Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemetaan Matra Darat adalah pemetaan bumi bagian darat yang terdiri dari
beberapa bagian pengukuran, yaitu diantaranya survey GPS, Topografi, Levelling, dll
yang bertujuan untuk menentukan posisi planimetris ( x,y ) dari objek-objek diper-
mukaan bumi yang menyajikan unsur alamiah ( sungai, gunung, danau, rawa, dan
sebagainya ) serta unsur buatan manusia ( rumah, sawah, jalan, jembatan, rel kereta
api, dan sebagainya ).

Dalam Ilmu Geodesi, Geodesi itu sendiri mempunyai dua maksud, yaitu :
a. Maksud Ilmiah : menentukan bentuk dari permukaan bumi
b. Maksud Praktis : membuat bayangan yang dinamakan peta dari sebagian besar
atau sebagian kecil dari permukaan bumi.
Dalam laporan praktikum ini akan dibicarakan maksud kedua yang praktis, yaitu
guna pembuatan peta khususnya dari proses penentuan titik koordinat menggunakan
GPS, pengukuran poligon, situasi, levelling hingga data pengukuran tersaji dalam
bentuk peta digital. Maksud ini dicapai dengan melakukan pengukuran-pengukuran
diatas permukaan bumi yang mempunyai bentuk tidak beraturan, karena adanya
gunung-gunung yang tinggi dan lembah-lembah yang curam.
Di bidang keteknikan khususnya dalam pembangunan, peran peta topografi
sangat diperlukan untuk perencanaan pembangunan. Dalam bidang survey, peran
topografi terlihat sekali perannya guna membantu jalannya proses pembangunan agar
dapat berjalan lancar dan sesuai dengan yang diinginkan, dan yang paling penting
haruslah aman buat penikmat pembangunan, awet dan berkualitas. Dalam laporan ini
akan disajikan proses-proses dalam pembuatan peta topografi.

1
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari praktikum ini sebagai berikut :

1.2.1 Maksud Praktikum


Maksud dilakukannya praktikum adalah sebagai berikut ini :
1. Mahasiswa dapat melakukan praktikum sesuai dengan yang diajarkan pada
bangku perkuliahan.
2. Mahasiswa dapat memperoleh gambaran yang lebih luas mengenai bidang
keilmuan geodesi, khususnya di bidang survey matra darat .
3. Mahasiswa dapat mengatasi masalah yang terjadi pada waktu pengukuran.
4. Mahasiswa dapat menggunakan alat Total Station, GPS-RTK, Waterpass
dan lain-lain.
5. Mahasiswa dapat mengenal poligon tertutup dan cara perhitungannya.
6. Mahasiswa dapat mengenal pengukuran detail (situasi) dan cara perhitung-
gannya
7. Mahasiswa dapat menjalankan software-software yang berhubungan
dengan Survei Matra Darat.
8. Mahasiswa mampu mebuat peta digital dengan baik.

1.2.2 Tujuan Praktikum


Secara garis besar, praktikum ini bertujuan untuk :
a. Menerapkan teori yang didapat selama dibangku kuliah dalam prakteknya
di lapangan.
b. Meningkatkan pemahaman mahasiswa dalam mata kuliah Pemetaan Matra
Darat.
c. Dapat melaksanakan pengamatan, pengukuran, dan perhitungan yang ada
pada Praktikum Pemetaan Matra Darat

1.3 Volume Pekerjaan


1. Orientasi lapangan .
2. Penentuan Posisi BM dan CP.
3. Pemasangan titik pada BM dan CP.

2
4. Pembuatan deskripsi.
5. Pengukuran Kerangka Kontrol Vertikal
6. Pengukuran Kerangka Kontrol Horisontal
7. Pengukuran Detail Situasi.
8. Pengukuran GPS
9. Pengolahan data KKV, KKH, Detail, dan GPS
10. Penggambaran Peta .

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan yang digunakan dalam punyusunan laporan praktikum ini adalah :
a. Metode Literatur, didasari pada teori-teori yang diberikan selama perkuliahan dan
dari buku-buku lain yang berkaitan dengan Ilmu Ukur Tanah.
b. Metode Lapangan, berdasarkan pada pelaksanaan praktikum yang dilaksanakan
pada tanggal 15-20 Desember 2016, di Jalan Bendungan Sigura-gura – Kampus 1
ITN Malang.

3
BAB II
DASAR TEORI

2.1 Sistem GPS (Global Positioning System)

Gambar 2.1. GPS Geodetik ( Anonim, 2015 )


GPS adalah sistem navigasi yang menggunakan satelit yang didesain agar
dapat menyediakan posisi secara instan, kecepatan dan informasi waktu di hampir
semua tempat di muka bumi, setiap saat dan dalam kondisi cuaca apapun.
Sedangkan alat untuk menerima sinyal satelit yang dapat digunakan oleh pengguna
secara umum dinamakan GPS Tracker atau GPS Tracking, dengan menggunakan
alat ini maka dimungkinkan user dapat melacak posisi kendaraan, armada ataupun
mobil dalam keadaan Real-Time.
Posisi yang diberikan oleh GPS adalah posisi tiga dimensi (X,Y,Z ataupun φ,
λ, h) yang dinyatakan dalam datum WGS (World Geodetic System) 1984 (Abidin,
2001 dalam Hasanuddin Z. Abidin dkk, 2011). Dengan GPS, titik yang akan
ditentukan posisinya dapat diam (static positioning) ataupun bergerak (kinematic
positioning). Posisi titik dapat ditentukan dengan menggunakan satu receiver GPS
terhadap pusat bumi dengan menggunakan metode penentuan posisi absolut,
ataupun terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya (stasion referensi)
dengan menggunakan metode diferensial (relatif) yang menggunakan minimal dua
receiver GPS (Abidin, 2011).

4
Disamping itu, GPS dapat memberikan posisi secara instan (real time) ataupun
sudah pengamatan setelah data pengamatannya diproses secara lebih ekstensif (post
processing) yang biasanya dilakukan untuk mendapatkan ketelitian yang lebih baik.

2.1.1 Segmen Sistem GPS


Pada dasarnya GPS terdiri atas tiga segmen utama, yaitu;

Gambar 2.2 Segmen GPS

1. Segmen Angkasa (Space Segment).


Segmen angkasa ini merupakan sistem yang tersusun atas satelit-satelit yang
setidaknya 24 satelit GPS mengorbit dan berstatus aktif, mereka bergerak pada
sekitar 7.000 mil perjam sekitar 12.000 mil diatas permukaan bumi. Satelit GPS
dapat dianalogkan sebagai suatu sistem radio diangkasa yang mengirim dan
menerima sinyal-sinyal gelombang. Sinyal-sinyal tersebut oleh penerima GPS di
bumi diuraikan menjadi sinyal radio kode (dikenal sebagai psedorandom) yang
memberikan informasi posisi, waktu, dan kecepatan. Satelit GPS didukung oleh
energi matahari dan baterai cadangan untuk tetap dapat mengorbit di angkasa.
Setiap satelit mentransmisikan dua sinyal yaitu L1 (1575.42 MHz) dan L2 (1227.60
MHz). Sinyal L1 dimodulasikan dengan dua sinyal pseudo-random yaitu kode P
(protected) dan kode C/A (coarse/ aquisition). Sinyal L2 hanya membawa kode P.
Setiap satelit mentransmisikan kode yang unik sehingga penerima (perangkat GPS)
dapat mengidentifikasi sinyal dari setiap satelit.

5
2. Segmen Kontrol (Control Segment).
Segmen kontrol terdiri dari stasiun-stasiun pemonitor dan pengontrol
satelit. Berfungsi mengontrol dan memantau operasional satelit serta memastikan
bahwa satelit berfungsi sebagaimana mestinya.

Fungsi segmen kontrol antara lain :

a) Menjaga agar semua satelit berada pada posisi orbit yang seharusnya
(station keeping).
b) Memantau status dan kondisi dari semua sub sistem (bagian) satelit.
c) Memantau panel matahari satelit, level daya baterai dan propellant level.
d) Menentukan dan menjaga waktu sistem GPS.

3. Segmen Pengguna (User Segment).


Segmen pengguna terdiri dari para pengguna satelit GPS, baik di darat, laut
maupun di angkasa. Alat penerima sinyal (receiver) diperlukan untuk menerima dan
memproses sinyal-sinyal dari satelit GPS untuk digunakan dalam penentuan posisi,
kecepatan maupun waktu.
Komponen utama dari suatu receiver GPS secara umum adalah ;

 Antenna dengan pre – amplifier.


 Bagian RF (Radio Frequency) dengan pengidentifikasi sinyal dan pemroses
sinyal.
 Pemroses mikro untuk pengontrolan receiver, data sampling, dan pemroses
data (solusi navigasi).
 Catu daya.
 Unit perintah dan tampilan.
 Memori serta perekam data.

2.1.2 Struktur Data GPS


Sinyal GPS merupakan bagian gelombang mikro dari spektrum gelombang
elektromagnetik. Dari segi pemancaran sinyal, GPS disebut sebagai sistem pasif
karena pada kenyataannya hanya satelit yang memancarkan sinyal, sedangkan
receiver GPS dipermukaan bumi berfungsi sebagai penerima sinyal (satu arah dari
satelit ke receiver). Karena tipikal sistem pasif inilah maka tidak ada batasan jumlah

6
receiver GPS yg dapat mengamat sinyal GPS secara simultan (pada saat yg
bersamaan).
Satelit berkomunikasi dengan receiver menggunakan kode. Kode-kode tersebut
dibawa oleh dua gelombang pembawa (L1-L2 carrier wave). Masing-masing
gelombang pembawa memiliki karakteristik tersendiri (fase, amplitudo atau
frekuensi) yang dapat dirubah atau dimodulasi untuk membawa informasi.
Gelombang pembawa sinyal GPS juga merupakan gelombang radio, bagian dari L-
Band yg meliputi frekuensi gelombang ultrahigh radio dari 390 Mhz sampai 1550
Mhz. Namun demikian, gelombang pembawa L1 GPS memiliki frekuensi sedikit
lebih tinggi dari definisi L-band standar. Sinyal GPS terdiri atas Data Kode,
Gelombang Pembawa dan Pesan Navigasi.
1) Data Kode
Data Kode GPS terdiri atas 2 kode yakni C/A (coarse acquisition) dan P
(precision). Kedua kode tersebut terdiri atas kode biner yang berisi angka 0 dan 1,
yang sering disebut sebagai chips atau codes. Kode C/A memiliki rate sebesar 1.023
MBps (million bits per second) sedangkan Kode P 10.23 MBps. Setiap satelit baru
dapat mengulang kembali kode P setelah 37 minggu.

Gambar 2.3 Data Kode GPS (Sumber: UMKC, 2010)


Receiver GPS harus dapat membedakan transmisi kode P dari masing-masing
satelit. Caranya adalah dengan memberikan informasi minggu tertentu kepada satu
satelit tertentu. Sebagai contoh, jika kita menggunakan GPS dan dilayar menampil-
kan SV14 (space vehicle 14) maka ini berarti satelit tersebut mentransmisikan data
kode P untuk minggu ke 14. Kode C/A memiliki bit 10 kali lebih lambat dari kode

7
P. Hal tersebut membuat proses identifikasi kode C/A mudah. Oleh karena itu kode
C/A dapat ditransmisikan oleh masing-masing satelit dan informasi ini dapat
diulang setiap 1 milidetik. Data inilah yg digunakan untuk menunjukkan posisi real-
time pada layar GPS.
2) Gelombang Pembawa (Corner Wave)

Gambar 2.4 Gelembung Pembawa (Sumber: Dedi, 2006)


Sebuah gelombang dengan panjang gelombang tertentu dalam durasi 1 detik,
disebut juga 1 cycle per detik, didefinisikan memiliki frekuensi 1 hertz (Hz) dalam
sistem Sistem Satuan Internasional (SI). Frekuensi 1 Hz dapat dianggap sebagai
frekuensi yang rendah jika dibandingkan rentang bunyi yang bisa didengar oleh
manusia (25Hz-15.000Hz).
Gelombang pembawa sinyal GPS masing-masing adalah L1 dengan frekuensi
1575.42 MHz dan L2 dengan frekuensi 1227.60 MHz. Panjang gelombang masing-
masing carrie wave adalah 19 cm untuk L1 dan 24.4 cm untuk L2
3) Pesan Navigasi (Navigation Message)
Pesan navigasi memiliki frekuensi 50 Hz dan dimodulasikan kedalam
gelombang pembawa seperti halnya kode C/A dan kode P. Pesan navigasi terdiri
atas 1500 bit terbagi atas lima subframes dengan masing masing terdiri atas 10 kata
(masing-masing 30 bit). Kelima subframes ini digunakan untuk memberikan
informasi-informasi penting kepada receiver.

8
Gambar 2.5 Lima Subframes (Sumber: Dedi, 2006)
a) Subframe 1 memberikan informasi tentang simpangan (drift) jam satelit.
Data ini sering juga disebut sebagai AODC (age of data clock), sebuah
keterangan tentang tingkat reliabilitas koreksi jam satelit.
b) Subframe 2 dan 3 memberikan informasi tentang posisi satelit (efemeris
satelit) dan yg disebut sebagai broadcast ephemeris.
c) Subframe 4 berisi informasi untuk koreksi atmosfer. Namun demikian,
seperti halnya subframe 1, informasi tsb hanya mampu mengurangi
sebagian kesalahan yg ada.
d) Subframe 5 berisi informasi tentang almanak satelit. Almanak satelit adalah
data yg menginformasikan kepada receiver dimana satelit GPS yg lain
berada. Subframe ini berisi efemeris dari seluruh 24 satelit yg beroperasi.
Berbeda dengan broadcast ephemeris, data almanak berisi informasi kasar
tentang posisi satelit. Data ini digunakan untuk membantu receiver untuk
"lock on" ke satelit. Subframe 5 juga berisi data satellite health yg
menginformasikan kondisi satelit. Hal ini dikarenakan pada waktu tertentu
suatu satelit kemungkinan bermasalah dengan sistemnya, sebagian besar
karena masalah jam satelit.

9
2.1.3 Metode Pengukuran GPS
Pengelompokkan metode pengukuran GPS dapat dibagi menjadi :
1. Metode Absolut.

Gambar 2.6 Absolute Positioning


Berkaitan dengan penentuan posisi secara absolut, ada beberapa catatan yang
perlu diperhatikan yaitu:

 Metode ini kadang dinamakan juga metode point positioning, karena


penentuan posisi dapat dilakukan per titik tanpa bergantung pada titik
lainnya
 Posisi ditentukan dalam sistem WGS-84 terhadap pusat massa bumi
 Untuk penentuan posisi hanya memerlukan satu receiver GPS, dan tipe
receiver yang umum digunakan untuk keperluan ini adalah tipe navigasi
atau kadang dinamakan tipe genggam (hand held)
 Titik yang ditentukan posisinya bisa dalam keadaan diam (moda statik)
maupun dalam keadaan bergerak (moda kinematik)
 Ketelitian posisi yang diperoleh sangat bergantung pada tingkat ketelitian
data serta geometri dari satelit.
 Aplikasi utama dari metode ini adalah untuk keperluan navigasi atau
aplikasi-aplikasi lain yang memerlukan informasi posisi yang tidak terlalu
teliti tetapi tersedia secara instan (real time), seperti untuk keperluan
reconnaissance dan ground truthing.

10
2. Metode Diferensial

Gambar 2.7 Differential Positioning


Berkaitan dengan penentuan posisi secara diferensial, ada beberapa catatan
yang perlu diperhatikan yaitu:

 Metode ini kadang dinamakan juga metode relative positioning


 Diperlukan setidaknya 2 receiver, dimana salah satunya terletak di titik yang
diketahui koordinatnya (reference station).
 Posisi ditentukan relatif terhadap koordinat referensi.
 Konsep dasar : proses diferensial dapat menghilangkan dan atau
mengurangu efek dari kesalahan dan bias, sehingga dapat meningkatkan
akurasi posisi.
 Efektivitas proses diferensial sangat tergantung pada jarak antara stasiun
pemantau dan titik yang akan diposisikan (semakin pendek jarak maka
semakin efektif, begitupun sebaliknya).
 Titik yang diposisikan dapat diam maupun bergerak.
 Tingkat akurasi posisi berkisar dari menengah ke tinggi
 Aplikasi utama metode ini adalah untuk keperluan survei dan pemetaan,
survei geodesi dan navigasi.

11
3. Metode Statik

Gambar 2.8 Static Positioning

Berkaitan dengan penentuan posisi secara statik, ada beberapa catatan yang
perlu diperhatikan yaitu:

 Titik-titik yang akan ditentukan posisinya tidak bergerak.


 Bisa berupa absolut ataupun differential positioning
 Bisa menggunakan data pseudorange dan/atau fase
 Ukuran lebih pada suatu epok pengamatan biasanya banyak
 Keandalan dan ketelitian posisi yng diperoleh umumnya tinggi (orde mm
sampai cm)
 Aplikasi : penentuan titik-titik kontrol untuk survei pemetaan maupun
survei geodetik.
4. Metode Kinematik

Gambar 2.9 Kinematic Positioning

12
Berkaitan dengan penentuan posisi secara kinematik, ada beberapa catatan yang
perlu diperhatikan yaitu:

 Titik-titik yang akan ditentukan posisinya bergerak (kinematik)


 Selain posisi GPS juga bisa digunakan untuk menentukan kecepatan,
percepatan dan attitude.
 Bisa berupa absolute ataupun differential positioning
 Bisa menggunakan data pseudorange dan/atau fase
 Hasil penentuan posisi bisa diperlukan saat pengamatan (real-time) ataupun
sesudah pengamatan (post-processing)
 Untuk real-time differential positioning diperlukan komunikasi data antara
monitor station dengan receiver yang bergerak
 Ukuran lebih pada suatu epok pengamatan biasanya tidak terlalu banyak.
 Ketelitian posisi : rendah sampai tinggi
 Aplikasi : navigasi, pemantauan (surveillance), guidance, fotogrametri,
airborne gravimetry, survei hidrografi, dll.

2.1.4 Sumber – Sumber Kesalahan GPS


Dalam perjalanan sinyal GPS dari satelit sampai pengamat pasti tidak terlepas
dari berbagai kesalahan dan bias. Kesalahan dan bias GPS tersebut dapat terkait
dengan [Sumber : Abidin, 2005]:
 Satelit seperti: kesalahan ephemeris, jam satelit, dan selective availability
(SA).
 Medium propagasi seperti: bias ionosfer dan bias troposfer.
 Receiver GPS seperti: kesalahan jam receiver, kesalahan yang terkait
dengan antena, dan noise (derau).
 Data pengamatan seperti: ambiguitas fase dan cycle slips.
 Lingkungan sekitar GPS receiver seperti: multipath dan imaging

13
Berikut ini akan dijelaskan karakteristik dari kesalahan dan bias yang umum
terjadi:
1. Kesalahan Orbit (Ephemeris)
Kesalahan ephemeris merupakan kesalahan dimana orbit satelit yang dilaporkan
oleh ephemeris satelit tidak sama dengan orbit satelit yang sebenarnya sehingga
akan mempengaruhi ketelitian koordinat titik-titik yang ditentukan.
2. Bias Ionosfer
Ion-ion bebas (elektron) dalam lapisan ionosfer akan mempengaruhi propagasi
sinyal GPS. Dalam hal ini ionosfer akan mempengaruhi kecepatan, arah, polarisasi,
dan kekuatan GPS yang melaluinya.
Ionosfer akan memperlambat kecepatan sinyal (ukuran jarak menjadi lebih
panjang) dan mempercepat fase (ukuran jarak menjadi lebih pendek), dengan bias
jarak (dalam unit panjang) yang sama besarnya. Jadi secara umum, bias ionosfer
dapat mengakibatkan ukuran jarak yang dihasilkan menjadi kurang teliti.
3. Bias Troposfer
Ketika melalui lapisan troposfer, sinyal GPS akan mengalami refraks, yang
menyebabkan perubahan kecepatan dan arah sinyal GPS. Bias troposfer ini akan
mempengaruhi kecepatan sehingga akan menghasilkan ukuran jarak yang kurang
teliti. Lapisan troposfer ini memperlambat data waktu dan data fase.
4. Multipath
Multipath merupakan fenomena dimana sinyal dari satelit tiba di antena GPS
melalui dua atau lebih lintasan yang berbeda [Abidin, 2006]. Dalam hal ini, satu
sinyal merupakan sinyal langsung dari satelit ke antena, sedangkan yang lainnya
merupakan sinyal-sinyal tidak langsung yang dipantulkan oleh benda-benda
(seperti: gedung, jalan raya, mobil, pepohonan, dll) di sekitar antena sebelum tiba
di antena.
Perbedaan panjang lintasan menyebabkan sinyal-sinyal tersebut berinteferensi
ketika tiba di antena yang mengakibatkan kesalahan pada hasil pengamatan.
Kesalahan akibat multipath akan menghasilkan ukuran jarak yang kurang teliti.
Multipath akan mempengaruhi hasil ukuran pseudorange dan carrier phase.

14
5. Ambiguitas fase (cycle ambiguity)
Ambiguitas fase dari pengamatan fase sinyal GPS merupakan jumlah
gelombang penuh yang tidak terukur oleh receiver GPS [Abidin, 2006]. Untuk
dapat merekonstruksi jarak ukuran antara satelit dengan antena maka harga
ambiguitas fase tersebut harus ditentukan terlebih dahulu.Hal ini diperlukan pada
saat pengubahan data fase menjadi hasil ukuran jarak sehingga dihasilkan ketelitian
yang sangat presisi.
Nilai ambiguitas fase akan selalu tetap selama pengamatan tidak terjadi cycle
slip. Penentuan ambiguitas fase ini dilakukan dengan cara pemberian koreksi
terhadap nilai ambiguitas fase yang mengembang (float) sehingga diperoleh nilai
ambiguitas fase yang integer.
6. Cycle slips
Cycle slips merupakan ketidak-kontinuan dalam jumlah gelombang penuh dari
fase gelombang pembawa yang diamati, karena sinyal ke receiver terputus pada saat
pengamatan sinyal. Jika dilakukan plotting data pengamatan fase terhadap waktu,
maka cycle slip dapat dideteksi dari terdapatnya loncatan mendadak kurva grafik.
Dalam proses pengolahan data untuk perhitungan posis, pengkoreksian cycle slips
bisa dilakukan sebagai suatu proses tersendiri sebelum proses estimasi posisi,
ataupun secara terpadu dengan proses pengestimasian posisi.
7. Selective Availability
Selective Availability (SA) merupakan metode yang pernah diaplikasikan untuk
memproteksi ketelitian posisi absolut secara real-time yang tinggi dari GPS hanya
untuk pihak militer Amerika Serikat dan pihak-pihak yang berwenang. Tetapi sejak
2 Mei 2000, kebijakan SA sudah dinonaktifkan.
8. Anti Spoofing
Anti Spoofing (AS) merupakan suatu kebijakan dari Departemen Pertahanan
Amerika Serikat, dimana kode-P dari sinyal GPS diubah menjadi kode-Y yang
bersifat rahasia, yang strukturnya hanya diketahui oleh pihak militer Amerika
Serikat dan pihak-pihak yang berwenang.
9. Kesalahan jam
Kesalahan jam ini dapat berupa kesalahan jam satelit maupun kesalahan jam
receiver. Bentuk kesalahannya dapat berupa bentuk offset waktu, offset frekuensi,

15
maupun frequency drift. Kesalahan jam ini akan langsung mempengaruhi ukuran
jarak, baik pseudorange maupun jarak fase.
10. Pergerakan Pusat Antena
Pada umumnya pusat fase antena GPS akan berubah-ubah tergantung pada
elevasi dan azimuth satelit, serta intensitas sinyal, dan lokasinya akan berbeda untuk
sinyal L1 dan L2 [Tranquilla et al. 1987]. Hal ini disebabkan oleh sulitnya
merealisasikan sumber radiasi yang ideal pada antena GPS. Karena perbedaan
tersebut bersifat variatif terhadap waktu, maka besar efek kesalahan karena adanya
pergerakan pusat fase antena pada ukuran jarak juga akan bervariasi secara
temporal.
11. Imaging
Imaging merupakan suatu fenomena yang melibatkan suatu benda konduktif
(konduktor) yang berada dekat dengan antena GPS, seperti reflektor berukuran
besar maupun groundplane dari antena itu sendiri [Abidin, 2006]. Efek dari imaging
ini adalah akan memunculkan antena ‘bayangan’ (image) atau dengan kata lain
fenomena imaging ini akan mendistorsi pola fase antena yang seharusnya. Hal ini
mengakibatkan perubahan titik pusat fase antena sehingga akan menyebabkan
terjadinya kesalahan pada ukuran jarak.

2.2 Survei Topografi


Survei topografi adalah suatu metode untuk menentukan posisi tanda-tanda
(features) buatan manusia maupun alamiah diatas permukaan tanah. Survei
topografi juga digunakan untuk menentukan konfigurasi medan (terrain).
Kegunaan survei topografi adalah untuk mengumpulkan data yang diperlukan
untuk gambar peta topografi. Gambar peta dari gabungan data akan membentuk
suatu peta topografi. Sebuah topografi memperlihatkan karakter vegetasi dengan
memakai tanda-tanda yang sama seperti halnya jarak horizontal diantara beberapa
features dan elevasinya masing-masing diatas datum tertentu.

2.2.1 Data Pengukuran Survei Topografi


Dalam survei topografi dilakukan beberapa pengumpulan data yang diperoleh
dari hasil pengukuran data di lapangan.

16
A. Perhitungan Azimuth
Azimuth dapat dihitung dari dua koordinat yang telah diketahui koordinatnya
dalam satu referensi yang sama.

Gambar 2.10 Azimuth Dua Titik (Sumber: Ilmu ukur Tanah, S.Basuki)

Azimuth dari ke B dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :


αAB = arc tg
𝑋𝑏−𝑋𝑎
……………..............................……………………..……(2.1)
𝑌𝑏−𝑌𝑎

Sebelum melakukan perhitungan azimuth, terlebih dahulu mengetahui letak


kuadrannya, dan posisi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.1 Kuadran Azimuth
(Xb-
Kuadran Α (Yb-Ya) Azimut (α)
Xa)
I + + α = α'
α = 1800 -
II + -
α'
αAB = arc tg
Xb−Xa) α = 1800 +
III (Yb−Ya)
- -
α'
α = 3600 -
IV - +
α'

B. Sudut Horizontal
Adalah selisih sudut dari dua arah secara horizontal. Sudut horizontal dapat
diukur dari sudut yang terbentuk dari satu titik dan dua titik yang saling berikatan.

17
Ada beberapa teknik pengukuran sudut horizontal yaitu: cara tunggal, cara seri
(rangkap), cara repetisi, dan cara reitrasi.
Pengukuran kerangka kontrol horizontal dibenarkan dengan cara seri rangkap,
karena cara seri mengukur dengan posisi keadaan teropong biasa dan luar biasa.
Pada pengukuran sudut horizontal dengan cara satu seri rangkap akan didapatkan
4 bacaan, 2 sudut dari posisi biasa dan luar biasa. Sehingga dapat meminimalisir
kesalahan dengan cara merata-ratakan semua sudut.

Gambar 2.11 Pengukuran Sudut Satu Seri Rangkap (Sumber: Ilmu ukur Tanah, S.Basuki)
β ( B = Biasa) = R2 – R1
β ( LB = Luar Biasa) = R2 – R1
Keterangan :
β : bacaan sudut R : bacaan lingkar horizontal
𝛽(𝐵)+𝛽(𝐿𝐵)
β= …….........……………...…..................................…........ (2.2)
2

Apabila pengukuran diperlukan lebih dari satu seri rangkap, maka tinggal
mengulang pengukuran cara satu sering rangkap. Tetapi pada pengukuran seri
selanjutnya, posisi bacaan lingkaran horizontalnya ditambah 90̊ atau besaran
yang lain.
C. Pengukuran Jarak
Pengukuran jarak yang dilakukan merupakan jarak dalam bidang horizontal.
Jarak pada pemetaan adalah jarak terpendek antara dua titik pada permukaan bumi
dalam bidang horizontal. Metode pengukuran jarak terbagi menjadi 2 yaitu,
pengukuran jarak langsung dan tak langsung.
Pada pengukuran jarak yang jauh dan dibutuhkan ketelitian yang tinggi akan
membutuhkan waktu lebih lama dan biaya yang besar apabila mengguakan metode
pengukuran jarak secara langsung. Oleh karena dibuat alat pengukur jarak tak

18
langsung dengan ketelitian yang tinggi dan jangkauan yang cukup jauh, salah
satunya dengan menggunakan prinsip perambatan gelombang elektromagnetik.
Metode pengukuran jarak ini disebut Electronic Distance Measurement dan
alatnya dinamakan Electronic Distance Meter (EDM).

Langsung Sistem
Pengukuran Stadia
Jarak
Sistem
Tak Optis Tangensial
Langsung

Elektro Sistem
Optis Substenbar
Elektronis
Sistem
Bayang
Rangkap

Gambar 2.12 Bagan Pengukuran Jarak (Sumber: Ilmu ukur Tanah, S.Basuki)

Pada pengukuran jarak menggunakan Total Station menggunakan prinsip


perambatan gelombang elektromagnetik. Adapun perhitungan jarak rata-rata
dan ketelitiannya sebagai berikut.
𝑑𝑝𝑒𝑟𝑔𝑖 + 𝑑𝑝𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔
𝑑𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 = ………………..............……………......(2.3)
2
∆𝑑
𝑝𝑒𝑟𝑔𝑖 𝑝𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔
Ketelitian = 𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 ...................................................................(2.4)
𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎

Keterangan :
d : jarak

2.2.2 Kerangka Kontrol Horizontal


Kerangka kontrol horizontal (KKH) sangat penting peranannya dalam
pembuatan peta topografi digital. Pengukuran kerangka kontrol horizontal biasanya
dilakukan dengan menggunakan:
a. Metode Triangulasi (rangkaian segitiga untuk KKH dengan diketahui
sudutnya)

19
b. Metode Trilaterasi (rangkaian segitiga untuk KKH dengan diketahui
jaraknya)
c. Metode Poligon (rangkaian titik-titik yang membentuk segi banyak).
Di dalam praktikum ini, pengukuran kerangka kontrol horizontal dilakukan
dengan menggunakan metode poligon tertutup.
 Poligon Tertutup
Poligon merupakan rangkaian titik-titik yang membentuk segi banyak.
Rangkaian titik tersebut dapat digunakan sebagai kerangka peta. Koordinat
titik tersebut dapat dihitung dengan data masukan yang merupakan hasil dari
pengukuran sudut dan jarak. Posisi titik-titik di lapangan dapat ditentukan
dengan mengukur jarak dan sudut ke arah titik kontrol. Poligon tertutup
merupakan poligon dengan titik awal dan titik akhir berada pada titik yang
sama.

Gambar 2.13 Jaringan Poligon Tertutup


Keterangan :
A dan B = titik ikat yang diketahui koordinatnya
ᵦA, ᵦ1, ᵦ2, dst = sudut dalam
αA1 = azimuth awal
Syarat poligon tertutup:
1. Syarat Sudut:
Untuk sudut dalam : s + fs   n     ......................................(2.5)
Untuk sudut luar : s + fs   n +    .......................................(2.6)
Keterangan :
fs : kesalahan penutup sudut
n : banyaknya titik poligon yang di ukur

20
s : jumlah perhitungan sudut
2. Syarat Koordinat:
∑dsinα + fx = 0
∑dcosα + fy = 0
Keterangan:
∑d : Jumlah total jarak
fx : Kesalahan absis
fy : Kesalahan ordinat

1. Koreksi untuk masing-masing koordinat:


dx = d/∑d * ∑dsinα ..............................................(2.7)
dy = d/∑d * ∑dcosα ..............................................(2.8)

2. Kesalahan Jarak (dc) dinyatakan dengan :

dc  dx 2  dy 2 ...............................................(2.9)
Keterangan :
dc = Kesalahan Jarak
dx = Kesalahan absis
dy = Kesalahan ordinat

3. Ketelitian Linier (KL)

dc
KL  .............................................................(2.10)
d
Keterangan :
KL = Ketelitian linier
dc = Kesalahan Jarak
∑d : Jumlah total jarak

 Poligon Terbuka
Poligon terbuka merupakan poligon dengan titik awal dan titik akhir tidak
berhimpit atau tidak pada titik yang sama. Poligon terbuka terbagi atas :

21
1. Poligon Terbuka Terikat Sempurna
Merupakan poligon terbuka dengan titik awal dan titik akhir berupa titik
yang tetap.

U
U

S4 Sn T
S2 n BT
A D34
S1
2 S3
DnB
D12
D23
3 B
1

Gambar 2.14 Poligon Terbuka Terikat Sempurna

Dimana :
A, B, S, T : titik tetap
1, 2, 3,….n : titik yang akan ditentukan koordinatnya
DA1,…,DnB : jarak sisi-sisi poligon
S1, S2,…,Sn : sudut
A1, BT : azimuth awal dan azimuth akhir
Persyaratan yang harus dipenuhi bagi poligon terbuka terikat sempurna:
1. S + F(S) = (_akhir- _awal) + (n-1) x 1800 ......................(2.11)
2. d Sin  + F(X) = Xakhir – Xawal ........................................(2.12)
3. d cos  + F(Y) = Yakhir - Y awal ........................................(2.13)
Keterangan :
S : jumlah sudut
d : jumlah jarak
α : azimuth
F(S): kesalahan sudut
F(X): kesalahan koordinat X
F(Y): kesalahan koordinat Y

22
2. Poligon Terbuka Sempurna
Merupakan poligon terbuka tanpa titik tetap. Pada poligon ini juga hanya
dapat dilakukan koreksi sudut dan tanpa ada pengikatan titik.

S4 Sn-1
S2 D34
4 D3n n-
12 2 S3 1Dn-1.n
D23
D12
3 n.n-
n
1 1

Gambar 2.15 Poligon Terbuka Sempurna

Keterangan :
D12,D23,.. : jarak antar titik
S2,S3,… : sudut
12 : azimuth awal

2.2.3 Kerangka Kontrol Vertikal (KKV)


Pengukuran posisi vertikal (ketinggian) dapat diperoleh dengan metode
barometris, tachimetri, dan metode levelling. Pada laporan ini akan dijelaskan
mengenai penentuan Kerangka Kontrol Vertikal (KKV) dengan menggunakan
metode levelling (waterpass pergi pulang).
Waterpass (level/sipat datar) adalah suatu alat ukur tanah yang dipergunakan
untuk mengukur beda tinggi antara titik-titik yang berdekatan yang ditentukan
dengan garis-garis visir (sumbu teropong) horisontal yang ditujukan ke rambu-
rambu ukur yang vertikal. Sedangkan pengukuran yang menggunakan alat ini
disebut waterpass atau levelling yang akan ditentukan ketinggiannya berdasarkan
suatu sistem referensi atau datum tertentu. Pekerjaan ini dilakukan dalam rangka
penentuan beda tinggi suatu titik bidang acuan. Sistem referensi yang dipergunakan
adalah tinggi permukaan air laut rata-rata (mean sea level) atau sistem referensi lain
yang dipilih. Pada pengukuran beda tinggi dengan waterpass didasarkan atas
kedudukan garis bidik teropong yang dibuat horisontal dengan menggunakan
gelembung nivo.

23
Gambar 2.16 Pengukuran beda tinggi

hAB = BtA - BtB ..................................................................(2.14)


Dimana:
Ba = pembacaan skala rambu untuk benang atas
Bt = pembacaan skala rambu untuk benang tengah
Bb = pembacaan skala rambu untuk benang bawah
Bt = pembacaan skala rambu untuk benang tengah dititik A
BtB = pembacaan skala rambu untuk benang tengah dititik B
hAB = beda tinggi titik A dan B
Persamaan di atas merupakan persamaan dasar untuk penentuan beda tinggi
dengan cara sipat datar. Hasil pengukuran beda tinggi digunakan untuk menentukan
tinggi titik terhadap titik tetap atau bidang acuan yang telah dipilih.

Tinggi titik (elevasi) hasil pengukuran waterpass terhadap titik acuan dihitung
dengan rumus:

Hb = Ha + hAB ....................................................................(2.15)
Dimana :
Hb : tinggi titik yang akan ditentukan
Ha : tinggi titik acuan
hAB : beda tinggi antara A dan B

 Pengukuran Waterpass Memanjang


Vikky Andrianto (2012) berpendapat bahwa pengukuran sipat datar
dimaksudkan untuk menentukan beda tinggi antara dua titik di permukaan

24
tanah. Sebuah bidang datar acuan, atau datum, ditetapkan dan elevasi diukur
terhadap bidang tersebut. Beda elevasi yang ditentukan dikurangkan dari atau
ditambah dengan nilai yang ditetapkan tersebut dan hasilnya adalah elevasi
titik-titik tadi.

Gambar 2.17 Waterpass Memanjang ( Ir. HeinzFrick ,1979 )


Keterangan gambar :
B : Bacaan benang tengah rambu belakang
M : Bacaan benang tengah rambu muka
A,1,2,B : Titik tempat rambu didirikan
1 slag : 1 kali berdiri alat
Rumus :
Jarak (d) = (benang atas-benang bawah)*100
Beda tinggi(  h ) = (benang tengah rambu muka-benang tengah rambu
belakang)
h
Koreksi Pergi = ..............................................(2.16)
n
Selisih   h =   h pergi -   h pulang.............(2.17)
Elevasi = H awal +  h n .................................(2.18)

 Pengukuran Waterpass Profil Memanjang ( long section)


Soetomo Wongsotjitro (1977) berpendapat bahwa waterpass profil
memanjang diperlukan untuk membuat trase jalan kereta api, saluran air, pipa
air minum, riol. Dengan jarak dan beda tinggi titik-titik diatas permukaan bumi
didapatlah irisan tegak lapangan yang dinamakan profil memanjang pada
sumbu proyek. Di lapangan dipasang pancang-pancang dari kayu yang

25
menyatakan sumbu proyek, dan pancang-pancang itu digunakan pada penguk-
uran waterpass yang memanjang untuk mendapatkan profil memanjang.
Tujuan dari pengukuran dengan menggunakan metode sipat datar profil
memanjang adalah untuk mendapatkan detail dari suatu penampang atau irisan
tegak pada arah memanjang sesuai dengan sumbu proyek.

Gambar 2.18 Sipat Datar Profil Memanjang ( Ir. HeinzFrick ,1979 )

Keterangan gambar:
btA: Benang tengah titik A

bt1 : Benang tengah titik 1

bt2 : Benang tengah titik 2

Rumus :
1. Perhitungan Beda Tinggi (ΔhAB) = BtA - BtB ...............................(2.19)
2. Perhitungan Elevasi (H1) = HA + ΔhAB ........................................(2.20)

 Pengukuran Waterpass Profil Melintang (cross section)


Dari pengukuran profil memanjang didapatkan garis rencana. Tujuan dari
profil melintang adalah untuk menentukan elevasi titik-titik dengan
pertolongan tinggi garis bidik yang diketahui dari keadaan beda tinggi tanah
yang tegak lurus disuatu titik tertentu terhadap garis rencana tersebut. (Soetomo
Wongsotjitro, 1977).

26
Gambar 2.19 Sipat Datar Profil Melintang ( Ir. Heinz Frick ,1979 )

Keterangan:
P1 : Tempat berdiri alat (STA)
A, b, c, … : Tempat berdiri rambu sebelah kiri alat ukur
1, 2, 3, … : Tempat berdiri rambu sebelah kanan alat ukur
Rumus :
Δh = Tinggi alat – Bt melintang ke kanan atau ke kiri ...................(2.21)
H = HA + Δh1 .................................................................................(2.22)
Keterangan :
H = Elevasi
HA = Elevasi Awal

2.2.4 Pengukuran Detail


Yang dimaksud dengan detail atau titik detail adalah semua benda-benda di
lapangan yang merupakan kelengkapan daripada sebagian permukaan bumi. Jadi,
disini tidak hanya dimaksudkan pada benda-benda buatan seperti bangunan, jalan
dengan segala perlengkapan dan lain sebagainya. Jadi, penggambaran kembali
sebagian permukaan bumi dengan segala perlengkapan termasuk tujuan dari
pengukuran detail, yang akhirnya berwujud suatu peta. Berhubung dengan
bermacam-macam tujuan dalam pemakaian peta, maka pengukuran detailpun
menjadi selektif, artinya hanya detail-detail tertentu yang diukur guna keperluan
suatu macam peta.

27
Gambar 2.20 Pengukuran Detail
Keterangan:
A,B : titik-titik polygon
a,b,c,d : titik detail

2.2.5 Pembuatan Layout Peta


1) Penyiapan grid peta
Penyiapan nilai absis (x), dan ordinat (y) dari grid-grid peta.
2) Plotting titik-titik kerangka kontrol peta
 Koordinat titik-titik poligon (KKH)
 Elevasi titik poligon (KKV)
3) Plotting titik-titik detail
Plotting titik-titik detail dapat dilakukan dengan cara:
 Cara Grafis: posisi horisontal dari titik-titik detail digambar secara
langsung dengan bantuan alat-alat gambar (busur derajat dan penggaris
skala), dan posisi vertikal titik detail langsung diplot dari hasil hitungan
datanya.
 Cara numeris/digital: penggambaran titik-titik detail dengan menggu-
nakan komputer.
4) Penggambaran obyek (detail)
Penggambaran titik-titik detail dapat dilakukan dengan menggunakan
busur derajat dan mistar skala. Pusat busur diletakkan tepat pada titik tempat
alat (P) dan skala busur diarahkan ke sumbuY. Bila sudut yang dibaca adalah

28
azimuth, maka bacaan titik poligon harus disesuaikan dengan skala sudut pada
busur derajat. Sedangkan titik detail yang lain dapat diplot sesuai dengan
pembacaan sudut horisontal dengan pembacaan sudut horisontal dan jaraknya.
5) Interpolasi garis kontur
 Garis-garis kontur tidak pernah berpotongan
 Ujung-ujung garis kontur akan bertemu kembali
 Garis-garis kontur yang semakin rapat menginformasikan bahwa
keadaan permukaan tanah semakin terjal
 Garis-garis kontur yang semakin jarang menginformasikan bahwa
keadaan permukaan tanah semakin datar/landau
6) Penggambaran Kontur
Garis kontur adalah garis yang menghubungkan titik-titik yang
mempunyai ketinggian yang sama di permukaan bumi, atau dengan kata lain
garis permukaan tanah yang mempunyai ketinggian tertentu. Interval garis
kontur tergantung oleh skala peta tersebut.
Skala Peta
Interval Kontur = 2000

29
BAB III
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1 Lokasi Pengukuran


Praktikum ini berlokasi di kampus 1 ITN Malang, Jl. Bendungan Sigura-Gura No.
2, Kel. Sumbersari, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur pada tanggal 15 s.d
20 Desember 2016.

Gambar 3.1 Lokasi Kampus I ITN (Sumber: Google Earth, 2017)

3.2 Peralatan dan Bahan yang Digunakan


Peralatan yang digunakan dalam praktikum adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 Peralatan yang Digunakan
No Peralatan Jumlah
1 Waterpass 1 buah
2 Total Station Topcon Es-55 1 buah
3 GPS Geodetic Topcon GR-5 2 buah
4 Statif 3 buah
5 Roll Meter 2 buah
6 Rambu Ukur 2 buah
8 Payung 1 buah
9 Prisma poll 2 buah
10 Pilox 1 buah
11 Meteran 1 buah

30
Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2 Bahan yang Digunakan
No Bahan Jumlah
1 Formulir Lapangan Secukupnya
2 Alat Tulis Secukupnya
3 Alat hitung Secukupnya
4 Palu 1 buah
5 Paku payung Secukupnya
6 Kertas A1 Secukupnya
7 Rompi Kerja 8 buah
8 Helm Keselamatan 8 buah

Dokumentasi Alat :

Gambar 3.2 Total Station Topcon Es – 55 Gambar 3.3 GPS Geodetic Topcon GR-55

Gambar 3.4 Waterpass & Statif

31
3.3 Diagram Alir Pengukuran

Gambar 3.5 Diagram Alir


3.4 Tahapan Pekerjaan
3.4.1 Persiapan
Sebelum memulai pengukuran sebaiknya melakukan persiapan untuk
kelancaran praktikum:
1. Pemilihan personil kelompok
2. Survei Lokasi
3. Kelengkapan alat pelindung diri (APD)
4. Material ukur:
 Form ukur
 Material tulis
 Pembuatan dan pemasangan patok
5. Material survey:
Data titik kontrol dari BM yang sudah ada

32
6. Rekonaisans
Tahap Rekonaisans merupakan tahap pencarian lokasi titik kontrol utama dan
titik pasangan (radial) dilapangan yang telah direncanakan sebelumnya. Lokasi
titik kontrol utama dan pasangan diusahakan berada pada tempat yang aman, tidak
mengganggu lingkungan sekitar kampus, jauh dari objek-objek reflektif yang
mudah memantulkan sinyal GPS untuk mencegah terjadinya multipath, obstraksi
tiap posisi titik tersebut harus mempunyai ruang pandang langit yang bebas ke
segala arah sehingga sinyal GPS tidak terhalang pada saat pengamatan dan jauh
dari objek-objek yang dapat menimbulkan interferensi elektris terhadap
penerimaan sinyal GPS.
7. Momumentasi
Pemasangan tanda berupa patok (apabila tanda berada di tanah) dan paku
payung (apabila tanda berada di jalan aspal) sebagai saran penyimpan informasi
koordinat hasil pengukuran.

3.4.2 Orientasi Lapangan


Orientasi lapangan ini bertujuan untuk mengecek dan mengenal area yang akan
dijadikan tempat pengukuran sehingga memudahkan dalam melakukan pengukuran
serta membuat desain jaringan

3.5 Kerangka Kontrol Vertikal


Pada tahapan pengukuran kerangka kontrol vertikal, metode yang digunakan
adalah metode levelling. Pengukuran Kerangka Kontrol Vertikal menggunakan alat
sipat datar dan dilakukan pengukuran pergi pulang. Pengukuran dengan sekali berdiri
alat jika jarak antar titik poligon tidak panjang dan jika jarak antar titik poligon
panjang, maka pengukuran dibuat slag (lebih dari satu kali berdiri alat), jumlah slag
dari keseluruhan pengukuran Kerangka Kontrol Vertikal harus genap. Langkah -
langkah pengukuran Kerangka Kontrol Vertikal adalah sebagai berikut :
1. Alat sipat datar didirikan diantara titik poligon (misal P1 dan P2), apabila jarak
antara titik panjang maka dapat dibagi menjadi beberapa slag atau penggal. Jarak
pendirian instrument ke rambu muka dan rambu belakang diusahakan sama banyak
dan pengukuran slag dilakukan dengan jumlah genap.

33
2. Rambu ukur didirikan pada titik yang diukur beda tingginya, apabila rambu ukur
tidak berdiri pada titik poligon maka perlu menggunakan sepatu rambu.
3. Melakukan pengukuran pergi dengan membidik ke rambu belakang lalu baca
bacaan bt, ba, bb catat dan koreksi hasil bacaannya. Teropong diputar ke rambu
muka lalu bidik rambu dan baca bacaan bt, ba, bb kemudian catat dan koreksi hasil
bacaannya.
4. Melakukan pengukuran seperti langkah no. 1-3 untuk slag berikutnya dan sisi
poligon lain.
5. Melakukan pengukuran pulang dengan langkah yang sama seperti langkah no. 1-4,
tetapi kedudukan instrument berbeda dengan pengukuran pergi dan arah
pengukuran dibalik, dimana titik berdirinya rambu yang sebelumnya menjadi
bacaan belakang diubah menjadi bacaan muka.

Dokumentasi Pengukuran KKV :

Gambar 3.6 Pengukuran KKV

34
3.6 Kerangka Kontrol Horisontal
Pada tahapan pengukuran kerangka kontrol horisontal yang digunakan adalah
Pengukuran detail. Kerangka Kontrol Horisontal utama menggunakan metode poligon
tertutup. Adapun tahapan pengukuran Kerangka Kontrol Horisontal sebagai berikut :
1. Mendirikan alat Total Station di titik BM sebsgai station, dan prisma pada titik P1
sebagai forsight dan P14 sebagai backsight.
2. Melakukan sentering dan sumbu I vertikal alat Total Station dan prisma.
3. Kemudian melakukan mengatur parameter alat Total Station.
4. Menggunakan alat Total Station atur teropong posisi biasa, bidikkan teropong ke
titik P14 sebagai backsight. Setelah membidik, lakukan pengukuran jarak dan baca
bacaan sudut horisontal.
5. Selanjutnya arahkan teropong ke titik P1 sebagai forsight, lakukan pengukuran
untuk mendapatkan bacaan sudut horisontal dan jarak.
6. Setelah melakukan pengukuran dengan teropong biasa, putar teropong sebesar 180°
menjadi posisi luar biasa. Lakukan pengukuran pada titik P1 (forsight) dan titik P14
(backsight) seperti pada langkah sebelumnya.
7. Pengukuran dilakukan dengan metode 2 seri rangkap
8. Melakukan pengukuran yang sama pada point untuk titik KKH selanjutnya.

Dokumentasi Pegukuran KKH :

Gambar 3.7 Pengukuran KKH

35
3.7 Pengukuran Detail
Pengukuran detail menggunakan alat Total Station yang berdiri di titik poligon
tertutup maupun di titik poligon cabang. Pengukuran detil diawali dengan pembuatan
job, menginput koordinat titik berdiri alat (STN), mengatur backsight dan forsight,
menginput tinggi prisma poll dan memberikan kode di setiap titik detil yang akan
diukur. Kode detail terdiri dari huruf dan angka misal bangunan (BGN1, BGN3, dst),
sungai (SNG1, SNG2, dst). Langkah - langkah pengukuran detil adalah sebagai
berikut:
1. Alat total station didirikan di titik STN (station) misal titik P1, kemudian
melakukan sentering alat dan mengukur tinggi alat dengan rol meter.
2. Prisma standar didirikan di titik BM dan P2, kemudian melakukan sentering
dan mengukur tinggi prisma dengan rol meter.
3. Membuat job dan setting alat pada total station, lalu memasukkan koordinat
titik STN, tinggi alat, kode, dan identitas titik STN.
4. Titik BM dibidik sebagai backsight lalu masukkan nilai koordinat, tinggi
prisma, kode, dan identitas titik.
5. Titik P2 dibidik sebagai forsight untuk mengontrol orientasi titik detil.
6. Prisma pole diukur tingginya lalu masukkan kode detil, identitas, dan tinggi
pole yang akan dibidik pada total station.
7. Prisma pole didirikan pada titik-titik detil yang akan dibidik.
8. Teropong diarahkan ke titik-titik detil lalu prisma pole dibidik, maka akan
muncul koordinat titik detil (X, Y, dan Z) pada total station kemudian simpan
(record).
9. Mengulangi langkah no. 1-8 untuk pengukuran detil planimetris dan detil
tinggi yang lain.

36
Dokumentasi Pengukuran Detil

Gambar 3.8 Pengukuran Detil

3.8 Global Positioning System (GPS)


Pada tahapan pengukuran Global Positioning System yang digunakan adalah
Pengukuran GPS Geodetik dengan base station dan rover. Pengukuran Jaring Kontrol
Horisontal menggunakan pengamatan GPS metode relatif statik. Pengukuran
menggunakan dua buah GPS tipe geodetik. Langkah – langkah pengukuran GPS
dengan menggunakan metode relatif statik adalah sebagai berikut :
1. Mendirikan alat pada titik BM Menwa dan titik P1.
2. Mencatat tinggi alat dan mencatat waktu mulai dan selesai pengamatan GPS.
3. Setelah pengamatan sesi pertama selesai, memindahkan alat pada titik BM
Menwa ke titik selanjutnya, yaitu titik P2.
4. Kemudian lakukan pengamatan seperti pada sesi pertama.
5. Lakukan langkah 1-4 sampai titik menutup kembali pada titik BM Menwa.
6. Kemudian melakukan pengamatan cross sesuai dengan baseline yang telah
direncanakan.

37
Dokumentasi Pengukuran GPS :

Gambar 3.8 Pengukuran GPS

3.9 Proses Data Lapangan


Setelah melakukan pengukuran di lapangan, data pengukuran kerangka kontrol
vertikal, kerangka kontrol horisontal dan pengukuran gps dikoreksi dan melakukan
perhitungan pada Microsoft excel.

Gambar 3.9 Perhitungan di Microsoft excel

3.10 Penggambaran Peta


Penggambaran peta digital menggunakan software surpac dan layouting
menggunakan software AutoCAD. Penggambaran peta digital meliputi: digitasi detil
planimetris, penggabungan semua detil, pembuatan Digital Terrain Model (DTM),

38
dan pembuatan kontur. Langkah langkah penggambaran peta digital adalah sebagai
berikut:
1. Data yang sudah di download di pisahkan menggunakan Microsoft Excel sesuai
dengan kode tiap obyek dan untuk data titik tinggi (spothigh) dijadikan satu.
Menambah satu field untuk data string, data yang memliki kode yang sama meiliki
warna string yang sama misal jalan aspal (JLAS) string dua, Sungai (SNG) string lima,
dst,
2. Membuka software AutoCAD pada PC
3. Mengimport semua data detil ke software AutoCAD dan mendigitasi titik – titik detil
planimetris yang memiliki deskripsi yang sama dengan beracuan pada sketsa lapangan.
4. Setelah semua titil detil terdigitasi semua kemudian melakukan editing ketinggian
terhadap obyek bangunan. Ketinggian bangunan disamakan dalam satu bangunan.
5. Menggabungkan semua data detil dan menyimpannya.
6. Membuat Digital Terrain Model (DTM) dengan menggunakan menu surface
kemudian memilih DTM file function.
7. Membuat kontur mayor dengan interval satu meter dan kontur minor dengan interval
0,25 meter menggunakan menu surface kemudian memilih contouring.
8. Memperhalus kontur menggunakan menu edit agar kontur yang dihasilkan terlihat
rapi dan indah.
9. Setelah semua penggambaran selesai kemudian melakukan layouting pada software
arcgis.
10. Semua data titik detil di eksport dari format .str menjadi format .dxf kemudian di
extract menjadi format .shp, agar dapat di olah pada software arcgis. Kemudian semua
data dimasukkan ke software arcgis dan melakukan layouting peta dengan kertas A1
dan Skala 1: 500.
11. Membuat informasi peta yang isinya meliputi: judul,indeks, arah utara, skala peta,
legenda, riwayat peta dan sistem referensi, tanggal pengukuran dan penggambaran,
pembuat peta, pengoreksi peta, dan lembaga.
12. Setelah semua isi dan informasi yang ada peta sudah lengkap kemudian peta di
print pada kertas A1.

39
3.11 Uji Peta
Pengujian Peta dilakukan dengan mengukur jarak pada keadaan sebenarnya di
lapangan.
1. Mengukur jarak detil dengan menggunakan alat pita ukur.
2. Membandingkan hasil pengujian dengan hasil yang ada di peta
3. Mencatat hasil hasil uji peta pada formulir yang telah disediakan.
4. Membandingkan hasil pengujian lapangan dengan hasil pada peta.
5. Toleransi kesalahan pengukuran sebesar 1mm kali faktor pembagi skala.

40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengukuran KKV


Berikut merupakan hasil pengukuran KKV :
Tabel 4.1 Perhitungan KKV (pergi)

PERGI
Pembacaan Rambu Beda Koreks Z
Jarak
Titik Target Tingg i
(m)
BA BT BB i
BM- BM 1.344 1.273 1.203 14.1 486.157
-0.131
P1 1 1.468 1.404 1.340 12.8 -0.001 486.025
1 1.834 1.723 1.612 22.2
P1-P2 0.555
2 1.284 1.168 1.051 23.3 -0.001 486.579
2 2.008 1.824 1.640 36.8
P2-P3 0.597
3 1.374 1.227 1.079 29.5 -0.001 487.175
3 1.555 1.500 1.445 11
P3-P4 -0.09
4 1.716 1.590 1.465 25.1 -0.001 487.084
4 1.574 1.539 1.504 7
P4-P5 -0.082
5 1.760 1.621 1.482 27.8 -0.001 487.001
5 0.485 0.404 0.323 16.2
P5-P6 -1.418
6 1.867 1.822 1.777 9 -0.001 485.582
6 1.316 1.257 1.199 11.7
P6-P7 -1.393
7 2.695 2650 2.605 9 -0.001 484.188
7 2.802 2.758 2.714 8.8
P7-P8 0.895
8 1.938 1.863 1.788 15 -0.001 485.081
8 1.589 2.758 2.714 18.8
P8-P9 -0.185
9 1.809 1.680 1.550 25.9 -0.001 484.895
P9- 9 1.359 1.314 1.268 9.1
-0.149
P10 10 1.485 1.463 1.440 4.5 -0.001 484.745
P10- 10 1.314 1.260 1.205 10.9
-0.318
P11 11 1.485 1.463 1.440 4.5 -0.001 484.426
P11- 11 1.746 1.660 1.574 17.2
1.426
P12 12 0.342 0.234 0.125 21.7 -0.001 485.851
P12- 12 0.995 0.926 0.857 13.8
-0.495
P13 13 1.539 1.421 1.304 23.5 -0.001 485.355
P13- 13 1.536 1.468 1.400 13.6
0.048
P14 14 1.534 1.420 1.305 22.9 -0.001 485.402
P14- 14 2.042 1.793 1.544 49.8
0.756
BM BM 1.260 1.037 0.815 44.5 -0.001 486.157

41
Perhitungan :
Beda tinggi BM-P1 = Bt BM- Bt P1
= 1.273 – 1.404
= -0.131

Jarak (BM-Waterpass) = ( BABm – BBBM )*100


= (1.344 – 1.203 )*100
= 14.1 m

Elevasi P1 = Elevasi BM + Beda tinggi + koreksi


= 486.157 + (-0.131) + (-0.001)
= 486.025
Tabel 4.2 Perhitungan KKV ( Pulang )

PULANG
Pembacaan Rambu Jarak Beda Koreksi Z
Titik Target
BA BT BB (m) Tinggi
BM- BM 1.240 1.020 0.799 44.1 486.157
-0.755
P14 P12 2.027 1.775 1.524 50.3 0.001 485.403
P14- P12 1.532 1.417 1.301 23.1
-0.049 485.355
P13 P11 1.543 1.466 1.390 15.3 0.001
P13- P11 1.563 1.445 1.327 23.6
0.495 485.851
P112 P10 1.018 0.950 0.883 13.5 0.001
P12- P10 0.345 0.237 0.128 21.7
-1.425 484.427
P11 P9 1.749 1.662 1.576 17.3 0.001
P11- P9 1.661 1.584 1.505 15.6
0.319 485.851
P10 P8 1.320 1.265 1.211 10.9 0.001
P8 1.486 1.464 1.441 4.5
P10-P9 0.150 484.427
TB1 1.359 1.314 1.286 9.1 0.001
TB1 1.804 1.677 1.549 25.5
P9-P8 0.184 484.747
P7 1.587 1.493 1.399 18.8 0.001
P7 1.939 1.863 1.788 15.1
P8-P7 -0.895 484.898
TB2 2.802 2.758 2.715 8.7 0.001
TB2 2.705 2.661 2.616 8.9
P7-P6 1.393 485.583
P6 1.327 1.268 1.208 11.9 0.001
P6 1.879 1.835 1.790 8.9
P6-P5 1.417 487.001
P5 0.500 0.418 0.337 16.3 0.001
P5 1.765 1.625 1.486 27.9
P5-P4 0.081 487.083
P4 1.579 1.544 1.508 7.1 0.001

42
P4 1.738 1.613 1.488 25
P4-P3 0.091 487.175
P3 1.578 1.522 1.465 11.3 0.001
P3 1.376 1.226 1.076 30
P3-P2 -0.598 486.578
P2 2.007 1.824 1.641 36.6 0.001
P2 1.305 1.189 1.072 23.3
P2-P1 -0.555 486.024
P1 1.855 1.744 1.632 22.3 0.001
P1 1.481 1.418 1.355 12.6
P1-BM 0.312 486.157
BM 1.357 1.286 1.215 14.2 0.001
Perhitungan :
Beda tinggi BM-P14 = Bt BM- Bt P14
= 1.020– 1.775
= -0.755
Jarak (BM-Waterpass) = ( BABm – BBBM )*100
= (1.240–0.799)*100
= 44.1 m
Elevasi P1 = Elevasi BM + Beda tinggi + koreksi
= 486.157 + (-0.755) + (0.001)
= 485.403
Tabel 4.3 ∑ ∆H pergi dan pulang
Aspek Hasil ukuran Keterangan
∑ ∆H pergi 0.016
-
∑ ∆H pulang -0.015
∑ ∆H pergi - ∑ ∆H pulang 1.0 mm Memenuhi

Dari hasil perhitungan beda tinggi pada tabel di atas memenuhi toleransi 8√D yaitu
sebesar 5.980234 mm.

4.2 Hasil Pengukuran KKH


Hasil perhitungan data pengukuran kerangka kontrol horisontal dapat dilihat di
bawah ini :
Untuk mengetahui hasil koreksi sudut pada KKH bisa dilihat dibawah ini:
Syarat Sudut luar Poligon (n+2)*180 = 3060
∑ sudut luar = 3060.317
Kesalahan sudut = 0.317
∑ Jarak = 541.209

43
Koreksi Persudut FS/n = 0.106
Adapun hasil rata-rata dari perhitungan dari;
D sin Azimuth terkoreksi : 0.045
D cos Azimuth terkoreksi : -0.005

Untuk mengetahui hasil koreksi Azimuth bisa dilihat dibawah ini:


∆X = 0.045
∆Y = -0.005
√0.0452 + (−0.0052
Fl = 541.2089

FI = 0.0000837 30
Ketelitian linear = 1 : 11939.2980

44
Tabel 4. 4. Perhitungan KKH
4.3 Hasil Pengukuran Detail Situasi
Tabel 4.5 Perhitungan detail di titik P1
Perhitungan data detail
Perhitungan jarak :
Jarak mirirng salah satu titik detail = 28.588 m
Jarak datar = d miring x (sin α vertikal)
= 28.588x (sin 89.154)2
= 28.585 m

Jarak Vertikal(∆h) = (Ti-Tstik) + (ddatar x tan-1 α vertikal )


= (1.500-1.26) + (28.585 x tan-1 (89.154))
= - 1.178
Elevasi titik Detail = elevasi titik poligon + ∆h
= 486.025 + (0.322)
= 486.347
Azimuth titik detail = Azimuth P1 titik detail + β titik detail
= 336.2451 + 167.2394 - 180
= 323.4846
Penenuan Koordinat :
Koordinat P1 telah diketahui :
X = 677657.000
Y = 9119941.000
Koordinat detail :
X = XP1 + ∆X
X = 677657.000 + (-17.009)
X= 677639.990
Y = YP1 + ∆Y
Y = 9119941.000+ (22.973)
Y= 9119963.973
4.4 Hasil Uji Peta
Pada Tabel 4.7 disajikan perbandingan hasil pengujian peta dari 10 sampel yang
diambil dalam pelaksanaan Praktikum Matra Darat ini.
Tabel 4.1 Tabel Hasil Uji Peta
Pengukuran Hasil ukuran Keterangan
-
Uji planimetris 90 %

Berikut daftar Koordinat UTM pada titik titik di lokasi Kampus I ITN Malang
dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Koordinat Titik

KOORDINAT UTM
NO TITIK
X Y
1 BM MENWA 677666.414 9119919.61
2 BM A1 677650.273 9119945.879
3 BM A2 677685.8139 9119987.061
4 BM A3 677675.2368 9120022.933
5 BM A4 677698.6159 9120050.471

Lanjutan Tabel IV.7


KOORDINAT UTM
NO TITIK
X Y
6 BM A5 677712.366 9120067.201
7 BM A6 677775.7271 9120032.438
8 BM A7 677780.3181 9120020.084
9 BM A8 677785.4197 9119993.758
10 BM A9 677761.3965 9119963.961
11 BM A10 677784.9713 9119938.407
12 BM A11 677760.925 9119910.187
Berikut hasil Uji Peta Skema 1 dapat dilihat pada Gambar IV.1

Gambar IV. 1. Skema 1

Berikut Tabel Uji Peta Skema 1 dapat dilihat pada Tabel IV.8
Tabel IV. 2. Tabel Uji Peta Skema 1
No Gambar Jarak Sebenarnya Pebedaan
peta
1 0,4 CM 1,75 M 0,25 M
(A)

2 (B) 2,4 CM 11,70 M 0.3 M


Dokumentasi Uji Peta
1(A) =

Gambar IV. 2. Uji Peta 1(A)


2 (B) =

Gambar IV. 3. Uji Peta 2(B)

Berikut hasil Uji Peta Skema 2 dapat dilihat pada Gambar IV.2

Gambar IV. 4. Skema 2


Berikut Tabel Uji Peta Skema 2 dapat dilihat pada Tabel IV.10
Tabel IV. 3. Tabel Uji Peta Skema 2
No Gambar Jarak peta Sebenarnya Pebedaan
1 (C) 0,5 CM 2,57 M 0,07 M

2 (D) 0,35 CM 1,93 M 0,18 M

Dokumentasi Uji Peta


1(C) =

Gambar IV. 5. Uji Peta 1(C)


2(D) =

Gambar IV. 6. Uji Peta 2(D)

Berikut hasil Uji Peta Skema 3 dapat dilihat pada Gambar IV.3

Gambar IV. 7. Skema 3


Berikut Tabel Uji Peta Skema 3 dapat dilihat pada Tabel IV.11
Tabel IV. 4. Tabel Uji Peta Skema 3
No Gambar Jarak peta Sebenarnya Pebedaan
1 (E) 0,95 CM 4,60 M 0,15 M

2 (F) 0,4 CM 2,025 M 0,025 M

3 (G) 1,9 CM 9,3 M 0,2 M

Dokumentasi Uji Peta


1(E) =

Gambar IV. 8. Uji Peta 1(E)


2(F) =

Gambar IV. 9. Uji Peta 2(F)


Berikut hasil Uji Peta Skema 3 dapat dilihat pada Gambar IV.4

Gambar IV. 10. Skema 4


Berikut Tabel Uji Peta Skema 4 dapat dilihat pada Tabel IV.12
Tabel IV. 5. Table Uji Peta Skema 4
No Gambar Jarak peta Jarak Pebedaan
dilapangan
1 (H) 0,2 CM 1,17 M 0,17 M

2 (I) 0,3 CM 1,81 M 0,31 M

3 (J) 0,2 CM 0,95 M 0,05 M

Dokumentasi Uji Peta


1(H) =

Gambar IV. 11. Uji Peta 1(H)


2(I) =

Gambar IV. 12. Uji Peta 2(I)

3(J) =
Gambar IV. 13. Uji Peta 3(J)

4.5 Hasil Penggambaran Peta Digital


Hasil penggambaran peta secara digital adalah peta Kampus I ITN Malang
dengan skala 1:500 dan dicetak dalam kertas A1. Unsur-unsur yang ada dalam muka
peta meliputi:
1. Titik poligon = 12 titik,
2. Jalan conblok, jalan aspal,
3. Sungai,
4. Kontur mayor dan minor,
5. Bangunan = 33 blok,
6. Area parkir = 2 blok,
7. Gardu induk = 1 blok,
8. Taman = 26 blok.
Peta Situasi Kampus I Institut Teknologi Nasional Malang dapat dilihat
pada Gambar IV.14
Gambar IV. 14. Peta Situasi Kampus I ITN
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kegiatan praktikum Pemetaan Matra Darat yang telah kami lakukan dapat
diperoleh beberapa kesimpulan, antara lain :
1. Orientasi lapangan diperlukan untuk menentukan jumlah titik poligon yang akan
digunakan dan menentukan metode yang akan diterapkan dalam pengukuran
poligon.
2. Pembuatan desain jaring kontrol geodesi guna memudahkan pengukuran GPS di
lapangan.
3. Pembuatan sket pengukuran dilakukan untuk memudahkan proses penggambaran
peta.
4. Penempatan titik-titik poligon sebaik mungkin dapat menjangkau seluruh areal
pengukuran.
5. Penempatan titik-titik patok poligon di lapangan diusahakan dapat saling terlihat.
6. Pengukuran sudut dan jarak antara titik-titik poligon dan juga detail situasi
dilakukan dengan menggunakan Total Station.
7. Ketelitian pengukuran sudut dan jarak sangat penting untuk proses penghitungan
poligon.
8. Peralatan yang digunakan sebaik mungkin dipilih alat yang memiliki kondisi
baik, dapat digunakan dan memiliki ketelitian tinggi yang disesuaikan dengan
kebutuhan.
9. Ketelitian linier poligon salah satunya ditentukan oleh jarak yang dipakai dalam
pengukuran, makin teliti jarak maka makin baik pula ketelitian liniernya.

5.2 Saran
1. Kemampuan penyediaan alat ukur yang baik dan layak untuk digunakan
dalam praktikum hendaknya di tingkatkan untuk kelancaran proses praktikum
dan ketelitian dalam pengambilan data.
2. Didalam penyusunan laporan ini, suatu kelompok hendaknya mengerjakan
dengan kompak dan kerjasama yang baik, karena tanpa itu semua akan
percuma dan membuat slaha satu pihak merugi.
3. Memperjelas jadwal pengukuran agar hasil yang didapat lebih efisien

Anda mungkin juga menyukai