Anda di halaman 1dari 6

DEMOKRASI DAN HUKUM DI INDONESIA

NAMA : MUHAMMAD FIKRAN DZIKRIANSYAH, S.H


NIM : A.312.1823.011
DOSEN PENGAMPU : PRADJARTA DIRJOSANJOTO, S. H., Ph.D
MATA KULIAH : SOSIOLOGI HUKUM

PROGRAM MAGISTER HUKUM


UNIVERSITAS SEMARANG
2023
Demokrasi dan hukum di Indonesia sangat berkaitan dan tidak dapat dibantahkan ibarat dua
sisi keping uang logam: dimana ada demokrasi, disitulah ada hukum. Jika kualitas demokrasi
baik maka kualitas hukum akan baik dan jika demokrasi bobrok maka kualitas hukum pun jelek.
Didalam Sejarah politik demokrasi dipandang dalam situasi ambiguous, yaitu apakah
demokrasi itu baik atau tidak dan bagaimana cara mengimplementasikan demokrasi. Sehingga
pada zaman Yunani kuno terdapat perbedaan pendapat antara:
1. Plato: demokrasi bukanlah system pemerintahan yang terbaik karena dapat menimbulkan
anarki, sedangkan system yang terbaik adalah system monarki;
2. Aristoteles: demokrasi bukanlah system pemerintahan yang terbaik, sedangkan system yang
terbaik adalah Republik Konstitusional.
Pada tahun 1950 UNESCO menyimpulkan bahwa system demokrasi merupakan bentuk terbaik
dari semua alternatif yang tersedia dan semuanya mengandung kejelekan masing-masing. Pada
tahun 1986 Amien Rais mengatakan pertamakalinya dalam Sejarah, demokrasi dipandang sebagai
pengejawantahan yang paling tepat dan ideal untuk semua sistem organisasi politik dan
kemasyarakatan yang modern.
Dalam beberapa negara memandang parlementarisme-liberal sebagai mekanisme yang
demokratis yang didasarkan atas pengakuan dan penerimaan terhadap pertentangan sosial sebagai
suatu kenyataan. Tetapi, negara-negara yang totaliter tidak jarang mengklain bahwa dirinya
sebagai negara demokrasi yang didasarkan pada substansi untuk membangun kesejahteraan
rakyatnya dan bukan pada mekanisme yang plural-kompetitif dalam penentuan kebijaksanaan
publik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu negarapun secara empiris mengikuti
bentuk teoritis demokrasi secara penuh karena di dalamnya terdapat variasi demokrasi.
Pengaruh demokrasi terhadap hukum secara teoritis dikenal dengan karakter hukum yang
bersifat dikotomi yaitu hukum otonom dan hukum menindas (hukum responsive atau hukum
ortodoks). Nonet dan Selznick menulis bahwa hukum berkaitan erat dengan kekuasaan karena
tata hukum senantiasa yang terlihat pada status quo. Berikut dikutip secara singkat menurut
Nonet dan Selznick ciri-ciri hukum otonom dan hukum menindas:
Tipe Menindas Tipe Otonom
Tujuan Hukum Ketertiban Kesahan
Legitimasi Pertahanan sosial dan Menegakkan prosedur
rassiond’staat
Peraturan Kasar dan terperinci tetapi - Sangat teruraie
hanya mengikat pembuat - Mengikat pembuat atau
peraturan secara lemah mereka yang diatur
Penalaran (Rassioning) - Ad Hoc - Menyikatkan diri secara
- Sesuai keperluan dan ketat kepada otoritas
partikularistik hukum
- Peka terhadap formalisme
dan legalisme
Diskresi - Merata - Dibatasi oleh peraturan-
- Oportunistik peraturan
- Pendelegasian sangat
terbatas
Pemaksaan - Luas sekali Dikontrol oleh pembatasan-
- Pembatasannya lemah pembatasan hukum
Moralitas - Moralitas komunal Moralitas kelembagaan yaitu
- Moralitas hukum diikat oleh pemikiran tentang
- Realitas pemaksaan integritas dari proses hukum
Kaitan Politik Hukum ditundukkan kepada - Hukum bebas dari politik
politik kekuasaan - Pemisahan kekuasaan
Hrapan terhadap kepatuhan - Tidak bersyarat Bertolak dari peraturan yang
- Ketidakpatuhan dengan sah yaitu menguji kesahan
begitu saja dianggap Undang-Undang dan
menyimpang peraturan
Partisipasi - Tunduk dan patuh - Dibatasi oleh prosedur
- Kritik dianggap tidak loyal yang ada
- Munculnya kritik hukum
a. Melihat Indonesia
Sejak Indonesia Merdeka (1945) telah terjadi pasang naik dan pasang surut
kehidupan demokrasi sehingga secara otomatis beimplementasi pada karakter-karakter
hukum yang dilahirkan. Pada periode orde baru lahir melalui keluarnya Supersemar yang
berisi pemberian wewenang dari Bung Karno kepada Jenderal Suharto untuk mengambil
tindakaan-tindakan yang perlu digunakan untuk meredakan krisis politik yang terjadi
akibat adanya G30-S/PKI. Politik orde baru membentuk format baru , yang ditandai
dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 1969 dan UU No. 16 Tahun 1969 (masing-masing
tentang pemilu dan tentang Susduk MPR/DPR/DPRD), sehingga bergeserlah langgam
system politik demokratis ke otoriter.
Langgam ototritarian mengutamakan Pembangunan ekonomi yang berorientasi pada
paradigma pertumbuhan dengan slogan “ Pembangunan yes, politik no” dan menuntut
persyaratan “stabilitas nasional” yang dapat dipenuhi jika konflik-konflik politik di
minimalkan dengan tampilnya negara yang kuat dan pemerintah yang otoriter.

b. Produk Hukum
Sistem politik yang demikian telah melahirkan hukum yang memiliki karakter tidak
otonom, sebagai contoh yang tercantum dalam hukum pemilu dan pemerintah daerah.
Perbandingan antara UU Pemilu pada tahun 1953 saat system demokratis dengan UU
Pemilu pada pemerintah orde baru yang otoritarian sebagai berikut:
UU No. 7 Tahun 1953 UU No. 15 Tahun 1969
1. Proses pembuatannya sangat 1. Proses pembuatannya didominasi oleh
partisipatif visi dan kekuatan politik pemerintah
2. Jaminan kebebasan memilih sangat melalui tangan-tangannya di DPRD
menonjol 2. Ada system pengangkatan wakil
3. Pengangkatan anggota Lembaga rakyat dalam jumlah yang cukup besar
perwakilan (Konstituante dan DPR) yang bukan utnuk mewakili golongan
hanya dilakukan untuk melaksanakan minoritas tetapi praktis mewakili visi
ketentuan UUDS 1950 dalam rangka pemerintah
memberikan jaminan adanya wakil 3. Space yang luas bagi pemerintah
bagi golongan minoritas Cina, Arab, untuk membuat interpretasi atas UU
Eropa dan dalam jumlah yang tersebut melalui delegasi dan droit
prposional function UU No. 15 Tahun 1969
4. Kepannitian pemilu tidak dipimpin (terdiri 37 pasal dan dapat ditafsirkan
oleh pemerintah tetapi oleh organisasi lagi dengan PP atau berbagai peraturan
yang netral yang lebih rendah) dan dalam praktik
5. Peluang pemerintah untuk Interpretasi tidal menyangkut soal teknis semata-
memalui kewenangan delegasi dan mata
droit function sangat dibatasi karena 4. Panitia pemilu adalah pemerintah
UU No. 7 Tahun 1953 sudah sangat 5. Adanya Lembaga recall yang
rinci (terdiri 137 pasal dan penafsiran menghantui anggota-anggota Lembaga
hanya dapat dilakukan dalam hal-hal perwakilan rakyat untuk berbicara
yang teknis administratif dan dalam vocal.
jumlah yang sangat terbatas).

Produk-produk Hukum tentang Pemda memperkuat hubungan kualitas tersebut. UU


No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, dan akhirnya UU No. 1 Tahun 1957 yang
demokratis muncul secara eksperimental yang semakin lama semakin responsif.
Sedangkan pada politik orde baru melahirkan produk hukum Pemda yang tidak otonom
dengan didasarkan keinginan untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan yang dapat
menjamin stabilitas yang menjadi persyaratan Pembangunan, tercantum dalam UU No. 5
Tahun 1974.

Menuju hukum otonom


Dalam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kapasitas demokrasi tertentu dapat
melahirkan hukum dengan karakter tertentu yang secara teoritis-dikotomis system politik
demokratis akan melahirkan hukum yang otonom, sedangkan system politik yang otoriter akan
melahirkan hukum menindas. Dengan kesadaran politik Masyarakat yangn membaik, Pancasila
diterima sebagai satu-satunya asas oleh orpol dan ormas, kehidupan ekonomi Masyarakat dan
trend pertumbuhannya telah memadai, maka proses demokratisasi tidak akan mengancam
stabilitas apalagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Untuk melakukan demokratisasi itu, saatnya dipikirkan agara produk hukum tentang
parpol dan Golkar (UU No. 3 Tahun 1985) dan tentang Pemilu (UU No. 15 Tahun 1969
sebagaimana telah diperbaharui beberapa kali) dan tentang Susduk MPR/DPR/DPRD (UU No.
16 Tahun 1969 sebagaimana telah diperbaharui beberapa kali) diubah atau diganti dengan UU
yang responsif. Pemilu harus lenih bebas , kompetitif, dan dilaksanakan secara netral, distribusi
dan konstelasi kursi-kursi di Lembaga perwakilan supaya disusun dan dibagi secara adil.
Tetapi, untuk melakukan demokratisasi tidaklah mudah jika diingat tidak mungkin pihak
yang sedang berkuasa akan rela mengurangi kekuasaannya. Dari logika tersebut agak sulit dapat
dilakukan perubahan atas ketiga UU tersebut karena akan berhadapan langsung dengan
pemerintah dan Golkar yang mayoritas. Dari banyaknya persoalan politik di Indonesia akhirnya
dapat ditemukan solusi yang efektif dengan melakukan lobbying oleh ormas-ormas daripada
melalui perdebatan antarparpol di DPR.

Anda mungkin juga menyukai