Anda di halaman 1dari 98

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTIK
PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER
DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI
KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA
KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PERIODE 17 MARET – 28 MARET 2014

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

NURFADILAH JAMALUDDIN
1306434206

ANGKATAN LXXVIII

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
MARET 2014

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTIK
PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER
DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI
KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA
KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PERIODE 17 MARET – 28 MARET 2014

LAPORAN PRAKTIK
PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker

NURFADILAH JAMALUDDIN
1306434206

ANGKATAN LXXVII

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
MARET 2014

ii

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa
mencurahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan
Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia pada periode 17 Maret - 28 Maret 2014. Kegiatan PKPA bertujuan
untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa dan mengaplikasikan ilmu yang
telah diperoleh selama perkuliahan.
Laporan PKPA ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menempuh
ujian akhir Apoteker pada Fakultas Farmasi UI. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan laporan ini, yaitu kepada :
1. Bapak Dr. Mahdi Jufri, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia.
2. Bapak Dr. Hayun, M.Si., Apt., selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
3. Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D, selaku Direktur Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia pada umumnya.
4. Dra. R. Dettie Yuliati, M.Si., Apt., selaku Direktur Bina Produksi dan
Distribusi Kefarmasian.
5. Anwar Wahyudi, SE., S.Farm., Apt., MKM, selaku Kepala Subbagian Tata
Usaha.
6. Drs. Riza Sultoni, M.M., Apt., selaku Kepala Subdirektorat Produksi dan
Distribusi Narkotik, Psikotropik, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus
dan pembimbing I dalam penulisan tugas umum yang selalu memberi saran
dan mendukung penulis
7. Bapak Catur Jatmika, M.Si., Apt., selaku pembimbing II dalam penulisan
tugas umum yang selalu memberi saran dan mendukung penulis
8. Seluruh staf dan karyawan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia atas
segala keramahan, pengarahan, dan bantuan selama penulis melaksanakan

vi
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
9. PKPA.
10. Seluruh dosen pengajar dan tata usaha program Profesi Apoteker Fakultas
Farmasi Universitas Indonesia yang telah membantu kelancaran dalam
perkuliahan dan penyusunan laporan ini.
11. Keluarga tercinta atas semua dukungan, kasih sayang, perhatian, kesabaran,
dorongan, semangat, dan doa yang tak pernah putus mengiringi setiap
langkah perjalanan hidup penulis.
12. Seluruh teman-teman Apoteker angkatan 78 Universitas Indonesia atas
kebersamaan, kerjasama dan kesediaan berbagi suka dan duka, dukungan
dan semangat yang diberkan kepada penulis.
13. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
memberikan bantuan dan dukungannya kepada penulis
Penulis menyadari bahwa laporan PKPA ini jauh dari sempurna. Semoga
pengetahuan dan pengalaman yang penulis dapatkan selama kegiatan PKPA ini
dapat berguna dan bermanfaat bagi para pembaca.

Penulis

2014

vii
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
ABSTRAK

Nama : Nurfadilah Jamaluddin


Program Studi : Profesi Apoteker
Judul : Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina
Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, Periode 17 – 28 Maret 2014.

Program Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Produksi dan


Distribusi Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia bertujuan untuk
memahami peranan apoteker di pemerintahan terkait pembuatan kebijakan umum
dalam bidang kefarmasian. Tugas khusus yang diberikan membahas tentang
pedoman pembinaan industri farmasi yang akan memproduksi narkotika,
psikotropika maupun prekursor sebagai salah satu fungsi pengendalian yang
dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan obat.
Buku ini akan digunakan oleh apoteker sebagai referensi spesifik.

Kata kunci : Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian,


Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
Narkotik, Psikotropik, Prekursor
Tugas umum : xvi + 58 halaman, 4 gambar, 5 tabel, 8 lampiran
Referensi : 5 (2009-2014)
Tugas khusus : v + 19 halaman, 2 gambar
Referensi : 13 (1997-2013)

ix
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
ABSTRACT

Name : Nurfadilah Jamaluddin


Study Programe : Apotechary
Title : Pharmacist Internship Report at Production an Distribution of
Pharmaceutical Development Directory , General Directory of
Pharmaceutical Development and Medical Equipment,
Ministry of Health, Republic Indonesia on 17th – 28th March,
2014

Pharmacist Internship Program at Production and Distribution of Pharmaceutical


Development Directory , General Directory of Pharmaceutical Development and
Medical Equipment, Ministry of Health, Republic Indonesia aims to understand
the role of pharmacist in government for making general regulation in
pharmaceutical sector. Specific assignment explained about standard or general
reference for development pharmaceutical industries who will produce narcotic,
psychotrophic and precursor as a controlling function of government to prevent
drug abuse. The book will be used by pharmacist as a spesific reference.

Keywords : General Directory of Pharmaceutical Development and


Medical Equipment, Production and Distribution of
Pharmaceutical Development Directory, Narcotic,
Psychotrophic, Precursor.
General Assignment : xvi + 58 pages, 4 pictures, 5 tables, 8 attachments
References : 5 (2009-2014)
Specific Assignment : v + 19 pages, 2 pictures
References : 13 (1997-2013)

x
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...................................................................................... i


HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii
HALAMAN SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................ iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI......................viii
ABSTRAK ......................................................................................................... ix
ABSTRACT ....................................................................................................... x
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvi

BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................. 3

BAB 2. TINJAUAN UMUM ............................................................................... 4


2.1 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia ....................................... 4
2.1.1 Dasar Hukum ............................................................................. 4
2.1.2 Visi dan Misi ............................................................................. 4
2.1.3 Strategi ....................................................................................... 5
2.1.4 Nilai-Nilai .................................................................................. 5
2.1.5 Tujuan ........................................................................................ 6
2.1.6 Sasaran Strategis........................................................................ 6
2.1.7 Rencana Strategis ...................................................................... 8
2.1.8 Arah Kebijakan.......................................................................... 9
2.1.9 Struktur Organisasi .................................................................. 12
2.1.10 Kedudukan............................................................................. 13
2.1.11 Tugas ..................................................................................... 13
2.1.12 Fungsi .................................................................................... 13
2.1.14 Kewenangan .......................................................................... 13
2.2 Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan ............. 15
2.2.1 Kedudukan............................................................................... 15
2.2.2 Tugas dan Fungsi ..................................................................... 15
2.2.3 Tujuan ...................................................................................... 15
2.2.4 Sasaran dan Indikator .............................................................. 16
2.2.5 Kegiatan................................................................................... 16
2.2.6 Struktur Organisasi .................................................................. 16
2.2.6.1 Sekretariat Direktorat Jenderal .................................... 16
2.2.6.2 Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan

xi
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
Kesehatan ................................................................................................ 17
2.2.6.3 Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian ..................... 18
2.2.6.4 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat
Kesehatan .................................................................... 19
2.2.6.5 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi
Kefarmasian................................................................. 20

BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN


DISTRIBUSI KEFARMASIAN ........................................................... 22
3.1 Tugas Pokok dan Fungsi ................................................................... 22
3.2 Tujuan ................................................................................................ 22
3.3 Visi dan Misi ..................................................................................... 22
3.4 Sasaran............................................................................................... 23
3.5 Indikator ............................................................................................ 23
3.6 Arah Program Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian
............................................................................................................ 24
3.7 Strategi ............................................................................................... 24
3.8 Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi
Kefarmasian....................................................................................... 25
3.9 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional ... 25
3.9.1 Tugas dan Fungsi...................................................................... 25
3.9.2 Struktur Organisasi ................................................................... 26
3.10 Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan ........................... 26
3.10.1 Tugas dan Fungsi .................................................................... 26
3.10.2 Struktur Organisasi ................................................................. 27
3.11 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika,
Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus .......................................... 27
3.11.1 Tugas dan Fungsi .................................................................... 27
3.11.2 Struktur Organisasi ................................................................. 28
3.12 Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat ................ 29
3.12.1 Tugas dan Fungsi .................................................................... 29
3.12.2 Struktur Organisasi ................................................................. 30
3.13 Subbagian Tata Usaha ..................................................................... 30
3.13.1 Umum ..................................................................................... 30
3.13.2 Kepegawaian .......................................................................... 30
3.13.3 Kerumahtanggaan Direktorat ................................................. 31
3.14 Strategi Pelaksanaan ........................................................................ 31
3.14.1 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat
Tradisional .............................................................................. 31
3.14.2 Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan .................. 32
3.14.3 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika,
Prekursor Farmasi dan Sediaan Farmasi Khusus ................... 32
3.14.4 Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat ....... 32
3.15 Sumber Daya ................................................................................... 13
3.15.1 Sumber Daya Manusia ........................................................... 33

xii
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
3.15.2 Sarana dan Prasarana ................................................................... 34

BAB 4 PEMBAHASAN ..................................................................................... 35


4.1 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional ... 35
4.2 Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan ............................. 38
4.3Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika,
Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus ............................................ 41
4.4 Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat .................. 42

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 47


5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 47
5.2 Saran................................................................................................... 47

DAFTAR ACUAN............................................................................................... 48

LAMPIRAN ......................................................................................................... 49

xiii
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Rekapitulasi Perizinan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat


dan Obat Tradisional Tahun 2013 ................................................. 37
Gambar 4.2 Rekapitulasi Perizinan Subdirektorat Produksi Kosmetika dan
Makanan Tahun 2013 .................................................................... 40
Gambar 4.3 Proses Penyelesaian Perizinan Subdirektorat Produksi Kosmetik
dan Makanan Tahun 2013 ............................................................. 41
Gambar 4.4 Perbandingan pencapaian Indikator Jumlah Bahan Baku Obat dan
Obat Tradisional Produksi dalam Negeri ...................................... 46

xiv
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jumlah Pegawai Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian
............................................................................................................ 33
Tabel 4.1 Rekapitulasi Perizinan di Bidang Obat dan Obat Tradisional Tahun
2013 .................................................................................................... 36
Tabel 4.2 Izin Impor/Ekspor Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Tahun 2013
yang diterbitkan oleh Subdirektorat Produksi dan Distribusi
Narkotika, Psikotropika, Prekursor Farmasi dan Sediaan Farmasi
Khusus ................................................................................................ 42
Tabel 4.3 Target, Realisasi dan capaian Indikator Kinerja Jumlah Bahan Baku
Obat dan Obat Tradisional Produksi dalam Negeri Tahun 2013 ....... 44
Tabel 4.4 Perbandingan Capaian Indikator Kinerja Jumlah Bahan Baku Obat
dan Obat Tradisional Produksi dalam Negeri Tahun 2013 ................ 45

xv
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Struktur Organisasi Kementrian Kesehatan RI ........................ 50


Lampiran 2 Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan.......................................................................... 51
Lampiran 3 Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal ................. 52
Lampiran 4 Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan ................................................................................. 53
Lampiran 5 Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian .. 54
Lampiran 6 Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat
Kesehatan ................................................................................. 55
Lampiran 7 Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi
Kefarmasian .............................................................................. 56
Lampiran 8 Daftar Nama Bahan Baku Obat, Obat Tradisional Siap Produksi
dalam Negeri ............................................................................ 57

xvi
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Definisi kesehatan menurut UU No. 36 tahun 2009 adalah keadaan sehat,
baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan merupakan
faktor yang sangat penting dalam kehidupan, hal ini dikarenakan dengan tubuh
yang sehat setiap individu dapat menjalankan segala aktivitas kehidupannya
dengan baik dan berkualitas. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan
merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan
cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu pembangunan
kesehatan merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas
kesehatan rakyat Indonesia hal ini dikarenakan dengan meningkatnya derajat
kesehatan masyarakat, juga berarti investasi bagi pembangunan negara.
Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua
komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber
daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (Kementerian Kesehatan
RI, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan, pembangunan kesehatan dibangun dengan asas
perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap
hak, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintah bertanggung jawab dalam pembangunan kesehatan, yaitu
merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi
penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat
guna tercapinya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pemerintah juga
bertanggung jawab atas ketersediaan segala sumber daya yang dibutuhkan untuk
mendukung pembangunan kesehatan RI. Hal ini dikarenakan seluruh rakyat

1 Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


2

Indonesia berhak memiliki hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber
daya di bidang kesehatan dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau (Kementerian Kesehatan RI,2009).
Kesehatan merupakan hak yang fundamental, oleh karena itu untuk
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan terus berupaya agar pelayanan
kesehatan memiliki kualitas yang semakin baik. Salah satu upaya untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan adalah dengan pelayanan kefarmasian yang
profesional. Terwujudnya pelayanan kefarmasian yang mumpuni merupakan
tanggung jawab dari berbagai pihak, salah satunya adalah apoteker. Apoteker
selaku tenaga kesehatan yang bertanggung jawab atas pelayanan kefarmasian
dituntut untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan melalui
pembinaan pelayanan kefarmasian. Untuk menunjang hal tersebut, maka
pemerintah melalui Keputusan Menteri KesehatanNo. 1277/MENKES/SK/2001
membentuk Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan
(Ditjen Yanfar dan Alkes) yang selanjutnya berganti nama menjadi Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Ditjen Binfar danAlkes)
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1575/MENKES/PER/XI/2005.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dibagi
menjadi empat direktorat, salah satunya adalah Direktorat Bina Produksi dan
Distribusi Kefarmasian. Direktorat ini bertugas melaksanakan penyiapan,
perumusan, dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur,
dan kriteria serta bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi
kefarmasian.
Peran apoteker di pemerintahan berkaitan dalam penanganan sediaan
farmasi dan alat kesehatan, hal ini merupakan hal yang sangat penting, oleh
karena itu diperlukan adanya pembekalan bagi para calon apoteker mengenai
tugas dan fungsi apoteker dalam bidang kefarmasian yang bertujuan
memperkenalkan program pemerintah dalam meningkatkan peran apoteker di
masyarakat. Oleh karena itu, diselenggarakan Praktk Kerja Profesi Apoteker
(PKPA) di Kementerian Kesehatan, dengan harapan calon apoteker dapat

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
3

memperoleh gambaran nyata tentang peran apoteker di masyarakat secara umum


dan di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan secara khusus,
terutama di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian.

1.2 Tujuan
Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan bertujuan agar calon apoteker :
a. Mengetahui dan memahami tugas Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, khususnya di Direktorat Bina
Produksi dan Distribusi Kefarmasian.
b. Memahami peran dan fungsi profesi apoteker dalam melaksanakan
pekerjaan kefarmasian di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, khususnya di Direktorat Bina
Produksi dan Distribusi Kefarmasian.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
BAB 2
TINJAUAN UMUM

2.1 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia merupakan badan pelaksana
pemerintah di bidang kesehatan yang dipimpin oleh Menteri dan bertanggung
jawab langsung kepada Presiden (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2010).
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 nama Kementerian
Kesehatan digunakan untuk menggantikan nama sebelumnya yaitu Departemen
Kesehatan.
2.1.1 Dasar Hukum
Kementrian Kesehatan dibentuk berdasarkan dasar hukum, berikut adalah
dasar hukum yang dimiliki oleh kementrian kesehatan :
a. Perpres RI No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara.
b. Perpres RI No. 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi
Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I
Kementerian Negara.
c. Permenkes RI No. 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Kesehatan.
2.1.2 Visi dan Misi
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia memiliki sebuah Visi, yaitu
“Sehat Yang Mandiri ,dan Berkeadilan” (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2011). Oleh karena itu agar visi tersebut tercapai,Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia menetapkan beberapa misi, dimana misi tersebut
yaitu sebagai berikut:
a. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan
masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani.
b. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya
kesehatan yang paripurna, merata bermutu dan berkeadilan.
c. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan.

4 Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
5

d. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik.


2.1.3 Strategi
Untuk mewujudkan Visi dan Misi yang telah ditetapkan guna untuk
meningkatkan pembangunan kesehatan, maka Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia telah menyusun beberapa strategi. Adapun strategi tersebut adalah :
a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani
dalam pembangunan kesehatan melalui kerja sama nasional dan global.
b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan
berkeadilan, serta berbasis bukti; dengan pengutamaan pada upaya promotif
dan preventif.
c. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk
mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional.
d. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang
merata dan bermutu.
e. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat
kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan makanan.
f. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan berdayaguna
dan berhasilguna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang
bertanggungjawab.
2.1.4 Nilai-Nilai
Untuk mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan, Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia membuat beberapa strategi guna tercapainya visi
dan misi tersebut, akan tetapi strategi tersebut harus menganut dan menjunjung
tinggi nilai-nilai sebagai berikut berikut (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesis, 2011) :
a. Pro Rakyat
Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, Kementerian Kesehatan
selalu mendahulukan kepentingan rakyat dan haruslah menghasilkan yang
terbaik untuk rakyat. Diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya bagi setiap orang adalah salah satu hak asasi manusia tanpa
membedakan suku, golongan, agama, dan status sosial ekonomi.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
6

b. Inklusif
Semua program pembangunan kesehatan harus melibatkan semua pihak
karena pembangunan kesehatan tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh
Kementerian Kesehatan saja. Dengan demikian, seluruh komponen
masyarakat harus berpartisipasi aktif, yang meliputi lintas sektor, organisasi
profesi, organisasi masyarakat pengusaha, masyarakat madani dan
masyarakat akar rumput.
c. Responsif
Program kesehatan haruslah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan rakyat,
serta tanggap dalam mengatasi permasalahan di daerah, situasi kondisi
setempat, sosial budaya dan kondisi geografis. Faktor-faktor ini menjadi
dasar dalam mengatasi permasalahan kesehatan yang berbeda-beda,
sehingga diperlukan penanganan yang berbeda pula.
d. Efektif
Program kesehatan harus mencapai hasil yang signifikan sesuai target
yang telah ditetapkan dan bersifat efisien.
e. Bersih
Penyelenggaraan pembangunan kesehatan harus bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN), transparan, dan akuntabel.
2.1.5 Tujuan
Sebagai penjabaran dari Visi Kementrian Kesehatan, maka tujuan yang
akan dicapai adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan secara berhasil-
guna dan berdaya-guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya (Kementrian Kesehatan repuplik Indonesia, 2011)
Tujuan tersebut dicapai melalui pembinaan, pengembangan, dan
pelaksanaan, serta pemantapan fungsi-fungsi administrasi kesehatan yang
didukung oleh system informasi kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan, serta hukum kesehatan.
2.1.6 Sasaran Strategis
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
7

kesehatan diselenggarakan dengan berdasarkan pada


perikemanusiaan,pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, serta
pengutamaan dan manfaat dengan perhatian khusus pada penduduk rentan, antara
lain ibu, bayi, anak, lanjut usia (lansia), dan keluarga miskin. Oleh sebab itu
diperlukan sasaran-sasaran starategis guna meningkatkan pembangunan kesehatan
di Indonesia, berikut adalah sasaran strategis dalam pembangunan kesehatan
tahun 2010–2014, yaitu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesis, 2011):
a. Meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat, dengan:
1) Meningkatnya umur harapan hidup dari 70,7 tahun menjadi 72 tahun
2) Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 228 menjadi 118 per
100.000 kelahiran hidup
3) Menurunnya angka kematian bayi dari 34 menjadi 24 per 1.000
kelahiran hidup
4) Menurunnya angka kematian neonatal dari 19 menjadi 15 per 1.000
kealahiran hidup
5) Menurunnya prevalensi anak balita yang pendek (stunting) dari 36,8
persen menjadi kurang dari 32 persen
6) Persentase ibu bersalin yang ditolong oleh naskes terlatih (cakupan PN)
sebesar 90%
7) Persentase puskesmas rawat inap yang mampu melaksanakan
Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Dasar (PONED) sebesar 100%
8) Persentase Rumah Sakit Kabupaten Kota yang melaksanakan
Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komperhensif (PONEK)
sebesar 100%
9) Cakupan kunjungan neonatal lengkap (KN lengkap) sebesar 90%.
b. Menurunnya angka kesakitan akibat penyakit menular, dengan :
1) Menurunnya prevalensi Tuberculosis dari 235 menjadi 224 per 100.000
penduduk
2) Menurunnya kasus malaria (Annual Paracite Index-API dari 2 menjadi
1 per 1.000 penduduk
3) Terkendalinya prevalensi HIV pada populasi dewasa dari 0,2 menjadi
di bawah 0,5%

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
8

4) Meningkatnya cakupan imunisasi dasar lengkap bayi usia 0-11 bulan


dari 80% menjadi 90%
5) Persentase desa yang mencapai Universal Child Immunization (UCI)
dari 80% menjadi 100%
6) Angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) dari 55 menjadi 51
per 100.000 penduduk
c. Menurunnya disparasitas status kesehatan dan status gizi antar wilayah dan
antar tingkat sosial ekonomi serta gender, dengan menurunnya disparasitas
separuh dari tahun 2009.
d. Meningkatnya penyediaan anggaran publik untuk kesehatan dalam rangka
mengurangi resiko financial akibat gangguan kesehatan bagi seluruh
penduduk, terutama penduduk miskin.
e. Meningkatnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada tingkat rumah
tangga dari 50 persen menjadi 70 persen.
f. Terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan strategis di Daerah Tertinggal,
Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK).
g. Seluruh provinsi melaksanakan program pengendalian penyakit tidak
menular.
h. Seluruh Kabupaten/kota melaksanakan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
2.1.7 Rencana Strategis (Renstra)
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka sebagai salah satu pelaku
pembangunan kesehatan, Kementrian Kesehatan telah menyusun Rencana
Strategis (Renstra) Kementrian Kesehatan periode 2010-2014.
Renstra Kementrian Kesehatan merupakan dokumen perencanaan yang
bersifat indikatif dan memuat berbagai program pembangunan kesehatan yang
akan dilaksanakn langsung oleh Kementrian Kesehatan untuk kurun waktu 2010-
2014, dengan penekanan pada penetapan sasaran Prioritas Nasional, Standar
Pelayanan Minimal (SPM), dan Millenium Development Goals’s (MDG’S).
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
9

kesehatan dilaksanakan melalui beberapa upaya untuk peningkatan :


1. Upaya kesehatan
2. Pembinaan kesehatan
3. Sumber daya manusia kesehatan
4. Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan
5. Manajemen dan informasi kesehatan
6. Pemberdayaan masyarakat
Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang
Kesehatan (RPJPK) 2005-2025 dalam tahap ke-2 (2010-2014), kondisi
pembangunan kesehatan diharapkan telah mampu mewujudkan kesejahteraan
masyarakat yang ditunjukkan dengan membaiknya berbagai indikator
pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), seperti meningkatnya derajat
kesehatan dan status gizi masyarakat, meningkatnya kesetaraan gender,
meningkatnya tumbuh kembang optimal, kesejahteraan dan perlindungan anak,
terkendalinya jumlah dn laju pertumbuhan penduduk, serta menurunnya
kesenjangan antar individu, antar kelompok masyarakat, dan antar daerah.
2.1.8 Arah Kebijakan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesis, 2011)
Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan bidang
sosial budaya dan kehidupan beragama yang diarahkan untuk mencapai sasaran
peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang ditandai dengan meningkatnya
IPM dan Indeks Pembangunan Gender (IPG), yang didukung oleh tercapainya
penduduk tumbuh seimbang, serta semakin kuatnya jati diri dan karakter bangsa.
Sesuai visi misi Presiden, kebijakan pembangunan kesehatan periode 5
tahun ke depan (2010-2014) diarahkan pada tersedianya akses kesehatan dasar
yang murah dan terjangkau terutama pada kelompok menengah ke bawah guna
mendukung pencapainya MDG’s pada tahun 2015.
Tema Prioritas Pembangunan Kesehatan pada tahun 2010-2014 adalah
“Peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan” melalui :
1. Program Kesehatan Masyarakat
2. Program Keluarga Berencana (KB)
3. Sarana Kesehatan
4. Obat

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
10

5. Asuransi Kesehatan Nasional


Prioritas Pembangunan Kesehatan pada tahun 2010-2014 difokuskan pada
delapan fokus prioritas, yaitu :
1. Peningkatan kesehatan ibu, bayi, balita, dan Keluarga Berencana (KB)
2. Perbaikan status gizi masyarakat
3. Pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular diikuti
penyehatan lingkungan
4. Pemenuhan, pengembangan, dan pemberdayaan SDM kesehatan
5. Peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, keamanan, mutu,
dan penggunaaan obat serta pengawasan obat dan makanan
6. Pengembangan sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
7. Pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan bencana dan krisis
kesehatan
8. Peningkatan pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier

Arah kebijakan dan strategi Kementerian Kesehatan didasarkan pada arah


kebijakan dan strategi nasional sebagaimana tercantum di dalam Rencana
Pembangunan jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 dengan
memperhatikan permasalahan kesehatan yang telah diindentifikasi melalui hasil
review pelaksanaan pembangunan kesehatan sebelumnya.
Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan periode tahun 2010-2014.
Perencanaan program dan kegiatan secara keseluruhan telah dicantumkan di
dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan. Namun untuk menjamin
terlaksanannya berbagai upaya kesehatan yang dianggap prioritas dan mempunyai
daya ungkit besar di dalam pencapaian hasil pembangunan kesehatan, dilakukan
upaya yang bersifat reformatif dan akseleratif.
Upaya tersebut meliputi pengembangan Jaminan Kesehatan Masyarakat,
peningkatan pelayanan kesehatan di DTPK, ketersediaan, keterjangkauan obat di
seluruh fasilitas kesehatan, saintifikasi jamu, pelaksanaan reformasi birokrasi,
pemenuhan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), Penanganan Daerah
Bermasalah Kesehatan (PDBK), pengembangan pelayanan untuk Rumah Sakit
Indonesia Kelas Dunia (World Class Hospital). Langkah-langkah pelaksanaan
upaya reformasi tersebut disusun di dalam dokumen tersendiri, dan menjadi

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
11

dokumen yang tidak terpisahkan dengan dokumen Rencana Strategis Kementerian


Kesehatan 2010-2014 ini.
Upaya kesehatan tersebut juga ditujukan untuk peningkatan akses dan
kualitas pelayanan kesehatan yang dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan
status kesehatan dan gizi masyarakat antar wilayah, gender, dan antar tingkat
sosial ekonomi, melalui: pemihakan kebijakan yang lebih membantu kelompok
miskin dan daerah yang tertinggal, pengalokasikan sumber daya yang lebih
memihak kepada kelompok miskin dan daerah yang tertinggal, pengembangan
instrument untuk memonitor kesenjangan antar wilayah dan antar tingkat sosial
ekonomi, dan peningkatan advokasi dan capacity building bagi daerah yang
tertinggal.
Selain itu, untuk dapat meningkatkan akses dan kualitas pelayanan
kesehatan, kedelapan fokus prioritas pembangunan nasional bidang kesehatan
didukung oleh peningkatan kualitas manajemen dan pembiayaan kesehatan,
sistem informasi dan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, melalui:
a. Peningkatan kualitas perencanaan, penganggaran dan pengawasan
pembangunan kesehatan
b. Pengembangan perencanaan pembangunan kesehatan berbasis wilayah
c. Penguatan peraturan perundangan pembangunan kesehatan
d. Penataan dan pengembangan sistem informasi kesehatan untuk menjamin
ketersediaan data dan informasi kesehatan melalui pengaturan sistem
informasi yang komprehensif dan pengembangan jejaring
e. Pengembangan penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan dalam bidang kedokteran, kesehatan masyarakat, rancang bangun
alat kesehatan dan penyediaan bahan baku obat
f. Peningkatan penapisan teknologi kesehatan dari dalam dan luar negeri yang
cost effective
g. Peningkatan pembiayaan kesehatan untuk kegiatan preventif dan promotif;
h. Peningkatan pembiayaan kesehatan dalam rangka pencapaian sasaran luaran
dan sasaran hasil
i. Peningkatan pembiayaan kesehatan di daerah untuk mencapai indikator SPM
j. Penguatan advokasi untuk peningkatan pembiayaan kesehatan

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
12

k. Pengembangan kemitraan dengan penyedia pelayanan masyarakat dan swasta


l. Peningkatan efisiensi penggunaan anggaran
m. Peningkatan biaya opersional Puskesmas dalam rangka peningkatan kegiatan
preventif dan promotif dengan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK).
2.1.9 Struktur Organisasi
Struktur organisasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1144/
MENKES/PER/VIII/2010 pasal 4 menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia terdiri atas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2010a) :
a. Sekretariat Jenderal.
b. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan.
c. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
d. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.
e. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
f. Inspektorat Jenderal.
g. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
h. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
i. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi.
j. Staf Ahli Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat.
k. Staf Ahli Bidang Perlindungan Faktor Risiko Kesehatan.
l. Staf Ahli Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi.
m. Staf Ahli Bidang Mediko Legal.
n. Pusat Data dan Informasi.
o. Pusat Kerja Sama Luar Negeri.
p. Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan.
q. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan.
r. Pusat Komunikasi Publik.
s. Pusat Promosi Kesehatan.
t. Pusat Inteligensia Kesehatan.
u. Pusat Kesehatan Haji.
Struktur organisasi Kementerian Kesehatan dapat dilihat pada lampiran 1.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
13

2.1.10 Kedudukan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1144/MENKES/PER/VIII/2010 pasal 1, kedudukan dari Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia adalah (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2010a) :
1. Kementrian Kesehatan berada di bawah dan beranggung jawab kepada
Presiden.
2. Kementrian Kesehatan dipimpin oleh Menteri Kesehatan.
2.1.11 Tugas
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1144/MENKES/PER/VIII/2010 pasal 2, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam
pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan
Negara (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010a).
2.1.12 Fungsi
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1144/MENKES/PER/VIII/2010 pasal 3 Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2010a) :
a. Perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan.
b. Pengelolaan barang milik atau kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawab Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
d. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di daerah.
e. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.
2.1.13 Kewenangan
Dalam menyelenggarakan fungsinya, Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia mempunyai kewenangan, berikut adalah kewenangan Kementrian
Kesehatan RI :
a. Penetapan kebijakan nasional di bidang kesehatan untuk mendukung

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
14

pembangunan secara makro


b. Penetapan pedoman untuk menetukan standar pelayanan minimal yang wajib
dilaksanakan oleh kabupaten/Kota di bidang Kesehatan
c. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang kesehatan
d. Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga
profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidang kesehatan
e. Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang
meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi di
bidang kesehatan
f. Pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan
atas nama Negara di bidang kesehatan
g. Penetapan standar pemberian izin oleh daerah di bidang kesehatan
h. Penanggulangan wabah dan bencana yang berskala nasional di bidang
kesehatan
i. Penetapan kebijakan sistem informasi nasional di bidang kesehatan
j. Penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidang kesehatan
k. Penyelesaian perselisihan antar Propinsi di bidang kesehatan
l. Penetapan kebijakan pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka
kematian ibu, bayi, dan anak
m. Penetapan kebijakan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
n. Penetapan pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan
o. Penetapan pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan
p. Penetapan pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi
kesehatan dan standar etika penelitian kesehatan
q. Penetapan standar nilai gizi dan pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan
gizi
r. Penetapan standar akreditasi sarana dan prasarana kesehatan
s. Surveilans epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan
penanggulangan wabah, penyakit menular dan kejadian luar biasa
t. Penyediaan obat esensial tertentu dan obat untuk pelayanan kesehatan dasar
sangat esensial (buffer stock nasional)
u. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
15

yang berlaku yaitu :


1) Penempatan dan pemindahan tenaga kesehatan tertentu
2) Pemberian izin dan pembinaan produksi dan distribusi alat kesehatan

2.2. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan


2.2.1 Kedudukan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesis, 2010)
Direktorat Jenderal adalah unsur pelaksana yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri. Direktorat Jenderal dipimpin oleh Direktur
Jenderal.
2.2.2 Tugas dan Fungsi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesis, 2010)
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai
tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di
bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
Dalam melaksanakan tugasnya, Direkorat Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
a. Perumusan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
b. Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pembinaan
kefarmasian dan alat kesehatan.
d. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan kefarmasian
dan alat kesehatan.
e. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan.
2.2.3 Tujuan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
a. Terjaminnya ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat dan
perbekalan kesehatan bagi pelayanan kesehatan;
b. Terlindunginya masyarakat dari penggunaan obat dan perbekalan kesehatan
yang tidak memenuhi standar mutu, keamanan, dan kerasionalan; dan
c. Meningkatnya mutu pelayanan farmasi komunitas dan farmasi rumah sakit
dalam kerangka pelayanan kesehatan komprehensif yang didukung oleh
tenaga farmasi yang profesional.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
16

2.2.4 Sasaran dan Indikator ( Ditjen Binfar dan Alkes,2013)


Sasaran hasil program kefarmasian dan alat kesehatan adalah
meningkatnya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan
terjangkau oleh masyarakat. Indikator tercapainya sasaran hasil pada tahun 2014
adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%..
2.2.5 Kegiatan (Ditjen Binfar dan Alkes,2013)
Untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan , maka diperlukan dilakukan
upaya kegiatan untuk mencapai sasaran tersebut. kegiatan yang akan dilakukan
meliputi:
a. Peningkatan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan;
b. Peningkatan produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan
rumah tangga;
c. Peningkatan pelayanan kefarmasian; dan
d. Peningkatan produksi dan distribusi kefarmasian.
2.2.6 Struktur Organisasi
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dipimpin oleh
Direktur Jenderal yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kesehatan.
Struktur Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dapat dilihat
pada Lampiran 2. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
terdiri dari (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) :
a. Sekretariat Direktorat Jenderal.
b. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.
c. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian.
d. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan.
e. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian
2.2.6.1 Sekretariat Direktorat Jenderal
Sekretariat Direktorat Jenderal mempunyai tugas melaksanakan
pelayanan teknis administrasi kepada semua unsur di lingkungan Direktorat
Jenderal Kesehatan . Struktur Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan dapat dilihat pada Lampiran 3.
Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretariat Direktorat Jenderal
menyelenggarakan fungsi, berikut adalah fungsinya ((Kementerian Kesehatan

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
17

Republik Indonesia, 2010) :


a. Koordinasi dan penyusunan rencana, program, dan anggaran.
b. Pengelolaan data dan informasi.
c. Penyiapan urusan hukum, penataan organisasi, jabatan fungsional, dan
hubungan masyarakat.
d. Pengelolaan urusan keuangan.
e. Pelaksanaan urusan kepegawaian, tata persuratan, kearsipan, gaji, rumah
tangga, dan perlengkapan.
f. Evaluasi dan penyusunan laporan.
Sekretariat Direktorat Jendral terdiri atas (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2010):
1) Bagian Program dan Informasi.
2) Bagian Hukum, Organisasi, dan Hubungan Masyarakat.
3) Bagian Keuangan.
4) Bagian Kepegawaian dan Umum.
5) Kelompok Jabatan Fungsional.
2.2.6.2 Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas
melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan
norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan
evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan. Dalam melaksanakan
tugasnya, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
menyelenggarakan fungsi, yaitu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2010):
a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga
obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta
pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan.
b. Pelaksanaan kegiatan di bidang analisis dan standardisasi harga obat,
penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta
pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan.
c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang
analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
18

dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat


publik dan perbekalan kesehatan.
d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang analisis dan standardisasi
harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan
kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan
perbekalan kesehatan; dan evaluasi program obat publik dan perbekalan
kesehatan.
e. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis
dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan
perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik
dan perbekalan kesehatan.
f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.

Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai


struktur organisasi yang terdiri dari (Lampiran 4):
a. Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat.
b. Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.
c. Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.
d. Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan.
e. Subbagian Tata Usaha.
f. Kelompok Jabatan Fungsional.
2.2.6.3 Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian
Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas
melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, serta
penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan
teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. Dalam melaksanakan
tugasnya, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian menyelenggarakan fungsi,
yaitu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010):
a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi
komunitas,farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional.
b. Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi
klinik, dan penggunaan obat rasional.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
19

c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang


standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat
rasional.
d. Pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas,
farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional.
e. Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di
bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat
rasional.
f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.
Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai struktur organisasi
yang terdiri atas (Lampiran 5):
1) Subdirektorat Standarisasi
2) Subdirektorat Farmasi Komunitas
3) Subdirektorat Farmasi Klinik
4) Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional
5) Subbagian Tata Usaha
6) Kelompok Jabatan Fungsional
2.2.6.4 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan
Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyai
tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan,
penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan
teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi alat kesehatan dan
perbekalan kesehatan rumah tangga. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 588, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat
Kesehatan menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010):
a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi
dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga.
b. Pelaksanaan kegiatan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan
sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga.
c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penilaian,
inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan
rumah tangga.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
20

d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang penilaian, inspeksi,


standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah
tangga.
e. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang penilaian,
inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan
rumah tangga.
f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.

Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyai


Struktur organisasi Direktorat Bina Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan
terdiri atas (Lampiran 6):
1) Subdirektorat Penilaian Alat Kesehatan.
2) Subdirektorat Penilaian Produk Diagnostik Invitro dan Perbekalan Kesehatan
Rumah Tangga.
3) Subdirektorat Inspeksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah
Tangga.
4) Subdirektorat Standarisasi dan Sertifikasi.
5) Subbagian Tata Usaha.
6) Kelompok Jabatan Fungsional.
2.2.6.5 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian
Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tugas
melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan
norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan
evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. Dalam melaksanakan
tugasnya, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian
menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010):
a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi
kefarmasian.
b. Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang
produksi dan distribusi kefarmasian.
d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian dan analisis di
bidang produksi dan distribusi kefarmasian.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
21

e. Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di


bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
f. Pelaksanaan perizinan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.

Struktur organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi kefarmasian


terdiri atas (Lampiran 7):
1) Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional.
2) Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan.
3) Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan
Sediaan Farmasi Khusus.
4) Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat.
5) Subbagian Tata Usaha.
6) Kelompok Jabatan Fungsional.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
BAB 3
TINJAUAN KHUSUS
DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN

3.1 Tugas Pokok dan Fungsi


Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempuyai tugas
melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan,
penyusunannorma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian bimbingan
teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian (Kementerian
Kesehatan RI, 2010).
Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menyelenggarakan
fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010):
a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi
kefarmasian.
b. Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dibidang
produksi dan distribusi kefarmasian.
d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian dan analisis
dibidang produksi dan distribusi kefarmasian.
e. Pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di
bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
f. Pelaksanaan perizinan dibidang produksi dan distribusi kefarmasian.
g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat.

3.2 Tujuan (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013)


Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tujuan
yaitu : “industri Farmasi dan Makanan Yang Memenuhi Syarat dan Mampu
Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri Serta Bersaing di Era Globalisasi.”

3.3 Visi dan Misi (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013)


Agar tujuan yang telah ditetapkan oleh direktorat Bina Produksi dan
Distribusi Kefarmasian dapat tercapai, aktivitas operasional Direktorat Bina

22
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
23

Produksi dan Distribusi Kefarmasian beradasarkan Visi dan Misi sebagai berikut :
1. Visi
Industri farmasi dan Makanan yang mampu memenuhi kebutuhan dalam
negeri dan bersaing di era globalisasi.
2. Misi
a. Menyusun dan mengembangkan standar dan persyaratan di bidang
produksi dan distribusi kefarmasian dan makanan.
b. Melaksanakan pelayanan publik yang prima dalam bidang produksi dan
distribusi kefarmasian dan makanan.
c. Membentuk aliansi strategis dalam bidang obat, obat tradisonal, sediaan
farmasi khusus, kosmetik dan makanan.
d. Melaksanakan pembinaan sarana produksi dan distribusi farmasi dan
makanan.

3.4 Sasaran
Guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka, Direktorat Bina
Produksi dan Distribusi Kefarmasian telah menetapkan beberapa sasaran, berikut
adalah sasarannya : (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013)
a. Menciptakan iklim industri yang kondusif melalui penyusunan regulsi,
standar dan pedoman yang dapat mengakomodir pengembangan di bidang
farmasi dan makanan.
b. Melaksanakan pelayanan publik yang prima dalam bidang produksi dan
dsitribusi kefarmasian dan makanan
c. Melaksanakan pembinaan sarana produksi dan distribusi farmasi dan
makanan
d. Menciptakan kemandirian di bidang kefarmasian

3.5 Indikator
Kegiatan Peningkatan produksi dan Distribusi Kefarmasian memiliki
luaran sebagai berikut :
a. Meningkatnya produks bahan baku dan obat lokal serta mutu sarana produksi
dan distribusi kefarmasian

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
24

b. Meningkatnya kualitas produksi dan distribusi kefarmasian


c. Meningkatnya produksi bahan baku obat dan obat tradisional produksi dalam
negeri.

3.6 Arah program Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian


Arah program Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian
dilaksanakan melalui 10 program, meliputi (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian,
2013) :
a. Menyusun norma, standar, persyaratan serta regulasi di bidang produksi dan
distribusi kefarmasian dan makanan;
b. Mengupayakan kemandirian di bidang obat, bahan baku obat dan obat
tradisional Indonesia melalui pemanfaatan keanekaragaman hayati;
c. Meningkatkan pelaksanaan pelayanan prima didalam perijinan di bidang obat,
narkotika, psikotropika, prekursor dan obat tradisional dan sediaan farmasi
khusus, dan kosmetika;
d. Membentuk aliansi strategis dalam rangka meningkatkan kemandirian obat,
obat tradisional, kosmetika dan makanan;
e. Menintegrasikan obat tradisional dalam pelayanan kesehatan formal;
f. Meningkatkan daya saing industri farmasi dan makanan;
g. Meningkatkan keamanan, khasiat dan mutu sediaan farmasi dan makanan
yang beredar serta melindungi masyarakat dari penggunaan yang salah
danpenyalahgunaan sediaan farmasi dan makanan;
h. Melaksanakan pembinaan terhadap sarana dan prasarana kefarmasiaan dan
makanan;
i. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia dalam bidang produksi dan
distribusi kefarmasian dan makanan;
j. Monitoring dan evaluasi program Direktorat Produksi dan Distribusi
Kefarmasian

3.7 Strategi (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013)


Strategi dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran Direkorat Bina
Produksi dan Distribusi Kefarmasian dengan cara sebagai berikut :

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
25

a. Menyusun regulasi, standar dan pedoman yang dapat mengakomodir


pengembangan di bidang farmasi dan makanan.
b. Membentuk aliansi strategis dan mengintegrasikan sumber daya.
c. Melaksanakan koordinasi dan pembinaan yang terpadu.
d. Meningkatkan kapasitas SDM yang kompeten dan profesional.

3.8 Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi


Kefarmasian
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya Direktorat Bina Produksi dan
Distribusi Kefarmasian memiliki Struktur Organisasi sebagai berikut
(Kementerian Kesehatan RI, 2010):
a. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional.
b. Sudirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan.
c. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan
Sediaan Farmasi Khusus.
d. Subdirekorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat.
e. Subbagian Tata Usaha.
f. Kelompok Jabatan Fungsional.

3.9 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional


(Kementerian Kesehatan RI, 2010)
3.9.1 Tugas dan Fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010)
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional
mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan,
bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan
di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Produksi
dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional menyelenggarakan fungsi:
a. Penyiapan bahan perumusan dan pelak sanaan kebijakan di bidang produksi
dan distribusi obat dan obat tradisional.
b. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK)

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
26

di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.


c. Pelaksanaan pemberian izin sarana produksi dan distribusi obat dan obat
tradisional.
d. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang produksi dan
distribusi obat dan obat tradisional.
e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang
produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.
3.9.2 Struktur Organisasi (Kementerian Kesehatan RI, 2010)
Struktur Organisai Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat
Tradisional terdiri atas :
a. Seksi Standardisasi Produksi dan Distribusi
Seksi Standardisasi Produksi dan Distribusi mempunyai tugas melakukan
penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma,
standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi obat dan obat
tradisional.
b. Seksi Perizinan Sarana Produksi dan Distribusi
Seksi Perizinan Sarana Produksi dan Distribusi mempunyai tugas melakukan
penyiapan bahan pelaksanaan perizinan, bimbingan teknis, pengendalian,
pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang sarana produksi dan
distribusi obat dan obat tradisional.

Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional


menangani penerbitan usaha industri farmasi, pedagang besar farmasi, pedagang
besar bahan baku farmasi, industri obat tradisional dan penyusunan standar dan
pedoman di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.

3.10 Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan (Kementerian


Kesehatan RI, 2010)
3.10.1 Tugas dan Fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010)
Subdirektorat Poduksi Kosmetika dan Makanan mempunyai tugas
melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan,
penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis,
pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan dibidang produksi

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
27

kosmetika dan makanan.


Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Produksi
Kosmetika dan Makanan menyelenggarakan fungsi:
a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang produksi
kosmetika dan makanan.
b. Penyiapan bahan penyusunan norma standar, prosedur, dan kriteria di bidang
kosmetika dan makanan.
c. Pelaksanaan pemberian izin sarana produksi kosmetika.
d. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang produksi
kosmetika dan makanan.
e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang
produksi kosmetika dan makanan.
3.10.2 Struktur Organisasi (Kementerian Kesehatan RI, 2010)
Struktur Organisasi Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan
terdiri atas:
a. Seksi Standarisasi Produksi Kosmetika dan Makanan
Standarisasi Produksi Kosmetika dan Makanan mempunyai tugas melakukan
penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma,
standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi kosmetika dan makanan.
b. Seksi Perizinan Sarana Produksi Kosmetika
Seksi Perizinan Sarana Produksi Kosmetika mempunyai tugas melakukan
penyiapan bahan pelaksanaan perizinan, bimbingan teknis, pengendalian,
pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan dibidang sarana produksi
kosmetika.

Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan menangani penerbitan


izin usaha di bidang produksi kosmetika dan makanan dan penyusunan standar
dan pedoman di bidang produksi ksometika dan makanan.

3.11 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika,


Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus
3.11.1 Tugas dan Fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010)
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor,

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
28

dan Sediaan Farmasi Khusus mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan


perumusan dan pelaksanan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan
kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan
penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika,
prekursor, dan sediaan farmasi khusus.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Produksi
dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus
menyelenggarakan fungsi:
a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi
narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan.
b. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan
pedoman di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika prekursor,
dan sediaan farmasi khusus dan makanan.
c. Pelaksanaan perizinan produksi dan distribusi narkotika, psikotropika,
prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan.
d. Penyiapan bahan bimbingan dan pengendalian di bidang produksi dan
distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan
makanan.
e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan
perizinan produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan
sediaan farmasi khusus dan makanan.
3.11.2 Struktur Organisasi (Kementerian Kesehatan RI, 2010)
Struktur Organisasi Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika,
Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus terdiri dari atas:
a. Seksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
Seksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi mempunyai tugas
melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan
penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, serta bimbingan
teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan
distribusi narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi.
b. Seksi Sediaan Farmasi Khusus
Seksi Sediaan Farmasi Khusus mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
29

perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar,


prosedur, dan kriteria, perizinan, serta bimbingan teknis, pemantauan,
evaluasi dan penyusunan laporan di bidang sediaan farmasi khusus dan
makanan.

Subdirekorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekusor


dan Sediaan Farmasi Khusus sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, maka
dalam hal ini Subdirektorat tersebut menangani/menerbitkan izin import/eksport
prekusor, psikotropika.

3.12 Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat (Kementerian


Kesehatan RI, 2010)
3.12.1 Tugas dan Fungsi
Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat mempunyai tugas
melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan
penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta bimbingan teknis,
pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang kemandirian obat dan
bahan baku obat.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat
Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat menyelengarakan fungsi:
a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang
kemandirian obat dan bahan baku obat.
b. Penyiapan bahan penyusunan norma standar, prosedur, dan kriteria di bidang
kemandirian obat dan bahan baku obat.
c. Penyiapan bahan koordinasi serta pelakasanaan kerjasama lintas program
dan lintas sektor di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat.
d. Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang kemandirian obat dan bahan
baku obat.
e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan dibidang
kemandirian obat dan bahan baku obat.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
30

3.12.2 Struktur Organisasi (Kementerian Kesehatan RI, 2010)


Struktur Organisasi Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku
Obat terdiri atas:
a. Seleksi Analisis Obat dan Bahan Baku Obat
Seleksi Analisis Obat dan Bahan Baku Obat mempunyai tugas melakukan
penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan
norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta bimbingan teknis, pemantauan,
evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang kemandirian obat dan bahan baku
obat.
b. Seksi Kerjasama
Seksi Kerjasama mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan koordinasi,
pelaksanaan kerjasama lintas program dan lintas sektor, pengendalian serta
evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kerjasama di bidang
kemandirian obat dan bahan baku obat.

3.13 Subbagian Tata Usaha (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013)


Subbagian Tata Usaha mempunyai tugas untuk melaksanakan urusan tata
usaha dan rumah tangga Direktorat sebagai berikut :
3.13.1 Umum
a. Pencatatan surat menyurat (surat masuk dan surat keluar) dengan sistem
arsiparis.
b. Distribusi surat masuk dan surat keluar ke subdit maupun eksternal Direktorat
c. Pengetikan (komputerisasi) surat terutama untuk keperluan pimpinan
d. Penyusunan daftar kepustakaan Direktorat
e. Kearsipan dengan pola atau sistem arsiparis.
3.13.2 Kepegawaian
Tugas Subbagian Tata Usaha Kepegawaian adalah membuat data dan
informasi kepegawaian. Data dan informasi tersebut antara lain:
a. Daftar nama-nama pejabat berdasarkan nomor urut kepangkatan berikut nama
jabatan, eselon dan golongan.
b. Daftar seluruh pegawai berdasarkan nomor urut kepangkatan dan nama
jabatan serta alamat.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
31

c. Informasi tentang kenaikan pangkat maupun memasuki masa pensiun.


d. Menyusun dan menyimpan berkas-berkas data KP4 (Surat Keterangan Untuk
Mendapat Tunjangan Keluarga) maupun daftar riwayat hidup seluruh
pegawai.
e. Menyusun dan menyimpan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan)
seluruh pegawai berdasarkan urutan tahun penilaian.
f. Menyusun dan menyimpan berkas-berkas yang berkaitan dengan pegawai
untuk seluruh pegawai.
g. Mengurus data kenaikan pangkat pegawai yang mau naik pangkat.
h. Membantu pengurusan pembuatan SIMKA (Sistem Informasi Kepegawaian).
3.13.3 Kerumahtanggaan Direktorat
Tugas Subbagian Tata Usaha kerumahtangaan adalah sebagai berikut :
a. Melakukan inventarisasi barang-barang inventaris milik negara.
b. Melakukan pendataan yang berkaitan dengan pemeliharaan barang-barang
inventaris dan bekerjasama dengan bagian umum dan kepegawaian Setditjen
(Sekertaris Direktorat Jenderal) Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
c. Melakukan pendataan barang-barang inventaris yang akan diusulkan
penghapusannya secara administratif yang selanjutnya diteruskan ke Bagian
Umum dan Kepegawaian Setditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
d. Menyiapkan bahan-bahan untuk keperluan rapat atau tamu-tamu Direktur.
e. Menata dan mengatur ruang penyimpanan berkas/barang inventaris di
Gudang Direktorat.

3.14 Strategi Pelaksanaan (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013)


Strategi yang dilaksanakan oleh masing –masing Subdirektorat untuk
mencapai target indikator adalah sebagai berikut :
3.14.1 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional
a. Aliansi strategis dalam kemandirian di bidang obat tradisional
b. Penyusunan NSPK di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional
c. Pembinaan kepada sarana di bidang produksi dan distribusi obat dan obat
tradisional
d. Penguatan kapasitas SDM pusat, provinsi, dan kabupaten/kota di bidang

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
32

pembinaan obat dan obat tradisional


e. Membangun jejaring kerja dengan pemangku kepentingan nasional di bidang
produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.
3.14.2 Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan
a. Aliansi strategi di bidang produksi kosmetik dan makanan
b. Penyusunan NSPK di bidang produksi kosmetik dan makanan
c. Pembinaan kepada produsen kosmetik dan makanan
d. Penguatan kapasitas SDM pusat, provinsi, kabupaten/kota di bidang
pembinaan produksi makanan
e. Membangun jejaring kerja dengan pemangku kepentingan nasional di bidang
produksi kosmetik dan makanan.
3.14.3 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor
dan Sediaan Farmasi Khusus
a. Membangun jejaring kerjasama dengan stake holder terkait melalui aliansi
strategi di bidang produksi narkotika, psikotropika, prekursor dan sediaan
farmasi khusus
b. Penyusunan NSPK di bidang produksi narkotik, psilotropik, prekursor dan
sediaan farmasi khusus
c. Pembinaan terhadap industri farmasi dan PBF yang melakukan produksi dan
distribusi narkotika, psikotropika, prekursor dan sediaan farmasi khusus
d. Penguatan kapasitas SDM pusat, provinsi, kabupaten/kota di bidang
pembinaan produksi dan distibusi narkotika, psikotropika, prekursor dan
sediaan farmasi khusus dan pelaporan Narkotika dan Psikotropika.
3.14.4 Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat
a. Pendirian kelompok kerja kemandirian bahan baku obat. Kelompok kerja
kemandirian bahan baku obat beranggotakan lintas kemandirian dan stake
holder terkait lain dengan kementrian kesehatan sebagai koordinator
b. Kerjasama dan fasilitas penelitian dengan lembaga penelitian (BPPT dan
LIPI) di bidang pengembangan bahan baku obat
c. Pembentukan jejaring kerja dengan berbagai stake holder diantaranya
institusi penelitian, kalangan indutri dan asosiasi pengusaha

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
33

3.15 Sumber Daya (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2014)


3.15.1 Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia yang bertugas di Direktorat Bina Produksi dan
Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
sampai akhir tahun 2013 berjumlah 47 orang yang terdiri dari 34 PNS dan 13 Non
PNS.
Berdasarkan jabatan, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian
terdiri dari 14 orang dengan jabatan struktural dan 20 orang dengan jabatan
fungsional umum/staf. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Jumlah pegawai di lingkungan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi
Kefarmasian Tahun 2013
No Jabatan Jumlah
Menurut Jabatan
1 Jabatan Struktural 14 orang
Jabatan Fungsional Umum/Staf 20 orang
Menurut Golongan
Golongan II 4 orang
2
Golongan III 23 orang
Golongan IV 7 orang
Menurut Pendidikan
S2 24 orang
S1 4 orang
3
D3 2 orang
SLTA 2 orang
SLTP 1 orang
Menurut Jenis Kelamin
4 Pria 9 orang
Wanita 25 orang
Menurut Kelompok Usia
5 < 30 tahun 9 orang
31 – 40 tahun 12 orang

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
34

41 – 50 tahun 5 orang
51 – 58 tahun 8 orang
Total SDM 34

3.15.2 Sarana dan Prasarana (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013)


Sarana dan prasarana yang tersedia di Direktorat Bina Produksi dan
Distribusi Kefarmasian sesuai dengan Laporan Barang Milik Negara (BMN) pada
Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menggunakan data yang
berasal dari Sistem Manajemen Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK BMN).

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
BAB 4
PEMBAHASAN

Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian merupakan suatu


Direktorat yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan yang terdiri dari 4
subdirektorat yaitu Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat
Tradisional, Subdirektorat Produksi Kosmetika Dan Makanan, Subdirektorat
Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi
Khusus Dan Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat.

4.1 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional


Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional
mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan,
bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di
bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan
Obat Tradisional menyelenggarakan fungsi:
a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi
dan distribusi obat dan obat tradisional.
b. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK)
di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.
c. Pelaksanaan pemberian izin sarana produksi dan distribusi obat dan obat
tradisional.
d. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang produksi dan
distribusi obat dan obat tradisional.
e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang
produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.

Berdasarkan pengamatan selama PKPA di Subdirektorat Produksi dan


Distribusi Obat dan Obat Tradisional, subdirektorat telah melaksanakan tugas dan
fungsinya dengan baik. Kerja nyata yang telah dilaksanakan oleh Subdirektorat
Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional antara lain:

35
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
36

a. Pemetaan industri farmasi, industri obat tradisional, Industri Ekstrak Bahan


Alam, Pedagang Besar Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat.
b. Perizinan industri farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan
Alam, Pedagang Besar Farmasi Dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat.
c. Penyusunan Farmakope Indonesia
d. Penyusunan Kurikulum Modul Pembinaan di bidang Obat dan Obat
Tradisional
e. Penyusunan Pedoman Pembinaan IOT dan IEBA.
f. Penyusunan Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan di Bidang Obat dan
Obat Tradisional
g. Sosialisasi perizinan dalam mewujudkan pelayanan perizinan terhadap
Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam,
Pedagang Besar Farmasi Dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat.

Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional telah


mengeluarkan izin terhadap Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri
Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi
Bahan Obat telah mengeluarkan izin sebanyak 577 selama tahun 2013 yang
terbagi dalam 7 jenis. Rekapitulasi perizinan Subdirektorat Produksi dan
Distribusi Obat dan Obat Tradisional yang telah diterbitkan pada tahun 2013
dapat dilihat pada tabel 4.1 dan gambar 4.1

Tabel 4.1 Daftar Perizinan Bidang Obat dan Obat Tradisional Tahun 2013

No. Jenis Kategori Izin yang Dikeluarkan

1. Izin IF 90
2. Persetujuan Prinsip IF 6
3. Izin IOT 15
4. Persetujuan Prinsip IOT 1
5. Izin IEBA 2
6. Izin PBF 420
7. Izin PBF Bahan Obat 43

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
37

REKAPITULASI PERIZINAN SUBDIREKTORAT


PRODUKSI DAN DISTRIBUSI OBAT DAN OBAT
TRADISIONAL TAHUN 2013
500
400
JUMLAH IZIN

300
200
100
0
IF Prinsip IF IOT Prinsip IOT IEBA PBF PBFBO
JENIS IZIN

Gambar 4.1 Rekapitulasi Perizinan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat


dan Obat Tradisional Tahun 2013

Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional


melakukan sosialisasi perizinan Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional,
Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi Obat dan Pedagang Besar
Farmasi Bahan Obat secara berkesinambungan. Sosialisasi yang telah dilakukan
dalam bentuk :
1. Aliansi strategis di bidang obat dan obat tradisional,
2. Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Obat Tradisional melalui media cetak
3. Pendampingan tenaga kesehatan Provinsi terhadap perizinan dalam rangka
pelayanan prima
4. Pembekalan terhadap sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional
5. Pendampingan bagi KUMKM bidang obat tradisional
6. Pembekalan tenaga kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota dalam rangka
pembinaan industri dan usaha obat tradisional
Sosialisasi ini terus dilakukan dalam rangka meningkatkan kemampuan dan
pemahaman industri farmasi, industri obat tradisional, Pedagang Besar Farmasi
(PBF) dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat (PBFBO) agar mampu memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
38

Menurut pengamatan yang dilakukan selama Praktik Kerja Profesi


Apoteker mengenai proses pengajuan perizinan Industri Farmasi, Industri Obat
Tradisional, Pedagang Besar Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat
yang dilakukan di loket 1 Unit Layanan Terpadu, masih banyak berkas perizinan
yang belum lengkap sehingga pemohon harus datang berulang-kali. Perizinan
yang ditangani Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian ini merupakan
suatu perizinan yang kompleks dan melibatkan juga instansi lainnya seperti Dinas
Kesehatan Propinsi, Badan Pengawas Obat dan Makanan dan BKPM.
Rekomendasi dari instansi lain tersebut merupakan salah satu persyaratan dari
permohonan perizinan, sehingga tertundanya pengeluaran surat rekomendasi
menyebabkan proses perizinan menjadi lebih lama.
Selain itu, dari sekian banyak kegiatan pelayanan perizinan sarana
produksi dan distribusi yang ditangani oleh Direktorat Bina Produksi dan
Distribusi Kefarmasian, baru perizinan ekspor/impor narkotika saja yang
menerapkan sistem online registration. Perizinan lainnya masih dilakukan
pemeriksaan secara manual saja, namun akan diarahkan menjadi pelayanan online
ke depannya. Dengan adanya sistem online registration ini, diharapkan proses
akan lebih cepat dan efisien.

4.2 Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan


Subdirektorat produksi kosmetika dan makanan bertanggung jawab dalam
mengatur regulasi produksi kosmetik dan makanan yaitu penyiapan bahan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan
kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan
penyusunan laporan di bidang produksi kosmetika dan makanan, serta
bertanggung jawab dalam pembinaan terhadap industri kosmetik dan makanan
untuk dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan Pemenkes RI No. 1175/Menkes/Per/VIII/2010 tentang izin
produksi kosmetika, diatur mengenai tata cara perizinan produksi kosmetika.
Syarat yang harus dipenuhi dalam memperoleh izin produksi kosmetika adalah
industri kosmetika harus menerapkan Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik
(CPKB) dalam produksinya. CPKB bertujuan untuk menjamin agar produk yang
dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan sesuai dengan

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
39

tujuan penggunaannya. Izin produksi diberikan sesuai bentuk dan jenis kosmetik
yang akan dibuat. Izin produksi dibedakan atas dua golongan sebagai berikut,
industri kosmetik golongan A yaitu izin produksi yang dapat membuat semua
bentuk dan jenis sediaan kosmetik dan wajib menerapkan seluruh aspek CPKB.
Pada industri kosmetik golongan B yaitu izin produksi untuk industri kosmetik
yang dapat membuat bentuk dan jenis sediaan kosmetik tertentu dengan
menggunakan teknologi sederhana, namun harus mampu menerapkan hygiene
sanitasi dan dokumentasi sesuai dengan CPKB. Hal ini bertujuan untuk menjamin
mutu, keamanan dan kemanfaatan kosmetika yang beredar di masyarakat.
Di Indonesia peraturan kosmetik disesuaikan dengan harmonisasi ASEAN
tahun 1998. Penerapkan harmonisasi ASEAN di Indonesia pada tahun 2011 dalam
bentuk notifikasi kosmetika. Tujuan perubahan alur registrasi menjadi notifikasi
ialah agar masyarakat dilindungi dari peredaran dan penggunaan kosmetika yang
tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, klaim manfaat produk serta
mempermudah perolehan izin edar kosmetik. Notifikasi kosmetik, menetapkan
aturan mengenai tata cara untuk memperoleh notifikasi dari suatu produk
kosmetik sebelum diedarkan kemasyarakat yang diatur dalam Permenkes RI No.
1175Menkes/Per/VIII/2010 dan di bawah kewenangan Badan Pengawasan Obat
dan Makanan (BPOM).
Penerapan sistem online dalam melakukan notifikasi mempermudah
industri kosmetik dalam mendaftarkan produknya melalui website
http://notifkos.pom.go.id/bpom-notifikasi/. Notifikasi memiliki kelemahan, yaitu
konsumen sulit untuk mengetahui apakah produk yang beredar tersebut telah
ternotifikasi atau belum ternotifikasi. Hal ini disebabkan karena dalam notifikasi
tidak wajib mencantumkan nomor notifikasi di dalam kemasan produk kosmetik.
Pada subdit ini juga dilakukan standarisasi kosmetik yang beredar dengan
menyusun Formularium Kosmetik Indonesia.
Pada pengaturan produksi makanan, kegiatan yang dilakukan antara lain
melakukan regulasi, pembinaan, pengawasan terhadap industri makanan yang ada
di Indonesia. Pada subdit ini, dilakukan penetapan standar terhadap bahan
tambahan dalam pangan yang diatur dalam Permenkes RI No. 033 tahun 2012
tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP), serta pembinaan terhadap Industri

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
40

Rumah Tangga (IRT). Diharapkan produk yang sampai ke konsumen memenuhi


syarat mutu dan keamanan.
Subdirektorat produksi kosmetik dan makanan melaksanakan perizinan di
bidang produksi kosmetik sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Selama
tahun 2013, Subdirektorat Produksi dan Distribusi Kosmetika dan Makanan telah
memberikan izin di bidang Kosmetika dan melakukan pembinaan pada Industri
Rumah Tangga yang memproduksi makanan. Pada tahun 2013, jumlah izin
produksi kosmetika yang masuk adalah sebanyak 106 buah, ditambah dengan
jumlah izin yang masuk di tahun sebelumnya sehingga jumlah yang diterbitkan
adalah sebanyak 118 buah izin, dengan rincian 113 izin (95,76%) diselesaikan
tepat waktu dan izin (4,24%) tidak tepat waktu. Dinyatakan tepat waktu apabila
waktu penyelesaian izin kurang dari 14 hari kerja, yang sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 1175/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Izin Produksi
Kosmetika. Rekapitulasi
Rekapitulasi perizinan Subdirektorat Produksi Kosmetik dan
Makanan yang telah diterbitkan pada tahun 2013 dapat dilihat pada Grafik dan
Diagram di bawah ini.

REKAPITULASI PERIZINAN SUB DIREKTORAT


PRODUKSI KOSMETIK DAN MAKANAN TAHUN 2013

83
JUMLAH IZIN

100
80
60 16
40 4 3
20
0

JENIS IZIN

Gambar 4.2 Rekapitulasi Perizinan Sub Direktorat Produksi Kosmetik dan


Makanan Tahun 2013

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
41

4%

≤ 14 HK (Sesuai
Permenkes 1175)
≥ 14 HK (Tidak Sesuai
Permenkes 1175)

96%

Gambar 4.3. Proses Penyelesaian Perizinan Sub Direktorat Produksi


Kosmetik dan Makanan Tahun 2013.

4.3 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika dan


Sediaan Farmasi Khusus
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor
dan Sediaan Farmasi Khusus merupakan subbagian dari Direktorat Bina Produksi
dan Distribusi Kefarmasian yang khusus menangani hal-hal yang terkait perizinan
di bidang impor/ekspor narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi seperti
Surat Persetujuan Impor (SPI), Surat Persetujuan Ekspor (SPE), Importir
Produsen (IP), Importir Terdaftar (IT), Eksportir Produsen (EP) dan Eksportir
Terdaftar (ET). Selain menangani perizinan narkotika, Subdirektorat ini juga
khusus melalui jalur SAS (Special Access
menangani pengadaan sediaan farmasi khusus
Scheme) untuk sediaan farmasi yang belum memiliki izin edar di Indonesia.
Pemberian izin sebagai IP narkotika, psikotropika maupun prekursor
farmasi serta Surat Persetujuan impor/ekspor narkotika, psikotropika dan
prekursor farmasi dapat diberikan atas persetujuan Menteri Kesehatan. Dalam hal
impor/ekspor narkotika, PT Kimia Farma ditunjuk sebagai Industri tunggal yang
memiliki izin sebagai IP (Importir Produsen) dan PBF tunggal sebagai IT
(Importir Terdaftar) narkotika
narkotika di mana impor/ekspor psikotropika dan prekursor
farmasi dapat dilakukan oleh industri farmasi maupun PBF lainnya.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
42

Narkotika dan Psikotropika memerlukan penanganan khusus terkait


produksi dan distribusinya mulai dari pengadaan bahan baku hingga dalam bentuk
produk jadi yang siap diedarkan. Selain narkotika dan psikotropika, dikenal istilah
prekursor atau bahan kimia yang dengan reaksi sederhana dapat diubah menjadi
narkotika dengan penambahan senyawa lain. Prekursor farmasi juga memiliki
tingkat resiko penyalahgunaan yang tinggi sehingga memerlukan pengawasan
khusus seperti Narkotika dan Psikotropika.
Sediaan Farmasi Khusus merupakan sediaan yang sangat dibutuhkan
untuk kepentingan pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia tetapi belum
memiliki izin edar di Indonesia yang dapat diperoleh dari sumbangan negara lain.
Obat tersebut digunakan untuk pengobatan penyakit langka atau menyangkut
keselamatan jiwa manusia seperti obat untuk penyakit Hemofilia. Kurangnya nilai
komersial dari sediaan farmasi khusus menyebabkan tidak ada importir atau
produsen yang bersedia menangani registrasi dan izin edarnya. Pengadaan
sediaan farmasi khusus ini melalui jalur khusus yang dikenal dengan istilah SAS
(Special Access Scheme).
Berdasarkan Laporan Tahunan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi
Kefarmasian Tahun 2013, Rekapitulasi perizinan Subdirektorat Produksi dan
Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus yang
telah diterbitkan dapat dilihat pada grafik di bawah ini :

Tabel 4.2. Izin Impor/Ekspor Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi


Tahun 2013 yang diterbitkan Subdirektorat Produksi dan Distribusi
Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus.

No Jumlah
SPI SPE IP EP IT
1. Narkotika 63 1 1 0 0
2. Psikotropika 175 149 22 0 0
3. Prekursor 245 76 41 0 0

4.4 Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku


Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat melaksanakan
tugasnya yang bertujuan menjadikan negara Indonesia dapat mandiri dalam hal

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
43

pengadaan obat dan bahan baku obat karena hampir 96% kebutuhan produk obat
tersebut tergantung pada bahan baku obat (BBO) impor. Ada beberapa faktor
yang menghambat kemandirian obat dan bahan baku obat dalam negeri
diantaranya bahan baku hasil penelitian tidak sesuai kebutuhan bahan baku obat di
industri dan tingginya pajak yang dikenakan untuk komponen pembuatan bahan
baku obat. Hal ini mengakibatkan harga bahan baku hasil produksi dalam negeri
menjadi lebih tinggi daripada harga bahan baku impor.
Kemandirian yang dimaksud adalah industri farmasi mudah mendapatkan
bahan baku obat hasil produksi dalam negeri sehingga tidak terpengaruh dengan
kondisi pasar global. Keadaan ini akan menjaga kestabilan harga obat dalam
negeri. Untuk mencapai tujuan kemandirian obat dan dan ketersediaan bahan baku
obat, pemerintah melakukan beberapa hal, dimulai dengan pengalokasian dana
riset bekerjasama dengan lembaga terkait dan industri farmasi, menstimulasi
berdirinya industri bahan baku obat, dan mengupayakan kerjasama distribusi
bahan baku obat produksi dalam negeri ke pasar internasional.
Definisi operasional dari bahan baku obat dan obat tradisional yang
diproduksi di dalam negeri yaitu : “bahan awal penyusun sediaan farmasi (obat
dan obat tradisional) dapat berupa bahan berkhasiat maupun bahan tambahan yang
merupakan hasil penerapan teknologi maupun bahan alam yang siap diproduksi”.
Untuk memenuhi bahan baku obat dalam negeri, pemerintah menyusun
roadmap pengembangan bahan baku. Dengan roadmap ini diharapkan terjalin
kerjasama antara instansi/lembaga terkait dengan industri farmasi. Dalam
roadmap tersebut telah ditetapkan strategi yaitu mengembangkan kebijakan yang
berpihak pada pengembangan bahan baku obat; meningkatkan sinergitas
Academic Business Goverment (ABG); menguatkan riset di bidang bahan baku
obat yang berorientasi pada kebutuhan; meningkatkan kemampuan iptek; dan
meningkatkan produksi bahan kimia sederhana, pemanfaatan sumber daya alam,
dan bioteknologi. Untuk pengembangan bahan baku obat yang lebih efektif, saat
ini telah dibentuk POKJANAS pengembangan bahan baku yang terdiri dari
beberapa lembaga, yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian,
Kementerian Perdagangan, Badan POM, Kemenkokesra, BPPT, LIPI, universitas,
dan industri farmasi.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
44

Pada tahun 2013, jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di
dalam negeri yang tersedia mencapai 39 jenis dari target yang telah ditetapkan,
seperti yang tertera pada tabel 4.4

Tabel 4.3. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Kinerja Jumlah Bahan Baku
Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri Tahun 2013

INDIKATOR TARGET REALISASI CAPAIAN


KINERJA 2013 2013 (%)
Jumlah bahan baku obat 35 39 111,43
dan obat tradisional
produksi di dalam negeri

Upaya yang dilakukan adalah dengan pendirian kelompok kerja


kemandirian bahan baku obat beranggotakan lintas kementrian dan stakeholder
terkait lainnya dengan Kementrian Kesehatan sebagai koordinator. Pencapaian
kemandirian obat dan bahan baku obat juga terutama dilakukan melalui kerjasama
dan fasilitasi penelitian dengan lembaga penelitian (BPPT, LIPI dan Perguruan
Tinggi) di bidang pengembangan bahan baku obat serta pembentuk jejaring
dengan berbagai stakeholder diantaranya institusi penelitian, kalangan industri
dan asosiasi pengusaha.
Optimalisasi koordinasi dengan pihak terkait dilakukan melalui perluasan
jaringan kerja sama dengan universitas negeri yang memiliki basis riset dan
bermitra dengan industri farmasi dan atau industri obat tradisional. Pada tahun
2012 kerja sama ini baru dilakukan dengan Kementrian Riset dan Teknologi dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pada tahun 2013 dilakukan
optimalisasi dengan kementrian terkait yaitu Kementrian Keuangan, Kementrian
Perindustrian, Kementrian Perdagangan, Kementrian Negara Ristek, dan
Kementrian Perekonomian.
Juga telah dilakukan perbaikan skema kerja pengembahan bahan baku
dan bahan baku obat tradisional yang tidak hanya berorientasi pada produk, tetapi
juga pada proses produksi lebih lanjut. Hal ini diperkuat dengan adanya Peta Jalan
Pengembangan Bahan Baku dan Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat
Tradisional di Indonesia.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
45

Untuk mencapai kemandirian di bidang obat tradisional, Direktorat Bina


Produksi dan Distribusi Kefarmasian telah melaksanakan pembangunan berupa:
a. Fasilitasi peralatan untuk Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat
(P4TO) diempat tempat yaitu Kabupaten Kaur (Bengkulu), Kabupaten Bangli
(Bali), Kabupaten sukoharjo (Jawa Tengah) dan Kabupaten Tegal (Jawa
Tengah).
b. Fasilitasi peralatan untuk Pusat Ekstrak Daerah (PED) di Kota Pekalongan
(Jawa Tengah).
c. Fasilitasi peralatan Laboratorium Mikrobiologi untuk tiga daerah penerima
P4TO tahun 2012, yaitu Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sumatera
Utara dan Kota Pekalongan.

Tiga puluh sembilan jenis bahan baku obat dan obat tradisional yang telah
siap diproduksi di dalam negeri (kumulatif 2011-2013) dapat terlihat pada
Lampiran 8.
Kinerja pemerintah untuk meningkatkan jumlah bahan baku obat dan obat
tradisional produksi di dalam negri guna meningkatkan kemandirian bahan baku
terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Persentase peningkatannya dapat
dilihat pada tabel 4.5 dan gambar 4.4.

Tabel 4.4. Perbandingan capaian indikator kinerja jumlah bahan baku obat dan
obat tradisional produksi di dalam negeri tahun 2011 - 2013

INDIKATOR Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013


KINERJA T R C T R C T R C
Jumlah 15 4 26,67 % 25 15 60,00 % 35 39 111,43
bahan %
baku obat
dan obat
tradisional
produksi
di dalam
negeri
Ket : T = Target
R = Realisasi
C = Capaian

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
46

Perbandingan Capaian Indikator Jumlah Bahan Bahan


Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam
Negeri
Jumlah BBO dan BBOT 50

40

30

20 Target
10 Realisasi

0
2010 2011 2012 2013 2014
Tahun

Gambar 4.4. Perbandingan Capaian Indikator Jumlah Bahan Bahan Baku


Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri

Jika bahan baku obat berhasil diproduksi secara mandiri di dalam negeri,
maka pemerintah akan turut serta membantu dalam hal pemasaran bahan baku
dengan menjalin kerja sama internasional untuk memperluas pasar bahan baku
obat di luar negeri. Hal tersebut dilakukan jika hasil produksi dari industri bahan
baku obat lokal telah memenuhi standar internasional. Dengan adanya pemasaran
bahan baku obat ke luar negeri, diharapkan industri bahan baku obat akan
mendapatkan profit yang lebih besar.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang telah
dilaksanakan di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian,
Kementerian Kesehatan dapat disimpulkan bahwa :
1. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian memiliki tugas
melaksanakan penyimpanan, perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan
penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta bimbingan teknis
dan evaluasi dibidang Produksi dan Distribusi Kefarmasian.
2. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian merupakan tempat
bagi apoteker untuk menjalankan fungsi profesinya berkaitan dengan
pembuatan regulasi, pembinaan, serta mengawasi produsen dan distributor
di bidang farmasi, kosmetika, dan makanan yang bertujuan untuk
memastikan bahwa produk yang beredar di pasaran memenuhi persyaratan
serta terjamin mutu dan keamanannya.

5.2 Saran
1. Meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) setiap pegawai
agar lebih baik lagi dalam pembinaan petugas pusat dan daerah, industri
farmas, industri obat tradisional, pedagang besar farmasi, dan pedagang
bahan baku obat.
2. Menjalin kerja sama di bidang akademik dengan beberapa perguruan tinggi,
pihak negeri maupun swasta berkaitan dengan pendidikan dan peningkatan
kemandirian bahan baku obat, obat tradisional, kosmetika, dan makanan.
3. Memperbaiki program Aplikasi sistem Pelaporan Narkotika dan
Psikotropika (SIP-NAP).
4. Melakukan pengembangan sistem e-registration terhadap semua perizinan
yang ditangani oleh Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian
sehingga dapat mempermudah proses pengajuan, penelusuran tahapan
proses, dan percepatan proses sesuai janji hari kerja.

47
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
DAFTAR ACUAN

Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian RI. (2013). Laporan


Tahunan Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta.
Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI. (2014). Laporan
Tahunan 2013 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian.
Jakarta.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/Menkes/Per/VIII/2010, tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 021/MENKES/SK/1/2011 tentang
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI.
Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia No. 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta.

48
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
LAMPIRAN

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


50

Lampiran I. Struktur Organisasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


51

Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat


Kesehatan

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


52

Lampiran 3. Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


53

Lampiran 4. Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perrbekalan


Kesehatan

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


54

Lampiran 5. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


55

Lampiran 6. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat


Kesehatan

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


56

Lampiran 7. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


57

Lampiran 8. Daftar Nama Bahan Baku Obat dan Bahan Baku Obat Tradisional
Siap Produksi dalam Negeri

Nama Tahun
1. Fraksi bioaktif kayu manis (Cinamomum burmani) 2011
2. Fraksi bioaktif bungur (Lagerstroemia speciosa)
3. Fraksi bioaktif mahkota dewa (Phaleria macrocara)
4. Fraksi protein bioaktif cacing tanah (Lumbricus Rubellus)
5. Ekstrak herba sambiloto ( Andrographis paniculata) 2012
6. Ekstrak herba sambiloto terfraksinasi
7. Ekstrak pegagan (Centella asiatica)
8. Ekstrak pegagan terfraksinasi
9. Ekstrak herba meniran (Phylanthus niruri)
10. Ekstrak herba meniran tefraksinasi
11. Ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza)
12. Ekstrak rimapng jahe (Zingiber officinale)
13. Ekstrak Rimpang Kencur (Kaemferia galanga)
14. Difruktosa anhidra III
15. Pati ter-pragelatinasi 2013
16. Ekstrak terstandar legundi (Vitex trifolia Linn.)
17. Ekstrak terstandar palisa (Kleinhovia hospita Linn.)
18. Ekstrak rumput laut (Eucheuma cottoni)
19. Karaginan rumput laut
20. Ekstrak terstandar pugun lano (Curanga fel-terrae)
21. Ekstrak terstandar daun jati belanda (Guazuma ulmifolia)
22. Ekstrak terstandar herba sidaguri (Sida rhombifolia)
23. Ekstrak terstandar daun sirsak (Annona muricata L.)
24. Ekstrak terstandar biji buah kedaung (Parkia timoriana)
25. Ekstrak tersandar daun salam (Syzygium polyanthum)
26. Tetrasiklin
27. Albumin
28. Ekstrak terstandar pegagan (Centella asiatica L.)
29. Fraksi triterpen Pegagan
30. Isolat pegagan (asiatikosida)

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


58

31. Isolat pegagan (asam madekasat)


32. Isolat pegagan (asam asiatat)
33. Ekstrak terstandar Ganoderma lucidum
34. 2-metoksi-isobutilisonitril (MIBI)
35. Amilum jagung pulut ter-pragelatinasi-hidrolisis enzimatik
fosforilasi
36. Ekstrak terstandar kulit buah manggis (Garcinia
mangostana L.)
37. Ekstrak terstandar herba tapaak dara (Catharanthus
roseus)
38. Ekstrak terstandar umbi bawang putih (Allium sativum L.)
39. Ekstrak terstandar Biji mahoni (Swietenia mahagoni L.)
Jacq.

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER


DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI
KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA
KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PERIODE 17 MARET – 28 MARET 2014

TUGAS KHUSUS PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

PEDOMAN PEMBINAAN SARANA PRODUKSI NARKOTIKA,


PSIKOTROPIKA DAN PREKURSOR

NURFADILAH JAMALUDDIN, S.Farm


1306434206

ANGKATAN LXXVIII

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
MARET 2014

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan makalah tugas
khusus ” Pedoman Pembinaan Sarana Produksi Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi ” ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini dibuat
denga tujuan untuk memenuhi persyaratan Tugas Khusus Praktek Kerja Profesi
Apoteker di DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI
KEFARMASIAN Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas
Indonesia. Makalah ini menjelaskan mengenai pembinaan industri farmasi
mengenai pengelolaan narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh karyawan yang
ada di DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI
KEFARMASIAN khususnya kepada staff subdirektorat Produksi dan
Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus
yang telah memberikan bimbingan dan saran dalam penyelesaian tugas khusus
ini. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya
dalam pelaksanaan kegiatan Pembinaan Sarana Produksi Narkotika,
Psikotropika dan Prekursor Farmasi sebagai salah satu bentuk pengawasan
pemerintah dalam penggunaan narkotika, psikotropika dan prekursor.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
oleh karena itu, demi penyempurnaan makalah ini, penulis mengharapkan saran
dan kritik dari pihak pembaca. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat.

Jakarta, Maret 2014

Penulis

ii

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i


KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................ 1
1.2 Dasar Hukum .................................................................................. 2
1.3 Tujuan ............................................................................................. 3
1.4 Sasaran ............................................................................................ 3
1.5 Pengertian ....................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN UMUM............................................................................ 6
2.1 Perizinan Industri Farmasi .............................................................. 6
2.2 Izin Impor Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi ........... 6
2.2.1 Izin Impor Narkotika ............................................................. 7
2.2.2 Izin Importir Produsen (IP) Psikotropika dan Prekursor ...... 7
2.2.3 Surat Persetujuan Impor Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor ................................................................................ 7
2.2.4 Izin Importir Terdaftar (IT) Psikotropika dan Prekursor ..... 8
2.3 Izin Ekspor Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi ......... 9
2.3.1 Izin Ekspor Psikotropika dan Prekursor Farmasi .................. 9
2.3.2 Surat Persetujuan Ekspor Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi ................................................................ 10
2.4 Pengelolaan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor di Industri
Farmasi .......................................................................................... 11
2.4.1 Perencanaan ......................................................................... 11
2.4.2 Pengadaan ............................................................................ 15
2.4.3 Produksi ............................................................................... 11
2.4.4 Pencatatan dan Pelaporan .....................................................12

iii

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


2.4.5 Penyimpanan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor ..................12
2.4.6 Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor .............13
2.4.6.1 Penyaluran Narkotika dan Psikotropika ...................13
2.4.6.2 Penyaluran Prekursor Farmasi ..................................13
2.4.7 Pemusnahan Narkotika , Psikotropika dan Prekursor ..........14

BAB 3 METODOLOGI ................................................................................. 15


3.1 Langkah Pembinaan .................................................................................... 15
3.1.1 Perencanaan Pembinaan Industri Farmasi........................................... 15
3.1.2 Pelaksanaan dan Pengumpulan Data ................................................... 15
3.1.3 Analisis Hasil Pembinaan ................................................................... 15
3.1.4 Penyusunan Laporan dan Rekomendasi .............................................. 15
BAB 4 PEMBAHASAN ................................................................................. 16
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 18
5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 18
5.2 Saran ............................................................................................................ 18
DAFTAR ACUAN ........................................................................................... 19

iv

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Penyerahan Narkotika oleh Industri Farmasi ................................. 13


Gambar 2.2 Penyerahan Psikotropika oleh Industri Farmasi ............................. 14

v
Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan
tujuan penggunaannya serta memenuhi persyaratan izin edar untuk menghindari
resiko berbahaya ketika produk obat digunakan oleh masyarakat. Produk obat
yang diproduksi termasuk narkotika, psikotropika dan prekursor yang relatif
berbeda dengan obat non narkotika dalam penanganannya. Produksi Narkotika,
Psikotropika dan Prekursor hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi tertentu
yang telah mendapat izin dari menteri dan telah diaudit oleh Badan POM.
Narkotika, Psikotropika dan Prekursor masih memegang peranan penting
dalam dalam bidang pengobatan maupun dalam rangka pengembangan IPTEK di
Indonesia. Dalam bidang pengobatan di Indonesia, narkotika dan psikotropika
masih sering digunakan dalam kasus-kasus tertentu dengan memanfaatkan khasiat
analgetik dari narkotika maupun efek sedasi dari psikotropika tersebut sedangkan
prekursor cenderung digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Pada tahun 2012, dilaporkan dari Badan POM bahwa sarana produksi
narkotika, psikotropika dan prekursor yang telah diperiksa sebanyak 2.913 sarana
yang terdiri dari 13 sarana produksi dengan hasil pemeriksaan yang memenuhi
ketentuan (MK) 1 sarana (7,69%) dan tidak memenuhi ketentuan (TMK) 12
sarana (92,31%).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1799/ Menkes/Per/XII/2010
tentang industri farmasi, Undang-Undang No. 35 tahun 2009 bagian kedua
tentang produksi Narkotika, Undang-Undang No.44 tahun 2010 bagian kedua
tentang prekursor serta undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang produksi
psikotropika serta Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor
HK.03.1.33.12.12.8195 tahun 2012 tentang cara Pembuatan Obat yang Baik,
Kementrian Kesehatan berwenang untuk melaksanakan pembinaan terhadap

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


2

sarana produksi narkotika, psikotropika dan prekursor dalam rangka melindungi


masyarakat dari peredaran narkotika, psikotropika dan prekursor yang tidak
memenuhi persyaratan keamanan, manfaaat dan mutu.
Dalam rangka menunjang pelaksanaan pembinaan sarana produksi
narkotika, psikotropika dan prekursor, perlu disusun pedoman yang dapat
dijadikan acuan oleh industri farmasi di pusat maupun di daerah.

1.2. Dasar Hukum


Pedoman Pembinaan Sarana Produksi Narkotika, Psikotropika dan
prekursor ini didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan
sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062)
2. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821)
3. Undang-Undang Nomor 44 tahun 2010 tentang Prekursor (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5126)
4. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 3781)
6. Peraturan Menteri Kesehatan 1799/ Menkes/Per/XII/2010 tentang
Industri Farmasi
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2013 Tentang Impor dan
Ekspor Narkotika

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


3

8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010/Menkes/Per/XI/2008


tentang registrasi obat.
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor168/Menkes/Per/II/2005Tentang
Prekursor.

1.3. Tujuan
Membina Sarana Produksi Narkotika, Psikotropika dan Prekursor agar
dapat menghasilkan narkotika, psikotropika dan prekursor yang memenuhi
persyaratan keamanan, kemanfaatan dan mutu untuk melindungi masyarakat
dari penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor.

1.4. Sasaran
Sasaran dari Pedoman ini adalah Industri Farmasi di Pusat dan Provinsi.

1.5. Pengertian
Dalam Pedoman ini digunakan beberapa istilah dengan batasan pengertian
sebagai berikut :
a. Narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan yang dibedakan ke dalam tiga golongan.
b. Psikotropika merupakan zat atau obat baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktifitas mental dan perilaku seseorang.
c. Prekursor merupakan bahan pemula yang digunakan dalam pembuatan
narkotika maupun psikotropika
d. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat,
menghasilkan dan mengemas dan/ atau mengubah bentuk Prekursor.
e. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang kesehatan.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


4

f. Cara Pembuatan Obat yang Baik selanjutnya disebut CPOB adalah cara
pembuatan obat yang bertujuan untuk memastikan agar mutu obat yang
dihasilkan sesuai dengan persyaratan dan tujuan penggunaan
g. Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri
Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat.
h. Surat Persetujuan Impor yang selanjutnya disingkat SPI adalah surat
persetujuan untuk mengimpor narkotika, psikotropika dan/atau
prekursor farmasi.
i. Surat Persetujuan Ekspor yang selanjutnya disingkat SPE adalah surat
persetujuan untuk mengekspor narkotika, psikotropika dan/atau
prekursor farmasi.
j. Importir Produsen Psikotropika yang selanjutnya disebut IP
Psikotropika adalah industri farmasi yang menggunakan psikotropika
sebagai bahan baku proses produksi yang mendapat izin untuk
mengimpor sendiri psikotropika. Importir Produsen Prekursor Farmasi
yang selanjutnya disebut IP Prekursor Farmasi adalah industri farmasi
yang menggunakan prekursor farmasi sebagai bahan baku atau bahan
penolong proses produksi yang mendapat izin untuk mengimpor sendiri
prekursor farmasi.
k. Importir Terdaftar Psikotropika yang selanjutnya disebut IT
Psikotropika adalah pedagang besar farmasi yang mendapat izin untuk
mengimpor psikotropika guna didistribusikan kepada industri farmasi
dan lembaga ilmu pengetahuan sebagai pengguna akhir psikotropika.
l. Importir Terdaftar Prekursor Farmasi yang selanjutnya disebut IT
Prekursor Farmasi adalah pedagang besar farmasi yang mendapat izin
untuk mengimpor prekursor farmasi guna didistribusikan kepada
industri farmasi dan lembaga ilmu pengetahuan sebagai pengguna akhir
prekursor farmasi.
m. Eksportir Produsen Psikotropika yang selanjutnya disebut EP
Psikotropika adalah industri farmasi yang mendapat izin sebagai
eksportir psikotropika.
n. Eksportir Produsen Prekursor Farmasi yang selanjutnya disebut EP

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


5

o. Prekursor Farmasi adalah industri farmasi yang mendapat izin sebagai


eksportir prekursor farmasi.
p. Eksportir Terdaftar Psikotropika yang selanjutnya disebut ET
Psikotropika adalah pedagang besar farmasi yang mendapat izin
sebagai eksportir psikotropika.
q. Eksportir Terdaftar Prekursor Farmasi yang selanjutnya disebut ET
Prekursor Farmasi adalah pedagang besar farmasi yang mendapat izin
sebagai eksportir prekursor farmasi.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


BAB 2
TINJAUAN UMUM

2.1 Perizinan Industri Farmasi


Industri farmasi yang akan memproduksi obat maupun bahan obat yang
masuk dalam golongan narkotika, psikotropika maupun prekursor wajib
memperoleh izin dari Menteri Kesehatan dan telah diaudit oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan sesuai dengan dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku sedangkan produksi psikotropika hanya dapat dilakukan oleh industri obat
yang telah mendapat izin dari Menteri Kesehatan.
2.2 Izin Impor Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi
Untuk melaksanakan impor narkotika, psikotropika maupun prekursor
farmasi, dibutuhkan (SPI) Surat Persetujuan Impor dari Menteri Kesehatan yang
didelegasikan kepada Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Dalam setiap pelaksanaan impor, Perusahaan PBF milik negara yang memiliki
izin khusus sebagai importir Narkotika, IP Psikotropika/IP Prekursor Farmasi, dan
IT Psikotropika/IT Prekursor Farmasi wajib menunjukkan lembaran asli surat
persetujuan impor kepada petugas bea dan cukai setempat untuk pengisian kartu
kendali realisasi impor.
2.2.1 Izin Impor narkotika
Impor narkotika hanya dapat dilakukan oleh satu Pedagang Besar Farmasi
yang telah diberi izin oleh Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan. Narkotika dapat diimpor untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, reagensia diagnostik, dan reagensia laboratorium
berdasarkan pesanan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan.
1. Permohonan SPI Narkotika diajukan kepada Direktur Jenderal secara online
melalui http://epharm.kemkes.go.id disertai dokumen pendukung :
a. surat pesanan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan;
b. surat pernyataan kebutuhan Narkotika yang ditandatangani oleh pimpinan
Lembaga Ilmu Pengetahuan;

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


7

c. fotokopi surat pesanan (purchasing order) kepada eksportir;


d. fotokopi surat izin khusus sebagai importir Narkotika;
e. protokol penelitian untuk keperluan penelitian;
f. surat pernyataan belum pernah melakukan Impor Narkotika untuk keperluan
Lembaga Ilmu Pengetahuan yang bersangkutan atau laporan realisasi Impor
terakhir dan stok akhir; dan
g. Analisa Hasil Pengawasan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan
2. Verifikasi dokumen (penyerahan fotokopi dokumen pendukung kepada
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan paling lama tiga hari
kerja sejak permohonan on line diterima
3. Penerbitan izin atau penolakan dari Direktur Jenderal disertai alasan yang
jelas yang diinformasikan ke pemohon yang bersangkutan.
2.2.2 Izin Importir Produsen Psikotropika dan Prekursor
Tata cara memperoleh izin Impor psikotropika maupun prekursor Farmasi
sebagai baerikut :
1. Industri Farmasi atau PBF mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal
secara online melalui http://e-pharm.kemkes.go.id dengan dokumen
pendukung, meliputi:
a. fotokopi izin usaha Industri Farmasi dan/atau PBF;
b. fotokopi Tanda Daftar Perusahaan (TDP);
c. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan
d. fotokopi Surat Izin Kerja Apoteker penanggung jawab produksi.
2. Penyerahan fotokopi dokumen pendukung kepada Direktur Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan (paling lama 3 hari kerja setelah permohonan
on line diterima)
3. Penerbitan izin atau penolakan permohonan izin dari Direktur Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan (paling lama 7 hari kerja setelah dokumen
pendukung diterima)
2.2.3 Surat Persetujuan Impor Narkotika, Psikotropik dan Prekursor Farmasi
1. PBF yang memiliki izin khusus sebagai importir Narkotika, IP/IT Psikotropika
atau IP/IT prekursor mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal secara
online melalui http://e-pharm.kemkes.go.id dengan dokumen pendukung,

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


8

meliputi:
a. surat pernyataan belum pernah melakukan Impor Narkotika, Psikotropika,
atau Prekursor Farmasi atau fotokopi SPI terakhir;
b. laporan realisasi Impor terakhir;
c. laporan realisasi penggunaan untuk produksi
d. fotokopi rencana kebutuhan tahunan (ditandatangani oleh Apoteker
Penanggung Jawab)
e. fotokopi surat pesanan (purchasing order) dari industri farmasi, jika
pemohon adalah IT Psikotropika/IT Prekursor Farmasi.
f. fotokopi surat pesanan (purchasing order) dari industri farmasi, jika
pemohon adalah PBF milik negara yang memiliki izin khusus sebagai
importir Narkotika;
g. fotokopi surat persetujuan izin edar untuk Narkotika, Psikotropika, atau
Prekursor Farmasi yang akan diimpor;
h. fotokopi surat izin khusus importir Narkotika atau izin IP Psikotropika/IP
Prekursor Farmasi atau Izin IT Psikotropika/IT Prekursor Farmasi;
i. fotokopi kartu kendali; dan
j. Analisa Hasil Pengawasan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.
2. Penyerahan fotokopi dokumen pendukung kepada Direktur Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan paling lama tiga hari kerja sejak permohonan
on line diterima.
3. Penerbitan atau penolakan SPI (Surat Persetujuan Impor) oleh Direktur
Jenderal disertai dengan alasan penolakan yang jelas.
2.2.4 Izin Importir Terdaftar Psikotropika dan Prekursor Farmasi
Izin Importir Terdaftar (IT Psikotropika atau IT Prekursor Farmasi) dapat
mengajukan permohonan SPI Psikotropika atau SPI Prekursor Farmasi untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, reagensia diagnostik
dan reagensia laboratorium berdasarkan pesanan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
dengan cara :
1. Permohonan SPI Psikotropika atau SPI Prekursor Farmasi diajukan kepada
Direktur Jenderal secara online melalui http://e-pharm.kemkes.go.id dengan
dokumen pendukung, meliputi :

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


9

a. surat pesanan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan;


b. surat pernyataan kebutuhan Psikotropika atau Prekursor Farmasi yang
ditandatangani oleh pimpinan Lembaga Ilmu Pengetahuan;
c. fotokopi surat pesanan (purchasing order) kepada eksportir;
d. fotokopi surat izin IT Psikotropika atau IT Prekursor Farmasi;
e. protokol penelitian untuk keperluan penelitian;
f. surat pernyataan belum pernah melakukan Impor Psikotropika atau
Prekursor Farmasi untuk keperluan Lembaga Ilmu Pengetahuan yang
bersangkutan atau laporan realisasi Impor terakhir dan stok akhir; dan
g. Analisa Hasil Pengawasan.dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.
2. Pemohon menyerahkan fotokopi dokumen pendukung kepada Direktur
Jenderal paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan secara online
diterima.
3. Paling lama dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak dokumen pendukung
diterima, Direktur Jenderal menerbitkan persetujuan atau penolakan SPI
disertai alasan yang jelas.

2.3 Izin Ekspor Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi


Eksportir yang memiliki izin khusus sebagai eksportir Narkotika, EP
Psikotropika/EP Prekursor Farmasi, atau ET Psikotropika/ET Prekursor Farmasi
wajib menyampaikan informasi secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang memuat:
a. perkiraan tanggal pelaksanaan ekspor;
b. jenis transportasi (laut/udara) (nama dan nomor penerbangan/nama dan nomor
kapal;
c. rincian pengiriman (nama pelabuhan/bandara negara importir dan transit bila
ada); dan
c. perkiraan tanggal tiba di negara importir.
d. Disampaikan paling lambat 7 hari sebelum dilakukan ekspor.
2.3.1 Izin Ekspor Psikotropika dan Prekursor Farmasi
Tata cara memperoleh izin ekspor psikotropika maupun prekursor
farmasi sebagai baerikut :

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


10

1. Industri Farmasi atau PBF mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal


secara online melalui http://e-pharm.kemkes.go.id dilengkapi dokumen
pendukung, meliputi:
a. fotokopi izin usaha Industri Farmasi atau PBF;
b. fotokopi Tanda Daftar Perusahaan (TDP);
c. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan
d. fotokopi Surat Izin Kerja Apoteker penanggung jawab.
2. Fotokopi dokumen pendukung diserahkan epada Direktur Jenderal paling lama
3 (tiga) hari kerja setelah permohonan secara online diterima.
3. Paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak dokumen pendukung) diterima, Direktur
Jenderal menerbitkan persetujuan atau penolakan dengan alasan yang jelas.
2.3.2 Surat Persetujuan Ekspor Narkotika,Psikotropika dan Prekursor Farmasi
Tata cara permohonan Surat Persetujuan Ekspor Psikotropika dan Prekursor
Farmasi sebagai berikut :
1. EP Psikotropika/EP Prekursor Farmasi, atau ET Psikotropika/ET Prekursor
Farmasi mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal secara online
melalui http://e-pharm.kemkes.go.id disertai dokumen pendukung, meliputi:
a. surat pernyataan belum pernah melakukan Ekspor atau fotokopi SPE
terakhir dan/atau laporan realisasi Ekspor terakhir;
b. fotokopi rencana Ekspor selama 1 (satu) tahun;
c. SPI asli dari negara pengimpor;
d. fotokopi surat pesanan (purchasing order) dari importir;
e. fotokopi surat persetujuan izin edar atau surat persetujuan khusus ekspor
untuk Narkotika, Psikotropika, atau Prekursor Farmasi yang akan
diekspor;
f. fotokopi surat izin khusus sebagai ekspotir Narkotika, EP Psikotropika/EP
Prekursor Farmasi, atau ET Psikotropika/ET Prekursor Farmasi; dan
g. Analisa Hasil Pengawasan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan
2. Pemohon harus menyerahkan fotokopi dokumen pendukung kepada Direktur
Jenderal paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan secara online
diterima.
3. Paling lama dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak dokumen diterima,

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


11

4. Direktur Jenderal menerbitkan persetujuan atau penolakan SPE dengan disertai


alasan yang jelas.

2.4 Pengelolaan Narkotika


2.4.1 Perencanaan
Industri Farmasi yang telah memiliki izin khusus untuk memproduksi
narkotika, psikotropika maupun prekursor wajib menyampaikan rencana
kebutuhan tahunan untuk proses produksi yang ditandatangani oleh Apoteker
Penanggung Jawab Produksi paling lambat tanggal 10 Januari setiap
tahunnya. Laporan ini akan menjadi dasar dalam penyusunan rencana
kebutuhan tahunan secara menyeluruh yang disusun oleh Pemerintah.
2.4.2 Pengadaan
Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri dapat diperoleh dari impor,
produksi dalam negeri dan atau sumber lain. Dalam hal impor, Industri
Farmasi yang akan memproduksi narkotika, psikotropika dan prekursor
farmasi dapat memperoleh bahan baku dengan cara pemesanan langsung oleh
industri itu sendiri ataupun melalui pemesanan ke Pedagang Besar Farmasi
yang telah memiliki izin Importir Terdaftar. Berbeda dengan impor
psikotropika dan prekursor farmasi, impor narkotika hanya dapat dilakukan
oleh satu BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yaitu PT Kimia Farma.
Industri Farmasi lain bisa memesan bahan baku Narkotika dari Pedagang
Besar Farmasi PT Kimia Farma yang merupakan Importir Terdaftar
Narkotika.
2.4.3 Produksi
Produksi adalah semua kegiatan mulai dari pengadaan bahan awal,
penyiapan bahan awal, pengolahan, dan pengemasan untuk produk jadi.
Produksi obat termasuk narkotika, psikotropika dan prekursor dilaksanakan
dengan mengikuti prosedur Cara Pembuatan Obat yang baik. Bahan baku
harus disimpan dalam lemari khusus di area penyimpanan.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


12

2.4.4 Pencatatan dan Pelaporan


Industri Farmasi wajib membuat, menyampaikan dan menyimpan
laporan berkala mengenai pemasukan dan atau pengeluaran Narkotika
maupun psikotropika yang berada dalam penguasaannya. Pelaporan
disampaikan kepada Menteri Kesehatan RI. Terkait pencatatan prekursor,
dalam peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2010 dinyatakan bahwa setiap
orang atau badan yang mengelola prekursor wajib melakukan pencatatan dan
pelaporan yang sekurang-kurangnya memuat :
a. Jumlah prekursor yang masih ada dalam persediaan
b. Jumlah dan banyaknya prekursor yang diserahkan
c. Keperluan atau kegunaan prekursor oleh pemesan.
Dokumentasi khusus terkait narkotika dan psikotropika yang harus dibuat
oleh setiap industri farmasi yang mengelola narkotika meliputi :
1. Laporan realisasi impor
2. Laporan produksi
3. Laporan penyaluran produk jadi
2.4.5 Penyimpanan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 tahun 1978 dinyatakan
bahwa narkotika harus disimpan secara khusus. Industri farmasi sebagai
produsen harus memiliki gudang khusus untuk penyimpanan narkotika.
Gudang yang yang dimaksud memiliki dinding yang terbuat dari tembok dan
hanya memiliki satu pintu dengan dua buah kunci dengan merk yang
berlainan, langit-langit dan jendela dilengkapi dengan jeruji besi dan
dilengkapi denga lemari yang tidak kurang dari 150 kg dengan kunci yang
kuat. Sedangkan penyimpanan psikotropika dalam UU Nomor 5 Tahun 1997
wajib disimpan di tempat yang aman dan terpisah dari penyimpan bahan obat
lain. Prekursor yang merupakan bahan baku dalam pembuatan narkotika atau
psikotropika juga dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 2010 wajib disimpan terpisah dari yang lain seperti halnya
narkotika maupun psikotropika.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


13

2.4.6 Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi


2.4.6.1 Penyaluran Narkotika dan Psikotropika
Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 diatur mengenai
penyaluran narkotika oleh Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi
maupun Sarana Penyimpanan Sediaan Farmasi Pemerintah. Industri
Farmasi tertentu dalam hal ini PT Kimia Farma yang telah memiliki
izin khusus penyaluran narkotika dari Menteri hanya dapat
menyalurkan narkotika kepada :
a. Pedagang Besar Farmasi tertentu
b. Apotek
c. Sarana Penyimpanan Sediaan Farmasi Pemerintah
d. Rumah Sakit
Untuk penyaluran psikotropika, Industri Farmasi hanya dapat
menyalurkan kepada Pedagang Besar Farmasi lain yang telah memiliki
izin. Penyaluran Narkotika dan Psikotropika harus dilengkapi dokumen
penyaluran.
2.4.6.2 Penyaluran Prekursor Farmasi
Penyaluran Prekursor oleh Industri Farmasi hanya dapat
disalurkan kepada industri farmasi lain dan distributor.

Gambar 2.1. Penyaluran Narkotika oleh Industri Farmasi

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


14

Gambar 2.2. Penyaluran Psikotropika oleh Industri Farmasi

2.4.7 Pemusnahan Narkotika , Psikotropika dan Prekursor


Berdasarkan Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika
Pasal 60, pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal diproduksi tanpa memenuhi
standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam
proses produksi, kadaluarsa, tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada
pelayanan kesehatan dan/atau berkaitan untuk pengembangan ilmu pengetahuan
atau berkaitan dengan tindak pidana.
Pada Undang-undang No. 5 tahun 1997 pasal 53 disebutkan bahwa
pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal berhubungan dengan tindak
pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku
dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi psikotropika, kadaluarsa,
dan tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau
untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Setiap pemusnahan psikotropika wajib
dibuatkan berita acara.
Pelaksanaan pemusnahan harus dibuat dengan memperhatikan pencegahan
diversi dan pencemaran lingkungan. Kegiatan pemusnahan ini dilakukan oleh
Apoteker Penanggung Jawab Produksi dan disaksikan oleh petugas Balai
Besar/Balai POM setempat. Kegiatan ini didokumentasikan dalam Berita Acara
Pemusnahan yang ditandatangani oleh pelaku dan saksi.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


BAB 3
METODOLOGI

3.1. Langkah Pembinaan


3.1.1 Perencanaan Pembinaan Industri Farmasi
Perlu dibentuk Tim Pembina Industri Farmasi serta materi pembinaan
yang akan disampaikan terkait ketentuan khusus dalam produksi narkotika,
psikotropika maupun prekursor mulai dari pengadaan hingga penyaluran
produk jadi.
3.1.2 Pelaksanaan dan Pengumpulan Data
Pelaksanaan pembinaan dapat dilakukan melalui diskusi dengan
personil kunci atau apoteker yang ada di Industri Farmasi mengenai hal-hal
khusus yang perlu diperhatikan terkait produksi narkotika maupun
psikotropika antara lain :
a. penyimpanan yang harus terpisah dari obat lain, penandaan produk
jadi yang mengandung narkotika atau psikotropika
b. ketentuan khusus terkait pengadaan bahan awal atau bahan baku untuk
narkotika maupun psikotropika
c. dokumentasi dan pelaporan narkotika maupun psikotropika yang
dilakukan secara berkala kepada Menteri Kesehatan
d. ketentuan khusus mengenai penyaluran narkotika maupun
Psikotropika yang dilakukan oleh industri farmasi
3.1.3 Analisis Hasil Pembinaan
Dilakukan analisis dan pengkajian infomasi dari data pelaksanaan
pembinaan yang diperoleh. Informasi tersebut dijadikan dasar untuk
pembinaan selanjutnya.
3.1.4 Penyusunan Laporan dan Rekomendasi
Laporan hasil pembinaan Industri Farmasi didasarkan pada analisis
data dan disajikan dalam format yang mudah difahami dan mudah
ditindaklanjuti.

15

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


BAB 4
PEMBAHASAN

Narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi merupakan salah satu jenis


obat yang sering digunakan dalam terapi farmakologis seperti pengobatan nyeri
kanker, batuk, depresi dan berbagai penyakit lainnya. Obat-obat ini cenderung
disalahgunakan oleh konsumen untuk tujuan tertentu yang pada dasarnya tidak
diperbolehkan untuk dikonsumsi secara bebas. Oleh karena alasan keamanan,
maka pemerintah dalam hal ini Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
membuat kebijakan khusus terkait pengelolaan narkotika, psikotropika maupun
prekursor farmasi. Undang-undang Narkotika, psikotropika maupun prekursor
farmasi merupakan salah satu kebijakan tertulis yang dikeluarkan oleh Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Industri farmasi sebagai produsen obat di Indonesia termasuk golongan
narkotika, psikotropika maupun prekursor farmasi harus memiliki pengetahuan
yang cukup terkait tata cara pengelolaan narkotika, psikotropika dan prekursor
farmasi. Pengelolaan yang dimaksud mencakup tahap pengadaan, penyimpanan,
pencatatan ataupun pemusnahan bahan baku maupun produk jadi.
Pembinaan terhadap sarana produksi narkotika, psikotropika maupun
prekursor farmasi merupakan salah satu fungsi dari Direktorat Bina Produksi dan
Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
yang secara khusus dikelola oleh subdirektorat produksi dan distribusi Narkotika,
Psikotropika dan Prekursor Farmasi. Subdirektorat ini juga mempunyai fungsi
pelaksanaan perizinan di bidang narkotika, psikotropika maupun prekursor dengan
menerbitkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan
impor ataupun ekspor bahan baku narkotika seperti surat persetujuan
impor/ekspor, surat penunjukan sebagai IT, IP, EP, ET untuk industri farmasi
maupun pedagang besar farmasi sebagai distributor.
Pembinaan terhadap industri farmasi dilakukan oleh tim pembina yang
telah ditugaskan secara khusus untuk melakukan kegiatan pembinaan melalui
pemberian materi terkait ketentuan khusus dalam produksi narkotika, psikotropika
maupun prekursor farmasi. Materi terkait penyaluran produk jadi yang
16

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


17

mengandung narkotika maupun psikotropika juga disampaikan oleh tim pembina.


Industri farmasi hanya dapat menyalurkan produk jadi yang mengandung bahan-
bahan tersebut kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana penyimpanan
sediaan farmasi pemerintah dan rumah sakit untuk keperluan pengobatan.
Penyaluran Narkotika berbeda dengan psikotropika yang boleh disalurkan oleh
semua pedagang besar farmasi yang telah memiliki izin. Narkotika hanya boleh
didistribusikan oleh satu badan usaha milik negara dalam hal ini PT. Kimia Farma
sebagai distributor tunggal.
Produksi obat menggunakan bahan baku narkotika, psikotropika maupun
prekursor memiliki ketentuan khusus yang tidak dilakukan terhadap bahan obat
lain. Bahan-bahan ini harus disimpan terpisah dari bahan lain dalam lemari
terkunci di area penyimpanan bahan awal. Kunci tersebut harus dipegang oleh
personil yang ditunjuk oleh supervisor area penyimpanan untuk mencegah
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab. Penimbangan bahan baku narkotika, psikotropika maupun
prekursor di Industri farmasi hendaknya diawasi oleh apoteker dari departemen
yang telah ditunjuk disertai pencatatan yang jelas dalam buku khusus yang berisi
jumlah bahan yang ditimbang, tanggal penimbangan, personil yang melakukan
penimbangan.
Pengelolaan narkotika juga mencakup kegiatan pencatatan dan pelaporan
secara berkala oleh industri farmasi yang harus disampaikan kepada Direktorat
Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Salah satu bentuk kegiatan pelaporan
yang dilakukan meliputi penyampaian laporan realisasi impor dan penggunaan
bahan narkotika/psikotropika maupun prekursor. Laporan tersebut mencantumkan
nama perusahaan, alamat kantor, alamat gudang, penggunaan dan sisa bahan,
jumlah bahan yang dipesan dalam satuan ton atau kg, tanggal impor, pelabuhan
tujuan dan sebagainya.
Pembinaan yang dilakukan oleh subdirektorat Produksi dan Distribusi
narkotika, psikotropika maupun prekursor disertai dengan evaluasi untuk
mengumpulkan informasi sebagai acuan untuk kegiatan pembinaan selanjutnya.
Data dianalisis dan dibuat dalam bentuk laporan dengan format yang sesuai.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Pembinaan terhadap sarana produksi narkotika, psikotropika maupun
prekursor Farmasi dilakukan oleh tim khusus yang telah ditunjuk untuk
memberikan materi terkait pengelolaan narkotika, psikotropika dan prekursor di
industri farmasi. Pembinaan juga disertai dengan evaluasi akhir untuk
mengumpulkan informasi yang akan digunakan dalam penyusunan sebagai acuan
untuk kegiatan pembinaan selanjutnya. Hasil yang diperoleh dianalisis dan
didokumentasikan dalam bentuk laporan tertulis.

5.2 Saran
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor
dan Sediaan Farmasi Khusus Direktorat Bina Produksi dan Distribusi
Kefarmasian perlu untuk melakukan pembinaan yang intensif terhadap industri
farmasi maupun pedagang besar farmasi dalam hal pengelolaan narkotika,
psikotropika dan prekursor farmasi untuk mencegah terjadinya kemungkinan
dalam pengelolaan narkotika di industri farmasi sebagai sarana produksi obat
termasuk produk jadi yang menggunakan narkotika, psikotropika maupun
prekursor sebagai bahan baku.

18

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014


DAFTAR ACUAN

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2012. Laporan


Tahunan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Jakarta.

Kementrian Kesehatan. 2005. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 168/Menkes/Per/II/2005 Tentang Prekursor. Jakarta.

Kementrian Kesehatan. 2008. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


1010/Menkes/Per/XI/2008 Tentang Registrasi Obat. Jakarta.

Kementrian Kesehatan. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan 1799/


Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi. Jakarta.

Kementrian Kesehatan. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 1799 Tahun 2010 Tentang Industri Farmasi. Jakarta.

Kementrian Kesehatan. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 10 Tahun 2013 Tentang Impor dan Ekspor Narkotika, Psikotropika
dan Prekursor Farmasi. Jakarta.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2012. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012
Tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor 40 Tahun 2013 Tentang Pedoman
Pengelolaan Prekursor Farmasi dan Obat yang Mengandung Prekursor
Farmasi. Jakarta.

Presiden Republik Indonesia. 1997. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor


5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Jakarta.

Presiden Republik Indonesia. 1998. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998


Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. Jakarta.

Presiden Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor


35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta.

Presiden Republik Indonesia. 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta.

Presiden Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


Tentang Prekursor.

19

Universitas Indonesia

Laporan praktek…., Nurfadilah Jamaluddin, FFar UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai