Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN


PAUD

Dosen Pengampu: Mukhlisin, M. Pd

Di susun oleh :
Nama : Yunida
Nim : C872320005
Kelas : reguler C
Prodi : Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

SEKOLAH TINGGI KEGURURAN DAN ILMU PENDIDIDKAN


(STKIP) MELAWI
(2023 /2024)

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penulis
mampu menyelesaikan modul Pemberdayaan Masyarakat dalam Penyelenggaan
PAUD,Program studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG-PAUD) merupakan
program yang mempersiapkan tenaga pendidikan di tingkat usia dini. Usia dini merupakan
pondasi utama sebuah pendidikan, sehingga diperlukan pendidik yang memiliki kemampuan
profesional, sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 yang
menuntut profesionalisme guru atau pendidik.

Peran perguruan tinggi sebagai pencetak tenaga pendidikan diharapkan mampu


menghasilkan lulusan yang profesional sesuai dengan tuntutan dunia pendidikan. Modul ini
membahas tentang pengertian, konsep, dan materi pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat
dalam Penyelenggaan PAUD, modul Pemberdayaan Masyarakat dalam Penyelenggaan
PAUD dikembangkan oleh penulis diharapkan memberikan sumbangsih terhadap
peningkatan tenaga pendidikan khususnya di program studi Pendidikan Guru Pendidikan
Anak Usia Dini (PG-PAUD).

Nanga Pinoh, Maret 2023

Penulis Yunida

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................iii
Petunjuk Penggunaan Bahan Ajar...................................................................................iv
BAB I...........................................................................................................................1
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PAUD NONFORMAL.................................1
A. Pengertian Pemberdayaan PAUD...........................................................................1
BAB II..........................................................................................................................4
PENDAMPINGAN PEMBELAJARAN PAUD...................................................................4
A. Kondisi Pendampingan.........................................................................................4
B. Strategi Pelaksanaan Pemberdayaan.......................................................................5
BAB III.........................................................................................................................7
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PAUD.....................................................................7
A. Pelaksanaan.........................................................................................................7
B. Kesimpulan.......................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................30

iii
Petunjuk Penggunaan Bahan Ajar
Deskripsi Modul pemberdayaan masyarakat dalam penyelanggaraan PAUD ini terdiri
dari definisi, maksud dan tujuan pemberdayaan masyarakat. Materi membahas kegiatan
pemberdayaan masyarakat. Peserta pelatihan mempelajari keseluruhan modul ini dengan cara
yang berurutan. Pemahaman setiap materi pada modul ini diperlukan untuk mengetahui dan
memahami pemberdayaan masyarakat dalam penyelanggaran PAUD. Setiap materi pokok
dilengkapi dengan latihan yang menjadi alat ukur tingkat penguasaan peserta pelatihan
setelah mempelajari materi pada materi pokok. Persyaratan Dalam mempelajari modul ini,
peserta pelatihan diharapkan dapat menyimak dengan seksama penjelasan dari pengajar,
sehingga dapat memahami dengan baik materi yang merupakan kemampuan inti/substansi
dari Pelatihan Orientasi Terpadu. Untuk menambah wawasan, peserta diharapkan dapat
membaca terlebih dahulu materi yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat.

Metode Dalam pelaksanaan pembelajaran ini, metode yang dipergunakan adalah


dengan kegiatan pemaparan yang dilakukan oleh Pengajar/Widyaiswara/Fasilitator, adanya
kesempatan brainstorming, diskusi dan studikasus dan simulasi. Alat Bantu/Media Untuk
menunjang tercapainya tujuan pembelajaran ini, diperlukan Alat Bantu/Media pembelajaran
tertentu, yaitu: LCD/projector, Laptop, white board dengan spidol dan penghapusnya, bahan
tayang, modul dan/atau bahan ajar, flipchart, kertasplano, metaplan, film/visualisasi serta
lembar instruksi.

Kompetensi Dasar Setelah mengikuti pembelajaran, peserta pelatihan diharapkan mampu


mengetahui dan memahami pemberdayaan masyarakat dengan mengacu pada pemberdayaaan
masyarakat pada penyelenggaraan PAUD.

iv
BAB I

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PAUD NONFORMAL


A. Pengertian Pemberdayaan PAUD
Pendidikan merupakan sarana utama dalam memberikan akses penting bagi
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meraih kehidupan yang baik, maju dan
berkarakter di masa yang akan datang. Dalam konteks ini, pendidikan tidak sekedar
memberikan kekuatan dan kekayaan intelektual, menjadikan manusia Indonesia yang
mempunyai kemampuan berfikir dan olah nalar yang cerdas, serta dapat memberikan
bekal moral dan etika yang terpuji. Pendidikan bermutu diharapkan mampu
mengembangkan semua potensi diri manusia yang kreatif, inovatif, mandiri, dan
beretos kerja tinggi sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dan harapan
masyarakat (community needs and wants) akan mutu pendidikan yang baik, menjadi
faktor pemicu utama adanya inovasi pendidikan (Jones & Salisbury, 1989).

Oleh karena itu, kepala sekolah sebagai leader dituntut untuk dapat membua
keputusan institusional (institutional decisions) dalam meningkatkan mutu pendidikan
di sekolah atau sekolah. Peningkatan mutu pendidikan di PAUD harus dilaksanakan
dengan cepat dan tepat, agar pendidikan pra sekolah ini mampu mempersiapkan
peserta didik yang kreatif dan berkarakter pada usia dini. Perbaikan mutu ini bisa
dilaksanakan dengan peningkatan dan penguatan budaya sekolah yang efektif. Oleh
karena itu, setiap pemimpin pendidikan dituntut harus bisa mengelola lembaganya
dengan baik, sehingga bisa menjadi lembaga pendidikan yang maju dan kompetitif
sehingga bisa menghasilkan out put yang berkualitas dan berdaya saing tinggi.

Hasil pendidikan dipandang bermutu jika mampu melahirkan keunggulan


akademik dan ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus untuk satu
jenjang pendidikan atau menyelesaikan dengan kompetensi yang dicapai oleh peserta
didik, keunggulan ekstrakurikuler dinyatakan dengan aneka jenis keterampilan yang
dikuasai oleh peserta didik. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 1 angka 14 menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir
sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan

1
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani
agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Dalam
perkembangannya, masyarakat telah menunjukkan kepedulian terhadap masalah
pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan anak usia dini untuk usia 0 sampai dengan
6 tahun dengan berbagai jenis layanan sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang
ada, baik dalam jalur pendidikan formal maupun non formal. Penyelenggaraan PAUD
jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK)/Raudhatul Atfal (RA)
dan bentuk lain yang sederajat, yang menggunakan program untuk anak usia 4 – ≤ 6
tahun. Sedangkan penyelenggaraan PAUD jalur pendidikan nonformal berbentuk
Taman Penitipan Anak (TPA) dan bentuk lain yang sederajat.

Penyelenggaraan PAUD sampai saat ini belum memiliki standar yang


dijadikan sebagai acuan minimal dalam penyelenggaraan PAUD jalur pendidikan
formal, nonformal dan/atau informal. Oleh karena itu, untuk memberikan pelayanan
yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan anak,
maka perlu diselenggarakan pemberdayaan guru PAUD dalam meningkatkan mutu
pembelajarannya. PAUD sebagai pendidikan pra sekolah merupakan bagian integral
dari Standar Nasional Pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang
dirumuskan dengan mempertimbangkan karakteristik penyelenggaraan PAUD.
Standar PAUD terdiri atas empat kelompok, yaitu: (1) Standar tingkat pencapaian
perkembangan; (2) Standar pendidik dan tenaga kependidikan; (3) Standar isi, proses,
dan penilaian; dan (4) Standar sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
Standar tingkat pencapaian perkembangan berisi kaidah pertumbuhan dan
perkembangan anak usia dini sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Tingkat
perkembangan yang dicapai merupakan aktualisasi potensi semua aspek
perkembangan yang diharapkan dapat dicapai anak pada setiap tahap
perkembangannya, bukan merupakan suatu tingkat pencapaian kecakapan akademik.
Standar pendidik (guru, guru pendamping, dan pengasuh) dan tenaga
kependidikan memuat kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan. Standar isi,
proses, dan penilaian meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian program yang
dilaksanakan secara terintegrasi/terpadu sesuai dengan kebutuhan anak. Standar
sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan mengatur persyaratan fasilitas,
manajemen, dan pembiayaan agar dapat menyelenggarakan PAUD dengan baik.

2
Pelaksanaan pemberdayaan ini difokuskan pada pengelolaan lembaga pendidikan
prasekolah (PAUD) dengan manajemen yang efektif serta pemberdayaan guru dalam
membentuk budaya sekolah yang efektif sehingga mampu meningkatkan mutu proses
pembelajaran di kelas maupun di luar kelas.

3
BAB II

PENDAMPINGAN PEMBELAJARAN PAUD


A. Kondisi Pendampingan
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilaksanakan oleh peneliti dapat
diketahui bahwa: PAUD di desa Plosokandang Tulungagung merupakan pendidikan
prasekolah yang potensial untuk bisa maju dan diminati oleh masyarakat
Tulungagung, jika mampu memberdayakan potensi sekolah dengan baik. Terdapat
beberapa hal yang bisa dijelaskan tentang kondisi sekolah sebagai subyek dampingan
pada saat ini, hal-hal yang dimaksudkan adalah: (1) Komitmen warga sekolah dalam
meningkatkan mutu pendidikan masih rendah, program-program sekolah belum bisa
dilaksanakan secara maksimal, berorientasi pada target menghabiskan kurikulum dan
kepala sekolah belum berani berinisiatif dan berkreasi untuk melaksanakan dan
mengembangkan program sekolahnya secara inovatif, (2) Peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan masih rendah, hal ini terbukti dari kurangnya
partisipasi masyarakat dalam membantu belajar putra-putrinya di rumah, (3) Sistem
nilai budaya belum sepenuhnya dilaksanakan di PAUD, (4) Budaya sekolah yang
belum kuat atau efektif, hal ini nampak sekali dari perilaku siswa yang belum
membiasakan salam tatkala masuk kelas, bertemu dengan guru, dengan sesama
teman.

Kondisi dampingan yang diharapkan setelah diadakan pemberdayaan adalah:


1) Meningkatnya komitmen kepala sekolah, guru, staf, komite sekolah, dan
masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan, penguatan budaya sekolah yang
efektif, dan pembentukan karakter bangsa peserta didik di PAUD. 2) Terciptanya
iklim kerja yang dinamis berdasarkan nilai-nilai budaya yang dikembangkannya
sehingga mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam mutu pendidikan dan
pembentukan karakter bangsa peserta didik di PAUD. 3) Terciptanya semangat
belajar peserta didik dalam bingkai nilai-nilai budaya sekolah yang efektif yang
diperkuat dan diberdayakan di PAUD dalam pembinaan dan pembentukan karakter
bagsa peserta didik. 4) Meningkatnya peran serta masyarakat terhadap
penyelenggaraan pendidikan di sekolah dalam mewujudkan visi dan misi sekolah
serta dalam peningkatan mutu pendidikan dan pembinaan karakter bangsa peserta

4
didik di PAUD. 5) Nilai-nilai sekolah yang efektif dapat dirumuskan dan
diimplementasikan dengan baik di sekolah sehingga bisa meningkatkan mutu
pendidikan dan membentuk karakter bangsa peserta didik.

B. Strategi Pelaksanaan Pemberdayaan


Berdasarkan kondisi subyek dampingan dan tujuan yang ingin dicapai dalam
pelaksanaan Participatory Action Research, maka dalam pengabdian masyarakat ini
dapat dibuat grand design tentang pemberdayaan guru PAUD dalam membentuk
budaya sekolah yang efektif.
Berdasarkan rumusan design pemberdayaan maka strategi pelaksanaan
pemberdayaan ini dapat diberikan penjelasan sebagai berikut:
Tahap Pertama adalah identifikasi masalah. Peneliti bersama dengan kepala
sekolah, guru, staf, dan komite sekolah akan mengadakan brainstorming untuk
membuat kesepakatan dan menggali masalah-masalah dalam pengembangan buadaya
PAUD yang efektif di sekolah serta alternatif penyelesainnya. Hal ini penting, karena
pada saat ini juga akan mulai dibangun komitmen kepala sekolah, guru, staf, dan
komite sekolah untuk memperkuat dan mengembangkan budaya sekolah. Pada tahap
ini juga akan dirumuskan strategi penyelesaian masalah sehingga akan menjadi
keputusan yang bersifat partisipatif dalam pengembangan budaya sekolah yang efektif
agar dengan mudah mengimplementasikan kurikulum 2013.
Tahap dua, Melaksanakan Tindakan pada siklus pertama. Pelaksanaan
tindakan pada siklus pertama akan dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Diawali dengan sosialisasi kebijakan yang telah dirumuskan secara
partisipatif kepada seluruh siswa dan masyarakat. Sosialisasi ini akan
menghadirkan pejabat kementerian pendidikan nasional kabupaten
Tulungagung, kepala dinas pendidikan, dan tim ahli sebagai narasumber
untuk memberikan pengarahan, memperkuat, dan dukungannya dalam upaya
pengembangan budaya sekolah yang efektif untuk mengimplementasikan
kurikulum 2013 di sekolah.
2. Membentuk teamwork untuk menjalankan program-program penguatan
budaya sekolah yang efektif di sekolah agar bisa dijalankan dengan baik.

5
3. Setiap akhir pekan diadakan evaluasi proses yang telah dijalankan dengan
tujuan dapat diperoleh feedback tentang kendala-kendala yang muncul dan
upaya untuk menyelesaikannya.
4. Siklus pertama dilaksanakan selama satu bulan. Setelah itu dilaksanakan
refleksi program pada siklus pertama bersama-sama dengan kepala sekolah,
guru, staf, komite sekolah, dan tokoh masyarakat. Pada kegiatan ini akan
dievaluasi tentang keberhasilan program dan masalah-masalah yang belum
terselesaikan serta kendalakendala yang dihadapinya, serta dirumuskan
strategi penyelesaiannya pada siklus kedua. Pada kesempatan ini, juga
dimanfaatkan oleh peneliti dan kepala sekolah untuk meningkatkan komitmen
dan semangat dalam mensukseskan program pemberdayaan pada siklus
kedua. Tahap Tiga, melaksanakan tindakan pada siklus kedua.
Tindakan pada siklus kedua dilaksanakan berdasarkan perumusan
masalah yang telah dibuat sebagai hasil refleksi pada siklus pertama. Pada
siklus ini pada hakekatnya adalah melanjutkan program-program
pemberdayaan yang telah dilaksanakan pada siklus pertama dan diperkuat
dengan hasil refleksi sebagai feedback untuk menerapkan perbaikan-
perbaikan proses yang telah dilaksanakannya dan berdasarkan hasil evaluasi
dilanjutkan dengan perumusan kebijakan yang dibuat dan untuk dilaksanakan
pada sklus kedua. Begitu juga seterusnya, berlanjut pada siklus berikutnya
sehingga peneliti beserta warga sekolah mampu menerapkan dan memperkuat
budaya sekolah yang efektif di sekolah dengan baik. Perbaikan ini akan
dilaksanakan secara terus-menerus (continous improvement) sejalan dengan
proses pengembangan budaya sekolah yang efektif dalam implementasi
kurikulum 2013 di sekolah sehingga mendapatkan hasil sesuai dengan apa
yang diharapkan.

6
BAB III

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PAUD


A. Pelaksanaan

Budaya organisasi sekolah PAUD yang kuat dan efektif dapat menggerakkan
seluruh personalia sekolah untuk meningkatkan semangat kerja dan kualitas
pembelajaran yang berimplikasi pada peningkatan mutu pendidikan. Budaya
organisasi yang kuat akan memberikan dampak positif pada kinerja institusi secara
umum, sebab budaya organisasi tersebut akan mengarahkan perilaku para pegawai
dan manajemen organisasi. Budaya organisasi yang terpelihara dengan baik, mampu
menampilkan perilaku iman, takwa, kreatif, dan inovatif. Manfaat yang dapat diambil
dari budaya demikian adalah dapat menjamin hasil kerja dengan kualitas lebih baik,
membuka seluruh jaringan komunikasi, keterbukaan, kebersamaan,
kegotongroyongan, kekeluargaan, menemukan kesalahan dan cepat memperbaiki,
cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi di luar.
Sikap yang ditumbuhkan diantaranya adalah pantang menyerah, berani
mencoba untuk belajar, perencanaan sebelum bertindak, menggapai prestasi, saling
memberikan motivasi dan perhatian, kepedulian sosial (bakti sosial, pemberian
santunan), dan yang lebih penting adalah membekali peserta didik agar percaya diri
dengan akhlaqul karimah. Pelaksanaan pemberdayaan ini difokuskan pada upaya
untuk meningkatkan mutu pendidikan pra-sekolah. Untuk meningkatkan mutu
pendidikan dan pembelajaran di PAUD perlu dilaksanakan dengan
pembiasaanpembiasaan berbudaya sesuai dengan nilai-nilai karakter bangsa yang
harus diinternalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Pembiasaan
yang dilakukan sejak dini dapat dijadikan sebagai pembentukan pondasi budaya
bangsa yang kuat pada diri anak, sehingga diharapkan anak akan mempunyai self
control yang bagus dalam praktek kehidupan sosial bermasyarakat.
Konsep tersebut juga diperkuat oleh Muhaimin (2001:301) yang menjelaskan
bahwa dalam pembelajaran Pendidikan karakter bagi peserta didik perlu digunakan
beberapa pendekatan, yaitu: (a) pendekatan pengalaman, memberikan pengalaman
keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan, (b)
pendekatan pembiasaan, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
senantiasa mengamalkan ajaran agamanya dan atau akhlak yang mulia, (c)

7
pendekatan keteladanan dan pendekatan persuasif atau mengajak kepada warga
sekolah dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prosfek baik yang
dapat menyakinkan mereka. Sikap kegaiatannya berupa proaksi, yaitu membuat aksi
atau inisiatif sendiri, jenis dan arah ditentukan sendiri, tetapi membaca munculnya
aksi-aksi agar dapat ikut memberi warna dan arah pada perkembangan nilai-nilai
relegius di sekolah. Bisa juga berupa antisipasi, yakni tindakan aktif menciptakan
situasi dan kondisi ideal agar tercapai tujuan idealnya.
Pembiasaan budaya ini merupakan skenario yang dibuat oleh sekolah untuk
internalisasi dan perwujudan budaya di sekolah. Pembentukan budaya ini
dilaksanakan dengan cara terperogram sebagaimana dilaksanakan di PAUD Tunas
Bangsa Plosokandang. Temuan ini juga memperkuat dengan apa yang telah dijelaskan
oleh Talizuhu Ndara (1999) bahwa pembentukan budaya dapat dilakukan secara
terperogram melalui learning process. Pola ini bermula dari dalam diri pelaku budaya,
dan suara kebenaran, keyakinan, anggapan dasar atau kepercayaan dasar yang
dipegang teguh sebagai pendirian, dan diaktualisasikan menjadi keyataan melalui
sikap dan perilaku. Kebenaran itu diperoleh melalui pengalaman atau pengakajian
trial and error dan pembuktiannya adalah peragaan pendiriannya tersebut. Itulah
sebabnya pola aktualisasinya ini disebut “pola peragaan”.
1. Penguasaan Pengetahuan dan Keterampilan Penguasaan pengetahuan dan
keterampilan yang dikembangkan di PAUD Tunas Bangsa Plosokandang
Tulungagung adalah berkaitan erat dengan: pengetahuan materi-materi pokok
program pendidikan sesuai dengan kurikulum nasional untuk pendidikan pra-
sekolah. Pelaksanaan pendidikan di PAUD Tunas Bangsa Plosokandang ini
dilaksanakan dengan sistem enjoy learning. Dilaksanakan sistem ini adalah: (1)
untuk mengkondisikan anak agar memiliki pembiasaan hidup yang baik, (2) untuk
mengupayakan atau pendalaman konsep-konsep materi pelajaran yang telah
ditetapkan oleh diknas, (3) pembinaan kejiwaan, mental dan moral anak,
maksudnya adalah memberikan keseimbangan antara kebutuhan rohani dan
jasmani agar terbentuk kepribadian yang utuh. Secara aplikatif sikap yang
diterapkan PAUD Plosokandang adalah memberdayakan segala potensi yang ada
secara maksimal. Termasuk dalam hal ini adalah memberdayakan kelas dengan
mengedepankan interaksi pendidikan dan siswa yang bermutu menjadi perhatian
utama, disamping adanya pembinaan SDM secara terperogram dan kelengkapan
alat-alat kegiatan pembelajaran.

8
Pembinaan siswa dalam proses pembelajaran dilaksanakan oleh para guru
dengan penuh perhatian dan semangat agar siswa berkembang dengan baik.
Penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan di PAUD
Plosokandang bisa juga disebut sebagai life skill. Kecakapan hidup sebagai hasil
pembelajaran secara umum menurut Suderadjat (2005:19-20) terdiri dari:
Pertama: kecakapan personal dengan komponen: kecakapan belajar (learning to
learn, the basic learning skill), kecakapan beradaptasi (adaptability), kecakapan
menanggulangi (cape ability), motivasi, kecakapan mengenal diri (self
awareness), kemandirian, dan tanggung jawab. Kedua: kecakapan sosial, yang
terdiri dari: kecakapan berkomunikasi, kecakapan bekerja kooperatif dan
kolaboratif (bekerja dalam kelompok), dan solidaritas.
2. Sistem Nilai yang dikembangkan oleh Sekolah Nilai adalah sesuatu yang diakui
orang berdasarkan perasaan sebagai sesuatu yang tersusun rapi, orang dapat
berbuat terhadap nilai dengan jalan memikirkan, mengakui, menghargai, dan
mendorongnya. Dalah kehidupan individu dan masyarakat, nilai merupakan
tenaga pendorong dan pemberi arah dari perilaku individu dan masyarakat.
Sekolah sebagai suatu organisasi pendidikan memiliki budaya tersendiri yang
membentuk corak dari sistem yang utuh dan khas. Kekhasan budaya sekolah tidak
terlepas dari visi dan proses pendidikan yang berlangsung yang menuntut
keberadaan unsur-unsur atau komponen-komponen sekolah sebagai bidang
garapan organisasi. Unsur-unsur tersebut satu sama lain berinteraksi dan secara
resiprokal memiliki kaitan satu sama lain, baik yang bersifat artifact maupun nilai-
nilai, dalam organisasi itu sendiri maupun dengan lingkungan eksternal. Nilai
merupakan idealisasi cita-cita seseorang. Sebagai cita-cita tentu sangat
didambakan, diharapkan, dan diinginkan perwujudannya.
Nilai organisasi harus dijunjung tinggi setiap anggotanya karena akan
menentukan perilaku yang ditampilkannya. Macam-macam nilai yang ditemukan
dalam penelitian ini adalah: nilai kejujuran, nilai kemandirian, nilai semangat
berprestasi, nilai ibadah, Nilai kualitas, Nilai pantang menyerah, nilai berani
mencoba untuk belajar, dan motivasi diri. Nilai-nilai tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Nilai Kejujuran Nilai kejujuran yang dikembangkan dalam proses
pembelajaran di PAUD Tunas Bangsa Plosokandang merupakan salah satu
upaya untuk membina genarasi bangsa yang berkarakter. Kejujuran

9
merupakan modal utama dalam proses pembelajaran yang baik. Nilai
kejujuran (honesty) baik pada diri sendiri maupun pada orang lain sangat
diperlukan oleh setiap individu dalam kehidupannya. Agar siswa mampu
menerapkan nilai-nilai kejujuran ini, peran guru dan kepala sekolah
sangatlah penting untuk membina anak-anak agar bersifat jujur dalam
segala situasi. Dalam hal ini, guru senantiasa mengingatkan dan
memotivasi siswa agar selalu bisa bertindak jujur. Selain itu PAUD
Plosokandang juga mempunyai program kerjasama dengan orang tua
untuk melatih kejujuran siswa. Program sinergi antara sekolah dan orang
tua ini dapat memberikan nilai positif bagi siswa untuk membentuk life
skill kejujuran siswa dalam praktek kehidupan sehari-hari. Nilai kejujuran
merupakan nilai yang paling mendasar dalam lingkungan sekolah, baik
kejujuran pada diri sendiri maupun kejujuran kepada orang lain.

Nilai kejujuran tidak terbatas pada kebenaran dalam melakukan pekerjaan atau tugas
tetapi mencakup cara terbaik dalam membentuk pribadi yang obyektif. Tanpa kejujuran,
kepercayaan tidak akan diperoleh. Oleh karena itu budaya jujur dalam setiap situasi
dimanapun kita berada harus senantiasa dipertahankan. Jujur dalam memberikan penilaian,
jujur dalam mengelola keuangan, jujur dalam penggunaan waktu serta konsisten pada tugas
dan tanggung jawab merupakan pribadi yang kuat dalam menciptakan budaya sekolah yang
baik. Pembinaan dan pengembangan nilai kejujuran tersebut merupakan usaha yang harus
dikembangkan oleh sekolah agar mempunyai budaya yang kuat dan positif dalam
peningkatan mutu pendidikan di sekolah, uatamanya di PAUD sebagai peletakan “batu
pertama” dalam pelaksanaan pendidikan berikutnya.

Depdiknas (2007:8) menjelaskan bahwa: manfaat yang diperoleh dengan


pengembangan budaya dan iklim sekolah yang kuat, intim, kondusif dan bertanggung jawab
adalah: (1) menjamin kualitas kerja yang lebih baik, (2) membuka seluruh jaringan
komunikasi dari segala jenis dan level baik komunikasi vertikal maupun horizontal, (3) lebih
terbuka dan transparan, (4) menciptakan kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tinggi,
(5) meningkatkan solidaritas dan rasa kekeluargaan, (7) jika menemukan kesalahan akan
segera dapat diperbaiki, (8) dapat beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan IPTEK b.
Nilai Kemandirian Kemandirian merupakan salah satu nilai yang berkembang di PAUD
Tunas Bangsa Plosokandang Tulungagung.

10
Kemandirian dalam hal ini terutama adalah berkaitan dengan aktivitas belajar siswa
dan proses pembelajaran yang ada di sekolah. Kemandirian dikemabangkan oleh sekolah
dalam rangka melatih anak untuk mampu bertanggung jawab baik terhadap diri sendiri
maupun orang lain. Tuntutan terhadap guru di sekolah ini titik beratnya bukan lagi pada
kemampuan menyampaikan atau menjelaskan materi pelajaran, namun lebih pada penciptaan
suasana dan fasilitas bagi proses belajar siswa. Selain itu guru dituntut mampu memberikan
bimbingan belajar yang maksimal kepada siswa.. Nilai kemandirian juga dikembangkan
melalui berbagai kegiatan siswa dalam keseluruhan proses pembelajaran di sekolah. Siswa
didik untuk mandiri dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri, merapikan tempat bermain,
menata buku, memakai pakaian sendiri dan kegiatan-kegiatan lain sesuai dengan tema yang
diajarkannya. c. Semangat Berprestasi Semangat berprestasi merupakan sesuatu yang sangat
penting dalam meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu siswa perlu di motivasi agar
selalu meningkatkan prestasi akademik maupun prestasi kejuruan sehingga mempunyai
kecakapan hidup. Prestasi ini pula yang akan membawa nama baik sekolah dalam kehidupan
masyarakat secara luas.

Prestasi merupakan kunci keberhasilan dari sebuah lembaga pendidikan. Prestasi


harus dipertahankan atau malah ditingkatkan agar sekolah menjadi lebih kuat dan lebih
banyak peminatnya. Dengan kesan demikian maka siswa merasa memiliki kesiapan
(kemampuan untuk bersaing) dalam meningkatkan kualitas diri dalam proses pembelajaran.
Kedua, dengan demikian, maka pada diri siswa terpatri suatu persepsi bahwa bersekolah di
PAUD Tunas Bangsa Plosokandang tersebut harus siap bersaing dan selalu meningkatkan
pemahaman dan pengetahuannya, karena mayoritas siswa memiliki lalar belakang
kemampuan yang cukup. Prestasi merupakan salah satu nilai yang terkait dengan
keberhasilan atau kegagalan seorang siswa atau sekolah. Prestasi dapat dipandang sebagai
nilai instrumental sebagai cara untuk mencapai tujuan yang lain (melanjutkan ke sekolah
yang baik, melamar pekerjaan sebagai dan sebagainya).

Prestasi juga dapat dipandang sebagai nilai hakiki atau nilai terminal (root value),
karena dalam prestasi itu sendiri (intrinsik) terdapat kebaikan dan dijadikan tujuan dari suatu
usaha. Prestasi merupakan dua nilai terpisah, namun keduanya dapat dipasangkan. Prestasi
diukur dengan standar pencapaian tugas. persaingan diukur dengan membandingkan prestasi
seorang anak dengan anak lain, satu kelas dengan kelas lain, satu sekolah dengan sekolah
lain, satu daerah dengan daerah lain dan seterusnya. Nilai persaingan dapat dikategorikan

11
pada nilai yang berlaku secara universal. Elashmawi dan Harris (1997:25) menyatakan bahwa
nilai persaingan muncul dalam berbagai budaya organisasi perusahaan. Armstrong
(1995:102) lebih sering menggunakan istilah competitiveness. Meskipun demikian terdapat
perbedaan prioritas (urgensi) pada satu bangsa dengan bangsa lain. Berbagai perusahaan di
Amerika menempatkan nilai persaingan dalam urutan pertama, Yang, berarti dipandang
sangat penting. Sementara itu bangsa Jepang tidak mengakomodasikan nilai persaingan.
Sedangkan bangsa Malaysia menempatkan nilai persaingan pada urutan ke-10, yang berarti
tidak merupakan prioritas.

Pada sebagian masyarakat di Indonesia, nilai prestasi dan persaingan ini mengakui
pentingnya prestasi dan persaingan, namun secara eksplisit orang tidak suka dikatakan
bersaing. Drost (198:30) menyebutkan hal ini sebagai gejala khas Indonesia. Anak-anak di
sekolah dididik hingga tidak menerima bahwa ada teman sekolah yang berprestasi, yang
menonjol. Anak yang berani menunjukkan lebih pintar dari yang lain, langsung dicap
sombong, angkuh atau cari muka. Sampai batas tertentu hal tersebut tentu saja tidak dapat
diterima, karena akan menghambat prestasi seseorang. Selain itu sebagaimana dikemukakan
terdahulu, prestasi dan persaingan itu merupakan sesuatu konsekuensi (dan bahkan tujuan)
dan diciptakannya manusia dengan stratum yang berbeda-beda. Stephen Stolp (1998:98)
menyatakan bahwa persaingan yang terwujud dalam academic challenge dan comparative
achivement merupakan dua dimensi penting dalam membentuk budaya sekolah, yang
akhirnya berpengaruh terhadap motivasi siswa. d. Nilai Ibadah Nilai ibadah pada hakekatnya
adalah terwujudnya nilai-nilai ajaran agama Islam sebagai tradisi dalam berperilaku dan
budaya organisasi sekolah yang diikuti oleh seluruh warga sekolah. Internalisasi nilai-nilai
ibadah yang dikembangkan di PAUD Plosokandang berkaitan erat dengan: pembiasaan siswa
untuk mengucapkan salam kepada sesama teman di sekolah dan kepada guru, pembiasaan
untuk berdoa sebelum dan sesudah belajar di kelas, menghafal surat-surat pendek. Nilai-nilai
ibadah tersebut dikembangkan di sekolah sebagai upaya untuk pembentukan generasi yang
beraklaqul karimah, generasi yang mampu menghayati, menguasai, dan mengamalkan ajaran-
ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari baik di rumuah, sekolah, maupun dalam
kehidupan masyarakat secara luas.

Oleh karena itu, perlu diperkenalkan dan dilatih mulai dini, yaitu pada usia pra
sekolah. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Glock dan Stark dalam Muhaimin
(2001:294) menjelaskan bahwa terdapat lima dimensi keberagamaan, yaitu: (1) dimensi

12
keyakinan yang berisi pengharapanpengharapan dimana orang relegius berpegang teguh pada
pandangan teologis tertentu dan mengakui keberadaan doktrin tersebut, (2) dimensi praktek
agama yang mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk
menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya, (3) dimensi pengalaman yang
berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung
pengharapanpengharapan tertentu, (4) dimensi pengetahuan agama yang mengacu kepada
harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal
pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi, (5) dimensi
pengamalan atau konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat
keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari kehari.
Nilai-nilai ibadah yang dikembangkan dan diaktualisasikan di sekolah merupakan upaya yang
dilakukan sekolah dalam membentuk generasi yang tangguh sejak usia dini. Generasi yang
mampu menjalankan amalan-amalan ibadah dalam kehidupan sehari-hari.

Strategi yang dapat dilakukan oleh pendidik untuk membentuk budaya relegius di
sekolah diantaranya dapat dilakukan dengan:

1) memberikan contoh (teladan),


2) membiasakan hal-hal yang baik,
3) menegakkan disiplin,
4) memberikan motivasi dan dorongan,
5) memberikan hadiah terutama psikologis,
6) menghukum (sebagai upaya untuk melatih kedisiplinan),
7) penciptaan suasana relegius yang berpengaruh pada pertumbuhan anak (2004:112).e.

Nilai Kualitas Perhatian terhadap kualitas pada PAUD Tunas Bangsa


Plosokandang ini dapat dikatakan merupakan komitmen lembaga yang dimotori oleh
kepala sekolah sebaga leader. Kualitas merupakan keunggulan yang harus diraih oleh
sekolah. Sekolah yang efektif adalah sekolah yang sukses dalam pembelajaran dan
mampu menyesuaikan antara standar kualitas dan keadilan. Kualitas mengacu pada
tingginya performansi siswa. Keadilan yang dimaksudkan berkaitan dengan tidak
membedakannya antara jender, status ekonomi dan sosial, etnis, dan sebagainya.
Penciptaan nilai kualitas di sekolah harus diawali dengan adanya komitmen bersama
antara kepala sekolah dan guru serta masyarakat pengguna sekolah dalam menciptakan
pendidikan yang berkualitas. Komitmen memiliki implikasi pada semangat kerja dan

13
kinerja kepala sekolah, guru, dan masyarakat dalam mewujudkan sekolah yang bermutu.
Dalam hal ini setiap orang akan mendukung dan berjuang untuk meningkatkan mutu
pendidikan.

Prakarsa mutu yang dajalankan akan merubah budaya (culture) yang


mengakibatkan organisasi sekolah mengubah cara kerjanya dengan mengacu pada
prakarsa mutu yang jalankannya. Berani Mencoba dan Pantang Menyerah Berani
mencoba dan pantang menyerah merupakan salah satu nilai yang ditanamkan pada
siswasiswi PAUD Plosokandang Tulungagung. Nilai ini mengandung unsur semangat
juang untuk menggapai prestasi dalam keseluruhan proses pembelajaran di sekolah.
Siswa harus berani menghadapi tantangan dan berusaha untuk menyelesaikan tantangan
tersebut dengan baik. Siswa harus berani mencoba untuk menyelesaikan tantangan-
tantangan yang dihadapi dan pantang menyerah baik dalam proses pembelajaran di kelas
maupun di luar kelas. Salah satu dimensi sistem nilai yang ada dalam budaya organisasi
adalah adanya inovasi dan kesediaan mengambil resiko. Inovasi dan kesediaan
mengambil resiko terhadap semua perubahan yang ada dalam organisasi sekolah
membutuhkan komitmen dan semangat juang yang tinggi atau dengan kata lain adalah
pantang menyerah dalam menyelesaikan permasalahan dan mengadakan perbaikan.
Setiap perubahan dan pengembangan budaya sekolah menyebabkan adanya resiko yang
harus diterima khususnya bagi para pembaharu.

Ketakutan akan resiko menyebabkan kurang beraninya seorang pemimpin


mengambil sikap dan keputusan dalam waktu cepat. Mencoba dan pantang menyerah
sangat berguna sekali untuk diajarkan mulai dini (pra sekolah), agar anak terbiasa untuk
melakukan dan mencoba hal-hal yang bersifat baru. Karena pada dasarnya setiap anak
mempunyai sifat dan kemauan untuk mencoba dan pantang menyerah sehingga mencapai
hasil yang diinginkan. Kemauan dan keberanian untuk mencoba merupakan nilai
karakter yang harus ditanamkan pada diri siswa agar menjadi siswa yang aktif, kreatif
dan inovatif. Karakter ini sangat dibutuhkan dalam setiap proses pembelajaran pada jenis
dan jenjang pendidikan. g. Motivasi Diri Motivasi diri merupakan nilai instriksik yang
dikembangkan dalam rangka mengaktualisasikan diri peserta didik untuk mencapai
prestasi yang baik dalam proses pembelajaran di sekolah. Budaya ini harus
dikembangkan berdasarkan nilai-nilai yang relevan dengan semangat visi sekolah dan

14
terutama keberpihakan terhadap proses belajar sebagai misi utama sekolah, begitu juga di
PAUD.

Oleh karena itu, nilai-nilai (basic values) sekolah harus diarahkan pada
pemberian pelayanan belajar yang optimal bagi peserta didik sehingga mereka mampu
mengembangkan potensinya secara optimal. Peter dan Waterman sebagaimana dikutip
oleh Hanson (1997:67) menemukan nilai-nilai yang secara konsisten dilaksanakan di
sekolah-sekolah yang baik. Nilai-nilai tersebut antara lain mutu dan pelayanan
merupakan hal yang harus diutamakan, selalu berupaya menjadi yang terbaik,
memberikan perhatian penuh pada hal-hal yang tampak sepele (detail), tidak membuat
jarak dengan klien, melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin, bekerja melalui orang
(bukan sekedar bekerja sama)

1. Pengertian Pemberdayaan
Pemberdayaan merupakan terjemahan dari “empowerment” yang bermakna
sebagai upaya untuk membangun daya, dengan mendorong, memotivasi dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki individu serta berupaya untuk
mengembangkannya. Pemberdayaan mengandung dua kecenderungan yaitu: pertama,
pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan
sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu
yang bersangkutan menjadi lebih berdaya. Kedua, kecenderungan sekunder,
menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi agar individu
mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi
pilihan hidupnya proses dialog Pemberdayaan masyarakat dalam Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD) lebih difokuskan kepada implementaasi kebijakan strategi dasar
pendidikan nasional, yaitu pertama, strategi yang mengarah kepada pemerataan
pendidikan. Strategi ini biasa dilakukan melalui cara dan pendekatan untuk : (a)
menyempurnaan dan pembaharuan kurikulum, (b) Peningkatan mutu tutor dan
pengelola, (c) menata ulang system pembelajaran, (d) meningkatkan menajemen
kelembagaan, (e) meningkatkan dan memperbaiki kesejahteraan tutor, (f)
pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar, (g) menata-ulang system monitoring
dan evaluasi.
Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang disertai dengan pertumbuhan
teknologi canggih sehingga informasi antar dunia bisa dengan cepat dapat diakses

15
atau sebaliknya bisa mengirim kepada pihak lain dengan memnafaatkan dunia maya,
oleh sebab itu dunia seolah-olah seperti tanpa sekat (bordeless), kenyataan ini
hendaknya dapat menyikapi dengan arif terhadap iformasi luar mana yang cocok dan
mana yang perlu disaring dengan filter falsafah dan nilai-nilai moral bangsa. Lebih
dari pada itu adalah bahwa kita adalah harus menghadapi globalisasi secara bersama
dan bersatu dengan semangat solidaritas. Dalam konteks ini paling tidak terdapat dua
arah yang satu sama lain saling terkait, pertama kita memiliki arah untuk memasuki
era global dengan memperbesar kekuatan dan meningkatkan kemampuan, kedua,
bagi meraka yang lemah dan masih tertinggal harus diperbesar keberdayaannya.
Cara diharapkan tumbuh/timbul keterkaitan struktural-fungsioanl strategis
untuk upaya progresif dalam memasuki arah global, dan upaya menjamin
kelangsungan hidup masyarakat terutama lapisan masyarakat lemah. Issue global
cenderung lebih mengarah pada masalah pertumbuhan ekonomi (economical growth)
disamping faktor lain seperti aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya, namun satu
hal yang tidak kalah pentingnya adalah masalah demokratisasi dan hak azasi manusia
(human right), proses demokratisasi terdapat tiga tahapan yaitu :
(1) Tahap inisial, yaitu dari pemerintah,oleh pemerintah, dan untuk rakyat (2)
Tahap paartisipatoris, yaitu dari pemrintah bersama masyarakat, oleh pemerintah
bersma masyarakat, untuk rakyat (3) Tahap emansipatif, yaitu dari rakyat, untuk
rakyat, dan didukung oleh pemerintah bersama masyarakat (Onny S. Priyono, 1996)
Menurut kajian para ahli bahwa Indonesia telah memasuki pada tahap kedua (tahap
partisipatoris), dan untuk upaya akselerasi pada tahap ketiga maka kecuali faktor
ekonomi mejadi faktor dominan, disamping faktor-faktor yang lainnya menjadi
sangat penting. Dalam upaya percepatan tersebut dan berbarengan pula dengan upaya
pelaksanaan pembangunan manusia berkesinambungan, kita tidak cukup hanya
memfokuskan diri pada pertumbuhan ekonomi saja, akan tetapi pengembangan
sumbedaya manusia, pengembangan demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat
harus mejadi fokus perhatian kita bersama. Tulisan ini mengkaji masalah
pemerdayaan masyarakat dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Hal ini dipandang perlu sebagai pemberian wawasan dan keterampilan sosial
praktis terutama bagi tenaga pendidik PAUD dalam memberdayakan masyarakat
disamping menunaikan tugas pokoknya sebagai fasilitator pemebelajaran.

2. Latar Belakang dan Konsep Pemberdayaan

16
Istilah pemberdayaan yang merupakan terjemahan dari “empowerment” yang
merupakan hasil pemikiran dan telaah pikiran manusia dan kebudayaan barat (Eropa)
mulai muncul siktar dekade 70an dan dipermasalahkan dan berkembang terus pada
dekade 80an, dan dekade 90an samapai pada akhir abad ke 20. Pemberdayaan
muncul sebagai tema yang penting terutama dalam gerakan demokratisasi,
partisipatoris, emansipatif termasuk gerakan wanita dan gerakan-gerakan kaum
tertindas lainnya dalam pengorganisasian masyarakat dan pertumbuhan dari new -
populism dan dalam gerakan-gerakan progresif untuk perdamaian dan keadilan sosial
(Kresberg, 1992) Pemaknaan pemberdayaan sangat penting artinya, karena fakta
menunjukan bahwa pembangunan dengan perspektif patriachal berakibat pada
sekelompok masyarakat menjadi tidak berdaya, seperti kaum petani dan kelompok
komunitas lainya yang senasib yang cenderung tingkat pendidikannya lebih rendah,
hidup dalam kondisi keterbelakangan, miskin, tidak berdaya, dan ketergantungan
pada pihak lain. Agar terjadi pembangunan yang seimbang (equal), diperlukan usaha
pemberdayaan agar mereka mempunyai akses dalm control (acces to and control
over) terhadap sumber-sumber yang bernilai dalam semua aspek pembangunan
(Richard dan Kreisberg, 1992).
Pembangunan dalam pelaksanaannya selalu mengupayakan terjadinya
pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan pada awalnya menekankan kepada proses
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan
kepada masyarakat, kelompok atau individu agar menjadi lebih berdaya. Selanjutnya
menekankan pada proses menstimulasi, mendorong dan memotivasi individu agar
mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi
pilihan hidupnya (Pranarka, 1996). Dalam proses pemberdayaan terdapat dua pihak
yang saling terkait., yakni unsur luar barupa lembaga maupun individu yang memberi
kekuatan (power to powerless) dan pihak yang mengalami proses pemberdayaan
(empowerment to powerless) sehingga punya kekuatan untuk dapat mengambil peran
bagi lingkungannya. Pendapat lain menyatakan bahwa inti pemberdayaan adalah
upaya untuk mengubah keadaan individu atau kelompok agar menjadi lebih berdaya.
Menurut Kartasasmita (1996), Keberdayaan masyarakat adalah unsur dasar
yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan, dan dalam pengertian yang dinamis
mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat ini menjadi
sumber dari apa yang didalam wawasan politik disebut sebagai ketahan nasional.
Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat

17
masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari
perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan
adalah memampukan dan memandirikan masyarakat”. Berdasarkan uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa inti dari pemberdayaan adalah pemunculan daya atau
penguatan yang lemah. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses, dimana
kekuatan masyarakat dalam pengambilan keputusan pembangunan lebih dominan,
dan dalam pelaksanaannya peranan masyarakat lebih diutamakan. Hal ini mungkin
dicapai dengan menguatkan kapasitas mereka melalui pemberian kesempatan,
keahlian dan pengetahuan sehingga mereka mampu untuk menggali dan
memanfaatkan potensi yang mereka miliki. Atau dengan kata lain pemberdayaan
adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk
mengembangkannya (Kartasamita, 1996: 145).
3. Proses Pemberdayaan Dalam proses pemberdayaan hal yang dilakukan seorang
pelaku perubahan terhadap target perubahan baik pada tingkat individu,
keluarga, kelompok ataupun komunitas adalah upaya mengembangkan dari keadaan
tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya untuk mencapai kehidupan yang
lebih baik. Sehingga target perubahan tersebut mempunyai kekuatan dalam
penentuan keputusan dan tindakan atas hidup mereka dengan meningkatnya kapasitas
dirinya. Proses tersebut bisa terjadi dengan menggunakan atau melalui transfer daya
dari lingkungan ke target perubahan. (Dayal, 1997) Proses pemberdayaan sendiri
mengandung dua kecenderungan (Hikmat, 2001). Pertama proses pemberdayaan
yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan,
kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan
menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun aset
material guna mendukung pembangunan kemandirian melalui organisasi.
Kecenderungan proses yang pertama ini dapat disebut sebagai kecenderungan primer
dari makna pemberdayaan. Kedua, kecenderungan sekunder, menekankan pada
proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi agar individu mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya
proses dialog.
Diantara kedua proses pemberdayan tersebut saling terkait. Artinmya agar
kecenderungan primer dapat terwujud, seringkali harus melalui kecenderungan
sekunder terlebih dahulu (Pranarka dan Vidhyandika, 1996 dalam Hikmat, 2001)

18
Menurut Kartasasmita, 1996, upaya memberdayakan masyarakat haruslah
pertamatama dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan
potensi masyarakat masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan
bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena,
kalau demikian akan sudah punah. Lebih lanjut Kartasasmita menerangkan bahwa
proses pemberdayaan merupakan: “upaya untuk memberikan kekuatan dan
kemampuan, sehingga didalam pemberdayaan mengandung dua pihak yang perlu
ditinjau dengan seksama yaitu pihak yang diberdayakan dan pihak yang
memberdayakan. Agar dapat memperoleh hasil yang memuaskan diperlukan
komitmen yang tinggi dari kedua pihak. Dari pihak pemberdaya harus beranjak dari
pendekatan bahwa masyarakat tidak dijadikan obyek dari berbagai program dan
program pembangunan, akan tetapi merupakan subyek dari upaya pembangunan
sendiri.
Untuk itu, maka dalam pemberdayaan masyarakat, harus mengikuti
pendekatan yang terarah, dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi kelompok
sasaran dan menggunakan pendekatan kelompok”. Hal yang sangat penting dalam
proses pemberdayaan adalah nuansa yang humanis. Dalam arti pemberdayaan tidak
hanya dimaksudkan untuk mengembangkan potensi ekonomi masyarakat, tetapi juga
harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga diri serta terpeliharanya tatanan nilai
sosial budaya setempat. Dengan kata lain proses pemberdayaan tidak hanya
memberikan nilai tambah ekonomis tetapi juga nilai tambah sosial budaya (Hikmat,
2001) Batten (Adi,2003) menawarkan gagasan bahwa dalam melakukan proses
pemberdayaan para petugas perubahan (change agen) dapat melakukan dua
pendekatan yaitu:
1. Pendekatan Direktif Pendekatan direktif atau pendekatan instruktif adalah
pendekatan yang dilakukan berdasarkan asumsi bahwa petugas tahu apa yang
dibutuhkan dan apa yang baik untuk masyarakat. Dalam pendekatan ini peranan
change agent bersifat lebih dominan karena prakarsa kegiatan dan sumber daya
yang dibutuhkan lebih banyak berasal dari change agent. Change agent-lah yang
menetapkan apa yang baik dan buruk bagi masyarakat, cara-cara apa yang perlu
dilakukan untuk memperbaikinya, dan selanjutnya menyediakan sarana yang
diperlukan untuk perbaikan tersebut. Dengan pendekatan seperti ini, prakarsa dan
pengambilan keputusan berada di tangan change agent Dengan pendekatan ini

19
banyak hasil yang diperoleh, tetapi hasil yang diperoleh lebih terkait dengan
tujuan jangka pendek dan seringkali lebih bersifat pencapaiana secara fisik.
Pendekatan ini menjadi kurang efektif untuk mencapai hal-hal yang sifatnya
jangka panjang ataupun perubahan yang lebih mendasar yang berkaitan dengan
perilaku seseorang.

Hal ini antara lain disebabkan akan perlunya perubahan pengetahuan


(knowledge), keyakinan (belief), sikap (attitude) dan niat (intention) individu
sebelum terjadinya perubahan perilaku (over behaviour), bila agen perubahan
(change agent) menginginkan perubahan yang terjadi bukanlah perubahan yang
bersifat temporer. Penggunaan pendekatan ini juga mengakibatkan berkurangnya
kesempatan untuk memperoleh pengalaman belajar dan masyarakat, sedangkan
bagi masyarakat, segi yang buruk adalah dapat munculnya ketergantungan
terhadap kehadiran orang luar sebagai agen perubahan, karena pendekatan
direktif seringkali juga disebut sebagai pendekatan yang bersifat instruktif (Adi,
2003)
2. Pendekatan Non-direktif Pendekatan non-direktif atau partisipatif dilakukan
berlandaskan asumsi bahwa masyarakat tahu apa yang sebenarnya mereka
butuhkan dan apa yang baik untuk mereka. pada pendekatan ini petugas tidak
menempatkan diri sebagai orang yang menetapkan apa yang baik atau buruk bagi
suatu masyarakat. Pemeran utama dalam perubahan masyarakat adalah
masyarakat itu sendiri, petugas lebih bersifat manggali dan mengembangkan
potensi masyarakat. Masyarakat diberikan kesempatan untuk membuat analisis
dan mengambil keputusan yang berguna bagi mereka sendiri, serta mereka diberi
kesempatan penuh dalam penentuan cara-cara untuk mencapai tujuan yang
mereka inginkan. Peran petugas disini berubah menjadi katalisator, pemercepat
perubahan yang membantu mempercepat perubahan terjadinya perubahan dalam
suatu masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan ini, petugas berusaha untuk
merangsang tumbuhnya kemampuan masyarakat untuk menentukan arah
llangkahnya sendiri (self-determination) dan kemampuan untuk menolong dirinya
sendiri (self help) (Batten dalam Adi, 2003: 231).
Tujuan dari pendekatan non direktif dalam upaya pengembangan
masyarakat adalah agar masyarakat memperoleh pengalaman belajar untuk
mengembangkan dirinya (masyarakat tersebut) melalui pemikiran dan tindakan

20
yang dirumuskan oleh mereka. pendekatan non direktif ini sering juga dianggap
sebagai pendekatan yang bersifat partisipatif Berdasarkan penjelasan diatas dapat
dilihat bahwa dalam proses pemberdayaan terdapat dua pihak yang saling
berhubungan yaitu pihak yang memberdayakan atau lebih sering disebut sebagai
agen perubahan (change agent) atau community worker atau tenaga pendamping
dan pihak yang diberdayakan. Dalam melakukan pemberdayaan, pihak
pemberdaya perlu memilah-milah strategi pemberdayaan yang tepat dan sesuai
dengan kondisi target perubahan. Strategi Pemberdayaan Kata pemberdayaan
(empowerment) mengesankan arti adanya sikap mental yang tangguh atau kuat
(Hikmat, 2001).
Untuk mengembangkan masyarakat yang berdaya Ife menyarankan tiga strategi
dasar pemberdayaan yaitu:
a. Pemberdayaan melalui kebijakan dan perencanaan, dilakukan dengan merubah
struktur dan lembaga-lembaga yang ada agar terjadi akses yang sesuai dengan
sumber-sumber dan pelayanan-pelayanan, serta munculnya partisipasi dalam
kehidupan masyarakat
b. Pemberdayaan melalui aksi sosial dan politik, menekakan kepada oentingnya
pejuangan dan perubahan politik untuk meningkatkan keberdayaan yang lebih efektif,
dimana masyarakat dapat dilibatkanunuk melakukan aksi-aksi langsung c.
Pemberdayaan melalui pendidikan dan penyadaran, menekakan pada pentingnya
proses pendidikan, sehingga pihak yang diberdayakan memperoleh kemampuan-
kemampuan.
Cara ini dilakukan dengan memberikan pengetahuan akan berbagai hal yang
menjadi kendala baik structural maupun kendala-kendala kemasyarakatan, juga
memberikan keyterampilan untuk berkarya secara efektif untuk menuju perubahan.
Menciptakan masyarakat yang mampu mendukung pelaksanaan program
pembangunan diperlukan strategi pemberdayaan melalui pengembangan kreativitas,
inovasi dan pendayagunaan modal intelektual sebagai kekayaan bagi organisasi guna
menghadapi masa depan. Kreativitas merupakan pengembangan ide baru dan inovasi
merupakan proses penerapan ide tersebut secara aktual dalam praktek. Tantangan
terbesar bagi pemerintah dalam proses pemberdayaan adalah mempengaruhi
masyarakat untuk menerima ide baru kemudian berhasil mengimplementasikan ide
tersebut. Untuk itu diperlukan strategi-strategi pendekatan masyarakat sebagaimana
diungkapkan oleh Beratha (1982), yaitu:

21
1. Strategi persuasive, dimana yang terpenting adalah mengadakan perubahan
sikap seseorang atau segolongan orang
2. Strategi compulsion, membuat situasi sedemikian rupa sehingga orang
terpaksa secara tidak langsung mengubah sikapnya
3. Strategi pervasion, mengulang apa yang diharapkan akan masuk dalam
bidang bawah sadar seseorang sehingga mengubah diri sesuai dengan apa
yang diulangi
4. Strategi coervision.
Secara langung pengadaan perubahan sikap dengan adanya hukum fisik
ataupun materi Sedangkan menurut Rappaport, 1985 dalam Hikmat (2001),
praktek dan kegiatan yang berbasis pemberdayaan adalah bahasa pertolongan
yang diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut
kemudian meng-komunikasikan kekuatan yang tangguh untuk mengubah hal-
hal yang terkandung dalam diri sendiri (inner space), orangorang-orang lain
yang dapat dianggap penting, serta masyarakat disekitar. Elaborasi dari
pemikiran tersebut secara keseluruhan akan dapat memperkaya dan menjiwai
pemahaman global mengenai pemberdayaan. Selanjutnya untuk mencapai
perubahan dalam masyarakat dari tidak berdaya menjadi berdaya, dapat
dilakukan dengan metode (Beratha, 1982):
1. Memberikan pengetahuan (informasi) baru
2. Mengadakan diskusi-diskusi dalam kelompok-kelompok kecil, mengenai
pengetahuan, masalah-masalah dan kejadian-kejadian baru
3. Mengadakan kegiatan-kegiatan dalam kelompok kecil
4. Menciptakan wadah baru

Menurut Hikmat (2001), dalam strategi pemberdayaan harus dilakukan dengan pendekatan
kerja bersama sebagai mitra kolabaratif dan kerjasama kolaboratif merupakan aktualisasi
pemberdayaan. Menurut Dubois dan Miley, 1996 dalam Hikmat (2001) pemecahan masalah
melalui pemberdayaan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Dialog a) Persiapan kerjasama b) Pembentukan kemitraan c) Artikulasi tantangan d)


Identifikasi sumber kekuasaan e) Penentuan arah
2. Penemuan a) Pemahaman sistem sumber b) Analisis kapasitas sumber c) Menyusun
frame pemecahan masalah

22
3. Pengembangan a) Mengaktifkan sumber b) Memperluas kesempatan c) Mengakui
temuan-temuan d) Mengintegrasikan kemajuan Strategi di atas, sejak awal proses
pemecahan masalah berbasiskan pemberdayaan masyarakat yang berdasarkan prinsip
bekerja bersama masyarakat dilandasi oleh prinsip bahwa masyarakat mempunyai
hak-hak yang harus dihargai. Berbagai strategi pemberdayaan sebenarnya telah
banyak dicoba untuk diterapkan pada program-program pembangun, namun
cenderung mengalami kegagalan untuk mengatasi masalah dan meningkatkan self
sustain capability masyarakat.

Untuk itu strategi pemberdayaan yang dilakukan hendaknya memberi tekanan pada
otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan
pada sumber-sumber daya pribadi, langsung (melebihi partisipasi), demokratis dan
pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung (Kartasamita, 1996: 145). Selain itu,
agar masyarakat dapat mengemukakan dan menyalurkan aspirasi, permintaan dan
tuntutannya kepada pemerintah, dalam pelaksanaan program pembangunan hendaknya
diterapkan strategi bottom up. Agar pemberdayaan yang dilakukan dapat mencapai hasil
yang memuaskan diperlukan komitmen yang tinggi, baik dari pihak yang
memberdayakan maupun pihak yang diberdayakan. Dari pihak pemberdaya harus
melakukan pendekatan dengan memandang bahwa masyarakat bukan merupakan obyek
dari berbagai program pembangunan, akan tetapi merupakan subyek dari upaya
pembangunan itu sendiri (Kartasasmita, 1996).

Selanjutnya Kartasasmita (1996) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan pemberdayaan


masyarakat, harus melalui tiga jurusan, yaitu:

1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat


berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap
manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya,
tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya. Karena, kalau demikian akan
sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan
mendorong (encorage),memotivasi dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan
potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya
2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam
rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif selain dari hanya menciptakan
iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut

23
penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses kepada berbagai
peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya
3. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan,
harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, karena kurang berdaya dalam
menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, dalam konsep pemberdayaan masyarakat,
perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya. Pendekatan
yang perlu ditempuh dalam pemberdayan, diketengahkan oleh Kindervatter (1979)
adalah :
a. Need oriented, yaitu suatu pendekatan yang berorientasi pada kebutuhan individu
b. Endogenous, yaitu pendekatan yang berorientasi pada kondisi dan kenyataan yang
berlangsung di masyarakat setempat
c. Self reliance, yaitu pendekatan dengan berorientasi pada terciptanya rasa mampu
diri, percaya pada diri sendiri dan mandiri
d. Ecolological sound, yaitu suatu pendektan yang tidak melupakan aspek
lingkungan. Dilihat dari pendekatan berdasarkan besar kecilnya target sasaran
pemberdayaan Edi Suharto (1977) menggolongkan pendekatan pemberdayaan
pada tiga [endekatan yaitu :
1) Pendekatan mikro, pemberdayaan dilakukan kepada sasaran secara individual
melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan
uatmanya adalah membimbing atau melatih mereka dalam menjalankan tugas-
tugas kehidupan.
2) Pendekatan mezzo, pemberdayaan dilakukan terhadap kelompokm sasaran.
Kelompok digunakan sebagai media intervensi, pendidikan dan pelatihan,
dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam dalam
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan, sikkap-sikap mereka
agar memiliki kemampuan memecahkan masalah yang dihadapinya.
3) Pendekatan makro, atau strategi system besar (large-system strategy), cara ini
diarahkan untuk mengadakan perubahan pada system lingkungan yang lebih
besar/luas. Seperti ; perumusan kebijakan, perencanaan sosial,
pengorganisasian masyarakat, manajemen konplik. Cara ini memandang
mereka sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk memahami situasi-
situasi mereka sendiri untuk memilih serta menentukan cara yang tepat untuk
bertindak. Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa sebenarnya banyak
strategi-strategi pemberdayaan yang dirumuskan oleh para ahli.

24
Pada intinya semua strategi pemberdayaan menekankan akan pentingnya komitmen
dari pihak pemberdaya untuk mengurangi kekuatan dan kekuasaan mereka dan memandang
pihak yang diberdayakan bukanlah sebagai obyek. Dengan demikian pihak yang
diberdayakan harus ditempatkan pada posisi sentral, sehingga dapat menumbuhkan kekuatan
dan kemampuan untuk menentukan masa depan sendiri. Atau dengan kata lain,
pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada
berbagai program pemberian (charity), karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus
dihasilkan atas usaha sendiri (Kartasasmita. 1996:160).

4. Pemberdayaan Masyarakat dalam PAUD


Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta
didik melalui kegitan bimbingan, dan atau latihan bagi penunaian peranannya di masa
yang akan datang (UUSPN, tahun 2003). Peranan peserta didik dalam masyarakat,
baik secara individual maupun sebagai anggota asyarakat merupakan keluaran
(output) dari system dan fungsi pendidikan. Pada hakekatnya pendidikan berfungsi
untuk mengembangkan kemampuan, meningkatkan mutu kehidupan, dan martabat
manusia baik secara individu mapun sosial, atau dengan kata lain pendidikan
berfungsi sebagai sarana pemberdayaan individu dan masyarakat dalam menyiapkan,
menghadapi dan antisipasi masa depan yang lebih memiliki harapan. Oleh sebab itu
tidaklah berlebih-lebihan apabila berasumsi bahwa untuk masa depan yang memiliki
harapan hendaknya disiapkan sejak dini, sejak masa pranatal, post-natal, masa kanak-
kanak melalui layanan PAUD.

Memperhatikan beberapa pegertian dan hakekat pemberdayaan (seperti


diuraikan pada bagian di atas), pada prinsipnya proses pemberdayaan di dalam bidang
pendidikan (termasuk PAUD) tidak bisa melalui pendekatan yang partial akan tetapi
memerlukan pendekatan secara holistic yang meliputi pemberdayaan sumberdaya
manusia (termasuk didalamnya pendidik, peserta didik, orang tua/wali, masyarakat
lingkungan pendidikan, sponsor/pemerintas, dan pengguna lulusan), system
pembelajaran, manajemen kelembagaan pendidikan dengan segala sarana dan rasaran
pendukungnya, sumberdaya alam, sumberdaya teknologi, dan lain sebagainya.

Pemberdayaan itu semua dimaksudkan dalam upaya pemberdayaan di dalam


proses mengembangkan potensi (daya) dan kemampuan yang terdapat dalam diri

25
individu dan kelompok masyarakat sehingga mampu melakukan transformasi sosial.
Proses ini berlangsung secara berkesinambungan, sesuai dengan prinsip-prinsip
belajar sepanjang hayat (life long education), oleh sebab itu kehidupan masyarakat
perlu dikondisikan sebagai sebuah wadah, institusi, dan organisasi bagi anggota
masyarakat yang melakukan aktivitas-aktivitas yang syarat dngan proses
pembelajaran. Artinya terjadi proses interaksi educatif yang menurut Maslow (1984)
di sebut proses “dialog” yang mendorong masyarakat untuk dapat memenuhi
kebutuhan dasar/fisik sampai kepada kebutuhan aktualisasi diri. Berikut ini mari kita
diskusikan bersama mengnai upaya memberdayakan masysarakat dan merespon
strategi dasar kebijakan Pendidikan Nasional, sebagai berikut :
1. Pemerataan Pendidikan Strategi pemerataan pendidikan memiliki tiga arti
penting yaitu, peertama, persamaan kesempatan (equality of opportunity),
kedua, aksesibilitas, dan ketiga, keadilan atau kewajaraan (equity). Akan tetapi
dalam realitanya walaupun peluang kearah itu ada bahkan terbuka luas namun
dengan berbagai sebab atau alasan baik sosio-geografis, sosio-ekonomi, sosisl
budaya dan aspek psikologis masyarakat tertentu bahkan bagian terbanyak masih
tetap belum berdaya. Aksesibilitas berarti bahwa setiap orang tanpa memandang
perbedaan etnik, jenis kelamin dan asal-usul lainnya mempunai akses yang sama
untuk memanfaatkan peluang pendidikan. Untuk menunjang ekualitas dan
aksesibilitas, maka harus ada ekuitas yang lebih merujuk pada dimensi vrtikal dari
pendidikan.

Sedangkan keadilan mengandung implikasi adanya perbedaan perlakuan


menurut kondisi internal dan eksternal peserta didik. Hal ini mngandung
pengertian bahwa adil dan wajar (secara etik-moral) jika peserta didik
diperlakukan menurut kemampuan, bakat, dan minatnya. Implementasi strategi
pemerataan pendidikan terlihat dari kebijakan pemerintah sejak tahun 1984
mencanangkan wajib belajar 6 – 7 tahun dan pada tahun 1994 pemerintah
mencanangkan wajib belajar 9 tahun (Baca Undang Undang Sitem Pendidikan
Nasional No 2 tqhun 1989), sehingga wajib belajar menjadi 9 tahun (SD 6 tahun
dan SLTP 3 tahun) dengan tanpa membedakan ingkat status sosial ekononomi dan
perbedaan lainnya. Kebijakan ini dtempuh karena disadari bahwa pendidikan
dasar ini mengandung muatan pemberdayaan masyarakat melalui pemberian
kemampuan dasar tentang membaca, menulis, berhitung, kemampuan

26
berkomunikasi, dan mendorong motivasi peserta didik untuk belajar lanjut. Akhir-
akhir ini kebijakan pemerintah memberikan perhatian khusus kepada anak-anak
usia 0 -6 tahun dengan memberikan layanan bermain sambil belajar, peningkatan
pola pengangsuhan anak, serta memfungsikan kembali Posyandu yang dibingkai
dalam Proram Pendidikan Anak Usia dini (PAUD).

Konsekuensinya maka penyelenggaraan program ini tidak sepenuhnya tnggng


jawab pemerintah, akan tetapi merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Tanggungjawab pemerintah kecuali
merumuskan kebijakan, menyediakan program intervensi lainnya seperti
intervensi financial, teknologi, tenaga ahli dan regulasi lainnya. Lebih daripada itu
pemerintah berkewajiban untuk memberdayakan dirinya terutama organisasi dan
birokrasinya. Masyarakat dan keluarga harus siap memberikan tanggungjawab
mulai dari membangun persepsi dan sikapnya terhadap pentingnya PAUD untuk
masa depan anaknya, juga peranserta aktif dan membangunan kekuatan kolektif
masyarakat dalam memnuhi kebutuhan dan peningkatan mutu program tersebut.
Strategi pemberdayaan masyarakat lebih diarahkan kepada : (a) peningkatan
aksesibilitas dan daya tampung, (b) menambah dan memperbaiki ruang bermain
dan belajar, (c) pengadaan Tutor, (d) meringankan biaya pendidikan 2.
Peningkatan kualitas Kualitas pendididakan mengacu kepada kualitas proses dan
produk, dilihat dari dimensi proses pendidikan itu berkualitas apabila proses
pembelajaran itu berlangsung secara efektif artinya peserta didik mengalami
proses pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan. Sedngkan dari dimensi
produk dikatan berkualitas apabila peserta didik menunjukan penguasaan yang
tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task), hasil belajar sesuai dengan
pertunbuhan dan tugas perkembangnnya serta hasil belajar itu memiliki relevansi
dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungannya.

Strategi pemberdayaan yang sebaiknya dlakukan anatara lain, seperti ; (a)


menyempurnaan dan pembaharuan kurikulum, (b) Peningkatan mutu tutor dan
pengelola, (c) menata ulang system pembelajaran, (d) meningkatkan menajemen
kelembagaan, (e) meningkatkan dan memperbaiki kesejahteraan tutor, (f)
pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar, (g) menata-ulang system
monitoring dan evaluasi. 3. Peningkatan Relevansi Pendidikan dikatakan relepan

27
jika pendidikan itu mapu memenuhi kebutuhan (needs), sedangkan kebutuhan itu
sendiri sangat beragam dan senantiasa berubah seiring perkembangan dan
perumbuhan masyarakat (pembangunan). Mengacu pada undang Undang Siste
Pendidikan Nasional kebutuhan itu meliputi kebutuhan peserta didik, kebutuhan
keluarga dan kebutuhan pembangunan, kebutuhan trsebut tidak selamanya sejalan
satu sama lain, sehingga menimbulkan perbedaan kebutuhan.

Perbedaan itu seringkali membuat struktur, isi, dan bentuk kurikulum begitu
padat dan luas kerena berkeingnan mengakomodir kebutuhan tadi. Menyikapi hal
tersaebut strategi pemberdayaan lebih diarahkan kepada pengembangan sikap
autonomi dalam pengambilan keputusan prioritas kebutuhan pendidikan yang
antisipatif pada kurun waktu tertentu sebagai dasar pengembangan dan
pembaharuan kurikulum. 4. Peningkatan Efisiensi Pandangan klasik efisiensi
dilihat dari selisih besaran hasil dengan kecilnya kurbanan yang dikeluarkan, akan
tetapi pandangan kontemporer efisiensi pendidikan bukan hanya dilihar dari aspek
selisih besran kurbanan dan produk saja, akan tetapi lebih luas daripada itu,
efisiensi berkaiatan dengan profesionalisme dalam memanej pedidikan yang
mencakup aspek disiplin, keahlian, etos kerja, dan tanggung jawab. Upaya
peningkatan efisiensi antara lain perlu diberdayakan melalui reorganisasi dan
desentralisasi sehingga sumberdaya pendidikan dapat dimanfaatkan secaara
maksimal.

5. Kesimpulan Pemberdayaan (empowerment) muncul sebagai tema penting


Sebagai respon keprihatinan terhadap kelompok masyarakat yang
terdeskriminasikan dan kebijakan program pembangunan. Stratetgi-strtategi
pemberdaan yang mengarah kepada tujuan tersebut di atas dapat dilakukan melalui;
(1) kebijakan dan perencnaan, yaitu dengan cara mengubah struktur dan kelembagaan
yang ada agr terjadi akses yang sesuai dengan sumber-sumber dan mnculnya
partisipasi dalam kehidupan di masyarakat. (2) aksi sosial dan politik, cara ini lebih
menekankan kepada pentingnya perjuangan dan perubahan pelitik sehingga
masyarakat bisa terlibat langsung dalan aksi_sosial di masyarakat. Dan (3) melalui
pendidikan serta penyadaran artinya menekankan kepada pentingnya proses
pendidikan sehingga kelompok sasaran memperoleh kemampuan-kemampuan.
Pemberdayaan masyarakat dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) lebih

28
difokuskan kepada implementaasi kebijakan strategi dasar pendidikan nasional, yaitu
pertama, strategi yang mengarah kepada pemerataan pendidikan. Strategi ini biasa
dilakukan melalui cara dan pendekatan untuk : (a) menyempurnaan dan pembaharuan
kurikulum, (b) Peningkatan mutu tutor dan pengelola, (c) menata ulang system
pembelajaran, (d) meningkatkan menajemen kelembagaan, (e) meningkatkan dan
memperbaiki kesejahteraan tutor, (f) pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar,
(g) menata-ulang system monitoring dan evaluasi.

B. Kesimpulan

Pemberdayaan ini dilaksanakan dalam rangka untuk membantu sekolah dalam


meningkatkan mutu pendidikan dan daya saing sekolah agar lebih diminati oleh
masyarakat. PAUD Tunas Bangsa di desa Plosokandang merupakan pendidikan pra-
sekolah yang mendapat dukungan dari masyarakat dan pemerintahan desa. PUD ini
harus dikembangkan dengan baik agar mampu berkembang sesuai dengan tuntutan
dan harapan masyarakat untuk membekali nilai-nilai karakter bangsa pada peserta
didik mulai dari usia pra-sekolah. Pemberdayaan dilaksanakan dengan mengadakan
pelatihan dan pendampingan kepada sekolah agar mampu tumbuh dan berkembang
dengan baik. Pendampingan dilaksanakan secara terus-menerus dan berkelanjutan
agar dapat membantu PAUD Tunas Bangsa lebih maju dan berdaya saing.
Sistem pembelajaran dilaksanakan dengan konsep enjoy learning agar anak
merasa nyaman, tidak takut, tidak terbebani sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan anak. Sistem nilai dirumuskan oleh sekolah untuk diajarkan,
dibiasakan, dan dibudayakan di sekolah maupun di rumah. Pembelajaran dan
pembiasaan di rumah dapat dilaksanakan dengan baik, karena bekerja sama dengan
orang tua untuk selalu membiasakan anak untuk berperilaku baik sesuai dengan
karakter bangsa yang telah diajarkan di sekolah. Dengan adanya sinergi tanggung
jawab pendidikan antara sekolah dan masyarakat mulai dari pendidikan di usia dini
ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam membentuk
karakter bagsa anak.

29
DAFTAR PUSTAKA

Adi, Isbandi Rukmito, (2002), Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan


Sosial, jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Pendidikan Ekonomi Universitas
Pendidikan Indonesia.
___________, (2001), Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervansi komunitas
(pengantar pada pemikiran dan pendekatan praktis) Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Pendidikan Indonesia.
Claire Hewlett, Hellen Ward, Judith Roden & Julie Foreman. 1988. Teaching Science in the
Primary Classroom: A Practical Guide (Paperback). Paul Chapman Publishing A
SAGE Publications.
Djalal Fasli, (2001), Pendidikan Anak Usia Dini, (makalah), Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Harmer, Jeremy. 2001. The Practice of English Language Teaching with DVD (4th Edition)
London: Longman Handbooks for Language Teachers.
Ife, Jim, (1998), Community Development, New York, Macmillan Publishing Company.
Mei , Yin Yong & Yu-jing, J., (2000). From using games in an EFL class for children.
Daejin University ELT Research Paper. Fall, 2000.
http://english.daejin.ac.kr/~rtyson/fall2000/elt/games.html retrieved 20 February 2010
retrieved 20 February 2010.
Rubin HerbertJ., & Irene S Rubin, Community Organizing and Development, New York:
Macmillan Publishing Company
Richard, J.C., Schmidt, R., Kendricks,H., & Kim, Y., (2002). Longman Dictionary of
Language Teaching and Applied lingistics.UK: Pearson Education
Wright, A.(1995). Story Telling with Children. Oxford: OUP.

30

Anda mungkin juga menyukai