Anda di halaman 1dari 10

Pemikiran sosio ekonomi al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang dia sebut sebagai “fungsi

kesejahteraan sosial” yakni sebuah konsep yang mencakup semua aktifitas manusia dan membuat
kaitan yang erat antara individu dengan masyarakat dalam fungsi kesejahteraan yang sulit
diruntuhkan dan telah dirindukan oleh para ekonomi kontemporer. Al-Ghazali telah
mengidentifikasikan semua masalah baik yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid
(disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Menurut al-Ghazali, kesejahteran
(maslahah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar,
yakni agama (al-dien), hidup atau jiwa (nafs) keluarga atau keturunan (nasl), harta atau kekayaan
(mal), dan intelek atau akal (aql). Al-Ghazali juga mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi
kesejahteraan sosialnya dalam sebuah kerangka hierarki utilitas individu dan sosial yang tripartie
yakni kebutuhan (daruriat), kesenangan atau kenyamanan (hajat), dan kemewahan (tahsinaat).
Hierarki tersebut merupakan sebuah klasifikasi peninggalan tradisi Aristotelian yang disebut
sebagai kebutuhan oridinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap barang-barang
eksternal dan kebutuhan terhadap barang-barang psikis. Klasifikasi aktivitas produksi yang
diberikan al-Ghazali hampir mirip dengan klasifikasi yang terdapat dalam pembahasan
kontemporer, yakni primer (agrikultur), sekunder (manufaktur), dan tersier( jasa). Secara garis
besar, ia membagi aktivitas produksi kedalam tiga kelompok berikut: (1) Industri dasar, yakni
industri- industri yang menjaga kelangsungan hidup manusia (2) Aktivitas penyokong, yakni
aktivitas yang bersifat tambahan bagi industri dasar (3) Aktivitas komplementer, yakni yang
berkaitan dengan industri dasar. Kunci pemeliharaan dari kelima tujuan dasar ini terletak pada
tercukupinya kebutuhan atau utilitas individu dan sosial. Al-Ghazali membagi utilitas ini dalam tiga
hierarki yang disebut tripartite. Pertama, kebutuhan (daruriyat) meliputi makanan, pakaian, dan
perumahan. Kedua, kesenangan atau kenyamanan (hajiyat). Kelompok kedua ini terdiri dari semua
kegiatan yang tidak vital bagi lima fondasi tersebut, tetapi dibutuhkan untuk menghilangkan
rintangan dan kesukaran dalam hidup. Ketiga, kemewahan (tahsiniyat). Kelompok ketiga ini
mencakup kegiatan-kegiatan yang lebih jauh dari sekedar kenyamanan saja, namun mencakup hal-
hal yang bisa melengkapi, menerangi atau menghiasi hidup.

Menurut al-Ghazali, kegiatan ekonomi merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh islam. Al-
Ghazali menegaskan bahwa aktivitas ekonomi harus dilakukan secara efisien karena merupakan
bagian dari pemenuhan tugas keagamaan seseorang untuk membantu orang lain yang
membutuhkan. Al-Ghazali tidak hanya menyadari keinginan manusia untuk mengumpulkan
kekayaan tetapi juga kebutuhannya untuk persiapan dimasa depan. Dalam hal ini, ia memandang
kekayaan sebagai ujian terbesar. Lebih jauh, al-Ghazali menyatakan bahwa pendapatan dan
kekayaan seseorang berasal dari tiga sumber, yaitu pendapatan melalui tenaga individual, laba
perdagangan, dan pendapatan karena nasib baik. Mayoritas pembahasan al-Ghazali mengenai
berbagai pembahasan ekonomi terdapat dalam kitab Ihya‟ Ulum al-Din. Bahasan ekonomi al-
Ghazali dapat dikelompokkan menjadi: pertukaran sukarela dan evolusi pasar, produksi, barter dan
evolusi uang, serta peranan negara dan keuangan publik.

Menurut Ibnu Taimiyah (Karim:2011), keabsahan pemerintah dalam menetapkan kebijakan


intervensi pasar dapat terjadi pada situasi dan kondisi sebagai berikut:

1. Produsen tidak mau menjual produk-nya kecuali pada harga yang lebih tinggi daripada harga
umum pasar, padahal konsumen membutuhkan produk tersebut. Dalam hal ini pemerintah dapat
memaksa produsen untuk menjual barangnya dan menentukan harga yang adil.

2. Produsen menawarkan harga yang terlalu tinggi menurut konsumen, sedangkan konsumen
meminta harga yang terlalu rendah pada produsen. Dalam hal ini intervensi harus dilakukan dengan
musyawarah antara produsen dan konsumen yang difasilitasi pemerintah. Pemerintah harus
mendorong produsen dan konsumen untuk menetapkan harga yang berlaku.
3. Tenaga kerja yang menolak bekerja kecuali dengan harga yang lebih tinggi daripada harga pasar
yang berlaku. Padahal masyarakat membutuhkan tenaga kerja tersebut. Dalam kasus ini pemerintah
dapat menetapkan harga yang wajar, dan memaksa tenaga kerja untuk memberikan jasanya. Dari
penjelasan di atas bahwa Ibn Taimiyah memiliki persepsi yang jelas mengenai keadaan pasar,
bahwa di dalam pasar harus terjadi kejujuran, transparan, dan kebebasan dalam memilih. Jadi hal ini
sangat berhubungan dengan apresiasi dan evaluasi analisisnya berkaitan dengan pasar dan
mekanisme harga. Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar

Proses timbulnya pasar yang berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran untuk menentukan
harga dan laba. Tidak disangsikan lagi, Al-Ghazali tampaknya membangun dasar-dasar dari apa
yang kemudian dikenal sebagai “Semangat Kapitalisme”. Bagi Al-Ghazali, pasar berevolusi sebagai
bagian dari „‟hukum alam‟‟ segala sesuatu, yakni sebuah ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari
diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi. Sepanjang tulisannya, al-Ghazali
berbicara mengenai “harga yang berlaku seperti yang ditentukan oleh praktek-praktek pasar”,
sebuah konsep yang dikemudian hari dikenal sebagai al-tsaman al- adil (harga yang adil)
dikalangan ilmuan Muslin atau equilibrium price (harga keseimbangan) dari kalangan ilmuan Eropa
kontemporer.9 Bagi Al-Ghazali, pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Walaupun al-
Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminologi modern, beberapa
tulisannya jelas menjelaskan bentuk kurva permintaan dan penawaran. Untuk kurva penawaran
yang “naik dari kiri bawah ke kanan atas” dinyatakan oleh dia sebagai “jika petani tidak
mendapatkan pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah”.
Sementara itu untuk kurva permintaan yang “turun dari kiri atas ke kanan Bawah” dijelaskan oleh
beliau sebagai “harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan”. Al-Ghazali juga telah
memehami konsep elastisitas permintaan, yang dinyatakan dengan “Mengurangi margin
keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah akan meningkatkan volume penjualan
dan ini pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan”. Al-Ghazali juga menyadari permintaan
“harga inelastis”. Al-Ghazali bersikap sangat kritis terhadap laba yang berlebihan. Dalam persoalan
harga dan laba, al-Ghazali membahasnya secara bersamaan tanpa membedakan biaya dan
pendapatan. Ia menganggap bahwa laba sebagai imbalan atas resiko ketidakpastian, karena
pedagang menanggung banyak kesulitan dalam mencari laba dan menanggung resiko dalam proses
perdagangannya. Ia sangat mengecam terhadap pengambilan laba yang terlalu tinggi. Menurutnya
jika seorang pedagang menawarkan harga yang lebih tinggi dari harga yang berlaku maka pembeli
harus menolaknya. Secara jelas ia pun menegaskan bahwa laba normal adalah 5 – 10 %. Lebih
lanjut al- Ghazali menekankan bahwa penjual seharusnya menetapkan laba yang wajar yaitu laba
yang diperoleh dari pasar yang “hakiki”, yaitu akhirat.

Dalam pandangan al-Ghazali, pasar harus berfungsi berdasarkan etika dan moral para pelakunya.
Al-Ghazali memberikan perhatian yang cukup besar ketika menggambarkan berbagai macam
aktifitas produksi dalam sebuah masyarakat, termasuk hirarki dan karakter. Bahkan secara khusus ia
memandang bahwa produksi barang barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban sosial (fard al-
kifayah). Hal ini jika telah ada sekelompok orang yang berkecimpung di dunia usaha yang
memproduksi barang-barang tersebut dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat, maka
kewajiban masyarakat telah terpenuhi. Namun jika tidak ada seorangpun yang melibatkan diri
dalam kegiatan tersebut atau jika jumlah yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan masyarakat
semua akan dimintai pertanggungjawabananya di akhirat. Dalam hal ini, pada prinsipnya negara
harus bertanggung jawab dalam menjamin kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan barang-
barang pokok. Namun demikian, pemikiran-pemikiran ekonomi al-Gazali didasarkan pada
pendekatan tasawuf, karena masa hidupnya, orang-orang kaya, berkuasa, dan sarat prestise sulit
menerima pendekatan fiqih dan filosofis dalam mempercayai Yaum- al-Hisab. Berkaitan dengan hal
ini, al-Gazali memfokuskan perhatiannya pada perilaku individu yang dibahasnya menurut
perspektif al-Qur‟an, Sunnah, fatwa-fatwa sahabat dan tabi‟in serta petuah para sufi terkemuka
masa sebelumnya. Klasifikasi aktivitas yang diberikan al-Gazali hampir mirip dengan kalsifikasi
yang terdapat dalam pembahasan kontemporer. Secara garis besar, ia membagi aktivitas ke dalam
tiga kelompok berikut: Industri dasar, yakni industri-industri yang menjaga kelangsungan hidup
manusia. Kelompok ini terdiri dari empat jenis aktivitas yakni, agrikultur untuk makanan, tekstil
untuk pakaian, konstruksi untuk perumahan, dan aktivitas negara termasuk penyediaan
infrastrukturm khususnya untuk memfasilitasi produksi kebutuhan barang-barang pokok, aktivitas
penyokong, yakni aktivitas yang bersifat tambahan bagi industri dasar, seperti industri baja,
ekplorasi, dan pertambangan atau tambang, aktivitas kontemporer yang berkaitan dengan industri
dasar seperti penggilingan dan pembakaran produk-produk agrikultur.

Al-Ghazali juga memprediksi bahwa hal tersebut akan terjadi dalam skala yang lebih luas, bahkan
mencakup suatu Negara. AI-Ghazali juga menjelaskan secara eksplisit mengenai perdagangan
regional dalam pernyataan berikut: "Selanjutnya praktik-praktik ini terjadi di berbagai kota dan
negara. Orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat
makanan dan membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan ke
kota-kota di mana tidak seluruh makanan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada gilirannya
menimbulkan kebutuhan alat transportasi. Terciptalah kelas pedagang regional dalam masyarakat.
Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan
orang lain dan mendapatkan keuntungan dan makan oleh orang lain juga.” (P3EI UII:2009) Dalam
pandangannya tersebut, Al-Ghazali menilai bahwa perdagangan regional akan mengakibatkan
spesialisasi dan pembagian kerja menurut regional dan sumber daya setempat. Perdagangan antar
kota dan negara akan mangakibatkan kebutuhan terhadap alat transportasi. Ia juga menyadari
pentingnya perdagangan untuk memberikan nilai tambah dengan menyediakannya pada waktu dan
tempat di mana dibutuhkan.

Dalam pandangan al-Ghazali, pasar harus berfungsi berdasarkan etika dan moral pelakunya. Secara
khusus memperingatkan larangan mengambil keuntungan dengan cara menimbun makanan dan
barang- barang lainnya, memberikan informasi yang salah mengenai berat, jumlah dan harga
barangnya. Al-Ghazali mempunyai wawasan yang sangat kompherhensif mengenai berbagai
problema barter yang dalam istilah modren disebut sebagai: kurang memiliki angka penyebut yang
sama (lack of common denominator), barang tidak dapat dibagibagi (indivisibility of goods) dan
keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants). Walaupun dapat
dilakukan, pertukaran barter menjadi sangat tidak efisien karena adanya perbedaan karakteristik
barang- barang (seperti unta dengan kunyit). Fungsi uang menurut al-Ghazali adalah sebagai satuan
hitung (unit of account), media penukaran (medim of exchange) dan sebagai penyimpan kekayaan
(store of value). Adapun fungsi uang yang ketiga ini menurutnya adalah bukan fungsi uang yang
sesungguhnya. Sebab, ia menganggap fungsi tersebut adalah sama saja dengan penimbunan harta
yang nantinya akan berakibat pada pertambahan jumlah pengangguran dalam kegiatan ekonomi dan
hal tersebut merupakan perbuatan zalim.

Tahapan Produksi, Spesialisasi, dan Keterkaitannya

Adnya tahapan produksi yang beragam sebelum produk tersebut dikonsumsi. Tahapan dan
keterkaitan produksi yang beragam mensyaratkan adanya pembagian kerja, koordinasi, dan kerja
sama. Al-Ghazali mengidentifikasi tiga tingkatan persaingan, yakni persaingan yang wajib yaitu
persaingan yang berhubungan dengan kewajiban agama dalam rangka memperoleh keselamatan.
Persaingan yang disukai yaitu yang berhubungan dengan perolehan barang kebutuhan pokok,
pelengkap, dan juga membantu pemenuhan kebutuhan orang lain. Sedangkan persaingan yang tidak
diperbolehkan yaitu yang berhubungan dengan barang-barang mewah.

Barter dan Evolusi Uang


Salah satu penemuan terpenting dalam perekonomian adalah uang. al-Ghazali menjelaskan
bagaimana uang mengatasi permasalahan yang timbul dari suatu pertukaran barter, akibat negatif
dari pemalsuan dan penurunan nilai mata uang, serta observasi yang mendahului observasi serupa
beberapa abad kemudian yang dilakukan oleh Nicholas Oresme, Thomas Gresham, dan Richard
Cantilon. Al-Ghazali menegaskan bahwa evolusi uang terjadi hanya karena kesepakatan dan
kebiasaan (konvensi) yakni tidak akan ada masyarakat tanpa pertukaran barang dan tidak ada
pertukaran yang efektif tanpa ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan dengan
tepat bila ada ukuran yang sama. Uang tidak diinginkan karena uang itu sendiri. Uang baru akan
memiliki nilai jika digunakan dalam pertukaran. Ghazali menyatakan bahwa salah satu tujuan emas
dan perak adalah untuk dipergunakan sebagai uang. Beliau juga mengutuk mereka yang menimbun
keping-kepingan uang. Uang dapat diproduksi secara pribadi hanya dengan membawa emas dan
perak yang sudah ditambang ke percetakan. Standar uang komoditas, dulunya muatan logam suatu
koin sama nilainya dengan nilai koin tersebut sebagai uang. Harga juga akan naik, dan nilai uang
akan turun. Perhatiannya ditujukan pada problem yang muncul akibat pemalsuan dan penurunan
nilai, karena mencampur logam kelas rendah dengan koin emas atau perak, atau mengikis muatan
logamnya. Penurunan nilai uang karena kecurangan pelakunya harus dihukum. Namun, bila
pencampuran logam dalam koin merupakn tindakan resmi negara dan diketahui oleh semua
penggunanya, hal ini dapat diterima. Beliau membolehkan kemungkinan uang representatif (token
money) yang disebut sebagai teori uang feodalistik yang menyatakan bahwa hak bendahara publik
untuk mengubah muatan logam dalam mata uang merupakan monopoli penguasa foedal. Setiap
manusia memerlukan bermacam-macam materi dalam hal kebutuhan sandang pangan dan
kebutuhan lainnya. Tapi terkadang ia tidak mampu menemukan kebutuhna tersebut, sedangkan saat
itu ia memiliki barang yang sedang tidak ia butuhkan. Sehingga fungsi uang sebagai alat tukar dan
pengukur nilai bagi benda lain yang bisa ditukarkan. Materi yang paling penting adalah makana,
kemudian pemukiman sebagai tempat tinggal manusia dan kebutuhan pakaian, perlaatan rumah
tangga serta alat transportasi.

Sektor pertanian memperoleh prioritas pertama masa itu sebagai sumber utama kesejahteraan
masyarakat. Karena kehidupan masyarakat pada waktu itu sangat tergantung kepada hasil produksi
pertanian. Sejumlah lahan tanah pada masa Dinasti Mamluk didistribusikan kepada para Amir
sebagai bentuk iqta’ (pengganti gaji atau tanah ganjaran) sebagai bentuk hadiah dari pemerintah.

Masa Dinasti Mamluk berkembang berbagai macam jenis industri di Mesir dan Suriah, seperti:
industri tekstil, logam, pem-bangunan kapal, pertukangan. Para sultan memberi kemudahan untuk
perkembangan perdagangan domestik. Di setiap kota Mesir dan Suriah memiliki sejumlah pasar.
Sedangkan untuk mengembangkan perda-gangan luar negeri, para sultan Mamluk membuat
perjanjian persahabatan dengan negara-negara Eropa dengan mengembang-kan hubungan kerja
sama. Untuk pengem-bangan perdagangan dan industri, lembaga hisbah memiliki peran sangat
penting. Tugas utamanya melakukan pengawasan umum, khususnya kegiatan pasar dengan
melakukan pengecekan timbangan, ukuran, kualitas barang, menjaga jual beli yang jujur dan
menjaga agar harga selalu konstan.

Sistem mata uang semasa Dinasti Mamluk menggunakan tiga jenis mata uang, yaitu uang dinar
(emas), dirham (perak), dan fulus (tembaga). Uang dinar sangat langka, yang banyak digunakan
adalah uang logam dari tembaga. Sirkulasi uang dirham selalu berfluktuasi, kadang langka di
pasaran. Secara umum, sistem mata uang selama periode itu memang tidak stabil. Peredaran
sejumlah besar mata uang tembaga fulus dan peningkatan proporsi dirham, menghilang-kan
kepercayaan terhadap mata uang, mem-buat nilainya merosot dan mendorong ter-jadinya situasi
inflatoar yang terus mem-buruk.
Secara umum, Sultan-sultan Mamluk mengenakan pajak atas hasil pertanian, yang terbagi menjadi
dua kategori: 1) pajak atas penggarapan tanah, 2) pajak atas kebun buah-buahan. Pajak dipungut
oleh para muqta’. Terkadang para pejabat kesultanan diberi tanggungjawab untuk memungut pajak.
Sistem pemungutan lainnya adalam daman, di mana damin (penjamin) mem-bayar sejumlah uang
jaminan, tak peduli apakah hasil yang diperoleh dari penduduk nanti meningkat atau menurun. Ada
sejum-lah diwan (departemen) yang menangani berbagai pungutan pajak dan keuangan. Ibnu
Taimiyah meminta pihak penguasa agar tidak melakukan monetisasi terhadap mata uang yang
sedang berada ditangan masyarakat. Menurutnya, apabila diperlukan, penguasa dapat mencetak
mata uang yang lebih banyak sesuai dengan nilai riilnya, tanpa mengambil keuntungan untuk
dirinya sendiri. Secara khusus, ia menentukan bahwa biaya setiap pencetakan mata uang harus
diambil dari perbendaharaan negara (Baitul Mal).

Misalnya: diwan al-rawatib, diwan al-sa’id, diwan al-jawali wal-mawarith al-hasriyah, diwan al-
kharaj, diwan al-hilali. Sebagai pusat koordinator dari diwan-diwan tadi adalah Baitul Mal. Ada
istilah lain, misalnya diwan al-nazar atau diwan nazar al-dawamin, yang secara bergantian
merupakan bentuk lain dari Baitul Mal yang merupakan menteri keuangan. Seluruh rekening pen-
dapatan dan pembelanjaan pemerintah diatur oleh departemen ini. Pendapatan dari kharaj
diprioritaskan untuk pengeluaran militer, membiayai keluarga kerajaan, pemerintahan raja, para
menteri, gubernur, wazir, hakim, pengawas diwan, akuntan, para penulis, penyediaan pelayanan
umum seperti: dam, kanal, sekolah dan rumah sakit menjadi tanggungjawab pemimpin departemen
ang-garan pembelanjaan umum.

Pandangan Ibnu Taimiyyah tentang masalah ekonomi sangat jelas. Seluruh kegiatan ekonomi
dibolehkan, kecuali apa yang secara tegas dilarang oleh syari’at. Dalam batasan larangan syari’at
itu, semua orang mengetahui hal itu demi kebaikan bagi mereka dan mereka bebas melakukan
transaksi, membuat kontrak atau mengerja-kan berbagai masalah keduniaan dengan cara yang adil
dan jujur. Hal ini mengikuti doktrin Islam pokok dari tauhid dan secara wajar mementingkan
keadilan. Berkaitan dengan keadilan ini, beliau menulis, “Keadilan berkait dengan tauhid dan tauhid
merupakan fondamen dari keadilan. Inilah yang memberikan keunggulan berkaitan dengan korupsi,
yang merupakan dasar dan fondasi dari ketidakadilan.

Pasar dalam pengertian ilmu ekonomi adalah pertemuan antara permintaan dan penawaran. Dalam
pengertian ini, pasar bersifat interaktif, bukan fisik. Adapun mekanisme pasar adalah proser
penentuan tingkat harga berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Pertemuan antara
permintaan (demand) dan penawaran (supply) dinamakan equilibrium price (harga seimbang).
Untuk menggambarkan permintaan terhadap barang tertentu, ia menggunakan istilah raghbah fi al-
syai yang berarti hasrat terhadap sesuatu, yakni barang. Hasrat merupakan salah satu faktor
terpenting dalam permintaan, faktor lainnya adalah pendapatan yang tidak disebutkan oleh Ibn
Taimiyah. Perubahan dalam supply digambarkannya sebagai kenaikan atau penurunan dalam
persediaan barang-barang, yang disebabkan oleh dua faktor, yakni produksi lokal dan impor.

Pernyataan Ibn Taimiyah di atas menunjuk pada apa yang dikenal sekarang sebagai perubahan
fungsi penawaran dan permintaan, yakni ketika terjadi peningkatan permintaan pada harga yang
sama dan penurunan pada harga yang sama atau, sebaliknya, penurunan permintaan pada harga
yang sama dan pertambahan persediaan pada harga yang sama. Apabila terjadi penurunan
persediaan disertai dengan kenaikan permintaan, harga-harga dipastikan akan mengalami kenaikan,
dan begitu pula sebaliknya

Konsep Ibnu Taimiyah tentang kom-pensasi yang adil (‘iwad al-mitsl) dan harga yang adil (tsaman
al-mitsl) tidaklah sama. Kompensasi yang adil adalah penggantian sepadan yang merupakan nilai
harga yang setara dari sebuah benda menurut adat kebiasaan. Kompensasi yang setara diukur dan
ditaksir oleh hal-hal yang setara tanpa ada tambahan dan pengurangan. Penggunaan kata
kompensasi yang adil setara untuk membongkar masalah moral atau kewajiban hukum berkaitan
dengan barang-barang, dan bukan merupakan kasus nilai tukar, tetapi sebagai kompensasi atau
pelaksanaan sebuah kewajiban.14 Sedangkan harga yang adil adalah nilai harga di mana orang-
orang menjual barangnya dapat diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang
yang dijual itu ataupun barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu. Keadilan yang
dikehendaki oleh Ibnu Taimi-yah berhubungan dengan prinsip la dharar yakni tidak melukai dan
merugikan orang lain sehingga dengan berbuat adil akan mencegah terjadinya tindak kezaliman.
Harga yang setara menurut Ibnu Taimiyah adalah harga baku (si’r), di mana penduduk menjual
barang-barang mereka dan secara umum diterima sebagai sesuatu yang setara dengan itu dan untuk
barang yang sama pada waktu dan tempat yang khusus.15 Atau harga yang setara itu sesuai dengan
keinginan atau lebih persisnya harga yang ditetapkan oleh kekuatan pasar yang berjalan secara
bebas antara penawaran dan permintaan. Selain itu Ibnu Taimiyah meng-gambarkan perubahan
harga di pasar “jika penduduk menjual barangnya dengan cara yang normal (al-wajah al-ma’ruf)
tanpa menggunakan cara-cara yang tidak adil, kemudian harga meningkat karena pengaruh
kekurangan persediaan barang (misalnya karena menurunnya suplai/penawaran) atau meningkatnya
jumlah penduduk (yaitu me-ningkatnya permintaan), itu semua karena Allah. Dalam kasus seperti
itu, memaksa penjual untuk menjual barang mereka pada harga khususnya, merupakan paksaan
yang salah (ikhrah bi ghoiri haqq).

Menyikapi hal ini, dengan tetap memperhatikan kondisi pasar tidak sempurna, Ibn Taimiyah
merekomendasikan bahwa bila penjual melakukan penimbunan dan menjual pada harga yang lebih
tinggi dibandingkan dengan harga normal, padahal orang-orang membutuhkan barang ini, maka
para penjual diharuskan untuk menjualnya pada tingkat harga ekuivalen. Pada kondisi terjadinya
ketidak sempurnaan pasar, misalnya dalam kasus dimana komoditas kebutuhan pokok yang
harganya naik akibat adanya manipulasi atau perubahan harga yang disebabkan oleh dorongan-
dorongan monopoli. Maka dalam keadaan seperti inilah menurut Ibn Taimiyah, pemerintah harus
menetapkan harga yang adil bagi penjual dan pembeli.

Otoritas pemerintah dalam melakukan pengawasan harga harus dirundingkan terlebih dahulu
dengan penduduk yang berkepentingan. Tentang ini, Ibn Taimiyah menjelaskan sebuah metode
yang diajukan pendahulunya, Ibn Habib, bahwa pemerintah harus menyelenggarakan musyawarah
dengan para tokoh perwakilan dan pasar. Yang lain juga diterima hadir, karenanya mereka harus
diperiksa keterangannya. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang transaksi jual
beli, pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan harga yang didukung oleh para
peserta musyawarah, juga penduduk semuanya. Jadi keseluruhannya harus sepakat dengan hal itu.
Pendapat ini, dibenarkan oleh asy-Syaukani, Sementara itu, pemimpin harus menjaga kemaslahatan
semua pihak. Ia wajib menyelasaikan masalah ini lewat ijtihad dan musyawarah antara dua pihak.

Jadi jelas agaknya, bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sangat memperhatikan keadaan pasar,
bagaimana sikap perintah dalam mengawasi harga yang beredar dipasaran, penyelidikan, maupun
menetapkan harga. Dalam kondisi ketidak sempuranaan pasar, maka pemerintah dianjurkan untuk
mengadakan pengawasan terhadap harga yang beredar. Namun syarat dan ketentuan juga dijelaskan
oleh Ibn Taimiyah, bahwa dalam mengadakan pengawasan, penyelidikan, maupun penetapan harga,
harus dilakukan dengan musyawarah, dan seluruh oknum yang terkait harus menyepakati hasil
musyawarah tersebut.

Ibnu Taimiyah menganjurkan penjual berhak memperoleh keuntungan yang di-terima secara umum
(al-ribh al-ma’ruf) tanpa merusak kepentingannya dan kepen-tingan pelanggannya. Keuntungan
yang adil adalah keuntungan normal yang secara umum diperoleh dari berbagai macam model
perdagangan, tanpa saling merugikan. Ia tidak menyetujui tingkat dasar keuntungan yang tidaak
biasa, bersifat eksploitatif atau situasi di mana masyarakat tak mengambil peduli pada kondisi pasar
yang ada.18 Ia juga berpendapat bahwa seseorang yang mem-peroleh barang untuk menghasilkan
penda-patan dan memperdagangkannya, diboleh-kan melakukan itu tetapi dia tidak boleh menarik
ongkos dari orang yang membutuhkan untuk meraih keuntungan yang lebih tinggi ketimbang
kebiasaannya (al-ribh al-mu’tad) dan sebaiknya tidak meningkatkan harganya bagi orang yang
sangat membutuh-kan.

Dalam Islam, Allah pemilik yang sesungguhnya dan mutlak. Menurut Ibnu Taimiyah, penggunaan
hak milik dibolehkan sejauh tidak bertentangan dengan prinsipprinsip syariah. Ada tiga jenis hak
milik, sebagai berikut:

1. Hak milik individu:

Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya, menggunakannya secara produktif,
memindahkannya dan melindunginya dari pemubaziran. Ia tidak boleh menggunakannya secara
berlebihan untuk tujuan bermewah-mewahan.

2. Hak milik sosial atau kolektif:

Hak milik sosial memiliki bentuk yang bermacam-macam. Misalnya, sebuah objek bisa saja
dimiliki oleh dua orang atau lebih, organisasi atau asosiasi. Contoh penting dari kepemilikan
bersama adalah anugerah alam, seperti: air, rumput dan api yang juga disebutkan dalam hadis
Rasulullah SAW. “ manusia itu berserikat (dalam pemanfaatan tiga hal) yaitu: air, rumput dan api”.
(HR. Ahmad bin Hambal). Salah satu alasan dari keharusan pemilikan kolektif terhadap obyek-
obyek alam adalah semua itu diberikan oleh Allah secara gratis dan semua itu demi kepentingan
umum.

3. Hak milik Negara:

Negara membutuhkan hak milik utuh dalam memperoleh pendapatan, sumbersumber penghasilan
dan kekuasaan untuk melaksanakan kewajibannya, seperti untuk menyelenggarakan pendidikan,
regenerasi moral, memelihara keadilan, memelihara hukum dan secara umum melindungi seluruh
kepentingan material dan spiritual penduduk. Menurut Ibnu Taimiyah, sumber utama dari
pendapatan Negara adalah zakat dan harta rampasan perang (ghanimah). (Islahi, 1997: 138-144).

Ibnu Taimiyah mengidentifikasikan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap permintaan dan
konsekuensinya terhadap harga, yaitu: 1) keinginan penduduk atas jenis yang berbeda dan sesekali
berubah-rubah, 2) perubahannya tergantung pada jumlah para peminta, 3) meluasnya jumlah dan
ukuran dari kebutuhan baik kecil atau besar berpengaruh terhadap menguat atau melemahnya
tingkat kebutuhan atas barang, 4) harga berubah-rubah sesuai dengan siapa saja pertukaran barang
itu dilakukan, 5) harga dipengaruhi oleh bentuk alat pemba-yaran yang digunakan dalam jual beli,
6) di-sebabkan oleh tujuan dari kontrak adanya pemilikan oleh kedua belah pihak, 7) apli-kasi yang
sama berlaku bagi seseorang yang meminjam atau menyewa. Ibnu Taimiyah membedakan dua tipe
penetapan harga yaitu: 1) Tidak adil dan tidak sah adalah memaksa penduduk menjual barang-
barang dagangan tanpa dasar kewajiban untuk menjual, merupakan tindakan yang tidak adil dan
ketidakadilan itu dilarang; 2) Adil dan sah: saat pemerintah memaksa seseorang menjual barang-
barangnya pada harga yang jujur, jika pen-duduk sangat membutuhkannya.

Dalam menetapkan harga, tingkat tertinggi dan terendah bisa ditetapkan, sehingga kepen-tingan dua
pihak, penjual dan pembeli ter-lindungi. Ibnu Taimiyah tidak menyukai kebijakan penetapan harga
oleh pemerintah, jika kekuatan pasar yang kompetitif bekerja dengan baik dan bebas. Ia
merekomendasi-kan kebijakan penetapan harga, dalam kasus terjadi monopoli dan
ketidaksempurnaan mekanisme pasar.
Secara khusus Ibnu Taimiyah menye-butkan dua utama fingsi uang yaitu sebagai pengukur nilai
dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda. Ia menyata-kan. “Atsman (harga atau
yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang (mi’yar al-
amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang
tidak pernah dimaksud-kan untuk diri mereka sendiri.” Berdasarkan pandangannya tersebut, Ibnu
Taimiyah menentang keras segala bentuk perdagangan uang, karena hal ini berarti mengalih-kan
fungsi uang dari tujuan sebenarnya. Apabia uang dipertukarkan dengan uang yang lain, pertukaran
tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud) dan tanpa penundaan (hulul). Dengan cara ini,
seseorang dapat mempergunakan uang sebagai sarana untuk memperoleh berbagai kebutuhannya.
Ibnu Taimiyah menentang keras ter-jadinya penurunan nilai mata uang dan per-cetakan mata uang
yang sangat banyak. Ia menyatakan, Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain dari
emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa
menim-bulkan kezaliman terhadap mereka. Pernya-taan tersebut memperlihatkan Ibnu Taimiyah
memiliki beberapa pemikiran tentang hubu-ngan antara jumlahh mata uang, total volu-me transaksi
dan tingkat harga. Pernyataan-nya tentang volume fulus harus sesuai dengan proporsi jumlah
transaksi yang terjadi adalah untuk menjamin harga yang adil. Ia menganggap bahwa nilai intrinsik
mata uang, misalnya nilai logam, harus sesuai dengan daya beli di pasar sehingga tdak seorang pun,
termasuk penguasa, dapat mengambil untung dengan melebur uang tersebut dan menjual dalam
bentuk logam atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran
mata uang.

Pada pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyah menyebutkan akibat yang terjadi atas masuknya nilai mata
uang yang buruk bagi masyarakat yang sudah trlanjur memilikinya. Jika mata uang ter-sebut
kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai mata uang, berarti hanya diperlakukan sebagai
barang biasa yang tidak memiliki nilai yang sama dibanding dengan ketika berfungsi sebagai mata
uang. Disisi lain, seiring dengan kehadiran mata uang yang baru, masyarakat akan memper-oleh
harga yang lebih rendah untuk barang-barang mereka.

Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa: “Jika penguasa membatalkan peng-gunaan mata uang koin
tertentu dan men-cetak jenis mata uang lain untuk penduduk, itu akan merugikan orang-orang kaya
yang memiliki uang, karena jatuhnya nilai mata uang lama menjadi sekedar barang dagangan biasa.
Berarti pemerintah bertindak zalim kepada mereka dengan menghilangkan nilai tinggi sebenarnya
yang mereka miliki. Lebih dari itu, jika nilai intrinsik dari koin itu berbeda, itu bisa menjadi sumber
keun-tungan bagi seseorang untuk mengumpulkan mata uang koin yang lebih buruk dan
ditukarkannya dan kemudian membawanya ke negeri lain untuk ditukar lagi nilainya untuk dibawa
ke negerinya. Akibatnya, barang-barang milik penduduk akan menjadi hancur.

Menurut Ibnu Taimiyah negara ber-hak melakukan intervensi terhadap hak indi-vidual untuk
kepentingan manfaat yang lebih besar, seperti: 1) menghapuskan ke-miskinan, 2) pengawasan
mekanisme pasar, 3) mengontrol ekspansi mata uang dan mengawasi penurunan nilai mata uang,
dan 4) perencanaan ekonomi. Tujuan dari institusi Hisbah menurut Ibnu Taimiyah adalah untuk
memerintahkan apa yang sering disebut sebagai kebaikan (al-ma’ruf) dan mencegah apa yang
secara umum diketahui sebagai keburukan (al-munkar) di dalam wilayah yang menjadi kewenangan
pemerintah untuk mengaturnya, mengadili dalam wilayah urusan umum khusus lainnya, yang tak
bisa dijangkau oleh intitusi biasa.30

Seseorang yang diangkat untuk me-megang peran sebagai muhtasib haruslah memiliki integrasi
moral yang tinggi dan kompeten dalam masalah hukum, pasar dan urusan industrial. Melalui
hisbah, negara menggunakan lembaga itu untuk mengontrol kondisi sosio-ekonomi secara
komprehensif atas kegiatan perdagangan dan praktik-praktik ekonomi, seperti: mengawasi indus-tri,
jasa profesional, standarisasi produk, penimbunan barang, dan praktik riba. Selain itu, muhtasib
juga perlu mengawasi perilaku sosial penduduk, pelaksanaan kewajiban agama, dan kerja
pemerintahan. Sedangkan fungsi ekonominya terdiri dari: 1) memenuhi dan mencukupi kebutuhan,
2) pengawasan terhadap industri, 3) pengawasan atas jasa, 4) pengawasan atas perdagangan.

Pembahasan Ibnu Taimiyah tentang anggaran belanja lebih lengkap ketimbang tentang penerimaan.
Pembagiannya atas penerimaan publik menjadi tiga kategori, yaitu: ghonimah, sadaqah dan fa’i;
yang berkaitan pula dengan pembagian kategori serupa dalam pengeluaran publik. Ia mela-rang
pengelakan pajak dan menasehati para pedagang untuk bersikap adil dalam penge-naan dan
pengumpulan pajak meskipun itu atas pajak ilegal. Ia mengingatkan konse-kuensi dari pengenaan
pajak yang diskrimi-natif dan tak adil.

Sumber pendapatan yang paling pen-ting adalah zakat. Tetapi jumlah pokok kepentingan yang bisa
dibiayai dari dana zakat itu sangat terbatas. Penerimaan dari ghanimah adalah tak menentu, hanya
bisa diharapkan jika terjadi perang melawan orang-orang kafir. Sumber ketiga peneri-maan, yaitu
fa’I termasuk di dalamnya jizyah, pajak atas tanah dan berbagai jenis pajak lainnya, tidak bisa
digunakan untuk mencukupi seluruh kebutuhan pembiayaan untuk pertahanan keamanan dan
pengem-bangan sepanjang waktu.

Menurut Ibnu Taimiyah (Karim:2011), keabsahan

pemerintah dalam menetapkan kebijakan intervensi pasar dapat terjadi pada situasi dan

kondisi sebagai berikut:

1. Produsen tidak mau menjual produk-nya kecuali pada harga yang lebih tinggi daripada harga
umum pasar, padahal konsumen membutuhkan produk tersebut. Dalam hal ini pemerintah dapat
memaksa produsen untuk menjual barangnya dan menentukan harga yang adil.

2. Produsen menawarkan harga yang terlalu tinggi menurut konsumen, sedangkan konsumen
meminta harga yang terlalu rendah pada produsen. Dalam hal ini intervensi harus dilakukan dengan
musyawarah antara produsen dan konsumen yang difasilitasi pemerintah. Pemerintah harus
mendorong produsen dan konsumen untuk menetapkan harga yang berlaku.

3. Tenaga kerja yang menolak bekerja kecuali dengan harga yang lebih tinggi daripada harga pasar
yang berlaku. Padahal masyarakat membutuhkan tenaga kerja tersebut. Dalam kasus ini pemerintah
dapat menetapkan harga yang wajar, dan memaksa tenaga kerja untuk memberikan jasanya.

Dari penjelasan di atas bahwa Ibn Taimiyah memiliki persepsi yang jelas mengenai keadaan pasar,
bahwa di dalam pasar harus terjadi kejujuran, transparan, dan kebebasan dalam memilih. Jadi hal ini
sangat berhubungan dengan apresiasi dan evaluasi analisisnya berkaitan dengan pasar dan
mekanisme harga.

Pemikiran, D., & Syariah, B. (2015). STUDI PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG
EKONOMI ISLAM. 1, 49–58.

Penurunan, T., & Mata, N. (2016). EKONOMI AL-GHAZALI DAN IBNU TAIMIYAH.

Taimiyah, P. I. (2016). PEMIKIRAN TOKOH EKONOMI ISLAM : IBNU TAIMIYAH. 2, 23–34.


Pendahuluan, A. (2013). Pemikiran imam ghazali tentang ekonomi. III(2), 49–58.

Irawan, M. (2015). MEKANISME PASAR ISLAMI DALAM KONTEKS IDEALITA DAN


REALITA ( Studi Analisis Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah ). 1(1), 67–78.

Rahmawati, L. (2012). KONSEP EKONOMI AL-GHAZALI Lilik Rahmawati (Dosen Fakultas


Syariah IAIN Sunan Ampel). 02(01), 329–345.

Dedi, S. (n.d.). Ekonomi Dan Penguasa ( Pemikiran Ibn Taimiyah tentang Mekanisme Pasar ). 3(1).

Economic, I., & September, L. (2017). Al-Amwal : Journal of Islamic Economic Law September
2017, Vol. 2, No. 2 http://www.iainpalopo.ac.id/index.php/amwal. 2(2), 111–127.

Muafi, M., & Thohir, B. (2016). Moh. Muafi Bin Thohir. 8(2), 76–93.

Anda mungkin juga menyukai