Anda di halaman 1dari 20

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI

INDONESIA

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Nilai Tugas Mata Kuliah

Pendidikan Multikultural

Dosen Pengampu : Endah Kurniawati, M.Pd.I

Disusun Oleh :

1. Naila Falah 23060190016


2. Rika Feronika 23060190018
3. Ni'ma Zulfiyatul Ainiya 2306090103
4. Rika Rojayana 23060190110
5. Figa sukma aji sp 23060190111

PROGAM STUDI TADRIS ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2021

KATA PENGANTAR
Bismillahirohmannirohim, Alhamdulillahirobil ‘Alamin. Segala ungkapan
puji dan rasa syukur semata – mata hanya kita panjatkan kepada Allah SWT.
Pencipta alam semesta berikut apa saja yang ada di dalamnya, mulai dari kreasi-
Nya berupa partikel tidak terlihat sampai dengan kita manusia sebagai ciptaan
Allah SWT. Di dalam Al Qur’an menjadi makhluk yang paling sempurna di
antara ciptaan – ciptaan-Nya, sekali lagi kita ucapkan alhamdulillah. Shalawat
serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi besar Muhammad saw juga
kepada keluarga, sahabat, dan para pengikut hingga akhir zaman nanti.

Penulis panjatkan rasa syukur kepada Allah SWT dan salawat kepada Nabi
saw, hal ini tidak lain karena rahman, rahim dan izin-Nya pada akhirnya penulis
dapat menyelesaikan tugas guna memenuhi mata kuliah Pendidikan Multikultural
dengan judul “PROBLEMATIKA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI
INDONESIA’’.

Penulis juga menyadari dengan sepenuhnya bahwa tugas ini tidak akan
terselesaikan dengan baik bila penulis tidak mendapatkan dukungan dan bantuan
dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ucapkan banyak terima kasih kepada Ibu
Endah Kurniawati, M.Pd.I selaku pembimbing (dosen mata kuliah Pendidikan
Multikultural), dan semua pihak yang mendukung keberhasilan tugas ini.

Sangat penulis sadari bahwa tugas ini jauh dari kata sempurna, masih
banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh sebab itu saran dan kritik sangat penulis
harapkan untuk perbaikan di kemudian hari.

Salatiga, 13 November 2021

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu Negara besar di dunia dan jumlah
penduduk yang sangat banyak dengan berbagai macam agama, suku, ras,
bahasa, sosial, budaya yang mendiami wilayah Indonesia menjadikan
masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat multikultural.
Kemajemukan dan multukulturalitas mengisyaratkan adanya perbedaan.
Bila dikelola dengan baik dan benar, kemajemukan dan multukulturalitas
menghasilkan kekuatan positif bagi pembangunan bangsa. Sebaliknya.
Jika tidak dikelola secara benar, kemajemukan dan multukulturalitas bisa
menimbulkan konflik dan kekerasan sosial.
Jika melihat dari sejarah Indonesia, mulai dari masa-masa
prakemerdekaan, seputar kemerdekaan, seputar pergantian tahun 1965,
sepanjang kurun orde Baru, semasa kejatuhan pemerintahan Soeharto, dan
selama pemerintahan Orde Reformasi hingga hari ini, kehidupan bangsa
Indonesia penuh diwarnai tragedi sosial dan konflik yang berujung pada
terjadinya tindak kekerasan. Seperti kerusuhan Sampit, konflik agama di
Maluku, Poso, Ambon menunjukkan betapa rapuhnya konstruksi
kebangsaan berbasis multikultural di Indonesia.1
Kasus Sampit adalah kasus etnis yang paling menggegerkan negeri
ini, konflik warga Dayak dan warga Madura di Kota Sampit Ibukota
Waringin Timur, Kalimantan Tengah memakan ratusan korban jiwa.
Padahal mereka telah lama hidup berdampingan .
Oleh karena itu penulis akan membahas dalam makalah ini dengan
memahami problematika pendidikan multikultural di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, penulis merumuskan beberapa masalah:
1. Apa Pengertian Pendidikan Multikultural?
2. Apa Saja Problematika Pendidikan Multikultural di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk memahami Pengertian Pendidikan Multikultural.
2. Untuk Memahami Apa Saja Problematika Pendidikan Multikultural di
Indonesia.

1
Tobroni, dkk, pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, Civil society, dan
Multikulturalisme, PuSAPoM, Malang, 2007, hal. 280

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Multikultural
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan dari Negara Indonesia
yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu jua. Hal ini sudah jelas
menandakan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki
keragaman budaya, suku bangsa, agama, bahasa, dan sebagainya.
Kelompok-kolompok budaya seperti Aceh, Batak, Minangkabau, Dayak,
Jawa, Bugis, Ambon, Papua dan lain-lain adalah contoh dari keragaman
tersebut. Oleh sebab itu pula, Negara Indonesia disebut sebagai negara
multikultural.
Keragaman ini memang diakui telah memunculkan beberapa
persoalan, misalnya perkelahian antarsuku, separatisme, dan hilangnya
rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain. Untuk
memecahkan masalah tersebut, maka dibutuhkan suatu solusi, salah
satunya adalah model pendidikan yang bersifat multikultural.
Pendidikan multikultural pada intinya adalah pendidikan yang
memberikan penekanan terhadap proses penanaman cara hidup yang
saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya
yang hidup di tengah-tengah masyarakat dengan tingkat pluralitas yang
tinggi. Dengan model pendidikan ini, diharapkan masyarakat Indonesia
mampu menerima, menolerir, dan menghargai keragaman yang ada di
Indonesia. Dalam dunia pendidikan multikultural, seorang pendidik
seharusnya tidak saja profesional dalam bidang akademik, tetapi juga
harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural
itu, yakni demokrasi, humanisme, dan pluralisme.
Pendidikan multikultural diharapkan mampu menjawab tantangan
zaman di masa globalisasi ini. Pendidikan merupakan salah satu tolak ukur

4
dan standar mengenai seberapa jauh suatu negara mampu bersaing di
dunia internasional. Semakin baik mutu pendidikan suatu negara, maka
negara itu semakin siap dalam menghadapi persaingan global.
Multikulturalisme berasal dari kata “multi” yang berarti plural,
“kultural” yang berarti kultur atau budaya, dan “isme” yang berarti paham
atau aliran. Dalam perkembangannya, multikulturalisme tidak lebih dari
sebuah istilah yang menyempurnakan gagasan sebelumnya yaitu
pluralisme.
Multikulturalisme adalah respon terhadap realitas, dimana
masyarakat selalu menjadi plural (jamak) dan tidak monolitik.
Keanekaragaman membawa perbedaan dan dapat berujung pada konflik.
Namun bukan berarti konflik selalu disebabkan oleh perbedaan. Dari sudut
pandang agama, keragaman keyakinan, budaya, dan pandangan hidup
penting untuk diangkat kembali mengingat penganut agama-agama di
Indonesia masih awam, sehingga sangat rawan dengan konflik dan
kekerasan.
James A. Banks memberikan pengertian tentang Pendidikan
Multikultural sebagai konsep, ide, atau falsafah sebagai suatu rangkaian
kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai
pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup,
pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan
dari individu, kelompok maupun negara. Pendidikan multikultural juga
dapat diartikan sebagai sebuah gerakan reformasi yang dirancang untuk
menghasilkan sebuah transformasi di sekolah, sehingga peserta didik baik
dari kelompok gender maupun dari kelompok budaya dan etnik yang
berbeda akan mendapat kesempatan yang sama untuk menyelesaikan
sekolah.
Menurut Paul Gorski pendidikan multikultural merupakan
pendekatan progresif untuk mengubah pendidikan secara holistik dengan
mengkritik dan memusatkan perhatian pada kelemahan, kegagalan, dan
praktek diskriminatif di dalam pendidikan. Keadilan sosial, persamaan
pendidikan, dan dedikasi melandasi pemberian kemudahan pengalaman

5
pendidikan dalam mewujudkan semua potensinya secara penuh dan
mewujudkan manusia yang sadar dan aktif secara lokal, nasional, dan
global.
1. Problem umum kependidikan
Problema pendidikan timbul akibat dari pesatnya kemajuan
teknologi modern yang semakin bnayak mempengaruhi sistem
kehidupan di Negara berkembang dan yang sedang berkembang.
Meskipun kemajuan teknologi itu sendiri mula-mula bersumber dari
sistem kependidikan yang telah ada, akan tetapi dampaknya terhadap
kehidupan masyarakat sangat kompleks.
Karena pengaruh dari kemajuan teknologi, berbagai sistem
kehidupan yang telah ada terdorong kea rah berbagai perubahan sosial,
baik yang mengandung dampak negatif maupun dampak positif diukur
dengan kebudayaan pada masing-masing masyarakat itu sendiri.
Yang jelas dapat terlihat oleh para peneliti bidang pendidikan,
perubahan sosial demikian menuntut perubahan sistem kependidikan
yang telah ada, disesuaikan atau diperbarui kea rah tujuan-tujuan yang
lebih menguntungkan bagi perkembangan masyarakat di masa
mendatang.
Di semua Negara, bila kita teliti secara cermat, akan didapati
problema pokok yang tekait dengan sistem dengan sistem dan pola
kependidikan nasionalnya masing-masing dalam lima permasalahan
dasar, serupa dengan identifikasi dari Phillips H. Coombs, yang ia
sebutkan sebagai “Lima faktor krisis kependidikan” (The five
educational crisis) yaitu:
a. Pertambahan anak usia sekolah, yang mengakibatkan banyaknya
anak yang tidak dapat tertampung di sekolah. Setiap tahun jumlah
anak makin bertambah besar, sedangkan daya tampung sekolah
tidak memadainya. Inilah suatu tantangan berat di Negara-negara
berkembang pada khususnya, seperti Indonesia.
b. Produk (hasil) atau out put pendidikan di sekolah tidak seimbang
dengan kebutuhan masyarakat, terutama yang sedang membangun

6
dimana dari sekolah itu diharapkan tenaga-tenaga ahli yang
terampil untuk memacu proses pembangunan yang sedang
dijalankan. Apakah ketidakseimbangan itu disebabkan karena
sekolah kurang mampu menampung aspirasi dari tuntutan hidup
masyarakat atau karena sekolah itu sendiri berkualitas rendah,
sehingga tidak mampu memenuhi harapan masyarakat.
c. Kurangnya sumber biaya merupakan faktor yang sungguh
memberatkan pihak pengelola sekolah. Di samping harus
meningkatkan mutu hasil pendidikan di sekolahnya, ia harus pula
dengan susah payah mencari dana untuk membiayai jalannya
pendidikan di sekolah. Oleh kerena itu, memerlukan bantuan dari 3
instansi: Pemerintah, Masyarakat, dan Keluarga, sebagai
tritunggal-nya penanggug jawab pendidikan.
d. Kurangnya efektivitas dan efisiensi kerja. Meskipun faktor ini
banyak berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana
pendidikan di sekolah, akan tetapi faktor guru dan tenaga
administratif juga berpengaruh, misalnya karena sarana ekonomis
rendah (tidak mencukupi kebutuhan hidup), para guru terpaksa
harus merangkap kerja di luar kependidikan atau bekerja di
beberapa sekolah lainnya. Keadaan demikian sulit untuk
diharapkan suatu sekolah mendapatkan efektivitas (kedayagunaan)
dan efisiensi (kehasilgunaan) yang baik.
e. Kurang jelasnya tujua pendidikan yang dirumuskan, menjadi arah
proses kependidikan di sekolah atau di luar sekolah (pendidikan
non-formal).
Menurut Phillips H. Cooms, faktor-faktor tersebut di atas terdapat
hampir di seluruh Negara, terutama di Negara-negara yang sedang
berkembang.
Di Indonesia, selain menghadapi problem di atas, juga menghadapi
permasalahan pendidikan yang lain, seperti:
a. Pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat masih dalam
perjuangan melalui program pembnagunan nasioanal. Agar sekolah

7
dapat menjangkau rakyat banyak, maka titik berat pembangunan
bidang pendidikan diletakkan pada memperluas pendidikan tingkat
dasar.
b. Profesi guru kurang menarik minat para pemuda-pemudi
Indonesia, karena satu hal dan lain hal gajinya relatif lebih rendah
daripada bekerja di bidang non guru misalnya di bank atau di
perusahaan swasta nasional maupung asing. Di samping itu, status
sosial guru kurang dipandang tinggi dibandingkan misalnya status
sosial kepala kantor atau direktur suatu perusahaan. Meski, gaji
guru dan tunjangannya telah dinaikkan, namun menjadi guru masih
merupakan pekerjaan alternative pilihan terakhir kalau tidak
terpaksa.
c. Berkaitan dengan pembinaan watak bangsa yang beridentitas
Pancasila, masalah metode pendidikan danj materinya masih belum
efektif. Bidang studi yang berkaitan dengan pembinaan watak
bangsa, seperti Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa, belum nampak adanya keterpaduan
kurikulum, sehingga masing-masing guru yang memegang bidang
studi tersebut belum beranjak serempak.
Oleh karena permasalahan kependidikan bagi masyarakat modern
merupakan akibat dari proses kehidupan yang semakin meningkat,
maka permasalahannya tetap berkembangan sejalan dengan proses
kehidupan masyarakat itu sendiri, pemecahannya harus didasarkan
pada skala prioritas permasalahan mana yang harus dipecahkan lebih
dahulu dan mana yang masih dapat ditunda.

2. Faktor-faktor munculnya Problematika di Indonesia


Masalah-masalah yang muncul dari pendidikan multikultur ada dua
hal, yaitu:
Pertama, pendidikan multicultural merupakan suatu proses,
artinya konsep pendidikan multicultural yang baru dimulai dalam
dunia pendidikan di Indonesia merumuskan proses perumusan,

8
refleksi,dan tindakan di lapangan sesuai dengan perkembangan
konsep-konsep yang fundamental mengenai pendidikan dan hak asasi
manusia.
Kedua, pendidikan multicultural merupakan suatu yang
multifaset, oleh sebab itu meminta suatu pendekatan lintas disiplin
ilmu, maupun dari para pakar dan praktisi pendidikan untuk semakin
lama semakin memperhalus dan mempertajam konsep pendidikan
multicultural yang dibutuhkan oleh masyarakat.
3. Upaya Penyelesaian Problematika Pendidikan Multikultural di
Indonesia.
Upaya terhadap konsep tersebut antara lain;
Pertama, reformasi kurikulum yaitu diperlukan teori kurikulum
baru, antara lain yang berisi analisis historis, termasuk dianalisis buku-
buku pelajaran yang tidak sesuai dengan pluralisme budaya.
Kedua, mengajarkan prinsip-prinsip keadilan sosial juga dalam hal
ini diperlukan aksi-aksi budaya atau social action untuk
mengembangkan nilai-nilai budaya dan ras.
Ketiga, mengembangkan kompetensi mulitkultural. Hal ini
meliputi pengembangan identitas etnis dan sub etnis melalui kegiatan-
kegiatan kebudayaan.
Keempat, melaksanakan pedagogik kesetaraan (equality
pedagogy). Pedagogik kesetaraan dilaksanakan di sekolah misalnya
cara belajar dan mengajar yang tidak menyinggung perasaan atau
tradisi dalam suatu kelompok tertentu.

B. Problematika Pendidikan Multikultural di Indonesia


Penerapan pendidikan multikultural di Indonesia masih mengalami
berbagai hambatan atau problem. Problem pendidikan multikultural di
Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problem yang
dihadapi oleh negara lain. Keunikan faktor-faktor geografis, demografi,
sejarah dan kemajuan sosial ekonomi dapat menjadi pemicu munculnya
problem pendidikan multikultural di Indonesia. Problem pendidikan

9
multikultural di Indonesia secara garis besar dapat dipetakan menjadi dua
hal, yaitu : problem kemasyarakatan pendidikan multikultural dan problem
pembelajaran pendidikan multikultural.
1. Problem Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural Di Indonesia
Dalam studi sosial, ajakan agar selalu hidup berdampingan secara
damai (koeksistensi damai) ini merupakan bentuk sosialisasi nilai yang
terkandung dalam multikulturalisme. Kesadaran akan pentingnya
kemajemukan mulai muncul seiring gagalnya upaya nasionalisme
negara, yang dikritik karena dianggap menekankan kesatuan daripada
keragaman. Bertolak dari kenyataan ini, kini dirasakan semakin
perlunya kebijakan multikultural yang memihak keragaman. Tetapi,
dalam implementasinya pendidikan multikultural berhadapan dengan
beragam problem di masyarakat, yang menghambat penerapan
pendidikan multikultural di dalam ranah pendidikan. Problem-problem
tersebut antara lain :
a. Keragaman identitas budaya daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik.
Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya
dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia
yang multikultural. Namun kondisi neka-budaya itu sangat
berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik
dan kecembururuan sosial. Msalah ini muncul jika tidak ada
komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan
pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain justru dapat
menjadi konflik dan menghambat proses pendidikan multikultural.
Dalam mengantisipasi hal ini, keragaman yang ada harus
diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh
sewajarnya. Selanjutnya diperlukan suatu manajemen konflik agar
potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh
langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui
pendidikan multikultural. Dengan adanya pendidikan multikultural

10
itu diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa saling
mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi.
b. Pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia
dihadapkan para beragam tantangan baru yang sangat kompleks.
Salah satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan
budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuatan dari
pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan
budaya lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orba, kebijakan
yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini
tidak lagi. Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak
dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan dikembangkan
dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu
bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat
dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan ataupun melanggengkan
kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan.
Konsep “putra daerah” untuk menduduki pos-pos penting
dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntutan yang
demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan
menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos
penting memang diperlukan agar agar putra-putra daerah itu ikut
memikirkan dan berpartisipasi aktif dalam membangun daerahnya.
Harapannya tentu adalah asas kesetaraan dan persamaan. Namun
bila isu ini terus dihembuskan justru akan membuat orang terkotak
oleh isu kedaerahan yang sempit. Oleh karena itu, pendidikan
multikultural merupakan sesuatu yang urgen untuk mengurai
pandangan-pandangan yang sempit mengenai isu kedaerahan
sehingga timbul toleransi dan harmonisasi.
c. Kurang kokohnya nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan
yang menyatukan (integrating force) seluruh pluraritas negeri ini.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional

11
dan ideologi negara berfungsi sebagai integrating force. Saat ini
Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang
semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi
sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan menyamakan
antara Pancasila dengan ideologi Orde Baru yang harus
ditinggalkan. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek,
sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang perlu
dikembangkan.
Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara
yang edukatif, persusif dan manusiawi bukan dengan pengerahan
kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peraran Pancasila yang
kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat
membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam
dan menghilangkan isu yag dapat memecah persatuan dan kesatuan
bangsa. Oleh karena itu pendidikan multikultural dapat menjadi
jalan untuk memperkokoh nasionalisme dalam koridor keragaman
bangsa yang majemuk ini.
d. Fanatisme sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun
yang salah adalah fanatisme sempit, yang menganggap bahwa
kelompoknya yang paling benar, paling baik dan kelompok lain
harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak
menimbulkan korban ini banyak terjadi di masyarakat. Gejala
bonek (bondo nekat) di kalangan supporter sepak bola nampak
menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah
memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap
kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta
maka hal ini tidak sehat. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan
isu agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi
Tengah) maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi
bangsa. Di sini pendidikan multikultural memiliki peran yang
penting sebagai wahana peredam fanatisme sempit. Karena di

12
dalam pendidikan multikultural terkandung ajaran untuk
menghargai seseorang atau kelompok lain walaupun berbeda suku,
agama, rasa atau golongan.
e. Konflik kesatuan nasional dan multikultural
Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional
dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan
kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional.
Namun dalam penerapannya, bangsa Indonesia pernah mengalami
konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai
kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan
stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerahan
kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan antipasti
terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi
ancaman bagi integrasi bangsa.
Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin
memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran
budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa
ini. Contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka)
di Papua. Oleh karena itu pendidikan multikultural diharapkan
dapat menjembatani berbagai perbedaan ini agar tidak terjadi
benturan antara kesatuan nasional dan multikultural.
f. Kesejahteraan ekonomi yang tidak merata di antara kelompok
budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit
beberapa tahun yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari
kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki
kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi
beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya
ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.
Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan
tindakan yang anarkis ketika himpitan ekonomi mendera mereka.

13
Mereka akan menumpahkan kekesalan mereka pada kelompok-
kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak
mampu meraihnya. Jadi, adanya tekanan ekonomi memaksa orang
untuk bertindak destruktif. Berangkat dari hal ini, pendidikan
multikultural diharapkan dapat mendidik seseorang untuk
berperilaku menurut aturan yang berlaku. Selain itu, pendidikan
multikultural diharapkan dapat mengajarkan perbedaan-perbedaan
yang dijumpai di masyarakat karena di masyarakat terdiri dari
beragam lapisan, seperti si kaya dan si miskin atau golongan
borjuis dan proletar. Untuk itu pendidikan multikultural perlu
diajarkan untuk saling menghormati dan menghargai satu sama
lain, tidak peduli dari lapisan mana seseorang itu berasal.
2. Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural di Indonesia
Pendidikan multikultural yang akhir-akhir ini sedang hangat
dibicarakan ternyata tidak terlepas dari berbagai problem yang
menghambatnya. Selain problem kemasyarakatan, pendidikan
multikultural juga tidak lepas dari problem dalam proses
pembelajarannya. Dalam kerangka strategi pembelajaran, pembelajaran
berbasis budaya dapat mendorong terjadinya proses imajinatif,
metaforik, berpikir kreatif, dan sadar budaya. Namun demikian,
penggunaan budaya lokal (etnis) dalam pembelajaran berbasis budaya
tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang terdapat dalam setiap
komponen pembelajaran, sejak persiapan awal dan implementasinya.
Beberapa permasalahan awal pembelajaran berbasis budaya
(multikultural) pada tahap persiapan awal, antara lain :
a. Guru kurang mengenal budayanya sendiri, budaya lokal maupun
budaya peserta didik.
b. Guru kurang menguasai garis besar struktur dan budaya etnis
peserta didiknya, terutama dalam konteks mata pelajaran yang akan
diajarkannya.
c. Rendahnya kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang
dapat merangsang minat, ingatan, dan pengenalan kembali peserta

14
didik terhadap khasanah budaya masing-masing dalam konteks
budaya masing-masing serta dalam dimensi pengalaman belajar
yang diperoleh.
Pada kenyataannya berbagai dimensi dari keberagaman budaya
Indonesia dapat menimbulkan masalah dalam proses pembelajaran,
terutama dalam kelas yang budaya etnis peserta didiknya sangat
beragam, antara lain :
a. Masalah seleksi dan integrasi isi (content selection and
integration) mata pelajaran
Implementasi pendidikan mutikultural dapat terhambat oleh
problem seleksi dan integrasi isi mata pelajaran yang akan
diajarkan. Masalah yang muncul dapat berupa ketidakmampuan
guru memilih aspek dan unsur budaya yang relevan dengan isi dan
topik mata pelajaran. Selain itu masih banyak guru yang belum
dapat mengintegrasikan budaya lokal dalam mata pelajaran yang
diajarkan, sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna bagi
peserta didik.
Untuk mengatasi problem di atas, guru harus memiliki
pengetahuan budaya yang memadai. selain itu diperlukan sikap dan
keterampilan yang bijaksana dalam memilih metode atau materi
pelajaran yang mengandung sensivitas budaya, misalnya materi
tentang perbedaan etnis atau agama. Guru juga dapat memberikan
sentuhan warisan budaya sehingga dapat memotivasi peserta didik
mendalami akar budayanya sendiri dan akan menghasilkan
pembelajaran yang kuat bagi peserta didik. Guru juga dapat
menggunakan teknik belajar kooperatif dan kerja kelompok untuk
meningkatkan integrasi ras dan etnis di sekolah dan di kelas.
b. Masalah “proses mengkonstrusikan pengetahuan” (the
knowledge construction process)
Selain masalah seleksi dan integrasi isi mata pelajaran, masalah
proses mengkonstruksi sebuah pengetahuan dapat menjadi problem
bagi pendidikan mutikultural. Jika peserta didik terdiri dari berbagai

15
budaya, etnis, agama, dan golongan dapat memunculkan kesulitan
tersendiri untuk menyusun sebuah bangunan pengetahuan yang
berlandaskan atas dasar perbedaan dan keragaman budaya.
Seringkali muncul kesulitan dalam menentukan aspek budaya mana
yang dapat dipilih untuk membantu peserta didik memahami konsep
kunci secara tepat.
Selain itu, guru juga masih banyak yang belum dapat
menggunakan frame of referencedari budaya tertentu dan
mengembangkannya dari perspektif ilmiah. Hal ini terkait
kurangnya pengetahuan dari guru tentang keragaman budaya.
Problem lain yang dapat muncul adalah munculnya bias dalam
mengembangkan perspektif multikultur untuk mengkonstruksi
pengetahuan. Kekhawatiran yang muncul adalah munculnya
diskriminasi dalam pemberian materi pelajaran sehingga hanya
memunculkan satu kelompok atau golongan tertentu yang menjadi
pokok bahasan pembelajaran.
c. Masalah mengurangi prasangka (prejudice reduction)
Salah satu masalah lain yang muncul dalam pembelajaran
mutikultural adalah adanya prasangka dari peserta didik terhadap
guru bahwa guru tertentu cenderung mengutamakan unsur budaya
kelompok tertentu. Selain itu, guru belum dapat mengusahakan
kerjasama (cooperation) dan pengertian bahwa strategi pemakaian
budaya tertentu bukan merupakan kompetisi, tetapi sebuah
kebersamaan. Oleh karena itu guru harus mengusahakan bagaimana
agar peserta didik yang belum mengenal budaya yang dijadikan
media pembelajaran menjadi tidak berprasangka bahwa guru
cenderung mengutamakan budaya tertentu. Contoh, jika guru
memilih Bagong (tokoh wayang di Jawa Tengah) untuk
pembelajaran, maka guru harus menjelaskan siapa Bagong dan
mampu mengidentifikasi tokoh serupa seperti Cepot (Jawa Barat),
Sangut (Bali), Dawala dan Bawok (pesisir utara Jawa).

16
Dengan mengambil contoh yang sepadan, guru dapat
menghindari prasangka bahwa dia mengutamakan unsur budaya
tertentu. Situasi tersebut mendorong kebersamaan antar peserta
didik dan saling memperkaya unsur budaya masing-masing.
d. Masalah kesetaraan paedagogi (equity paedagogy)
Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai
budaya etnis atau kelompok tertentu dan (secara tidak sadar)
menafikan budaya kelompok lain. Untuk mempersiapkan atau
memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi
dari berbagai sumber dan pustaka sehingga guru dapat
melaksanakan kesetaraan paedagogi. Guru harus memiliki
“khasanah budaya” mengenai berbagai unsur budaya dalam tema
tertentu. Misalnya jika menerangkan tentang kesenian teater, guru
dapat menyebutkan dan mengidentifikasi beragam kesenian dari
berbagai daerah seperti Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa
Tengah), Lenong (Betawi), dan Ketoprak (Yogyakarta).
Konklusinya, penerapan pendidikan mutikultural di Indonesia
masih mengalami berbagai problem atau masalah, yang dapat
diidentifikasi menjadi dua problem utama yaitu problem
kemasyarakatan dan problem pembelajaran pendidikan
mutikultural.

C. aaaa

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran

18
DAFTAR PUSTAKA
Banks, James. A. 1993. Multicultural Education: Issues and Perspective.
Needham Heights, Massachusetts: Allyn and Bacon.

Gorski, Paul. 2001. Six Critical Paradigm Shiifd For Multicultural Education and
The Question We Should Be Asking, http/www.
Edchange.org/multicultural, diakses tanggal 1 Juli 2011.

Koentjaraningrat. 2000. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : PT.


Gramedia Pustaka Utama.

Rahmat, Pupu Saeful. 2008. Wacana Pendidikan  Multikultural  di 


Indonesia. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/04/wacana-
pendidikan-multikultural-di-indonesia, diakses tanggal 1 Juli 2011.

Sutarno. 2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta : Departemen Pendidikan


Nasional.

Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme : Tantangan Global Masa Depan dalam


Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.

19
20

Anda mungkin juga menyukai