Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KARAKTERISTIK PROBLEMATIKA PENDIDIKAN


MULTIKULTURAL DI INDONESIA

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

DOSEN PENGAMPU
Dr. Hj. Asniwati, M.Pd
Fathul Jannah, M.Pd

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6
BAGUS RIDHANI (1810125210089)
GINA YULIANI (1810125220087)
MEGA BAHRIANTI (1810125120048)
NIA ULININGSIH IKNASIA T (1810125320078)
TANIYA AZZAHRA (1810125220086)
WAHYU HIDAYAT (1810125210094)
KELAS : 3D PGSD

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
BANJARMASIN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Dan juga penulis berterima kasih kepada ibu Dr. Hj. Asniwati, M.Pd dan ibu
Fathul Jannah, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan
Multikultural yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai “KARAKTERISTIK
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA”.
Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah penulis buat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya, sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi
penulis sendiri maupun orang yang membacanya.

Banjarmasin, September 2019

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A.Latar Belakang.............................................................................................1

B.Tujuan Penulisan..........................................................................................2

C.Manfaat Penulisan......................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................4
A.Pengertian Karakteristik...............................................................................4

B.Pengertian Problematika...............................................................................5

C.Macam-Macam Kerakteristik Problematika Pendidikan Multikultural Di


Indonesia.........................................................................................................6

BAB III PENUTUP...........................................................................................16


A.Kesimpulan.................................................................................................16

B.Saran...........................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan dari Negara Indonesia
yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu jua. Hal ini sudah jelas
menandakan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki
keragaman budaya, suku bangsa, agama, bahasa, dan sebagainya.
Kelompok-kolompok budaya seperti Aceh, Batak, Minangkabau,
Dayak, Jawa, Bugis, Ambon, Papua dan lain-lain adalah contoh dari
keragaman tersebut. Oleh sebab itu pula, Negara Indonesia disebut
sebagai negara multikultural.
Keragaman ini memang diakui telah memunculkan beberapa
persoalan, misalnya perkelahian antarsuku, separatisme, dan hilangnya
rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain. Untuk
memecahkan masalah tersebut, maka dibutuhkan suatu solusi, salah
satunya adalah model pendidikan yang bersifat multikultural.
Pendidikan multikultural pada intinya adalah pendidikan yang
memberikan penekanan terhadap proses penanaman cara hidup yang
saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman
budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat dengan tingkat
pluralitas yang tinggi. Dengan model pendidikan ini, diharapkan
masyarakat Indonesia mampu menerima, menolerir, dan menghargai
keragaman yang ada di Indonesia. Dalam dunia pendidikan
multikultural, seorang pendidik seharusnya tidak saja profesional dalam
bidang akademik, tetapi juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti
dari pendidikan multikultural itu, yakni demokrasi, humanisme, dan
pluralisme.

1
Namun penerapan pendidikan multikultural di Indonesia masih
mengalami berbagai hambatan atau problem. Problem pendidikan
multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan
problem yang dihadapi oleh negara lain. Keunikan faktor-faktor
geografis, demografi, sejarah dan kemajuan sosial ekonomi dapat
1
menjadi pemicu munculnya problem pendidikan multikultural di
Indonesia.
Pendidikan multikultural yang akhir-akhir ini sedang hangat
dibicarakan ternyata tidak terlepas dari berbagai problem yang
menghambatnya. Selain problem kemasyarakatan, pendidikan
multikultural juga tidak lepas dari problem dalam proses
pembelajarannya. Dalam kerangka strategi pembelajaran, pembelajaran
berbasis budaya dapat mendorong terjadinya proses imajinatif,
metaforik, berpikir kreatif, dan sadar budaya. Namun demikian,
penggunaan budaya lokal (etnis) dalam pembelajaran berbasis budaya
tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang terdapat dalam setiap
komponen pembelajaran, sejak persiapan awal dan implementasinya.
Maka atas hal itu kami sedikitnya akan membahas mengenai
Karakteristik Problematika Pendidikan Multikultural di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan karakteristik?
2. Apa yang dimaksud dengan problematika?
3. Apa saja yang menjadi karakteristik problematika pendidikan di
Indonesia?
C. Tujuan
Penulisan ini bertujuan dalam rangka mengetahui karakteristik
problematika pendidikan multikultural di Indonesia sehingga dapat
mempersiapkan cara terbaik untuk mengatasinya melalui pendidikan
multikultural itu sendiri. Walau menghadapi banyak rintangan dalam

2
menerapkannya namun pendidikan multikultural sangat perlu di
gunakan untuk pendidikan Indonesia. Selain itu tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk menambah nilai pada mata kuliah Pendidikan
Multikultural dan bisa dijadikan sebagai referensi.

BAB II

3
PEMBAHASAN

A. Pengertian Karakteristik

Dalam KBBI karakter adalah tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak


atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain (KBBI
V1.1 Freeware 2010 by Ebta Setiawan). Ada juga yang berpendapat
bahwa karakter adalah budi budi pekerti yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling) dan tindakan (action)
(Wiratman, dkk., 2008:264).

J. Jhon pun berpendapat bahwa karakter adalah jumlah dari seluruh


kualitas internal yang kita miliki. Karakter lebih mudah disimpan
daripada diperbaiki (J. John., 2007: 43). Karakter adalah sesuatu yang
sangat penting karena karakter mengontrol kehidupan kita dan cara kita
bertindak terhadap berbagai situasi. Dengan kata lain karakter adalah
potret diri seseorang yang sesungguhnya.

Maka karakteristik adalah sifat-sifat, ciri-ciri atau hal-hal yang


dimiliki oleh elemen, yaitu semua keterangan mengenai elemen.
Misalnya, kalau elemen itu pegawai pemerintah/swasta maka
karakteristik yang perlu diketahui jenis kelamin, pendidikan, agama,
umur, masa kerja, golongan dan gaji (J. Supranto, 2000: 21).

B. Pengertian Problematika

Problematika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut juga


sebagai hal yang masih belum terpecahkan dalam kata lain permasalahan
(KBBI V1.1 Freeware 2010 by Ebta Setiawan). Dalam kamus dakwah,
problem adalah tanda kehidupan. Karena itu, para aktivis tidak pernah
menghindari problem. Mereka justru menghadapinya dengan percaya diri
4
4
dan optimism tinggi. Mereka yakin bahwa Allah selalu menolong orang-
orang yang menegakkan agama-Nya (Adi Sasono, dkk., 1998: 199)
Jika memang masalah adalah keniscayaan hidup, maka sejatinya
kita tidak perlu risau dengan masalah. Dunia tanpa masalah adalah seperti
buku tanpa kisah. Jalan tanpa lubang. Makanan tanpa bumbu. Gunung
tanpa batu, dan bahkan seperti manusia tanpa makna. Masalah adalah
satu-satunya sensasi yang mampu membuat orang menjadi dewasa.
Masalah adalah satu-satunya peristiwa yang menjadikan hidup terasa
makin hidup.
Begitu juga dalam aspek karakteristik problematika pendidikan jika
tidak ada problem atau masalah maka tidak akan terasa atau hidup akan
adanya pendidikan multicultural ini, dengan adanya masalah ini maka akan
semakin menambah eratnya pendidikan multicultural dan akan membawa
kepada sama-sama berpegang teguh kepada keadilan dengan sama-sama
mengutamakan hak asasi manusia.
Salah satu cara yang dapat membentu pemecahan problematika
ialah dengan jalan memperluas ruang gerak bagi berkembanganya suasana
keterbukaan yang disertai dengan rasa tanggung jawab yang tinggi dari
berbagai pihak.

C. Macam-Macam Karakteristik Problematika Pendidikan Di


Indonesia

5
Jika kita kaji secara seksama dari berbagai arah sudut pandang
mengenai karakteristik problematika pendidikan multikultiral di
Indonesia sangatlah banyak. Namun disini kami melihat dari sudut
pandang subjektif saja bakwa karakteristik ini muncul dari sifat-sifat
manusia sendiri karena mau tidak mau yang menjalankan pendidikan
multicultural ini adalah manusia bukanlah hewan, maka kami tertarik
untuk sedikit mengungkap akan hal tersebut. Diantaranya:
1. Prasangka
Definisi klasik prasangka pertama kali dikemukakan oleh
psikholog dari Universitas Harvard, Gordon Allport yang menulis
konsep itu dalam bukunya, The Nature of Prejudice pada tahun 1954.
Istilah ini berasal dari praejudicium, yakni pernyataan atau kesimpulan
tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal
terhadap orang atau kelompok tertentu.
Menurut Allport, “Prasangka adalah antipati berdasarkan
generalisasi yang salah atau tidak luwes. Antipati itu dapat dirasakan
atau dinyatakan. Antipati itu bisa langsung ditujukan kepada kelompok
atau individu dari kelompok tertentu.” Allport memang sangat
menekankan antipati bukan sekedar antipati pribadi tetapi antipati
kelompok (Sutarno, 2014: 4-12).
Johnson (1986) mengatakan prasangka adalah sikap positif atau
negatif berdasarkan keyakinan stereotipe kita tentang anggota dari
kelompok tertentu. Prasangka meliputi keyakinan untuk
menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuaidengan
peringkat nilai yang kita berikan. Prasangka yang berbasis ras kita
sebut rasisme, sedangkan yang berbasis etnis diebut etnisisme
(Sutarno, 2014: 4-12).
Menurut John (1981) prasangka adalah sikap antipati yang
berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak

6
fleksibel. Kesalahan ini mungkin saja diungkapkan secara langsung
kepada orang yang menjadi anggota kelompok tertentu. Prasangka
merupakan sikap negative yang diarahkan kepada seseorang atas
dasar perbandingan dengan kelompoknya sendiri (Sutarno, 2014: 4-
12)
Jadi prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan
bagi kegiatan komunikasi karena orang yang berprasangka sudah
bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan
komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik
kesimpulan atas dasar prasangka buruk tanpa memakai pikiran dan
pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, bila prasangka
sudah menghinggapi seseorang, orang tidak dapat berpikir logis dan
obyektif dan segala apa yang dilihatnya akan dinilai secara negatif.
Kata Allport, prasangka negatif terhadap etnik merupakan sikap
antipati yang dilandasi oleh kekeliruan atau generalisasi yang tidak
fleksibel, hanya karena perasaan tertentu dan pengalaman yang salah.
Karena itu, sejak dulu sampai sekarang, pengertian prasangka telah
mengalami transformasi. Pada, mulanya prasangka merupakan
pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan
yang tidak teruji terlebih dahulu. Pernyataan itu bergerak pada skala
kontinum seperti suka/tidak suka atau mendukung/tidak mendukung
terhadap sifat-sifat tertentu (Liliweri, 201) (Sutarno, 2014: 4-13).
Sekarang pengertian prasangka lebih diarahkan pada pandangan
emosional dan negatif terhadap seseorang atau sekelompok orang
dibandingkan dengan kelompok sendiri.
Definisi Allport ini disanggah oleh psikholog Theodore Adorno.
Adorno yang menciptakan teori pribadi otoriter (authoritarian
personality) mengemukakan melalui riset atas polarasisme yang
dilakukan di wilayah selatan AS. Ia menemukan bahwa pola-pola

7
rasisme muncul dari kepribadian otoriter. Jadi pada dasarnya
prasangka merupakan salah satu tipe kepribadian. Dengan demikian,
kita tidak perlu mempermasalahkan tindakan rasisme karena tindakan
itu muncul dari pribadi berprasangka (prejudiced persons) yang
diwarisi dari proses sosialisasi (Sutarno, 2014: 4-13)
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
prasangka mengandung sikap, pengertian, keyakinan dan bukan
tindakan. Jadi prasangka tetap ada di pikiran, sedangkan diskriminasi
mengarahkan tindakan sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi
tindakan nyata, maka prasangka sudah berubah menjadi diskriminasi
yaitu tindakan menyingkirkan status dan peranan seseorang dari
hubungan, pergaulan, dan komunikasi antar manusia. Secara umum
kita dapat melihat prasangka mengandung tipe afektif (berkaitan
dengan perasaan negatif), kognitif (selalu berpikir tentang suatus
tereotipe) dan konasi (kecenderungan perilaku diskriminatif).
Prasangka didasarkan atas sebab-sebab seperti :
a) generalisasi yang keliru pada perasaan,
b) stereotipe antaretnik,
c) kesadaran “in group” dan “out group” yaitu kesadaran akan ras
“mereka” sebagai kelompok lain yang berbeda latar belakang
kebudayaan dengan “kami”.
2. Stereotipe
Stereotipe merupakan salah satu bentuk prasangka antar
etnik/ras. Orang cenderung membuat kategori atas tampilan
karakteristik perilaku orang lain berdasarkan kategori ras, jenis
kelamin, kebangsaan, dan tampilan komunikasi verbal maupun
nonverbal. Stereotipe merupakan salah satu bentuk utama prasangka
yang menunjukkan perbedaan “kami” (in group) yang selalu dikaitkan
dengan superioritas kelompok in group dan yang cenderung

8
mengevaluasi orang lain yang dipandang inferior yaitu ”mereka” (out
group).

Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang


berdasarkan kategori yang bersifat subyektif, hanyakarena dia berasal
dari kelompok yang lain. Pemberian sifat itu bisa sifat positif maupun
negatif. Verd eber (1986) menyatakan bahwa stereotipe adalah sikap
dan juga karakter yang dimiliki seseorang dalam menilai karakteristik,
sifat negatif maupun positif orang lain, hanya berdasarkan keanggotaan
orang itu pada kelompok tertentu. Sebagaimana halnya dengan sikap,
stereotype memiliki valensi dari positif hingga negatif atas sesuatu yang
disukai/tidak (favorability) (Sutarno, 2014: 4-14).
Allan G. Johnson (1986) menegaskan bahwa stereotipe adalah
keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu
yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh
pengetahuan dan pengalaman tertentu (Sutarno, 2014: 4-14). Keyakinan
ini menimbulkan penilaian yang cenderung negatif atau bahkan
merendahkan kelompok lain. Ada kecenderungan untuk memberi
“label” atau cap tertentu pada kelompok tertentu dan yang termasuk
problem yang perlu diatasi adalah stereotipe yang negatif atau
memandang rendah kelompok lain. Misalnya, seseorang dari suku
tertentu diberi“label”, pandai bicara untuk orang dari daerah Batak.
Seseorang menyimpulkan ini karena dari pengalaman dia mengetahui
bahwa mereka memang banyak bicara. Ditambah dengan pengetahuan
yang diadapatkan dari televisi yang memperlihatkan bahwa sebagian
besar pengacara yang terkenal di Indonesia dan sering muncul dari
pemberitaan di televisi itu ternyata berasal dari orang Batak.
Kita menggeneralisasikan secara salah dari informasi terbatas
yang ada pada kita. Untuk mengatasi masalah ini adalah kita perlu

9
memberi informasi yang benar dan lebih komprehensif tentang sesuatu
hal sehingga stereotipe semacam ini tidak tumbuh. Di dalam
menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah air ini, kita perlu
memberi informasi yang benar tentang berbagai hal yang berkaitan
dengan suku, ras, agama dan antar golongan. Seringkali,keberadaan
individu dalam suatu kelompok telah dikategorisasi dan digeneralisasi.
Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986) mengemukakan tiga
aspek esensial dari stereotipe (Sutarno, 2014: 4-14):
a) karakter atau sifat tertentu yang berkaitan dengan perilaku,
kebiasaan berperilaku, gender dan etnis. Misalnya wanita Priangan
itu suka bersolek.
b) bentuk atau sifat perilaku turun temurun sehingga seolah-olah
melekat pada semua anggota kelompok. Misalnya orang Ambon itu
keras
c) penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku
kelompok pada individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.

3. Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan paham paham yang pertama kali
diperkenalkan oleh William Graham Sumner (1906), seorang
antropolog yang beraliran interaksionisme. Sumner berpandangan
bahwa manusia pada dasarnya individualistis yang cenderung
mementingkan diri sendiri, namun karena harus berhubungan dengan
manusia lain, maka terbentuklah sifat hubungan yang antagonistik
(pertentangan). Supaya pertentangan itu dapat dicegah, perlu ada
folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada pola-pola tertentu.
Mereka yang mempunyai folkways yang sama cenderung berkelompok
dalam suatu kelompok yang disebut etnis.
Ada juga yang berpendapat bahwa Etnosentrisme adalah sikap

10
emosional bahwa kelompok etnik seseorang lebih tinggi dari yang lain;
bahwa nilai, keyakinan, dan persepsi seseorang adalah benar, dan
bahwa cara hidup dan sikap kelompok adalah yang terbaik (Rongers,
1995) (Sutarno, 2014: 4-15)
Maka dari itu langkah awal untuk mengatasi etnosentrisme
adalah dengan mengakui bahwa nilai-nilai kita sendiri tidaklah harus
sama dengan nilai-nilai Allah. Semua orang Kristen memang banyak
nilai yang berasal dari kebudayaan mereka. Langkah kedua adalah
memahami bahwa tafsiran kita sendiri terhadap kitab Suci berasal dari
suatu konteks budaya tertentu. Langkah ketiga adalah melihat bahwa
nilai-nilai Allah di dalam suatu kebudayaan lain dapat “dijelmakan”
berlainan dari penjelmaannya di dalam kebudayaan saya sendiri.
Jadi, Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan
semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya
sendiri.
4. Rasisme
Kata ras berasal dari bahasa Perancis dan Italia “razza”.Pertama
kali istilah ras diperkenalkan Franqois Bernier, antropolog Perancis,
untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia
berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah.
Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarkhi manusia berdasarkan
karakteristik fisik atas orang Eropah berkulit putih yang diasumsikan
sebagai warga masyarakat kelas atas berlawanan dengan orang Afrika
yang berkulit hitam sebagai warga kelas dua. Atau ada ideologi rasial
yang berpandangan bahwa orang kulit putih mempunyai misi suci
untuk menyelamatkan orang kulit hitam yang dianggap sangat primitif.
Hal tersebut berpengaruh terhadap stratifikasi dalam berbagai bidang
seperti bidang sosial, ekonomi, politik, di amanaorang kulit hitam
merupakan subordinasi orang kulit putih.

11
Ras sebagai konsep secara ilmiah digunakan bagi “penggolongan
manusia” oleh Buffon, anthropolog Perancis, untuk menerangkan
penduduk berdasarkan pembedaan biologis sebagai parameter. Pada
abad 19, para ahli biologi membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok,
yaitu Kaukasoid, Negroid dan Mongoloid. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada ras yang benar-bena rmurni lagi. Secara
biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karaktersitik
seseorang atau sekelompok orang ke dalam suatu kelompok tertentu
yang secara genetik memiliki kesamaan fisik seperti warna kulit, mata,
rambut, hidung, atau potongan wajah. Pembedaan seperti itu hanya
mewakili faktor tampilan luar. Nah sekarang, carilah ciri-ciri kelompok
Kaukasoid, Negroid dan Mongoloid. Kemudian cari contohnya. Mana
negara yang mayoritas penduduknya memiliki ciri-ciri ketiga kelompok
itu.
Karena tidak ada ras yang benar-benar murni, maka konsep
tentang ras seringkali merupakan kategori yang bersifat non- biologis.
Ras hanya merupakan konstruksi ideologi yang menggambarkan
gagasan rasis.
Secara kultural, Carus menghubungkan ciri ras dengan kondisi
kultural. Ada empat jenisras: Eropah, Afrika, Mongol dan Amerika
yang berturut-turut mencerminkan siang hari (terang), malam hari
(gelap), cerah pagi(kuning) dan sore (senja) yang merah (Sutarno,
2014: 4-16).
Namun konsep ras yang kita kenal lebih mengarah pada konsep
kultural dan merupakan kategori sosial, bukan biologis, Montagu,
membedakan antara “ide sosial dari ras” dan “ide biologis dari ras”.
Definisi sosial berkaitan dengan fisik dan perilaku sosial.
5. Diskriminasi
Diskriminasi adalah perilaku yang dihasilkan oleh stereotip atau

12
prasangka, lalu ditunjukkan dalam tindakan yang terbuka atau rencana
tertutup untuk menyingkirkan, menjauhi, atau membuka jarak, baik
bersifat fisik maupun social dengan kelompok. Diskriminasi didasarkan
pada variasi bentuk identitas yang mungkin bersifat institusional
(melalui aturan dan organisasi tertentu) dan juga melalui hubungan
antarpribadi.
Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka
diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya
dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan
tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan, atau hukum.
Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling
menguatkan, selama ada prasangka, di sana ada diskriminasi. Jika
prasangka dipandang sebagai keyakinan atau ideologi, maka
diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi.
Dalam pasal 1C UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dijelaskan
bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar suku, ras etnis, kelompok, golongan,
status social, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik
yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif
dalam bidang politik, ekonomi, hokum, social, budaya, dan aspek
kehidupan lainnya.
Diskriminasi adalah tindakan kekerasan. Karena merasa dirinya
sendiri benar dan yang lainnya tidak, maka kekerasan adalah
konsekuensi yang wajar dari diskriminasi. Salah satu sifat dari
diskriminasi adalah kecenderungan untuk memperlakukan orang-orang
yang berbeda secara sama rata (to treat unequally people equally) yakni

13
memperlakukan setiap anggota dari kelompok monoritas seolah-olah
mereka sama dengan menafikan sifat individu masing-masing. Namun
Prinsip non-diskriminasi adalan suatu konsep utama dalam hokum hak
asasi manusia. Prinsip ini dinyatakan dalam semua instrument pokok
hak asasi manusia, dengan sejumlah bentuk diskriminasi yang dilarang.
Komitmen untuk mengahapus diskriminasi atas dasar agama dan
kepercayaan, pertama-tama harus diawali dengan pengakuan bahwa di
Indonesia ada diskriminasi, baik yang dilakukan antar kolompok
masyarakat sendiri maupun diskriminasi yang disponsori oleh Negara.
Kedua jenis diskriminasi tersebut sama-sama membawa dampak yang
kurang sehat dalam kehidupan bermasyarakat
Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan
dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok
subordinasinya.
6. Kambing Hitam (Scape Goating)
Kambing hitam adalah “Orang atau pihak yang disuruh
bertanggung jawab atas kesalahan yang tidak diperbuatnya. Orang itu
harus menanggung konsekuensi yang bisa berupa hukuman atau sanksi,
padahal tidak melakukan kesalahan (T.A. Tatag Utomo. Hal. 161-162)
Teori kambing hitam (scape goating) mengemukakan kalau
individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka
perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Ketika terjadi
depresi ekonomi di Jerman, Hitler mengkambing hitamkan orang
Yahudi sebagai penyebab rusaknya sistem politik dan ekonomi di
negara itu. Ada satu pabrikdi Auschwitz, Polandia yang digunakan
untuk membantai hampir 1,5 juta orang Yahudi. Tua muda, besar kecil
laki-laki dan perempuan dikumpulkan. Kepala digunduli dan rambut
yang dikumpulkan mencapai hamper 1,5 ton. Rambut yang terkumpul
itu akan dikirimkan ke Jerman untuk dibuat kain. Richard Chamberlain

14
berteori bahwa bangsa Aria adalah bangsa yang besar dan mulia yang
mempunyai misi suci untuk membudayakan umat manusia. Bangsa
Aria (Jerman) ini merasa bahwa kekacauan ekonomi dan politik di
Jerman ini disebabkan oleh bangsa Yahudi.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

15
Karakter adalah potret diri seseorang yang sesungguhnya. Maka
karakteristik adalah sifat-sifat, ciri-ciri atau hal-hal yang dimiliki oleh
elemen, yaitu semua keterangan mengenai elemen. Misalnya, kalau
elemen itu pegawai pemerintah/swasta maka karakteristik yang perlu
diketahui jenis kelamin, pendidikan, agama, umur, masa kerja, golongan
dan gaji.
Problematika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut juga
sebagai hal yang masih belum terpecahkan dalam kata lain permaslahan.
Dalam kamus dakwah, problem adalah tanda kehidupan.
Karakteristik Problematika Pendidikan di Indonesia adalah:
1. Prasangka
2. Stereotipe
3. Etnosentrisme
4. Rasisme
5. Diskriminasi
6. Kambing Hitam (Scape Goating)

B. Saran
Diharapkan setelah kita membaca makalah karakteristik problematika
pendidikan multikultural di Indonesia, kita dapat mengetahuinya dan
menghindari macam-macam karakteristik tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

16

16
Adi Sasono, Drs. K.H. Didin Hafiduddin, M.Sc. dkk. 1998. Solusi Islam Atas
Problematika Umat (Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah). Cet. 1. Gema
Insani Press; Jakarta.
J. John. 2007. 26 Step to Heaven. Hodder & Stoughton; London. Diterjemahkan
oleh Indah Fitria, 2010. 26 Keys Of Happines; 26 Rahasia Menemukan
Kebahagiaan dan Menikmati Hidup. Raih Asa Sukses; Depok.
J. Supranto, 2000. Statistik Teori dan Aplikasi. Edisi 6, cetakan. 1. Erlangga;
Jakarta.
KBBI V1.1 Freeware 2010 by Ebta Setiawan
Nasihin, S. (2017). Pendidikan Multikultural ( Problema Dan Solusinya ) Dalam
Perspektif Al-Qur’an Dan Hadits. Al-Muta’aliyah STAI Darul Kamal NW
Kembang Kerang Volume I No 1 Tahun 2017 , 164-172.
Sutarno. (2014). Pendidikan Multikultural. Banjarmasin: Pendidikan Jarak Jauh
Kerja Sama Dinas Pendidikan Provinsi Kalsel Dengan FKIP ULM BJM
Suwartini, Sri. 2017. Pendidikan Karakter Dan Pembangunan Sumber Daya
Manusia Keberlanjutan. Trihayu: Jurnal Pendidikan Ke-SD-an, Vol. 4,
Nomor 1, September 2017, hlm. 220-234
T.A. Tatag Utomo. Mencegah & Mengatasi Krisis Anak melalui Pengembangan
Sikap Mental Orang Tua. Grasindo.
Wiratman Wangsadinata dan G. Suprayitno, 2008. Roosseno: Jembatan dan
Menjembatani. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

17

Anda mungkin juga menyukai