya menjadikan Indonesia
sebagai “negeri missi” yang dipimpin dan diatur secara langsung dari pusat missi RK,
melalui sebuah lembaga yang bernama: “Congregatio de propaganda fide” (Komisi
66
untuk menyiarkan iman), suatu lembaga gereja RK yang didirikan tahun 1622. Ini
sesuai dengan bentuk gereja RK pada waktu itu yang membuat perbedaan antara
“daerah gerejani” dan “negeri missi”. Daerah gerejani ialah daerah di mana gereja RK
sudah berkedudukan, sedang “negeri missi” adalah negeri-negeri di mana missi RK
dilakukan masih dalam taraf permulaan. Pengiriman imam-imam gereaja RK itu ke
Indonesia pada mulanya dimaksudkan untuk melayani orang-orang Kristen RK (asal
Eropa) yang ada di Indonesia. Pada mulanya sebagaimana halnya diberlakukan kepada
petugas gereja Protestan, penempatan dan pembiayaan petugas-petugas gereja RK itu
dilakukan oleh pemerintah Belanda. Tetapi gereja RK tidak menyetujui peraturan
pemerintah seperti itu, dan menuntut supaya peraturan itu dirobah, dengan alasan,
bahwa keadaan itu tidak sesuai dengan kehormatan dan tugas gereja. Persengketaan
antara gereja RK dan pemerintah Belanda berakhir dengan kemenangan gereja RK
tahun 1847. Mulai pada waktu itu, gereja RK sudah terpisah dari pemerintah secara
administrasi (sedangkan gereja Protestan baru mulai memperoleh keadaan seperti itu
tahun 1935). Jadi mulai tahun 1847 gereja RK sudah mempunyai kebebasan untuk
mengatur organisasinya dengan ikhtiarnya sendiri. Tetapi sama seperti gereja Protestan,
gereja itu masih terus memperoleh bantuan dana dari pemerintah Belanda sampai tahun
1950.
2. Seperti sudah disebutkan pada poin 1 di atas, usaha-usaha gereja RK waktu itu pada
dasarnya adalah merupakan pelayanan bagi orang-orang yang sudah beragama RK.
Sedang usaha missi pada hakekatnya dilakukan oleh pelbagai ordo gereja RK yang
secara berangsur-angsur juga sudah mulai memasuki Indonesia. Dan usaha missi itu
sering bersandar pada usaha pemeliharaan rohani yang telah ada di beberapa kota. Atau
dengan kata lain, pusat-pusat pemeliharaan rohani gereja RK itu sering dijadikan
sebagai batu loncatan untuk usaha missi yang sangat giat dilakukan dan semakin luas.
Misalnya di Minahasa, pastori Manado yang didirikan untuk mengadakan missi RK di
sekitar daerah itu, mulai tahun 1886. Cara-cara yang sama juga dilakukan didaerah-
daerah lain, seperti daerah Kalimantan Barat tahun 1854, ke daerah Timor Utara dan
Flores, tahun 1859 dan ke kepulauan Maluku Selatan, tahun 1890. Usaha-usaha yang
kelihatan sangat giat dilakukan dalam menunjang missi RK itu ialah melalui lapangan
pendidikan (sekolah-sekolah) dan rumah-rumah sakit. Untuk melaksanakan pendidikan
itu ratusan “bruder” dan “suster” dari pelbagai ordo didatangkan. Aturan subsidi untuk
sekolah-sekolah swasta yang ditetapkan pemerintah Belanda menguntungkan bagi
mereka, karena para bruder dan suster itu menerima gajin subsidi dari pemerintah
Belanda, yang kemudian mereka serahkan kepada biara-biara mereka berdasarkan janji-
janji mereka. Dengan demikian yayasan-yayasan sekolah mereka dapat menarik
kesimpulan keuntungan dari uang gaji itu. Di kota-kota besar mereaka mendirikan
rumah-rumah sakit yang dilayani suster-suster. Usaha-usaha itu memperlihatkan suatu
perkembangan yang besar, terutama pada pertengahan pertama abad 20 ini. Menurut
Peraturan Pemerintah (PP) Belanda tentang PI (pasal 123 PP tahun 1854 dan pasal 177
PP tahun 1925), daerah-daerah penginjilan yang diberi izin kepada gereja RK adalah
Flores, Maluku Selatan dan sebagian Irian. Tetapi mereka selalu mencari jalan untuk
bisa masuk ke daerah-daerah lain. Dan sering mereka masuk ke daerah-daerah yang
sudah dikerjakan oleh usaha penginjilan dari pihak Protestan, misalnya, Tapanuli, Nias,
Toraja, dll.
67
3. Masuknya Missi RK ke Tanah Batak/Tapanuli. Sejak dasawarsa kedua abad ini,
gereja RK sudah mulai berusaha menjalankan missinya ke tengah-tengah masyarakat
Batak. Karena pada waktu itu pasal 123 PP tahun 1854 masih diberlakukan, maka
gereja RK mulai menjalankan missinya itu dengan lebih dulu mengadakan kontak-
kontak atau pendekatan kepada orang-orang Kristen Batak di diaspora, seperti di Medan
dan Jakarta. Pada waktu itu orang-orang Kristen Batak, terutama kaum pemuda, telah
banyak merantau ke kota-kota tersebut untuk melanjutkan sekolah atau mencari
pekerjaan yang lebih baik. Mereka inilah yang dicoba didekati oleh pastor-pastor RK
setempat, dan ternyata banyak dari antara mereka yang bisa dipengaruhi masuk menjadi
RK. Pada tahun 1927, sudah ada sebanyak 120 orang anggota HKBP yang beralih
menjadi RK. Mereka inilah sebagian yang mula-mula dipergunakan pihak gereja RK
untuk menyebarkan ajaran gereja RK itu di Tapanuli, dan melalui pengaruh mereka
banyaklah anggota Gereja Kristen Batak (HKBP) yang di Tapanuli tertarik kepada RK.
Mereka inilah kemudian juga diperalat oleh pihak gereja RK untuk menyampaikan
tuntutan kepada pemerintah Belanda agar pastor RK diizinkan bekerja di Tapanuli.
Pasal 123 PP atahun 1854 ini mulai dipertanyakan. Oleh desakan-desakan yang datang
dari pihak gereja RK itu, akhirnya pemerintah Belanda memberi izin kepada gereja RK
untuk menjalankan missinya di Tapanuli. Mula-mula izin itu diberikan untuk daerah
Sibolga (1928), tetapi mulai atahun 1933 diperluas sampai ke daerah Tapanuli Utara.
Kesempatan itu terus dimanfaatkan oleh RK, dengan mendirikan stasi-stasi RK di
tempat-tempat yang dianggap strategis untuk usaha missinya itu, seperti di Balige,
wilayah Toba, Samosir, Habinsaran, Humbang dan Silindung. Berbagai cara yang
dilakukan RK untuk menjalankan missinya itu, antara lain melalui pengaruh sekolah-
sekolah, pelayanan-pelayanan di rumah-rumah sakit, dan bahkan juga dengan
menawarkan gaji yang lebih baik bagi para pekerja HKBP, asalkan bersedia bekerja dan
beralih menjadi RK. Selain itu pembangunan gedung gereja yang tidak memungut
biaya dari warga gereja tidak sedikit artinya dalam usaha menarik hati orang-orang
Kristen Batak agar beralih menjadi anggota RK. Adanya usaha RK yang tidak segan-
segan mengajak orang-orang yang sudah Kristen (Protestan) menjadi RK, adalah
sesuaidengan pandangan gereja itu (sebelum Konsili Vatikan II: 1962-1965), yang tidak
mengakui PI Protestan sebagai usaha PI yang sah. Orang-orang Kristen yang bukan RK
dianggap sebagai orang-orang Kristen yang palsu dan gereja Kristen Protestan dianggap
sebagai gereja yang murtad dari satu-satunya gereja yang mereka anggap benar, yakni
gereja RK. Pandangan ini sering dikemukakan pihak RK kepada orang-orang Kristen
Batak demi memenangkan missi mereka.
Berikut ini akan diuraikan beberpa pergumulan kekristenan atau gereaja di Indonesia
sampai sekarang, sebagai akibat warisan sejarah kekristenan atau gereja itu dari masa
yang lalu, antara lain:
Dengan daya tarik atau dorongan beberapa faktor yang disebut di atas, maka banyak
orang yang masuk menjadi Kristen secara massal atau berkelompok. Yang menjadi
69
persoalan ialah bagaimana pengajaran yang diberikan kepada mereka yang telah
menyatakan masuk menjadi Kristen itu. Persoalan ini menyangkut berapa lama
persiapan yang diberikan, cara persiapan dan bahasa yang diberikan dan juga
menyangkut tenaga.
2. Itulah cara dan bahan-bahan yang dipergunakan. Tetapi yang menjadi pertanyaan ialah
apakah cara dan bahan yang dipergunakan itu cocok untuk melepaskan mereka dari
kepercayaan dan adat mereka yang lama dan membawa kepada pengetahuan dan
kepercayaan yang benar kepada Allah di dalam Yesus Kristus? Apakah setelah
menghafal semua bahan-bahan itu mereka sudah mengetahui nilai-nilai kekristenan
dengan baik, dan menjadi sadar akan perbedaan antara kepercayaan dan adat mereka
yang lama dengan iman dan tata hidup Kristen? Jawaban yang bisa diberikan
berdasarkan perjalanan sejarah dan juga dari corak kehidupan yang ditunjukkan oleh
orang-orang Kristen itu sendiri ialah pada umumnya tidak. Kenapa dikatakan tidak,
antara lain karena:
Pertama, semua bahan-bahan yang diberikan itu adalah asing bagi orang-orang
Indonesia. Rumusan-rumusan dari bahan-bahan itu semua, adalah mencerminkan
pergumulan di Eropa yang tidak sesuai dengan situasi di Indonesia. Akibatnya, isinya
sulit mengena dalam hati mereka. Walaupun, mungkin isi semua bahan-bahan itu bisa
dihafal oleh otaknya, tetapi hal itu tidak banyak mempengaruhi kehidupan mereka.
Jalan yang terbaik sebenarnya ialah mengolah bahan-bahan itu sedemikian rupa dan
menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi di Indonesia, sehingga mereka dapat
memahami arti iman Kristen itu bagi seluruh kehidupan mereka.
Kedua, pola berpikir para penginjil. Para pekabar Injil tidak banyak mengenal
lingkungan hidup orang-orang hidup orang-orang yang diinjili, yakni agama dan
kebudayaan mereka. Ini disebabkan karena para penginjil itu tidak merasa perlu untuk
mempelajari dunia agama suku dan mereka memandang agama dan kebudayaan suku-
70
suku itu dari sudut negatif. Artinya mereka melihat agama suku itu hanyalah
penyembahan kepada iblis saja atau penyembahan kepada berhala-berhala.
71
dipergunakan di gereja-gereaja Belanda. Kitab Mazmur dan Nyanyian Rohani itu
sudah mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu pada zaman VOC dan mulai
terbit tahun 1735 dengan judul: “Sij’r, segala mazmur-mazmur Daud dan pujian-
pujian yang lain”. Kitab itu ditulis atas titah segala “Toewan Pemarentah
Kompanija”. Nyanyian-nyanyian itu juga mempergunakan lagu-lagu yang lazim di
gereja Belanda. Hasil yang sama juga terdapat di lingkungan gereja-gereja suku
hasil penginjilan penginjil-penginjil yang diutus badan-badan zending dari Eropa.
Misalnya di HKBP dipergunakan Kitab Nyanyian yang merupakan kumpulan dari
nyanyian-nyanyian yang berasal dari Eropa khususnya dari Jerman. Lagunya
langsung diambil alih, hanya syair-syairnya diterjemahkan ke dalam bahasa Batak.
Dalam hal ini juga terlihat tidak ada usaha dari penginjil-penginjil itu untuk
mempergunakan lagu-lagu Batak. Dan karena tidak ada usaha penginjil-penginjil itu
untuk melestarikan lagu-lagu atau musik Batak, maka musik asli Batak menjadi
hilang.
Karena terjemahan pertama itu tidak dapat diterima, maka majelis jemaat di
Batavia, menugaskan pendeta Leijdecker, yang melayani jemaat berbahasa Melayu
di kota itu, untuk mengadakan penerjemahan yang lebih baik. Dia sudah lebih ahli
dalam bahasa Melayu, dan sudah menguasai bahasa Melayu tinggi. Tetapi dari
atahun 1691-1701, ia hanya selesai mengerjakannya sampai surat Efesus. Yang
tertinggal diselesaikan oleh seorang pendeta yang lain. Terjemahan ini memang
juga sulit dipahami oleh orang yang bukan Kristen, karena kalimat-kalimatnya
terikat kepada bentuk kalimat bahasa aslinya (Ibrani dan Yunani), dan jmuga karena
banyak kata-kata sulit yang dipergunakan. Namun akhirnya pemerintah VOC
72
menerbitkan terjemahan Leijdecker itu. Dan terjemahan itu umum dipakai oleh
jemaat-jemaat berbahasa Melayu sampai abad 19. Dengan sulitnya memperoleh
terjemahan yang tepat, maka isi Alkitab itu belum bisa terserap dengan baik oleh
orang-orang Kristen itu. Setelah abad 19 lembaga-lembaga zending telah
mengusahakan penerjemahan yang lebih baik dalam bahasa-bahasa daerah,
bekerjasama dengan Lembaga-lembaga Alkitab yang ada.
Gereja Protestan juga mengikuti praktek Misi itu. Bahkan dalam tata gereja
Protestan atahun 1643 ditetapkan bahwa orang-orang Indonesia yang masuk Kristen
hanya diperbolehkan mengikuti Perjamuan Kudus apabila dia telah mengikuti
pengajaran agama Kristen lebih lanjut dan juga telah menyatakan niatnya untuk itu.
Karena itu hanya di jemaat-jemaat pusat sakramen Perjamuan Kudus itu bisa diikuti
oleh banyak orang, sedangkan di luarnya hampir tidak ada yang mengikuti. Dan
boleh dikatakan bahwa hampir 90% orang-orang Kristen Indonesia pada zaman
VOC tidak pernah mengikuti Perjamuan Kudus. Pada zaman selanjutnya, setelah
penginjilan Protestan dilakukan oleh badan-badan zending, Perjamuan Kudus susah
lebih merata bisa dilakukan oleh orang-orang Kristen Indonesia, karena pada waktu
itu pembinaan kekristenan sudah bisa dilakukan lebih merata. Hanya ada tanggapan
bahwa Perjamuan Kudus hanya bisa dilakukan oleh orang-orang Kristen yang
mempunyai kwalitas kekristenan yang lebih baik, sedangkan orang-orang yang
merasa dirinya masih banyak melakukan dosa enggan mengikuti Perjamuan Kudus.
Penggembalaan dan Disiplin Gereja. Baik pada zaman Missi Katolik maupun
pada Gereja Protestan, penggembalaan dilakukan dengan mengadakan
perkunjungan ke rumah-rumah, dan juga mengunjungi orang-orang sakit.
Penggembalaan atas anggota Gereja Protestan terutama dilakukan berhubung
dengan perayaan Perjamuan Kudus. Artinya, sebelum perayaan, setiap keluarga
dikunjungi oleh seorang pendeta disertai oleh seorang penatua. Yang banyak
mengunjungi orang-orang sakit ialah penghibur-penghibur orang sakit. Kepada
orang sakit itu diberi penghiburan dan dorongan untuk tetap berpengharapan dan
bertekun dalam imannya. Di jemaat-jemaat filial (di luar pusat), penggembalaan
73
dilakukan oleh guru-guru Injil bertugas di sana. Disiplin gereja juga dipertahankan
dan dijalankan. Di jemaat-jemaat pusat Protestan, pelaksanaan disiplin ini ditangani
oleh majelis jemaat. Pada waktu-waktu tertentu majelis jemaat membicarakan hidup
seluruh jemaat, orang demi orang atau keluarga demi keluarga. Kalau ada yang
tidak setia datang ke gereja, atau yang melanggar hukum-hukum gereja atau hukum
kekristenan, orang tersebut akan dikunjungi dan ditegor, mula-mula oleh seorang
pendeta, kemudian pendeta bersama seorang diaken. Kalau orang tersebut tetap
keras kepala, maka yang bersangkutan harus menghadap majelis jemaat. Karena
gereja berhubungan erat dengan pemerintah pada waktu itu, campur tangan
pemerintah sering juga dimintakan untuk menjaga disiplin gereja dan menjalankan
hukuman bagi orang-orang yang melanggar disiplin gereaja. Hukuman itu ada
berupa denda, dan bahkan ada hukuman mati.
5. Di luar jemaat-jemaat pusat yang tidak mempunyai pendeta dan belum mempunyai
majelis, disiplin itu tidak dapat dijalankan dengan sungguh-sungguh. Disiplin baru
dijalankan kalau pendeta datang berkunjung. Demikian juga kepada penguasa-penguasa
dalam pemerinatahan VOC dan penjajah, terutama di luar kota Batavia, pelaksanaan
disiplin itu tidak dapat dijalankan dengan sungguh-sungguh. Apabila seorang penguasa
yang melanggar hukum-hukum gereja, pendeta dan majelis jemaat setempat sering
tidak berdaya menghadapi mereka. Misalnya kalau seorang gubernur ditegur karena
perilakunya yang kurang senonoh dsb., kemungkinan besar pendetanya yang
dibelenggu atau yang diadili, telah menghina gubernur tersebut. Karena tidak
berdayanya pendeta atau majelis untuk menjalankan disiplin gereja itu dengan sungguh-
sungguh terhadap semua pihak, khususnya terhadap penguasa dan pejabat pemerintah,
maka korupsi dan pemerasan rakyat merajela. Sejalan itu gereja juga tidak dapat
bersikap kritis terhadap pemerintah, kalau misalnya ada tindakan pemerintah yang telah
melanggar azas-azas kekristenan atau azas-azas hukum gereja.
Organisasi Gereja. Pada zaman Portugis, missi Katolik mempunyai organisasi
rangkap. Di satu pihak, karena “padroado”, tugas-tugas gerejani telah diserahkan
paus kepada raja Portugis. Raja itulah yang mengangkat uskup-uskup dan mengirim
imam-imam yang harus memelihara orang-orang Kristen dan mengabarkan Injil
kepada orang-orang yang bukan Kristen. Dengan kata lain gereja dan kegiatan-
kegiatannya berada di bawah pimpinan raja. Tetapi Islam pihak lain ada juga di
antara pekerja-pekerja gereja itu anggota-anggota kebiaraan tertentu, yang juga
harus tunduk kepada kepala ordonya di Roma dan yang harus bertanggungjawab
kepada Paus. Ini sering menimbulkan pertikaian antara pihak pemerintah dan
pekerja-pekerja gereja. Dan dalam hierarki organisasi gereja, pada zaman itu belum
ada seorang pun orang Indonesia asli yang diberi jabatan imam, apabila jabatan
uskup.
Gereja Protestan, baik pada zaman VOC maupun pada zaman kolonialis Belanda,
berada di bawah pimpinan pemerintah. Pengangkatan dan pemindahan pendeta serta
tenaga-tenaga lain sama sekali ditangani oleh pemerintah. Rapat-rapat majelis wajib
dihadiri oleh wakil pemerintah. Surat-surat gereja di Indonesia kepada gereja-gereja
di negeri Belanda, harus dikirim dalam keadaan terbuka melalui pos kompeni.
Keadaan gereja yang berada di bawah kekuasaan pemerintah itu telah melumpuhkan
gereja, sehingga gereja tidak dapat mengeluarkan kritik terhadap pemerintah. Dan
kalaupun pihak pendeta dan majelis gereja mencoba mengadakan protes terhadap
74
pemerintah atas suatu tindakan pemerintah yang tidak memberi kebebasan kepada
gereja, protes-protes itu tidak berguna.
Karena hubungan yang erat antara gereja dan pemerintah, struktur organisasi gereja
juga diresapi oleh suasana yang berlaku dalam tubuh pemerintahan, yakni suasana
hierarkis. Keadaan organisasi gereja itu tidak memberi kesempatan kepada jemaat
untuk berdiri sendiri, karena anggota jemaat, yang berada pada tingkat paling bawah
hanya dijadikan sebagai objek. Pengaruh pemerintah yang sangat besar
menyebabkan gereja diliputi suasana yang tidak cocok dengan hakekatnya sendiri.
6. Perjumpaan gereja dengan budaya. Dalam bagian ini akan kita lihat bagaimana sikap
para missioner atau para utusan Injil terhadap kebudayaan di Indonesia. Hal yang
sangat perlu ditinjau secara historis, karena sikap gereja-gereja di Indonesia sekarang
terhadap kebudayaan, masih banyak dipengaruhi oleh sikap yang diwarisi dari utusan-
utusan Injil dulu. Untuk ini kita akan melihatnya dalam tiga daerah penginjilan, yakni
Jawa (Jatim dan Jateng), Sulawesi Tengah dan Tanah Batak.
Jawa. Seperti sudah diuraikan dalam bagian Sejarah Gereja di Jawa, khususnya di
Jatim dan Jateng, bahwa usaha penginjilan di sana adalah dimulai oleh orang-orang
Kristen perorangan yang berdomisili di sana, barulah kemudian dilanjutkan oleh
badan-badan zending yang datang dari Eropa/Barat, setelah mulai mendapat izin
dari pemerintah Belanda tahun 1850an. Juga sudah dijelaskan bahwa penginjil-
penginjil perorangan itu mempunyai sikap yang berbeda terhadap kebudayaan
setempat atau kebudayaan suku Jawa itu sendiri. Ada yang bersikap positif,
sehingga kebudayaan itu dipergunakan dalam menyebarkan Injil itu dan dalam
hidup kekristenan. Emde (1774-1859) misalnya, seorang Kristen pietis Jerman,
yang tinggal di Surabaya, dan yang memulai kegiatan PI di Jawa Timur, tahun
1815, menunjukkan sikap negatif terhadap kebudayaan Jawa. Orang-orang Kristen
yang baru dibaptis dituntut untuk hidup mengikuti kebudayaan atau adat kebiasaan
Eropa, misalnya dalam hal berpakaian. Dan orang-orang Kristen itu tidak
diperbolehkan menonton wayang, mendengarkan gamelan, menyelenggarakan
upacara-upacara selamatan secara adat Jawa, dll, karena adat kebiasaan seperti itu
dianggap bersifat kekafiran.
Suatu sikap yang berbeda dengan sikap ini ialah sikap Coolen, yang mengadakan
penginjilan juga di Jawa Timur dengan pusatnya di Ngoro. Dia bersikap positif
terhadap kebudayaan Jawa itu. Dia memang menguasai wayang, musik dan tari-
tarian Jawa, karena ia adalah seorang peranakan Belanda-Jawa. Ayahnya seorang
Belanda, dan ibunya seorang puteri bangsawan Jawa. Pada hari Minggu, Coolen
mengadakan kebaktian di pendopo rumahnya. Dalam kebaktian itu diperdengarkan
nyanyian gaya tembang Jawa. Pengajaran Kristen disampaikan dengan bermain
gamelan, wayang dan kiki, sambil mengulangi rumus-rumus Kristen (Doa Bapa
Kami, dsb), hampir sama dengan cara yang dipakai oleh santri-santri Islam. Dengan
cara seperti itu tealah terbentuk jemaat Kristen, yang untuk memimpinnya diangkat
seorang pengantar jemaat, yang disebut Kyai penghulu.
75
bersifat Jawa. Sadrakh adalah seorang penginjil yang hidupnya berlatar belakang
Islam Jawa abangan dan berpendidikan pesantren di Jawa Timur. Seperti kebiasaan
yang terdapat dalam masyarakat Jawa untuk mencari “ngelmu”, begitulah Sadrakh
tidak henti-hentinya kesana kemari berguru dari seorang guru yang satu kepada
guru yang lain, sampai pada saat dia menemukan “ngelmu” yang paling tinggi,
yakni keyakinan Kristen, berkat hubungannya dengan orang-orang Kristen awam
seperti Mr. Anthing di Batavia. Setelah dia dibaptis menjadi Kristen, dia menjadi
seorang penginjil di Purworejo, Jawa Tengah. Dia mengabarkan Injil itu sama
seperti kyai-kyai Jawa menyebarkan “nglemu” yang dimilliki, yakni dengan
melakukan perdebatan. Dalam kebiasaan kyai Jawa, barang siapa yang kalah dalam
perdebatan, maka ia bersama-sama dengan muridnya harus tunduk dan berguru
kepada guru atau kyai yang menang. Begitulah Sadrakh, dalam mengabarkan Injil
itu tidak pernah dikalahkan oleh guru-guru “ngelmu” yang lain, sehingga dalam
waktu yang relatif singkat, dia menjadi seorang yang terkenal dan mempunyai
banyak pengikut, sehingga dengan demikian terbentuklah banyak jemaat yang dia
pimpin di banyak tempat di Jateng.
Sifat dari jemaat-jemaat itu juga mencerminkan perkutuan antara guru dan murid-
murid yang lebih menekankan ikatan batiniah daripada ikatan organisasi. Pengikut-
pengikut Sadrakh menganggap diri mereka sebagai anak-anak dan cucu-cucu
Sadrakh. Jemaat setempat dipimpin oleh seorang imam yang diangkat oleh Sadrakh.
Imam-imam itu kebanyakan adalah bekas kyai-kyai atau guru-guru ngelmu. Para
imam itu juga bertanggungjawab atas kebaktian dan upacara agamaniah yang
dilakukan. Dalam kehidupan jemaat, adat dan tata cara Jawa masih tetap
dipertahankan. Karena menurut prinsipnya, orang Kristen Jawa itu harus tetap
tinggal sebagai orang Jawa dengan segala adat kebiasaannya. Gedung-gedung
gereja dibangun bukanlah berbentuk gereja yang bercorak atau bergaya Eropa,
tetapi dibangun berbentuk joglo (rumah Jawa) atau bahkan juga mirip mesjid Islam.
Dan di atasnya tidak dibuat tanda salib, tetapi persilangan dari dua anak panah
tokoh perwayangan Jawa.
7. Sulawesi Tengah. Seperti sudah kita ketahui, dalam pembahasan sejarah gereja
Sulawesi Tengah, penginjil pertama dan terkemuka di Sulawesi Tengah ialah A.C.
Kruyt (1869-1949). Dia diutus oleh NZG untuk bekerja di sana mulai tahun 1891. Dia
seorang penginjil yang telah berhasil menanamkan Injil di tengah-tengah masyarakat
Sulawesi Tengah. Keberhasilannya itu disebabkan antara lain karena dia sudah
mempunyai sikap yang lebih terbuka kepada budaya dan agama asli suku setempat.
Dalam pendekatannya terhadap masyarakat Poso, yang dijadikan sebagai pusat
penginjilannya, dia tidak menyerang agama asli orang-orang Poso itu secara langsung.
Ini sudah berbeda dari sikap yang ditunjukkan oleh penginjil-penginjil sebelumnya dan
kebanyakan penginjil pada zamannya dari Eropa, yang terus menyerang agama dan
76
budaya suku setempat yang diinjili. Bagi Kruyt usaha PI memerlukan persiapan yang
matang. Pekabar-pekabar Injil wajib mengenal lebih dulu dengan baik lingkungan
masyarakat yang didekati dan menanggapinya dengan sungguh-sungguh. Berdasarkan
pendirian inilah maka dia tidak menyerang secara langsung agama orang-orang Poso
itu, tetapi dia berusaha lebih dulu mempelajarinya dengan sedalam-dalamnya. Banyak
karangan yang ditulisnya berdasarkan hasil penelitiannya itu, yang membuat dia
menerima gelar “Doctor Honoris Causa” dalam ilmu theologia tahun 1913. Bagi Kruyt,
Injil itu harus diperkenalkan kepada orang dalam lingkungannya sendiri, dan hanya
kalau kita mengenal lingkungan itu dengan baik, maka kita dapat mempertemukan
kedua belah pihak. Hanya dengan cara itu, Injil dapat menjadi kekuatan yang mengubah
kehidupan orang, yakni dari dalam.
8. Dalam pembinaan tata kehidupan Kristen, sesuai dengan sikapnya terhadap agama dan
kebudayaan suku Poso, Kruyt berusaha supaya tata kehidupan yang harus diterima
orang-orang Kristen yang baru itu sebanyak mungkin mempunyai kesinambungan
dengan yang lama. Dalam banyak hal, pengaruh latar belakang pra-Kristen dalam
jemaat tidak ditentang, melainkan diterima atau dibelokkan saja. Misalnya upacara-
upacara membersihkan kuburan, yang bertujuan menjamin panen yang berhasil,
menurut dia baik dipertahankan, hanya waktunya dipindahkan dari bulan Desember ke
hari Paskah, dan dihubungkan kepada kebangkitan Kristus.
Tanah Batak. Usaha penginjilan di Tanah Batak dilakukan oleh zending RMG dari
Jerman, dan salah seorang penginjilnya yang paling berhasil dan digelar sebagai
rasul orang Batak ialah I.L. Nommensen. Dalam melakukan pendekatan terhadap
masyarakat Batak, dia telah menggunakan struktur-struktur adat Batak itu sendiri.
Mula-mula dia mendirikan desa atau perkampungan Kristen untuk menampung dan
memberi perlindungan bagi orang-orang Batak. Setelah adanya pemisahan ini maka
dibuatlah ketentuan yang menunjukkan sikap dari para penginjil itu, dalam
konferensi mereka tahun 1872, yakni: setiap partisipasi dalam hal-hal yang bersifat
agamani dilarang dan bahkan dihalang-halangi dengan keras, tetapi persekutuan
adat dipertahankan terus. Itu berarti bahwa orang-orang Kristen tidak boleh ikut
serta dalam “pesta-pesta atau perayaan-perayaan parbegu dan Islam”. Berdasarkan
ini maka orang-orang Kristen yang ikut serta dalam pesta penguburan orang mati di
mana dibunyikan “gondang” atau musik tradisional Batak dibunyikan, maka mereka
akan dikenakan disiplin gereja (dikucilkan dari gereja), walaupun mereka hanya
menonton (maniondur) di sana. Jadi pesta penguburan orang mati menurut
kebiasaan Batak dan juga pemukulan “gondang” Batak dilarang dilakukan dan
diikuti oleh orang-orang Kristen karena hal itu dianggap bersifat keagamaan
parbegu. Sikap membedakan dan memisahkan keagamaan dan adat Batak itu telah
menimbulkan sikap yang mendua dalam diri orang-orang Kristen di kemudian
(bahkan sampai sekarang), yang memisahkan urusan keagamaan (gereja) dari
kehidupan adat Batak itu sendiri.
9. Penyebaran Injil yang dilakukan oleh badan-badan zending itu umumnya tidak
berhubungan dengan GPI yang diasuh oleh pemerintah Belanda, tetapi bekerja secara
sendiri-sendiri di daerah-daerah atau suku-suku tertentu sesuai dengan pengaturan dan
izin yang diperoleh dari pemerintah kolonial Belanda. Di daerah-daerah atau suku-suku
78
tertentu, tumbuhlah jemaat-jemaat Kristen yang mempergunakan bahasa daerah/suku
tersebut, dan mengikuti tradisi atau corak teologi yang dibawakan oleh penginjil-
penginjil itu, sesuai dengan latar belakang kegerejaannya di Eropa atau Amerika.
Dengan demikian tertanamlah dasar-dasar bagi tumbuhnya gereja-gereja yang bersifat
kesukuan (ethnis) dan kedaerahan di Indonesia, yang mempunyai corak dan tradisi yang
berbeda-beda, sesuai dengan latar belakang historis yang menempa dirinya. Gereja-
gereja suku dan gereja-gereja daerah itu kemudian makin menuntut menjadi gereja yang
berdiri sendiri, yang dimulai oleh HKBP tahun 1930, dan disusul oleh gereja-gereja
lain. Tetapi di kemudian hari keadaan ini telah menimbulkan banyak masalah dan
pergumulan yang dihadapi oleh gereja-gereja di Indonesia, karena ternyata dalam
masing-masing gereja itu, sifat kesukuan dan kedaerahan sering lebih menonjol. Dan
sifat-sifat itu sering telah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perpecahan
gereja-gereja itu sendiri, dan bahkan seperti sudah disebut di atas, sebagai salah satu
faktor penghambat dalam mewujudkan gereja Kristen yang esa di Indonesia.
Pada zaman VOC di Indonesia, hubungan gereja dan negara, hampir sama dengan
yang terjadi pada zaman Portugis, yakni gereaja di bawah kekuasaan negara, bahkan
gereja itu ikut diperalat oleh VOC dalam mencapai tujuan ekonomi dan politiknya
di Indonesia. Tujuan utama orang-orang Belanda (VOC) juga sama dengan tujuan
orang-orang Portugis, yakni melaksanakan monopoli perdagangan, yang untuk itu
perlu menguasai daerah-daerah yang menghasilkan tanam-tanaman yang berharga
dalam perdagangan mereka. Jadi berangkat dari tujuan ekonomi itu, mereka ingin
menguasai daerah demi daerah secara politis. Sikap mereka terhadap agama
setempat (Islam dan agama suku) didasarkan atas tujuan ekonomi dan politis
mereka itu. Untuk memelihara rohani orang-orang Belanda di Indonesia, VOC
memperkerjakan sejumlah pendeta dan pelayan-pelayan gereaja yang lain. Dan
sejauh tidak merugikan terhadap usaha dagang mereka, para pendeta ini juga
ditugaskan oleh VOC untuk mengabarkan Injil di tengah-tengah orang-orang
pribumi yang masih menganut agama suku. VOC dalam hal ini menganggap dirinya
sebagai negara yang berkewajiban mendukung kehidupan bergereja bagi anggota-
79
anggotanya, dan juga untuk memprotestankan “orang-orang RK dari kalangan
pribumi sebagai peninggalan dari orang-orang Portugis”. Tetapi VOC sebagai
sebuah serikat dagang yang mengutamakan keuntungan ekonomis, tidak pernah
melakukan seluruh tuntutan pasal 36 dari Pengakuan Iman Belanda terhadap setiap
“penguasa Kristen”, yaitu “memelihara gereja yang kudus, melawan serta
memberantas segala agama palsu dan penyembahan berhala, memusnahkan
kerajaan anti Kristus dan memajuka kerajaan Yesus”. VOC sebagai penguasa
Kristen Protestan (Calvinis) di Indonesia, tidak selalu sependapat dengan negara
Belanda dalam bidang keagamaan atau kegerejaan. Gereja Protestan VOC yang
secara praktis berpusat di Batavia, terlalu dikuasai oleh VOC. Penguasaan VOC atas
gereja itu terutama nampak dalam tiga hal, yakni:
Pertama, di bidang rapat-rapat majelis gereja. Setiap rapat majelis gereja harus
dihadiri oleh orang yang mewakili pemerintah VOC pada waktu itu. Pemerintah
melalui wakilnya itu ingin mengetahui segala sesuatu yang dibicarakan dan
diputuskan dalam rapat, dan kalau perlu ikut mempengaruhi segala keputusan
yang akan diambil oleh rapat.
Kedua, dalam hal mutasi para pendeta. Hak untuk menempatkan dan
memindahkan para pendeta yang dikirim oleh “gereaja induk” dari nergeri
Belanda, berada di tangan Gubernur Jenderal sebagai penguasa tertinggi di
daerah kekuasaan VOC. Dalam soal penempatan dan mutasi para pendeta itu
sering terjadi perselisihan antara “gereja induk” dan penguasa Kristen di
Indonesia.
Ketiga, di bidang surat menyurat antara gereja di Indonesia dengan “gereja
induk” di negeri Belanda. Segala surat-surat yang dikirim oleh gereja VOC di
Indonesia harus melalui sensor Gubernur Jenderal, supaya perbuatan gereja itu
selalu sesuai dengan keinginan penguasa VOC. Hal ini berlangsung terus hingga
masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, sampai terjadinya pemisahan
secara “administratif” antara gereja dan negara tahun 1935.
Semuanya ini menunjukkan betapa kedudukan gereja pada zaman VOC sebagai
gereja negara, yang sangat dikuasai oleh pemerintah VOC. Cita-cita “gereja induk” di
negeri Belanda yang mau menerapkan tata gereja “presbiterial sinodal” di dalam
tubuh gereja di Indonesia tidak berhasil, karena segala sesuatu yang menyangkut
persoalan organisasi dalam gereja VOC itu, adalah ditentukan oleh Gubernur
Jenderal. Setelah VOC bubar, dan digantgi oleh pemerintahan kolonial Belanda,
kebebasan beragama/bergereja telah dicanangkan di seluruh daerah jajahan Belanda
di Indonesia. Itu berarti bahwa agama yang dianggap resmi di daerah kekuasaan
Belanda, bukan lagi hanya agama Protestan Calvinis, tetapi juga agama-agama
Kristen lainnya, baik yang tergolong kepada Gereja Reformasi, maupun Gereja Roma
Katolik. Itu berarti, bahwa pada dasarnya, tidak ada lagi gereja yang berkedudukan
sebagai gereja negara.
Raja Belanda, Willem I, sebagai penguasa tertinggi di negeri Belanda dan daerah-
daerah jajahan ingin menerapkan kehidupan kebebasan beragama di kalangan orang-
orang Kristen Protestan, baik di negeri Belanda maupun negeri jajahan. Raja ingin
mempersatukan berbagai gereja Protestan menjadi satu Gereja. Untuk
menjalankannya, Willem I telah mengumumkan Penetapan Raja tahun 1815, yang
80
melimpahkan segala urusan kegerejaan kepada kementerian jajahan. Di samping itu,
di Den Haag dibentuk satu komisi yang disebut “Haagse Commissie” yang bertugas
untuk menyediakan tenaga-tenaga gereja untuk daerah jajahan di Indonesia. Langkah
ini adalah suatu upaya untuk melepaskan Gereja Protestan di Indonesia dari
ketergantungannya dengan “gereja induk” di negeri Belanda, yakni Gereaja
Hervormd. Dengan demikian akan terbuka suatu jalan untuk membentuk suatu
“gereja kesatuan” di Indonesia untuk menggantikan “Gereja Calvinis”. Penetapan
“Gereja Kesatuan” itu dikukuhkan oleh Raja tahun 1835 untuk seluruh gereja-gereja
“Kristen Protestan” yang ada di Indonesia, baik yang berasal dari orang Eropa
maupun yang menjadi Kristen dari kalangan pribumi, tanpa membedakan jenis
konfesi tertentu (hervormd, lutheri, baptis, dll). Dalam peraturan gereja itu tahun
1840, ditetapkan bahwa setiap orang Protestan adalah anggota dari Gereja tersebut.
Ajaran dari Gereja Kesatuan itu dirumuskan secara sederhana dan singkat, sebagai
berikut: “Ajaran agama dari pada Gereja Protestan Am di Indonesia adalah ajaran
dari pada Injil sesuai dengan asas-asas Protestan”.
Tetapi walau secara teoritis pemerintah Belanda telah menetapkan kebebasan
beragama/bergereja di seluruh daerah yang dikuasai, namun di Indonesia pemerintah
kolonial Belanda tidak memberlakukan kebebasan bergereja itu bagi Gereja Kesatuan
atau “Gereja Protestan di Indonesia” itu. Secara struktur gereja ini masih tetap
diperlakukan sebagai “Gereja Pemerintah” atau “Gereja Negara”, sebagaimana halnya
terjadi pada Gereja VOC. Pengurus Pusat (Kerkbestuur) dari gereja itu berkedudukan
di Jakarta adalah dibentuk oleh Pemerintah Belanda. Ketuanya adalah salah seorang
anggota “Dewan Hindia Belanda”, anggotanya terdiri adari para pendeta yang
bertugas di Jakarta. Mereka dilantik oleh Gubernur Jenderal sebagai pelaksana
penguasa tertinggi di Indonesia. Pengangkatan, penempatan, dan pemindahan para
pendeta, atau usul dewan pengurus, dilakukan oleh Gubernur Jenderal. Semua biaya
gereja juga ditanggung oleh pemerintah kolonial Belanda. Dan surat-surat dari Gereja
atau dari pendeta yang bertugas di Indonesia yang ditujukan kepada “gereja induk” di
negeri Belanda juga harus disensor oleh Gubernur Jenderal. Dengan demikian
kebebasan bergereja itu dalam tubuh GPI tidak terlaksana sama sekali, dan bahkan
sebagaiman pada zaman VOC, gereja itu juga dipakai sebagai alat politisnya.
10. Keadaan ini tidak diinginkan oleh kalangan tertentu (tokoh gereja dan juga politis) di
negeri Belanda dan juga di daerah jajahan di Indonesia. Sejak tahun 1863 pihak
pemerintah kolonial Belanda telah mengupayakan pemisahan lembaga gereja dari
lembaga negara, tetapi gagal, karena belum ada jalan keluar untuk mengatasi masalah
sumber daya dan dana yang selama ini datang dari pemerintah kolonial Belanda.
Persoalan ini juga telah pernah dibahas selama dalam “Dewan Rakyat” (Volksraad),
pemisahan gereja dan negara bukan hanya di bidang administrasi, tetapi juga di
bidang keuangan. Tetapi usul ini juga tidak berhasil, karena telah muncul pula usaha-
usaha dari gereja-gereja di daerah tertentu yang dulu masuk naungan GPI menjadi
Gereja yang berdiri sendiri. Misalnya GMIM sudah menyatakan berdiri sendiri tahun
1934 (30 September), satu tahun sebelum Ratu Belanda menetapkan pemisahan
lembaga Gereja dan Negara secara administratif dalam lingkungan GPI, yakni 1
Agustus 1935. Setelah itu menyusul lagi gereja-gereja daerah lain yang dulu dalam
naungan GPI, menjadi gereja yang berdiri sendiri, yakni: GPM tahun 1935 (6
September), GMIT tahun 1947 dan GPIB tahun 1948. Tetapi walaupun GPI dan
gereja-gereja itu semua telah dinyatakan berdiri sendiri, namun masih banyak
81
tergantung dalam bidang keuangan kepada pemerintah kolonial Belanda. Pemisahan
di bidang keuangan barulah dilakukan 15 tahun setelah penetapan raja tahun 1935 itu,
yakni setelah penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia merdeka. Dengan
demikian GPI beserta gereja-gereja daerah dalam lingkungannya sudah berdiri sendiri
dalam segala urusan gereja, terpisah dari lembaga Negara atau pemerintah. Usaha
untuk menjadi gereja yang berdiri sendiri timbul juga di tengah-tengah gereja-gereja
di luar naungan GPI, yakni gereja-gereja yang dihasilkan oleh berbagai badan zending
yang datang dari luar. Usaha ini erat kaitannya dengan gerakan nasionalisme yang
timbul di tengah-tengah bangsa Indonesia, yang berjuang untuk membebaskan bangsa
Indonesia dari kekuasaan kolonial. Dalam kaitannya dengan gerakan kemandirian itu,
gereja-gereja tersebut telah berusaha untuk melepaskan diri dari dominasi pendeta-
pendeta Eropa/Barat, dan ingin dipimpin oleh putera daerah sendiri. Peluang untuk
memperoleh status sebagai gereja yang memperoleh pengakuan dari pemerintah telah
dimungkinkan oleh Keputusan Raja (Belanda) tahun 1925, yang menetapkan bahwa:
“gereja-gereja serta perhimpunan-perhimpunan gerejawi, bersama masing-masing
unsurnya yang mandiri…secara hukum memiliki kedudukan badan hukum”.
Berdasarkan Keputusan Raja tahun 1925 itu telah banyak gereja suku dan gereja
daerah yang memohon untuk mendapat pengakuan sebagai badan hukum.
Permohonan itu diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan syarat,
permohonan itu disetujui oleh “gereja induk” atau lembaga PI yang telah melahirkan
gereja tersebut. Pemberian status sebagai badan hukum yang memperoleh pengakuan
dari pemerintah Belanda dimulai kepada HKBP tahun 1931, setelah gereja ini telah
menyusun tata gerejanya yang membuat gereja itu memperoleh status sebagai gereja
yang berdiri sendiri mulai tahun 1930. Setelah HKBP menyusul GKJW (1931) dan
Gereja Kristen Pasundan tahun 1934, dll. Dengan status sebagai badan hukum maka
gereja itu dapat memperoleh perlindungan hukum dari pemerintah, dapat mempunyai
hak milik, melakukan jual-beli, transaksi utang-piutang, gugat-menggugat
berdasarkan peraturannya yang telah ditetapkan, dll.
11. Setelah Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, sebagian kebijaksanaan yang pernah
dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda sudah berakhir, sejak pemerintahan
diganti oleh Pemerintah RI. Namun menurut J.R. Hutauruk (Perjumpaan Gereja
dengan Negara dalam Proses Sejarah Gereja di Indonesia, sebuah makalah dalam
Studi Institut Sejarah Gereja 5-15 Juli 1993 di Kaliurang, Yogyakarta), paling sedikit
ada tiga hal yang masih tetap hadir dalam kehidupan bergereja dalam lingkungan
pemerintah RI sampai kini, yakni:
Pertama: kebebasan beragama sebagai salah satu unsur dari hak-hak asasi manusia
tetap berlaku hingga kini, seperti tercantum dalam UUD RI 1945. Sejiwa dengan ini,
pemerintah RI telah mengeluarkan “Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri” No. 01/BER/mdn-mag/1969 tentang: Pelaksanaan tugas aparatur
pemerintah dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan
dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeluknya”. Keputusan itu telah disambut oleh
pihak Kristen Protestan dan Katolik melalui “Dep. Gereja dan Masyarakat DGI dan
Kantor Wali Gereja Indonesia” dalam bentuk “Memorandum”, Jakarta 10 Oktober
1969. Berdasarkan beberapa konsiderasi historis dan hukum diungkapkan bahwa, “…
kami berpendapat bahawa Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri…tidak dapat menjamin kemerdekaan beragama seperti tercantum dalam pasal
82
29 UUD 1945, bahkan dapat membahayakan kesatuan dan persatuan negara dan
bangsa Indonesia…mohon ditinjau kembali”.
Kedua: lembaga-lembaga gereja yang dulu telah diakui sebagai “gereja” dan dengan
demikian memiliki status badan hukum, seperti nampak dalam kebijakan pemerintah
RI membaharui pengakuan pemerintah terdahulu. Contoh: Pengakuan Pemerintah
untuk HKBP tanggal 11 Juni 1931 No. 48, Lembaran Negara tahun 1932, No. 360,
telah dilanjutkan dengan Pengakuan Ulang Pemerintah RI tanggal 2 April 1968, No.
Dd/P/DAK/d/135/68 dan Pengakuan Ulang Pemerinatah RI Cq. Dep. Agama RI No.
33 tanggal 6 Pebruari 1988. Sejajar dengan statusnya sebagai Badan Hukum, maka
setiap gereja di Indonesia harus memperhatikan dan melaksanakan ini dari “UU RI
No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan”. Dalam pasal 1 disebut:
“Dalam UU ini yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah Organisasi
yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara RI secara suka rela atas dasar
kesamaan kegiatan, profesi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
untuk berperan serta dalam Pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional
dalam wadah Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila”. Dan DGI/PGI
melalui keputusan Sidang Raya di Ambon telah menyetujui bahwa DGI/PGI beserta
anggota-anggotanya telah mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sebagaimana tercantum dalam
pasal 2 UU RI No. 8 tahun 1985 di atas. Pengakuan tersebut telah tercantum dalam
tata negara masing-masing Gereja.
Ketiga: dalam bidang PI, misi atau dakwah, yang sejak dulu telah diatur sedemikain
rupa sehingga asas kebebasan beragama dan aspek kehidupan umum yang harus
menjaga “keamanan dan ketertiban” masih mewarnai pergumulan setiap pemeluk
agama di Indonesia saat ini. Keputusan menteri agama No. 70 dan 77 tahun 1978
dalam rangka penyelenggaraan kebebasan beragama dan pemeliharaan kerukunan
nasional telah disambut oleh pihak Kristen Protestan dan Katolik melalui suatu
tinjauan kritis serta memberikan beberapa alternatif untuk melaksanakannya.
84
1612: Ambon dan Kupang mendapat seorang pendeta
1613: Solor direbut orang-orang Belanda, misi di Halmahera ditinggalkan.
1614: Ds. Wiltens di Ambon
1619: Misi di Sulut di hidupkan kembali, Batavia didirikan dan dikepung oleh Sultan
Mataram
1620: Ds. Dackaerts membuka pendidikan guru di Ambon.
1621: Jemaat Batavia didirikan
1621-1633: Seminari teologia di Leiden Nederland khusus untuk mendidik pendeta-
pendeta bagi jemaat-jemaat di Asia
1622: Usaha misi di seluruh dunia ditempatkan di bawah pengawasan suatu badan
pusat di Roma yakni: Congregatio de propaganda vide
1622: Ds. Hulseboss meninggal di Ambon.
1623: Peraturan gereja Batavia dikeluarkan
1624-1633: Ds. Heurnius di Batavia. Pergumulan antara gereja dan pemerintah VOC
mengenai kebebasan gereja. Usaha zending di kalangan orang-orang Tionghoa.
1625: Jemaat Ambon mendapat majelis, seorang pendeta ditempatkan di Banda.
1628: Misi di Siau dihidupkan kembali.
1633-1635: Ds. Heurnius di Saparua berusaha untuk memakai bahasa daerah.
1635: Heurnius kena racun, ia pindah ke Ambon dan di sana mendidik calon-calon
pendeta dari orang-orang Ambon
1638: Heurnius meninggalkan Ambon
1661: Ds. Cornelis Senen meninggal
1663: Orang-orang Spanyol meninggalkan Maluku
1666: Orang-orang Belanda membangun Benteng di Manado, orang-orang Kristen di
Minahasa di Protestankan
1667/1683: Ternate ditaklukkan Belanda.
1667: Perjanjian Baru terjemahan Brouwerius terbit.
1670: Raja Salomo dari Kupang dibaptis; seorang pendeta ditempatkan di Kupang
tetapi segera meninggal.
1670-1675: Seorang penghibur orang sakit bekerja di pulau Aru.
1675: Seorang pendeta ditempatkan di Manado, tetapi segera meninggal. Sangir untuk
pertama kali dikunjungi oleh seorang pendeta.
1676: Belanda dan Ternate merebut pulau-pulau Sangir dan Siau. Orang-orang Kristen
di sana diprotestankan.
1690: Usaha Missi di Kalimantan. P. Ventimiglaia dibunuh.
1691: Ds. Leijdecker ditugaskan menerjemahkan Alkitab.
1701: Ds. Leijdecker meninggal.
1706: Terjemahan Leijdecker selesai.
1733: Alkitab Terjemahan Leijdecker selesai dicetak.
1734: Buku Mazmur gubahan Werndly terbit.
1740 an: Gerakan ke arah Agama Kristen di pulau Rote.
1743: Zendeling-zendeling Hernhut (Pietis) ditolak VOC.
1750: Gerakan ke arah Agama Kristen di pulau Sawu.
1753: Seorang pendeta ditempatkan di Kupang dan Semarang.
1758: Seorang pendeta ditemaptkan di Surabaya.
85
1765: Di Batavia bekerja 13 orang pendeta.
1797: “Nederlands Zendeling Genootschap” (NZG) didirikan di negeri Belanda.
1799: VOC dibubarkan.
1800:Indonesia di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda.
1807: Kebebasan beragama mulai berlaku di Hindia Belanda.
1808: Dua imam Katolik Roma mendarat di Batavia.
1811 : Pulau Jawa diduduki Inggris. Tinggal tiga orang pendeta di sana.
1812: William Robinson dari Baptist Missionary Society (BMS) tiba di Batavia.
1814: Joseph Kam dan Bruckner tiba di Batavia. Kam bekerja di Surabaya dan berhasil
mengobarkan semangat Emde. Jabez Carey dari BMS tiba di Ambon.
1815: Joseph Kam tiba di Ambon. Baseler Mission didirikan.
1817: Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dibentuk. Joseph Kam mengadaakan
perjalanan ke Ternate, Minahasa dan Sangir.
1818: Jabez Carey dilarang pemerinatah kolonial Belanda bekerja di Ambon dan
kembali ke India; NZG mengutus rombongan zendeling yang kedua berjumlah tiga
orang.
1819: Le Bruyn menjadi pejabat pendeta di Kupang.
1820: NZG mengutus rombongan zendeling yang ketiga berjumlah lima orang.
Bruckner menyelesaikan penerjemahan PB ke dalam bahasa Jawa.
1822: Dua zendeling ditempatkan di Minahasa.
1823: Kam mengunjungi pulau-pulau Maluku Selatan.
1824: “Rheinische Missionsgeselschaft” (RMG) didirikan di Jerman.
1825/1828: Sejumlah zendeling ditempatkan di pulau-pulau Maluku Selatan.
1827: Hellendoorn menjadi pejabat pendeta di Manado. Coolen mendirikan desa
Ngoro.
1831: PB terjemahan Bruckner selesai dicetak, dan disita pemerintah Belanda.
1831: Riedel dan Schwarz menetap di Minahasa.
1833: Joseph Kam meninggal.
1834: Anggota-anggota kelompok Wiung bertemu dengan Coolen.
1835: Roskott membuka SPG di Batumerah, Ambon.
1836: Zendeling RMG yang pertama mendarat di Kalimantan.
1836-1850: Usaha PI Methodis (Amerika) di Kalimantan Barat.
1842: Missi RK di Indonesia diangkat menjadi Vikariat Apostolik.
1842: Daerah Ambon dan sekitarnya ditutup untuk kegiatan PI.
1843: Sejumlah orang Jawa dibaptis di GPI Surabaya.
18475: Mojowarno didirikan.
1846: PB bahasa Dayak Ngaju terjemahan Hardeland selesai dicetak (di Afrika
Selatan).
1847: Doopgezinde Zending Vereniging (DZV) atau lembaga PI Mennonit di
Nederland didirikan. Kedudukan Katolik Roma di Hindia Belanda diatur dalam
perjanjian antara pemerintah Belanda dengan Paus. Adrianus Angkuw diangkat menjadi
“penolong” yang pertama. NZG mengajak para pengerjanya untuk menggunakan unsur-
unsur pribumi dalam tata ibadah.
1848: Heldring mulai mengutus penginjil-penginjil tukang.
1850: Pemerintah membatasi kegiatan para zendeling/pendeta bantu di Maluku.
86
1851-1864: NZG melakukan usaha PI di Sulawesi Selatan.
1851: Jellesma menetap di Mojowarno Jawa Timur.
1852: P. Jansz (DZV) menetap di Jepara (Jawa Tengah).
1855: Tungggul Wulung di baptis, dua orang penginjil tukang didikan Gosner dan
Heldring mulai bekerja di Papua
1858: Alkitab bahasa Dayak Ngaju terjemahan Hardeland selesai dicetak
1858: Nederland Zending Vereeniging (NZV) memisahkan diri dari NZG
1859: Perang Hidayat. Pekerjaan zending di Kalimantan Selatan dihentikan sampai
tahun 1866. Utrechtse Zending Vereeniging (UZV) memisahkan diri dari NZG
1860: Pembaptisan pertama di Poerworejo (Ny. Philips)
1861: Nederlands Gerevormeerde Zendings Vereeniging (NGZV) memisahkan diri dari
NZG. NZV mulai bekerja di Jawaa Barat dan NGZV mulai bekerja di Jawa Tengah.
1863: NZV mendapat ijin bekerja di Cirebon
1863: UZV mulai bekerja di Papua
1864: Sekolah Roskott di Batu Merah di Ambon ditutup. NZG memutuskan kerjasama
dengan pemerintah (GPI) di Maluku dan mengundurkna diri dari daerah itu.
1866: UZV mulai bekerja di Bali dan Halmahera. RMG kembali ke Kuala Kapuas.
1867: Kiai Sadrakh dibaptiss di Batavia. Gereja RK memulia misi Minahasa. Sentral
Komite Depok berdiri. Salatiga zending mulai bekerja di Jawa Tengah
1875: Minahasa di serahkan NZG kepada GPI
1878: Seminari Depok dibuka. UZV meninggalkan Bali.
1879: Alkitab dalam terjemahan Klinkerd terbit.
1880: Koprensi para zendeling yang pertama di Depok
1881: NGZV memulai pekerjaan di Sumba. GPI menciptakan jabatan pendeta pribumi
1882: Desa Kristen Cideres didirikan
1884: Neukirchener Mission mulai bekerja di Jawa Tengah Utara
1885: NZV mengambil alih jemaat-jemaat Anting; STOVIL Ambon didirikan.
Tunggul Wulung meninggal.
1886: Utusan UZV tiba di Buru. STOVIL Tomohon didirikan.
1887/1891: Panitia Sangir Talaud (VTC) dibentuk.
1891: NGZV menolak Kiai Sadrakh.
1892: A.C Kruyt Mulai bekerja di Poso. RS di Mojowarno dibuka.
1894: Bala Keselamatan mulai bekerja di Indonesia
1895: UZV memulai karya PI di Sulsel
1898: Gerakan kebangunan di Tobelo. Sadrakh diangkat menjadi Rasul Jawa
1900: GPI memperluas pekerjaannya di Maluku Selatan. Gereja Advent mulai bekerja
di Indonesia
1902: Stovil Timor didirikan.
1903: NZG mulai bekerja di Bolang Mongondow.
1905: Zending Metodis mulai bekerja di Jawa Barat. UZV menghentikan PI Sulsel.
Pemerintah Belanda menegakkan kekuasaannya di sejumlah daerah di luar Jawa
(Sulawesi Tengah, Sumba dan lain-lain).
1906: Gerakan Pentakosta dimulai. Sekolah guru Injil di Jogja, Konsulat Zending di
Jakarta (sampai 1953)
1907: Gerakan kebangunan di Irian (Papua)
87
1908: Mazmur dan nyanyian rohani gubahan Schroeder terbit
1909: Pembaptisan pertama di Poso.(Papa I Woente).
1910: RS Imanuel di bandung dibuka
1911: Pendeta Kitjftenbelt ke Makasar. GPI mulai bekerja di Sulawesi Tengah.
1912: Kelling membaptis sejumlah orang Toraja
1913-1917: Zending diberi mopoli sekolah desa di sejumlah daerah
1915: NZV mulai bekerja di Sulawesi Tenggara. Pembaptisan I di Rantepao.
1916: Sidang Am pertama GPI. GPI mulai membuka pedalaman Timor
1917: Penahbisan pendeta Sunda yang pertama
1919: Gerakan Pentekosta (J. Barnhard) masuk ke Indonesia. HIK Kristen di Solo
dibuka.
1920/5: RMG menyerahkan Kalimantan Selatan kepada Basler Mission.
1922: Jemaat-jemaat zending Metodis berdiri sendiri. H. Kraemer datang ke Indonesia
1923: Jemaat Mojowarno dinyatakan berdiri sendiri, pendeta Jawa pertama di Jawa
Timur ditahbiskan. Gereja Pentakosta di Indonesia berdiri.
1924: Kiai Sadrakh meninggal
1925: Jemaat margareza berdiri sendiri.
1926: Bale Wiyata di Malang didirikan. Seminari Depok ditutup. Pendeta Jawa pertama
di tahbiskan di Jawa Tengah. Kristen Studentent Vereeniging (CSV) didirikan.
1928: Zending Methodist menarik diri dari Jawa dan Kalimantar Barat.
1929: J.A. Jefry (CAMA) menetap di Makasar.
1931: GKJ berdiri. CAMA mulai bekerja di Kalimantan Timur
1932: GKJW menerima tugas PI di Bali
1933: Sidang Am GPI dan gereja Gereevormed memulai PI di Sulawesi Selatan.
Beberapa orang Bali dibaptis di Mojowarno.
1934: GMIM, GKP dan GKI Jatim berdiri. HTS didirikan di Bogor dan 1936
dipindahkan ke Jakarta
1935: Pemisahan Administratif GPI dari negara. GPM dan GDE (1954 GKE) berdiri.
Pendeta Dayak yang pertama ditahbiskan.
1936: Sinode Am pertama GPI. GPM menerima tugas PI di Papua Selatan. DMIM di
Gorontalo dan Donggala. GKI Jateng berdiri.
1938: GKI Jabar berdiri. Cama memulai PI di pedalaman Irian.
1939: Jemaat-jemaat sending di Sumba retak.
1940: GMI BM, GITJ (Patunggilan) bediri.
1941: Pendeta Toraja yqang pertama ditahbiskan (Tator).
1942: Pendeta Sumba yang pertama ditahbiskan.
1946: Pendeta pertama ditahbiskan di Halmahera dan Papua
947: GKS, GMIST, GTR, GKST, GMIT berdiri.
1948: Pembentukan GPIB. GTM dan GKBP berdiri.
1949 (6 Juni): GMIH berdiri.
1950: DGI berdiri. Pemisahan GPI dari negara secara keuangan
1954:: LAI didirikan.
1956: GKI Papua berdiri.
1957: Gepsultra berdiri
88
1961: Paus Johanes XXIII mendirikan Hierarki di Indonesia. A. Jaya Seputra dan A.
Sugiapranata Uskup pertama bangsa Indonesia.
1963: KINGMI dibentuk.
1965-1969: Gerakan kebangunan di Timor.
1966: GKSS berdiri.
1979: Dewan Pentakosta di Indonesia didirikan. GKBP menerima pengakuan iman.
1980: Aliansi Baptis didirikan. GTR menerima pengakuan iman.
1983: KINGMI menjadi GKII.
1984: Pemebentukan PGI.
89