Anda di halaman 1dari 3

Konsep Kemandirian (Sejahtera) Ekonomi dalam Pandangan Islam

Ekonomi Islam yang merupakan salah satu bagian dari Syariat Islam, tujuannya tentu
tidak lepas dari tujuan utama Syariat Islam. Tujuan utama Ekonomi Islam adalah merealisasikan
tujuan manusia untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik
dan terhormat (al-hayyah al-tayyibah) . Secara terperinci, tujuan Ekonomi Islam sejahtera
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kemandirian (sejahtera) ekonomi adalah tujuan ekonomi yang terpenting.
Kesejahteraan ini mencakup kesejahteraan individu, masyarakat dan negara.
2. Tercukupinya kebutuhan dasar manusia, meliputi makan, minum, pakaian, tempat
tinggal, kesehatan, pendidikan, keamanan serta sistem negara yang menjamin
terlaksananya kecukupan kebutuhan dasar secara adil dibidang ekonomi.
3. Pembangunan berdaya secara optimal, efisien, efektif, hemat dan tidak mubadzir
4. Distribusi harta, kekayaan, pendapatan dan hasil pembangunan secara adil dan
merata.
5. Menjamin kebebasan individu.
6. Kesamaan hak dan peluang
7. Kerjasama dan keadilan
Rasulullah sendiri dikenal luas sebagai seorang pekerja keras dan mandiri. Namanya
sudah dikenal sebagai saudagar sejak usia muda. Nabi Muhammad baru berusia 12 tahun ketika
pertama kali melakukan perjalanan dagang ke Suriah bersama pamannya Abu Thalib. Dari
berbagai perjalanan perdagangan yang dilakukan, Nabi berhasil membina dirinya sebagai
pedagang profesional, yang memiliki reputasi dan integritas luar biasa. Ia berhasil mengukir
namanya dikalangan kaum Quraisy pada umumnya dan masyarakat bisnis pada khususnya, jauh
sebelum beliau dipekerjakan oleh saudagar terpandang saat itu, Khadijah, yang kelak menjadi
istrinya. Rasulullah pada saat itu biasa disapa dengan sebutan Shiddiq (jujur) dan Amin
(terpercaya). Kemandirian yang diajarkan Rasulullah SAW tiada lain bertujuan untuk
membentuk pribadi-pribadi Muslim menjadi pribadi yang kreatif, mau berusaha dengan
maksimal, pantang menyerah dan pantang menjadi beban orang lain, mampu
mengembangkan diri dan gemar bersedekah dengan harta yang didapatkannya. Allah dan
Rasul-Nya menganjurkan umat Islam untuk bekerja dan beusaha. Apapun jenis pekerjaan itu
selama halal, maka tidaklah tercela. Para Nabi dan Rasul juga bekerja dan berusaha untuk
menghidupi diri dan keluarganya. Demikian ini merupakan kemuliaan, karena makan dari hasil
jerih payah sendiri adalah terhormat dan nikmat, sedangkan makan dari hasil jerih payah orang
lain merupakan kehidupan yang hina. Pengharapan hanya wajib ditujukan kepada Allah saja.
Allah-lah yang memberikan rezeki kepada seluruh makhluk. Rasulullah SAW juga
menganjurkan pada umatnya untuk berusaha mencari rizki, makan dari hasil tangan sendiri,
profesi dan keahlian merupakan kehormatan yang bisa menjaga seorang muslim dari mengambil
dan meminta-minta.
Kemandirian Ekonomi Hakikat Zuhud
Menurut Imam Al-Ghazali, Ekonomi Islam adalah Suatu konsep yang di sebut
sebagai”Fungsi kesejahteraan sosial Islam. Menurut al-Ghazali, kesejahteraan dari suatu
masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar, yakni agama,
harta, dan intelektual, atau akal. Ia menitik beratkan bahwa sesuai tuntunan wahyu, tujuan utama
kehidupan manusia adalah untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat. Al-Ghazali
mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam kerangka sebuah
hierarki utilitas individual dan social yang tripartite, yakni kebutuhan, kesenangan, kenyamanan,
kemewahan, keselamatan. Kunci pemeliharaan dari kelima tujuan dasar ini terletak pada
penyediaan tingkatan pertama, yaitu kebutuhan terhadap makanan, pakaian, dan perumahan.
Namun demikian , Al-Ghazali menyadari bahwa kebutuhan dasar cendrung fleksibel, mengikuti
waktu dan tempat, bahkan dapat mencangkup kebutuhan- kebutuhan sosiopsikologis.
Berdasarkan konsep yang yang dipaparkan oleh Imam Al-Ghazali, maka dapat jelaskan,
pengaruh Zuhud dalam pengelolaan ekonomi Islam antara lain: Etika Dagang,Kajian Riba, dan
Jual beli mata uang. Menurut Imam Al-Ghazali , Pasar harus berfungsi berdasarkan etika dan
moral para pelakunya. Secara khusus, Ia memperingatkan larangan untuk mengambil keuntungan
dengan cara menimbun makanan dan barang-barang kebutuhan dasar lainya. Penimbunan barang
merupakan kezaliman yang sangat besar. Al-Ghazali juga melarang iklan palsu, karna ini
merupakan salah satu kejahatan dalam berdagang, dan ini harus dilarang. Lebih jauh lagi, ia
memperingatkan para pedagang supaya tidak memberi informasi yang salah mengenai berat,
jumlah atau harga barang penjualannya, karana ini merupakan bentuk penipuan. Al-Ghazali,
berpendapat bahwa banyak orang mengatakan, larangan riba yang sering kali dipandang sama
dengan bunga adalah mutlak. Terlepas dari alasan “dosa.”Argument lainya yang menetang riba
adalah kemungkinan terjadinya eksploitasi ekonomi dan ketidak-adilan dalam transaksi. Al-
Ghazali mengatakan muncul nya riba terdiri dari dua bentuk, Jika waktu penyerahannya tidak
segera,dan ada permintaan untuk melebihkan jumlah komoditi, kelebihan itu disebut riba al -
nasi’ah (bunga yang timbul karna barang). Jika jumlah komoditas yang dipertukarkan tidak sama
tetapi petukaran secara simultan, kelebihan yang diberikan dalam pertukaran tersebut riba al-fadl
(bunga yang timbul karna kelebihan pembayaran). Menurut Al Ghazali salah satu penemuan
yang terpenting dalam prekonomian adalah uang, dan ini disebut dengan evolusi uang dan
sebagai fungsinya. beliau menjelaskan bagaimana uang mengatasi permasalahan yang timbul
dari suatu pertukaran barter. Ia juga membahas berbagai akibat negatif dari permalsuan dan
penurunan nilai mata uang.

Anda mungkin juga menyukai