a. Camboran Wutuh
b. Camboran tugel
c. Camboran tunggal
d. Camboran wudhar
Daftar Isi
Yap, pemajemukan ini adalah proses pembentukan kata baru melalui penggabungan morfem dasar yang mana
merupakan hasil keseluruhannya berstatus sebagai kata yang memiliki pola fonologis, gramatikal, dan semantik.
Proses pemajemukan juga dapat diartikan sebagai dua kata atau lebih yang menjadi satu secara erat dan
menimbulkan penggantian makna baru.
Tidak hanya itu saja, Setiyanto (2007) juga berpendapat bahwa tembung camboran ini adalah dua kata atau
lebih yang disambung menjadi satu. Nah, dalam tembung camboran tersebut terdiri atas tembung camboran
wutuh (utuh) dan tembung camboran tugel (patahan). Maksud dari tembung camboran wutuh adalah kata
majemuk yang mana dibentuk dari bentuk dasar yang memang masih utuh. Sementara tembung camboran tugel
adalah kata majemuk yang dibentuk dari bentuk dasar dan masih disingkat lagi.
Jenis-Jenis Tembung Camboran dan Contohnya
1. Tembung Camboran Wutuh (Utuh)
Perlu diketahui ya Grameds bahwa kata “wutuh” itu dalam Bahasa Indonesia berarti “utuh”. Nah, tembung
camboran wutuh adalah jenis tembung camboran yang berasal dari gabungan dua kata dan masing-masingnya
masih utuh, tanpa dikurangi maupun dipotong jumlah suku katanya. Contoh:
Nah, tembung camboran wutuh ini juga dapat menjadi beberapa hal, yakni:
a) Rerangkep Determinatif
Contoh: meja tulis, pitik walik, buku gambar, omah gedhong, ketan ireng, dan lainnya.
b) Baliswara
Yakni satu kata atau lebih yang digabung menjadi satu, namun kata yang berketerangan ada di depan kata yang
diterangkan. Contoh: mahasiswa, Pancasila, dasa dharma, kusuma bangsa, perdana menteri
c) Tembung Saroja
Yakni dua kata yang hampir sama maknanya kemudian digabungkan menjadi satu. Contoh: andhap asor
(rendah hati), duga prayoga (sopan santun), sayuk rukun (hidup rukun).
d) Yogaswara
Yakni dua kata yang memiliki huruf vokal depan berupa “a” dan vokal belakang berupa “i”. Biasanya
yogaswara ini memiliki makna laki-laki dan perempuan. Contoh: mahasiswa-mahasiswi, dewa-dewi, widara-
widari, pemudha-pemudhi-, siswa-siswi, dan lainnya.
Contoh: gedhe cilik (besar kecil), amba ciut (luas sempit), adoh cedhak (jauh dekat), mangkat mulih (berangkat
pulang), dan lainnya.
f) Tembung Nunggal
Yakni dua kata yang beda makna, tetapi sering disebut bersamaan. Contoh: brambang bawang (bawang merah-
bawang putih), mrica pala (merica-pala), salam laos (daun salam-lengkuas), lombok uyah (cabai-garam).
Perlu diketahui ya Grameds bahwa kata “tugel” dalam Bahasa Indonesia artinya adalah “potong” atau
“penggal”. Maka dari itu, jenis tembung camboran ini merupakan dua kata atau lebih yang digabung menjadi
satu, dengan mengurangi atau memenggal jumlah suku katanya. Contoh:
Nah, tembung camboran tugel ini juga dapat menjadi beberapa hal. yakni:
a) Tembung Garba
Yakni berasal dari dua kata yang terbentuk dari proses menyingkat supaya penyebutannya lebih mudah dan
ringkas. Contoh: parama + iswara = prameswari (kehidupan yang tenteram dan bahagia).
b) Kerata Basa
Yakni frasa yang dibentuk untuk mengartikan sebuah kata dengan menganggap kata itu sebagai sebuah
akronim. Contoh: lunglit = balung + kulit (tulang kulit, artinya orang itu sangat kurus)
Tembung camboran tunggal adalah kata yang digunakan sebagai kata ganti yang kemudian digabung menjadi
satu, tetapi antara kata satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan karena sudah membentuk makna baru.
Contoh:
Tembung Camboran Wudhar adalah dua kata yang digabung menjadi satu, tetapi setiap kata pembentuknya
masih memiliki arti masing-masing. Contoh:
Tidak hanya itu saja, menurut Sasangka (2010), keberadaan tembung rangkep ini dapat dibagi menjadi tiga
jenis, yakni 1) Dwilingga, yang berupa pengulangan secara keseluruhan; 2) Dwipurwa, yang berupa
pengulangan dengan hanya suku kata awal saja; 3) Dwiwasana, yang berupa pengulangan dengan hanya suku
kata akhiran saja.
1) Dwilingga
Yakni bentuk pengulangan yang menggunakan keseluruhan katanya dan diucapkan dua kali. Bentuk dari
dwilingga berupa lingga + lingga (bentuk dasar + bentuk dasar). Menurut Sasangka yang juga menjelaskan
bahwa jenis tembung rangkep yang satu ini artinya adalah tembung lingga kang dirangkep (kata dasar yang
diulang).
Dwilingga terbagi menjadi tiga bentuk yakni dwilingga wutuh, dwilingga salin swara, dan dwilingga yang
mengalami imbuhan. Berikut uraiannya.
a) Dwilingga Wutuh, yakni bentuk pengulangan yang berupa kata dasar diulang secara keseluruhan tanpa
adanya perubahan sama sekali. Contoh:
udan-udan = hujan-hujan
celuk-celuk = memanggil-manggil
takon-takon = bertanya-tanya
b) Dwilingga Salin Swara, yakni bentuk pengulangan yang berupa kata dasar diulang dengan mengalami
perubahan bunyi. Contoh:
c) Dwilingga Semu, sebenarnya jenis ini tidak termasuk dalam tembung dwilingga sebab tidak dapat ditemukan
tembung lingga (kata dasarnya). Contoh: ondhe-ondhe (nama makanan), anting-anting.
d) Dwilingga yang mengalami imbuhan, yakni bentuk pengulangan yang diberi imbuhan berupa ater-ater,
seselan, atau panambang. Contoh:
ciwit-ciwitan: cubit-cubitan
dialon-alonake: dipelan-pelankan
2) Dwipurwa
Yakni bentuk pengulangan yang berasal dari suku kata awalnya. Menurut Sasangka (2008), dwipurwa ini
adalah tembung kang dumadi saka pangrangkepe purwane tembung lingga utawa pangrangkepe wanda
kawitaning tembung (kata yang berasal dari pengulangan dua suku kata atau lebih yang berada di depan).
Sementara itu, Setiyanto (2007) juga turut menjelaskan bahwa dwipurwa ini adalah tembung yang diulang
purwaning linggane (kata yang diulang berdasarkan pada suku kata depan dari bentuk dasarnya).
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa jenis dwipurwa ini adalah proses pengulangan sebagian atau seluruh
suku kata awal pada sebuah kata, disebut juga dengan pengulangan bagian belakang leksem. Contoh:
c) Dwiwasana
Yakni bentuk pengulangan yang berasal dari suku kata akhir pada sebuah kata dasarnya. Menurut Sasangka
(2008) berpendapat mengenai definisi dari dwiwasana ini yakni tembung kang ngrangkep wanda wekasan
utama ngrangkep wasanane tembung (kata yang diulang di akhir atau pengulangan pada akhir kata). Maka dari
itu, dwiwasana ini adalah kata ulang yang pengulangannya diulang pada bagian akhir dari suku kata bentuk
dasar.
Sementara itu menurut Setiyanto (2007), dwiwasana adalah kata yang dilekati oleh suku kata belakang dari
sebuah kata dasar. Contoh:
Ater-ater atau yang sama saja disebut dengan prefiks ini adalah imbuhan yang terdapat pada sebelah kiri atau di
depan awalan dari sebuah kata dasar. Nah, jika di dalam bahasa Jawa maka ater-ater terdiri atas:
b) Seselan (Infiks)
Seselan atau infiks ini adalah afiks yang terletak di tengah dalam bentuk dasar. Seselan menjadi proses
pengimbuhan afiks atau imbuhan yang disisipkan di tengah morfem. Dalam Bahasa Jawa, seselan ini terdiri atas
-um, -in, -er, dan -el-. Contoh:
Dalam Bahasa Jawa, sufiks atau akhiran ini disebut dengan panambang. Panambang adalah proses
pengimbuhan afiks atau imbuhan yang diletakkan di akhir morfem. Beberapa jenis panambang dalam Bahasa
Jawa ada: -i, -a, -e, -en, -an, -na, -ana, -ane, -ake, -ne, -ku, dan -mu.
Sementara itu, menurut Sasangka (2008) menyebutkan bahwa panambang ini adalah imbuhan sing dumunung
ing buri tembung (imbuhan yang terletak di belakang kata). Contoh:
Menurut Sasangka (2008), imbuhan bebarengan ini adalah imbuhan yang berwujudkan ater-ater (prefiks) dan
panambang (sufiks). Imbuhan bebarengan jika dalam Bahasa Indonesia disebut dengan konfiks.
Imbuhan bebarengan ini nantinya akan ditempatkan di antara kata dasar. Pada dasarnya, konfiks adalah
imbuhan tunggal yang terjadi dari adanya perpaduan di awalan dan akhiran sehingga mampu membentuk satu
kesatuan. Imbuhan yang meliputi dalam imbuhan bebarengan ini adalah:
ka-/-an
ke-/-en
pa-/-an
pra-/-an
A-/-ake
di-/-i
di-/-a
di-/-ana
sa-/-e
dan masih banyak lagi.
“Tembung camboran adalah dua kata atau lebih yang digabung menjadi satu dan memiliki satu arti.”
4 Jenis Tembung Camboran
1. Tembung Camboran Wutuh
Kata “wutuh” dalam bahasa Indonesia berarti “utuh”.
Sesuai dengan namanya, tembung camboran wutuh merupakan tembung camboran yang berasal dari dua kata
yang digabung menjadi satu, tanpa pengurangi jumlah suku katanya.
Sehingga, dua kata asli pembentuk tembung camboran tersebut masih utuh.
Contoh:
Dewa-dewi Dawa cendhak
Pemudha-pemudhi Meja kursi
Siswa-siswi Brambang bawang
Lanang wadon
2. Tembung Camboran Tugel
Berkebalikan dengan camboran wutuh, tembung camboran tugel adalah tembung yang terdiri dari dia kata atau
lebih dengan mengurangi jumlah suku katanya.
Jenis tembung camboran satu ini akan terdengar “tugel” atau “patah” ketika didengarkan.
Contoh:
Bangjo = Abang + ijo Guru = Digugu lan ditiru
Kosik = Mengko + disik Dhekwur = Endhek + duwur
Pakdhe = Bapak + gedhe Dhelik = Gedhe + cilik
"Terdapat empat jenis tembung camboran, yaitu tembung camboran wutuh, tembung camboran tugel,
tembung camboran tunggal, dan tembung camboran wudar.”
3. Tembung Camboran Tunggal
Nah, kalau tembung camboran tunggal adalah dua kata yang digabung menjadi satu dan tidak bisa dipisah lagi
karena sudah membentuk satu kata baru.
Contoh:
Randha royal Ganda rukem
Semar mendhem Uler kaget
Naga sari Endhas borok
Dara muluk
4. Tembung Camboran Wudhar
Jenis tembung camboran yang terakhir adalah wudhar.
Tembung camboran wudhar adalah dua kata yang digabung menjadi satu, tetapi masing-masing kata
pembentuknya masih memiliki arti masing-masing.
Contoh:
Wayang kulit = Wayang yang terbuat dari Buku tulis = Buku yang dipergunakan untuk
kulit menulis
Pager wesi = Pagar yang terbuat dari besi Pasar malem = Pasar yang buka di malam
Buku gambar = Buku yang dipergunakan hari
untuk menggambar Rumah sakit = Rumah yang digunaakn
untuk merawat orang sakit
“Tembung camboran berfungsi untuk mempersingat pengucapan dalam komunikasi sehari-hari.”
Memahami Tembung Rangkep (Pengulangan Dalam Bahasa Jawa)
Sama halnya dengan Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa juga memiliki morfologi berupa pengulangan
lho… Disebut dengan tembung rangkep. Menurut Setiyanto (2007), tembung rangkep ini adalah kata yang
diucapkan dua kali baik itu secara sebagian maupun seluruhnya. Misal: putra-putri, udan-udan (hujan-hujanan).
Proses pengulangannya juga hampir sama dengan kata di Bahasa Indonesia, yakni proses pengulangannya
berupa peristiwa pembentukan kata dengan cara mengulang bentuk dasar, baik itu sebagian maupun seluruhnya,
baik bervariasi fonem maupun tidak.
Tidak hanya itu saja, menurut Sasangka (2010), keberadaan tembung rangkep ini dapat dibagi menjadi
tiga jenis, yakni 1) Dwilingga, yang berupa pengulangan secara keseluruhan; 2) Dwipurwa, yang berupa
pengulangan dengan hanya suku kata awal saja; 3) Dwiwasana, yang berupa pengulangan dengan hanya suku
kata akhiran saja.
Jenis-Jenis Tembung Rangkep (Pengulangan Dalam Bahasa Jawa)
1) Dwilingga
Yakni bentuk pengulangan yang menggunakan keseluruhan katanya dan diucapkan dua kali. Bentuk
dari dwilingga berupa lingga + lingga (bentuk dasar + bentuk dasar). Menurut Sasangka yang juga menjelaskan
bahwa jenis tembung rangkep yang satu ini artinya adalah tembung lingga kang dirangkep (kata dasar yang
diulang).
Dwilingga terbagi menjadi tiga bentuk yakni dwilingga wutuh, dwilingga salin swara, dan dwilingga
yang mengalami imbuhan. Berikut uraiannya.
a) Dwilingga Wutuh, yakni bentuk pengulangan yang berupa kata dasar diulang secara keseluruhan tanpa
adanya perubahan sama sekali. Contoh:
udan-udan = hujan-hujan
celuk-celuk = memanggil-manggil
takon-takon = bertanya-tanya
b) Dwilingga Salin Swara, yakni bentuk pengulangan yang berupa kata dasar diulang dengan mengalami
perubahan bunyi. Contoh:
tokan-takon = berkali-kali tanya
celak-celuk = memanggil-manggil
wolak-walik = bolak-balik
c) Dwilingga Semu, sebenarnya jenis ini tidak termasuk dalam tembung dwilingga sebab tidak dapat ditemukan
tembung lingga (kata dasarnya). Contoh: ondhe-ondhe (nama makanan), anting-anting.
d) Dwilingga yang mengalami imbuhan, yakni bentuk pengulangan yang diberi imbuhan berupa ater-ater,
seselan, atau panambang. Contoh:
ciwit-ciwitan: cubit-cubitan
dialon-alonake: dipelan-pelankan
2) Dwipurwa
Yakni bentuk pengulangan yang berasal dari suku kata awalnya. Menurut Sasangka (2008), dwipurwa ini
adalah tembung kang dumadi saka pangrangkepe purwane tembung lingga utawa pangrangkepe wanda
kawitaning tembung (kata yang berasal dari pengulangan dua suku kata atau lebih yang berada di depan).
Sementara itu, Setiyanto (2007) juga turut menjelaskan bahwa dwipurwa ini adalah tembung yang diulang
purwaning linggane (kata yang diulang berdasarkan pada suku kata depan dari bentuk dasarnya).
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa jenis dwipurwa ini adalah proses pengulangan sebagian atau seluruh
suku kata awal pada sebuah kata, disebut juga dengan pengulangan bagian belakang leksem. Contoh:
bungah – bubungah – bebungah: senang hati
gaman – gagaman – gegaman: senjata
lara – lalara – lelara: sakit
c) Dwiwasana
Yakni bentuk pengulangan yang berasal dari suku kata akhir pada sebuah kata dasarnya. Menurut Sasangka
(2008) berpendapat mengenai definisi dari dwiwasana ini yakni tembung kang ngrangkep wanda wekasan
utama ngrangkep wasanane tembung (kata yang diulang di akhir atau pengulangan pada akhir kata). Maka dari
itu, dwiwasana ini adalah kata ulang yang pengulangannya diulang pada bagian akhir dari suku kata bentuk
dasar.
Sementara itu menurut Setiyanto (2007), dwiwasana adalah kata yang dilekati oleh suku kata belakang dari
sebuah kata dasar. Contoh:
cekik – kik = cekikik ‘tertawa terbahak-bahak’
cenges – cengesnges – cengenges ‘tertawa-tawa’
Memahami Afiksasi Dalam Bahasa Jawa
Pemirsa pasti sudah tahu dong akan afiksasi jika dalam Bahasa Indonesia? Nah, dalam Bahasa Jawa juga ada
afiksasi seperti itu, tetapi memiliki nama dan penjabaran yang berbeda. Misalnya pada prefiks atau awalan
disebut dengan ater-ater, pada infiks disebut dengan seselan, pada sufiks disebut dengan panambang, dan
konfiks disebut dengan imbuhan bebarengan. Nah, berikut adalah uraiannya!
a) Ater-Ater (Prefiks atau Awalan)
Ater-ater atau yang sama saja disebut dengan prefiks ini adalah imbuhan yang terdapat pada sebelah kiri atau di
depan awalan dari sebuah kata dasar. Nah, jika di dalam bahasa Jawa maka ater-ater terdiri atas:
ater-ater anuswara, yakni berupa -m, -n, ng-, ny-
ater-ater swara irung (suara sengau), yakni berupa dak-, ko-, di-, ka-, ke-, sa-, pa-, pi-, pra-, tar-, kuma-,
kapi-, a-, ma, pan-, pam-, pang-, dan lain sebagainya.
Contoh Ater-Ater Anuswara
m- + waca = maca ‘membaca’ ng- + ombe = ngombe ‘meminum’
n- + jaluk = njaluk ‘meminta’ ny- + cekel = nyekel ‘memegang’
Contoh Ater-Ater Swara Irung
dak- + pangan = dakpangan ‘saya makan’ pi- + wulang = piwulang ‘yang diajarkan’
ko- + jupuk = kojupuk ‘kamu ambil’ pra- + lambang = pralambang ‘merupakan,
di- + balang = dibalang ‘dilempar’ adalah’
ka- + utus = kautus ‘diutus’ tar- + tamtu = tartamtu ‘tertentu’
ke- + siram = kesiram ‘tidak sengaja menyiram’ kuma- + ayu = kumayu ‘centil’
sa- + iji = saiji ‘hanya satu’ kapi- + lare = kapilare ‘terlalu kekanak-kanakan’
pa- + warta = pawarta ‘berita’ a- + wujud = awujud ‘punya wujud’
b) Seselan (Infiks)
Seselan atau infiks ini adalah afiks yang terletak di tengah dalam bentuk dasar. Seselan menjadi proses
pengimbuhan afiks atau imbuhan yang disisipkan di tengah morfem. Dalam Bahasa Jawa, seselan ini terdiri atas
-um, -in, -er, dan -el-. Contoh:
singkir + -um- = sumingkir ‘menyingkir’ gandhul + -er- = gerandhul ‘menggantung dalam
tulis + -in- = tinulis ‘ditulis’ jumlah banyak’
titi + -el- = teliti ‘teliti’
c) Panambang (Sufiks atau Akhiran)
Dalam Bahasa Jawa, sufiks atau akhiran ini disebut dengan panambang. Panambang adalah proses
pengimbuhan afiks atau imbuhan yang diletakkan di akhir morfem. Beberapa jenis panambang dalam Bahasa
Jawa ada: -i, -a, -e, -en, -an, -na, -ana, -ane, -ake, -ne, -ku, dan -mu.
Sementara itu, menurut Sasangka (2008) menyebutkan bahwa panambang ini adalah imbuhan sing dumunung
ing buri tembung (imbuhan yang terletak di belakang kata). Contoh:
antem + -i = antemi ‘pukuli’ gebug + -ana = gebukana ‘permintaan untuk
tuku + -a = tukua ‘ayo dibeli’ memukul’
kembang + -e = kembange ‘bunganya’ silih + -ake = silihake ‘dipinjamkan’
sapu + -en = sapunen ‘perintah untuk menyapu’ lirik + -ne = lirikanne ‘lirikannya’
tandur + -an = tanduran ‘tanaman’ klambi + -mu = klambimu ‘baju milikmu’
jupuk + -na = jupukna ‘tolong ambilkan’ umah + -ku = umahku ‘rumah milikku’
d) Imbuhan Bebarengan (Konfiks)
Menurut Sasangka (2008), imbuhan bebarengan ini adalah imbuhan yang berwujudkan ater-ater (prefiks) dan
panambang (sufiks). Imbuhan bebarengan jika dalam Bahasa Indonesia disebut dengan konfiks.
Imbuhan bebarengan ini nantinya akan ditempatkan di antara kata dasar. Pada dasarnya, konfiks adalah
imbuhan tunggal yang terjadi dari adanya perpaduan di awalan dan akhiran sehingga mampu membentuk satu
kesatuan. Imbuhan yang meliputi dalam imbuhan bebarengan ini adalah:
ka-/-an A-/-ake sa-/-e
ke-/-en di-/-i dan masih banyak lagi.
pa-/-an di-/-a
pra-/-an di-/-ana
Contoh Imbuhan Bebarengan
ka- + pinter + -an = kapinteran ‘kecerdikan’ ng- + lamar + -a = nglamara ‘memerintah supaya
ke- + cilik + -en = kecilikan ‘terlalu kecil’ melamar’
pa- + pring + -an = papringan ‘tempat yang ada ny- + silih + -ake = nyilihake ‘meminjamkan’
bambu-bambunya’ m- + laku + -e + mlakune ‘jalannya’
pra- + tapa + -an = pratapaan ‘tempat untuk di- + salin + -ana = disalinana ‘digantikan’
bertapa’
m- + lumpat + -i = mlumpati ‘melompati’