Anda di halaman 1dari 138

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/314116602

Monozukuri, Rahasia Mencapai Produk Berkelas Dunia

Book · December 2016

CITATIONS READS

2 2,925

7 authors, including:

Farid Triawan Indra Hermawan


Sampoerna University kemenkomar
114 PUBLICATIONS 522 CITATIONS 6 PUBLICATIONS 65 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Aulia Averroes

4 PUBLICATIONS 29 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Farid Triawan on 07 June 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Monozukuri
Rahasia Mencapai Produk
Berkualitas Dunia~

Tim Enjinia Nusantara


2015

Buku ini merupakan versi beta. Buku versi lengkap dapat diperoleh dari
Penerbit Pena Nusantara, ISBN: 978-602-1277-546, Desember 2016
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Kata Pengantar

Produk buatan Jepang dapat dikatakan sangat sukses menembus persaingan pasar global dan
diterima dengan baik oleh seluruh masyarakat dunia. Mulai dari produk-produk elektronik
seperti TV, kulkas, mesin cuci, kemudian produk alat transportasi seperti mobil, sepeda motor,
dan pesawat terbang, sampai dengan produk untuk keperluan rumah tangga lainnya seperti baju,
alat-alat masak, dan furnitur, seluruhnya dapat diterima dengan baik karena dikenal memiliki
kualitas yang baik, tidak mudah rusak, dan harganya pun bersaing. Rahasia dari suksesnya
Jepang membuat produk-produk ini tidak lain karena Jepang memiliki sebuah konsep yang
disebut ‘Monozukuri’ dalam industri manufakturnya.
Monozukuri, mono artinya produk dan zukuri artinya pembuatan, secara harfiah memiliki
arti proses pembuatan produk atau proses manufaktur produk. Berbeda dengan istilah
manufaktur, proses monozukuri dari sebuah produk tidak hanya melingkupi teknik produksinya
saja, melainkan juga mencakupi proses riset dan pengembangan, pengembangan sumber daya
manusia, proses melayani pelanggan, dan proses peningkatan mutu produk, yang seluruhnya
dilakukan secara berkesinambungan dan berulang-ulang sehingga dihasilkan produk dengan
kualitas terbaik.
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Tuhan YME dan dengan semangat kuat ingin
berkontribusi demi kemajuan industri nasional Indonesia, buku yang menjelaskan secara
terperinci Rahasia di Balik Monozukuri ini berhasil kami selesaikan sebagai sumbangsih untuk
ibu pertiwi.
Buku ini terbagi atas 5 bab dan beberapa subbab. Semua pembahasan ditulis berdasarkan
pada ilmu dan pengalaman nyata para professional Indonesia yang telah lama berkecimpung di
dunia monozukuri Jepang. Bagi pembaca yang ingin memahami proses Monozukuri secara utuh
dan komprehensif, buku ini dapat dipelajari secara berurutan mulai dari Bab 1 sampai Bab 5.
Sedangkan bagi pembaca yang memiliki ketertarikan khusus pada subbab tertentu saja, buku ini
juga dapat langsung dibaca pada subbab manapun tanpa perlu membaca subbab sebelumnya.
Namun, kami menyarankan agar terlebih dahulu membaca paragraf pembuka di setiap bagian
awal bab sebelum mulai membaca subbab tertentu di dalamnya.
Buku ini merupakan kelanjutan dari buku pertama Enjinia Nusantara, yaitu ‘Bekerja ala
Jepang’. Pada buku pertama, telah kami jelaskan hal-hal pokok yang menjadi dasar dari proses
monozukuri itu sendiri, seperti Kaizen, Hourenso, 5S, Genchi-genbutsu, Anzen-dai-ichi, dan etika-
etika umum dalam bekerja. Budaya kerja unik ala Jepang ini pada kenyataannya memang selalu
diterapkan pada setiap bagian dalam proses monozukuri. Sedangkan pada buku ini, pembahasan
kami lebih fokuskan pada setiap tahap yang menyusun proses monozukuri. Dimulai dari
penjelasan tentang riset dan pengembangan, teknik-teknik produksi yang diterapkan di pabrik,
proses pengembangan sumber daya manusia, proses melayani pelanggan, sampai dengan
tentang sistem keuangan yang umumnya diterapkan di perusahaan Jepang. Rahasia-rahasia dari
masing-masing tahap monozukuri ini diungkap secara terperinci.

i
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Harapan kami, semoga buku ini bisa memberikan manfaat yang baik dan menjadi trigger bagi
kemajuan dan kebangkitan industri nasional.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada para penulis dan kontributor
yang telah bersedia meluangkan waktu dan berbagi ilmu serta pengalamannya sehingga buku
‘Monozukuri Rahasia Mencapai Produk Berkualitas Dunia’ ini bisa terwujud. Terima kasih juga
kami sampaikan kepada penerbit Pena Nusantara yang telah memberikan banyak saran dan
bantuan sehingga buku ini bisa terbit dengan lancar.
Kami sangat menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna dan banyak terdapat
kekurangan yang perlu diperbaiki dikemudian hari. Untuk itu, kami mengajak seluruh pembaca
untuk memberikan saran, kritik, ataupun harapan melalui alamat email
redaksi@enjinianusantara.org atau fan page Facebook Enjinia Nusantara.

Osaka, Agustus 2015


Ketua Tim Editor
Farid Triawan

ii
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Sambutan Ketua Enjinia Nusantara

“Hakikat bangkitnya industri nasional adalah


tumbuh kembangnya semangat peningkatan nilai sebuah produk
melalui proses industri (Monozukuri)”

Tidak dapat dipungkiri lagi, salah satu jalan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
memajukan ekonomi adalah pembangunan industri nasional. Urgensi ini semakin terasa
mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya sumber daya alam sekaligus
pasar yang besar.
Sudah saatnya kemajuan industri ini dimotori oleh putra-putri bangsa untuk berdikari dan
sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah terlebih dahulu maju atau sedang membangun
industri. Apalagi di tengah persaingan pasar industri yang ketat dan Indonesia menjadi salah
satu tujuan pasar yang cukup menjanjikan.
Tidak besar yang bisa kami sumbangkan untuk kemajuan industri saat ini, tetapi kami
sangat berharap dengan munculnya buku “Monozukuri Rahasia Mencapai Produk Berkualitas
Dunia” yang sejatinya adalah ilmu dan pengalaman yang kami peroleh dari negeri Jepang
tentang semangat Monozukuri yang telah berhasil melahirkan industri-industri handal di negeri
Samurai ini, mampu melahirkan gelombang semangat membara di tengah masyarakat untuk
bersama-sama, bergotong royong bahu membahu dan bersatu padu membangun industri
nasional demi kemaslahatan hidup.
Enjinia Nusantara sebagai salah satu elemen bangsa bertekad untuk terus berkarya,
berjuang, dan turut berpartisipasi aktif di dalam mewujudkan salah satu cita-cita luhur bangsa
ini yaitu kemajuan dan kemandirian industri nasional.
Semua kembali kepada kita, bagaimana nasib industri nasional ke depannya. Tentunya
tidak ada pilihan kecuali maju dan berkembang, dan di pundak kitalah tugas itu berada.

Hanya satu tekad.


Dengan itikad yang baik, kerja keras, pantang menyerah, dan pantang mengeluh.
Karena semua perubahan itu adalah KITA!

Osaka, Agustus 2015


Ketua Enjinia Nusantara
Abdi Pratama

iii
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................................................................................................ i


Sambutan Ketua Enjinia Nusantara ..................................................................................................................... iii
Daftar Isi ......................................................................................................................................................................... iv
Prolog: Mencapai Kemandirian Industri Nasional dengan Monozukuri .................................................1
BAB 1 RISET DAN PENGEMBANGAN KENKYU KAIHATSU – 研究開発 ..................................................2
1. 1. Benchmark, “Membongkar Produk Lain Menuai Ilmu ......................................................................4
1. 2. Riset ≠ 0 ..............................................................................................................................................................6
1. 2. 1. Latar Belakang Pengembangan Teknologi TIGAR ....................................................................8
1. 2. 2. Memodifikasi Teknologi Lama .........................................................................................................9
1. 2. 3. Tahapan R&D Teknologi TIGAR .................................................................................................... 11
1. 3. Peran Pemerintah dan Kolaborasi R&D .............................................................................................. 13
1. 3. 1. Pelajaran Berharga............................................................................................................................. 15
1. 4. Pengembangan dan Kemajuan Front-End Perangkat Lunak ...................................................... 16
1. 4. 1. Perkembangan Front-End ............................................................................................................... 17
1. 4. 2. Perkembangan Back-End ................................................................................................................ 18
1. 4. 3. Pengembangan Software dengan LAMP, MEAN.io ................................................................ 19
1. 4. 4. Keuntungan dan Batasan Penggunaan Framework .............................................................. 20
1. 4. 5. Rangkuman ........................................................................................................................................... 21
1. 5. Proses Pengembangan Software dan Kontrol Kualitas ................................................................. 22
1. 5. 1. Prinsip “Meiwaku Kakenai” dalam Kontrol Kualitas ............................................................ 22
1. 5. 2. Tahap Pengembangan Software ................................................................................................... 22
1. 5. 3. Struktur software ............................................................................................................................... 25
1. 5. 4. Penjaminan Kualitas dalam Pengembangan Software......................................................... 26
1. 5. 5. Tahap Verifikasi dalam Pengembangan Software ................................................................. 27
1. 5. 6. Indikator Penjaminan Kualitas Software .................................................................................. 29
1. 5. 7. Tepat Waktu dan Kualitas ............................................................................................................... 30
1. 6. Bentengi Produk dengan Paten .......................................................................................................... 31
1. 6. 1. Anggapan Umum tentang Paten ................................................................................................... 31

iv
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

1. 6. 3. Sistem Paten ......................................................................................................................................... 31


1. 6. 4. Mengapa Paten Penting.................................................................................................................... 32
1. 6. 5. Sistem Paten di Jepang ..................................................................................................................... 32
1. 6. 6. Proses Mendapatkan Paten di Jepang......................................................................................... 33
1. 6. 7. Fungsi Paten bagi Perusahaan ....................................................................................................... 35
1. 6. 8. Strategi Paten Perusahaan Jepang ............................................................................................... 36
1. 6. 9. Pengalaman Menulis Paten di Jepang ......................................................................................... 37
BAB 2 PRODUKSI – SEISAN – 生産 ...................................................................................................................... 39
2. 1. Cost Sown but Quality First...................................................................................................................... 40
2. 2. Lokalisasi, antara Efektifitas dan Kualitas ......................................................................................... 46
2. 2. 1. Mengapa Perlu dilakukannya Lokalisasi Komponen ............................................................ 47
2. 2. 2. Kendala melakukan lokalisasi komponen................................................................................. 48
2. 3. Takt Time: Satu menit, Satu Produk ..................................................................................................... 52
2. 3. 1. Takt time dan Cycle Time ................................................................................................................ 52
2. 4. Langkah-langkah Deteksi dan Antisipasi Masalah .......................................................................... 59
2. 4. 1. Kerugian Akibat Barang Cacat ....................................................................................................... 59
2. 4. 2. Sisi Pandang Barang Defect antara Produsen dan Konsumen .......................................... 60
2. 4. 3. Pengecekan berlapis .......................................................................................................................... 61
2. 4. 4. Inspeksi pada Setiap Proses ........................................................................................................... 61
2. 4. 5. Jig .............................................................................................................................................................. 62
2. 4. 6. Poka-Yoke .............................................................................................................................................. 63
2. 4. 7. Double Check ........................................................................................................................................ 64
2. 4. 8. Zero Defect dan Furyouhin Nagasanai ....................................................................................... 65
2. 4. 9. Pengawasan Defect Ratio ................................................................................................................ 65
BAB 3 PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA HITOZUKURI – 人づくり................................ 70
3. 1. Lika-liku Pendidikan Karyawan Baru “Shinjin” ............................................................................... 70
3. 1. 1. Masa Orientasi ..................................................................................................................................... 71
3. 1. 2. Pelatihan Manufaktur/Monozukuri ............................................................................................ 73
3. 2. Globalisasi Monozukuri dan Peran Pekerja Asing........................................................................... 77
3. 2. 1. Globalisasi Monozukuri .................................................................................................................... 77
3. 2. 2. Peran Pekerja Asing di Luar Jepang ............................................................................................ 78

v
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

3. 2. 3. Kebutuhan akan Pekerja Asing di Jepang .................................................................................. 79


3. 2. 4. Peran Pekerja Asing di Jepang ....................................................................................................... 80
3. 3. Gotong Royong dalam Monozukuri ...................................................................................................... 83
3. 3. 1. Penerapan prinsip Muranogurupu............................................................................................... 83
3. 3. 2. Perbedaan Kerja ala Jepang dan Eropa ...................................................................................... 86
3. 3. 3. Gotong Royong saat Gempa ............................................................................................................ 87
BAB 4 KEPUASAN PELANGGAN – OMOTENASHI – おもてなし ............................................................. 90
4. 1. Pelanggan adalah Raja................................................................................................................................ 90
4. 1. 1. Pelayanan Konsumen Terbaik Ada di Jepang .......................................................................... 91
4. 1. 2. Apa yang Indonesia bisa Lakukan untuk Mendekati Level Pelayanan di Jepang ...... 94
4.2. Lebih dari Sekedar Kepuasan Pelanggan ............................................................................................. 96
4. 2. 1. Keseharian Dealer Mobil.................................................................................................................. 96
4. 2. 2. Kegiatan Toko ...................................................................................................................................... 97
4. 2. 3. Customer First ..................................................................................................................................... 98
4. 2. 4. Aspek Keselamatan ............................................................................................................................ 98
4. 2. 5. Aspek kepuasan................................................................................................................................... 99
4. 2. 6. Aspek pembelian berulang .......................................................................................................... 100
4. 3. Keamanan Produk dan Harga .............................................................................................................. 101
4. 4. Inovasi Melalui Peningkatan Nilai Tambah (Fukakachi) ........................................................... 103
BAB 5 KEUANGAN PADA MONOZUKURI ....................................................................................................... 105
5.1. Sistem Pelaporan Keuangan Monozukuri ........................................................................................ 105
5. 1. 1. Regulasi dan Penegakan Aturan Akuntansi .......................................................................... 106
5. 1. 2. Pengaturan dan Pembinaan Akuntansi................................................................................... 107
5. 1. 3. Pelaporan Keuangan ...................................................................................................................... 108
5. 1. 4. Pengukuran Akuntansi .................................................................................................................. 109
5. 2. KEIRETSU ..................................................................................................................................................... 110
5. 2. 1. Jenis keiretsu ..................................................................................................................................... 114
5. 3. Sisi Finance pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Jepang ............................... 116
5. 3. 1.Finance pada Tahap Pendirian UMKM ..................................................................................... 116
5. 3. 2.Finance pada Tahap Operasional UMKM ................................................................................ 117
Epilog: dari Purwarupa ke Produksi Massal ................................................................................................ 119

vi
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

1. Purwarupa, Produksi Massal dan Kualitas ..................................................................................... 119


2. Kembangkan Industri Hulu ................................................................................................................... 121
3. Percepat Alih Teknologi ......................................................................................................................... 121
Profil Penulis dan Editor ...................................................................................................................................... 124

vii
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Prolog: Mencapai Kemandirian Industri Nasional dengan Monozukuri

Rachmat Gobel
Menteri Perdagangan RI 2014-2015 dan Tokoh Monozukuri Indonesia

1
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

BAB 1
RISET DAN PENGEMBANGAN
KENKYU KAIHATSU – 研究開発

Alfian Muhammad, Aulia Averroes, Bondan Setiawan, Endrianto Djajadi,


Dedy Eka Priyanto, Farid Triawan, Sonny Kurniawan

Riset dan pengembangan (R&D) merupakan pekerjaan yang harus dilakukan untuk
menciptakan produk baru. Tanpa R&D, inovasi baru tidak akan lahir, dan sebuah produk tanpa
inovasi dapat dipastikan akan hilang dimakan waktu karena kalah bersaing dengan produk lain
yang lebih canggih dan murah. Oleh karena itu, sudah menjadi hal yang lumrah bagi industri-
industri di Jepang mengalokasikan lebih dari 4% pendapatannya untuk dana R&D. Bahkan untuk
industri obat-obatan dan bahan kimia bisa lebih tinggi lagi, mencapai diatas 10% dari
pendapatan mereka. Bagi mereka, dana riset tidak dianggap sebagai pengeluaran namun sebagai
investasi untuk masa depan. Di dalam bab ini, akan dibahas hal-hal penting terkait kegiatan riset
dan pengembangan di perusahaan Jepang.

Kegiatan riset dan pengembangan pada umumnya meliputi tiga tahap seperti dibawah ini.
1) Tahap Peninjauan Teknologi dan Kebutuhan Pasar
Penyusunan konsep/desain sebuah produk dilakukan pada tahap ini dengan cara melakukan
peninjauan terhadap teknologi/produk yang sudah ada, dan melihat kebutuhan pasar di
masa yang akan datang. Lalu, disusun rencana penelitian yang dibutuhkan untuk
merealisasikan produk tersebut. Dalam perencanaan ini, penelitian umumnya dibagi
menjadi dua tahap, yaitu tahap penelitian dasar dan tahap penelitian untuk produksi massal.
2) Tahap Penelitian Dasar
Pada tahap ini, spesimen uji, eksperimen, alat uji, maupun simulasi numerik dilakukan pada
skala kecil. Tujuannya adalah untuk mempelajari apakah desain produk yang dibuat dapat
dikomersilkan atau tidak. Pengujian-pengujian yang sifatnya mendasar dilakukan untuk
memahami perilaku produk yang sedang dikembangkan. Tidak jarang penelitian pada tahap
ini dilakukan bersama dengan pihak akademisi di universitas. Karena diperlukan
pemahaman teknis dan teoritis yang komprehensif agar tidak keliru dalam melakukan
eksperimen maupun menganalisa hasilnya. Konsep desain yang sudah dibuat dapat
mengalami banyak perubahan dan modifikasi menyesuaikan hasil pengujian yang diperoleh,
kemudian dilakukan pengujian ulang sampai ditemukan bentuk sempurna yang layak untuk
dikomersilkan.
3) Tahap Penelitian untuk Produksi Massal
Tahap ini merupakan kelanjutan dari tahap sebelumnya, yang dilakukan jika desain dari
produk yang diteliti berhasil masuk dalam kategori layak untuk dikomersilkan. Pada tahap
ini dilakukan verifikasi lanjutan terhadap desain produk namun pada skala sebenarnya. Jika

2
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

lolos verifikasi, selanjutnya adalah membuat standarisasi desain produk agar dapat
diproduksi secara massal.

Dana R&D yang diberikan untuk masing-masing tahap di atas juga memiliki beberapa jenjang,
mulai dari skala kecil (puluhan juta rupiah) hingga skala besar (miliaran rupiah). Dana skala
kecil biasanya diberikan untuk melakukan tahap peninjauan teknologi. Bila rencana penelitian
yang dibuat pada tahap ini disetujui, maka selanjutnya akan diberikan dana yang lebih besar
untuk melakukan tahap penelitian dasar. Kemudian, jika teknologi yang dikembangkan masuk
kategori layak dikomersilkan, maka dana yang lebih besar lagi akan diberikan untuk
menyelesaikan tahap penelitian untuk tujuan produksi massal.
Pada bagian awal bab ini, akan dijelaskan cara pelaksanaan tahap peninjauan teknologi
dengan melakukan Benchmark atau pembandingan teknologi dengan produk yang tersedia
dipasaran. Di bagian ini akan digambarkan kegiatan yang umumnya dilakukan oleh perusahaan
Jepang dalam rangka memahami perkembangan teknologi terkini dan mencari ide inovasi baru
dari produk yang akan dikembangkan.
Tahap penyusunan konsep desain dari produk yang sedang dikembangkan tidak selalu untuk
membuat konsep produk yang sama sekali baru dan belum pernah ada di dunia. Justru yang
banyak dilakukan adalah penyempurnaan dari teknologi yang sudah ada, atau untuk mencari
solusi dari permasalahan pada produk yang sudah dikomersilkan. Sehingga, dalam proses
penyusunan konsep desain ini, prinsip ‘tidak mulai dari nol’ sering diterapkan. Desain produk
yang lama akan ditinjau kembali, lalu teknologi yang sudah tersedia dilapangan dipelajari untuk
kemudian diadopsi, dimodifikasi, atau disesuaikan dengan kebutuhan untuk menghemat biaya
dan memersingkat waktu penelitian. Pemaparan terhadap kegiatan R&D ini akan diberikan
dengan mempelajari contoh pengembangan teknologi gasifikasi TIGAR milik IHI Corporation
dan pengembangan produk-produk software.
Pada bagian selanjutnya, akan dibahas secara terperinci proses pengembangan produk mulai
dari skala kecil (prototipe) sampai siap diproduksi massal dan digunakan oleh pelanggan. Dalam
bagian ini, proses pengembangan software diambil sebagai contoh. Kultur kuat dari perusahaan
Jepang dalam menjamin kualitas produk akan diperlihatkan pada bagian ini. Prinsip “meiwaku
kakenai” atau “tidak membuat masalah” demi mencapai kepuasan pelanggan benar-benar
diterapkan pada setiap tahapan proses R&D.
Hal yang tidak kalah penting dalam mendukung kegiatan riset dan penelitian seperti peran
pemerintah dan hal-hal unik terkait proses pembuatan paten dan hak cipta juga akan dijelaskan
pada bab ini.

3
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

1. 1. Benchmark, “Membongkar Produk Lain Menuai Ilmu

Sony Corporation adalah salah satu Perusahaan Elektronik terbesar di Jepang saat ini. Dulunya
ketika Sony Corporation dibuat, Sony mempunyai slogan:

“Buat apa yang belum orang lain buat”

Slogan ini memuat makna yang dalam sekali, di mana ketika membuat produk harus dicari
barang atau produk apa yang belum pernah ada di dunia ini, sehingga keasliannya terjamin.
Meniru produk orang lain saja adalah suatu pekerjaan yang mudah. Akan tetapi membuat apa
yang belum pernah terpikir oleh orang lain sungguh bisa membuat kepala pening. Hal ini lah
yang selalu penulis rasakan ketika harus membuat ide-ide produk baru setiap tahunnya. Sebagai
hasilnya, bisa kita lihat banyak produk-produk buatan Sony yang sangat unik dan orisinal
dimana perusahaan lain belum pernah membuatnya. Contohnya seperti booming-nya produk
“Walkman” di pasar Amerika yang membuat Sony terkenal di dunia internasional.
Membuat apa yang belum pernah orang lain buat memang penuh dengan risiko, andaikan
barang tersebut ternyata laku di pasaran, hal ini sangat menguntungkan perusahaan karena
semua keuntungan akan menjadi milik perusahaan dan perusahaan yang meniru barang
tersebut harus membayar hak paten atas produk tersebut. Seperti halnya produk Walkman saat
itu, sungguh sangat menguntungkan Sony dan menjadikan Sony sebagai salah satu perusahaan
elektronik yang besar baik di dalam Jepang maupun di luar Jepang.
Akan tetapi kalau ternyata barang yang dibuat tidak laku di pasaran tentunya produk ini
akan berhenti di tengah jalan dan akan hilang secara perlahan dari pasaran. Seperti halnya di
awal tahun 1980-an Sony membuat format video sendiri yang diberi nama Betamax. Betamax
berbeda dengan format video yang digunakan perusahaan lain yaitu VHS. Persaingan
berlangsung beberapa tahun yang pada akhirnya karena banyak perusahaan elektronik
bergabung di format VHS, Sony harus menanggung kekalahan. Walaupun demikian Sony masih
memproduksi Betamax sampai sekarang dalam jumlah yang sedikit.
Contoh lainnya, pada awal tahun 2000-an Sony membuat format baru dalam penyimpanan
video camera yang diberi nama Micro MV. Besar kasetnya setengah dari kaset Mini DV. Akan
tetapi karena pada saat itu masyarakat masih merasa puas dengan format Mini DV, akhirnya
Micro MV tidak dapat bertahan lama. Baru 5 jenis produk Handycam berbasis format Micro MV,
tahun 2005 produksinya sudah dihentikan. Waktu yang cukup singkat untuk suatu produk.
Hal di atas hanya sebagai contoh saja di mana dalam memproduksi suatu barang di satu sisi
keaslian atau keorisinalannya harus terjamin. Akan tetapi perlu dipahami juga bahwa tidak
semua yang baru itu akan laku di pasaran. Tentang keorisinalan produk masih dipegang oleh
Sony sebagai suatu prinsip, akan tetapi selain keorisinalan, ada sisi lain di mana sisi bisnis pun
menjadi perhatian yang sangat penting.
Dengan semakin majunya zaman, perusahaan elektronik pun bagaikan jamur yang tumbuh
di musim hujan. Selain perusahaan Jepang yang sudah berdiri lama seperti Panasonic, Sharp,
Canon, saat ini sudah tumbuh juga perusahaan elektronik selain Jepang yang mulai
4
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

mengembangkan pemasarannya di dunia internasional seperti Samsung, LG dari Korea, AUO,


CMI dari Taiwan dan masih banyak lagi perusahaan di luar Jepang yang mulai berkembang. Dan
boleh dikatakan untuk saat ini Samsung menduduki peringkat atas dalam memproduksi barang-
barang elektronik. Ini menunjukkan semakin ketatnya persaingan di antara produsen alat-alat
elektronik.
Banyak dijumpai satu produk misalnya video camera yang bentuk luar dan fungsinya mirip-
mirip walaupun perusahaannya berbeda. Oleh karena itu selain dari keorisinalan produk,
ternyata memelajari produk orang lain juga diperlukan. Dengan memelajari produk perusahaan
lain kita bisa mengetahui produk seperti apa yang menjadi trend sekarang ini. Fitur atau fungsi
apa yang menjadi dambaan para konsumen. Dan masih banyak sekali hal yang bisa kita ambil
dengan memelajari produk perusahaan lain.
Misalnya ketika penulis membongkar produk perusahaan lain, kami menemukan hal-hal
baru yang belum terfikirkan sebelumnya. Hal ini bisa menjadi ide baru bila diolah dan
dikembangkan dengan baik. Selain itu kita juga bisa memprediksi kira-kira 1 tahun atau 2 tahun
ke depan produk apa yang akan dikembangkan oleh perusahaan tersebut.
Dari pengamatan beberapa tahun terakhir akan terlihat trend seperti apa yang akan
dikembangkan oleh perusahaan tersebut dan Sony bisa membuat strategi baru agar bisa
melebihinya. Begitulah cara mendapatkan ilmu dari produk orang lain. Biasanya sebelum suatu
produk dipasarkan, perusahaan membuat press release yang memuat jenis produk,
keunggulannya dan kapan akan dipasarkan. Kami di bagian pengembangan produk (product
development) mulai mengumpulkan data produk apa saja, jenis apa saja, keunggulan apa saja
yang dimiliki produk tersebut. Dan juga kami kumpulkan data perbedaan apa saja yang dimiliki
produk baru tersebut bila dibandingkan dengan produk tahun sebelumnya.
Sebagai contoh, di divisi khusus bagian LCD/Monitor video kamera dan digital kamera, yang
menjadi pusat perhatian adalah seperti hal-hal berikut:
• Berapa besar LCD yang digunakan
• Tampak luar dari produk, berapa tipisnya dan berapa beratnya
• Berapa part atau komponen elektronik yang digunakan. Hal ini berhubungan dengan biaya
keseluruhan komponen dan juga luas board yang digunakan
• Berapa luas board untuk komponen yang digunakan
• Jenis IC apa yang digunakan, Digital Interface atau Analog Interface
• Apa kekhususan dari produk tersebut bila dibandingkan dengan produk tahun sebelumnya
dan bila dibandingkan dengan produk perusahaan lain

Dalam satu tahun pembongkaran produk perusahaan lain bisa dilakukan sebanyak dua kali.
Hal ini karena memang musim dikeluarkannya produk baru di Jepang biasanya dua kali dalam
setahun. Setiap tahun produk video kamera atau digital kamera keluar pada bulan Oktober
dengan promosi utama untuk kegiatan Undokai (acara festival olahraga anak-anak di sekolah)
dan bulan Februari dengan promosi utama untuk acara Nyugakushiki (upacara pertama kali
masuk sekolah).

5
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Satu kali pembongkaran bisa sampai 5-10 perusahaan dan jenis kamera video atau kamera
digitalnya bisa sampai 15-20 jenis produk. Setelah kami meneliti 20 jenis produk tersebut kami
akan mempresentasikan hasil penelitian tersebut di depan para General Manager dan
memberikan penjelasan kepada mereka mengenai kekhususan dan trend tahun ini. Bila ada yang
dinilai baik, General Manager akan memberikan rekomendasi untuk lebih memerdalam
penelitian tersebut dan menugaskan bagaimana agar fungsi atau fitur tersebut dapat digunakan
pada produk Sony atau bagaimana agar produk Sony bisa lebih bagus dari perusahaan yang lain
itu.
Misalnya produk perusahaan A sekarang hanya menggunakan 100 komponen tetapi
sekarang Sony masih menggunakan 120 part, para engineer diminta untuk memikirkan
bagaimana agar di tahun yang akan datang produk Sony bisa hanya menggunakan 100
komponen atau lebih sedikit dari itu. Atau misalnya Produk A pada saat ini laku di pasaran dan
setelah kami teliti ternyata karena LCD/monitornya cukup besar, tipis, dan sangat jelas sehingga
konsumen puas dengan LCD tersebut, maka kami mulai mendesain produk dengan LCD yang
serupa dengan produk tersebut.
Dalam hal bongkar-membongkar produk perusahaan lain, banyak hal yang bisa kita pelajari
selain hal-hal yang sudah dituliskan di atas. Kita dapat mengambil pelajaran seperti,

“Oh ternyata perusahaan A sudah memimpin di bagian ini”

“Oh ternyata dalam bagian itu Sony yang paling maju”, dan lain-lain.

Ini dapat memberikan pemahaman sejauh mana teknologi yang sudah dimiliki oleh
perusahaan lain dan di posisi mana perusahaan kita berada. Dari bincang-bincang dengan
beberapa teman yang bekerja di perusahaan lain ternyata memang benchmark atau
membandingkan produk sendiri dengan produk perusahaan lain sudah menjadi hal yang umum
dan dianggap penting.
Sebagai penutup, keaslian sebuah produk memang sangat diharapkan dalam kegitan R&D,
akan tetapi ketika kita berbicara tentang bisnis, maka harus dilihat juga produk mana yang
diminati oleh para konsumen. Membongkar produk perusahaan lain adalah salah satu cara
efektif dan efisien untuk mengetahui apa yang diminati oleh para konsumen. Selain itu dengan
membongkar produk orang lain, trend teknologi terkini dapat diperoleh, dan dapat pula
digunakan untuk mengetahui di posisi mana perusahaan kita sekarang berada.

1. 2. Riset ≠ 0

Sebuah riset dan pengembangan biasanya selalu identik dengan hal baru yang belum ada
sebelumnya. Namun di dunia monozukuri, riset tidak selalu harus dimulai dari nol, namun bisa
dengan mengembangkan teknologi yang sudah tersedia. Salah satu contohnya adalah
pengembangan teknologi TIGAR yang dilakukan oleh perusahaan IHI di Jepang.

6
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Tahun 2013, IHI Corporation dan PT Pupuk Kujang menandatangani kerja sama untuk
mendirikan unit demo gasifikasi yang mampu mengolah 50 ton/hari batu bara kelas rendah
menjadi salah satu bahan bakar pembuatan pupuk yaitu gas hidrogen. Unit yang menggunakan
teknologi bernama TIGAR (Twin IHI GAsifieR), saat ini sedang dalam masa tes produksi selama
dua tahun ke depan untuk menguji ketahanan dan kemudahan pengoperasian unit gasifikasi.
Ditargetkan tidak lama lagi teknologi ini bisa dikomersilkan di Indonesia.
Seperti yang tertera pada Gambar 1-1 di bawah, teknologi ini dapat mengubah batu bara
kelas rendah menjadi karbon monoksida (CO) dan hidrogen (H2), atau lebih dikenal sebagai
syngas (gas sintetik). Syngas yang dihasilkan bisa langsung digunakan untuk menggerakkan gas
turbin atau melalui proses kimia tambahan bisa diubah menjadi hidrogen dengan konsentrasi
tinggi, gas metan sebagai pengganti gas alam, metanol, atau bahkan gasolin.
Bagi Indonesia yang memiliki sumber daya batu bara kelas rendah melimpah, teknologi
gasifikasi ini akan bermanfaat untuk mengubah batu bara kelas rendah menjadi sintetik gas
sebagai bahan baku kimia atau bahan bakar seperti gasolin (bensin). Hal ini juga dapat
menghemat penggunaan gas alam di tanah air. Sedangkan bagi IHI, pembangunan unit ini
sebagai langkah awal untuk membuka pasar tidak hanya di Indonesia, namun juga Australia,
China dan India yang juga memiliki cadangan batu bara kelas rendah yang melimpah namun
belum termanfaatkan secara optimal.
Artikel ini akan coba membahas latar belakang dibalik pengembangan teknologi TIGAR,
bagaimana teknologi ini bisa muncul, dan bagaimana cara perusahaan Jepang menghemat biaya
penelitiannya.

Gambar 1-1. Proses pengolahan batu bara

7
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

1. 2. 1. Latar Belakang Pengembangan Teknologi TIGAR


IHI yang sudah berusia 160 tahun ini, mempunyai sejarah panjang sebagai pembuat boiler
pembangkit listrik di Jepang dan juga di dunia. Boiler adalah alat untuk mengubah panas hasil
pembakaran seperti minyak, batu bara, atau gas alam menjadi uap yang bersuhu dan bertekanan
tinggi. Sehingga boiler merupakan salah satu bagian terpenting dan menentukan tingkat
efisiensi sebuah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Salah satu jenis boiler yang memiliki efisiensi tinggi adalah ultra super critical (USC) boiler.
Boiler ini mampu membuat uap bersuhu 600ο C dengan tekanan 25 MPa, dan dapat
meningkatkan efisiensi pembangkit listrik menjadi 43%, jauh lebih tinggi dibandingkan PLTU
batubara pada umumnya yang hanya 30-35%. Efisiensi yang tinggi tidak hanya bermanfaat
untuk mengurangi jumlah bahan bakar yang dibutuhkan namun juga mengurangi emisi CO2
yang berdampak buruk bagi lingkungan. Hampir semua pembangkit listrik tenaga uap di Jepang
menggunakan boiler jenis ini, dan IHI mengusai pangsa pasar lebih dari 50%.
Namun boiler jenis USC ini masih sedikit dijumpai di negera berkembang di Asia, karena
harganya lebih mahal dibanding boiler jenis biasa. Sedangkan untuk boiler jenis biasa dengan
efisiensi rendah, perusahaan China memiliki market-share yang besar karena harganya yang
murah dan IHI kalah bersaing untuk boiler jenis ini. Boiler jenis ini banyak digunakan di PLTU
di tanah air.
Kerasnya persaingan boiler oleh perusahaan dari negara berkembang seperti China dan
Korea Selatan dan jenuhnya market boiler di Jepang, memaksa IHI berpikir untuk
mengembangkan produk baru di bidang energi sehingga lahirlah teknologi TIGAR.
Pengembangan teknologi TIGAR juga dilatarbelakangi oleh banyaknya cadangan batu bara
kelas rendah di dunia dan masih sedikit teknologi pengelolaan batu bara jenis ini. British
Petroleum (BP) memerkirakan cadangan batu bara bisa mencapai 140 tahun dan 50% lebih
adalah batu bara kelas rendah seperi jenis lignite dan sub-bituminous. Walaupun memiliki
cadangan yang banyak di dunia, batu bara kelas rendah ini tidak termanfaatkan secara optimal
karena selain memiliki nilai kalori rendah dan kadar air yang tinggi, juga memiliki sifat yang
mudah terbakar secara alami bila dikeringkan. Sifat-sifat inilah yang menyulitkan transportasi
batu bara kelas rendah, khususnya lignite, ke tempat yang jauh. Karena itu, opsi mengubah batu
bara kelas rendah menjadi gas metan atau produk kimia bernilai tinggi terlebih dahulu lebih
menjanjikan.
Teknologi mengubah batu bara menjadi gas, atau lebih dikenal sebagai teknologi gasifikasi,
sebenarnya adalah teknologi lama yang sudah dikembangkan sejak tahun 1950. Adalah Sasol
Corp., perusahaan energi asal Afrika Selatan (Afsel) menjadi satu-satunya perusahaan di dunia
yang sampai detik ini mengaplikasi teknologi gasifikasi batu bara menjadi gasolin dan produk
kimia lainnya. Pada masa itu, Afsel menerapkan sistem apartheid dimana warga kulit hitam
mendapat perlakuan diskriminasi dari warga kulit putih. Akibat penerapan sistem ini, Afsel
dilarang mengimpor minyak oleh dunia. Hal ini memaksa Afsel, melalui Sasol Corp. Untuk
mengembangkan teknologi gasifikasi batu bara, yang banyak terkandung di Afsel, sebagai
alternatif pengganti minyak.

8
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Akan tetapi teknologi gasifikasi yang pada umumnya dikembangkan saat ini adalah untuk
batu bara kelas tinggi dimana pengoperasiannya memerlukan suhu (1300ο - 1500ο C) dan
tekanan tinggi (3 MPa). Sehingga teknologi gasifikasi pada umumnya terbilang mahal dan jarang
diaplikasikan dalam skala komersil.
Berbeda dengan batu bara kelas tinggi, batu bara kelas rendah sangat reaktif dan mudah
digasifikasi oleh uap air pada suhu yang lebih rendah, 800ο - 900ο C. Karena itu, sangat
memungkinkan pengembangan teknologi gasifikasi pada suhu rendah dan harga yang lebih
terjangkau, salah satunya adalah teknologi TIGAR.

1. 2. 2. Memodifikasi Teknologi Lama


Pengembangan produk baru tidaklah serta merta harus dimulai dari nol, namun bisa dimulai
dengan memodifikasi dan mengembangkan teknologi inti yang sudah dimiliki. Hal ini lah yang
dilakukan IHI dalam pengembangan teknologi TIGAR.
Sebelum memerkenalkan teknologi gasifikasi TIGAR, saya ingin membahas sedikit tentang
boiler (tungku uap). Boiler mempunyai peranan penting dalam pembangkit listrik karena
berfungsi untuk menghasilkan uap panas yang digunakan untuk menggerakkan turbin untuk
menghasilkan listrik. Ada banyak jenis macam boiler untuk batu bara, namun yang dominan di
pasaran saat ini adalah Pulverized Coal (PC) boiler dan CFB (Circulating Fluidized-Bed).
Pulverized Coal Boiler atau sering disingkat PC boiler, adalah boiler yang menggunakan batu
bara yang telah dihancurkan (pulverized) menjadi partikel yang sangat kecil (75% partikelnya
berukuran di bawah 75 mikrometer). Karena menggunakan batu bara dengan ukuran partikel
sangat kecil, PC boiler mempunyai tingkat efisiensi pembakaran dan energy yang sangat tinggi
dibanding boiler jenis lain. PC boiler juga memiliki kapasitas yang besar dimana satu unit PC
boiler mampu menghasilkan lebih dari 1000 MW. Tak heran bila 90% lebih boiler di dunia
menggunakan PC boiler.
Hanya saja salah satu kelemahan dari PC boiler adalah temperatur pembakarannya sangat
tinggi (1300ο - 1700ο C). Boiler jenis ini sangat sensitif terhadap bahan bakar yang memiliki
kandungan alkali/alkali tanah dan besi yang tinggi seperti batu bara kelas rendah karena abu
yang dihasilkan memiliki temperatur leleh yang rendah (di bawah 1200ο C) dan dapat
menimbulkan permasalahan pada operasi boiler. Selain itu, karena bahan bakar harus
dihancurkan menjadi partikel yang sangat kecil, biomass yang sukar dihancurkan seperti kayu
kurang cocok digunakan bahan bakar PC boiler. Boiler yang cocok untuk membakar bahan bakar
kualitas rendah seperti batu bara kelas rendah, biomassa, dan sampah adalah Circulating
fluidized-bed (CFB). CFB boiler pada umumnya memiliki temperatur operasi yang rendah (800ο
- 950ο Celcius) dan tidak mensyaratkan bahan bakar harus dihancurkan menjadi partikel kecil
seperti PC boiler sehingga cocok untuk bahan bakar kualitas rendah.
IHI memiliki banyak pengalaman dalam memproduksi CFB (Circulating Fluidized-Bed)
boiler. Prinsip kerja dari boiler ini bisa dibagi menjadi dua tahap. Pertama, pembakaran bahan
bakar pada medium pasir dengan udara yang dialirkan dari bawah boiler dengan kecepatan
tinggi sehingga bahan bakar dan pasir akan terbang bersama udara dan terbakar (lihat Gambar

9
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

1-2). Kedua, tahap sirkulasi. Sisa bahan bakar yang belum terbakar seluruhnya dan padatan (abu
dan pasir) lainnya yang terbawa oleh gas akan dipisahkan pada cyclone dan direcycle kembali
ke ruang pembakaran (furnace). Proses ini terus berulang sehingga bahan bakar bisa terbakar
efisien dengan menggunakan boiler jenis ini.
Dengan memanfaatkan teknologi CFB ini, IHI kemudian mengembangkan teknologi
gasifikasi TIGAR sehingga bentuk dari unit gasifikasi TIGAR dan CFB boiler memiliki kemiripan
bentuk seperti terlihat pada Gambar 1-2. Namun salah satu yang membedakannya adalah
adanya ruang gasifikasi yang terpisah dengan ruang pembakaran (combustor/furnace). Ruang
gasifikasi ini berfungsi sebagai tempat mengubah batu bara oleh uap air pada suhu 800ο - 900 ο
C menjadi syngas. Berbeda dengan CFB di mana bahan bakar dimasukkan ke ruang pembakaran,
pada TIGAR batu bara dimasukkan melalui ruang gasifikasi bersama dengan uap air. Dengan
modifikasi ini, gas hasil pembakaran dan gas hasil gasifikasi tidak akan tercampur sehingga
memungkinkan produksi gas CO dan hidrogen dengan konsentrasi tinggi.
Modifikasi lainnya adalah menjadikan pasir sebagai media pemanas untuk ruang gasifikasi.
Salah satu tantangan terbesar pada teknologi ini adalah bagaimana memanaskan secara
homogen ruang gasifikasi menjadi 800ο - 900ο C. Bila menggunakan gas sebagai penghantar
panas maka ada kekhawatiran gas tersebut tercampur dengan gas hasil gasifikasi yang akan
menyulitkan proses pemisahan gas tersebut. Sehingga dipilih padatan berupa pasir dari bahan
tertentu yang tahan panas, yang dipakai juga pada CFB boiler. Pasir sangat cocok karena
memiliki sifat penghantar dan penyimpan panas yang baik serta mampu menghomogenkan
suhu pada suatu ruangan. Prosesnya seperti berikut; sumber pemanas dibakar dengan udara
berkecepatan tinggi dan panas yang dihasilkan kemudian disimpan oleh pasir silica yang ikut
terbang bersama dengan gas di ruang pembakaran. Gas hasil pembakaran dan pasir akan dipisah
oleh cyclone dan kemudian pasir yang bersuhu sekitar 800ο - 900ο C dialirkan ke ruang gasifikasi
untuk memanaskan ruang gasifikasi.
Dengan mengembangkan teknologi yang sudah ada untuk diterapkan ke aplikasi lain, tidak
hanya bisa mengurangi biaya penelitian, namun juga membuka jalan bisnis baru.

10
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

sumber : sumber :
http://www.brighthubengineering.com/power- http://www.ihi.co.jp
plants/26547-how-does-a-circulating-
fluidized-bed-boiler-work/
Gambar 1-2. Perbandingan teknologi Tigar dengan CFB

1. 2. 3. Tahapan R&D Teknologi TIGAR


Bagi industri manufaktur di Jepang, inovasi adalah nyawa mereka di tengah semakin kerasnya
persaingan global. Karena itu tidak heran bila mereka mengalokasikan rata-rata 4.3% dari
pendapatannya untuk dana R&D.
Di departemen R&D IHI, pekerjaan riset dan pengembangan yang dilakukan tidak selalu
untuk membuat teknologi atau produk baru, namun ada juga yang penyempurnaan teknologi
yang sudah ada maupun untuk penyelesaian masalah di lapangan. Misalnya pengembangan
produk boiler, walaupun IHI sudah memproduksi boiler sejak sekitar 100 tahun lalu, di
departemen R&D hampir setiap tahun selalu ada objek penelitian tentang boiler, termasuk
penulis yang saat ini melakukan riset terkait penyelesaian masalah abu dari bahan bakar yang
menempel pada pipa di boiler yang bisa mengakibatkan masalah pada pengoperasian boiler.
Untuk mendapat gambaran lebih jelas lagi, mari kita lihat proses pengembangan teknologi
TIGAR. Teknologi ini mulai dikembangkan pada tahun 2004 dan saat ini sudah memasuki tahap
demonstrasi plant. Dalam setiap pengembangan suatu produk manufaktur, ada beberapa tahap
yang harus dilalui sebelum benar-benar bisa dikomersilkan. Tahap-tahap tersebut adalah
sebagai berikut.

1) Tahap Survei Teknologi dan Pasar

11
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Sebelum memulai suatu objek penelitian, seperti peneliti di universitas, kami melakukan
review terkait objek penelitian tersebut, bisa dari jurnal ilmiah dan paten. Paten biasanya
menjadi prioritas bagi peneliti di perusahaan karena dengan mencari patent bisa mengetahui
suatu teknologi dengan detail sehingga peneliti bisa punya gambaran ke arah mana teknologi
harus dikembangkan dan membuat pembeda dengan teknologi yang sudah dipatenkan oleh
perusahaan lain. Sering kami membuat daftar paten suatu teknologi dari tahun ke tahun dan
dari banyak perusahaan sehingga bisa mengetahui trend pengembangan teknologi tersebut.
Setelah mendapat gambaran teknologi mana yang cocok untuk lebih dikembangkan/dicoba,
maka maju ke tahap selanjutnya, yaitu tahap penelitian skala kecil.

2) Tahap Penelitian Skala Kecil (Basic Test dan Bench Scale Test)
Mulailah sesuatu dari hal yang kecil. Begitu juga dengan pengembangan produk manufaktur,
yang semuanya dimulai dengan membuat produk berukuran kecil (prototype) untuk
mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam mendesain produk tersebut. Dalam
pengembangan teknologi TIGAR, kami membagi produk ini menjadi beberapa bagian dan
kemudian membuat prototype yang merepresentasikan bagian-bagian tersebut. Misalnya
prototype ruang gasifikasi dan prototype ruang combustor. Setelah itu, dilakukanlah
bermacam eksperimen untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk mendesain
dan menghitung nilai ekonomis produk tersebut. Pada tahap ini akan ditentukan juga apakah
pengembangan produk ini memiliki potensi untuk dikembangkan atau tidak. Bila iya, maka
akan masuk tahap selanjutnya yaitu scale up atau pembesaran skala.

3) Tahap Scale Up (Pilot Plant dan Demonstration Plant)


Setelah dianggap layak untuk diteruskan dan data-data yang diperlukan juga terkumpul,
maka akan dibuat produk dengan skala lebih besar yaitu diatas 1 ton/hari. Bila pada tahap
bench test bisa dilakukan 1-2 orang, tahap ini memerlukan banyak tenaga ahli dan engineer
dari beberapa bidang baik dalam mendesain dan pengoperasian. Tahap ini pada umumnya
akan dilakukan uji kestabilan produk dan sistem yang akan dijual dengan mengoperasikan
produk tersebut secara terus-menerus selama 5-14 hari. Seiring dengan semakin besarnya
skala, biasanya akan ditemukan banyak tantangan/hambatan dalam pengoperasian
sehingga dilakukan perbaikan secara terus menerus hingga dipastikan tidak ada masalah.
Tak heran bila tahap ini tidak hanya memakan SDM, namun juga waktu dan dana.

12
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Gambar 1-3. Tahapan pengembangan teknologi TIGAR


Sumber:http://www.ihi.co.jp/var/ezwebin_site/storage/original/application/a6c3b5fb26da3cb8958e9c5587635d50.pdf

Ada perusahaan yang kemudian memperbesar skala produknya mendekati produk


sebenarnya di negara yang menjadi salah satu tujuan penjualan produk tersebut, atau lebih
dikenal dengan demonstration (demo) plant. Demo plant unit gasifikasi TIGAR di Indonesia
sendiri memiliki skalanya 1/10 dari skala komersil dan akan diuji kestabilannya selama 1-2
tahun ke depan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengembangan sebuah produk manufaktur tidaklah
murah dan cepat. Memerlukan cukup banyak dana, kesabaran dan kerjasama dengan berbagai
pihak agar produk tersebut bisa dikomersilkan.

1. 3. Peran Pemerintah dan Kolaborasi R&D


Bagaimana dengan peran pemerintah dalam kegiatan R&D di Jepang?
Pada bagian ini akan dijelaskan peran pemerintah yang begitu aktif membantu
pengembangan teknologi baru untuk dikomersilkan.
Jepang dikenal sebagai Negara yang memiliki kolaborasi yang baik antara pemerintah-
universitas-industri dalam pengembangan sebuah teknologi. Pemerintah mempunyai peranan
tidak hanya dalam penyedia dana R&D namun juga dalam pembuatan road-map teknologi yang
harus dikuasai/dikembangkan dan juga menawarkan kemudahan-kemudahan untuk
mendorong pihak industri mengeluarkan dananya untuk R&D. Hampir di semua kementrian di
Jepang, mereka memiliki road-map teknologi yang harus dikembangkan baik dalam jangka
waktu pendek maupun panjang. Sebagai contoh roadmap untuk pengembangan teknologi
pembangkit listrik tenaga batu bara yang ditetapkan oleh Kementrian Industri Japan (METI).
Jepang menargetkan untuk mengomersilkan teknologi Advanced Ultra SuperCritical (A-USC)
13
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

pada PC boiler yang memiliki efisiensi 46% pada tahun 2020. Saat ini efisiensi paling tinggi
untuk PC boiler adalah 41-42%. Untuk merealisasikan target tersebut, beberapa perusahaan
industri berat di Jepang, termasuk IHI, berusaha mengembangkan material yang cocok untuk
mengalirkan uap air maksimal pada suhu 815ο Celcius dan tekanan lebih dari 30 MPa .
Pemerintah Jepang juga memberikan keringanan dalam hal pajak kepada perusahaan yang
mengeluarkan dana untuk R&D. Disisi lain, Jepang dikenal juga sebagai Negara yang
menerapkan pajak perusahaan yang tinggi (35%) di dunia. Namun pajak tersebut bisa dikurangi
dari pengeluaran dana R&D dengan presentase tertentu (8%-12% dari dana riset). Dan bila dana
R&D yang dikeluarkan bertambah dibanding rata-rata 3 tahun sebelumnya, presentase
pengurangan bisa mencapai maksimal 30%. Keringanan pajak seperti ini, cukup mendorong
Industri di Jepang untuk mengeluarkan dana R&D untuk pengembangan inovasi
produk/teknologi agar bisa bersaing di persaingan global.
Di Jepang cukup banyak lembaga independen pemerintah yang fokus untuk pemberian dana
riset yang mendukung tercapainya program/road-map yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Japan Science and Technology Agency (JST) dan The New Energy and Industrial Technology
Development Organization (NEDO) adalah contohnya. JST fokus terhadap pemberian dana
untuk riset inovatif yang bersifat fundamental/dasar. Lewat program yang dibuat JST, banyak
menghasilkan riset inovatif yang muncul seperti lampu Light Emitting Dioda (LED) dan iPS cell
yang membawa Prof. Yamanaka meraih nobel di bidang kedokteran.
Berbeda dengan JST yang fokus pada riset yang bersifat fundamental/dasar, ada juga NEDO,
lembaga semi-pemerintah dibawah koordinasi Kementrian Industri (METI) yang fokus dalam
pemberian dana untuk pengembangan dan pengaplikasian teknologi baru khususnya di bidang
energy dan lingkungan. Banyak teknologi yang berhasil dikomersilkan dan tersebar luas ke
mancanegara atas support dari NEDO, seperti solar cell, battery litium, dan eco-semen yang
memanfaatkan abu sampah sebagai bahan baku semen. Pengembangan teknologi TIGAR juga
mendapat dukungan dana dari NEDO.
Dengan adanya bantuan dari pemerintah dalam pengaplikasian sebuah teknologi, selain bisa
membantu memercepat tahap komersialisasi teknologi tersebut juga dapat mengurangi rsiko
kerugian bagi perusahaan akibat biaya riset yang cukup tinggi.
Contohnya, penulis pernah mengerjakan tiga proyek yang mendapatkan dukungan dana dari
berbagai kementerian di Jepang. Mendapat dana bantuan dari pemerintah, tentu memiliki
tanggung jawab yang berat. Selain dituntut untuk menghasilkan hasil yang bagus dari sisi
pekerjaan juga dituntut rapi dalam pelaporan, khususnya terkait keuangan. Bila pelaporan
keuangan dicurigai oleh pemerintah, bisa jadi dua tahun selanjutnya tidak mendapat bantuan
dana dari pemerintah.
Industri dan universitas memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan dalam
mengembangkan sebuah teknologi di Jepang. Universitas memiliki banyak keunggulan dari sisi
sumber daya manusia (SDM) yang memiliki banyak keahlian, dan riset yang bersifat
fundamental serta biaya penelitian yang relatif murah bila dibandingkan dilakukan oleh internal
perusahan sendiri. Sehingga perusahaan di Jepang sangat aktif melakukan kerja sama penelitian
dengan pihak universitas. Tidak sedikit, perusahaan dan universitas bekerja sama
14
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

memperebutkan dana penelitian dari pemerintah dalam mengembangkan sebuah teknologi


baru.
Selain dengan pihak universitas, kerja sama antarperusahaan baik dalam negeri dan luar
negeri pun belakangan ini pun lazim dilakukan. Hal ini pada umumnya bertujuan untuk
mengejar ketertinggalan mereka di bidang teknologi tertentu. Sebagai contoh, IHI melakukan
kerjasama dengan perusahaan multinasional seperti General Electric (GE) dan Pratt & Whitney
(P&W) dalam mengembangkan mesin jet terbaru untuk masing-masing pesawat terbang
komersil dan pesawat tempur. Perlu diketahui untuk pengembangan mesin jet, diperlukan dana
penilitian yang sangat besar dan baru menghasilkan keuntungan setelah 10-20 tahun ke depan.
Karena itu, akan sangat berat bila biaya pengembangan ditanggung sendiri. Selain itu bagi
perusahaan Jepang, dengan ikut terlibat dalam pengembangan produk tersebut, mereka dapat
belajar dan mengejar ketertinggalan mereka di bidang aerospace di mana sebelumnya mereka
jauh tertinggal akibat kekalahan di Perang Dunia II dan larangan membuat produk pesawat oleh
Amerika. Contoh lain yang terbaru adalah ketika tujuh perusahaan mobil Jepang kompak bekerja
sama untuk mengembangkan mesin diesel dengan efisiensi tinggi demi mengejar ketertinggalan
mereka dari perusahaan mobil Jerman.

1. 3. 1. Pelajaran Berharga
Inovasi adalah jantung bagi semua perusahaan. Ketika suatu perusahaan berhenti dalam
inovasi, maka tinggal menunggu waktu untuk tetap bisa bertahan. Inovasi tidaklah selalu
dimulai dengan hal yang baru, namun bisa dimulai dengan mengembangkan teknologi yang
sudah dimiliki seperti pengembangan teknologi TIGAR yang dijelaskan di atas.
Walaupun Jepang sudah terbilang maju dan memiliki banyak perusahaan besar yang
memiliki teknologi terdepan, pemerintah tetap turut aktif dalam membantu pengembangan dan
pengaplikasian teknologi baru. Pemerintah tidak hanya berhenti dalam membuat road-map dan
kebijakan saja, namun juga harus memberikan dukungan dan insentif agar road-map tersebut
tercapai.
Bila dibanding dengan Jepang yang memiliki anggaran penilitian 3.4% (2012) dari Gross
Domestic Product (GDP) atau setara 1.800 triliun rupiah, anggaran penelitian di Indonesia pada
tahun 2014 sangatlah kecil, hanya 0.08% dari GDP atau 10 triliun rupiah dan itu pun sudah
termasuk gaji di dalamnya. Bila dibanding dengan negara tetangga seperti Singapura (2.2% GDP,
sekitar 70 triliun), Malaysia (0.63% GDP, sekitar 30 triliun) dan Thailand (0.23% GDP, 20
triliun), anggaran penilitian Indonesia masih terbilang rendah.
Di tengah keterbatasan dana yang dimiliki, Indonesia perlu fokus pada pengembangan
teknologi di bidang tertentu. Di ASEAN, kita bisa belajar dari Singapura yang fokus
menginvestasikan dana R&D-nya untuk mengembangkan teknologi di bidang tertentu, salah
satunya adalah teknologi air bersih. Didorong atas kekhawatiran akan kekurangan pasokan air
bersih, pemerintah Singapura aktif mendorong pengembangan teknologi pengolahan air limbah,
desilinasi air laut sejak tahun 1990-an. Saat ini Singapura menjadi “Global Hydrohub” di mana
130 perusahaan terkait pengelolaan air baik dari bagian hulu (membran dan pompa) hingga

15
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

bagian engineering dan konstruksi, dan project developer berpusat disana. Sebagai hasilnya,
banyak perusahaan asing yang menaruh bagian R&D nya di Singapura untuk bidang tersebut.
Selain itu, pemerintah Indonesia bisa mendorong perusahaan di tanah air baik lokal maupun
internasional untuk menginvestasikan dananya untuk R&D dengan pemberian insentif. Di
Negara seperti Jepang, Amerika, Jerman, termasuk Singapura porsi dana R&D yang dikeluarkan
industri lebih besar daripada pemerintah sebagai hasil dari insentif yang diberikan pemerintah
terhadap dunia industri. Insentif yang diberikan bisa berupa keringanan pajak penghasilan
badan usaha, keringanan bea cukai untuk impor alat yang diperlukan untuk R&D, dan
penyediaan kawasan seperti technopark yang terintegrasi.
Untuk mewujudkan kemandirian energi dan pangan di tanah air, maka kemandirian
teknologi mutlak diperlukan. Namun bukan berarti, semua harus dilakukan secara lokal.
Kolaborasi antara pihak lokal dan internasional juga perlu didorong, untuk mengejar
ketertinggalan kita selama ini dan mempercepat lahirnya inovasi teknologi di tanah air.

1. 4. Pengembangan dan Kemajuan Front-End Perangkat Lunak


Bagian ini juga akan membahas konsep ‘tidak mulai dari nol’ di bidang pengembangan perangkat
lunak. Khususnya mengenai pentingnya pengembangan produk perangkat lunak (software)
menggunakan alat-alat, template, dan framework (gabungan beberapa teknologi atau alat
secara kolektif) yang sudah jadi atau tersedia. Pengembangan dilakukan tidak harus dari nol,
melainkan dimulai dengan memanfaatkan produk-produk yang sudah ada tersebut. Hal ini
dilakukan guna memaksimalkan efisiensi dan menekan biaya produksi, sekaligus memersingkat
waktu yang dibutuhkan untuk pengembangan produk tersebut. Ditambah lagi dengan
menggunakan komponen-komponen dasar yang telah teruji, produk akhir kita akan lebih
terjamin kualitasnya.
Untuk gambaran konkretnya kita akan ambil contoh pengembangan aplikasi web khususnya
dari sudut pandang front-end developer, yang lebih berfokus kepada tampilan UI (User Interface:
tampilan dan tombol, termasuk logo, animasi, gambar dan teks yang membantu pengguna
memanfaatkan fungsi dari aplikasi web tersebut) dan UX, yaitu interaksi antara pengguna dan
aplikasi tersebut. Kita juga akan melihat berbagai proses dan alat yang tersedia bagi developer
aplikasi web.
Dengan latar belakang kemajuan internet sekarang, banyak sekali aspek kehidupan sehari-
hari kita yang tidak bisa lepas dari aplikasi telepon pintar, tablet, dan komputer. Seiring pesatnya
perkembangan teknologi software, dan juga hardware, layanan daring semakin menjamur dan
banyak sekali kebutuhan sehari-hari kita yang mendapatkan kemudahan dengan perkembangan
teknologi tersebut. Sebagai developer di bidang front-end, penulis merasakan sekali kemajuan
teknologi software dan meningkatnya jumlah, ragam dan kualitas framework terutama di
bidang aplikasi web dan game (terutama game untuk smartphone atau tablet) dan juga
pengaruhnya yang terus meluas sehingga mulai menjadi katalis pengembangan software di
bidang back-end. Yang pada akhirnya melahirkan framework untuk pengembangan aplikasi
web/game secara menyeluruh. Sebagai akibatnya framework/tools juga semakin bertambah

16
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

untuk bidang yang secara tidak langsung terkait dengan pengembangan aplikasi seperti design
mockup, testing, dan otomatisasi proses rilis untuk aplikasi tersebut.

1. 4. 1. Perkembangan Front-End
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang bermacam framework dan proses yang tersedia,
ada satu lagi konsep pengembangan perangkat lunak yang ingin saya kedepankan terlebih
dahulu. Pembaca mungkin sudah sering mendengar istilah module atau modular development,
yang maksudnya memecah fungsi-fungsi umum dari sebuah software menjadi komponen-
komponen yang lebih kecil dan dapat dengan mudah dimodifikasi atau diganti sesuai kebutuhan
atau perubahan spesifikasi. Karena semakin bertambahnya pengguna telepon pintar dan juga
majunya penggunaan internet di seluruh dunia, pengembangan aplikasi web menjadi jauh lebih
rumit dibanding dekade lalu sebelum munculnya pemain-pemain besar seperti Google atau
Apple. Dengan bertambahnya jumlah pengguna internet, jumlah data yang harus diolah semakin
bertambah, dan juga semakin dibutuhkan interface yang kompleks tetapi stabil dan mudah
dipahami untuk menjembatani interaksi yang semakin erat antara pengguna smartphone dan
dunia internet.
Beberapa fenomena yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi web dan internet adalah
menjamurnya blog, penjualan online, dan media sosial seperti Facebook, Twitter, dan juga
Kaskus di Indonesia, atau pun Mixi (media sosial yang cukup besar di Jepang). Ditambah lagi
munculnya berbagai layanan baru yang dulunya tidak memungkinkan. Misalnya dengan
munculnya sistem e-ticketing, layanan reservasi restoran online, game khusus smartphone dan
tablet yang kualitas grafis dan kompleksitasnya sudah tidak beda dengan console khusus seperti
PSP, Nintendo DS, dll. Dengan banyaknya layanan baru dan semakin ketatnya persaingan di
antara perusahaan yang bergerak di bidang IT, pengembangan software baru terutama yang
berkaitan dengan web dan internet haruslah cepat, murah tetapi tetap berkualitas. Semua
pelayanan di atas sangatlah kompleks dan hampir tidak mungkin terwujud tanpa adanya
template, framework, dan konsep modular development.
Dengan tuntutan yang semakin berat dan cepatnya perubahan dunia bisnis di bidang
teknologi internet, semakin bermunculan teknologi-teknologi baru yang bertujuan membantu
pengembangan aplikasi web. Salah satunya adalah Bootstrap dari Twitter yang menyediakan
bermacam template tampilan yang sesuai untuk berbagai macam website mulai dari pribadi
sampai website professional untuk berjualan online. Bootstrap juga secara otomatis membagi
file-file berdasarkan tipe file seperti .html, .js, .css sesuai fungsi masing-masing. Dengan adanya
template ini membangun website menjadi jauh lebih mudah, dengan tersedianya komponen-
komponen umum yang sering ditemui di banyak website seperti tombol, formulir login, dan
bermacam animasi.
Di bidang animasi dan game juga banyak sekali bermunculan library yang membantu front-
end developer menambahkan fungsi fungsi baru kepada website-nya dengan cepat seperti
JQuery, Angular JS, Raphael JS, yang populer untuk pengembangan UI dan animasi, juga untuk
pengembangan web game. Developer tidak lagi harus pusing membuat program untuk

17
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

menampilkan animasi tapi hanya cukup menggunakan fungsi-fungsi yang disediakan oleh
library di atas. Untuk penampilan data dengan bahasa pemrograman Javascript juga tersedia
library seperti D3.js, yang mempermudah penampilan tabel dan grafik.
Khusus untuk pengembangan web game, dengan meledaknya dunia social game akhir-akhir
ini tersedia banyak sekali pilihan library seperti WebGL dan Three.JS, yang memungkinkan game
di browser menjadi hampir sama kualitasnya dengan game-game yang dikembangkan secara
native dengan C++ misalnya.
Bagi front-end developer yang lebih terbiasa dengan pengembangan aplikasi sistem dengan
C, C++ atau Java, tersedia juga compiler (penerjemah bahasa pemrograman) seperti CoffeeScript
atau Typescript yang memungkinkan developer menggunakan konsep-konsep OOP (Object
Oriented Programming) yang tidak tersedia di Javascript murni. Kedua bahasa pemrograman ini
memungkinkan developer tersebut untuk langsung membuat aplikasi untuk web dan browser.

1. 4. 2. Perkembangan Back-End
Konsep pembagian front-end dan back-end bukanlah barang baru. Di dunia pengembangan
software, sudah dari dulu terbagi menjadi dua bagian besar yang masing masing memegang
peran penting. Penanganan data-data pengguna dan juga menjaga kerahasiaan data pribadi
menjadi tanggung jawab developer back-end, sedangkan developer front-end menyediakan
interface atau tampilan yang mudah digunakan, dan menarik bagi pengguna dari sebuah.
layanan dan/atau game. Dengan pesatnya perkembangan web dan internet, dan tuntutan
pengembangan perangkat lunak yang cepat, murah, dan berkualitas maka di bidang back-end
pun muncullah berbagai macam alat pembantu yang bertujuan untuk mewujudkan tuntutan ini.
Perkembangan di bagian back-end akhir-akhir ini terlihat sedikit didorong oleh kemajuan di
bidang front-end. Salah satunya adalah penggunaan Javascript yang sudah lama populer di
kalangan front-end dan menjadi standar. Dengan bertambahnya tools/alat bagi developer front-
end yang memermudah menyusun sebuah server/database sederhana, seorang front-end
developer sudah bisa menyusun sebuah aplikasi lengkap dengan cukup mudah. Salah satu contoh
framework berbasis Javascript (tepatnya adalah penyedia layanan interface server setara dengan
Apache) yang populer adalah Node JS. Kepopuleran Node JS juga semakin meluas dengan
komponen plugin yang menyediakan berbagai macam fungsi yang memberi berbagai macam
kemudahan seperti automated testing (otomatisasi tes aplikasi) dan deployment plugins
(otomatisasi instalasi) seperti Minify, Grunt Taskrunner dan lain sebagainya. Munculnya
berbagai alat dan kemudahan di bidang back-end memungkinkan seorang developer bidang
front-end untuk dengan mudah mendalami bidang back-end, dan langsung bisa mewujudkan
aplikasi lengkap dengan fungsi back-end seperti database dan server. Sebaliknya developer back-
end pun dengan mudah dapat mewujudkan UI yang menarik dengan alat-alat yang tersedia di
bidang front-end.

18
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

1. 4. 3. Pengembangan Software dengan LAMP, MEAN.io


Kita telah melihat berbagai macam module, yaitu template, library, dan berbagai macam bahasa
pemrograman yang tersedia untuk pengembangan aplikasi. Di bagian ini kita akan melihat dua
contoh framework yang cukup populer, yang merupakan kumpulan dari beberapa module yang
kita bahas di bagian sebelumnya. Dari berbagai macam pilihan template, library dan alat-alat
yang tersedia, muncullah dua kombinasi yang sangat digemari dan menjadi pilihan standar
ketika memulai pengembangan aplikasi web, yaitu LAMP dan MEAN.io.
Istilah LAMP merupakan singkatan dari Linux, Apache, MySQL, PHP. Keempat komponen
ini maksudnya adalah meng-install Apache Server yang dikontrol dengan PHP script dan
mengakses database yang berbasis MySQL. Pilihan OS biasanya adalah Linux yang dianggap
lebih fleksibel untuk pengembangan software (lihat Gambar 1-4). Pilihan sistem operasi Linux
dikarenakan masih tingginya biaya yang diperlukan untuk instalasi server berbasis Windows,
yang tidak bebas biaya. Ditambah lagi, sistem operasi Linux didesain untuk berfungsi sebagai
server. Pilihan aplikasi server jatuh kepada Apache yang sudah banyak digunakan dan telah teruji
keunggulannya, dan untuk database dan bahasa pemrogramannya jatuh pada MySQL dan PHP
yang relatif mudah dipahami bahkan bagi pemula. Ini dikarenakan syntax, atau tata aturan
MySQL dan PHP yang mirip dengan bahasa sehari-hari dan tidak terlalu rumit.

Gambar 1-4. Struktur instalasi aplikasi web dengan LAMP

Tetapi dengan kemajuan Javascript sebagai bahasa pemrograman pilihan untuk berbagai
aplikasi web dan game, LAMP mulai digantikan oleh MEAN (MongoDB, Express, AngularJS,
NodeJS).
Walaupun LAMP cukup menangani kebutuhan database di masa lalu, dengan bertambahnya
data yang harus diolah, tuntutan pengguna akan UI yang lebih interaktif dan juga tuntutan untuk

19
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

memanfaatkan data dari aplikasi lain yang dikembangkan pihak lain, dibutuhkan format data
universal, diatas platform yang juga universal. Untuk memenuhi tuntutan ini muncullah MEAN
stack. Dengan MongoDB yang lebih cepat untuk database skala besar (diatas 1GB). Dan dengan
NodeJS sebagai pengganti Apache Server yang menunjang Javascript, web developer yang
biasanya lebih condong ke pengembangan front end terbantu untuk ikut terlibat di
pengembangan back-end dan database juga. Desain UI menjadi sangat mudah dan cepat dengan
AngularJS yang memudahkan pengembangan animasi dan UI yang sering dijumpai seperti
tombol, input form, dsb. Kepopuleran Angular JS juga memberi keuntungan bagi pengguna web
service karena UI/UX di berbagai website terstandarisasi dan sangat mudah dipahami bagi
pengguna baru sekalipun.
Dengan menggunakan dua framework ini sebagai panduan, kebanyakan proyek
pengembangan aplikasi tidak perlu lagi pusing mencari alat-alat yang sesuai dengan kebutuhan
masing-masing. Dua framework ini sangat fleksibel, terbukti stabil dan bisa memenuhi tuntutan
kebanyakan aplikasi modern.
Sebagai sedikit tambahan, akhir-akhir ini bermunculan juga DaaS, atau Database as a Service.
Amazon AWS, Mongolab, MongoHQ adalah beberapa contoh DaaS yang cukup populer dan
diminati. Dengan DaaS satu bagian penting dari aplikasi web yaitu database berpindah tangan
dari kewajiban developer dan ini juga menjadi faktor penting yang memermudah
pengembangan aplikasi web.

1. 4. 4. Keuntungan dan Batasan Penggunaan Framework


Di berbagai negara termasuk di Indonesia sendiri sudah banyak bermunculan perusahaan yang
bergerak di bidang IT. Mulai dari berbagai game, sampai bermacam web service yang sudah
mulai banyak digunakan di Indonesia. Karena kondisi Indonesia yang terbilang sedikit tertinggal
dari negara-negara maju dalam bidang IT, maka banyak sekali fondasi dari pengembangan
software yang masih belum cukup tersedia. Tentunya salah satu pilihan adalah memulai
pengembangan software dimulai dari infrastruktur dasar secara in-house (mengembangkan
sendiri tanpa bantuan pihak luar sama sekali). Tentunya sistem ini ada keuntungannya sendiri,
tapi dengan sengitnya persaingan di bidang web development, kebanyakan proyek
pengembangan software sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan sistem in-house untuk
kepentingan pengembangan software-nya. Untungnya banyak sekali masalah yang bisa dihadapi
dengan penggunaan berbagai software framework yang tersedia.
Banyak sekali keuntungan dari pengembangan software dengan framework, salah satunya
tentu adalah waktu. Dengan menggunakan framework yang tersedia tentunya kita tidak perlu
lagi bingung dengan fungsi-fungsi dasar dan langsung bisa fokus kepada fungsi inti software
yang ingin kita implementasikan. Misalnya, dengan aplikasi apapun sudah hampir tidak
mungkin ada aplikasi yang tidak menggunakan koneksi internet. Fungsi untuk koneksi dengan
server seperti Ajax, mem-’parsing’ data dalam bentuk JSON dsb. sudah menjadi fungsi dasar yang
tidak bisa tidak ada di setiap framework.

20
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Keuntungan lain yang cukup besar adalah kualitas. Setiap framework ini sudah melalui
testing yang sangat ketat dan selalu diperbaiki oleh tim-tim developer yang berpengalaman.
Ketika muncul masalah atau bug di framework tersebut maka penanganannya bisa sangat cepat
karena didukung oleh banyak orang, terutama jika framework tersebut diikembangkan sebagai
open source.
Kelebihan yang paling menjadi perhatian banyak kalangan bisnis adalah penekanan biaya
pengembangan software dari segi waktu dan juga pengeluaran biaya. Dari keuntungan yang
disebutkan diatas, waktu yang dibutuhkan untuk pengembangan software dan maintenance
(perawatan) akan sangat rendah dibanding jika memproduksi sendiri fungsi-fungsi dasar
tersebut. Ditambah lagi kebanyakan (tidak semua) dirilis sebagai Free Software yang gratis.
Dengan menggunakan framework, banyak sekali keuntungan yang didapat. Konsep ini sudah
sangat biasa di kalangan developer software dan sangat mengandung prinsip “Never Build From
Zero”.

Satu-satunya hal yang perlu diperhatikan adalah jika tuntutan bisnis kita mengharuskan kita
mengembangkan system/aplikasi yang berbeda dengan template yang banyak tersedia, maka
ada kemungkinan kita tidak bisa menggunakan framework secara 100% dan harus digabung
dengan pengembangan aplikasi in-house (dilakukan sepenuhnya sendiri)

Catatan Tambahan : Pendayagunaan outsourcing sebagai alternatif proyek in-house

Salah satu alternatif pengembangan software in-house adalah outsourcing d imana proses
pengembangan software diserahkan sepenuhnya kepada pihak luar. Pihak internal hanya perlu
memberi petunjuk spesifikasi yang jelas dan kontrol jadwal pengembangan software termasuk
testing dari software setelah jadi. Pilihan ini juga sudah sangat banyak ditemui di perusahaan
Jepang yang meng-outsourcing-kan pengembangan software ke negara lain seperti Cina dan
India.
Cara ini boleh dibilang sangat efektif dari segi biaya karena umumnya pengembangan
software secara outsourcing bisa menekan biaya menjadi sangat murah. Selain itu, kualitas juga
seringkali lebih terjamin karena pihak vendor software tersebut biasanya sudah sejak lama
mengembangkan produk tersebut sehingga kita tidak perlu terlalu pusing dengan spesifikasi.
Fungsi utama biasanya sudah jadi dan sudah di-test secara rinci.
Tentunya outsourcing harus juga disertai dengan pemahaman yang dalam tentang
pengembangan software untuk menjamin mutu dari vendor software itu sendiri. Tapi jika kita
bisa berhati-hati dalam memilih vendor software tersebut, maka manfaat dari outsourcing untuk
pengembangan software akan sangat besar.

1. 4. 5. Rangkuman
Dengan prinsip ‘tidak mulai dari nol’, kita telah melihat beberapa contoh framework dan alat-
alat pengembangan aplikasi web, dari segi front end dan juga back end, ditambah dengan

21
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

beberapa contoh DaaS yang cukup populer. Dengan alat-alat ini maka untuk pengembangan
sebuah aplikasi web sudah tidak lagi memakan waktu lama dan biaya tinggi seperti beberapa
tahun lalu. Dengan memberdayakan berbagai macam template dan framework yang tersedia,
developer dapat langsung fokus kepada fungsi fungsi utama aplikasinya. Fungsi-fungsi dasar
sudah disediakan oleh alat-alat tersebut dan pemanfaatan yang tepat sangatlah kritikal bagi
pengembangan software yang cepat dan murah.

1. 5. Proses Pengembangan Software dan Kontrol Kualitas


Pada subbab ini, penulis akan memaparkan bagaimana proses pengembangan software juga
kontrol kualitas pada produk.
1. 5. 1. Prinsip “Meiwaku Kakenai” dalam Kontrol Kualitas
Masyarakat Jepang terkenal dengan menjunjung tinggi prinsip–prinsip yang lebih
mementingkan sisi eksternal (umum) daripada sisi internal (keluarga, diri sendiri). Ada
ungkapan di Jepang berbunyi 滅私奉公 “Messi Houkou” yang artinya mengurangi nafsu pribadi
dan berbakti kepada masyarakat umum. Ungkapan inilah yang menggambarkan budaya di
Jepang yang sangat menjunjung tinggi aspek masyarakat atau komunitas termasuk reputasi.
Salah satu prinsip yang berkembang dari itu adalah “meiwaku kakenai” atau tidak membuat
masalah.
Menjaga kualitas adalah bentuk usaha Jepang dalam penerapan prinsip “meiwaku kakenai”.
Prinsip yang ditanamkan dari kecil oleh orang tua mereka inilah yang melahirkan pamor “Made
In Japan” terkenal di dunia internasional sebagai produk yang bisa dipercaya. Bila ternyata
produk mereka mengeluarkan masalah atau kekurangan, mereka akan tidak segan-segan
menawarkan servis gratis atau bahkan menarik produk mereka dari pasaran. Ini bisa dilihat
seperti kejadian recall yang dilakukan oleh Toyota kepada puluhan ribu mobil mereka Juni 2014
ini berhubungan dengan masalah di kantung udara mobil mereka.
Prinsip ini tentu saja juga diterapkan dalam pengembangan software. Untuk menjaga
kualitas diperlukan banyak pengujian untuk menjaring produk defect-defect agar tidak mengalir
ke pasaran.

1. 5. 2. Tahap Pengembangan Software


Pengembangan perangkat lunak dilakukan melalui beberapa tahap yang dikombinasikan
melalui beberapa model pengembangan seperti pada Gambar 1-5.

Gambar 1-5. Proses pengembangan software

22
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Tahap–tahap dalam pengembangan software adalah sebagai berikut :


1) Requirement Analysis / Specification
Adalah tahap untuk menganalisa, fungsi dan kemampuan seperti apakah yang ingin dimiliki
oleh software tersebut. Contohnya seperti fungsi-fungsi utama software, user friendly,
performance, portability dan lain lain. Tahap ini sering diisi survey dengan cara melakukan
wawancara dengan calon pemakai atau studi banding dengan produk berhubungan yang
telah ada. Dilakukan juga survey tekhnologi apa saja yang akan digunakan juga dilakukan
dalam tahap ini. Requirement analysis ini menghasilkan document (requirement
specification) yang pada dasarnya dapat dipahami oleh pihak pelanggan.
2) Design
Setelah terbayang gambaran dan konsep software yang ingin dikembangkan, tahap
selanjutnya adalah perincian bagaimana mengembangkan software tersebut melalui tahap
design (perancangan). Dalam design ini dirancang fungsi – fungsi software (function design)
apa saja yang harus diwujudkan, struktur software tersebut (structure design) dengan
perancangan modul-modul yang menyusun arsitekturnya dan juga bagaimana algorithma
dalam software tersebut.
3) Implementation (Building)
Tahap inilah program dicoding/ditulis sesuai dengan design yang telah dibuat. Orang sering
menganggap tahap inilah tahap utama dalam pengembangan software padahal pada
kenyataannya bila design sudah dilakukan dengan baik, tahap ini akan selesai dengan cepat.
4) Verification (Testing)
Software yang dibuat perlu diverifikasi kebenarannya apakah sesuai dengan design
(function design dan structure design) dan juga spesifikasi (requirement specification) yang
telah dibuat. Inilah tahap penting dalam penjaminan kualitas software.
5) Maintenance
Software yang telah selesai diverifikasi akan dikirim kepada pelanggan untuk selanjutnya
digunakan. Akan tetapi karena keterbatasan sumber daya dalam proses verifikasi, dalam
penggunaannya kadang pula didapatkan bug (penyebab eror) yang tidak tersaring dalam
tahap sebelumnya. Bila verifikasi yang dilaksanakan buruk akan terdapat banyak bug yang
membuat pelanggan tidak nyaman, sedang bila verifikasinya baik akan hanya satu atau dua
bug yang didapat yang bisa ditolerir oleh pengguna. Dalam maintenance inilah bug ini
diperbaiki dan diserahkan kembali kepada pelanggan melalui update. Penambahan fungsi
baru juga kadang dilakukan dalam proses maintenance ini.

Pengembangan software biasanya mengikuti beberapa model yang berdasarkan timing


pelaksanaan tahap-tahap dan cara pembagian task. Dibawah ini adalah beberapa model yang
terkenal:

1) Waterfall model

23
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Pengembangan software memakai model ini adalah sekuensial sesuai urutan tahap –
tahapannya. Seperti namanya yaitu waterfall, yaitu bila sudah mencapai ke tahap selanjutnya
akan sulit kembali ke tahap yang sebelumnya. Artinya model ini sulit menghadapi perubahan
permintaan spesifikasi dari konsumen di tengah jalan. Keuntungan model ini adalah mudah
dipahami dan mudah manajemennya.
2) Spiral model
Untuk pengembangan software dengan spesifikasi belum jelas dan beresiko tinggi , spiral
model (Gambar 1-6) sering digunakan karena sangat menekankan kepada analisis resiko dan
kemudahan mengubah spesifikasi yang tidak terdapat pada waterfall model. Waterfall model
hanya menjadi satu bagian (Engineering) dari model ini. Sayangnya model ini memakan
biaya dan waktu yang besar.

Gambar 1-6. Spiral Model

3) Agile Model
Model ini mengutamakan komunikasi antara pengembang dengan pelanggan dan
mempunyai kemampuan mengatasi perubahan spesifikasi kapanpun bila diperlukan.
Pembagian task – task dalam pengembangan software untuk model ini dilakukan dalam
ukuran kecil, sehingga perubahan mudah dilakukan. Bisa dikatakan bila waterfall model
berdasarkan atas prediksi, maka agile model itu berdasarkan adaptasi.

24
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Gambar 7. Agile Model

Pemakaian model-model ini disesuaikan besar-kecilnya sistem, kepastian spesifikasi sistem,


resiko dalam pengembangan software tersebut dan hal – hal lain.

1. 5. 3. Struktur software
Untuk memahami penjagaan kualitas dalam software, mari kita tengok terlebih dahulu
bagaimana struktur sebuah software pada Gambar 1-8 dibawah ini. Terlihat pada gambar,
pembagian (dekomposisi) struktur sebuah software terbagi menjadi subsystem, class,
metode/properti. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pembagian task dalam desain,
implementasi, verifikasi dan perawatan software.

25
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Gambar 8. Struktur Software

Sebagai contoh, dekomposisi untuk sistem IT perpustakaan akan membagi system sehingga
tersusun dari subsystem peminjaman buku, subsystem pembelian buku, subsystem informasi
anggota perpustakaan, subsystem pelayanan online, subsystem statistic perpustakaan dan lain-
lain. Dalam subsystem sendiri bisa juga memiliki beberapa subsistem lagi. Misalnya, subsistem
informasi anggota perpustakaan akan memiliki subsystem pendaftaran anggota, subsistem
pencarian anggota, subsystem pemberhentian anggota dan lain lain.
Lalu subsistem ini sendiri terdiri dari beberapa “class” yang merupakan unit terkecil dalam
software yang bisa dipisahkan. Contohnya dalam “subsistem pendaftaran anggota” akan
mempunyai“class” bernama “Informasi Anggota” yang akan mempunyai property “Nama” “Umur”
“Kelamin” dan method seperti “Ubah Info” “Copy Info”, dan lain lain.

1. 5. 4. Penjaminan Kualitas dalam Pengembangan Software


Penjaminan kualitas dalam software atau SQA (Software Quality Assurance) dilakukan melalui
review untuk document dan testing atau verifikasi untuk sistem. Setiap tahap dalam pembuatan
software harus selalu melalui tahap ini agar software berqualitas tinggi.
Apa yang terjadi bila kualitas software tidak dijaga dan dilakukan sembarangan? Software
bug dari yang kecil sampai besar akan mudah ditemukan yang akan menyebabkan software
menghasilkan hasil tidak benar, sistem berhenti atau bahkan bisa memberhentikan sistem lain.
Hal ini pastinya akan menyebabkan kerugian baik waktu maupun material. Ini adalah perbuatan
“meiwaku” yang sangat dihindari di budaya Jepang.

26
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

1. 5. 5. Tahap Verifikasi dalam Pengembangan Software


Pengembangan software di perusahaan Jepang pada umumnya masih banyak memakai cara
waterfall model. Untuk menjaga kualitas pengembangan softwarenya, model V seperti Gambar
1-9 dibawah ini juga sering digunakan.

Gambar 1-9. Proses verifikasi dalam pengembangan software

Dalam model V, untuk memastikan hasil implementasi sesuai dengan Requirement Specification
dan Design maka dilakukan verifikasi secara menyeluruh. Meski tidak tergambar dalam model
ini, dilakukan juga proses review untuk setiap tahap demi memastikan tidak ada kesalahan atau
kesalahpahaman spesifikasi terjadi.

Tahap verifikasi dilakukan dari skala kecil hingga skala besar.

1) Unit Testing
Unit testing adalah tahap verifikasi property dan method (kadang disebut juga function) dari
“class”. Contoh testing ini adalah white box test dan black box test.
White box test adalah untuk menguji logika dan aliran data dalam method tersebut. Misalnya
untuk menguji method “Ubah info anggota” maka akan diuji urutan prosesnya. Pertama dicek
“apakah pengecekan benar tidaknya id anggota dilakukan”, lalu selanjutnya “apakah ada
proses pengubahan info anggota ” dan juga proses bila id salah “apakah pesan dikeluarkan
bila id anggota salah”.

27
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Sedangkan black box test adalah untuk menguji hasil dari method itu tanpa mau tau proses
yang terjadi didalamnya. Misalnya bila input dari method “Ubah info Anggota” adalah nama
baru “A” dan umur baru “20”, apakah output method-nya adalah benar-benar info anggota
itu berubah menjadi “A” dan berumur “20”.
Unit test ini biasanya dilakukan menggunakan code, bukan pengecekan melalui manual
(excel).

2) Integration Testing
Integration testing adalah tahap verifikasi hubungan antar “class” saat “class-class” ini
diintegrasikan menjadi satu subsistem. Misalnya menguji hasil method dari “class” A saat
memanggil method dari class “B”, apakah hasil yang diharapkan dan perubahan nilai data
sesuai yang diharapkan.
Test ini lebih menekankan untuk mengecek internal data flow dalam subsistem yang telah
didefinisikan dalam “High Level Design”.

3) Functional Testing
Functional testing adalah tahap verifikasi eksternal fungsi–fungsi dari masing–masing
subsystem yang telah terdefinisikan dalam Functional Specification hasil dari tahap analisis.
Misalnya pengujian fungsi “pendaftaran anggota” ”pencarian anggota” di dalam subsistem
“informasi anggota perpustakaan”.

4) System Testing
Dalam tahap ini akan dilaksanakan pengujian sistem secara keseluruhan saat subsystem -
subsystem diintegrasikan. Tahap ini memverifikasikan apakah system yang terbuat sudah
sesuai dengan spesifikasi software yang dibuat dalam tahap Requirement Analysis.
Tahap ini terdiri dari bermacam-macam tes, seperti : performance testing untuk menguji
apakah system sesuai performa yang diminta (apakah proses bisa selesai sesuai waktu yang
diminta), scability testing (verifikasi bila jumlah data sangat besar, apakah sistem tetap
berjalan normal), Stress testing (verifikasi bila sistem diakses bersamaan dalam jumlah
besar dalam waktu yang panjang, apakah sistem tetap normal berjalan), security testing
(verifikasi apakah software terlindungi dari serangan hack, pencurian data dst), recovery
testing (verifikasi apakah software bisa recovery secepatnya bila ada masalah) dan
sebagainya.

5) Acceptance Testing
Bila system testing selesai, software akan diserahkan kepada user pelanggan untuk
pengujian oleh pihak pelanggan. Testing ini menguji apakah software sudah sesuai
permintaan dalam User Requirement untuk mengecek bila terjadi kesalahpahaman antara
peminta (user) dan programmer.

28
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Dalam perusahaan jepang, tahap-tahap dalam testing/pengujian ini dilakukan secara rinci
dan teliti. Bahkan bisa jadi waktu untuk pengujian dua kali lipat dari pembuatan software.

1. 5. 6. Indikator Penjaminan Kualitas Software


Indikator yang sering digunakan untuk pengukuran kualitas software adalah sebagai berikut:
1) Persentase waktu review
Untuk mengukur kualitas dokumen hasil pengembangan software, digunakan persentase
waktu review terhadap pembuatan dokumen untuk mengukur cukup tidaknya review
dilakukan.
2) Persentase waktu testing
Untuk mengukur cukup tidaknya verifikasi dilakukan terhadap source code software yang
dilakukan.

Nilai standar indikator ditentukan oleh kebutuhan kualitas suatu sistem. Kebutuhan kualitas ini
berdasarkan efek yang akan terjadi bila terjadi masalah di dalam sistem tersebut dari sisi efek
terhadap manusia dan efek ekonomi. Pada Tabel 1 dibawah ini diperlihatkan ada 4 kategori
sistem yaitu Normal (N), Normal Quality Required (NQR), Critical (C), dan High Critical (HC).
Tentunya semakin tinggi tingkat kerugian, semakin tinggi standar untuk indikator tersebut.
Tabel 1. Nilai Standar Indikator Software
Kategori Kerugian Berhubungan Contoh
Ekonomi keselamatan
manusia
Normal Kurang 1 milyar ×
Normal 1 s.d 10 milyar × Handphone, alat-alat listrik
Quality
Required
Critical Lebih 10 milyar × Plant, Alat-alat
Berapapun ○ Transportasi
High Sangat besar ○ Pembangkit nuklir,
Critical Pesawat terbang

Contoh standard indikator menggunakan perbandingan terhadap waktu adalah sebagai berikut :

29
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Tabel 2. Indikator Standar menggunakan perbandingan terhadap waktu


Indikator Perhitungan Satuan N N C HC Toler Keterangan
Q ansi
Ratio of waktu review % 2 6 10 14 4 Indikator cukup
Specificatio / waktu tidaknya review
ns or Design pembuatan dilakukan
Review dokumen
Effort
Ratio of Waktu review % 2 3.5 5 6.5 1.5 Indikator cukup
Code or Test / waktu tidaknya review
Review pelaksanaan yang dilakukan
Effort coding atau untuk coding
test atau test
Ratio of Test Waktu untuk % 30 35 40 50 5 Indikator cukup
Work Effort verifikasi / tidaknya test
waktu telah dilakukan
keseluruhan
pembuatan
software
Ratio of Waktu review % 4 8 12 16 4 Indikator cukup
Review / waktu tidaknya review
Effort keseluruhan dilakukan
pembuatan
software

Selain indikator diatas ada juga indikator execution ratio yang didasarkan pada besar sistem
tersebut (KLOC: Kilo Lines of Code) yang satuannya adalah manhour per KLOC.
Indikator-indikator inilah yang dipakai baik untuk mengatur pengalokasian waktu dan juga
untuk menilai cukup tidaknya penjaminan kualitas dilakukan di akhir sebelum peluncuran
software.

1. 5. 7. Tepat Waktu dan Kualitas


Sebaik apapun perencanaan dalam pembuatan software, banyak hal-hal yang terjadi tidak
terduga dalam proses pengembangan software seperti “permintaan tiba-tiba client untuk
perubahan spesifikasi”, ”masalah spesifikasi yang tidak jelas atau belum fix”, “kesalahan design
sehingga spesifikasi tidak tercapai”, dan lain lain. Bisa juga memang karena memang waktu yang
diberikan atasan begitu sempit sehingga memaksa tim pengembangan software harus bekerja
berlarut-larut hingga jam kereta terakhir. Bahkan bila dibutuhkan, tidur di kantor pun harus
dijalani.

30
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Dari manakah motivasi bekerja mereka itu. Ada dua hal yang sangat ditekankan oleh
perusahaan Jepang yaitu “tepat waktu” dan “kualitas”. Kondisi waktu yang terbatas namun
kualitas tetap harus terjaga inilah yang menyebabkan kerja keras itu dilakukan. Hal ini adalah
semata-mata karena “meiwaku kakenai” yang tertanam dalam dalam budaya mereka. Inilah
salah satu bentuk jiwa “pelanggan adalah nomor satu” yang diterapkan oleh perusahaan
Jepang.

1. 6. Bentengi Produk dengan Paten


Beberapa subbab di bawah ini akan menjelaskan paten pada sebuah produk secara
terperinci.
1. 6. 1. Anggapan Umum tentang Paten
Banyak orang menganggap kepemilikan paten sebagai sesuatu yang luar biasa. Orang yang
memiliki paten dianggap sangat hebat karena telah berhasil menciptakan suatu penemuan besar
dan memperoleh pendapatan yang banyak dari penemuannya itu. Anggapan ini tentunya tidak
sepenuhnya salah, tetapi setelah mengetahui bagaimana paten ditulis di perusahan-perusahaan
Jepang, anggapan tersebut bisa sedikit berubah. Di banyak perusahaan Jepang, khususnya pada
divisi dimana penelitian dan pengembangan produk dilakukan, penulisan paten bisa jadi norma
yang harus dipenuhi setiap pegawai. Artinya, setiap pegawai “dipaksa” memberikan output
berupa paten pada setiap periode tertentu. Jadi, berbeda dengan anggapan di atas, menulis paten
bisa jadi merupakan hal yang umum dilakukan oleh banyak orang, tentunya setelah memenuhi
persyaratan tertentu.
Layaknya suatu barang, paten adalah objek yang dapat diperjualbelikan, dipinjamkan,
dilarang untuk digunakan dan dituntut kerugian atas penyalahgunaannya. Yang membedakan
paten dengan barang secara umum adalah wujudnya yang abstrak. Paten tidak bisa dilihat
secara fisik, karena pada dasarnya paten adalah sebuah ide atau pemikiran teknologi. Ide atau
pemikiran tersebut dituangkan dalam sebuah catatan deskripsi paten yang memuat tulisan dan
gambar-gambar penjelas yang didaftarkan ke kantor paten. Pemberian izin/lisensi penggunaan
paten berarti pengizinan pihak pemilik paten kepada pihak lain untuk menggunakan teknologi
yang tertuang dalam catatan paten tersebut.

1. 6. 3. Sistem Paten
Sistem paten di dunia bertujuan untuk mengakselerasi perkembangan teknologi dalam dunia
industri melalui logika pemikiran berikut:
Sistem paten memberikan kompensasi bagi penemu teknologi baru yang membuka
teknologi penemuannya kepada publik. Kompensasi ini berupa otoritas eksklusif untuk
mengatur boleh atau tidaknya pengunaan teknologi yang dia patenkan oleh pihak lain.
Pihak lain bisa menggunakan teknologi baru yang dibuka untuk publik melalui paten
tersebut. Dari sini tren pasar industri secara keseluruhan bisa terus berkembang maju dengan
munculnya produk-produk yang menerapkan teknologi-teknologi terbaru dari paten-paten

31
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

yang dibuka untuk publik. Tentunya ketika menggunakan paten dari pihak lain, sebuah
perusahaan harus membayar royalti atas lisensi paten tersebut.
Pihak lain bisa mempelajari, lalu mengembangkan teknologi dari paten yang dibuka untuk
publik menjadi teknologi yang lebih baik lagi. Dari sini akan dimungkinkan pembaruan-
pembaruan berikutnya oleh berbagai pihak sehingga kemajuan teknologi dapat terus
terakselerasi.

1. 6. 4. Mengapa Paten Penting


Paten menjadi penting karena dunia industri secara umum menganut sistem paten. Segala hal
terkait paten diatur dalam hukum paten masing-masing negara yang mengacu kepada perjanjian
internasional yang diikuti oleh hampir seluruh negara di dunia. Hak-hak pemilik paten yang
dilindungi hukum paten antara lain:
1) memungkinkan produksi dan penjualan secara ekslusif suatu produk
2) melarang pihak lain membuat dan menjual produk yang menggunakan paten yang dimiliki
3) memberikan izin/lisensi penggunaan paten kepada pihak tertentu (biasanya dengan
kompensasi pembayaran)
4) menggugat ganti rugi kepada pihak yang diketahui menggunakan paten yang dimiliki
5) mengajukan gugatan hukum kepada pihak yang menggunakan paten yang dimiliki tanpa
persetujuan

Dari hal-hal di atas, bisa kita pahami bahwa paten sangat penting bagi perusahaan karena bisa
menjadi senjata strategis dalam berbisnis. Bagi perusahaan yang menghasilkan suatu produk,
disamping perlu mempertimbangkan pembuatan paten untuk melindungi produknya, juga
harus mengamati dengan cermat apakah produk yang dibuat melanggar paten yang dimiliki oleh
pihak lain.

1. 6. 5. Sistem Paten di Jepang


Sistem paten di Jepang diatur oleh hukum paten Jepang (特許法: tokkyo-hou). Hal-hal yang
tercantum dalam hukum paten Jepang adalah definisi invensi (penemuan), prosedur pengajuan
paten, syarat layak pemberian paten, hak pemegang paten dan lain-lainnya.
Paten didefinisikan sebagai sebuah invensi yang memenuhui syarat-syarat tertentu. Berikut
ini hal-hal terkait paten dalam sistem paten Jepang yang penting untuk diketahui.

1) Definisi Invensi
Hukum paten di Jepang mendefinisikan bahwa invensi adalah sebuah hasil pemikiran teknis
berdasarkan hukum alam. Hasil pemikiran teknis berarti sesuatu yang bisa
ditransfer/diajarkan kepada pihak lain secara objektif. Teknik tendangan bebas pada olah
raga sepak bola misalnya, tidak bisa didefinisikan sebagai invensi karena ada jenis tendangan
yang tidak bisa ditiru dengan mudah dari satu pemain oleh pemain sepak bola yang lain.
Maksud dari harus berdasar pada hukum alam adalah unsur-unsur yang menyusun
32
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

pemikiran tersebut adalah hukum yang berdasar pada ilmu pengetahuan alam seperti
seperti matematika, fisika, kimia dan lainnya. Pemikiran yang disandarkan pada ilmu
psikologi, ekonomi atau ilmu yang berdasar kepada kesepakatan umum kelompok manusia
tidak bisa didefinisikan sebagai sebuah invensi.

2) Syarat Paten
Salah satu syarat utama dari paten adalah adanya unsur kebaruan dan kemajuan pada
invensi yang diajukan. Syarat utama yang lainnya misalnya memungkinkannya invensi yang
diajukan untuk diaplikasikan dalam dunia industri.
Unsur kebaruan (novelty) maksudnya, invensi yang diajukan menjadi paten adalah sesuatu
yang baru, yang belum pernah ada di dunia. Inventor dituntut untuk memastikan bahwa ide
yang dia ajukan belum pernah dipublikasikan oleh pihak lain dalam bentuk produk, paper
ilmiah, atau paten lain.
Unsur kemajuan (inventive-step) maksudnya, invensi yang diajukan bukanlah sesuatu yang
secara mudah dapat terpikir dari apa-apa yang sudah ada. Bila sebuah ide hanya merupakan
kombinasi sederhana dari beberapa invensi paten sebelumnya, ide tersebut bisa dianggap
tidak memiliki nilai kemajuan.
Sebuah invensi dinyatakan dapat diaplikasikan dalam dunia industri apabila seluruh
informasi yang diperlukan untuk merekonstruksi invensi yang dimaksud tertulis pada
dokumen deskripsi paten. Pengajuan hak paten bisa ditolak apabila ada bagian penjelasan
yang hilang untuk merekonstruksi secara utuh invensi yang diajukan.
Selain beberapa syarat utama di atas, ada banyak syarat-syarat lain seperti memenuhi
aturan-aturan format dokumen pengajuan paten, tidak melanggar norma/hukum yang
berlaku dan lainnya.

1. 6. 6. Proses Mendapatkan Paten di Jepang


Gambar 1-10 memerlihatkan ilustrasi sederhana alur pengajuan paten sejak permohonan
hingga habis masa berlaku. Sebuah paten bisa digunakan dalam jangka waktu 20 tahun
semenjak paten tersebut diajukan. Pengajuan paten tidak berarti hak paten langsung diberikan.
Satu setengah tahun (18 bulan) setelah permohonan paten diajukan, dokumen paten
diumumkan kepada publik. Setelah dibuka ke publik, pihak pemohon bisa mempertimbangkan
apakah mereka akan mendaftarkan penemuan yang diajukan supaya diberikan hak paten atau
tidak. Apabila pemohon ingin mendaftarkan hak patennya, maka pemohon harus mengajukan
permohonan pemeriksaan hingga layak dinyatakan sebagai paten. Apabila sampai tiga tahun
tidak ada permohonan pemeriksaan, maka dianggap pengajuan permohonan hak paten pada
invensi tersebut sudah ditarik atau dibatalkan.

33
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Gambar 1-10. Alur Pengajuan Paten

Apabila pemeriksa melihat ada syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam paten yang
diperiksa, pemeriksa akan mengirimkan surat alasan penolakan kepada pemohon. Surat alasan
penolakan adalah pemberitahuan pendahuluan kepada pemohon bahwa paten yang diajukan
kemungkinan akan dinyatakan ditolak. Pada surat pemberitahuan penolakan tersebut
tercantum alasan kenapa patennya ditolak. Pihak pemohon kemudian akan menilai alasan
penolakan dari pemeriksa. Apabila tidak setuju dengan alasan pemeriksaan, pemohon bisa
mengirimkan surat pendapat yang berisi sanggahan atas alasan penolakan pemeriksa. Atau
apabila alasan penolakannya diterima, pemohon bisa mengubah bagian klaim dari dokumen
paten yang ditolak oleh pemeriksa, kemudian mengirimkan surat revisi yang berisi penjelasan
bahwa klaim paten yang diajukan untuk diperiksa telah diubah sehingga alasan penolakan yang
34
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

sebelumnya disampaikan sudah tidak berlaku lagi. Akhirnya pihak pemeriksa akan menetapkan
apakah paten yang diajukan untuk diperiksa dinyatakan lulus atau ditolak.
Setelah dinyatakan lulus, maka paten akan terdaftar dan pemohon akan memperoleh hak
paten yang bisa digunakan selama 20 tahun sejak pertama kali permohonan paten diajukan.
Apabila paten dinyatakan ditolak tetapi alasan penolakannya tidak diterima oleh pemohon,
pemohon masih bisa mengajukan komplain penolakan atas keputusan pemeriksaan. Pihak
pemohon yang bersikeras patennya memenuhi syarat dan merasa alasan pemeriksa menolak
patennya tidak bisa diterima, bisa meminta kantor paten mengganti personel petugas pemeriksa,
dan sekali lagi mendapat pemeriksaan dari petugas pemeriksa yang berbeda.

1. 6. 7. Fungsi Paten bagi Perusahaan


Pentingnya paten bagi perusahaan yang sudah tidak diragukan lagi. Adanya hak eksklusif bagi
pemegang paten untuk memproduksi dan menjual barang berteknologi seperti yang tercantum
pada paten tentunya sangat menguntungkan.
Fungsi paten bagi perusahaan tidak lain adalah untuk mendapatkan keuntungan-
keuntungan dari kepemilikan paten, yang di antaranya adalah:

1) Hak eksklusif dalam berbisnis produk


Perusahaan bisa memaksimalkan pemasukannya atas penjualan produknya yang berpaten,
dan mencegah pesaing meniru produk serupa. Kita bisa menyimak di berita-berita bahwa
sanksi bagi pelanggaran paten bisa jadi sangat berat, dari membayar denda kepada pemilik
paten hingga betul-betul dihentikan hak bisnisnya.

2) Keuntungan dari lisensi paten


Bagi perusahaan yang tidak memiliki infrastruktur pembuatan produk, tetapi memiliki
kemampuan dalam penelitian dan pengembangan, mereka bisa menawarkan lisensi
penggunaan paten yang dimiliki dengan imbal balik berupa pemasukan bagi perusahaan.

3) Mendukung tujuan paten, menggiatkan industri


Ketika sebuah perusahaan berhasil mengeluarkan produk berpaten yang diterima baik oleh
pasar, perusahaan lain akan terstimulasi untuk membuat produk yang lebih baik dengan
berusaha menghindari kemungkinan pelanggaran paten produk yang ada. Dengan adanya
persaingan seperti ini kegiatan industri secara luas semakin bergairah dan masyarakat
mendapatkan keuntungan berupa produk yang semakin baik dan berkualitas.

4) Menaikkan brand image perusahaan


Jumlah paten yang dimiliki oleh sebuah perusahaan bisa menjadi modal appeal kekuatan
perusahaan tersebut. Selain itu, sebuah perusahaan bisa saja mengumumkan kepada
khalayak bahwa dia merelakan patennya digunakan oleh masyarakat umum. Ketika paten

35
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

tersebut adalah paten yang bisa digunakan oleh orang banyak, maka brand image
perusahaan yang melepas patennya secara cuma-cuma akan naik.

5) Menjaga keberlangsungan riset dan pengembangan (R&D) perusahaan


Pada umumnya munculnya ide paten adalah ketika masa studi atau riset terkait teknologi
pada produk yang ingin diproduksi. Karena tidak terkait langsung dengan pemasukan atas
penjualan barang yang diproduksi, perusahaan bisa saja mengklasifikasikan pemasukan
lisensi paten dari perusahaan lain khusus untuk dipakai sebagai dana investasi R&D untuk
produk selanjutnya. Dan dari dana investasi yang berasal dari lisensi paten ini kegiatan R&D
bisa terus secara berkelanjutan menghasilkan teknologi dengan paten-paten yang baru di
masa depan.

1. 6. 8. Strategi Paten Perusahaan Jepang


Seperti disebutkan dalam bab sebelumnya adanya hak paten bagi perusahaan bisa memiliki nilai
strategis sebagai berikut.
• Pada batas waktu tertentu memonopoli penggunaan hak paten yang dimiliki
• Menaikkan brand-image produk dengan mencantumkan, “produk ini memiliki paten
terdaftar”
• Bisa memaksa pihak lain menghentikan pembuatan atau jual beli barang yang mengandung
paten yang dimiliki
• Bisa mendapatkan pemasukan berupa royalti dari lisensi paten yang dimiliki.

Sebagai konsekuensi dari keuntungan-keuntungan di atas, berikut ini strategi penggunaan paten
yang umum dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Jepang.
1) Kerjasama lisensi silang
Kerjasama lisensi silang yaitu adanya hubungan timbal-balik memberikan lisensi antara dua
perusahaan atau lebih sehingga mereka bisa menggunakan paten yang dimiliki perusahaan
lain yang terikat kerjasama secara cuma-cuma. Tentunya semakin banyak paten yang
dimiliki, semakin memungkinkan tingginya daya tawar dalam perjanjian lisensi silang
dengan suatu perusahaan dan memungkinkan semakin luasnya kemungkinan bisnis atas
kerjasama dengan perusahaan-perusahaan lain. Contoh lisensi silang yang umum terjadi di
perusahaan-perusahaan adalah lisensi silang antar perusahaan pembuat piranti keras
(hardware) dengan perusahaan pembuat piranti lunak (software). Di antara mereka saling
memberi Lisensi Reasonable and Non-discriminatory (RAND), yaitu bentuk kesepakatan
lisensi yang digunakan oleh banyak lembaga standardisasi sebuah teknologi.
Standardisasi teknologi adalah salah satu cara bagi perusahaan untuk memperluas
pemasaran produknya. Penggunaan lisensi RAND pada standard teknologi yang diterapkan
pada sebuah produk mensyaratkan perusahaan pemilik paten mengambil pembayaran
lisensi pihak-pihak pengapdosi standard secara adil dan tanpa diskriminasi. Maksudnya,

36
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

walaupun pada awalnya pengizinan dan harga royalti lisensi paten adalah hak pemilik paten
secara mutlak, sehingga perusahaan bisa memilih siapa yang diizinkan dan mengatur harga
royalti, namun ketika menyetujui penggunaan lisensi RAND, maka aturan pengizinan dan
harga royalti lisensi harus sama mengikut aturan yang ditetapkan organisasi standardisasi.
GSM dan UMTS adalah contoh standard teknologi yang berlisensi RAND. Keuntungan bagi
perusahaan adalah dari standardisasi teknologi yang memungkinkan produk-produk yang
dimiliki bisa semakin luas pasarannya.

2) Pool lisensi
Jenis kerjasama ini adalah bentuk kerjasama lisensi silang antara dua atau lebih perusahaan-
perusahaan yang memiliki paten-paten di teknologi serupa. Pihak-pihak yang menggunakan
paten-paten yang terkumpul pada sebuah pool paten akan membayar lisensi kepada
perusahaan pengelola pool lisensi, untuk kemudian dari sana dibagi-bagi kepada
perusahaan-perusahaan pemilik paten sesuai dengan jumlah kontribusi masing-masing
perusahaan. Jumlah kontribusi perusahaan pada pool lisensi biasanya bergantung dengan
jumlah paten terkait yang dimiliki. Contoh pool paten adalah pada paten terkait teknologi
yang terstandardisasi seperti kompresi video MPEG, sistem komunikasi LTE, dan lain
sebagainya.

Dengan adanya berbagai bentuk pemanfaatan paten tersebut di atas, secara umum ada dua
pendekatan pembuatan paten yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Jepang.
a. Berusaha membuat paten sebanyak-banyaknya.
Dengan menang secara jumlah, maka penghasilan yang didapat dari pool lisensi dan lain
sebagainya bisa lebih banyak dibanding dengan perusahaan lain. Pendekatan ini dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan Jepang selama ini untuk melindungi produk-produknya yang
dijual secara luas di seluruh dunia.

b. Berupaya membuat paten yang kuat


Maksudnya adalah memperbaiki kualitas paten dibanding memperbanyak jumlah yang
dibuat. Kualitas sebuah paten menjadi penentu menang-tidaknya sebuah paten dalam
persidangan-persidangan. Belakangan ini perusahaan-perusahaan Jepang mulai mengganti
titik berat pendekatannya untuk lebih memperbaiki kualitas dibanding memperbanyak
jumlah paten yang dibuat.

1. 6. 9. Pengalaman Menulis Paten di Jepang


Penulis pertama kali menulis paten ketika menginjak tahun kedua bekerja sebagai research
engineer. Hal-hal berikut dirasakan oleh penulis ketika pertama kali menulis sebuah paten.
• Sulitnya mendapatkan ide invensi
• Kesulitan menulis dalam bahasa Jepang
• Sulitnya menulis gaya khas penulisan paten

37
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Namun ketika sudah mempunyai pernah menulis paten, penulis merasa lebih mudah menulis
paten yang kedua dan selanjutnya. Hal ini disebabkan paten mempunyai bahasa dan urutan yang
khas dalam penulisan sehingga setelah penulisan yang pertama kita akan memahami apa saja
yang harus disajikan dalam paten. Semakin banyak menulis paten maka kita akan semakin
mengetahui isi minimal yang harus ada dalam paten sehingga proses penulisan menjadi lebih
efektif. Selain itu kegiatan R&D pada dasarnya adalah melanjutkan penelitian yang sudah ada
(ingat prinsip “tidak mulai dari Nol”), sehingga tugas seorang engineer sebagian besar adalah
mengembangkan paten-paten yang sudah pernah dibuat.
Setelah mengetahui seluk beluk paten di perusahaan Jepang, penulis semakin paham
mengapa paten dianggap sebagai sebuah “barang” sebagai bagian dari produk industri. Oleh
karena itu biasanya perusahaan-perusahaan besar di Jepang, mempunyai divisi khusus yang
mengurus hal-hal yang berkaitan dengan paten. Setiap karyawan yang hendak mengajukan
paten harus berkonsultasi dengan divisi ini. Dengan adanya divisi ini, strategi industri sebuah
perusahaan akan bisa terkontrol dengan baik karena produknya akan didukung oleh paten yang
berkualitas. Selain itu, beban R&D dan bagian produksi akan menjadi lebih ringan karena tugas
memetakan paten perusahaan sudah terdelegasikan di divisi paten ini.
Sebagai penutup, dalam Bab 1 tentang R&D ini, telah dibahas hal-hal penting terkait kegiatan
riset dan pengembangan di perusahaan Jepang. Tentu saja apa yang dibahas di sini masih
sebagian kecil saja dari ciri khas pekerjaan R&D di perusahaan-perusahaan Jepang. Semoga
dengan membacanya bisa membuka pikiran pembaca yang bergelut di bidang R&D untuk terus
memajukan industri melalui pekerjaan-pekerjaan R&D. Hal ini tentu saja membutuhkan
dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak, seperti bidang akademisi sebagai guru serta
pemerintah sebagai sponsor dan penentu kebijakan. Diharapkan dengan sinergi antara R&D
perusahaan, akademisi dan pemerintah, akan tercipta inovasi-inovasi yang bisa memajukan
industri nasional.

38
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

BAB 2
PRODUKSI – SEISAN – 生産

Abdi Pratama dan Indra Hermawan

Di dalam Bab Produksi ini, akan dikupas tuntas hal-hal penting yang menunjang keberhasilan
proses produksi. Dari strategi melakukan penghematan biaya produksi, pemilihan supplier
penunjang produksi hingga garansi proses produksi untuk menghasilkan produk yang
sempurna bebas dari cacat dan mampu bersaing di pasaran.
Pembahasan diawali dari topik “Cost down but Quality first”, yang berisi strategi melakukan
pemotongan biaya produksi tanpa mengurangi kualitas produk itu sendiri. Strategi-strategi
pemotongan biaya di dalam topik ini sangat lazim di perusahaan-perusahaan Jepang di dalam
memformulasikan biaya produksi yang sehemat mungkin.
Di antara tips-tips pengurangan biaya yang akan dipaparkan dalam topik ini, akan dibahas
lebih khusus lagi strategi “Lokalisasi” yang pada dasarnya adalah melakukan proses pemilihan
dan pembelian bahan produksi dari dalam negeri tanpa harus menggantungkan kepada barang
impor. Lokalisasi produk tentunya tidak semudah yang dibayangkan mengingat kemampuan
bersaing produk-produk lokal belum sebagus produk asing. Namun, proses lokalisasi ini sangat
penting dalam penghematan biaya produksi. Selain itu, proses lokalisasi juga akan membantu
tumbuh kembangnya industri lokal untuk lebih berkembang dan bersaing.
Setelah dipastikan bahwa proses awal produksi menemukan formulasi biaya produksi yang
reasonable melalui cost down dan Lokalisasi, selanjutnya akan dibahas kunci penting dalam
proses produksi melalui topik “Tatk time” yang memastikan bahwa produk akan dihasilkan
dalam waktu yang telah ditentukan. Sebagai contoh takt time 60 detik, yang artinya setiap 60
detik, produk akan dihasilkan dari dalam pabrik. Hal inilah yang menjadi salah satu kunci proses
produksi masal sebuah barang. Tanpa konsep takt time ini maka produksi massal akan
terhambat efektivitasnya.
Di bagian akhir akan dijelaskan bagaimana cara menjaga agar produk yang dihasilkan
seragam dan bebas defect (cacat) melalui topik “Deteksi Masalah Sejak Dini dan langkah
antisipasi” yang akan membeberkan bagaimana langkah mendeteksi barang cacat sejak dini
akan tidak lolos di pasaran dan mengganggu proses produksi secara keseluruhan. Proses
pendeteksian yang terlambat akan mengganggu proses produksi karena proses repair produk
yang cacat akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Sehingga proses garansi produksi
merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam proses produksi.

39
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

2. 1. Cost Sown but Quality First

Dalam berbisnis, apapun itu bentuknya, hampir pasti bertujuan untuk menghasilkan
keuntungan. Bagaimana cara menentukan keuntungan/laba pada sebuah perusahaan?
Rumus di bawah ini sangat masyhur di dalam menentukan keuntungan yaitu hubungan antara
Harga jual, Harga pokok dan keuntungan ditulis dengan rumus berikut:

Harga Jual = Harga Pokok + Keuntungan

Artinya, harga jual ditentukan dari harga pokok dan berapa kita akan mengambil
Keuntungan. Contoh kongkretnya adalah, semisal kita memiliki warung atau toko, kita membeli
barang dengan harga 100,000 rupiah, dan kita ingin mengambil keuntungan 20,000 rupiah dari
setiap barangnya. Dengan demikian, untuk mendapatkan keuntungan yang diharapkan kita akan
menjual barang dengan harga 120,000 rupiah.
Pola pemikiran di atas adalah pola pikir yang konvensional. Akan tetapi, pada pola pikir
modern, hubungannya ketiganya ditulis dengan rumus berikut:

Keuntungan = Harga Jual – Harga Pokok

Apa perbedaan dari keduanya? Bila dihitung dari sudut pandang matematika, keduanya
adalah sama. Akan tetapi dari segi pola pikir, keduanya berbeda. Pada rumus kedua, keuntungan
ditentukan dari berapa selisih dari Harga jual dan Harga pokok. Dengan kata lain, kita tidak bisa
mengatur harga jual, karena harga jual diatur oleh pasar. Misalnya untuk contoh toko di atas,
kita tetap ingin mendapatkan keuntungan 20.000 rupiah akan tetapi toko-toko yang lain menjual
dengan harga 110.000 rupiah. Di sini, kalau kita memaksa menjual dengan harga 120.000
rupiah, kemungkinan besar kita tidak dapat bersaing, dan malah tidak ada yang mau membeli
barang yang kita jual. Satu-satunya cara untuk mendapatkan keuntungan yang sama, kita harus
mencari cara agar bisa membeli barang dengan harga 90.000 rupiah, sehingga kita bisa menjual
barang dengan harga 110.000 rupiah, dan keuntungan tetap 20.000 rupiah. Dengan kata lain,
untuk mendapatkan keuntungan yang besar, maka harga pokok harus diturunkan, alias cost
down.
Satu lagi alasan kenapa perlunya cost down. Diantara Harga Pokok dan Keuntungan,
normalnya persentase keuntungan tidak terlalu besar. Kita gunakan lagi contoh di atas, harga
beli 100.000 rupiah dan keuntungan 20.000 rupiah, yaitu 20% dari harga pokok. Misalnya kita
ingin menaikkan keuntungan 5%, menjadi 25%. Ada dua cara untuk menaikkan keuntungan ini,
yaitu menaikkan harga jual dan menurunkan harga pokok. Dengan menaikkan harga jual, berarti
kita harus menjual 125.000 rupiah, alias naik harga 5.000 rupiah. Dengan menurunkan harga
pokok, berarti kita harus membeli dengan harga 96.000 rupiah, alias cost down 4,000 rupiah.
Menjual lebih mahal 5.000 rupiah akan jauh lebih sulit dari pada membeli lebih murah 4.000
rupiah. Inilah satu lagi alasan perlunya cost down.

40
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Keuntungan Harga Pokok

Rp. 125,000 Rp. 120,000


Rp. 120,000
Tambahan
Keuntungan 25,000
20,000 24,000 Tambahan
Keuntungan

100,000 100,000 96,000

Menaikkan Harga Awal Cost Down


Harga Jual

Ilustrasi: Dua cara menambah persentase keuntungan

Dalam dunia manufaktur di Jepang, ada prinsip QCD (Quality, Cost, Delivery) yang harus
dipegang. Dalam artian, tiga komponen tesebut harus diutamakan dan tidak boleh ada yang
dikorbankan, sesuai dengan judul artikel ini, Cost Down but Quality First. Kalau kualitas
(Quality) tidak boleh dikorbankan, bagaimana cara untuk mengurangi biaya (cost)? Di sini
penulis akan berbagi pengalaman penulis mengenai cara-cara mengurangi biaya tanpa
mengesampingkan kualitas. Sebenarnya, masih ada banyak cara lain yang belum sempat
dijabarkan di sini.
Harga pokok terdiri dari harga beli material, biaya produksi, dan biaya-biaya yang lainnya.
Cost down dapat dilakukan dengan mengurangi biaya-biaya dari masing-masing fakor
pembentuk harga pokok ini. Antara lain adalah men-subcont-kan part-part yang bisa dibuat
diluar, mencari alternatif supplier yang paling murah, memberikan dukungan kepada supplier,
“kompensasi” terhadap kualitas, pengurangan biaya produksi di dalam perusahaan, dan bekerja
sama dengan kompetitor. Mari kita bahas lebih mendetail satu persatu mengenai cara-cara ini.

1) Men-subcont-kan part-part yang bisa dibuat di luar


Subcont di sini adalah singkatan dari Sub-Contractor, yang kurang lebih maksudnya adalah
mendelegasikan suatu pekerjaan kepada pihak lain, atau lebih gampangnya, memesan part
kepada perusahaan lain (supplier). Untuk part-part yang mudah dibuat dan tidak memuat
rahasia perusahaan, akan lebih murah untuk dibuat di luar perusahaan (di-subcont-kan).
Sebaliknya, part-part yang rumit atau pembuatannya menyangkut rahasia perusahaan, perlu
untuk tetap dibuat sendiri di dalam perusahaan.
Misalnya, kita ingin memproduksi pulpen. Pulpen itu terdiri dari badan pulpen (yang terdiri
dari 3 bagian), tutup pulpen, dan isi pulpen, yang terdiri dari tempat tinta, ujung tinta dan
tinta itu sendiri.

41
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Untuk contoh pulpen ini, kalau kita ingin membuat semuanya sendiri, kita harus memiliki
semua alat yang dibutuhkan untuk membuat tutupnya, badannya, dan juga isinya. Misalkan
kita memiliki desain pulpen yang unik, dimana pulpen itu enak dipegang karena memiliki
ukuran yang pas dengan jari, dan juga beratnya pas untuk digunakan menulis lama. Di sini,
bagian badan pulpen adalah bagian yang penting dan menjadi ciri khas dari produk kita
tersebut, sehingga kita harus membuat bagian badan pulpen ini sendiri, dan kita harus
berinvestasi untuk membeli alat pembuatnya. Untuk bagian tutupnya, karena bahannya
sama dengan badan, kita bisa membuatnya sendiri dengan alat yang sama dengan pembuat
badan pulpen. Untuk bagian isi pulpen, kalau kita ingin membuatnya sendiri, kita harus
membeli alat baru yang bisa membuat masing-masing bagian, baik itu tempat tinta, ujung
tinta dan tinta itu sendiri. Berhubung bagian isi pulpen ini tidak terlalu penting untuk dibuat
sendiri, akan lebih murah kalau kita membelinya dari supplier.
Kenapa dengan membeli dari supplier bisa membuat lebih murah? Prinsip mudahnya adalah,
kita harus memikirkan “balik modal” pada saat berinvestasi pada suatu alat. Biasanya, dalam
harga suatu barang akan termasuk juga biaya untuk menutup harga beli alat produksinya.
Misalkan harga alat yang kita beli adalah 120,000,000 rupiah, Jumlah produksi perbulan
adalah 1,000 unit, dan kita ingin balik modal alat dalam waktu 2 tahun. Maka, biaya untuk
menutup harga alat adalah 5,000 rupiah untuk setiap unitnya (lihat Gambar 2-1).
Kalau kita memesan ke supplier, di mana supplier itu juga menjual tidak hanya kepada kita
tetapi juga kepada yang lainnya, jumlah produksi perbulannya akan lebih banyak. Misalkan
jumlah produksi supplier itu 2,500 unit perbulan, maka biaya untuk menutup harga alat
adalah 2,000 rupiah. Lebih murah 3,000 rupiah dibanding kalau kita membuat sendiri untuk
kita.
Mungkin di antara pembaca ada yang hobi mengutak-atik komputer. Untuk yang hobby
komputer, pasti sadar kalau part-partnya tidak dibuat oleh maker yang sama. Dalam 1
komputer, Processor, Hard disk, Memory, dan yang lainnya dibuat oleh maker yang berbeda-
beda, dan masing-masing maker pembuat part tersebut juga mensuplai ke maker-maker
komputer yang lain. Ini adalah salah satu cara untuk menekan biaya produksi, dibanding
harus memproduksi sendiri semua part-nya.

42
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Gambar 2-1. Contoh kasus produksi pulpen


Contoh kasus produksi pulpen:

・Harga Alat : Rp 120,000,000


・Jumlah produksi : 1,000 unit / bulan
・Waktu “balik modal” : 2 tahun

◆ Bila membuat sendiri:


𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝐴𝑙𝑎𝑡
・Biaya Alat =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 × Waktu balik modal

Rp 120,000,000
=
1,000 𝑢𝑛𝑖𝑡/𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 × 2 × 12 bulan

= Rp 5,000 /𝑢𝑛𝑖𝑡

◆ Bila memesan ke supplier:


・Jumlah produksi suppier : 2,500 unit / bulan
(supplier menjual kepada customer lain juga selain kita)

𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝐴𝑙𝑎𝑡
・Biaya Alat =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 × Waktu balik modal

Rp 120,000,000
=
2,500 𝑢𝑛𝑖𝑡/𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 × 2 × 12 bulan

= Rp 2,000 /𝑢𝑛𝑖𝑡

2) Mencari Supplier yang Paling Murah


Hal kedua, bila jumlah part-part yang perlu di-subcont-kan telah maksimal, selanjutnya
adalah mencari alternatif supplier yang paling murah, baik didalam maupun luar negeri.
Secara garis besar, komponen yang dibeli dibagi menjadi dua, komponen “purchase part”,
dan komponen “subcont part.” Purchase part adalah komponen-komponen yang dijual relatif
umum di pasaran. Misalnya untuk contoh komputer di atas, hampir sebagian besar part-
partnya dijual umum di pasaran. Kita tinggal memilih model dan spesifikasi part yang mana
yang cocok untuk produk kita. Sedangkan Subcont part adalah komponen yang dibuat
berdasarkan pesanan dari kita. Misalnya untuk contoh pulpen di atas, ukuran isi pulpennya
harus dibuat agar sesuai dengan design kita. Contoh, panjangnya harus pas dengan panjang
badan pulpen yang kita buat sendiri.
Dari purchase part dan subcont part yang dijelaskan di atas, masing-masing diperlukan trik-
trik tersendiri untuk mencari supplier yang paling murah. Terutama untuk purchase part,
sampai-sampai ada ungkapan “tidak ada harga termurah untuk purchase part”. Ini
dikarenakan kita tidak tahu mereka bisa memproduksi dan menjual seberapa banyak

43
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

produk. Seperti dijelaskan juga di atas, semakin banyak jumlah produksi, maka biaya yang
ditanggung 1 buah produk untuk menutup harga alat produksi akan semakin kecil. Begitu
juga biaya untuk menutup gaji karyawan, biaya listrik dan lain-lainnya juga akan semakin
kecil. Karenanya kita tidak boleh berhenti dan berpuas hati untuk mencari kemungkinan
supplier yang lebih murah dari Purchase part. Sedangkan untuk subcont part, dikarenakan
pembuatannya sesuai dengan design dari kita sendiri, kita pun bisa memprediksi berapa
kira-kira biaya produksinya. Mungkin untuk yang sering belanja di super market Carrefour,
penah melihat di depan super market tersebut, mengenai alasan mereka bisa menjual lebih
murah, antara lain dengan cara “membeli dari supplier terbaik”, dan “membeli dalam jumlah
banyak”.
Cara mencari supplier yang lebih murah yang paling cepat adalah dengan melokalisasi
komponen-komponen yang masih diimport. Suka duka penulis dalam mencari supplier di
dalam negeri ini lebih detail lagi akan dibahas di tema “lokalisasi”.

3) Memberikan Support kepada Para Supplier


Cara ketiga adalah dengan cara memberikan dukungan kepada para supplier, agar mereka
dapat mengurangi biaya produksi mereka, yang berujung pada semakin murahnya harga jual
terhadap kita. Support ini bisa bermacam-macam, mulai dari memperkenalkan supplier-
supplier lain yang bisa memasok barang ke mereka sebagai alternatif dari yang sudah ada
sekarang, sampai dengan membantu supplier untuk memperbaiki managemen mereka, atau
bahkan bisa juga dengan berinvestasi terhadap supplier tersebut. Di sini penulis ingin
berbagi pengalaman cost down dengan cara memberikan dukungan teknis terhadap
supplier, agar kualitas yang dihasilkan tetap terjaga.
Terkadang ada supplier yang memiliki potensi untuk memberikan harga yang murah, akan
tetapi kualitasnya kurang stabil. Untuk supplier yang seperti ini, kami melalukan survey ke
line produksi supplier tersebut, dan memberikan saran-saran untuk meningkatkan dan
menjaga kualitas produk yang dihasilkan. Di salah satu supplier, kami memberikan
pengarahan mengenai management produksi yang baik, mulai dari masuknya order,
pemesanan material, proses produksi dan sampai ke tahap delivery. Kami mengusulkan
penggunaan system production management sederhana (menggunakan Microsoft Excel)
untuk mengontrol stok material dan kebutuhan produksi, sehingga kekurangan material bisa
dihindari. Untuk Line produksinya, kami memberikan saran untuk mengubah urutan proses,
dan juga penggunaan jig atau alat untuk mempermudah pengecekan barang untuk setiap
prosesnya. Perubahan urutan proses? Benar, urutan proses yang berbeda bisa menghasilkan
kualitas yang berbeda pula. Misalnya kita ingin membuat donat. Untuk membuat bentuk
yang belubang di tengah itu, bisa kita buat dari bulatan kemudian kita lubangi tengahnya,
atau bisa juga kita buat dari bentuk silinder panjang yang kemudian kita bentuk menjadi
cincin. Hasilnya, dengan melubangi bagian tengah lebih mudah dan menghasilkan bentuk
yang lebih stabil. Sama halnya untuk membuat komponen produksi.

44
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Tidak itu saja, kami juga meminta mereka untuk menamai dan mewarnai alat-alat yang
dipakai, untuk memperkecil kesalahan saat penggunaan alat tersebut. Selain itu, lantai dari
masing-masing area juga dibedakan warnanya, agar bisa membedakan tempat untuk
mana barang yang belum, sedang dan sudah diproses, selain itu juga untuk membedakan
barang yang OK dan tidak. Dengan perbaikan-perbaikan tersebut, kualitas dari supplier
tersebut menjadi lebih terjamin, dengan harga yang terjaga tetap murah.

4) “Kompensasi” terhadap Kualitas


Semua usaha untuk mencari supplier yang murah dan berkualitas sudah kita kerjakan. Cara
selanjutnya untuk Cost Down adalah “kompensasi” dengan kualitas. Di sini, perlu dibedakan
antara Quality first dan over spec. Mengenai kualitas seperti apa yang sebenarnya
dibutuhkan, akan kembali lagi ke kebutuhan pasar. Bila kita membuat barang yang
kualitasnya tidak dibutuhkan (melebihi) pasar, maka akan menjadi over spec. Ibarat
menggunakan bom untuk membunuh seekor nyamuk, padahal cukup dengan semprotan anti
nyamuk, raket anti nyamuk, atau bahkan cukup kita tepuk saja dengan tangan. Tentu saja
biaya yang dibutuhkan untuk membeli bom akan sangat-sangat lebih besar dari pada harus
membeli obat anti nyamuk. Bahkan, bisa gratis kalau kita tepuk dengan tangan. Untuk itu,
perlu ditelaah juga apakah komponen-komponen yang kita beli benar-benar dibutuhkan
secara fungsi atau tidak.
Cara menelaah kualitas atau fungsi, dan memertahankan fungsi-fungsi utama kemudian
mengurangi atau menghilangkan fungsi yang tidak perlu biasa dikenal dengan VE (Value
Engineering). Misalnya untuk menulis, kita menggunakan pensil mekanik yang menjadi satu
dengan pulpen. Padahal, yang digunakan hanya pensil saja, sedangkan pulpennya tidak
pernah digunakan. Dengan prinsip VE, maka sebenarnya yang diperlukan adalah pensil saja.
Dengan menggantinya dengan pensil biasa, maka harga bisa ditekan dengan tetap
mempertahankan fungsinya, yaitu untuk menulis dengan pensil. Contoh membunuh nyamuk
di atas dan contoh pensil ini adalah contoh untuk memudahkan penjelasan saja. Berdasarkan
pengalaman penulis, agak sulit untuk cost down dengan cara VE ini. Sebabnya adalah karena
biasanya pada saat suatu produk diproduksi secara masal, produk tersebut sudah melalu
tahapan VE terlebih dahulu, sehingga sulit untuk menemukan ide VE yang lebih mendalam.

5) Optimalisasi Proses Internal


Tidak hanya berusaha mengurangi biaya dengan cara membeli komponen dengan harga
murah, cost down perlu juga dilakukan dengan mengurangi biaya proses internal di dalam
perusahaan. Salah satunya dengan optimalisasi proses yang sudah ada. Lebih detail lagi
mengenai optimalisasi proses ini akan dibahas di dalam tema “Takt Time”.

6) Bekerja sama dengan kompetitor


Salah satu cara lainnya untuk Cost Down adalah dengan cara bekerja-sama dengan
kompetitor untuk bersama-sama mendevelopment produk yang lebih murah, dengan

45
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

qualitas yang tetap terjaga. Seperti telah dijabarkan di atas, semakin banyak jumlah
komponen yang diproduksi, maka harga komponen itu akan semakin murah, karena biaya
alat produksi yang harus ditanggung 1 unit komponen yang semakin murah. Akan tetapi, ada
kalanya kita memerlukan komponen dengan spesifikasi khusus, dimana tidak semua orang
banyak memakainya, sehingga supplier hanya memproduksi barang tersebut khusus untuk
kita saja.
Dengan begitu, otomatis harganya akan sulit ditekan. Untuk menambah jumlah produksi
supplier, kita harus membantu mereka mencarikan pembeli yang mau membeli komponen
tersebut. Berhubung spesifikasi yang khusus, pembeli yang paling mungkin adalah
kompetitor kita sendiri, karena mereka juga membuat barang yang mirip dengan yang kita
buat. Inilah yang menjadi ide bekerja sama dengan kompetitor. Selain ini, kerja sama dengan
kompetitor bisa juga dilakukan dalam hal berbagi teknologi dan sebagainya.

2. 2. Lokalisasi, antara Efektifitas dan Kualitas

Indonesia merupakan salah satu negara tujuan terbesar Investasi Jepang. Selain memang
memiliki hubungan baik yang dimulai dengan “balas budi” setelah perang, Indonesia dengan
jumlah penduduk yang besar memiliki potensi pasar yang besar juga. Hal inilah yang mendorong
perusahaan-perusahaan manufaktur Jepang berinvestasi di Indonesia, agar dapat memproduksi
barang dengan dengan pasarnya. Dalam pelaksanaannya, lokalisasi material atau komponen
produksi tidak dapat dipisahkan.
Selain itu, dalam manufaktur Jepang ada prinsip QCD (Quality, Cost, Delivery) yang harus
dipegang, dimana ketiganya harus diutamakan, tidak boleh ada yang dikorbankan. Artinya,
produk yang dihasilkan (ataupun dibeli) harus dengan kualitas yang baik (quality), biaya yang
murah (cost), dan tersedia pada saat yang diinginkan (delivery). Di sini, penulis akan berbagi
pengalaman dan suka-duka saat menjalankan lokalisasi, terkait dengan prisip QCD ini.
Pertama akan dibahas mengenai QCD. Kualitas dapat berarti luas, baik itu penampakan
produk, fungsinya, dan juga daya tahannya. Untuk menjaga kualitas dan produktifitas, banyak
perusahaan jepang yang menerapkan Toyota Production System (TPS), yang di mana salah satu
isinya adalah “untuk menjaga kualitas, maka jumlah stok harus dikurangi seminimal mungkin”.
Di sini, apabila jumlah stok diandaikan sebagai air sungai, dan defect atau masalah diandaikan
sebagai sampai di dasar sungai, saat air sungai (stok) berlimpah maka sampah di dasar sungai
(defect) tidak akan terlihat. Sebaliknya, bila air sungai (stok) sedikit, maka semua sampah di
dasar sungai (defect) akan terlihat (Gambar 2-2).
Kita bayangkan bila kita memiliki sebuah gudang untuk menyimpan alat-alat rumah tangga.
Di dalamnya berisi sangat banyak barang, bercampur antara barang-barang yang memang masih
dipakai (misalnya: Microwave oven, panci presto, dan panci besar yang digunakan hanya pada
saat lebaran), dan juga barang-barang yang sebenarnya sudah tidak dipakai, tapi kita lupa atau
tidak sempat membuangnya (misalnya: kompor minyak yang sudah lama rusak yang tidak
dibuang karena saat itu berencana diperbaiki, panci yang sudah rusak dan sudah dibeli

46
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

penggantinya, tapi lupa dibuang). Karena jumlah barang yang banyak, kita akan sulit untuk
menyadari bahwa sebenarnya ada barang-barang yang tidak dibutuhkan di dalam gudang ini.
Kalau jumlah barang di gudang ini kita kurangi sampai seminimal mungkin, kita akan langsung
sadar kalau ada barang-barang yang sudah rusak atau tidak bisa dipakai.
Pola pikir yang sama bisa juga diterapkan ke dalam lemari baju kita, dan bahkan laci meja
tempat kita meletakkan dokumen.

AIR SUNGAI

SAMPAH DI
DASAR

Gambar 2-2. Ilustrasi sampah di dasar sungai

Kembali ke bidang produksi, karena stok (baik komponen maupun barang jadi) harus dijaga
seminimal mungkin, sehingga dikenalah istilah Just In Time (JIT). Dimana barang (komponen)
harus dikirimkan pada saat yang dibutuhkan (tidak boleh terlambat ataupun lebih cepat), dan
dengan jumlah yang dibutuhkan (tidak boleh lebih ataupun kurang). Di sini disepakati bahwa
Delivery (D) berkaitan dengan Kualitas (Q). Untuk Biaya (C), dengan tetap menjaga kondisi Q
dan D di atas, biayanya tetap harus ditekan semurah-murahnya.

2. 2. 1. Mengapa Perlu dilakukannya Lokalisasi Komponen


Untuk perusahaan manufaktur yang berskala besar, biasanya sebagian besar dari material atau
komponen untuk produksi dibuat oleh supplier, dan di pabrik utama hanya melakukan assembly
atau perakitan saja. Rantai ketersediaan komponen ini dinamakan supply chain. Di Jepang,
supply chain hampir mendekati sempurna. Supplier-supplier material dan komponen biasanya
akan mendirikan pabrik dalam jarak yang terjangkau dengan pabrik utama, dan komponen akan
tersedia pada saat yang diinginkan (JIT). Akan tetapi, bagi perusahaan manufaktur Jepang yang
47
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

berinvestasi di Indonesia, keadaan supply chain sangat berbeda dengan saat mereka melakukan
produksi di Jepang. Untuk menjaga ketersediaan komponen, mereka memerlukan supplier-
supplier yang dekat dengan pabrik utama, tapi tidak mungkin mengajak semua supplier mereka
untuk besama-sama berinvestasi di Indonesia juga. Selain itu, tidak mungkin juga mengimpor
semua komponen dari luar negeri karena akan memerlukan biaya yang mahal, sehingga perlu
dibangun supply chain baru di Indonesia, dengan kata lain perlunya lokalisasi.
Untuk impor, contohnya dari Jepang, rata-rata dibutuhkan waktu 1,5 bulan hingga barang
bisa sampai di pabrik kita (persiapan ekspor, pengapalan, dan proses impor). Dengan waktu
yang lama ini, kita tidak bisa mempersiapkan komponen yang sesuai dengan kebutuhan yang
mengikuti perubahan pasar. Misalkan permintaan pasar tiba-tiba melonjak, kita membutuhkan
waktu 1,5 bulan untuk bisa menyesuaikan, sehingga kita akan kehilangan penambahan
keuntungan yang seharusnya bisa kita dapatkan selama 1,5 bulan. Sebaliknya bila permintaan
pasar tiba-tiba menurun, kita juga membutuhkan waktu 1,5 bulan untuk bisa menyesuaikan,
yang mengakibatkan kita mengalami kerugian karena barang hasil produksi kita tidak terjual
selama 1,5 bulan itu. Dengan lokalisasi, kita dapat menjaga “D” dari QCD. Komponen akan
tersedia disekitar kita, tanpa takut terhambat seperti pada proses import. Selain itu, diharapkan
juga “Cost” dari QCD juga dapat terjaga, karena biaya kirim yang lebih murah.

2. 2. 2. Kendala melakukan lokalisasi komponen.


Dengan penjelasan di atas, kita dapat memahami diperlukannya lokalisasi. Akan tetapi,
berdasarkan pengalaman penulis, tidak mudah juga untuk mendapatkan supplier lokal di
Indonesia yang sesuai dengan harapan, baik secara kualitas (“Q” dalam prinsip QCD),
ketersediaan (“D” dalam prinsip QCD) dan juga harga (“C” dalam prinsip QCD). Di bawah ini
penulis paparkan mengenai kendala-kendala dalam melakukan lokalisasi komponen.

1) Masalah di bidang delivery (“D” dalam prinsip QCD)


Mungkin akan timbul pertanyaan, benarkah ada masalah di bidang delivery? Bukankah
tujuan dari lokalisasi adalah untuk mengatasi masalah delivery? Untuk menunjang system
JIT seperti dijelaskan di atas, memang dengan lokalisasi akan mengurangi resiko
dibandingkan dengan kalau kita harus impor. Akan tetapi, tetap saja sangat sulit untuk
menciptakan kondisi supply chain di Indonesia, yang sama persis dengan Jepang. Faktor
utamanya adalah masih kurangnya sarana logistik di negara kita yang tercinta ini. Tidak bisa
kita pungkiri bahwa kita masih mengandalkan sarana jalan raya untuk transportasi di dalam
pulau. Untuk jalan raya sendiri, untuk yang tinggal di Jakarta pasti sudah akrab dengan yang
namanya macet, dan jumlah jalan tol juga masih relatif sedikit. Kondisi ini sangat berbeda
dengan Jepang, dimana jaringan kereta api barang yang anti macet sudah sangat baik.
Jaringan jalan tol juga sudah menjangkau berbagai pelosok Jepang. Dengan kondisi sarana
logistik seperti di Indonesia, sangat sulit untuk melakukan delivery yang tepat waktu
terhadap konsumen.

48
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Solusi untuk masalah logistik ini biasanya dengan cara memilih supplier yang dekat dengan
pabrik perakitan, untuk meminimalisasi risiko. Akan tetapi, tidak asal dekat saja, karena kita
mungkin tidak dapat menemui pilihan supplier yang banyak bila hanya fokus di tempat yang
dekat. Misalkan pabrik perakitan utama berlokasi di sekitar Jakarta, mungkin supplier yang
dekat harganya lebih mahal karena harga tanah dan upah pekerja yang lebih mahal
dibandingkan daerah. Oleh karena itu, tetap perlu diperhatikan keseimbangan dengan Cost
dan tentu saja Quality.
Selain itu, dipandang dari sisi supplier, untuk meningkatkan daya saing dibidang “delivery”,
ada beberapa yang mendirikan gudang yang dekat dengan kostumer (pabrik perakitan).
Sehingga, walaupun mereka memiliki pabrik yang jauh dari pabrik perakitan, delivery tetap
bisa dijamin karena pengiriman dilakukan dari gudang tersebut.

2) Masalah di bidang kualitas (“Q” dalam prinsip QCD)


Untuk kualitas, sudah menjadi rahasia umum kalau kualitas dalam negeri kita dipandang
kalah dengan buatan luar negeri. Menurut penulis, ini bukan berarti Indonesia tidak bisa
membuat barang dengan kualitas yang bagus, akan tetapi lebih kepada belum adanya
pengalaman membuat komponen-komponen tersebut, dan juga management kualitas yang
kurang dari supplier yang ada di Indonesia. Beberapa kendala yang pernah penulis hadapi
antara lain adalah perbedaan cara penulisan drawing (gambar teknis), perbedaan standard
yang digunakan, dan juga perbedaan management kualitas.
Untuk drawing, tidak semua supplier Indonesia yang familiar dengan teknis drawing
“proyeksi segitiga”, begitu juga dengan simbol-simbol yang digunakan di dalamnya. Untuk
standard yang digunakan, sebagian besar maker Jepang menggunakan standard JIS (SNI
versi Jepang), dan juga beberapa standard khusus masing-masing perusahaan, yang mana
standard-standard ini tidak familiar untuk supplier di Indonesia.

Penulis ingin berbagi cerita pengalaman penulis berkenaan dengan perbedaan drawing dan
standard ini. Satu cerita ialah pada saat penjajakan lokalisasi suatu part pada salah satu calon
supplier lokal, (kita sebut saja maker A). Maker A ini memiliki kemampuan teknis yang cukup
baik dan juga pernah membuat part-part yang serupa dengan yang ingin dilokalisasikan oleh
penulis. Akan tetapi, saat dilakukan trial, banyak part yang tidak sesuai dengan harapan, atau
bahkan berbeda dengan yang dimaksudkan di dalam drawing. Setelah ditelaah, ternyata maker
A tersebut tidak terbiasa membaca drawing “proyeksi segitiga”, yang digunakan oleh
perusahaan tempat penulis bekerja. Akhirnya, kami mendevelop maker tersebut dimulai dari
cara membaca drawing, dan proses-proses yang seharusnya dikerjakan.
Lain lagi ceritanya dengan saat penjajakan lokalisasi part pada salah satu calon supplier yang
lain (kita sebut saja maker B). Maker ini bahkan sudah terbiasa membuat part-part serupa, dan
memasok ke kompetitor perusahaan tempat penulis bekerja (kita namakan kompetitor ini
maker C). Karena terbiasa dengan standard yang digunakan maker C, maka maker B
beranggapan standard perusahaan kami sama dengan maker C. Padahal di beberapa item, kami

49
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

menggunakan standard yang lebih tinggi dari pada maker C (numpang iklan, dengan kata lain,
kualitas perusahaan kami lebih baik dari pada kompetitor). Sempat terjadi agrumentasi dengan
maker B mengenai perbedaan standard ini, dimana mereka berdalih dengan kata-kata “di maker
C tidak apa-apa, kenapa perusahaan anda tidak boleh?”. Namun akhirnya kami bisa memberi
pengertian kepada maker B, dan memberikan beberapa saran agar standard yang kami inginkan
bisa tercapai.
Melihat cerita di atas, kita bisa simpulkan bahwa masalah kualitas bisa diselesaikan dengan
men-develop supplier dan juga calon supplier. Kita tidak hanya melihat bahwa barang yang
dihasilkan itu OK, akan tetapi juga memastikan bahwa setiap saat barang yang dihasilkan akan
stabil dan tetap OK. Kita periksa setiap proses produksi, mesin-mesin yang digunakan, alat-
alatnya harus sesuai dengan standar, dan digunakan sebagaimana mestinya. Ada kalanya kadang
dilakukan hal-hal yang dapat merusak alat-alat prosuksi misalnya, menggunakan kunci inggris
sebagai palu, penggaris sebagai ganjalan. Hal ini akan membuat fungsi alat-alat tersebut rusak,
dan berpengaruh pada kualitas barang yang dihasilkan. Mesin-mesin produksi harus diinstallasi
sebagai mana mestinya, misalnya tidak diletakkan di tempat yang tidak datar, atau di tempat
yang lunak, karena hal ini akan membuat mesin itu lama kelamaan mengalami deformasi atau
perubahan bentuk, dan ujung-ujungnya berpengaruh terhadap kualitas barang yang dihasilkan.
Bahkan, lantai pun harus diwarnai, untuk membedakan mana yang area produksi, mana yang
jalan orang, mana yang tempat barang sebelum proses, barang sesudah proses, tempat barang-
barang OK, dan juga barang-barang NG.
Untuk supplier-supplier yang memiliki kemauan untuk “berubah” seperti yang penulis
ceritakan di atas, masalah kualitas bisa diselesaikan. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya kita
juga mampu untuk membuat barang yang berstandard internasional. (Walaupun pada awalnya
mungkin membutuhkan usaha yang cukup keras untuk mencapainya)

3) Masalah dibidang harga (“C” dalam prinsip QCD).


Ya, benar, dengan lokalisasi pun, tidak sedikit yang terganjal masalah biaya. Ada kalanya
harga dari supplier lokal lebih mahal dari pada impor (termasuk biaya kirim dan bea masuk),
yang kadang berujung gagalnya lokalisasi produk tersebut. Tidak sedikit calon supplier yang
datang kepada penulis untuk menawarkan produknya, dan mereka sangat yakin kalau harga
yang mereka tawarkan akan lebih murah dibandingkan kami harus mengimpor. Setelah kita
bandingkan harganya, tenyata harga impor kami lebih murah dibandingkan harga mereka.
Bahkan ada beberapa yang harganya 4 sampai 6 kali lipat harga impor kami.

Berdasarkan pengalaman, mahalnya harga produk lokal ini secara general disebabkan oleh
tiga hal, yaitu:
a. Mahalnya bahan baku
b. Mahalnya alat produksi
c. Proses yang kurang efisien

50
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai tiga hal ini, penulis ingin menjelaskan dulu
mengenai komponen biaya secara general. Kita semua tahu bahwa harga jual supplier (harga
beli kita) adalah harga pokok ditambah keuntungan. Di dalam harga pokok sendiri, secara
umum bisa kita bagi menjadi dua, biaya proses dan biaya material. Di mana, di dalam biaya
proses termasuk juga upah tenaga kerja. Untuk mendapatkan harga beli yang murah,
diperlukan kombinasi dari margin (keuntungan), biaya proses dan biaya material yang
murah.
Berikut uraian tiga penyebab mahalnya harga produk lokal:
a. Mahalnya bahan baku
Untuk mahalnya bahan baku, biasanya disebabkan karena bahan baku yang belum
tersedia di dalam negeri, sehingga ujung-ujungnya harus diimpor juga dari luar negeri.
Untuk kasus ini, terkadang harga material atau bahan baku terlewat mahal sehingga
walaupun proses di Indonesia lebih murah dari pada luar negeri, total harga barang jadi
tetap lebih mahal dibanding impor.

b. Mahalnya alat produksi


Biasanya untuk komponen-komponen dengan tingkat kesulitan tinggi (toleransinya yang
ketat, sulit untuk diolah, bentuknya yang rumit, dsb.), dibutuhkan juga alat-alat yang
modern, yang belum pernah ada sebelumnya di Indonesia. Untuk itu, perlu investasi baru
untuk membeli alat-alat ini, yang menyebabkan biaya proses menjadi membengkak.

c. Proses yang kurang efisien


Tidak jarang maker-maker di Indonesia tidak memiliki satu set proses yang dibutuhkan.
Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya permintaan pasar yang membutuhkan
proses yang panjang. Misalnya, untuk membuat suatu komponen dibutuhkan proses
dengan urutan memotong material, membendingnya, pengelasan, heat treatment, dan
plating. Untuk proses pemotongan sampai dengan pengelasan bisa dilakukan di satu
maker (misal, maker A). Akan tetapi proses heat treatment harus dilakukan di maker yang
lain (misal, maker B), dan plating juga di maker yang lain (misal, maker C). Hal ini
membuat total harga komponen menjadi mahal, karena masing-masing maker A,B dan C
akan mengambil keuntungan.
Untuk masalah mahalnya biaya ini, penulis belum memiliki pengalaman untuk
menanganinya, karena penyebabnya adalah faktor eksternal yang sulit dikendalikan.
Mungkin salah satu caranya adalah meningkatkan daya saing antar supplier sehingga
harganya pun akan bersaing.Misalnya dengan menambah jumlah supplier dengan cara
mencari supplier-supplier yang baru.

Diatas telah dibahas kendala-kendala lokalisasi dibidang Kualitas (Q), Biaya (C), dan Delivery
(D). Tidak itu saja, ada kalanya kita harus dihadapkan dengan masalah kombinasi dari ketiganya.

51
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Saat itu, kita harus mempertimbangakan keseimbangan dari ketiganya, sesuai yang penulis
uraikan di awal tulisan ini, bahwa ketiganya tidak boleh ada yang dikorbankan.

2. 3. Takt Time: Satu menit, Satu Produk

Dalam dunia manufaktur, terutama yang menerapkan produksi masal, kata takt time pasti sudah
tidak asing lagi. Apakah takt time itu? Kata takt time berasal dari bahasa Jerman, “takt”, yang
kurang lebih artinya dalam bahasa Indonesia ialah ketukan birama dalam dunia musik.
Mengapa ketukan birama? Apa hubungannya dengan manufaktur? Pada dunia musik,
ketukan birama dapat menunjukkan ketukan kecepatan suatu lagu. Mungkin pembaca semua
ingat pernah belajar mengenai birama saat duduk di bangku SMP dulu. Kita mengenal birama
2/4 pada lagu-lagu mars nasional yang bertempo agak cepat dan riang, 4/4 pada lagu-lagu
nasional pada umumnya, dan sebagainya. Hal ini juga hampir sama pada perusahaan
manufaktur. Dalam dunia manufaktur, takt menunjukkan “ketukan” kecepatan produksi, yaitu
waktu yang ditentukan untuk dapat memproduksi satu barang. takt time merupakan salah satu
bagian dari “D”, pada prinsip QCD (Quality, Cost, Delivery). Uraian di bawah ini menjelaskan
tentang apa itu takt time secara rinci.

2. 3. 1. Takt time dan Cycle Time


Tidak sedikit orang yang mengira takt time sama dengan cycle time. Memang keduanya ibarat
saudara kembar, yang serupa tapi tak sama. Cycle time adalah waktu sebenarnya yang
dibutuhkan untuk memproduksi suatu barang, atau waktu dalam satu kali suatu proses akan
berulang. Cara menghitung cycle time adalah dengan menghitung secara riil waktu yang
dibutuhkan dalam satu kali proses, atau dalam satu produksi barang. Sedangkan takt time
dihitung dengan cara membagi total waktu produksi yang disediakan dalam satu hari dengan
jumlah produksi yang diinginkan dalam satu hari. Apa bedanya? Kalau cycle time dihitung dari
jumlah produksi yang telah dihasilkan, untuk takt time jumlah produksi ini datang dari
keinginan pasar. Dalam pelaksanaannya, biasanya perusahaan, dalam hal ini biasanya divisi
production engineering, akan menentukan takt time (birama produksi), dan kemudian bagian
produksi secara bersama-sama berusaha agar cycle time dapat menyamai atau lebih cepat dari
pada takt time.

𝑊𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟𝑛𝑦𝑎


𝐶𝑦𝑐𝑙𝑒 𝑡𝑖𝑚𝑒 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑘𝑎𝑛

𝑊𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 1 ℎ𝑎𝑟𝑖


𝑇𝑎𝑘𝑡 𝑡𝑖𝑚𝑒 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛

52
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Misalnya, permintaan pasar akan barang yang kita produksi adalah sekitar 10.000 produk per-
bulan. Bila 1 bulan ada 20 hari kerja, dan dalam 1 hari ada 8 jam kerja, maka dalam 1 hari harus
diproduksi 500 produk, dan dalam 1 jam harus diproduksi 62,5 produk, atau mendekati 1
produk setiap menitnya. Lihat Gambar 2-3 untuk rincian perhitungannya.

Contoh kasus

・Permintaan : 10,000 pcs / bulan


・1 Bulan ≅ 20 hari kerja
・1 hari kerja ≅ 8 Jam kerja

𝑊𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 1 ℎ𝑎𝑟𝑖


・Takt time =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛

20 𝐻𝑎𝑟𝑖 × 8 𝐽𝑎𝑚 × 60 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡


=
10,000 𝑝𝑐𝑠

9,600 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
=
10,000 𝑝𝑐𝑠

= 0.96 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑝𝑐𝑠

Gambar 2-3. Contoh kasus perhitungan Takt-time

Pihak manufaktur harus berupaya untuk memenuhi kebutuhan pasar tersebut, agar tidak
mendapatkan klaim dari konsumen karena jumlah barang yang kurang, atau karena delivery
barang yang terlambat. Bila cycle time lebh lambat dibandingkan takt time, berarti jumlah
produksi barang akan kurang dari jumlah barang yang dibutuhkan. Disinilah, tugas dari
production engineering (divisi dimana penulis pernah berkelut) untuk bisa membuat cycle time
yang memenuhi takt time.
Dalam tulisan ini, penulis akan berbagi sedikit pengalaman saat bekerja di bagian production
engineering di perusahaan manufaktur komponen otomotif, mengenai cara-cara yang dapat
diambil untuk memperpendek cycle time, dalam rangka mengejar takt time yang telah
ditentukan. Sebelumnya, harap dimaklumi karena keterbatasan pengetahuan penulis, mungkin
hanya sedikit yang bisa dibagi di sini, dan masih banyak cara-cara lain juga yang bisa diterapkan
untuk memperpendek cycle time.

1) Memperpendek jarak antar proses


Mungkin ini adalah cara yang paling mudah untuk memperpendek cycle time suatu line
produksi. Dalam satu line produksi, biasanya terdiri dari beberapa proses. Semakin dekat
jarak antar prosesnya, maka waktu yang dibutuhkan untuk mengambil Work in Process
(WIP) dari proses sebelumnya, ataupun untuk menyerahkan WIP ke proses selanjutnya akan
53
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

semakin pendek. Maka, secara keseluruhan cycle time dalam satu line produksi itu akan
menjadi lebih pendek (lihat Gambar 2-4).

Proses A Proses B Proses C

Pekerja menyerahkan WIP ke


proses selanjutnya

Proses A Proses B Proses C

Dengan memper pendek jarak, waktu untuk


menyerahkan WIP akan menjadi lebih singkat

Gambar 2-4. Ilustrasi memperpendek jarak antar proses

2) Mempercepat cycle time dalam satu proses


Cara kedua yang mungkin akan terpikirkan, adalah mempercepat cycle time dalam setiap
prosesnya, di dalam satu line produksi. Bila cycle time masing-masing proses memendek,
tentu saja cycle time keseluruhan dalam satu line akan menjadi lebih cepat. Contoh cara
untuk mempercepat cycle time dalam satu proses adalah dengan menggunakan jig, dan
otomatisasi. Jig, seperti yang juga dibahas di dalam tema “cara cepat mendeteksi defect”,
adalah adalah perangkat pembantu yang digunakan untuk menjaga komponen yang akan
dirakit tetap pada tempat yang ditentukan. Jig akan memudahkan operator saat menyeting
barang, atau mem-proses barang. Misalnya dalam ilustrasi di bawah, tanpa menggunakan jig,
operator harus mengukur posisi part yang akan ditempelkan satu-persatu.
Akan tetapi, dengan menggunakan jig operator cukup mengepaskan part yang akan ditempel
pada jig, tidak perlu mengukurnya lagi seperti yang dideskripsikan Gambar 2-5. Dengan
mengurangi waktu untuk mengukur, maka cycle time untuk proses tersebut dapat
diperpendek. Sedangkan otomatisasi, sesuai dengan namanya, adalah mengganti proses-
proses yang sulit dan membutuhkan waktu bila dilakukan oleh manusia, dengan robot atau
alat otomatis. Karena robot yang sudah deprogram dapat melakukan pekerjan yang lebih

54
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

cepat dari pada manusia, dengan sendirinya waktu yang dibutuhkan untuk proses tersebut
akan lebih pendek.

Part yang akan dibuat

Tanpa Menggunakan Jig

Jig
Dengan Menggunakan Jig

Gambar 2-5. Ilustrasi penggunaan jig

Selain itu, cycle time dalam satu proses dapat juga diperpendek dengan membagi proses itu
sendiri. Misalnya, seperti dalam ilustrasi Gambar 2-6 di bawah, proses A yang membutuhkan
waktu 6 menit, dapat dibagi menjadi 2 proses (proses B dan proses C) dengan masing-masing
3 menit. Dengan demikian, cycle time proses keseluruhan dari 6 menit berkurang menjadi 3
menit. Proses A ini dapat juga dibagi menjadi beberapa proses yang sama secara paralel.
Misalnya dengan membaginya menjadi 3 proses (proses A1, proses A2 dan proses A3).
Dengan demikian, cycle time pada proses tersebut akan menjadi sepertiganya, yaitu 2 menit.

55
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Barang diproduksi
setiap 6 menit

Proses A
6 menit

Proses B Proses C
3 menit 3 menit

OR
Barang diproduksi
setiap 3 menit

Proses A1
6 menit

Proses A2
6 menit

Barang diproduksi
Proses A3 setiap 2 menit
6 menit

Gambar 2-6. Ilustrasi membagi proses

3) Menghilangkan berhenti sejenak dalam proses


Arti dari berhenti sejenak di sini adalah menunggu saat suatu proses sedang berlangsung,
atau menunggu proses sebelum atau sesudahnya selesai. Misalnya ada proses yang isinya
adalah mengeset produk pada jig, kemudian jig tersebut dimasukkan ke dalam mesin, lalu
setelah mesin selesai bekerja (sekitar 2-3 menit) jig dikeluarkan dari mesin, kemudian
memeriksa kualitas produk hasil proses tersebut. Bila selagi mesin bekerja (2-3 menit)
operator hanya menunggu saja, maka ini akan menjadi pemborosan waktu proses. Sebaiknya
operator menyiapkan produk selanjutnya pada jig yang lain, dan juga mengecek hasil produk
selagi mesin bekerja. Dengan begitu, cycle time untuk proses ini akan menjadi lebih pendek.
Contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah saat kita memasak mie goreng instant. Sudah
tahu apa yang dimaksud? Ya, benar! dalam instruksi memasak mie goreng instant,
disarankan untuk menuangkan bumbu-bumbu di atas piring terlebih dahulu, selagi
menunggu mie direbus dengan air. Kalau penulis tidak salah ingat, sewaktu penulis kecil,
urutan membuatnya tidaklah seperti itu. Mie ditiriskan terlebih dahulu, barulah kita
tuangkan bumbu diatasnya untuk kemudian diaduk.

56
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

1. Mengeset WIP pada Jig 2. Memasukkan Jig ke dalam mesin 3. Menunggu mesin selesai bekerja 4. Mengeluarkan Jig dari dalam mesin 5. Melepas WIP dari Jig dan memeriksanya

2. Membiarkan mesin bekerja


1. Memasukkan Jig ke dalam mesin

3. Melepas WIP yang sudah selesai 3. Menyiapkan WIP selanjutnya pada Jig
sebelumya dari Jig dan memeriksanya

Gambar 2-7. Ilustrasi menghilangkan waktu menunggu

4) Melakukan beberapa pekerjaan bersamaan dalam satu proses (menyatukan proses)


Maksudnya di sini adalah menggabungkan dua atau lebih pekerjaan yang berbeda ke dalam
satu proses, sehingga jumlah pekerjaan yang harus dilakukan dalam satu proses tersebut
akan berkurang, dan tentu saja cycle time-nya juga akan lebih pendek. Akan tetapi yang perlu
diperhatikan di sini adalah, proses yang digabungkan harus dapat dikerjakan bersamaan.
Istilahnya dalam peribahasa Indonesia, “sambil menyelam, minum air”.
Bila contoh proses pada meniadakan waktu tunggu di atas juga dapat menjadi contoh dari
menyatukan proses. Dalam kehidupan sehari-hari, contoh yang bisa menggambarkan
menyatukan proses adalah penjual pecel lele kaki lima, yang menyediakan menu pecel lele,
ayam goreng, tahu, tempe, dan sebagainya. Mungkin kalau di rumah kita akan memasak
menu ayam goreng dan lele goreng, kita akan memisahkan antara ayam dan lelenya, mungkin
dengan alasan antara lain karena ukuran wajan yang tidak cukup. Tapi pada menjual kaki
lima, mereka menggunakan wajan berukuran besar, dan semua masakan yang digoreng akan
digoreng sekaligus. Dengan demikian, waktu penyajian akan lebih singkat.

5) Levelisasi cycle time masing-masing proses


Dalam satu line produksi, cycle time dari masing masing proses sebisa mungkin harus sama,
karena cycle time dari keseluruhan line akan dipengaruhi oleh cycle time terpanjang proses
di dalamnya.
Seperti dalam Gambar 2-8 di bawah, karena cycle time terlama (proses C) memakan waktu
3 menit, walaupun proses yang lain mempunyai cicle time yang lebih cepat, proses yang lain
harus menunggu sampai proses C selesai. Proses-proses yang menjadi bottle neck ini harus
diupayakan agar cycle time-nya dapat masuk ke dalam takt time yang telah ditentukan.
Misalnya, dengan cara-cara yang telah dicontohkan di atas.

57
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Barang diproduksi
setiap 3 menit

Proses A Proses B Proses C Proses D


2 menit 1 menit 3 menit 2 menit

Cycle time keseluruhan :


3 menit

Gambar 2-8. Illustrasi levelisasi dalam cycle time keseluruhan

Selain itu, levelisasi bisa juga dilakukan dengan “membagi tugas”. Proses yang memiliki cycle
time yang lebih pendek dapat membantu proses sebelum atau setelahnya, yang memiliki
cycle time lebih panjang. Ini juga hampir sama dengan “Menghilangkan berhenti sejenak
dalam proses”, seperti yang dijabarkan sebelumnya di atas. Untuk contoh pada ilustrasi di
atas, proses B dapat membantu proses C. Dengan membantu proses C, waktu tunggu proses
B akan berkurang, cycle timenya akan bertambah. Sedangkan untuk proses C, karena dibantu
oleh proses B, cycle timenya akan berkurang, sampai didapatkan cycle time yang seimbang
antara proses B dan C, sama-sama 2 menit. Dengan demikian, cycle time dari line
keseluruhan akan semakin cepat, dari 3 menit menjadi 2 menit.

Cara-cara diatas adalah beberapa cara untuk memperpendek cycle time, sehingga dapat
mengejar takt time yang sudah ditentukan. Sedikit tambahan dari penulis, waktu istirahat dan
waktu untuk maintenance (perawatan) alat juga perlu diperhitungkan saat mendesign takt time
secara keseluruhan produksi di dalam satu hari, atau satu bulan. Agar dapat bekerja secara
optimal, para pekerja juga memerlukan waktu istirahat yang cukup. Sedangkan mesin juga
memerlukan maintenance yang benar dan teratur agar dapat bekerja secara optimal.
Maintenance juga memegang peranan penting di dalam suatu produksi. Bila mesin atau alat
produksi tidak dirawat dengan benar, ada kemungkinan mesin rusak dan berhenti di tengah-
tengah proses, dan membuat produksi terhenti. Selain itu, kurangnya perawatan akan membuat
kualitas produk yang dihasilkan oleh alat produksi menjadi kurang stabil. Kesemuanya, akan
berakibat fatal bagi kelangsungan produksi, dan ujung-ujungnya juga berpengaruh pada
keuntungan perusahaan.
Selain itu, cycle time yang ideal adalah yang sama dengan takt time. Bila cycle time kurang
dari takt time, akan terjadi keterlambatan produksi, dan juga sebaliknya, bila cycle time lebih
cepat dari pada takt time akan terjadi pemborosan produksi.

58
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

2. 4. Langkah-langkah Deteksi dan Antisipasi Masalah

Di dunia industri manufaktur, penanganan masalah merupakan hal yang sangat penting. Selain
kecepatan, ketepatan penanganan juga menjadi prioritas penting. Selain itu agar tidak muncul
kembali di masa mendatang, penanganan yang cepat dan tepat menjadi tantangan tersendiri
bagi industri manufaktur. Ketidaktepatan penanganan dapat mengakibatkan menurunnya
kualitas produk di pasaran yang pada akhirnya sangat mempengaruhi kepercayaan konsumen
terhadap produk yang dihasilkan. Sehingga penanganan masalah secara cepat dan tepat akan
memberikan kontribusi luar biasa terhadap keberlangsungan sebuah proses manufaktur.
Berdasarkan tempat munculnya masalah, masalah dapat diklasifikasikan menjadi 2
kelompok, yaitu:
1) Masalah yang ditemukan di dalam proses produksi
Masalah ini ditemukan sebelum produk keluar dari pabrik. Sehingga barang masih belum
sampai ke tangan konsumen. Kategori ini dapat dikatakan “beruntung”, karena
penanganannya cukup diselesaikan di internal pabrik saja. Deteksi masalah di proses pabrik
pun bukan hal yang mudah jika pabrik itu tidak dilengkapi dengan amunisi mekanisme
pendeteksian masalah secara dini.
2) Masalah yang ditemukan setelah produk sampai di tangan konsumen
Pada kasus ini kondisinya menjadi rumit karena telah berhubungan dengan konsumen.
Penelusuran masalahnya pun menjadi panjang. Karena selain harus melakukan pengecekan
di dalam proses produksi di dalam pabrik, investigasi penyebab masalah telah melibatkan
proses logistik dan pengiriman sampai ke tangan konsumen.

Jadi, pada dasarnya melakukan antisipasi masalah yang terbaik adalah selama proses produksi
didalam pabrik. Namun, apa langkah yang harus ditempuh agar masalah dapat dideteksi secara
dini di dalam proses sebelum sampai di tangan konsumen. Pada bagian ini, akan dibahas secara
rinci langkah-langkah deteksi dan antisipasi masalah dalam proses produksi, agar kualitas
barang-barang yang dihasil dapat mendekati sempurna.

2. 4. 1. Kerugian Akibat Barang Cacat


Saat penulis baru masuk di perusahaan manufaktur komponen otomotif di Jepang, salah satu
pelatihan yang diberikan kepada karyawan baru adalah mengenai QC (Quality Control), atau
pengendalian kualitas. Saat itu, kami diharapkan untuk menjawab soal yang dibacakan secara
lisan oleh pelatih. Untuk membuat cacatan, kepada masing-masing peserta dibagikan pensil dan
kertas, dan tidak boleh menggunakan alat tulis lain selain dari yang telah dibagikan. Dari sekitar
10 peserta, tenyata ada 1 peserta yang mendapatkan pensil yang rusak, sehingga tidak bisa
mencatat informasi-informasi penting yang dibacakan secara lisan oleh pelatih, yang berujung
kepada peserta tersebut tidak bisa menjawab soal yang baru dibacakan terakhir kali. Ternyata,
pada saat menjawab soal tersebut yang menjadi tujuan utama bukanlah ketepatan menjawab
soal itu sendiri, akan tetapi pada bagaimana memahami perasaan konsumen, saat mengetahui
59
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

dirinya mendapatkan barang yang cacat, dalam hal ini, pensil yang dibagikan tersebut.
Walaupun barang yang rusak itu hanya sebuah pensil, cacat pada produk akan berakibat sangat
fatal seperti membuat pemakainya gagal ujian. Pensil yang rusak akhirnya diganti oleh pelatih,
dan kami bisa menyimpannya sebagai kenang-kenangan akan pentingnya menjaga kualitas
sebuah produk.
Pada kehidupan sehari-hari, sebenarnya tidak jarang, barang yang dibeli ternyata
kualitasnya tidak sesuai dengan harapan. Mulai dari barang yang tidak bisa dipasang
sebagaimana mestinya karena part yang tidak lengkap saat kotak dibuka, barang yang cepat
rusak karena perakitannya yang tidak sempurna, atau bahkan barang yang ternyata tidak bisa
dipakai sama sekali sejak pertama kali barang itu dibeli. Sudah menjadi kewajiban konsumen
untuk mencoba semua barang yang dibeli, sebelum meninggalkan toko, seakan-akan barang
yang dijual memang tidak dijamin 100 persen kualitasnya, dan tanggung jawab konsumen untuk
memilah-milahnya.

2. 4. 2. Sisi Pandang Barang Defect antara Produsen dan Konsumen


Tentu tidak ada perusahaan yang sengaja membuat dan menjual barang yang defect atau cacat.
Walaupun sangat sulit untuk menjaga agar barang yang dihasilkan dalam keadaan baik 100
persen, tetap saja harus diupayakan agar cacat yang dihasilkan sesedikit mungkin, mendekati
nol.
Di Jepang, sebagai produsen tidak boleh mudah puas dengan kualitas yang dihasilkan,
sebelum bisa memproduksi barang yang tanpa cacat sama sekali, apalagi bila kita berbicara
mengenai produksi massal. Misalkan cacat sudah dapat dicegah sampai hanya 0,1% dari total
produksi sekalipun, saat kita menjalani produksi massal, ini berarti ada 1 unit yang cacat dari
1.000 unit yang telah diproduksi. Bila kita mengambil contoh otomotif, cacat 0,1% dapat dibaca
bila dalam 1 hari diproduksi 1.500 unit mobil, berarti dalam waktu 2 hari ada 3 unit yang cacat,
dan dalam 1 bulan ada 30 unit.
Dari ilustrasi di atas, dari sisi produsen mungkin angka 0,1 % itu terlihat kecil, akan tetapi
bila melihat sisi konsumen, dengan rasio cacat 0,1%, dalam 1 bulan akan ada 30 unit mobil yang
cacat, dengan kata lain akan ada 30 konsumen yang dikecewakan setiap bulannya. Bayangkan
bagaimana perasaan anda bila anda menjadi salah satu dari konsumen itu? Anda telah
menabung berbulan-bulan untuk bisa membayar uang muka, dan harus menyicilnya untuk
beberapa tahun ke depan, tapi anda mendapatkan produk cacat!
Perbedaan kesadaran terhadap rasio cacat ini mudah terjadi. Oleh karena itu, pihak
produsen harus tetap menjaga agar barang yang diproduksi itu 100% sempurna. Bagi
perusahaan, memberikan produk terbaik kepada konsumen adalah nilai yang sangat berharga,
karena akan menentukan kepuasan konsumen yang berujung pada keberlangsungan bisnis
jangka panjang. Sehingga usaha terbaik harus diterapkan agar jangan sampai produk yang
kurang baik lolos ke pasaran dan mengecewakan konsumen. Di bagian berikutnya, penulis
uraikan beberapa kunci penting sistem pendeteksi masalah di dalam proses produksi.

60
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

2. 4. 3. Pengecekan berlapis
Sampainya barang cacat ke tangan konsumen dapat dicegah di beberapa tempat, yaitu sebelum
produksi, saat proses produksi, dan setelah produksi (sebelum sampai ke tangan konsumen).
Sebelum produksi, antara lain dengan mengecek apakah part-part atau material dan juga alat
yang akan digunakan untuk produksi sesuai dengan yang seharusnya. Pada proses produksi,
dengan menciptakan proses produksi yang nyaris tidak mungkin membuat barang cacat
(dengan “pokayoke”, jig, dsb), dan menyusun proses yang dapat mengecek hasil proses
sebelumnya. Kemudian, pagar terakhir, adalah pengecekan oleh departemen QC terhadap
produk yang sudah jadi, sebelum produk tersebut dikirimkan ke tangan konsumen.
Untuk mencegah barang cacat, pencegahan manakah dari tiga tempat pencegahan di atas
yang diterapkan di industri manufaktur? Jawabannya adalah ketiga-tiganya. Pengecekan
dilakukan berlapis di berbagai tempat, untuk memastikan tidak ada barang defect yang mengalir
ke tangan konsumen. Di dalam contoh rasio defect di atas, 0,1% sebenarnya adalah angka yang
besar. Bagaimana tidak? dalam 1 bulan dimisalkan ada 30 unit mobil yang cacat! Oleh karena itu,
dalam dunia manufaktur yang menjalankan produksi massal, rasio defect menggunakan satuan
ppm atau part per million. Dimana bila persen menggunakan pembagi 100, ppm menggunakan
pembagi 1 juta. Contoh 0.1% diatas akan menjadi 1000 ppm. Angkanya terlihat besar bukan? Ini
juga dapat membantu agar pihak produsen selalu menjaga agar tidak menganggap remeh rasio
defect yang telah dihasilkan.
Dalam manufaktur yang menggunakan pengendalian kualitas dengan satuan ppm, tentu saja
cacat harus benar-benar ditekan mendekati nol, sehingga pengecekan berlapis di berbagai
tempat wajib dilakukan. Sistem yang dibuat harus tidak boleh memberikan ruang bagi barang
cacat dibuat. Walaupun demikian, karena sesuatu dan lain hal, tetap saja ada barang defect yang
mengalir, walaupun jumlahnya sangat kecil.

2. 4. 4. Inspeksi pada Setiap Proses


Di dalam proses manufaktur, proses pembuatan produk dari bahan mentah hingga barang jadi
siap jual melewati proses-proses dari step awal proses hingga selesai. Sebagai contoh dapat
dilihat pada Gambar 2-9 yang merupakan ilustrasi manufaktur pada perusahaan mobil.

Barang Pressing& Welding Part Final


Painting
mentah Stamping (Pengelasan) Assembling Inspection

Gambar 2-9. Contoh alur proses manufaktur

Dari proses awal hingga akhir tergambar di ilustrasi di atas. Banyak perusahaan manufaktur
yang menggantungkan inspeksi atas baik tidaknya produk di proses akhir Quality Gate. Cara ini
cukup lazim digunakan di banyak tempat. Namun risikonya cukup besar karena tidak ada cover

61
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

setelah produk itu melalui gerbang kualitas ini. Jika terjadi kesalahan atau kelalaian sedikit saja
diproses ini maka defect product tidak bisa dihindari.
Kelalaian bisa berasal dari faktor man (manusia), method (metode), atau bahkan tool (alat)
yang digunakan di proses akhir ini. Oleh karena itu, diperlukan cara cerdas untuk meningkatkan
tingkat akurasi dan mengurangi lolosnya produk yang tidak baik.
Cara yang pertama adalah dengan menjadikan setiap proses sebagai fungsi deteksi seperti
yang diilustrasikan pada Gambar 2-10. Pada saat proses B, selain melakukan proses yang harus
dilakukan pada proses B, maka dilakukan pula proses pengecekan hasil dari proses A selama
waktu yang ditentukan untuk menyelesaikan satu proses atau yang sering disebut sebagai takt
time.

Inspeksi Inspeksi Inspeksi

Proses A Proses B Proses C Proses D

Gambar 2-10. Setiap tahap proses dalam manufaktur dijadikan fungsi inspeksi

Sistem pendeteksi ini sering diistilahkan sebagai “everyone is inspector” atau setiap orang
adalah inspektor. Sehingga proses pendeteksian masalah dilakukan di setiap proses, tidak hanya
menggantungkan pada gerbang akhir. Resiko pelolosan produk tidak baik sangat bisa ditekan
dengan cara seperti ini.
Pada beberapa hal yang terdapat keterbatasan ketika inspeksi dilakukan oleh manusia
(operator), maka alat bantu pendeteksi diperlukan. Alat bantu itu bisa bekerja secara manual
maupun otomatis. Sistem tambahan ini sering disebut dengan istilah jig dan “Poka-Yoke” dalam
bahasa Jepang.

2. 4. 5. Jig
Jig atau template adalah perangkat pembantu yang digunakan untuk menjaga komponen yang
akan dirakit tetap pada tempat yang ditentukan. Jig sangat umum digunakan di dunia
manufaktur produksi masal, untuk bisa memproduksi barang yang sama berulang kali, dalam
waktu yang cepat. Oleh karena itu, jig menjadi perangkat yang paling dasar untuk dapat menjaga
kualitas barang yang dihasilkan.
Bentuk jig didesain beragam sesuai dengan kebutuhan dari part yang akan dibuat. Contoh jig
dapat dilihat dalam Gambar 2-11 berikut:

62
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Produk

Jig untuk meletakkan produk

Gambar 2-11. Contoh jig untuk meletakkan produk jadi

Tanpa menggunakan jig, mungkin pekerja harus mengukur satu persatu barang yang dibuat
menggunakan alat ukur, untuk memastikan bentuknya sesuai dengan spesifikasi yang sudah
ditentukan. Ini memakan waktu yang lebih lama, dibanding dengan menggunakan jig. Selain itu,
saat pekerja lelah, bisa saja dia salah melihat alat ukurnya, dan barang yang dihasilkan meleset
dari spesifikasi yang telah ditetapkan. Dalam pengalaman penulis, kejadian ini sangat rawan
terjadi pada pabrik-pabrik lokal yang belum mengadaptasi jig untuk produksi masal. Dengan
kata lain, tanpa jig kualitas barang akan lebih sulit untuk terjaga dan sulit untuk stabil.
Dalam era modern ini, jig sudah sangat berkembang, dan terkadang digantikan oleh robot
yang sudah terprogram dengan komputer.

2. 4. 6. Poka-Yoke
Istilah “poka-yoke” secara sederhana dapat diartikan sebagai “pembuktian kesalahan” atau
dalam bahasa Inggris sering diistilahkan sebagai “mistake-proofing”. Terdiri dari dua suku kata
“poka” yang berarti “kesalahan” dan “yoke” dari asal kata “yokeru” yang berarti menghindari.
Sehingga alat ini digunakan untuk menghindari kesalahan yang terjadi di dalam proses produksi.
Jenisnya beraneka ragam tergantung kebutuhan di dalam proses. Dari alat yang dapat dibuat
dengan sederhana sampai pada sistem yang rumit dengan sistem kontrol elektrik.
Gambar 2-12 adalah contoh poka-yoke sederhana yang dapat digunakan untuk membantu
mendeteksi kesalahan selama proses produksi.

Poka-yoke Produk Poka-yoke Produk

Gambar 2.12. Ilustrasi Poka-yoke

63
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Alat poka-yoke sederhana di atas berfungsi membantu mendeteksi besarnya lubang di


produk yang dibuat. Barang yang dibuat seharusnya memiliki lubang segi empat atas besar dan
bagian bawah lebih kecil. Pada gambar A, poka-yoke akan tepat masuk ke lubang di produk yang
dibuat. Kondisi ini adalah kondisi produk yang baik sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan.

Sedangkan pada gambar B, poka-yoke tidak akan masuk ke lubang di produk B. Sehingga
produk B adalah produk yang tidak bagus akan mudah terdeteksi dengan tidak masuknya kaki
poka-yoke ke dalam lubang segi empat yang ada di produk. Ini adalah salah satu contoh poka-
yoke sederhana yang berfungsi membantu pendeteksian produk yang tidak bagus di proses
produksi. Alat ini dapat dibuat secara manual dan dioperasikan secara manual pula.
Contoh lain adalah poka-yoke otomatis dengan menggunakan kontrol elektrik (Gambar 2-
13). Sebagai contoh adalah seperti tergambar di ilustrasi di bawah ini.

Conveyor
Arah
aliran Produk
produk

Sensor
Sensor
berat
Lampu alarm

Gambar 2-13. Ilustrasi Poka-yoke otomatis

Ilustrasi di atas adalah jenis pokayoke otomatis untuk mendeteksi berat produk yang
melewati conveyor. Semisal ada produk yang ditentukan beratnya, alat bantu deteksi ini sangat
diperlukan.
Lampu alarm akan menyala ketika produk yang lewat memiliki berat tidak sesuai dengan
berat yang telah ditentukan. Dengan demikian, produk yang tidak bagus akan mudah terdeteksi
secara otomatis. Ini adalah contoh sistem deteksi dengan kontrol otomatis. Bentuk-bentuk lain
dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan.
Selain dalam dunia manufaktur, banyak juga poka-yoke di dalam dunia sehari-hari. Biasanya,
poka-yoke dalam dunia sehari-hari berupa bentuk produk yang sengaja didesain agar pengguna
tidak salah dalam memakainya. Kabel LAN, kabel RGB pada komputer, atau bahkan kabel USB
yang tidak bisa dipasang terbalik merupakan contoh poka-yoke di dalam kehidupan sehari-hari.

2. 4. 7. Double Check
Proses produksi biasanya terdiri dari beberapa proses. Selain pencegahan defect yang dilakukan
pada masing-masing proses, dengan double check pencegahan juga dilakukan pada proses

64
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

selanjutnya. Dengan demikian, masing-masing proses bertugas mengecek hasil dari proses
sebelumnya, sebelum dia memulai proses yang menjadi bagiannya. Ini menjadi standar dari
banyak perusahaan manufaktur yang telah maju pada saat ini. Dalam pelaksanaannya, biasanya
digabungkan dengan poka-yoke seperti yang dijelaskan di atas.

2. 4. 8. Zero Defect dan Furyouhin Nagasanai


Prinsip ini sangat dikenal di perusahaan-perusahaan manufaktur Jepang. Zero Defect yang
berarti “nol masalah” sangat ditekankan kepada seluruh elemen perusahaan. Prinsipnya tidak
hanya masalah yang sedikit tetapi nol masalah. Tidak diizinkannya masalah muncul satu pun.
Karena sedikit atau banyak defect, tidak akan berbeda pengaruhnya di konsumen. Konsumen
akan menilai produk perusahaan tidak bagus.
Prinsip zero defect harus dibarengi dengan prinsip furyouhin nagasanai, yang berarti tidak
melewatkan barang yang tidak bagus. Ketika ditemukan ada masalah di produk itu maka produk
itu tidak boleh diloloskan sama sekali. Itulah arti furyouhin nagasanai yang secara harfiah
berarti “tidak melewatkan barang jelek”.
Namun demikian, tentunya bukan tidak menutup kemungkinan masalah yang tidak
diinginkan muncul atau ditemukan. Kondisi yang tidak dapat dihindari itupun memerlukan
prosedur penanganan yang benar dan tepat.
Dua prinsip di atas yaitu setiap proses berperan sebagai fungsi inspeksi dan prinsip zero
defect, furyouhin nagasanai adalah prinsip dasar untuk menjaga agar masalah cepat dan mudah
terdeteksi secara dini.

2. 4. 9. Pengawasan Defect Ratio


Selain cara di atas, ada cara tidak langsung untuk mendeteksi defect, yaitu dengan mengawasi
defect ratio atau rasio cacat di dalam produksi. Walaupun defect ratio yang ditargetkan pada
produk akhir sangat rendah (misalkan, di bawah 30 ppm), bukan berarti tidak ada cacat sama
sekali yang ditemukan pada waktu proses produksi. Dengan memantau kecenderungan rasio
cacat ini, dapat dibaca kalau ada suatu perubahan yang terjadi di dalam proses. Biasanya jika
rasio cacat cenderung bertambah, ada sesuatu yang perlu diperbaiki di dalam proses (alat yang
rusak, jig yang rusak, atau pegawai yang sakit, dan sebagainya). Akan tetapi, rasio cacat yang
tiba-tiba membaik juga perlu diwaspadai, karena ada kemungkinan seting alat yang berubah
yang nantinya akan berujung pada kerusakan alat itu sendiri.
Sekarang yang tidak kalah pentingnya adalah jika masalah yang tidak dapat dihindari itu
muncul atau ditemukan di dalam proses produksi, bagaimana mekanisme atau prosedur yang
seharusnya dilakukan. Berikut adalah prinsip-prinsip dasar ketika masalah ditemukan.

1) Langkah ke-1: Line Stop (Menghentikan Proses)


Banyak perusahaan yang takut melakukan line stop, karena khawatir target produksi tidak
bisa tercapai pada saat itu. Mereka kemudian memaksakan barang yang tidak bagus
dilewatkan. Masalah yang ditemukan di proses A dilewatkan ke proses B. Kemudian masalah
65
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

terakumulasi dari proses B ke proses C. Berlangsung terus menerus hingga produk


diloloskan ke pasar dan sampai di tangan konsumen.
Ada beberapa dampak pelolosan masalah:
• Biaya perbaikan produk menjadi mahal dan waktu yang lama
Ketika sebuah beberapa masalah terakumulasi, hal itu menjadikan kondisi produk
semakin buruk dan sulit diperbaiki. Jika ingin diperbaiki pun pada akhirnya memerlukan
biaya yang tinggi dan waktu yang lama. Apalagi jika masalah yang satu menjadikan
masalah selanjutnya menjadi semakin parah.
• Sulit memertahankan kualitas produk
Pada akhirnya ketika satu masalah dilewatkan maka akumulasi masalah akan berada di
gerbang inspeksi akhir. Sehingga ketika perusahaan dihadapkan dengan jumlah
pemesanan produk yang tinggi akhirnya kejar target pun berlaku. Akibat kewalahan
menanggulangi akumulasi masalah dari beberapa proses sebelumnya, maka tidak ada
pilihan kecuali meloloskan produk agar pemesanan dari konsumen sesuai dengan target
jumlah dan waktu.
Prinsip line stop sangat penting untuk diterapkan di proses produksi. Tidak melewatkan
sama sekali jika ditemukan masalah pada proses tertentu ke proses selanjutnya.

2) Langkah ke-2 : temporary action (langkah sementara)


Langkah sementara dapat diambil jika proses perbaikan terhadap masalah dapat digantikan
dengan langkah sementara dan setelah itu proses produksi segera bisa diteruskan. Hal itu
tergantung dari tingkat keparahan dan urgenitas masalah tersebut. Jika masalah terlalu
parah, temporary action terkadang sulit dilakukan dan harus dilakukan investigasi root cause
di langkah ke-3.

3) Langkah ke-3 : investigasi root cause (Investigasi akar masalah)


Langkah cepat selanjutnya adalah melakukan investigasi terhadap masalah yang muncul.
Investigasi masalah dimulai dari tempat ditemukan masalah ke proses-proses sebelumnya.
Sehingga semakin lambat masalah dideteksi maka proses investigasinya pun semakin sulit
dan memakan waktu yang lama. Hal ini berhubungan dengan prinsip di langkah ke-1 yaitu
line stop dan tidak meneruskan barang yang tidak bagus.

4) Langkah ke-4: take countermeasure (mengambil tindakan perbaikan)


Setelah akar masalah ditemukan maka langkah selanjutnya adalah mengambil tindakan
perbaikan dan mengimplementasikannya. Semakin lambat proses pengambilan tindakan
perbaikan semakin molor pula implementasinya. Semakin lambat perbaikan diterapkan,
semakin lama pula proses produksi dilanjutkan. Inilah sebabnya sebisa mungkin dipikirkan
dan dilakukan temporary action. Sehingga ketika proses pengambilan tindakan perbaikan

66
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

memakan waktu cukup lama, proses produksi masih dapat diteruskan dan tidak
mengganggu target produksinya.

5) Langkah ke-5 : saihatsu bousi (antisipasi masalah berulang)


Banyak perusahaan manufaktur yang berhenti saja ketika countermeasure telah diterapkan.
Merasa sudah aman karena masalah telah diatasi. Penanggulangan masalah tidak hanya
berhenti sampai di situ saja. Ada hal yang jauh lebih penting yaitu antisipasi masalah muncul
di masa mendatang. Sehingga bisa dipastikan masalah tersebut tidak akan muncul lagi dan
mengganggu proses produksi.
Pada langkah inilah prinsip 5 WHY diterapkan. Prinsip ini cukup jitu untuk menanggulangi
masalah muncul di kemudian hari.

Contoh penerapan 5 WHY dapat dicontohkan sebagai berikut:


Pada sebuah perusahaan perakitan mobil, ditemukan kondisi salah satu baut di bumper
belakang kendor. Masalah ditemukan di proses inspeksi akhir sebelum mobil keluar dari
pabrik.

Dimulailah analisis 5 WHY untuk menentukan langkah antisipasi berulang di masa datang.
1. WHY baut bumper belakang kendor?
BECAUSE torsi pengencangan baut rendah tidak sesuai spesifikasi
2. WHY torsi baut rendah?
BECAUSE alat pengencang elektrik baut tidak mengeluarkan torsi yang diinginkan
3. WHY alat pengencang baut elektrik mengalami penurunan akurasi
BECAUSE tidak dilakukan proses kalibrasi rutin
4. WHY tidak dilakukan kalibrasi rutin
BECAUSE tidak ada aturan kalibrasi secara rutin
5. WHY tidak ada aturannya
BECAUSE aturan belum dibuat

Sehingga dapat dipahami bahwa akar dari akar masalah adalah tidak adanya aturan tertulis
yang mengatur proses kalibrasi alat sehingga ketika alat mengalami penurunan tingkat
akurasi menjadikan besarnya torsi yang dihasilkan menurun. Hal ini mengakibatkan baut
tidak dikencangkan sesuai dengan spesifikasi yang mengakibatkan baut menjadi kendor.
Langkah saihatsu bousi yang harus dilakukan adalah dengan membuat aturan kalibrasi alat
pengencang baut elektrik baut secara rutin. Frekuensi rutin dapat dilakukan harian,
mingguan, atau bulanan sesuai dengan kondisi dan spesifikasi alat yang bersangkutan.

6) Langkah ke-6: Yokoten

67
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Yokoten terdiri dari gabungan dua kanji yaitu 横 “yoko” dan “展” “ten”. Yoko sendiri berarti
“samping, ke samping, di samping”. Sedangkan “ten” yang berasal dari kata ”展開“ “tenkai”
yang berarti “menginformasikan, mengaplikasikan, mengimplementasikan”.
Sehingga yokoten secara sederhana dapat diartikan sebagai “mengimplementasikan ke
samping”. Untuk hal yang berkaitan dengan proses penanggulangan masalah di proses
produksi, maka arti yokoten dapat didefinisikan sebagai proses pengimplementasikan
langkah perbaikan yang telah diambil ke seluruh bagian yang saling berkaitan.
Sebagai contoh untuk studi kasus di langkah ini, pembuatan aturan kalibrasi harus di-
yokoten (diimplementasikan) ke seluruh bagian pada proses produksi yang menggunakan
alat elektrik yang memerlukan kalibrasi secara rutin. Gambar 2.14 memberikan ilustrasinya.
Pada gambar ini, hampir di setiap proses terdapat alat elektrik yang berfungsi untuk
mengencangkan baut dan mengecek suhu. Semisal masalah berkurangnya tingkat akurasi
alat pengencang baut elektrik hanya terjadi di proses B, tidak menutup kemungkinan hal
yang sama terjadi di alat elektrik lain di proses yang berbeda. Sehingga proses yokoten
perbaikan di proses B harus diterapkan pula ke alat elektrik di proses lain. Sehingga masalah
yang sama tidak akan muncul dari alat elektrik di proses yang lain.
Proses yokoten sangat penting dilakukan terlebih jika produk yang dihasilkan oleh proses
produksi lebih dari satu varian tetapi banyak menggunakan alat atau proses yang sama.

Proses Proses Proses


Line 1 A B C

Pengencang
baut elektrik

Proses Proses Proses


Line 2 A B C

Gambar 2.14. Ilustrasi penerapan Yokoten

Sebagai contoh di pabrik A menghasilkan dua jenis produk mobil A dan mobil B. Dua jenis
mobil ini menggunakan ukuran ban yang sama namun disupply dari dua perusahaan

68
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

supplier yang berbeda. Suatu saat ditemukan masalah ban tidak rata di jalur pembuatan
mobil A. Setelah dilakukan investigasi maka terungkaplah bahwa ada kesalahan proses
pemanasan pada saat pembuatan ban di supplier ban mobil A.
Pada saat itu, karena dikhawatirkan ada masalah yang sama akan muncul di ban mobil B,
maka yokoten perbaikan di supplier mobil A ke supplier mobil B. Sehingga permasalahan
yang sama tidak akan muncul di mobil B.
Banyak jenis yokoten di dalam proses manufaktur. Yokoten pada prinsipnya adalah untuk
mengantisipasi kesalahan yang sama muncul pada bagian lain yang memakai alat atau sistem
yang sama.
Proses penanganan masalah sejak dini dari line stop sampai ke proses yokoten dapat
digambarkan oleh ilustrasi terintegrasi di bawah ini. Diharapkan dengan menerapkan
prinsip-prinsip penanggulangan masalah sejak dini dengan langkah penanganan yang baik
dan tepat, permasalahan yang muncul dari proses manufaktur dapat ditekan atau bahkan
dihilangkan sama sekali.

69
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

BAB 3
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
HITOZUKURI – 人づくり

Rudi Agus Setiawan, Giri Kuncoro, Farid Triawan

Bab ini mambahas hal yang tidak kalah penting dalam proses monozukuri, yaitu hitozukuri.
Hitozukuri terdiri dari dua suku kata, yaitu “hito” berarti manusia dan “zukuri” berarti
pembuatan/pembentukan. Jadi, hitozukuri memiliki makna proses pengembangan Sumber
Daya Manusia (SDM) yang dilakukan secara berkesinambungan untuk mencapai sebuah
keterampilan dan kemampuan yang dibutuhkan dalam menyukseskan proses monozukuri.
Kegagalan dalam proses hitozukuri, akan menghasilkan SDM yang tidak terampil, yang berujung
pada kegagalan dalam monozukuri.
Pada bab ini akan ditunjukkan salah satu contoh proses hitozukuri yang dilakukan pada saat
pendidikan awal pegawai baru. Pada bagian ini, akan dibahas contoh-contoh nyata yang
diterapkan perusahaan Jepang kepada para pegawai barunya agar memiliki standar
keterampilan yang sama sebelum benar-benar terlibat dalam kegiatan monozukuri yang
sesungguhnya. Kemudian akan ditunjukkan pula peran pegawai asing dalam memperkuat
proses hitozukuri ini. Diawali dari penjelasan tentang globalisasi monozukuri yang sedang
ngetrend di Jepang, dinamika pekerja lokal dan asing, sampai peranan dan tujuannya masing-
masing. Pada bagian akhir, akan dipaparkan salah satu budaya masyarakat Jepang yang sangat
mirip dengan budaya masyarakat Indonesia yaitu gotong-royong. Budaya kerja ini tidak hanya
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, melainkan juga sangat memengaruhi proses
monozukuri diperusahan-perusahaan Jepang.
Pada subbab-subbab di bawah ini, penulis akan menguraikan mengenai proses pendidikan
yang dilalui oleh karyawan baru dalam bekerja di Jepang.

3. 1. Lika-liku Pendidikan Karyawan Baru “Shinjin”

Memasuki dunia kerja setelah lama berkecimpung di dunia pendidikan merupakan suatu babak
baru yang penuh misteri. Kenapa misteri? Karena perusahaan yang menerima kita atau yang kita
pilih, belum tentu bisa memberikan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan kita ataupun sesuai
dengan bidang yang kita pelajari. Tapi justru disinilah letak challenge-nya, bagi mereka yang bisa
melihat sesuatu secara positif.
Tidak terkecuali di Jepang. memasuki dunia kerja di Jepang, apalagi untuk “shinjin”
(karyawan baru) laksana memasuki babak baru, di mana kita harus memulai segala sesuatunya
dari nol, setinggi apapun gelar yang kita punya. Shinjin akan diperlakukan sama tanpa melihat
apakah anda lulusan S2 atau hanya lulusan SMA. Disini kita akan membahas lika-liku pendidikan
untuk shinjin di perusahaan manufaktur Jepang pada umumnya. Secara garis besar pendidikan
untuk shinjin bisa dilihat pada Gambar 3-1.

70
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Penempatan
Pelatihan
Teknik Dasar
Pelatihan
Marketing
Pelatihan Manufaktur
/ monozukuri
Orientasi

Gambar 3-1. Tahap pendidikan shinjin

Pendidikan shinjin merupakan proses pelatihan panjang untuk membekali para shinjin
sebelum terjun ke dunia kerja sesungguhnya. Proses pendidikan dan waktu lamanya bisa
berbeda-beda pada setiap perusahaan sesuai dengan orientasi perusahaan tersebut,namun
secara garis besar bisa dibagi dalam beberapa tahap seperti yang tertulis di gambar 3-1, dengan
rentang waktu antara 6 bulan sampai 1 tahun.
Tujuan utama dari pendidikan shinjin adalah memberikan pemahaman dasar yang berkaitan
dengan perusahaan dan apa yang dilakukan perusahaan. Melihat dan terjun langsung ke
lapangan untuk mempelajari proses manufaktur dari nol sampai marketing. Tidak sekadar
memberikan pemahaman secara teori saja, namun juga secara praktiknya. Dengan demikian
akan terbentuk sumber daya manusia yang bisa bekerja tidak hanya berdasarkan teori-teori
saja.
Kita akan bahas secara detail setiap tahap pada proses pendikan shinjin pada bab ini dengan
harapan bisa memberikan gambaran yang lebih jelas berkaitan pendidikan shinjin di
perusahaan manufaktur Jepang. Untuk mempermudah memahami pembahasan, kita akan
mengambil contoh sistem pendidikan shinjin di Daihatsu Motor Corporation.

3. 1. 1. Masa Orientasi
Masa orientasi adalah masa transisi para shinjin dari seorang pelajar menjadi seorang pekerja.
Pemahaman mengenai perbedaan pelajar dan pekerja senantiasa di jelaskan berulang kali
semasa orientasi. Pelajar membayar untuk mendapatkan haknya. Pelajar bertanggung jawab
hanya pada diri sendiri terhadap apa yang dia lakukan. Sementara pekerja dibayar untuk

71
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

melakukan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya. Dan pekerja bertanggung jawab tidak
hanya pada dirinya sendiri,namun juga terhadap perusahan dimana dia bernaung. Baik
buruknya perilaku pekerja,juga akan memberikan dampak terhadap perusahaan secara umum.
Untuk itu sangat penting bagi shinjin memahami perbedaan ini, sehingga dengan begitu bisa
bertindak sesuai rambu-rambu yang telah di tentukan selama bekerja di perusahaan. Secara
garis besar proses orientasi meliputi 4 poin penting seperti yang tertera pada Gambar 3-2
dibawah ini.

Pengenalan secara mendalam tentang perusahaan

•Memahami history,struktur dan aturan-aturan perusahaan


•Memahami posisi perusahaan dan permasalahan yang sedang dihadapi

Pemahaman konsep Quality Control(QC)

•Menanamkan pentingnya pemahaman konsep QC pada manufacturing

Pengasahan kemampuan berkomunikasi

•Menanamkan kebiasan membaca buku dan koran lalu membuat laporan


dengan bahasa yang komunikatif dan mudah dipahami
•Melatih kemampuan untuk bisa berdiskusi dan melakukan presentasi

Pembinaan Fisik
•Ekiden Maraton:Maraton estafet ala jepang

Gambar 3-2. Proses orientasi shinjin

Kita tidak akan menemukan kegiatan perploncoan di masa orientasi di perusahaan-


perusahaan Jepang dalam membina shinjin. Masa orientasi adalah masa perkenalan untuk
sesama shinjin dan untuk mengenal perusahaan lebih dalam lagi. Termasuk aturan-aturan apa
yang harus dijaga, serta norma-norma yang harus dijalankan sebagai seorang karyawan di
perusahaan maupun di masyarakat pada umumnya.
Pada masa ini sesama shinjin akan dibagi kedalam beberapa grup, dimana semasa orientasi,
shinjin dilatih untuk bekerja sama dalam grup dengan tujuan untuk mengasah team work setiap
shinjin. Sumber daya manusia seperti apa yang dibutuhkan perusahaan agar perusahaan terus
bisa berkompetisi juga ditanamkan pada masa ini. Dan satu hal yang sangat penting pada masa
orientasi adalah pendidikan konsep Quality cCntrol (QC) pada industri manufaktur. Konsep

72
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

pemikiran QC berorientasi pada proses “Plan”, ”Do”, ”Check”, ”Action”, yang biasa disingkat siklus
PDCA. Konsep ini tidak akan dibahas secara detail, namun secara garis besar konsep ini berpijak
pada bagaimana meraih target yang telah dicanangkan melalui analisa yang mendalam sambil
terus melakukan koreksi dan perbaikan terhadap langkah-langkah yang di ambil dalam rangka
meraih target tersebut.
Disamping konsep QC, kemampuan dalam berkomunikasi yang baik, baik terhadap teman
seangkatan maupun terhadap atasan juga ditanamkan pada masa ini. Shinjin akan di berikan
kewajiban untuk membaca buku minimal satu buku selama satu bulan dan membuat laporan
serta ringkasan berkaitan buku tersebut. Selain itu, shinjin juga diwajibkan membaca koran dan
menulis laporan berkaitan dengan koran yang dibaca setiap minggunya. Kegiatan ini terlihat
biasa dan sederhana,namun pada hakikatnya memiliki tujuan yang sangat penting yaitu
mengasah pola pikir secara logis dan kemampuan dalam menyampaikan sesuatu secara baik dan
mudah di mengerti. Selain itu, shinjin juga dituntut secara aktif untuk memberikan presentasi
dalam setiap kesempatan yang diberikan.
Masa orientasi juga merupakan masa persiapan fisik untuk membekali shinjin sebelum pergi
ke pelatihan manufaktur di pabrik. Masa pelatihan manufaktur di pabrik merupakan masa
pelatihan yang paling berat karena membutuhkan fisik yang prima sebagaimana akan dijelaskan
pada bagian selanjutnya.

3. 1. 2. Pelatihan Manufaktur/Monozukuri
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa pendidikan shinjin berorientasi
pada pembentukan sumber daya manusia yang mengerti proses monozukuri dari nol sampai
proses marketing, dari hulu hingga ke hilirnya industri manufaktur. Setelah mendapat
pembekalan selama masa orientasi, maka shinjin akan mendapatkan pendidikan ke tahap
berikutnya yaitu pelatihan monozukuri di pabrik.
Pelatihan monozukuri memiliki dua tujuan utama yaitu:
• Memberikan pemahaman bagaimana produksi berjalan, kesulitan-kesulitan seperti apa yang
terjadi dilapangan, khususnya pabrik dalam rangka memproduksi barang secara efisien dan
memiliki kualitas yang baik.
• Memberikan pengalaman yang bisa dirasakan langsung oleh shinjin, bagaimana sulitnya
proses monozukuri. Dengan harapan shinjin bisa berkembang, dan dimasa datang bisa
melakukan terobosan-terobosan yang berarti dengan mengingat pengalaman yang diperoleh
semasa pelatihan, guna memperbaiki proses monozukuri agar lebih baik lagi.

Untuk mewujudkan itu, shinjin akan mendapat training sebagai berikut:


1) Turut serta dalam proses monozukuri
Shinjin akan ditempatkan secara acak pada salah satu proses monozukuri tanpa melihat
background pendidikan shinjin. Kita akan mengambil contoh proses perakitan pada industri
manufaktur mobil di Jepang. Proses perakitan mobil dibagi dalam banyak tahap seperti
perakitan pintu,interior panel,pemasangan mesin dan lain-lain.

73
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Semua proses berjalan bersamaan dimulai dari badan mobil yang masih kosong sampai
menjadi mobil yang siap jual. Pekerja diberi tanggung jawab untuk beberapa proses
perakitan dalam masa waktu yang ditentukan atau dikenal dengan istilah “takt time”.
Sebagai contoh takt time di perakitan Daihatsu Jepang kurang lebih 50 detik, yang memiliki
arti pekerja harus menyelesaikan kerja yang menjadi tanggung jawabnya selama 50 detik.
Apabila dalam masa itu pekerja tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya maka akan
memberikan imbas kepada proses perakitan selanjutnya.
Minimal dibutuhkan waktu dua minggu bagi shinjin untuk bisa bekerja dengan baik sesuai
prosedur perakitan yang telah ditentukan. Selama masa itu, shinjin akan dibantu oleh trainer.
Manusia laksana robot yang terus bekerja selama kurang lebih delapan jam melakukan
pekerjaan yang sama tanpa boleh melakukan kesalahan. Hal ini merupakan pekerjaan yang
luar biasa berat dan menguras energi.

2) Penerapan konsep QC di pabrik


Selama masa pelatihan, shinjin akan dibagi kedalam beberapa grup dimana setiap grup
dituntut untuk bisa menemukan satu permasalahan yang terjadi di pabrik dan menggunakan
konsep QC yang telah dipelajari semasa orientasi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Bagi seoarang shinjin ini juga bukan pekerjaan yang mudah. Seharian bekerja yang menguras
tenaga, setelah itu juga dituntut untuk memeras otak.
Konsep pendidikan seperti ini dikenal dengan proses “genchi genbutsu” yang kalau kita
artikan dalam bahasa Indonesia berarti blusukan. Terjun langsung kelapangan dan melihat
langsung permasalahan serta bisa mengambil langkah-langkah penyelesaian berdasarkan
fakta-fakta dilapangan bukan berdasarkan teori semata.
Pelatihan monozukuri merupakan masa pelatihan yang paling berat bagi seorang shinjin.
Namun menjadi pelatihan yang paling berkesan yang mungkin tidak bisa dilupakan oleh
seorang shinjin. Dan memang itulah yang menjadi target utama dari pelatihan ini.

3) Pelatihan marketing
Selepas pelatihan monozukuri, shinjin akan menuju pelatihan berikutnya yaitu pelatihan
marketing. Tujuan pelatihan ini adalah memberikan kesempatan kepada shinjin untuk
berinteraksi secara langsung dengan pembeli sehingga shinjin bisa belajar dan mendengar
suara konsumen. Hal ini juga merupakan bagian dari konsep pendidikan genchi genbutsu.
Masa pelatihan ini berkisar antara satu sampai tiga bulan.

Pada pelatihan ini shinjin akan mendapatkan dua pelatihan yaitu:


1) Turut serta dalam pemasaran

74
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Shinjin akan di tempatkan disalah satu dealer pemasaran dan ikut serta dalam proses
penjualan. Untuk itu shinjin akan dibekali teknik-teknik dasar penjualan dan pengetahuan
dasar tentang produk yang akan dijual. Pelatihan ini juga bisa menjadi wadah yang sangat
tepat bagi shinjin untuk belajar dan mengetahui produk-produk perusahaan secara lebih
detail lagi. Berbeda dengan pelatihan monozukuri, pelatihan marketing tidak memerlukan
fisik yang prima tapi lebih kepada kesabaran yang prima. Karena shinjin akan bertemu dan
berinteraksi dengan berbagai jenis manusia yang memeliki karakter yang berbeda-beda,
yang tentunya menguras kesabaran. Namun pelatihan ini menjadi pelatihan yang sangat
berharga karena shinjin bisa langsung mendengarkan keluhan-keluhan, harapan, dan tingkat
kepuasan konsumen terhadap produk perusahaan. Hal ini diharapkan membentuk karakter
shinjin yang bisa lebih melihat fakta lapangan ketika kelak mendapat kesempatan dalam
perencanaan pembuatan suatu produk.

2) Penerapan konsep QC
Sama seperti pada pelatihan monozukuri, pada pelatihan marketing, shinjin juga di tuntut
menemukan satu permasalahan yang ada di dealer, kemudian mencoba menyelesaikan
permasalahan dengan menggunakan konsep QC seperti yang telah dipelajari. Ini merupakan
bagian dari satu proses panjang untuk menanamkan pemahaman QC kepada setiap shinjin.
Karena konsep QC ini sangat dibutuhkan setiap karyawan perusahaan dalam memecahkan
setiap permasalahan yang terjadi di tempat kerja secara efektif.
Pelatihan marketing memberikan pembelajaran dan pengalaman yang sangat berharga.
Bahwa produk yang baik belum menjamin produk tersebut bisa terjual di pasaran. Proses
penawaran, penjualan dan pelayanan setiap karyawan terhadap konsumen juga menjadi
salah satu faktor penting dalam terjual tidaknya sebuah produk.

3) Pelatihan teknik dasar


Pelatihan teknik dasar diberikan kepada shinjin setelah kembali dari pelatihan marketing.
Pelatihan ini bertujuan memberikan teknik-teknik dasar yang nantinya dibutuhkan shinjin
setelah di tempatkan pada masing-masing departemen. Waktu pelatihan ini berkisar satu
sampai tiga bulan.
Pada progam pelatihan ini shinjin akan diberikan pendidikan sebagai berikut:
a) Pendidikan dasar pembuatan produk
Pada pelatihan ini shinjin akan digembleng dengan pendidikan dasar yang berkaitan
dengan pembuatan suatu produk. Seperti pemahaman dasar berkaitan mesin, cara
membuat gambar yang baik, cara pembuatan produk yang efektif dan lain-lain. Shinjin
kembali akan dibagi kepada beberapa grup dengan tujuan untuk mengasah kemampuan
team work setiap shinjin. Pada pelatihan ini juga shinjin diberikan kesempatan yang lebih
untuk melakukan presentasi dengan tujuan mengasah kemampuan komunikasi setiap
shinjin.

75
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

b) Meneliti satu tema yang berkaitan dengan pembuatan produk.


Shinjin dituntut untuk bisa mencari satu tema yang berkaitan dengan pembuatan produk
dan meyelesaikannya dalam waktu kurang dari dua bulan. Proses penelitian ini
merupakan bagian dari proses pembelajaran kepada shinjin untuk bisa lebih memahami
dasar-dasar proses pembuatan produk. Biasanya shinjin akan mencari tema-tema yang
sesuai dengan bidang pendidikan shinjin.
Pelatihan teknik dasar adalah pelatihan akhir dari proses pelatihan panjang yang di berikan
kepada shinjin. Setelah pelatihan ini berakhir shinjin akan ditempatkan di setiap departemen
kerja yang ditentukan tidak hanya berdasarkan background pendidikan shinjin, tapi juga
melalui proses wawancara dan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan perusahaan yang
berlaku.

Demikianlah lika-liku pendidikan shinjin yang dilakukan di perusahaan Jepang pada umumnya.
Mudah-mudahan dapat sedikit memberikan gambaran kepada pembaca bagaimana awal dari
penerapan konsep “hitozukuri” pada perusahaan Jepang. Berawal dari pembentukan sumber
daya manusia yang baik, proses monozukuri dapat dilakukan dengan lebih mudah dan
memberikan kualitas yang baik pula.
Selanjutnya akan dibahas bagaimana peran para pekerja asing, atau bahasa Jepang disebut
gaikokujin, dalam proses monozukuri. Gaikokujin secara harfiah terdiri dari tiga pokok kata,
yaitu gai artinya luar, koku artinya negara/bangsa, dan jin artinya orang. Peran para pekerja
asing tidak bisa dianggap remeh, karena memang memegang peranan penting dalam proses
hitozukuri yang menjadi pendukung utama proses monozukuri. Untuk lebih jelasnya, mari kita
pelajari bersama.

76
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

3. 2. Globalisasi Monozukuri dan Peran Pekerja Asing

Tahukah anda bahwa keberhasilan produk buatan Jepang menembus pasar internasional bukan
karena hasil jerih payah orang Jepang saja! Didalamnya ada peran para pekerja asing yang tidak
bisa dianggap remeh. Pada bagian ini akan dipaparkan apa saja peran dan kontribusi mereka
dalam kegiatan monozukuri di perusahaan-perusahaan Jepang yang notabene bukanlah
perusahan multinasional.

3. 2. 1. Globalisasi Monozukuri
Banyak yang memahami bahwa kegiatan monozukuri adalah proses manufaktur suatu produk
yang dimulai dari mengolah bahan mentah sampai menjadi barang yang siap dikonsumsi atau
digunakan. Pemahaman ini benar, tapi masih kurang lengkap. Kegiatan monozukuri sebenarnya
tidak hanya proses manufaktur saja, tapi juga merupakan satu kesatuan proses-proses lainnya
mulai dari penelitian dan pengembangan (research and development), pengadaan barang
(procurement), produksi masal (mass production), penjualan (sales), pengiriman (delivery), dan
pelayanan pelanggan (customer service) yang hubungan kesemuanya ditunjukan pada Gambar
3-3 di bawah ini.

Modeling,
Prototyping, Manufacturing Testing Quality control
Standardizing.

Research &
Development

Procurement

Production

Sales

Delivery

claims,
requests Customer-Service

Gambar 3-3. Proses Monozukuri

Jadi, kegiatan monozukuri tidak akan bisa dilaksanakan dengan baik jika tanpa disertai dengan
proses pengadaan bahan-bahan mentah dengan kualitas yang sama dan tersedia tepat pada

77
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

waktu yang dibutuhkan. Kegiatan monozukuri juga tidak akan bisa dilakukan secara
berkesinambungan jika tidak melalui fase siklus perbaikan (kaizen) yang didasarkan pada kritik
dan saran dari konsumen, sehingga kualitas produk dapat diperbaiki agar semakin diminati dan
produksi tidak akan terhenti. Semua proses ini adalah hal umum yang harus dilakukan dalam
monozukuri sebuah produk.
Pada awalnya, kegiatan monozukuri yang dilakukan di luar Jepang hanya proses penjualan,
pengiriman, dan pelayanan pelanggan. Dengan proses-proses ini, produk yang dibuat di Jepang
dapat dinikmati oleh para konsumen yang berada di luar Jepang. Seiring dengan semakin
diminatinya produk Made in Japan, barulah pada negara-negara tertentu, seperti di Amerika
Serikat, Cina, ataupun Indonesia, kegiatan monozukuri tidak hanya dibatasi pada ketiga proses
diatas. Pada negara-negara pilihan ini, kegiatan monozukuri juga meliputi proses manufaktur
dengan dibangunnya pabrik-pabrik untuk produksi massal. Bahkan, ada juga perusahaan Jepang
yang mendirikan pusat penelitian dan pengembangan guna mengeksplorasi potensi pasar lokal
suatu negara atau untuk mengembangkan produk baru yang cocok dengan kebutuhan
konsumen tertentu dengan cara menyerap tenaga ahli di negara tersebut.
Misalnya di Indonesia, perusahaan Jepang terutama sektor elektronik mulai mendirikan
pabrik-pabriknya pada tahun 1970-an. Di Amerika Serikat, produsen mobil Honda tercatat
sebagai perusahaan Jepang pertama yang membangun pabrik perakitan mobil di Ohio pada
tahun 1982 untuk menekan ongkos produksi dan merebut pasar disana. Tahun 2008 di Cina,
produsen mobil Toyota mendirikan pusat litbang khusus untuk melakukan penelitian-penelitian
fundamental dalam pengembangan mobil masa depan.
Untuk mendukung seluruh proses monozukuri yang dilakukan di luar Jepang, sangat
dibutuhkan sumber daya manusia yang unggul dalam berbagai bidang, seperti kemampuan
berkomunikasi dengan bahasa asing, berawawasan global, cepat beradaptasi dengan budaya
asing, disertai pula dengan kemampuan teknis yang cakap. Oleh karena itu, sejak meroketnya
ekonomi Jepang karena kebangkitan industrinya, banyak terjadi arus migrasi expatriat Jepang
ke luar negeri yang ditugaskan untuk memberikan instruksi, arahan, maupun pelatihan. Sejak
saat itu lah terjadi kontak dan komunikasi antara pekerja asal Jepang dan pekerja asing.

3. 2. 2. Peran Pekerja Asing di Luar Jepang


Tidak semua proses monozukuri di luar negeri ditangani oleh pekerja asal Jepang. Perlu
dilakukan kolaborasi dengan pegawai lokal di suatu negara. Biasanya expatriat Jepang yang
ditugaskan ke luar negeri akan menempati posisi strategis dalam pengambilan keputusan
(decision making). Misal, di sebuah cabang perusahaan Jepang di luar negeri sangatlah lazim
untuk memiliki dua orang direktur operasional atau direktur teknik. Direktur yang satu adalah
orang lokal sedangkan yang satu lagi adalah orang Jepang. Eksekusi dari setiap keputusan yang
sifatnya strategis tidak dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari
kedua orang direktur ini. Posisi strategis ini dapat beragam mulai dari level manajer sampai
sampai dengan level direktur. Sedangkan untuk posisi teknisi, drafter, operator, atau
administrasi, umumnya diserahkan sepenuhnya kepada staff lokal. Disini, teknisi asal Jepang

78
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

dapat didatangkan sekali-sekali saja untuk memberikan pelatihan, dan tidak jarang juga
pelatihan-pelatihan ini dilakukan di Jepang.

3. 2. 3. Kebutuhan akan Pekerja Asing di Jepang


Jumlah orang asing yang menetap dan bekerja di Jepang dapat dikatakan sangat sedikit sekali.
Sebagian besar dari mereka biasanya masih keturunan Jepang yang lahir dari hasil perkawinan
beda negara. Pemerintah Jepang memberikan perlakuan khusus bagi keturuan Jepang yang ingin
kembali dan bekerja di Jepang. Pengurusan VISA-kerja bagi mereka tidak lah sulit asal dapat
membuktikan bahwa masih memiliki garis keturunan Jepang. Selain itu, sebagian besar orang
asing yang bekerja di Jepang adalah pegawai kontrak, sangat jarang sekali yang direkrut sebagai
pegawai tetap. Biasanya orang asing yang diangkat sebagai pegawai tetap memiliki suatu
keahlian khusus.
Orang Indonesia yang bekerja di Jepang sebagian besar adalah pekerja buruh kasar yang
datang ke Jepang dengan program magang tiga tahun atau biasa disebut sebagai kenshuusei.
Sedangkan yang bekerja sebagai pegawai tetap sebagian besar adalah mereka yang lulus dari
universitas Jepang.
Namun, pada beberapa tahun terakhir, kecenderungan akan kebutuhan pegawai kerja asing
di Jepang mengalami perubahan signifikan. Hal ini dipicu oleh permasalahan sosial yang
dihadapi masyarakat Jepang, yaitu aging society. Proporsi jumlah orang tua pada populasi
penduduk Jepang secara keseluruhan mengalami kenaikan sehingga menjadi jauh lebih banyak
daripada pemuda/i yang produktif bekerja. Per September 2014, badan biro statistik Jepang
mencatat 33% dari populasi masyarakatnya saat ini berumur lebih dari 60 tahun, yaitu umur
pensiun dalam bekerja. Hal ini menyebabkan pemerintah Jepang menerapkan berbagai macam
metoda agar jumlah tenaga kerja produktif di Jepang tidak berkurang sehingga tidak sampai
menggangu kegiatan industri.
Setidaknya ada empat cara yang diterapkan pemerintah Jepang untuk menanggulangi
kekurangan tenaga kerja ini.
• Dengan cara menambah umur minimal yang diperbolehkan pensiun
• Dengan cara meningkatkan jumlah pekerja wanita
• Dengan menggunakan tenaga robot
• Dengan merekrut pekerja asing untuk tinggal dan bekerja di Jepang.

Cara pertama sudah berjalan sejak tahun 1998, yaitu dengan menambah umur pensiun dari
55 tahun menjadi 60 tahun yang rencananya akan diperpanjang lagi secara bertahap sampai
pada tahun 2025 menjadi umur 65 tahun. Bertambahnya umur pensiun ini maksudnya adalah,
seseorang tidak akan menerima uang pensiun sebelum umur minimal pensiun tercapai. Pegawai
seperti ini memiliki dua pilihan. Yaitu pensiun dari pekerjaan dengan hormat tapi kemudian
tidak memiliki penghasilan, atau meneruskan bekerja sampai batas umur minimal untuk
pensiun tercapai namun dengan gaji yang relatif lebih kecil dari sebelumnya. Namun, cara ini

79
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

masih dipandang tidak efektif karena para pekerja senior ini cenderung tidak produtif dan lebih
lambat dalam bekerja.
Solusi berikutnya adalah dengan cara menambah jumlah tenaga kerja wanita mulai dari
tingkatan paling bawah seperti buruh pabrik atau administrasi kantor sampai dengan tingkatan
manajemen seperti General Manager atau Direktur. Contohnya, pada pemerintahan Perdana
Menteri Abe tahun 2014, untuk pertama kalinya Jepang memiliki jumlah menteri perempuan
terbanyak dalam sejarah, yaitu lima orang. Jumlah yang dapat dikatakan luar biasa ini
merupakan simbol dari keinginan pemerintah Jepang untuk meningkatkan peran tenaga kerja
wanita di industri. Meskipun demikian, cara ini dinilai masih berjalan tidak efektif karena
budaya leluhur masyarakat Jepang yang lebih menyukai peran penting wanita dalam mengatur
urusan rumah tangga ketimbang bekerja di dunia industri. Berdasarkan laporan dari World
Economic Forum tahun 2012 tentang tenaga kerja wanita, 70% wanita di Jepang memiliki
pekerjaan sebelum menikah, dan 62% dari mereka berhenti bekerja setelah melahirkan anak
pertama.
Hal ini mungkin disebabkan oleh fasilitas, aturan-aturan, dan suasana kerja di industri
Jepang yang bisa dikatakan tidak begitu menunjang bagi seorang wanita untuk berkarir sambil
melakukan fungsinya sebagai ibu dan istri. Misalnya, ada kebiasaan umum para pekerja Jepang
yang bekerja sampai larut malam di kantor untuk mencapai target, atau bersosialisasi dengan
menghadiri pesta minum-minum di sebuah bar sampai larut malam yang disebut nomikai dalam
bahasa Jepang. Menghadiri pesta nomikai biasanya dapat memengaruhi kesempatan-
kesempatan dalam mengembangkan karir masa depan. Sehingga, tidaklah mudah menemukan
pegawai wanita yang memilih berkarir lama di dunia industri. Jumlahnya sangat sedikit dan
tidak jarang pula dari para wanita karir ini akhirnya terlambat menikah. Para pekerja wanita
biasanya lebih memilih status pegawai kontrak atau part-time job, di mana terdapat keleluasaan
waktu karena waktu bekerja yang relatif lebih pendek dan tertentu jadwalnya.
Solusi ke-tiga yaitu dengan menggunakan teknologi robotika juga dinilai masih terlalu dini
dan memerlukan modal yang tidak kecil. Masih diperlukan penelitian dan pengembangan robot-
robot yang benar-benar dapat menggantikan peran manusia dalam bekerja.
Dengan demikian, dari empat solusi diatas, solusi yang paling efektif dari permasalahan
aging society ini adalah dengan merekrut tenaga kerja asing untuk bekerja dan berkarir di
Jepang.

3. 2. 4. Peran Pekerja Asing di Jepang


Rekrutmen pekerja asing di Jepang terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat dari
hasil survey yang dilakukan terhadap kurang lebih 1.000 perusahaan yang hasilnya
diperlihatkan pada Gambar 3-4. Dapat dilihat bahwa persentase jumlah perusahaan yang
merekrut orang asing yang baru lulus kuliah meningkat hampir lima kali lebih besar pada tahun
2014 dibanding tahun 2010. Lebih jauh lagi, minat terhadap orang asing ini rupanya tidak hanya
ditemukan pada perusahaan-perusahaan besar saja, tetapi juga merata pada perusahaan-
perusahaan kelas menengah dan kecil.

80
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

60
Jumlah perusahan perusahaan, %

50 R eal-data
Forecast
40

30
%

20

10

0
2010 2011 2012 2013 2014
Tahun Sumber: http://www.disc.co.jp

Gambar 3-4.

Pegawai kerja asing lulusan universitas diminati karena beberapa alasan dibawah ini.
1) Untuk mendapatkan sumber daya manusia unggul dan berbakat serta memiliki potensi besar
untuk berkontribusi dalam pengembangan perusahaan kedepan.
1) Untuk memelihara dan mempererat koneksi dengan pelanggan-pelanggan di luar negeri,
terutama pelanggan pada negara asalnya.
2) Untuk memperbaiki dan meningkatkan kerjasama yang baik dengan kelompok perusahaan
atau cabang di luar negeri, terutama di negara asalnya.
3) Untuk mendapatkan know-how tentang bagaimana cara yang baik dalam berinteraksi
dengan budaya asing di luar negeri.
4) Untuk memberikan dan menularkan dampak positif terhadap pegawai asli Jepang dengan
memperlihatkan performa yang baik dari para pekerja asing, sehingga tercipta iklim kerja
yang positif, kompetitif, dan produktif.

Kemampuan yang diharapkan dari pekerja asing antara lain adalah sebagai berikut:
1) Kemampuan berkomunikasi dengan bahasa Jepang, bahasa Inggris, serta bahasa ibu tempat
ia berasal. Jadi kemampuan berkomunikasi dengan trilingual.
2) Kemampuan dalam beradaptasi dengan budaya asing.
3) Kemampuan berkomunikasi/Communication skill
4) Keahlian teknis khusus yang diperoleh dari bangku kuliah.

Umumnya pegawai kerja asing dengan kualifikasi seperti tesebut diatas akan langsung
direkrut menjadi pegawai tetap. Untuk itu, para calon pegawai akan melalui serangkaian ujian,
mulai dari ujian psikotes, kemampuan dasar matematik, pengetahuan umum, dan bahasa,

81
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

sampai wawancara khusus dengan calon bos dikantor nanti. Masa percobaan untuk pegawai
semacam ini biasanya hanya 1-3 bulan, setelah itu langsung dilantik menjadi pegawai tetap. Lain
halnya dengan pegawai asing yang di rekrut dengan jalur kontrak. Ujian yang dilalui tidak sesulit
dan sepanjang calon pegawai tetap.
Pegawai asing yang direkrut melalui jalur pegawai tetap memiliki hak dan kewajiban yang
sama persis dengan pegawai kerja asli Jepang. Jika perusahaan memiliki Persatuan Buruh, maka
pegawai kerja asing ini juga akan dilindungi sepenuhnya oleh persatuan buruh tanpa ada
pengecualian sedikit pun. Sedangkan pegawai kerja asing dalam program kontrak, tidak
mendapatkan fasilitas ini.
Bertambah banyaknya perusahaan Jepang yang merekrut para pekerja asing, menurut
pengamatan penulis, sayangnya belum disertai dengan kesiapan dalam sistem pendidikan dan
pengembangan pegawai. Orang asing lulusan baru dari universitas, biasanya secara langsung
atau tidak, dan disadari atau tidak, harus mengikuti gaya pendidikan Jepang yang tidak selalu
mudah untuk diikuti karena adanya perbedaan budaya, kebiasaan, dan keyakinan. Misal,
pendidikan dan pelatihan dilakukan sepenuhnya dalam bahasa Jepang dan menggunakan nilai-
nilai leluhur bangsa Jepang yang kental. Hal ini sebenarnya dapat dimaklumi, karena proses
hitozukuri harus menghasilkan kualitas SDM yang seragam sehingga dapat menghasilkan
produk monozukuri yang seragam pula. Jadi, mau tidak mau pegawai asing seolah-oleh seperti
mendapat tekanan untuk ikut gaya bekerja budaya Jepang. Namun demikian, untuk pegawai
asing yang direkrut sebagai tenaga kerja ahli atau berpengalaman, biasanya tidak perlu melalui
program pendidikan gaya Jepang ini.
Pada umumnya, pegawai asing ditempatkan pada posisi yang membutuhkan interaksi tinggi
dengan luar negeri, seperti pada bagian pemasaran dan customer service. Lainnya, ada juga yang
ditempatkan dibagian R&D, quality control, dan produksi. Berdasarkan pengalaman penulis,
sangat sedikit sekali yang ditemui bekerja pada pada bagian administrasi dan personalia.
Jenjang karir antara pegawai Jepang dan asing pada dasarnya tidak ada bedanya. Selama
seorang pegawai berstatus pegawai tetap, maka terlepas dia orang asing atau tidak, maka akan
memperoleh hak yang sama dalam pengembangan karir kedepan. Ada banyak contoh pegawai
asing yang menempati posisi penting di perusahaan Jepang, contohnya Carlos Ghosn yang
merupakan Presiden Direktur Nissan Motor. Di tempat penulis pernah bekerja, yaitu Torishima
Pump Mfg., juga memiliki beberapa direktur orang asing. Penempatan orang asing pada posisi
strategis ini pada umumnya karena memiliki pengalaman dan keahlian spesial yang mumpuni
dibandingkan dengan pegawai Jepang yang ada.
Fenomena globalisasi monozukuri khususnya pada bidang ketenagakerjaan di industri
Jepang beberapa tahun belakangan ini telah menjadi hal yang lumrah dan umum. Masalah aging
society yang dihadapi masyarakat Jepang diyakini merupakan salah satu pemicu dari tingginya
minat terhadap tenaga kerja asing ini. Perekrutan pekerja asing diperusahaan Jepang rupanya
banyak memberikan manfaat baik dalam proses hitozukuri disebuah perusahaan. Tantangan
yang dihadapi perusahaan Jepang adalah bagaimana menciptakan kondisi kerja yang kondusif
untuk pekerja asing agar nyaman dan senang bekerja di Jepang tanpa perlu mengorbankan
kualitas hitozukuri. Sedangkan tantangan bagi pekerja asing adalah bagaimana beradaptasi
82
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

sebaik-baiknya dengan budaya kerja orang Jepang yang dapat katakan sangat khas berbeda
dengan perusahaan-perusahaan multinasional di dunia barat.

3. 3. Gotong Royong dalam Monozukuri


Di bawah ini penulis rincikan mengenai gotong royong dalam monozukuri.

3. 3. 1. Penerapan prinsip Muranogurupu


Jepang terkenal dengan kerja kerasnya dan kerja lemburnya. Semua orang tahu itu. Tapi tak
banyak yang tahu kalau budaya kerja Jepang itu “Ndeso”. “Ndeso” berarti “kampungan” seperti
yang kita tahu, tapi bukan itu yang penulis maksud. Dalam budaya kerja Jepang, “Ndeso” berarti
berpikir seperti penduduk desa. Seorang pekerja Jepang akan merasa kantornya seperti desa,
penduduknya bergotong-royong membangun lingkungannya. Ini adalah sebuah pemikiran ala
Jepang, budaya kerja unik yang hanya ada di negeri sakura. Pemikiran “Ndeso” ini dikenal
dengan istilah “Village Relationship” atau muranogurupu (「ムラ」のグループ), yang jadi basis
Jepang berpikir secara kelompok. Dibawah ini akan dijelaskan contoh-contoh yang
menggambarkan penerapan muranogurupu dalam perusahaan Jepang.

1) Society built on “place” relationship


Ada seorang anak baru di kantor, anggap saja namanya Budi. Sebelum bergabung, Budi
sempat bekerja di perusahaan Indonesia. Ia orang yang super dan hebat, pemikir ulung dan
kreatif, kariernya menanjak cepat sekali. Ia merasa seperti star employee saking hebatnya,
semua orang mengenalnya di tempatnya yang lama. Tapi ia memutuskan berhenti dan
pindah ke perusahaan Jepang. Ia kaget bukan main, kehebatannya tak dihargai oleh rekan-
rekan kerjanya.
Ya, inilah budaya kerja Jepang. Tak ada istilah star employee atau karyawan bintang atau
apapun namanya, karena mereka satu kesatuan dalam kelompok, bergerak bersama-sama.
Tak ada keputusan individual, adanya keputusan kelompok. Tak ada tanggung jawab
individual, adanya tanggung jawab kelompok. Tak ada ide individual, adanya ide kelompok.
Tak ada orang yang mengenal nama Budi, kenalnya nama kelompoknya, sehebat apapun ia.

2) Life time employment


Sebagian besar orang Jepang punya prinsip “life time employment”. Satu perusahaan seumur
hidup. Tempat bekerja akan menjadi rumahnya atau desa tempat tinggalnya yang tak
terpisahkan. Beda dengan orang Indonesia yang menganggap kantor sebagai “tempat
bekerja”, orang Jepang menganggap kantor sebagai “tempat tinggal”-nya. Terkadang kantor
pun menjadi tempat tidurnya saat ada kerjaan yang tak bisa ditinggal sampai larut malam.

Memecat seorang pekerja di Jepang termasuk tabu dan jarang sekali dilakukan meskipun
performa si pekerja jelek sekali. Bahkan teman seangkatan penulis sudah bolos kerja 6 bulan

83
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

pun masih dipertahankan. Terkadang pekerja yang membolos itu memang sedang stres
berat dan mungkin jadi alergi masuk kantor. Ya mau bagaimana lagi. Memecat pekerja hanya
dilakukan saat kondisi keuangan perusahaan sudah tak memungkinkan lagi. Inipun bukan
dengan jalan memecat, melainkan dengan memohon pekerja-pekerjanya untuk
mengundurkan diri secara sukarela. Sungguh unik!

3) Workers give priority to stability


Di sini semua orang saling bantu. Ini yang membuat orang-orang bekerja sampai larut malam.
Bukan karena kerjaannya yang tak beres, melainkan karena bantu-bantu kerjaan rekan-
rekannya sampai beres! Tanggung jawab suatu pekerjaan dibagi rata di kelompok. Orang
hebat mendapat tanggung jawab lebih besar daripada orang biasa, dan orang lemah hanya
mendapat tanggung jawab sedikit. Tapi lagi-lagi, hasil akhir pekerjaan tetaplah kelompok,
bukanlah individu orang hebat tersebut.

4) Perbedaan yang disamakan


Kata kunci di budaya kerja Jepang adalah kelompok. Supaya kelompok ini stabil dan tak ada
iri dengki atau konflik internal, semua pekerja dianggap dan dilihat sama rata. Orang hebat
kehebatannya diredam. Orang lemah kelemahannya didongkrak. Hasilnya semua performa
pekerja seperti grafik garis lurus, tak ada puncak dan tak ada lembah. Semua merasa satu,
tak ada yang sok pamer keahlian dan tak ada yang minder karena kurang kemampuan,
bagaikan suatu desa dikelilingi sawah yang penduduknya hidup rukun, aman, dan tenteram.

5) Gotong royong saat kepepet


Dari keempat prinsip “Ndeso” ini, kerja di Jepang kental sekali dengan gotong royong, benar-
benar seperti suasana desa. Hal ini sangat terasa ketika suatu hari penulis sedang terlibat
sebuah proyek di negeri paman sam. Saat itu suasana sedang genting sekali, produk yang
akan dikirimkan ke klien belum jalan, masih banyak sekali bug (baca: kesalahan atau error)
penting di software yang membuat fitur-fitur utama tak jalan. Ini terjadi seminggu sebelum
delivery deadline yangdi Jepang terkenal dengan istilah sakral “Shukka (出荷)”. Banyak sekali
yang harus disiapkan untuk shukka. Ratusan halaman dokumen, prosedur dan aturan harus
diselesaikan.
Proyek ini dikerjakan hanya berdua: penulis dan mentor. Melihat kami berdua yang
kewalahan, GPM (grup manajer) turun tangan langsung mengontrol proyek. Ia meminta
bantuan beberapa orang lagi dari tim lain untuk membantu proyek ini. Sampai-sampai GPM
ikut kami bekerja Sabtu dan Minggu, dari pagi sampai pagi lagi. Satu persatu masalah
terselesaikan, bug-bug dibenahi, ia memang termasuk jago dalam hal teknologi software.
Sementara orang-orang lain membantu di dokumentasi dan prosedur Shukka. Dengan kerja
keras semua orang, persiapan Shukka telah lengkap tepat pada waktunya. Produk pun
berhasil dikirimkan ke klien tepat pada waktunya. Pamor dan kredibilitas perusahaan kami
terselamatkan.

84
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

6) Kerja bakti membersihkan kantor setiap Rabu


Walaupun selalu ada petugas kebersihan yang membersihkan kantor setiap hari, entah
kenapa di kantor selalu terjadwal kerja bakti merapikan dan membersihkan kantor setiap
hari Rabu pagi. Orang India yang sedang berkunjung ke kantor penulis pun sampai terkaget-
kaget, kok bisa-bisanya insinyur-insinyur Jepang beralih dari komputer ke gagang sapu dan
bulu kemoceng setiap hari Rabu. Ketika penulis bertanya soal acara kerja bakti ini ke orang
Jepang, mereka hanya menjawab kalau biaya untuk membayar orang di Jepang mahal sekali.
Jadi untuk kebersihan kantor pun harus kita sendiri yang melakukan.
Tapi kalau dilihat dari kacamata orang asing seperti penulis, sepertinya ini bagian dari
budaya gotong royong dan latihan kebersamaan di Jepang. Setiap hari Rabu pagi, semua
orang melupakan kesibukan dan pekerjaannya. Tua, muda, senior, junior, bos, bawahan,
semuanya ikut bergabung. Alih-alih berbagi tugas untuk mengerjakan proyek, orang-orang
dalam tim dibagi menurut “spesialisasi” kebersihan. Ada yang pegang sapu, vacuum cleaner,
kemoceng, pel. Ada juga yang kebagian merapikan binder dan file yang menumpuk di meja,
menyusun kardus-kardus di gudang yang terbengkalai, sampai membuang dokumen yang
tak diperlukan lagi. Mungkin pekerjaan seperti ini terlihat sepele, tapi dalam 30 menit lantai
dan laboratorium grup kami kembali terlihat rapi dan bersih. Luar biasa!

7) Keroyokan menulis paten


Perusahaan tempat penulis bekerja memiliki target paten yang harus diklaim setiap
semesternya. Ada suatu waktu di mana beban kerja di proyek sedang tinggi-tingginya,
sehingga satu orang yang ditugasi menulis paten dari awal kewalahan, padahal waktu
pengumpulan tinggal satu bulan lagi. Ketua tim memanggil seluruh anggota untuk
mendiskusikan masalah ini, waktu tinggal satu bulan lagi, ide apa yang akan dituliskan untuk
paten pun belum ada. Karena mepetnya waktu, dari semula hanya satu orang yang ditugasi
menulis paten, dibagi menjadi empat orang.
Selama seminggu pertama, keempat orang ini, termasuk penulis sendiri, giat mencari ide,
mencoret-coret di catatan, menelusuri isi jurnal-jurnal ilmiah di perpustakaan, berdisuksi
dengan ahli-ahli, dan lainnya untuk menggali ide paten sebanyak-banyaknya. Akhirnya
disepakati satu ide yang besar kemungkinan belum ada di dunia dan bisa dijadikan paten.
Minggu kedua, kami berempat membagi tugas. Menulis paten bukanlah sesuatu yang
gampang. Dua orang melakukan riset dan konfirmasi bahwa ide ini belum diklaim oleh orang
lain. Sementara itu dua orang lagi mulai mencicil menuliskan klaim dan ringkasan paten.
Setelah kami yakin dengan orisinalitas ide ini, kami mulai menulis paten dengan rinci. Di saat
satu di antara kami sibuk dengan pekerjaan lain, satu orang melakukan back-up agar progres
tetap ada. Waktu pengumpulan paten semakin menipis.

85
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Minggu ketiga, para ahli di kantor, atau biasa dikenal dengan sebutan Chief Engineer / Chief
Scientist, mulai memberi kami masukan-masukan dan rentetan pertanyaan sebelum mereka
menyetujui proposal paten yang kami buat. Akhirnya dengan gotong royong, dari yang
semula hanya tugas satu orang selama satu semester untuk membuat paten, berhasil kami
selesaikan dalam waktu kurang dari satu bulan. Paten kami berhasil dimasukkan dengan
tepat waktu dan sesuai target perusahaan.

3. 3. 2. Perbedaan Kerja ala Jepang dan Eropa


Penulis pernah membaca sebuah buletin yang diedarkan di kantor. Ini cukup membuka pikiran
penulis tentang perbedaan gaya kerja timur dan barat. Ada sebuah tulisan menarik yang dikaji
oleh seorang profesor di Tokyo University, sayang penulis lupa namanya. Ada tiga gaya kerja
Jepang yang menyebabkan karyawan-karyawan perusahaan Jepang sulit untuk hidup dengan
“work-life balance”.

1) Pengambilan keputusan diambil secara kolektif


Di Jepang, saat pengambilan keputusan harus dilakukan dalam sebuah proyek, biasanya
seluruh anggota tim dikumpulkan untuk ditanyai pendapatnya satu per satu, didengarkan,
didiskusikan, lalu kemudian diputuskan melalui kesepakatan bersama. Ini yang
menyebabkan pengambilan keputusan Jepang biasanya agak lama dan memakan waktu.
Berbeda dengan Eropa, di mana pengambilan keputusan diserahkan saja kepada orang yang
bertanggung jawab dengan proyeknya langsung. Jelas lebih cepat. Dalam budaya kerja
Jepang, porsi tanggung jawab dibagi-bagi, sehingga beban tanggung jawab kerja tak hanya
dipikul oleh satu orang saja. Inilah gotong royong ala Jepang, beban dibagi bersama-sama,
sehingga semua merasa sebagai satu tim.

2) Setiap pekerja tidak diberikan role pekerjaan yang jelas


Akibat role pekerjaan yang tidak jelas, semakin hebat dan terampil seorang pekerja di Jepang,
semakin banyak pula ia akan diberi pekerjaan. Misalnya, seorang software engineer yang
biasanya membuat software, tak selamanya hanya menuliskan kode-kode di layar komputer.
Jika ia juga punya kemampuan hebat dalam presentasi, ia akan dipercaya untuk memberikan
presentasi di depan para pelanggan. Belum lagi dengan aturan-aturan di pabrik Jepang yang
super ketat, jika mampu, ia juga akan diberi tanggung jawab mengawasi pekerja-pekerja
yang melanggar aturan, seperti mengenakan earphone saat bekerja, berlari di dalam kantor,
atau bahkan memasukkan tangan ke kantong celana. Ya, memasukkan tangan ke kantong
celana termasuk pelanggaran dan bisa menyebabkan kecelakaan kerja.
Namun berbeda dengan pekerja yang tak terampil, tentu pekerjaannya akan itu-itu saja.
Penghargaan akan terlihat nantinya pada jam kerja, biasanya pekerja yang seperti ini hanya
memiliki jam kerja sedikit, dan sudah barang tentu gajinya menjadi lebih kecil dibandingkan
dengan yang terampil. Berbeda dengan Eropa, yang memiliki batasan-batasan kerja yang
cukup jelas untuk pekerjanya. Seorang pekerja di Eropa biasanya tahu ia bisa pulang setelah

86
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

pekerjaan A atau B selesai di suatu hari. Tapi di Jepang, setelah menyelesaikan pekerjaan A,
seolah-olah pekerjaan lain datang silih berganti dari B sampai Z bagaikan aliran gelombang
tsunami, sehingga ketika tersadar waktu sudah menunjukkan tengah malam.

3) Dokumentasi serinci mungkin


Jepang terkenal dengan kegemarannya terhadap hal-hal detail, termasuk dalam hal
dokumentasi. Terkadang informasi-informasi yang tidak diperlukan pun dimasukkan,
karena terlalu mementingkan volume atau banyaknya jumlah halaman. Berbeda dengan
Eropa, yang biasanya cukup memasukkan hal-hal yang penting di dalam suatu dokumentasi,
walaupun terlihat tipis halamannya. Namun, cara orang Jepang menjelaskan sesuatu
sangatlah bagus, runut, mudah dipahami, dan harus bisa dimengerti oleh orang-orang awam
yang baru pertama kali membaca dokumennya. Kualitas dokumen Jepang memang sangat
baik, walaupun biasanya banyak terjadi kesalahan penulisan kalau dokumennya berbahasa
Inggris (baca: salah ketik. Penulisan dokumen yang sangat rinci ini didasari semangat agar
generasi penerus dibawahnya bisa mengerti dan melanjutkan peran para seniornya.

3. 3. 3. Gotong Royong saat Gempa


Gotong royong tak hanya terjadi di dalam kantor, tapi memang sudah membudaya di seantero
negeri. Penulis sangat tersentuh dengan apa yang terjadi saat gempa besar 11 Maret 2011. Masih
sangat jelas di ingatan penulis ketika masih belajar di sekolah bahasa Jepang sekitar daerah
Yokohama pukul 3 sore, tiba-tiba lantai kelas bergetar. Awalnya terasa lucu buat penulis yang
jarang merasakan gempa ini. Badan bergoyang secara alami, berjoget-joget bukan diiringi musik
dangdut melainkan bunyi-bunyian meja dan kursi yang berderit. Tapi lama kelamaan, getaran
gempa semakin besar dan membuat murid-murid di kelas ketakutan.
Sesuai instruksi guru bahasa Jepang, kami berlindung di bawah meja belajar dan pintu
dibiarkan terbuka sesuai prosedur Jepang saat terjadi gempa. Namun getaran semakin hebat lagi,
membuat badan kami terlempar ke sana kemari. Akhirnya kami berlari ke lobi gedung, katanya
kalau berada di gedung bertingkat saat gempa, paling aman memang daerah lobi, konstruksinya
paling kuat dan paling kecil kemungkinannya untuk roboh. Saat melihat ke arah jendela luar,
suasana sangat mencekam, tiang-tiang listrik yang tinggi menari-nari, bergoyang seolah siap
roboh menimpa siapa saja yang ada di bawahnya. Belum lagi ditambah asap kebakaran yang
membubung tinggi di angkasa, mencekam langit Negeri Sakura. Suasana seperti ini saja sudah
jadi mimpi buruk penulis selama berhari-hari, apalagi kengerian hari berakhirnya dunia nanti.
Membayangkannya saja tak berani.
Listrik satu kota mati dan sistem transportasi lumpuh total. Penulis dan teman-teman pulang
ke rumah dengan berjalan kaki selama empat jam. Selama seminggu, setiap hari ada minimal
tiga kali gempa susulan yang cukup membuat panik orang-orang seperti penulis yang tak
terbiasa merasakan gempa. Beruntungnya ini Jepang, gedung dan tembok sudah didesain
supaya tahan gempa. Apa jadinya kalau salah satu gempa terbesar dunia ini terjadi di Indonesia.

87
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Ini bukan saja sekadar musibah gempa, tapi ditambah pula dengan musibah nuklir.
Pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) tertua di Jepang, Fukushima, meledak dan radiasinya
bocor. Seluruh penduduk Jepang dibuat panik dan heboh. Pemerintah Jepang memberi instruksi
untuk mematikan seluruh PLTN yang ada di Jepang. Jepang yang dikenal dengan negeri miskin
sumber daya alam, mengandalkan PLTN untuk memenuhi hampir seluruh kebutuhan listrik
wilayahnya. Kalau PLTN dimatikan, artinya Jepang krisis energi! Hari-hari gelap dan cemas
menghantui penduduk Jepang, mental penduduk sangat jatuh. Tapi di sini justru penulis melihat
keluhuran budaya gotong royong ala Jepang.
Mendadak iklan-iklan di televisi dan radio dipenuhi oleh bintang-bintang sepak bola
kesebelasan Jepang, “The Samurai Blue”. Mereka berkoar-koar, “Jepang adalah satu tim! Kita
pasti bisa melalui ini bersama-sama”. 日本はひとつチームなんです!(Nihon wa hitotsu chiimu
nandesu!). Untuk membantu pemulihan Fukushima, sebisa mungkin listrik yang seadanya
dialirkan semua ke sana. Listrik di kota-kota lain, seperti Tokyo dan Yokohama, harus dihemat
sebanyak-banyaknya.
Entah efek kata-kata penyemangat dari bintang sepak bola, atau memang sudah wataknya,
semua orang menurut saja. Dimulai dari lift di tempat tinggal penulis yang dimatikan oleh kepala
gedung. Biasanya ada dua lift yang selalu dipakai setiap hari naik turun ke lantai 6, kali ini hanya
ada satu untuk menghemat listrik. Kalau kita jalan ke pusat perbelanjaan, tak ada lift dan
eskalator yang dinyalakan. Semua pengunjung dipaksa naik turun lantai dengan tangga biasa,
dan penulis tak pernah melihat satupun dari mereka protes. Yang paling boros tentunya
konsumsi daya pendingin di gedung-gedung. Biasanya saat musim panas, suhu kota-kota Jepang
jauh melebihi panasnya kota Jakarta. Tapi demi menghemat listrik, temperatur AC pendingin
dinaikkan minimal ke 28 derajat. Kalau bisa dimatikan dan diganti kipas angin saja biar lebih
hemat. Dan masih banyak lagi usaha-usaha lain untuk menghemat listrik, tak terasa hari-hari
berat itu berhasil dilewati, empat tahun telah berlalu sejak musibah terjadi.
Fukushima berangsur-angsur pulih, walaupun tak seperti dulu, tapi pemulihan berlangsung
cepat dan sigap. Hari-hari hemat listrik tetap berlangsung dan sudah jadi bagian dari kebiasaan
penduduk Jepang sekarang. Lagi-lagi ini semua bukan berkat pemerintah saja, atau perdana
menteri Jepang saja, tapi gotong royong seluruh penduduk Jepang untuk melewati hari-hari
berat musibah ini. Semoga Jepang cepat kembali seperti sedia kala.
Seperti yang kebanyakan murid sekolah dasar pelajari di pendidikan Pancasila, karakter
utama rakyat Indonesia yang paling bernilai adalah semangat gotong royong. Gotong royong
membangun jembatan penyeberangan sungai di desa, membantu nenek tua menyeberang jalan
raya, dan kerja bakti membersihkan sampah-sampah di kompleks perumahan. Hampir semua
murid sekolah dasar hafal betul dengan contoh-contoh seperti ini. Tapi justru penulis melihat
semangat gotong royong kita masih kalah sangat jauh dengan semangat orang-orang Jepang.
Penulis tidak menyalahkan penduduk kita yang sangat heterogen, beragamnya suku, budaya,
dan golongan kita. Realitanya, semangat gotong royong itu semakin lama semakin padam,
terutama di daerah kota-kota besar Indonesia yang detik kehidupannya sangat cepat. Orang-
orang sekarang cenderung egois. Hanya memikirkan kepentingan diri sendiri tanpa peduli
akibatnya bagi masyarakat luas. Tak punya respek terhadap orang-orang lain, apalagi terhadap
88
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

yang punya pandangan berbeda. Indonesia harus kembali menyalakan api semangat gotong
royong yang dulu sempat berkobar, supaya kita jadi negara besar yang disegani dunia. Semoga
tulisan singkat tentang gotong royong Jepang mampu menggugah pikiran kita, atau sedikitnya
merintis ide sederhana, untuk mengembalikan semangat gotong royong ala Indonesia.

89
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

BAB 4
KEPUASAN PELANGGAN – OMOTENASHI – おもてなし

Fidens Simanjuntak, Inez Angelixa, Teguh S. Anugeraha

Sebagaimana sudah banyak dikenal masyarakat, kepuasan pelanggan terhadap produk buatan
Jepang sangatlah tinggi. Tingginya tingkat kepuasan ini, terwujud tidak hanya dikarenakan
kualitasnya saja, tetapi juga mencakup diantaranya distribusi, keamanan produk, serta
pelayanan konsumen.
Dalam bab ini, akan dibahas berbagai contoh konkret mengenai upaya-upaya yang dilakukan
oleh industri di Jepang untuk mendapatkan kepuasan dan kepercayaan pelanggan, yang
tentunya akan berpengaruh pada tingginya angka penjualan dan profit perusahaan.
Ada satu prinsip pelayanan di Jepang yaitu “omotenashi” yang menjadi salah satu kunci
keberhasilan mereka dalam meraih kepuasan dan kepercayaan pelanggan. Dengan prinsip ini,
tidak hanya kepuasan pelanggan, tetapi “pembelian berulang” menjadi hal yang sangat penting
untuk diwujudkan.
Sebagai professional di berbagai bidang industri di Jepang, penulis-penulis pada bab ini akan
menyampaikan pengalaman-pengalaman pribadinya yang dapat diambil manfaat dan pelajaran
berharga untuk kemajuan industri di Indonesia. Berbagai contoh aktual dapat diterapkan di
Indonesia, tentunya dengan adaptasi yang disesuaikan dengan budaya Indonesia.

4. 1. Pelanggan adalah Raja

Pembaca pasti sudah sering mendengar istilah ini. Pelanggan adalah raja atau pelanggan nomor
satu. Namun sayangnya lebih dari 90% pengusaha ritel di Indonesia, yang notabene
berhubungan langsung dengan para pelanggan, tidak menerapkan “mantra” ini dalam
keseharian bisnisnya.

Mengapa demikian?

Penyebabnya bisa dikatakan ada di dua belah pihak, yaitu di pihak pembeli dan di pihak penjual.
Pertama-tama, konsumen Indonesia sudah terbiasa dengan pelayanan yang “seadanya”. Mereka
tidak tahu standar pelayanan yang lebih baik, sehingga rela begitu saja kendati diberikan
pelayanan yang kurang nyaman. Sebagian kecil orang memang mungkin memprotes hal tersebut.
Tapi bisa dibilang hampir semua konsumen di Indonesia menerima hal tersebut sebagai hal yang
biasa.
Di lain sisi, pihak penjual juga kurang mau berusaha untuk meningkatkan pelayanannya,
dikarenakan tidak harus repot-repot pun pembeli tetap mengalir masuk.

90
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Akan tetapi kondisi seperti ini hanya bisa bertahan selama kondisi persaingan tidak terlalu ketat.
Saat ini Indonesia sedang mengalami bonus populasi, di mana jumlah penduduk muda akan
terus bertambah. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka jumlah konsumen pun akan
terus bertambah. Beruntung bagi para penjual, iklim persaingan bisnis di Indonesia tidak terlalu
beringas jika dibandingkan dengan kondisi di Jepang di mana jumlah penduduknya sudah
semakin berkurang yang artinya jumlah konsumen menurun.
Namun, belakangan ini Indonesia disorot sebagai tempat investasi yang menjanjikan oleh
pihak asing. Seiring dengan masuknya modal asing, standar pelayanan yang biasa diterapkan di
luar negeri, mau tidak mau akan terbawa masuk ke Indonesia pula. Ini menyebabkan persaingan
dalam memberikan pelayanan yang baik, akan ikut terdongkrak juga. Para pemain lokal sudah
tidak bisa berdiam diri saja, dan harus mulai berbenah diri agar bisa memenangkan persaingan.

4. 1. 1. Pelayanan Konsumen Terbaik Ada di Jepang


Apabila ada orang bertanya pada penulis, apa yang membuat nyaman tinggal di Jepang, salah
satu jawaban yang pasti akan penulis lontarkan adalah, pelayanan terhadap konsumen, atau
biasa disebut dengan istilah omotenashi. Jawaban ini berdasarkan pada pengalaman penulis
tinggal di Jepang bertahun-tahun dan juga pengalaman rekan-rekan orang asing tinggal di
Jepang. Penulis sendiri juga pernah mengunjungi negara selain Jepang, dan memang hanya di
Jepang yang memberikan pelayanan dengan standar yang tinggi.
Penulis mau memberikan sebuah contoh omotenashi yang sangat ekstrim, yang kebetulan
penulis temui dikehidupan sehari-hari. Saat itu kebetulan penulis sedang berlibur ke daerah
yang bernama Yokosuka, kurang lebih 50 km dari tempat tinggal penulis, Tokyo. Di sana penulis
menyempatkan diri untuk berkunjung ke sebuah toko buku lokal. Biasanya dari melihat tata
buku di toko tersebut, kita bisa mengetahui jenis buku apa yang laku di daerah tersebut, dan itu
bisa menjadi salah satu barometer dari karakteristik daerah tersebut.
Kali ini penulis tidak akan bercerita bagaimana cara mereka menata buku sedemikian rupa
sehingga bisa meningkatkan penjualan buku, tapi penulis mau berbagi cerita yang terekam baik
dalam satu foto kamera (Gambar 4-1) ini.

91
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Gambar 4-1. Omotenashi ekstrim

Sekilas, pria yang di foto Gambar 4-1 ini terlihat seperti pengunjung biasa-biasa saja, tapi
sebenarnya, pria ini adalah seorang homeless. Kalau pembaca perhatikan lebih saksama, akan
terlihat kalau sang pria ini memakai celana yang sobek di bagian pas di bawah kantok plastik
yang dibawanya. Lalu dia memakai sandal kumal, yang memerlihatkan kakinya yang hitam kotor.
Intinya dari penampilannya, bisa diduga bahwa dia tidak akan membeli buku di toko tersebut.
Kalau situasi ini terjadi di Indonesia, hampir pasti sang pria ini sudah diusir terlebih dahulu
oleh penjaga toko (atau satpam) jauh-jauh sebelum dia bisa menginjak lantai toko buku.

92
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Lantas apakah yang terjadi di toko buku kecil ini? Seperti yang terlihat di foto, pegawai toko
tersebut dengan sabarnya mencarikan buku yang dicari oleh sang pria, dan tidak mengusirnya
dari toko tersebut.
Bayangkan apa yang terjadi apabila pegawai toko itu berkata dengan suara lantang, “Anda
mau beli atau cuman nanya-nanya aja?”, “Sanggup beli gak nih? Kalau gak punya uang, jangan
nanya-nanya!”. Pengunjung lain yang kebetulan mendengar, tentunya akan kaget dan bertanya-
tanya, apa yang terjadi. Bahkan mungkin nantinya bisa menyebar isu-isu, kalau pegawai toko
buku tersebut tidak sabar melayani dan judes terhadap pengunjung toko.
Kali ini pegawai toko buku tersebut berhasil menyelamatkan citra tempat dia bekerja dengan
mungkin sedikit mengorbankan perasaan dan pikirannya.
Kehebatan pelayanan di Jepang, tidak hanya sampai di situ saja. Mereka juga berani menelan
kerugian material demi memertahankan tingkat pelayanannya.
Contohnya adalah kisah yang penulis alami dengan toko yang menjual produk kue bernama
“Harajuku Roll”. Kebetulan teman penulis berkunjung ke Jepang dan ingin membeli produk ini.
Mereka berkunjung ke toko tersebut dan memesan satu potong kue untuk dibungkus pulang.
Hari ini adalah hari terakhir mereka di Jepang sebelum besok berangkat pulang dan mereka
ingin menikmati kue ini di makan malam terakhir mereka di Jepang.

Gambar 4-2. Kue khas Jepang “Harajuku Roll”

Setelah makan malam, penulis dan teman penulis, membuka kotak kue Harajuku Roll ini dan
mendapatkan kuenya seperti sudah setengah dimakan. Kami terheran-heran dengan apa terjadi.
Tak berapa lama kemudian kami putuskan untuk menghubungi toko tersebut dan menanyakan
mengapa pesanan kue kami tidak sesuai yang diinginkan.
Belum kami selesai menjelaskan situasi kue yang kami beli, pegawai toko kue tersebut
langsung meminta maaf dan menjelaskan bahwa kue yang mereka berikan pada teman penulis
itu adalah kue milik pelanggan lain yang ingin membawa pulang sisa kue yang dia makan di toko

93
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

tersebut (karena tidak habis). Mereka mohon maaf dan berjanji akan mengganti dengan kue
yang baru bila teman penulis berkunjung lagi ke toko mereka.
Namun penulis kemudian menjelaskan bahwa teman penulis ini tidak sempat ke toko
mereka karena besok harus menyiapkan kepulangannya. Mendengar situasi ini, sang pegawai
toko kemudian meminta waktu sebentar untuk berkonsultasi dengan manajer toko tersebut,
dan berjanji akan menghubungi penulis lagi.
Tak berapa lama kemudian, manajer toko menelepon penulis kembali dan menawarkan
untuk mengantarkan kue yang baru sampai ke tempat kami dan kami menerima penawaran
darinya. Keesokan harinya teman penulis mendapatkan kuenya yang baru, diantarkan langsung
oleh sang manajer toko, seperti yang dijanjikan.
Contoh lainnya adalah ketika penulis bermaksud membeli kue ulang tahun untuk kawan.
Penulis pergi ke sebuah toko kue kemudian menunjuk salah satu kue yang diinginkan, penjaga
toko tidak hanya membungkuskannya, tetapi juga memberi label tanggal kadaluarsa, dilengkapi
dengan satu kemasan kecil es pendingin agar kue tetap segar, dan ketika mereka mengetahui
bahwa kue tersebut adalah untuk ulang tahun, mereka tambahkan beberapa batang lilin hias
dan kartu ucapan sebagai bonusnya, kemudian dikemas lagi dengan kantong jinjing yang pantas,
dan kuenya dibawakan hingga pintu depan toko, lalu diberikan dengan penuh senyuman dan
ucapan terima kasih yang tulus.
Dengan pelayanan seperti ini, mereka menciptakan suasana yang nyaman dan
menyenangkan, harga mahal pun jadi di anggap wajar. Bahkan membuat penulis ingin kembali
beli kue di toko yang sama. Jika hal ini dialami semua pelanggan, kemungkinan besar pelanggan
pun akan terus bertambah, apalagi jika ditambah dengan inovasi-inovasi baru dalam produk
ataupun pelayanan mereka.
Itulah beberapa contoh di mana sebuah bisnis rela berkorban secara material (waktu dan
tenaga) demi kepuasan pelanggan. Hal ini memang tidak akan memberikan hasil yang instan,
tapi niscaya akan membuahkan hasil yang positif bagi bisnis tersebut di masa depannya.
Kepuasan pelanggan memang tidak hanya terjadi sesaat ketika transaksi berlangsung,
diantaranya adalah layanan purna jual atau after service/after-sales service yang juga
berpengaruh pada kepuasan konsumen. Misalnya penanganan claim Harajuku Roll diatas yang
memberikan kepuasan terhadap pelanggan, sehingga tidak akan kapok atau jera untuk membeli
produknya lagi di kemudian hari.

4. 1. 2. Apa yang Indonesia bisa Lakukan untuk Mendekati Level Pelayanan di Jepang
Pertama-tama bisnis di indonesia perlu menggalakkan revolusi mental pelayanan terutama
pada divisi-divisi yang langsung berhubungan dengan calon pembeli produk dari bisnis tersebut.
Bisnis baik kecil, menengah mau pun besar, perlu memberikan pada karyawannya,
pengarahan yang berulang dengan isi pesan yang konsisten, bahwa masing-masing individu
adalah wakil/wajah dari bisnis tersebut, dan mereka adalah bagian dari usaha
marketing/promosi bisnis tersebut. Pengarahan yang berulang ini sangatlah penting mengingat
manusia dapat dengan mudahnya menjadi lupa. Akan tetapi, apabila pesan yang sama

94
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

disampaikan berulang-ulang, maka pesan tersebut akan menjadi bagian dari diri manusia
tersebut.
Sebagai contoh konkr3t, sebuah bisnis dapat meminta karyawannya untuk latihan memberi
salam bagi pelanggan atau sesama rekan kerja. Latihan ini biasanya diadakan pagi-pagi sebelum
kerja dimulai. Latihan seperti ini boleh dikatakan hal yang lumrah dilaksanakan di Jepang, baik
di bisnis yang bersifat layanan, maupun juga di pabrik-pabrik yang memproduksi produk.
Setiap karyawan bisa diminta bergilir untuk memimpin latihan dengan mengucapkan
“Selamat pagi”, “Selamat datang”, “Terima kasih” yang kemudian diikuti oleh karyawan yang lain.
Selain para karyawan menjadi terbiasa dengan mengucapkan salam tersebut, dengan memimpin
latihan, dalam diri mereka bisa tumbuh rasa tanggung jawab, karena masing-masing pernah
menjadi “pemimpin” latihan untuk menjadi seorang “pelayan”. Niscaya akan muncul rasa
tanggung jawab bagi mereka untuk menjalankan apa yang mereka “ajarkan” pada orang lain.
Akan tetapi tentu saja penerapan di lapangan harus diperiksa. Harus ada yang berani
menegur para karyawan yang tidak melaksanakan apa yang sudah ditetapkan, dalam hal contoh
di atas, pengucapan salam yang benar. Dengan begini dalam suasana kerja ada sedikit tensi atau
stress yang bersifat positif.
Contoh yang penulis alami sendiri misalnya, pelayanan di Pizza Hut. Para pelayannya dengan
ramah menyambut para pelanggan. Kemudian, sewaktu menerima order dari pelanggan,
mereka memberikan salam sambil sedikit menekukkan lutut dan meletakkan tangan kanannya
di dada, memberikan hormat pada pelanggannya.
Sampai di sini, pelayanan mereka bagus. Akan tetapi, setelah mereka kosong dari kerjaan,
mereka stand-by dengan posisi berdiri yang tidak tegak, tidak memperhatikan apakah ada
pelanggan yang membutuhkan perhatiannya. Bahkan mereka terkadang ngobrol satu sama lain.
Hal ini lah yang masih kurang jika dibandingkan dengan pelayanan di Jepang, dimana meskipun
mereka stand-by, tetap saja mereka celingak-celinguk untuk memperhatikan apakah ada
pelanggan yang membutuhkan bantuan mereka. Perhatian diberikan sedemikian rupa sehingga
sebelum pelanggan memanggil, mereka sudah menyampiri sang pelanggan tersebut terlebih
dahulu.
Alangkah baiknya apabila Pizza Hut menyediakan orang yang memerhatikan bagaimana
praktek pelayanan karyawannya di lapangan, memperbaiki pelayanan tersebut pada saat
kekurangan terjadi, sehingga mereka diingatkan secara rutin.
Apabila revolusi mental melalui penanaman keyakinan yang berulang-ulang secara rutin
dapat dijalankan dengan baik, sehingga masing-masing individu karyawan percaya bahwa ia
adalah wakil/wajah dari bisnis ini dan peranan dirinya sangat penting demi kemajuan
perusahaan, niscaya level pelayanan di Indonesia akan dapat berkembang lebih baik.
Dan setelah pondasi pelayanan ini cukup kuat, barulah perusahaan dapat membawa level
pelayanannya ke tingkat berikutnya dengan memberikan wewenang kepada karyawannya
untuk mengambil keputusan sendiri dalam hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan
kepuasan pelanggan. Seperti yang dilakukan oleh Harajuku Roll pada manajer tokonya.

95
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

4.2. Lebih dari Sekedar Kepuasan Pelanggan

Sejak lulus kuliah, penulis (Inez Angelixa) mendapat kesempatan untuk bekerja di salah satu
perusahaan manufaktur otomotif Jepang yang terkenal dengan mobil “kotak sabun”nya.
Mengapa kotak sabun? Karena mobil-mobil ini bentuknya kotak persis seperti kotak kemasan
sabun batangan.
Mobil ini di sebut keijidousha atau small car. Small car memiliki kapasitas 660 cc dan hanya
dapat dinaiki empat orang. Kalau jalanan menanjak, bagai lansia, langsung ngos-ngosan. Mobil-
mobil ini hanya dapat di pakai di Jepang yang jalanannya memang sempit, orang orang nya
teratur alias tidak ngebut-ngebutan atau mengambil jatah pejalan kaki dan pengguna sepeda,
serta yang paling penting: BEBAS BANJIR. Jika mobil ini digunakan di Jakarta, mungkin mobil
kotak sabun yang tingginya hanya 2 m ini bisa langsung tenggelam karena bengisnya banjir ibu
kota.
Nilai positif dari small car ini adalah ramah lingkungan dan hemat bensin. Walau bentuknya
seperti kotak sabun, kalau dilihat lihat lebih lama, ‘kok imut juga’, sehingga lumayan mengambil
hati para pengemudi wanita. Sedangkan opini para pengemudi pria Jepang umumnya, "seorang
lelaki tidak pantas mengemudikan mobil kecil". Demi mengambil hati para pelanggan pria,
perusahaan tempat penulis bekerja pun giat mendesain mobil kecil dengan model sporty dan
mesin turbo. Sehingga di jalanan Jepang, kita dapat melihat ada dua tipe small car, yaitu tipe
yang kawaii atau imut dan tipe small car yang gahar dan macho. Hal ini adalah contoh singkat
tentang pentingnya konsep Konsumen adalah Raja (customer first) di perusahaan Jepang.
Perusahaan-perusahaan Jepang memang terkenal dengan slogan customer first. Sempat
penulis merasa kalimat itu berlebihan. Di mana-mana, dalam bisnis pasti konsumen adalah raja.
Tetapi setelah menjalankan training di sebuah dealer (showroom) mobil selama tiga bulan,
penulis dapat mengerti bahwa customer first di Jepang ini memang berbeda. Training ini penulis
alami ketika masih dalam tahap pendidikan karyawan baru. Pada tahap ini, setahun pertama
para karyawan baru hanya menjalankan training atau pelatihan. Setahun penuh, tanpa lembur,
tanpa tanggung jawab besar, dan tetap menerima gaji penuh. Salah satu training yang harus
dilalui di antaranya adalah pelatihan sales di dealer mobil.

4. 2. 1. Keseharian Dealer Mobil


Pertama-tama, mari kita telaah secara rinci apa saja yang ada di dalam sebuah dealer mobil di
Jepang. Kurang lebih tidak ada perbedaan dengan yang ada di Indonesia. Dealer dibagi menjadi
dua bagian:
• Showroom tempat memamerkan mobil dan jual-beli mobil
• Bengkel tempat berbagai servis mobil, semacam ganti oli dan lain-lain tempat teknisi bekerja.

Seperti halnya di Indonesia, di dalam show room, terdapat meja tempat para salesman bekerja
dengan komputernya, kids’ corner atau pojok tempat bermain anak-anak lengkap dengan segala

96
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

macam mainan-mainannya, dan meja untuk para pelanggan menunggu mobilnya yang sedang
diganti olinya atau service lainnya.
Yang menarik di sini adalah, dekorasi atau hiasan yang memeriahkan toko biasanya dibuat
oleh tangan para karyawan dealer itu sendiri. Biasanya dekorasi toko disesuaikan dengan
musim. Contohnya di musim panas, bunga matahari dipajang di meja tempat konsumen duduk.
Lalu di tembok akan ditempel paper-art dengan bentuk kembang api dan semangka. Pokoknya
dibuat sesemarak dan seceria mungkin.
Untuk salesman/woman dan manajer, baik lelaki maupun perempuan, semua berjas rapi,
bersih, dan necis. Sales woman mengenakan riasan sepantasnya, tidak tebal sampai terlihat
seperti memakai topeng dan tidak tipis sehingga terlihat sakit, sedangkan salesman
mengenakan dasi, tidak berjenggot dan berkumis, dengan sepatu yang selalu disemir mengkilap.
Untuk teknisi, kalau sudah luar biasa kotor kecipratan oli, diwajibkan ganti baju, karena kesan
pertama menentukan segalanya.

4. 2. 2. Kegiatan Toko
Pada umumnya jam buka dealer adalah pukul 9 waktu setempat. Tentunya untuk persiapan,
seluruh karyawan sudah hadir di toko kurang dari pukul 9. Manajer biasanya sudah duduk manis
di depan komputer dari pukul 8.

Begini kira-kira rentetan kegiatan satu hari di dealer mobil di Jepang:

1) Pukul 8 Pagi
Berkumpul, kemudian membersihkan toko, seperti menyapu dan mengepel seluruh toko,
membersihkan kids’ corner, menyikat toilet tamu, mengelap meja dan kursi tamu. (Ingat! di
Jepang, tidak ada office boy atau asisten bersih-bersih. Semua kegiatan bersih-bersih ini
dilakukan oleh manajer sampai salesman)

2) Pukul 8:30 Pagi


Senam pagi, lalu dilanjutkan dengan meeting pagi. Biasanya di meeting pagi, ada
latihan aisatsu atau mengucapkan salam. Kurang lebih selama 3 menit, semua orang akan
teriak teriak ‘Selamat datang, ‘Terima kasih’, ‘Silakan datang kembali’ tidak lupa dengan
senyum lebar tiga jari.

3) Pukul 8:45 Pagi


Meeting pagi para salesman. Biasanya membicarakan target penjualan harian atau bulanan.

4) Pukul 9:00 Pagi


Dealer buka dan tamu mulai berdatangan. Ada satu hal lagi yang menarik, yaitu setiap
sebulan sekali ada kegiatan studygroup atau kegiatan belajar kelompok yang diikuti oleh
semua salesman. Biasanya membahas tentang mobil-mobil baru di pasar otomotif, dan juga

97
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

mengadakan role-play atau latihan mempromosikan/menjual/menjelaskan produk mobil di


dealer. Seperti membuat mini drama. Ada yang berpura-pura menjadi pembeli dan penjual.
Nantinya semua peserta termasuk manager akan memberikan masukan tentang cara bicara
ataupun gesture yang baik untuk yang berperan menjadi penjual. Untuk salesman/woman
baru, latihan ini sangat berguna untuk meningkatkan performa penjualan.

4. 2. 3. Customer First
Persaingan bisnis di jepang amatlah ketat. Bagaimana tidak? Laju pertumbuhan penduduk
Jepang saja sangat lambat. Di perusahaan penulis saja, rata-rata para bos dan karyawan hanya
mempunyai anak semata wayang, atau paling banyak dua orang. Berdasarkan fenomena
tersebut, maka timbul gosip bahwa beberapa puluh tahun lagi, orang jepang akan habis. Nah
kalau penduduknya habis, siapa yang akan membeli barang?
Karena konsumen di dalam negeri Jepang semakin terbatas, maka untuk memertahankan
kelangsungan bisnis, setiap perusahaan wajib menjaga hubungan baik mereka dengan
pelanggan, agar pelanggan terus memakai jasa/produk perusahaan tersebut dan tidak pindah
hati ke perusahaaan lain.
Dalam perusahaan manufaktur otomotif, perusahaan tidak hanya mengandalkan
keuntungan dari jual beli-mobil saja, tetapi juga dari service lainnya. Seperti service perawatan
mobil: ganti oli, spare parts, pemeriksaan berkala, ganti baterai untuk remote mobil, dan lain-
lain. Seandainya pelanggan memilih untuk mengganti oli tidak di dealer resmi, maka pendapatan
akan berkurang. Dengan kata lain pendapatan perusahaan secara keseluruhan pun berkurang.
Bisnis mobil tidaklah berhenti ketika jual beli mobil sukses dilakukan. Bisnis mobil yang baik
harus dapat menarik pelanggan baru untuk membeli mobil dan menjaga kesetiaan pelanggan
lama untuk terus melakukan perawatan mobil di perusahaan yang sama. Oleh karena itu, selain
menarik pelanggan baru, perusahaan juga berusaha setengah mati untuk mempertahankan
pelanggan lama dengan cara apapun.
Mari kita bahas satu persatu cara-cara perusahaan manufaktur Jepang berjuang menarik
pelanggan baru dan mempertahankan pelanggan lama di dalam persaingan bisnis yang ketat.

4. 2. 4. Aspek Keselamatan
Keamanan dan keselamatan pelanggan adalah nomor satu. Bayangkan, ketika mobil sedang
berlari di jalanan, dan tiba- tiba remnya blong. Hal tersebut pastinya 100% membahayakan
nyawa pengendara mobil. Dapat dipastikan reputasi perusahaan mobil tersebut terancam rusak.
Mana ada konsumen yang mau menggunakan mobil yang tidak aman. Untuk memastikan tingkat
keamanan dan keselamatan pengguna mobil, dealer mobil banyak memberikan perhatian
khusus kepada para pelanggannya.
Mari kita lihat contoh kasus recall mobil Daihatsu akibat malfungsi pada sensor mesin di
tahun 2013. Recall merupakan bentuk tanggung jawab sebuah perusahaan atas produk yang
dijualnya. Pada dasarnya recall dilakukan jika ada masalah yang menyangkut keamanan (safety)
yang membahayakan. Namun, recall juga bisa dilakukan sebagai bentuk pelayanan special dari

98
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

sebuah perusahaan kepada pelanggannya. Seusai dengan namanya, recall berarti memanggil
pelanggan untuk kembali membawa mobil yang sudah dibelinya ke perusahaan pembuat atau
penjualnya untuk dilakukan perbaikan secara gratis.
Salah satu contoh bentuk panggilan/recall itu adalah jika ada gangguan sensor dalam mesin
yang dapat membuat mobil tiba-tiba tidak bisa dinyalakan. Sebenarnya sensor di dalam mesin
tersebut belum rusak parah sampai menyebabkan kecelakaan atau bahaya lainnya. Tetapi, demi
kepuasan pelanggan, tidak boleh ada satu ketidaksempurnaan yang luput dari mata. Semua yang
rusak harus diperbaiki. Oleh karena itu, perusahaan biasanya menyebarkan ratusan kartu pos
panggilan untuk para pelanggan agar datang lagi ke dealer terdekat untuk menukarkan sensor
mesinnya dengan yang baru. Semua biaya untuk penukaran ini ditanggung 100% oleh
perusahaan, pelanggan hanya tinggal datang dan menunggu proses yang hanya memakan waktu
20-30 menit saja.
Walaupun sudah diiming-imingi pergantian produk yang lebih baik tanpa biaya, tidak semua
pelanggan datang dengan senang hati. Beberapa pelanggan malah mengomel (baik via telepon
atau ketika datang)
Misalnya:
"Sibuk, tidak ada waktu!"
"Sudah bayar mahal, kok tidak sebanding dengan kualitas?"

Yah begitulah, karena bekerja diperusahaan Jepang yang memegang penting slogan
"pelanggan adalah raja", di telan lah semua omelan dan protes. Dengan sabar, sambil meminta
maaf puluhan kali, setiap pelanggan diberi penjelasan satu persatu tentang mengapa pergantian
sensor itu penting dan juga bagaimana proses pergantian sensor.
Dalam bisnis, yang memiliki peran utama adalah pelanggan. Produk yang membahayakan
nyawa pelanggan akan menghancurkan kredibilitas perusahaan. Karenanya, keselamatan
pelanggan wajib dinomorsatukan

4. 2. 5. Aspek kepuasan
Di awal sudah di jelaskan bagaimana keseharian di dalam dealer. Lalu bagaimana detailnya
ketika menerima tamu yang datang? Berikut ini hal-hal yang biasanya dilakukan.
1) Mengecek daftar pelanggan yang sudah punya reservasi pada hari tersebut
Setiap harinya, dealer sudah memiliki daftar reservasi pelanggan yang akan datang pada hari
tersebut. Biasanya daftar tersebut berisikan nama, nomor plat mobil, serta maksud
kedatangan pelanggan (ganti oli, dll). Seisi toko dari manajer, salesman/woman, sampai
karyawan di bengkel wajib membaca daftar tersebut.

2) Menyambut pelanggan yang datang


Ketika dari jarak tiga meter sudah terlihat ada mobil memasuki area parkiran, cek plat nomor
dengan daftar reservasi pelanggan. Lalu, salesman/woman berlari lari (berjalan pun boleh,

99
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

tetapi kalau berlari akan memberi kesan 'kami menyambut anda dengan semangat')
menyambut kedatangan pelanggan.
Tidak lupa membawakan payung, kalau turun hujan.
Tahap berikutnya adalah salesman/woman akan membantu pelanggan memarkir mobilnya.
Ketika pelanggan turun dari mobilnya, pelanggan akan disambut dengan senyuman lebar
"Selamat datang Bapak Yamada! Terima kasih telah meluangkan waktunya untuk mengganti
oli di dealer kami"

3) Mengantar tamu ke meja tunggu


Sambil menunggu proses ganti oli, pelanggan dipersilahkan menunggu di meja yang ada.
Salesman/woman atau bahkan manager akan menyuguhkan minuman dan panganan kecil
untuk pelanggan. Apabila pelanggan membawa anak kecil, maka akan disuguhkan minuman
dan makanan/jajanan khusus untuk si kecil.

4) Mengantar pulang
Setelah pelanggan selesai melakukan pembayaran untuk service hari itu, karwayan dealer
akan mengantarkan pelanggan sampai ke mobilnya, dan mengucapkan "Terima kasih banyak,
silakan datang kembali" dengan tidak lupa senyum selebar tiga jari.
Salesman/woman baru kembali masuk lagi ke dalam toko bila mobil konsumen sudah
lenyap dari pandangan mata.
Lalu gelas yang dipakai konsumen dicuci di dapur, dan meja nya dilap agar kembali
mengkilat dan siap dipakai konsumen berikutnya.
Hal hal di atas sebenarnya sepele, tetapi bukankah semua hal besar berasal dari hal kecil?
Bisnis yang akan bertahan lama adalah bisnis yang mengutamakan kepuasan konsumen, baik
di hal kecil maupun hal besar.

4. 2. 6. Aspek pembelian berulang


Setelah mobil berhasil terjual, masih banyak hal lainnya yang dapat membantu menaikan profit
perusahaan. Salah satunya adalah dari bagian perawatan mobil. Untuk menjaga kesetiaan para
pelanggan agar terus menggunakan service perusahaan kami, rata-rata setiap dealer mobil
memiliki sistem follow up, yaitu semacam reminder atau pengingat. Sistem follow up ini dapat
berupa email, kartu pos, atau yang paling sering adalah telepon. Dan, sistem ini bukan hanya
dilakukan di perusahaan manufaktur otomotif, tetapi juga di seluruh perusahaan Jepang selalu
menerapkan sistem ini.
Untuk dapat mengerti sistem follow up ini, mari kita ambil contoh kisah Bapak Yamada Anto.
Bapak Yamada membeli satu unit mobil pada bulan Januari 2014. Berikut adalah jadwal
perawatan mobil Bapak Yamada.
• Febuari 2014 – Service 1 bulan pertama

100
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

• Augustus 2014 - Service 6 bulan


• Januari 2015 - Service 1 tahun
• Dan di selingi dengan ganti oli setiap 1,5 bulan atau setiap pemakaian 200-500 km
Sebagai bentuk follow-up, seminggu sebelum jadwal perawatan mobil Bapak Yamada,
salesman penanggung jawab untuk Bapak Yamada pasti akan menelepon Bapak Yamada.
“Selamat siang Bapak Yamada. Terima kasih atas pembeliannya Januari lalu. Bagaimana Bapak,
sudah di bawa ke mana saja mobilnya? Omong-omong, sebentar lagi waktunya service satu bulan
untuk mobil Bapak di tengah kesibukan Bapak, demi kelancaran mobil Bapak, bagaimana kalau
penulis reservasikan service mobil di hari dan jam yang sesuai dengan jadwal Bapak ?”

Kalau Bapak Yamada langsung reservasi, pemasukan dealer bertambah! Semua senang.

Tidak hanya dealer mobil, hampir semua bisnis di Jepang melakukan sistem follow-up yang
sama. Tak terkecuali salon kecantikan. Karena salah satu kegiatan refreshing bagi wanita
sedunia adalah ke salon. Ada yang suka creambath, manicure, pedicure, dan banyak lagi. Nah
kalau penulis sukanya merapikan alis. Sebulan sekali, pasti karyawan salon menelepon penulis,
pertama basa basi sudah lama ya tidak bertemu, sehat? Lalu mengingatkan bahwa sebulan telah
berlalu dan mengingatkan penulis bahwa tiga hari lagi adalah waktunya datang ke salon.
Demikianlah contoh ketotalitasan pelayanan terhadap pelanggan di Jepang!
Mungkin bagi orang Indonesia, sistem follow up ini merupakan hal yang kurang wajar dan
sedikit merujuk ke arah "agak mengganggu". Tetapi untuk orang Jepang pada umumnya, hal ini
merupakan hospitality atau keramahan yang sudah sewajarnya dilakukan.
Kepuasan pelanggan sudah jadi harga mati di Jepang!

4. 3. Keamanan Produk dan Harga

Meningkatnya kebutuhan pelanggan akan produk yang berkualitas tinggi dengan harga yang
murah, membuat persaingan bisnis diantara negara-negara industri maju pun semakin ketat.
Bahkan untuk mendapatkan pelanggan, tidak sedikit pula perusahaan yang menurunkan harga
produknya, dan dengan serta merta menurunkan kualitas produknya. Namun apakah
penurunan harga untuk mendapatkan pelanggan, yang disertai dengan penurunan kualitas ini
dapat dibenarkan? Apakah cara-cara seperti ini akan dapat memberikan keuntungan kepada
perusahaan atau sebaliknya?
Pada bagian ini, penulis akan berbagi kisah nyata tentang kegagalan yang menjadi pelajaran
berharga untuk bisa mencapai kesuksesan yang dialami salah satu perusahaan Jepang tempat
penulis bekerja sebelumnya.
Perusahaan tersebut merupakan perusahaan pembuat produk bahan FRP (Fiber Reinforced
Plastics) yaitu produk plastik yang diperkuat dengan serat/fiber seperti fiberglass, dan
sebagainya. Aplikasi produk jadi FRP diantaranya adalah kapal / boat, tangki air, tangki zat kimia,

101
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

septic tank, unit toilet (di hotel-hotel), scrubber, interior dalam kereta, kapal pesiar, pesawat
terbang, kapal ruang angkasa dan sebagainya.
Sebut saja Pak Tanaka. Di perusahaannya Tanaka bekerja sebagai seorang engineer, yang
mendesain dan menentukan bagaimana spesifikasi produk dan kualitasnya.
Kisahnya berawal sekitar 30 tahun yang lalu, ketika ada sebuah perusahaan yang
memerlukan sebuah tangki berukuran cukup besar yang bisa menampung 100 ton lebih cairan
asam sulfat. Untuk membuat tangki yang kuat dan anti karat tersebut, maka diperlukan tangki
yang terbuat dari bahan FRP, yang memiliki karakteristik anti karat, dan dengan berat yang jauh
lebih ringan daripada logam, serta kuat. Tangki dari bahan FRP tersebut bisa dibuat dengan dua
cara, yaitu dengan cara Hand Lay Up (HLU) atau dapat dikatakan dengan cara manual, dan
Filament Winding (FW) atau dapat dikatakan proses yang dilakukan dengan menggunakan
mesin. Penawaran dari Tanaka adalah dengan cara HLU (manual), sedangkan kompetitor dari
perusahaan lain menawarkan cara FW (mesin).
Pada dasarnya, untuk produk dengan desain HLU, Tanaka selalu berprinsip menetapkan
kualitas dengan tingkat keamanan 100%. Akan tetapi, pada kasus penawaran ini, jika tangki
didesain dengan tingkat keamanan 100%, maka harga jual produk jadinya akan menjadi lebih
mahal daripada tangki yang dibuat dengan menggunakan cara FW. Keinginan untuk
mendapatkan order, membuatnya berpikir bagaimana caranya agar dapat menurunkan harga
jual sehingga bisa lebih murah dari perusahaan pesaingnya. Keputusan yang diambil saat itu
adalah menurunkan kualitas dengan tingkat keamanan 70%. Dengan penawaran harga yang
lebih murah dari FW, maka order pun didapat. Harga tangki tersebut kira-kira tiga juta yen, atau
kurang lebih setara dengan 300 juta rupiah. Kemudian dibuatlah tangki tersebut hingga jadi dan
dapat digunakan dengan baik.
Waktupun berlalu, satu setengah tahun kemudian, apa yang terjadi? di salah satu bagian
tangki ada bagian yang terkelupas, sehingga menumpahkan sebanyak 100 ton cairan asam sulfat.
Tidak ada korban jiwa yang terjadi pada manusia/pekerja pada saat itu, akan tetapi ada seekor
anjing yang menjadi korban hingga meninggal karena hal tersebut.
Akibat kejadian ini, pelanggan meminta ganti rugi sebesar 10 juta yen, atau kurang lebih
setara dengan satu miliar rupiah, lebih dari tiga kali lipat harga jual tangkinya.Termasuk di
dalam tagihannya adalah kompensasi atas meninggalnya anjing yang menjadi korban kejadian
di atas, sebesar 500 ribu yen, atau kurang lebih setara dengan 50 juta rupiah. Perusahaan tempat
Tanaka bekerja benar-benar menyadari bahwa memang sepenuhnya kesalahan ada pada
mereka, dan mereka ingin bertanggung jawab, sehingga tanpa basa-basi mereka pun langsung
membayar sesuai dengan jumlah yang diminta.
Kejadian ini benar-benar menjadi pelajaran bagi berharga. Pelajaran yang sangat mahal
karena banyak hal yang dikorbankan, tidak hanya uang satu miliar yang harus dibayarkan,
waktu dan tenaga, tetapi juga kepercayaan pelanggan di dalamnya. Hal tersebut membuat
mereka benar-benar menyadari betapa sangat pentingnya menjaga prinsip kualitas terbaik.
Karena tentunya hal ini tidak akan terjadi jika mereka tetap menjaga prinsip mereka dengan
menetapkan tingkat keamanan 100%, terlepas dari apakah itu menguntungkan mereka atau

102
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

tidak. Belajar dari pengalaman tersebut, Tanaka semakin benar-benar memerhatikan masalah
keamanan/keselamatan.
Dari kejadian tersebut di atas, dapat juga kita ambil pelajaran bahwa betapa pentingnya
mengutamakan kualitas dan keamanan dalam membuat produk. Bersaing harga untuk
mendapatkan pelanggan bukan berarti dibenarkan untuk menurunkan kualitas apalagi yang
berkaitan dengan keamanan atau keselamatan. Lantas, bagaimana perusahaan Jepang bisa
mendapatkan keuntungan yang besar dengan tetap menjaga kualitas produk yang baik?
Kunci keberhasilan Jepang di dalam industri diantaranya adalah “Inovasi Tiada Henti”,
“Berpikir Untuk Kepuasan Pelanggan”, dan “Menjaga Kepercayaan”. Selanjutnya akan dibahas
sekilas mengenai bagaimana inovasi dilakukan di perusahaan Jepang sehingga dapat terus
berkompetisi mengungguli perusahaan lain

4. 4. Inovasi Melalui Peningkatan Nilai Tambah (Fukakachi)

Inovasi melalui peningkatan nilai tambah berarti menciptakan sesuatu yang baru dengan cara
memberi penambahan nilai pada produk yang sudah ada, misalnya saja dengan desain baru atau
dengan cara menambahkan fungsi baru pada suatu produk, atau sistem distribusi yang baru dan
sebagainya. Dengan demikian, perusahaan akan memiliki kelebihan dari perusahaan lain, dan
dapat memberikan nilai jual yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan produk asalnya.
Melanjutkan kisah Pak Tanaka diatas yang pernah gagal membuat produk FRP, dengan
semangatnya untuk berinovasi tiada henti, bahkan setelah mengalami banyak kegagalan,
akhirnya dia berhasil menciptakan inovasi baru pada produk FRPnya yang menerapkan konsep
dual-lamination FRP/PVDF, yaitu bahan FRP yang dilapisi bahan plastik PVDF yang tahan
terhadap temperatur yang tinggi, tidak mudah larut ataupun terkikis, serta kokoh. Salah satu
aplikasinya adalah produk tangki untuk pemurnian gallium nitrida, yaitu bahan yang digunakan
untuk pembuatan BlueLED yang baru saja dikembangkan oleh tiga orang peneliti peraih
penghargaan nobel fisika tahun 2014.
Ini adalah teknologi baru di dunia industri produk FRP. Teknologi baru yang mereka
kembangkan dalam pembuatan tangki ini, membuat perusahaan ini unggul dibandingkan
dengan perusahaan lain di bidangnya. Dengan inovasi ini, bahkan konsumen pun menghargai
produk tersebut hampir lima kali lipat dari harga yang ditawarkan. Dan kepercayaan konsumen
terhadap perusahaan tempat Tanaka bekerja pun kembali meningkat.
Dalam buku MarkPlus on Marketing The Second Generation, Jacky Mussry et al., (2007: 50)
dinyatakan bahwa “Pada akhirnya bila kita ingin benar-benar dapat berkompetisi dengan
produk pesaing, maka proses bisnis yang kita jalankan mesti efektif. Kita bisa menciptakan
output sebanyak-banyaknya, dengan kualitas sebaik-baiknya dan dengan harga setinggi-
tingginya. Caranya? Tidak lain dengan berinovasi dengan segala bidang: sistem produksi, desain
produk baru, atau sistem distribusi.”
Di sinilah pentingnya inovasi tiada henti untuk menciptakan berbagai nilai tambah yang
dibutuhkan konsumen dan terus meningkatkan kualitas. Karena dengan penambahan nilai dan

103
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

kualitas tersebut, maka harga mahal pun dapat dianggap wajar oleh pelanggan, sehingga akan
dapat terus bersaing.
Sebagai penutup, kita simpulkan bahwa betapa pentingnya untuk tetap menjaga kualitas dan
keamanan produk, karena itulah yang membuat industri Jepang maju dan unggul. Bahkan
produk Jepang kini identik dengan kata kualitas. Untuk dapat terus berkompetisi, maka
diperlukan Inovasi yang tiada henti, sikap omotenashi, berpikir untuk kepuasan konsumen, serta
menjaga hubungan baik dan kepercayaan dengan konsumen ataupun partner bisnis kita.

Semoga beberapa kisah diatas bisa menjadi acuan untuk bisa diaplikasikan juga di Indonesia.

104
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

BAB 5
KEUANGAN PADA MONOZUKURI

Patra Azwar dan Prasetyo Albertus

Tulisan dalam bab ini terbagi dalam tiga bagian utama yaitu mengenai sistem akuntansi dan
keuangan perusahaan di Jepang, sistem keiretsu perusahaan-perusahaan Jepang dan sisi
keuangan pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Jepang.

5.1. Sistem Pelaporan Keuangan Monozukuri

Akuntansi dan pelaporan keuangan perusahaan di Jepang mencerminkan gabungan berbagai


pengaruh lokal dan internasional. Terdapat dua badan pemerintah yang memiliki pengaruh
besar dan bertanggung jawab atas regulasi akuntansi dan hukum pajak penghasilan perusahaan
di Jepang. Jika dilihat kebelakang dari sisi sejarah, pada paruh pertama abad ke-20, pemikiran
akuntansi banyak mencerminkan pengaruh Jerman, namun pada paruh kedua kebijakan dari
Amerika Serikat mulai banyak memberikan warna atas kebijakan system laporan keuangan. Hal
ini sedikit banyak tidak lepas dari kiblat politik Jepang dalam satu abad terakhir. Akhir-akhir ini,
pengaruh Badan Standar Akuntansi Internasional juga mulai dirasakan dan pada tahun 2001
perubahan besar terjadi dengan pembentukan badan independen sebagai pembuat standar
akuntansi.
Mengesampingkan pengaruh dari pasar saham, tradisi akuntansi di Jepang lebih condong ke
arah kebutuhan informasi kreditor dan petugas pajak. Pemerintah memiliki pengaruh utama
dalam segala aspek akuntansi di Jepang. Peraturan perdagangan, yang dibuat berdasarkan
peraturan komersial Jerman pada abad ke 19 diperkenalkan pada tahun 1890 dengan tujuan
melindungi kreditor. Setelah Perang Dunia II, peraturan perdagangan direvisi untuk melindungi
kepentingan investor, mengikuti penerapan di Amerika. Pada tahun 1948, sekuritas dan hukum
perdagangan baru diterapkan dengan mengikuti UU sekuritas Amerika, untuk melindungi
investor perusahaan publik yang terdaftar dalam bursa saham.
Jepang merupakan masyarakat tradisional dengan akar budaya yang kuat. Kebersamaan
dalam kelompok dan saling ketergantungan antara individu dalam perusahaan cenderung
berbeda dengan sikap independen yang lebih individualistis seperti tercermin dalam budaya
perusahaan di negara-negara barat. Prinsip kebersamaan ini tercermin dimana Perusahaan
Jepang saling memiliki ekuitas saham satu sama lain, dan sering kali bersama-sama memiliki
perusahaan lain. Investasi yang saling bertautan ini menghasilkan konglomerasi industri yang
meraksasa dikenal dengan istilah keiretsu. Bank sering kali menjadi bagian utama dari kelompok
industri besar ini.
Penggunaan kredit bank dan modal utang untuk membiayai perusahaan besar bisa terbilang
sangat meluas bila dilihat dari sudut pandang negara barat, di mana manajemen perusahaan
lebih memprioritaskan pertanggungjawaban kepada bank dan lembaga keuangan lainnya,

105
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

dibandingkan kepada para pemegang saham. Pemerintah pusat juga memberlakukan kontrol
ketat atas berbagai aktifitas usaha di Jepang, yang berarti kontrol birokrasi yang kuat dalam
dunia usaha, termasuk bidang laporan keuangan / akuntansi.
Struktur manajemen usaha keiretsu pada saat ini sedang dalam perubahan seiring dengan
reformasi struktural yang dilakukan Jepang untuk mengatasi stagnasi ekonomi yang berawal
pada tahun 1990-an. Krisis keuangan yang mengikuti pecahnya bubble economy Jepang juga
mendorong dilakukannya evaluasi menyeluruh atas standar pelaporan keuangan Jepang. Jelas
terlihat bahwa beberapa praktik akuntansi tidak bisa mengungkapan buruknya kondisi
keuangan beberapa perusahaan di Jepang. Suatu perubahan besar dalam akuntansi diumumkan
pada akhir tahun 1990-an untuk menyehatkan ekonomi perusahaan Jepang sehingga menjadi
semakin transparan dan membawa Jepang lebih dekat dengan standar internasional.
Institusi pemerintah terlibat secara langsung dalam pengaturan standar akuntansi. Business
Accounting Deliberation Council (BADC), yang mana menetapkan Standar Akuntansi Keuangan
untuk perusahaan Bisnis, adalah sebuah badan advisory yang dibentuk oleh Ministry of Finance
(MoF). MoF bertanggung jawab untuk hukum sekuritas dan perdagangan. Di sisi lain, menteri
hukum bertanggung jawab terhadap aplikasi dari Peraturan Perdagangan. Dengan sistem
akuntansi di bawah yuridikasi dua institusi pemerintah, di mana tidak ada penyatuan
pendekatan kearah regulasi. Faktanya, sejumlah besar perusahaan yang ikut kedalam bursa
saham harus menyiapkan dua set laporan keuangan, satu untuk peraturan perdagangan dan
yang lain untuk hukum sekuritas dan perdagangan. Meski perbedaan bentuk presentasi lebih
penting dari pada perbedaan isinya, peraturan perdagangan juga mensyaratkan laporan
keuangan nonkonsolidasi. Di sisi lain hukum sekuritas dan perdagangan mensyaratkan laporan
keuangan nonkonsolidasi dan audit independen. Persyaratan seperti itu dianggap sebagai
informasi tambahan untuk laporan keuangan perusahaan induk.
Akuntansi untuk bisnis kombinasi telah menjadi pusat perhatian di Jepang karena sifat alami
unik yang dimiliki oleh bisnis keiretsu, yang dibentuk sebagai penggabungan bisnis yang yang
bertujuan untuk bekerjasama dalam keiretsu yaitu bank/lembaga Keuangan, perusahaan dagang,
manufaktur, supplier dan sebagainya. Ada pemegang saham yang bukan pemilik utama, tetapi
mempengaruhi kontrol perusahaan di Keiretsu. Ekonomi Jepang telah bertransformasi dalam
beberapa tahun terakhir, keiretsu juga telah lebih terbuka untuk melakukan bisnis dengan
entitas bisnis lainnya.

5. 1. 1. Regulasi dan Penegakan Aturan Akuntansi


Pemerintah nasional masih memiliki pengaruh paling signifikan terhadap akuntansi di Jepang.
Regulasi akuntansi didasarkan pada tiga undang-undang yaitu Hukum Komersial, Undang-
undang Pasar Modal dan Undang-undang Pajak Penghasilan Perusahaan. Hukum komersial
diatur oleh kementerian Kehakiman (Ministry of Justice). Hukum tersebut merupakan inti dari
regulasi akuntansi di Jepang dan yang paling memiliki pengaruh besar. Dikembangkan dari
hukum komersial Jerman, hukum yang awal diberlakukan pada tahun 1880, tetapi baru
dilaksanakan tahun 1899. Perlindungan terhadap kreditor dan pemegang saham merupakan

106
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

prinsip utama dengan ketergantungan yang sangat jelas atas pengukuran biaya historis.
Pengungkapan atas kelayakan kredit dan ketersediaan laba untuk pembagian dividen juga sama
pentingnya. Seluruh perusahaan yang didirikan diwajibkan untuk memenuhi provisi akuntansi,
yang dimuat dalam aturan-aturan menyangkut neraca, laporan laba rugi, laporan usaha dan
skedul pendukung perusahaan dengan kewajiban terbatas.
Perusahaan publik harus memenuhi ketentuan lebih lanjut dalam Undang-undang Pasar
Modal (Security Exchange Law - SEL) yang diatur oleh Kementerian Keuangan. SEL dibuat
berdasarkan Undang-undang Pasar Modal AS dan diberlakukan terhadap Jepang oleh AS selama
masa pendudukan setelah Perang Dunia II. Tujuan utama SEL adalah untuk memberikan
informasi dalam pengambilan keputusan investasi. Meskipun SEL mewajibkan laporan
keuangan dasar yang sama seperti hukum komersial, terminology, bentuk dan isi laporan
keuangan didefinisikan secara lebih spesifik oleh SEL; beberapa pos laporan keuangan
direklasifikasikan untuk keperluan penyajian dan detail tambahan diberikan. Namun laba bersih
dan ekuitas pemegang saham tetap sama menurut Hukum Komersial dan SEL.
Dewan Pertimbangan Akuntansi Usaha (BADC) merupakan lembaga penasihat khusus bagi
kementerian keuangan yang bertanggung jawab untuk mengembangkan standar akuntansi
sesuai dengan SEL. BADC dapat dikatakan merupakan sumber utama standar akuntansi (PABU)
di Negara Jepang sekarang ini. Tetapi BADC tidak dapat mengeluarkan standar yang berbeda
dengan hukum komersial. Para anggota BADC diangkat oleh kementerian keuangan dan bekerja
paruh waktu. Mereka berasal dari kalangan akademisi, pemerintahan, lingkaran bisnis serta
anggota Institut Akuntan Publik Bersertifikat di Jepang (JICPA).
Perubahan besar dalam penetapan standar akuntansi di Jepang terjadi pada tahun 2001
dengan pembentukan Badan Standar Akuntansi Jepang (ASBJ) dan lembaga pengawas yang
terkait dengannya yang dikenal sebagai Lembaga Akuntansi Keuangan (FASF). Sebagai
organisasi swasta yang independen, ASBJ diharapkan akan menjadi lebih kuat dan lebih
transparan dan tidak terlalu terpengaruh oleh tekanan politik yang memiliki kepentingan
tertentu, bila dibandingkan dengan BADC. ASBJ bekerja sama dengan IASB dalam
mengembangkan IFRS (Standar Akuntansi Internasional).

5. 1. 2. Pengaturan dan Pembinaan Akuntansi


Pengaturan akuntansi didasarkan pada triangular legal system yaitu pengaturan berdasarkan
tiga undang-undang: Commercial Code (CC), Securities and Exchange Law (SEL) dan Corporate
Income Tax Law, yang diatur oleh MoJ (Ministry of Justice).
Mari kita lihat rincian mengenai pengaturan dan pembinaan akuntasi di Jepang.
1) Regulator
✓ Ministry of Justice,
✓ Financial Services Agency (FSA),
✓ Business Accounting Deliberation Council (BADC),
✓ Accounting Standards Board of Japan (ASBJ), dan
✓ Japanese Institute of Certified Public Accountants (JAICPA)

107
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

2) Regulasi
Undang-undang perusahaan, undang-undang pertukaran dan sekuritas, serta undang-
undang pajak penghasilan perusahaan

3) Laporan Keuangan
Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan atas Perubahan Ekuitas Pemegang Saham, Laporan
Bisnis (ringkasan sistem bisnis, pengendalian internal dan informasi mengenai operasional),
dan Laporan Terkait.

Seperti yang telah dijelaskan diatas, Gambar 5-1 berikut ini mengilustrasikan badan yang
bertanggungjawab dalam merumuskan sistem regulasi akuntansi dan pelaporan keuangan di
jepang:

Gambar 5-1. Badan regulasi yang merumuskan sistem akuntansi di Jepang

5. 1. 3. Pelaporan Keuangan
Perusahaan yang didirikan menurut hukum komersial diwajibkan untuk menyusun laporan
wajib yang harus mendapat persetujuan dalam rapat tahunan pemegang saham yang berisi
neraca, laporan laba rugi, laporan usaha, proposal atas penentuan penggunaan (apropriasi) laba
di tahan dan laporan pendukung.
Catatan yang menyertai neraca dan laporan laba rugi menjelaskan kebijakan akuntansi dan
memberikan detail penjelasan. Laporan usaha berisi garis besar usaha dan informasi mengenai
operasi, posisi keuangan dan hasil operasi. Sejumlah catatan pendukung juga wajib dibuat,
terpisah dari catatan atas laporan keuangan, yang meliputi:

108
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

1) Perubahan dalam modal saham dan cadangan wajib


2) Perubahan dalam obligasi dan utang jangka panjang dan jangka pendek
3) Perubahan dalam aktiva tetap dan akumulasi depresiasi
4) Aktiva dalam penjaminan
5) Jaminan utang
6) Perubahan dalam provisi
7) Jumlah yang terutang kepada dan yang tertagih dari pemegang saham pengendali
8) Kepemilikan ekuitas dalam anak perusahaan dan jumlah lembar saham perusahaan yang
dimiliki oleh anak perusahaan tersebut.
9) Piutang yang berasal dari anak perusahaan
10)Transaksi dengan direktur, auditor wajib, pemegang saham pengendali dan pihak ketiga
yang menimbulkan konflik kepentingan
11)Remunerasi yang dibayarkan kepada direktur dan auditor wajib

Informasi ini disusun untuk minimal satu tahun berdasarkan laporan induk perusahaan dan
wajib diaudit oleh akuntan publik. Hukum komersial tidak mengharuskan laporan arus kas.
Perusahaan yang mencatatkan sahamnya harus menyusun laporan keuangan sesuai dengan
Undang-undang Pasar Modal (SEL) yang secara umum mewajibkan laporan keuangan dasar
yang sama dengan hukum komersial ditambah dengan laporan arus kas. Namun menurut SEL
laporan keuangan konsolidasi yang utama bukan laporan keuangan induk perusahaan. Laporan
keuangan dan skedul yang disusun sesuai dengan SEL harus diaudit oleh auditor independen.
Ramalan arus kas untuk enam bulan kedepan dimasukkan sebagai informasi tambahan dalam
laporan kepada Kementerian Keuangan. Laporan ramalan lainnya juga dilaporkan. Secara
keseluruhan, jumlah pelaporan ramalan perusahaan sangat besar di Jepang. Namun informasi
ini hanya dilaporkan dalam laporan wajib dan jarang sekali disajikan dalam laporan tahunan
untuk pemegang saham.

5. 1. 4. Pengukuran Akuntansi
Hukum komersial mewajibkan perusahaan-perusahaan besar untuk menyusun laporan
konsolidasi. Selain itu perusahaan yang mencatatkan saham harus menyusun laporan keuangan
konsolidasi sesuai dengan SEL. Akun perusahaan secara terpisah merupakan dasar bagi laporan
konsolidasi dan umumnya prinsip akuntansi yang sama digunakan untuk keduanya. Anak
perusahaan dikonsolidasikan jika induk perusahaan secara langsung dan tidak langsung
mengendalikan kebijakan keuangan dan operasionalnya. Meskipun metode penyatuan
kepemilikan diperbolehkan, metode pembelian untuk penggabungan usaha umumnya
digunakan.
Kebanyakan praktik akuntansi dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat
dari perubahan besar dalam akuntansi. Perubahan-perubahan terakhir ini meliputi:
1. Mengharuskan perusahaan yang mencatatkan sahamnya untuk membuat laporan arus kas

109
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

2. Memperluas jumlah anak perusahaan yang dikonsolidasikan berdasarkan kendali yang


dimiliki dan bukan persentase kepemilikan
3. Memperluas jumlah perusahaan afiliasi yang dicatat dengan menggunakan metode ekuitas
berdasarkan pengaruh signifikan dan bukan pada persentase kepemilikan
4. Menilai investasi dalam surat berharga sebesar harga pasar dan bukan biaya perolehan
5. Provisi penuh atas kewajiban tangguhan
6. Akrual penuh atas pensiun dan kewajiban pensiun lainnya.

5. 2. KEIRETSU

Tata kelola manajemen perusahaan barat sangat ditentukan oleh prinsip corporate governance
dimana tujuan para pemegang saham untuk memaksimalisasi laba dan imbal balik dari investasi
dalam wujud dividen diwujudkan melalui tangan-tangan para manajer. Sebaliknya efisiensi pola
perusahaan Jepang ditentukan pula oleh prinsip corporate governance di mana merupakan tata
kelola bersama dalam konteks human capitalism. Tujuan utama dalam pola manajemen jepang
adalah kelangsungan usaha jangka panjang melalui ikatan kebersamaan yang bukan sekedar
mencapai tujuan memaksimalkan laba melalui dividen saja.
Didalam keiretsu, lembaga keuangan bank bukan saja bertindak sebagai pemegang hutang
(debt holder) tetapi juga sebagai pemegang saham (equity holder). Pengelolaan keuangan dalam
keiretsu adalah dengan melalui ''stable share holders'' dan sekaligus ''stable cross share holders''
yang pada giliran berikutnya akan menjamin kelangsungan hidup usaha jangka panjang untuk
kepentingan bersama.
Selain itu keiretsu juga memberlakukan ''inter corporate relationship'', yang dipakai sebagai
perekat usaha jangka panjang yang selanjutnya menjadi dasar bagi struktur tata kelola dalam
perusahaan (basic governance stucture of the firm). Tetapi hubungan tadi sangat bergantung
pada kepercayaan hubungan antara individu yang mewakili perusahaan-perusahaan yang
tergabung dalam keiretsu.
Kegiatan bisnis atau usaha di jepang sangat dipengaruhi oleh sistem nilai dari nenek
moyangnya yaitu ''prosperity of business and descendents'' yang berarti kemakmuran bisnis yang
turun termurun. Jadi dalam mengelola bisnis pada dasarnya merupakan etika usaha yang
bersumber dari dua arah yaitu etika sosial dan etika agama.
Sistem tata kelola perusahaan Jepang ada banyak sisi, berpusat di sekitar sebuah bank utama
dan jaringan keuangan / industri atau keiretsu. Keiretsu merupakan grup atau jaringan
perusahaan di Jepang, biasanya berpusat pada bank sebagai induk dan termasuk di dalamnya
perusahaan perdagangan, manufaktur dan lain, seperti terlihat pada Gambar 5-2 di bawah.
Keiretsu dicirikan oleh kepemilikan silang saham, koordinasi strategis antargrup dan preferensi
untuk saling bertransaksi dalam jaringan.

110
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Gambar 5-2. Sistem Keiretsu dimana jaringan perusahaan berpusat pada bank

Keiretsu, dimana beberapa perusahaan saling berhubungan dan menghasilkan kerja sama atau
grup. Hubungan perusahaan dapat berupa bentuk kepemilikan saham yang saling berkaitan.
Atau dengan sistem perjanjian yang memungkinkan perusahaan saling terkait, misalnya antara
supplier dengan perusahaan yang memproduksi barang. Dapat juga dalam hal aliran atau
jaringan distribusi. Kerjasama tersebut tidak hanya bersifat sementara atau incidental. Akan
tetapi ada kesepakatan tertentu yang mengikat dan ditaati bersama.
Ada tiga unsur utama dalam keiretsu, yakni hierarki, kelompok, dan jangka panjang. Ketiga
unsur ini diterapkan dalam berbagai nilai-nilai budaya korporasi seperti pengelolaan sumber
daya manusia dengan shushin kayo (bekerja sampai dengan pensiun) dan nenko joretsu sei
(sistem senioritas), maupun pengelolaan keuangan (sistem ‘bank utama’), pemasaran
(penguasaan pangsa pasar) dan produksi (kanban system, kaizen).
Keiretsu merupakan pengelompokan beberapa industri di Jepang yang sama bidang
usahanya. Secara garis besar, ada tiga macam keiretsu, yakni industrial, produksi, dan distribusi.
Sebagian besar perusahaan di Jepang mempunyai minimal enam keiretsu. Suatu keiretsu
beranggotakan ratusan perusahaan yang diorganisasikan oleh suatu bank besar atau
perusahaan dagang tertentu (trading company). Setiap anggota keiretsu memberikan prioritas
utama kepada perusahaan lain dalam kelompoknya sebagai konsumen ataupun pemasok.
Seringkali, bank dan trading company menguasai sepertiga saham dari tiap-tiap perusahaan
anggota, dan biasanya perusahaan-perusahaan tersebut membiayai aktivitasnya dengan
pinjaman dari bank yang bersangkutan. Perusahaan anggota biasanya mempunyai saham di
perusahaan anggota lainnya dan memiliki hubungan manajerial yang bersifat mengikat
(interlocking) diantara mereka.
Secara umum hubungan dalam suatu keiretsu terjadi diantara keiretsu induk (parent
company) dan keiretsu anak (subsidiary). Dalam pengembangan produk dan pembaruan
teknologi keiretsu induk melakukan kerjasama dengan keiretsu anak. Kerja sama ini
memungkinkan munculnya produk yang memiliki tingkat kecacatan yang rendah sehingga

111
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

kompetitif dalam pasaran internasional. Karyawan keiretsu subsidiary biasanya juga memiliki
tingkat gaji yang lebih rendah sehingga lebih murah bagi keiretsu parent company untuk
membuat komponen pada keiretsu subsidiary daripada memproduksi sendiri secara in-house.
Bagi keiretsu subsidiary pola kemitraan ini juga memberikan kepada mereka suatu pasar yang
sudah mapan bagi produk-produk yang mereka hasilkan.
Dengan sistem seperti itu, maka sebuah keiretsu mempunyai strategi manajemen yang
matang dan bersifat luas. Sehingga arah dan tujuan perusahaan tidak berjalan sendiri-sendiri
tetapi menjadi satu kesatuan. Secara berkala, biasanya dalam satu bulan sekali, pemimpin-
pemimpin perusahaan dalam keiretsu mengadakan pertemuan.
Fungsi lain dari keiretsu adalah menyelamatkan salah satu perusahaan yang mengalami
kesulitan, khususnya kesulitan ekonomi. Seperti halnya yang terjadi pada tahun 1970-an dimana
Sumitomo membantu Mazda yang kesulitan finansial. Perusahaan dalam satu kelompok
tersebut memberikan syarat dan pinjaman lunak dalam pengadaan barang. Selanjutnya, para
pekerja yang menerima dampak gagalnya Mazda, diserap perusahaan dalam satu keiretsu
tersebut. Kampanye terhadap produk Mazda juga dilakukan secara gencar oleh perusahaan-
perusahaan yang tergabung dalam satu keiretsu.

Gambar 5-3 berikut ini adalah contoh keiretsu untuk kelompok usaha Mitsubishi,

Gambar 5-3. Contoh sistem keiretsu dalam jaringan perusahaan Mitsubishi.

Sukses yang dinikmati perusahaan–perusahaan Jepang melalui sistem ekonominya membuat


banyak perusahaan di negara lain yang ingin menjadikannya sebagai model. Akan tetapi,
112
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

kegiatan perbankan maupun lembaga keuangan Jepang sulit ditiru begitu saja oleh negara lain.
Sistem ekonominya berada pada kondisi yang extraordinary, di mana saving rate masyarakatnya
sangat tinggi, padahal suku bunga yang dibayarkan lembaga keuangan kepada para nasabah
sangat rendah, pada tingkat suku bunga yang nyaris nol persen. Selain itu, hampir semua
lembaga perbankan dan keuangan Jepang merupakan bagian dari sebuah keiretsu, yang akan
menyelamatkan mereka bila suatu saat mengalami kesulitan.
Sebenarnya bukan hanya saving rate yang tinggi dan suku bunga yang rendah dan hampir
nol persen yang membuat perbankan dan lembaga keuangan Jepang agak sulit untuk dijadikan
model bagi negara lainnya. Tapi juga faktor budaya Jepang yang unik seperti keiretsu
menyebabkan butuh upaya besar untuk menerapkannya.
Dalam dunia bisnis Jepang, utamanya kelompok bisnis keiretsu, yakni di mana banyak
perusahaan saling menjalin hubungan bisnis satu dengan lainnya. Kelompok ini relatif dominan
dengan delapan terbesar antara lain group Mitsubishi dan Mitsui, dimana tahun 1990
menyumbang 16,9% dari total penjualan perusahaan Jepang. Keiretsu sangat penting dan
dominan dalam perkembangan ekonomi Jepang.
Filosofi dan landasan bisnis budaya Jepang berpengaruh besar terhadap Keiretsu sehingga
mencapai kemajuan ini. Nilai-nilai dalam perusahaan maupun masyarakat mempengaruhi
perilaku bisnis. Landasan bisnis ini, yakni budaya korporasi, bersifat `universal'. Tiga nilai
budaya, `hirarki, kelompok dan jangka panjang' dipilih sebagai nilai mewakili budaya korporasi
Jepang dan digunakan sebagai acuan.
Terlihat bahwa keiretsu merupakan kelompok bisnis yang bekerja sama berlandaskan
kesamaan nilai budaya. Dengan demikian tidak tepat dikategorikan hanya sebagai institusi
bisnis ataupun institusi sosial budaya semata-mata namun lebih tepat melihatnya sebagai
institusi bisnis yang pengelolaan dipengaruhi oleh budaya korporasi yang berasal dari budaya
Jepang. Sistem ini tidak hanya diterapkan kelompok perusahaan yang menyandang nama
"Keiretsu" tetapi juga oleh kelompok bisnis lainnya di Jepang. Budaya Jepang ini memengaruhi
bentuk budaya korporasi perusahaan di mana nilai-nilai budaya seperti kelompok, jangka
panjang dan hirarki mewarnai berbagai aspek pengelolaan bisnis.
Dengan demikian pengelolaan sumber daya manusia seperti shushin kayo (bekerja sampai
dengan pensiun) dan nenko joretsu sei (sistem senoritas); maupun pengelolaan keuangan
(sistem 'bank utama'), pemasaran (penguasaan pangsa pasar) dan produksi (kanban system,
kaizen) merupakan implementasi ketiga variabel budaya korporasi.
Terlihat budaya korporasi sangat mewarnai sebagai fungsi dari perilaku bisnis keiretsu.
Namun dalam 1990-an, terjadi berbagai kemunduran besar pada berbagai kelompok keiretsu
yang mengalami stagnasi dan tekanan dari masalah real estate dan dan jatuhnya pasar modal
akibat bubble economy. Sebagai contoh, Nissan diambil alih Renault dan Yamaichi Securities
bangkrut.
Peranan keiretsu yang cukup signifikan dalam dunia bisnis, menyebabkan kesulitan yang
menimpanya turut menekan perkembangan dunia bisnis Jepang secara keseluruhan. Kesulitan
bisnis ini mengancam kelangsungan hidupnya, yang memaksa diadakannya berbagai langkah
restrukturisasi, termasuk mengkaji ulang budaya korporasi yang dipunyai. Kelompok keiretsu
113
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

menghadapi masalah sulit, bisnisnya telah menggurita meliputi berbagai jenis industri di mana
sebagian hanya dapat bertahan dengan memindahkan proses produksi ke negara yang lebih
rendah ongkos produksinya.
Upaya restrukturisasi mulai memasuki hal yang tabu selama ini yakni `memberhentikan para
karyawan'. Saat ini mulai terjadi pergeseran perlahan dalam bentuk nilai-nilai budaya korporasi
maupun strategi yang digunakan. Ada yang ingin melepaskan bentuk keiretsu namun di lain
pihak masih banyak yang ingin mempertahankannya. Sebagian lainnya memilih mengadakan
perubahan secara perlahan untuk menyesuaikan dalam lingkungan yang berubah. Ketiga
variabel nilai budaya kemungkinan mengalami perubahan secara perlahan, di mana pada tahap
tertentu mulai menawarkan fleksibilitas.

5. 2. 1. Jenis keiretsu
Sebenarnya ada banyak cara untuk pengelompokkan keiretsu tapi ada dua cara paling umum
digunakan untuk pengelompokkan yang sudah mencakup keiretsu lainnya. Di Jepang, orang-
orang biasa menyebutnya yoko (horizontal) dan tate (vertikal), seperti yang terlihat pada
gambar 4 dan gambar 5 berikut ini.

Gambar 5-4. Horizontal (Yoko) Keiretsu model

Gambar 5-5. Vertikal (Tate) Keiretsu model

114
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Keiretsu horizontal adalah sekelompok perusahaan besar yang menjalin suatu hubungan
demi tercapainya sebuah bank yang kuat, melalui kepemilikan saham bersama, hubungan
dagang, dan sebagainya. Sedangkan, keiretsu vertikal adalah kelompok yang terbentuk dari satu
perusahaan yang besar dengan ratusan atau ribuan perusahaan kecil yang mengikuti
perusahaan besar tersebut, contohnya yaitu Toyota. Vertikal keiretsu dibagi lagi menjadi tiga
jenis, yaitu sangyo keiretsu (keiretsu produksi), ryutsu keiretsu (keiretsu distribusi), dan shihon
keiretsu (keiretsu modal).
Berikut ini adalah enam kelompok keiretsu besar di Jepang pasca perang, meskipun dalam
beberapa tahun terakhir pembagian di antara mereka telah mengabur:

Nama Bank Kelompok besar perusahaan


MitsubishiCorp, Kirin Brewery, Mitsubishi
Electric, Mitsubishi Fuso, Mitsubishi
Mitsubishi Bank (sd Motors, Nippon Yusen, Nippon Oil, Tokio Marine
1996) / Bank of and Fire Insurance,Nikon, Mitsubishi
Mitsubishi
Tokyo- Mitsubishi Chemical, Mitsubishi Estate, Mitsubishi Heavy
UFJ Industries, Mitsubishi Rayon Co., Ltd., Mitsubishi
Materials Corp., Mitsubishi Paper Mills Ltd.,
Pacific Consultants International Ltd.
Mitsui Bank (sd
Fuji Photo Film, Mitsui Real
Mitsui 2001) / Sumitomo
Estate, Mitsukoshi, Suntory, Toshiba
Mitsui Bank Corp
Sumitomo Bank (sd Asahi Breweries, Hanshin Railway, Keihan
Sumitomo 2001) / Sumitomo Railway, Mazda, Nankai Railway, NEC, Nippon
Mitsui Bank Corp Koei, Sumitomo Real Estate
Fuji Bank / Mizuho Canon, Hitachi, Marubeni, Matsuya, Nissan, Rico
Fuyo
Bank h, Tobu Railway, Yamaha
Dai-Ichi Kangyo
Dai-Ichi Fujitsu, Hitachi, Isuzu, Itochu, Tokyo Electric
Bank / Mizuho
Kangyo Power
Bank
Sanwa Bank / Bank Hankyu Railway, Keisei Railway, Kobe
Sanwa of Tokyo- Steel, Konica Minolta, Kyocera, Orix, Shin-
Mitsubishi UFJ Maywa, Takashimaya, Toho

Tabel di atas dapat diilustrasikan secara sederhana seperti dalam Gambar 5-6 berikut ini untuk
menjelaskan tipikal sistem keiretsu di jepang.

115
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Gambar 5-6. Ilustrasi sistem keiretsu di jepang yang terbagi dalam 6 kelompok besar.

5. 3. Sisi Finance pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Jepang

Pembahasan tentang sistem keuangan/finance pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Jepang sangat rumit sehingga kita akan membaginya dalam dua sesi besar. Finance pada tahap
pendirian dan finance pada saat operasional.

5. 3. 1.Finance pada Tahap Pendirian UMKM


Tidak perlu diragukan lagi bahwa hal yang paling penting dalam pendirian perusahaan adalah
modal. Ada banyak cara mendapatkan modal seperti halnya mengumpulkan investor,
menggunakan tabungan sendiri atau berhutang kepada bank. Di sini hanya akan dibahas tentang
bagaimana mendapatkan pembiayaan dengan berhutang kepada bank.
1) Japan Finance Corporation (nihon seisaku kinyu kouko)
Pemerintah Jepang mendorong warga negara Jepang untuk memulai usahanya dengan
memberikan kemudahan kredit. Salah satunya melalui Japan Finance Corporation.
Meminjam uang di bank diperlukan kredibilitas. Jika perusahaan sudah berjalan maka
mudah bagi bank untuk menilai kredibilitasnya, yaitu dengan melihat B/S, P/L dan prinsip
keberlanjutan usaha. Namun calon pengusaha UMKM tidak serta merta langsung memiliki
kredibilitas ini. Sehingga sulit bagi bank umum untuk memberikan kredit usaha bagi calon
pengusaha.
Japan Finance Corporation dibentuk untuk memudahkan penduduk Jepang baik warga
Negara Jepang atau asing untuk memulai usaha karena dengan semakin banyaknya usaha
maka akan semakin banyak tercipta lapangan pekerjaan. Japan Finance Corporation sangat

116
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

menekankan kepada terciptanya lapangan kerja sehingga ada kolom isian yang isinya janji
pengusaha untuk tidak mem-PHK karyawan dalam kurun waktu tertentu.

2) Directed Credit Program (Seido Yushi)


Jika Japan Finance Corporation tidak bisa dipakai, maka directed credit program adalah salah
satu solusinya. Pemerintah daerah di masing-masing kota Jepang mengadakan berbagai
macam program kredit, bekerja sama dengan bank lokal dan nasional untuk mempermudah
penduduknya memulai sebuah usaha. Semakin banyak penduduk sebuah kota yang memulai
UMKM, maka semakin banyak potensi pajak daerah yang akan diterima.
Program ini berbeda-beda tergantung kondisi kota masing-masing. Seorang penduduk yang
ingin mendapatkan bantuan kredit datang ke walikota bagian perdagangan dan industri
(shoukoka). Di sini disediakan konsultan ahli UMKM (chusho kigyo sindanshi) yang akan
membantu calon pengusaha membuat perencanaan bisnis yang mudah diterima oleh bank.
Di Jepang terdapat semacam aturan bahwa modal sendiri harus lebih daripada 33% sehingga
jika perhitungan untuk memulai usaha 1,5M maka kredit usaha maksimal adalah 1M.

3) Credit Guarantee Corporation


Bank-bank di Jepang, seperti halnya institusi finansial yang lain akan memberikan
pembiayaan jika ada jaminan.Jika calon pendiri perusahaan memiliki aset tanah atau aset
bergerak akan mudah meyakinkan bank memberikan pinjaman. Namun pendiri perusahaan
kebanyakan tidak memiliki aset yang bisa dijadikan jaminan. Oleh sebab itulah di Jepang
terdapat lembaga pemberi jaminan kredit yang disebut Credit Guarantee
Corporation(Shinyo hosho kyokai)(selanjutnya kita sebut CGC)
CGC berada di setiap kota(shi) atau ward(ku). Untuk mendapatkan penjaminan dari CGC
sehingga bisa memperoleh dana pinjaman, UMKM harus menghubungi bank dan pergi ke
bagian industri dan perdagangan di setiap kota untuk mendapatkan surat persetujuan.Jika
sudah mendapatkan surat penjaminan dari CGC maka bank akan mempertimbangkannya
berdasarkan modal sendiri yang dimiliki. Biasanya UMKM akan mendapatkan pinjaman
hingga sebesar 500juta.

5. 3. 2.Finance pada Tahap Operasional UMKM


Setelah berdiri, UMKM akan melakukan kegiatan sales hingga mendapatkan purchase order.
Purchase Order ini bisa dalam bentuk email, surat purchase order atau perjanjian. Pada saat
memutuskan menerima atau tidak sebuah pekerjaan UMKM harus memerhatikan termin dan
jenis pembayaran. Jenis pembayaran yang lazim dilakukan dengan bank transfer namun tak
jarang dilakukan dengan menggunakan tegata (semacam wesel tagih).
Berikut ini adalah beberapa langkah yang bisa diambil dalam finance tahap operasional
UMKM

117
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

1) Tegata
Perusahaan dengan kredibilitas tinggi cenderung menggunakan tegata dalam
pembayarannya. Akan tetapi sebagai pihak yang menerima pembayaran, tegata berarti
piutang dan menunda penerimaan kas. Bagi UMKM sangat penting menjaga kestabilan uang
kas sehingga kapan saja bisa melakukan pembayaran kepada supplier sehingga UMKM akan
sangat berhati-hati ketika akan dibayar dengan tegata. Perusahaan yang neraca rugi-
laba(P/L)nya surplus bisa saja mengalami bangkrut karena mengalami gagal bayar. Hal ini
dibiasa disebut kuroji tosan.

2) Tsunagi-Yushi
Jika perusahaan banyak memiliki piutang sedangkan dia harus membayar kwajiban-
kwajibannya kepada supplier maka dia bisa menggunakan fasilitas tsunagi-yushi (pinjaman
penyambung). Misalnya sebuah perusahaan konstruksi akan mendapat pembayaran setelah
bangunan selesai.Namun perusahaan ini harus membayar gaji karyawan kontrak dan
membeli bahan-bahan bangunan atau dalam kata lain terdapat aliran kas keluar yang
sumbernya dari penghasilan yang belum diterima. Untuk menstabilkan cashflow-nya
perusahaan ini bisa mengajukan tsunagi-yushi kepada bank.

3) Pinjam ke bank padahal tidak perlu


Ketersediaan kas sangat penting bagi UMKM yang tidak memiliki kredibilitas seperti halnya
perusahaan multinasional karena dalam transaksi-transaksi bisnisnya UMKM tidak bisa
terlalu mengandalkan kredibilitas. Sehingga UMKM perlu mendapatkan sokongan dari bank
sewaktu-waktu membutuhkan dana mendadak. Oleh karena itu banyak UMKM Jepang yang
mengadakan pinjaman kepada bank walaupun dia tidak perlu. Hal ini dilakukan dalam
rangka balas budi sehingga ketika UMKM memerlukan pinjaman penyambung, maka bank
akan bersedia mengucurkan dananya.

118
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Epilog: dari Purwarupa ke Produksi Massal

Azhari Sastranegara
Head of NSK Asia Pacific Technology Center in Indonesia, NSK Co.Ltd

Beberapa waktu lalu penulis menghadiri peresmian gedung MITI Center di Depok, Jawa Barat.
MITI adalah singkatan dari Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia yang digagas oleh
sejumlah alumnus Program Habibie. Sebuah nama yang terkenal untuk program sekolah ke luar
negeri yang digagas B.J Habibie pada dekade 80/90-an. Berbagai contoh hasil penelitian
mahasiswa dan proyek inkubator MITI yang membanggakan ditampilkan dalam acara tersebut,
lengkap dengan pembuktian hasil yang sesuai harapan. Ada hasil penelitan tentang biofuel,
bahan bakar dari sampah plastik, ubi hutan sebagai pangan alternatif, dan berbagai penemuan
menarik lainnya. Para hadirin sepakat, semua hasil yang dipamerkan itu tentunya akan sangat
bermanfaat bagi masyarakat, tapi dengan satu syarat, karya-karya tersebut dapat diproduksi
masal.
Entah sudah berapa kali kita membaca atau menonton berita mengenai keberhasilan salah
seorang putra bangsa membuat inovasi baru. Sudah sekian kali kita mendengar pejabat negara
mencoba suatu alat baru yang diklaim sebagai terobosan teknologi. Tetapi hampir sebanyak itu
pula kita kecewa karena setelah berapa lama temuan-temuan yang digadang-gadang itu tak
kunjung menjadi produk yang bisa dipakai masyarakat. Ada mobil listrik, baterai tahan lama,
alat penghemat bahan bakar, mobil tenaga surya dan masih banyak lagi contoh penemuan yang
mangkrak. Bahkan purwarupa sekelas Esemka, mobil buatan siswa-siswa SMK di Surakarta yang
sudah diberitakan secara nasional, dipromosikan sebagai cikal bakal mobil nasional antara lain
oleh Pak Jokowi (saat itu menjabat sebagai Walikota Solo), sudah dinyatakan lulus uji emisi
berkualifikasi Euro 2, bahkan konon sudah banyak dipesan, bagaimana kabarnya sekarang?
Berita terakhir, produksi mobil ini terancam berhenti karena suplai suku cadang yang molor dan
banyaknya pemesanan yang batal, hal ini terjadi hanya dalam waktu kurang dari setahun sejak
dinyatakan lulus uji emisi gas buang (1).
Sederetan berita purwarupa seperti di atas itulah yang menyebabkan terbersitnya rasa
pesimis penulis ketika membaca berita di sebuah koran nasional bahwa LIPI telah meluncurkan
bus dan mobil listrik(2). Timbul pertanyaan, akankah ini menjadi purwarupa ke sekian yang
ceritanya berakhir sebelum sempat diproduksi? Tentu saja jawaban pertanyaan ini baru bisa
kita dapatkan beberapa tahun lagi. Tulisan ini mencoba menggali beberapa sebab teknis, di luar
faktor politis dan modal, mengapa sebagian besar purwarupa barang berteknologi tinggi kita
kandas di tengah jalan.

1. Purwarupa, Produksi Massal dan Kualitas


Kebanyakan dari kita menganggap jika sudah berhasil membuat purwarupa yang sukses maka
membuat produksi masalnya mudah saja. Yang penting sediakan modal produksi dan semuanya

119
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

akan selesai. Padahal, purwarupa dan barang produksi masal adalah dua jenis barang yang
sangat berbeda.
Purwarupa adalah model dari suatu produk yang dibuat untuk diuji, sedemikian sehingga
bentuk dan fungsinya mendekati produk yang diinginkan. Sebuah purwarupa didesain untuk
diuji di kondisi yang sebenarnya dan hasil-hasil uji tersebut akan digunakan untuk memperbaiki
model produk sampai mendekati kesempurnaan.
Purwarupa dibuat secara khusus. Kebanyakan masih melibatkan proses manual, terkadang
materialnya bukan material produksi masal tetapi material yang mirip. Selain itu biasanya juga
dibuat secara lebih berhati-hati, lebih teliti dan memakan waktu yang lama.Oleh karena
perbedaan ini, barang purwarupa biasanya membutuhkan biaya yang jauh lebih tinggi daripada
barang produksi masal.Jumlah barang purwarupa lazimnya hanya beberapa sampai puluhan
buah saja.
Sebelum suatu purwarupa diproduksi massal biasanya melalui suatu tahapan yang disebut
produksi awal (initial production, batch production). Tahapan ini dilaksanakan ketika
purwarupa sudah lulus uji dan memenuhi semua persyaratan. Jumlah produksi awal bervariasi
tergantung pada jenis produk, tapi biasanya tidak terlalu banyak, berkisar antara puluhan
sampai beberapa ribu buah. Pada tahap ini, proses produksi sudah dibuat hampir sama dengan
produksi masal, meskipun mungkin masih ada proses manual atau kondisi khusus. Jika dalam
tahapan ini tidak ditemukan masalah pada proses produksi dan spesifikasi barang yang
dihasilkan, barulah meningkat ke tahap produksi masal sepenuhnya.
Pada tahap produksi massal, proses dilaksanakan secara berulang dan sedapat mungkin
menggunakan proses otomatisasi. Waktu yang diijinkan untuk memproduksi suatu barang
dalam produksi masal sangat singkat, terkadang hanya beberapa detik. Oleh karena banyaknya
barang yang diproduksi dalam waktu singkat, maka diperlukan kontrol kualitas(quality control)
yang masif, misalnya pengecekan spesifikasi produk per jam atau per lot produksi, pemakaian
metode kontrol statistik dan lainnya.
Disebabkan adanya perbedaan mendasar antara proses pembuatan purwarupa dan produk
masal seperti telah dikemukakan di atas, tantangan terbesar di sini adalah bagaimana
mewujudkan kualitas barang purwarupa itu pada produk masal. Dengan waktu produksi yang
sangat singkat, dengan proses penggunaan mesin yang terus menerus, dengan jumlah produksi
yang sangat banyak, menjaga kualitas barang tetap sama adalah perkara yang tidak mudah.
Ilustrasi gampangnya, membuat 10 batang pensil mempunyai ukuran persis sama tentu jauh
lebih mudah dibanding membuat 1.000.000 batang pensil dengan ukuran yang sama.
Kembali pada banyaknya kasus purwarupa yang layu sebelum berkembang, kita harus mulai
memerluas cakupan penguasaan teknologi kita bukan hanya pada tataran teoretis atau skala
produksi satu atau dua unit, tetapi sampai pada teknologi manufaktur secara massal dan hal-hal
yang mempengaruhi produksi seperti material, alat-alat produksi, dan lain-lain.

120
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

2. Kembangkan Industri Hulu


Salah satu hal yang sangat menopang produksi masal adalah primanya sektor industri hulu yang
bertanggung jawab pada penyediaan bahan mentah yang akan dipergunakan oleh industri lain.
Bila kita mengambil mobil listrik sebagai produk jadi, maka industri hulu yang menopang
produksi mobil listrik ini antara lain adalah industri pembuat material (misalnya: baja, tembaga,
aluminum), industri pembuat bahan baterai, industri pembuat komponen mesin seperti baut,
nut, silinder, pegas, dan sebagainya.
Sangat disayangkan industri hulu kita terutama yang berkaitan dengan produk metal sangat
lemah. Adalah sangat naïf bermimpi menjadi negara industri tapi tidak memiliki produksi
material terutama baja yang memadai. Semua negara besar di dunia memiliki industri baja yang
tangguh, Amerika punya perusahaan baja besar bernama USSC (United States Steel Corporation),
Uni Eropa punya Arcellor Mittal di Luxemburg, Jerman punya Thyssenkurp, Jepang punya
Nippon Steel, Cina punya Hebei Iron & Steel dan Baosteel, India punya Tata Steel, Brazil punya
Gerdau, Korea punya POSCO, dan banyak negara lain yang memiliki pabrik baja yang besar.
Sementara perusahaan penghasil baja kebanggaan kita Krakatau Steel, bahkan tidak berada di
dalam daftar 40 penghasil baja terbesar di dunia!(3). Disinyalir ketidakmampuan Krakatau Steel
memproduksi baja berkualitas tinggi lebih disebabkan pada faktor ekonomis dan bukan teknis,
yaitu lebih mudahnya menjual baja untuk bangunan dibandingkan baja untuk keperluan mesin
yang lebih mahal biaya produksinya.
Bila industri material baja kita sangat lemah, industri komponen mesin kita setali tiga uang.
Bila kita perhatikan kualitas komponen mesin yang bisa didapat di pasaran, kita akan merasa
sangat miris dan sedih. Spareparts lokal yang tersedia, biasanya disebut “barang KW”, umurnya
rata-rata jauh lebih pendek dari suku cadang asli buatan negara maju. Baut, obeng, tang, dan
semacamnya yang bisa kita beli di toko material, kualitasnya sangat jauh dari bagus. Kebanyakan
barang-barang ini sangat cepat aus dan rusak.Ini semua adalah contoh nyata bahwa industri
hulu kita sangat tidak mendukung. Bila tidak ada perbaikan di sektor ini, purwarupa-purwarupa
seperti disebutkan di awal tulisan ini, yang telah dihasilkan dengan susah payah oleh anak
bangsa, tidak akan bisa diproduksi secara masal dengan kualitas yang baik.

3. Percepat Alih Teknologi


Untuk dapat mewujudkan purwarupa menjadi produk massal, kita memerlukan teknologi
manufaktur yang mumpuni. Sayangnya teknologi ini tidak gratis, juga tidak bisa didapatkan
dengan membaca buku-buku yang ada di perpustakaan. Tidak bisa dimiliki hanya dengan
memperbanyak publikasi paper para ilmuwan di jurnal internasional. Teknologi semacam ini
harus diperjuangkan, direbut, bahkan kadang harus dicuri!
Industri Jepang, Amerika dan Jerman bisa demikian dominan di bidang produksi saat ini
disebabkan karena mereka telah memiliki know-how di bidang manufaktur. Know-how ini
mereka dapatkan dari akumulasi hasil percobaan, praktik dan pengalaman lapangan selama
puluhan tahun. Bukan rahasia bahwa pada banyak perusahaan, know-how ini dijaga sangat rapat

121
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

dan dicegah kebocorannya ke perusahaan pesaing, layaknya menjaga sebuah rahasia negara
agar tidak bocor ke negara musuh.
Ada beberapa pilihan bagi kita jika ingin mengejar ketertinggalan di bidang teknologi
khususnya teknologi manufaktur ini. Pilihan pertama, pilihan yang idealis tapi tidak realistis,
yaitu membangun teknologi sendiri secara mandiri tanpa bantuan negara asing. Dengan cara ini
kita menapaktilasi jalan negara-negara maju tersebut dari awal. Risikonya, kita akan
membutuhkan waktu puluhan tahun untuk mencapai apa yang telah mereka capai. Sementara
ketika kita sampai pada titik mereka berada sekarang, saat itu mereka sudah puluhan tahun
berada di depan kita. Ini tentu bukan pilihan cerdas dan oleh karenanya kita harus mencari cara
alternatif.
Pilihan kedua adalah cara yang banyak ditempuh oleh perusahaan Cina, meskipun
pemerintah negeri tirai bambu itu menolak mengakuinya. Cara itu adalah dengan
memanfaatkan reverse engineering, beli produk bagus, bongkar, pelajari dan tiru. Karena cara ini
rawan pelanggaran hak paten, maka perusahaan Cina banyak memelajari teknik meniru tapi
tidak menjiplak. Biasanya dengan menambahkan sedikit modifikasi pada produk yang sudah ada
sehingga secara hukum terhindar dari tuduhan melanggar hak paten. Metode ini terbukti efektif
mengatrol teknologi manufaktur Cina yang dapat kita rasakan dengan membanjirnya produk
Cina di setiap bidang di semua negara. Sekitar 20 tahun yang lalu, orang Jepang mencibir produk
Cina sebagai produk murah tanpa kualitas. Sekarang bangsa Jepang harus mengakui bahwa di
pasar dalam negeri mereka, sebagian besar barang berasal dari Cina. Isu kualitas meskipun
masih ada, sudah semakin menipis.
Pilihan ketiga adalah “spionase teknologi” seperti yang sukses dipraktekkan ilmuwan
metalurgi Pakistan, Abdul Qadir Khan, ketika membawa pulang blueprints dari UNRECO
Amsterdam mengenai teknologi alat sentrifugal yang vital dalam proses pengayaan uranium.
Khan diadili pengadilan internasional dan divonis sebagai pencuri, tetapi dia dianggap pahlawan
kelas satu di Pakistan. Cara ini mensyaratkan dukungan penuh pemerintah dan bersamaan
dengan itu diperlukan mata-mata teknologi yang memang mempunyai kemampuan hebat.
Pilihan berikutnya yang mungkin paling realistis adalah menukar kesempatan produksi di
negara kita dengan teknologi. Sudah saatnya kita mulai agresif dalam menerapkan strategi ini
dalam mempercepat proses alih teknologi dari negara maju yang memiliki banyak pabrik di
negeri kita. Mereka harus dibuat mengerti bahwa meraup keuntungan di negeri ini harus
dibarengi dengan proses alih teknologi. Perlu selalu kita ingat bahwa proses alih teknologi ini
tidak akan berjalan tanpa “pemaksaan” sebab tidak mungkin negara-negara maju demikian baik
hatinya memberikan teknologinya secara gratis. Bentuk “pemaksaan” itu mungkin bisa
diwujudkan dalam aturan penanaman modal asing, bahwa perusahaan dengan volume
penjualan tertentu di Indonesia wajib mendirikan satu Pusat Litbang profesional. Konten dari
Pusat Litbang itu harus dalam pengawasan pemerintah atau institusi swasta professional untuk
menghindari kemungkinan pemasangan nama “litbang” saja sementara isinya sama sekali tidak
mengandung unsur proses alih teknologi.
Sebagai penutup, banyaknya purwarupa produk baru yang dikreasikan oleh putra-putra
terbaik bangsa ini merupakan bukti bahwa secara teoretis kita sudah mampu membuat produk
122
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

berteknologi tinggi. Sayangnya kebanyakan purwarupa itu tidak berlanjut pada produksi masal.
Menurut penulis, hal ini disebabkan oleh kurangnya penguasaan teknologi manufaktur
(monozukuri) dan lemahnya industri hulu seperti diuraikan di atas. Salah satu cara yang efisien
untuk mempercepat penguasaan teknologi manufaktur adalah dengan mengoptimalkan proses
alih teknologi dari negara maju. Kita berharap semoga pihak-pihak pembuat kebijakan teknologi
di negeri ini bisa mewujudkan alih teknologi yang adil dan cepat untuk meningkatkan derajat
martabat bangsa Indonesia.

Referensi:
1. Surya Online (surabaya.tribunnews.com), 23 Agustus 2013
2. Harian Republika edisi cetak, 27 Agustus 2013
3. Wordsteel Association (www.worldsteel.org)

123
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Profil Penulis dan Editor

Abdi Pratama, M. Eng.


(Tim Editor dan Penulis Bab 2)
Lahir di Trisnomulyo, Lampung Timur pada tahun 1983. Setelah lulus dari SMU Taruna
Nusantara Magelang pada tahun 2001, melanjutkan pendidikan S1 di Teknik Elektro Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Sempat mengikuti program OUSSEP (Osaka University Short-Term
Student Exchange Program) selama 1 tahun di Osaka University. Lulus S1 pada tahun 2006
dilanjutkan dengan program S2 di Osaka University dengan beasiswa pemerintah Jepang
(Monbukagakusho). Setelah menyelesaikan studi S2, kemudian dilanjutkan masuk ke dunia
industri dengan bekerja di perusahaan otomotif Daihatsu hingga sekarang.
Email: abdii.pratama@gmail.com

Alfian Muhammad, M. Eng.


(Penulis Bab 1 sub-bab ‘Proses Pengembangan Software dan Kontrol Kualitas’)
Lahir tahun 1983 di Magetan, Jawa Timur. Penulis mendapat beasiswa Monbusho untuk
program College setelah lulus dari SMU Insan Cendikia Serpong pada tahun 2000. Melanjutkan
belajar di Toyota College of Technology, program S1 di Universitas Electro Communication
Tokyo, dan program S2 di Tokyo Institute of Technology. Setelah itu bekerja selama 3.5 tahun
di Aimnext Inc di Jepang yang bergerak di bidang konsulting khususnya manufaktur. Penulis
telah kembali ke Indonesia di tahun 2013 di PT.Aimnext Indonesia sebagai penanggung jawab
lokal hingga sekarang. Bidang yang diminati penulis adalah image processing, pattern
recognition, dan multiprocessing.
Email: naifla@gmail.com atau alfian.muhammad@aimnext.com

Aulia Averrous, Dr. Eng


(Tim Editor dan Penulis Bab 1 sub-bab ‘Bentengi Produk dengan Paten’)
Lahir di Lumajang, Jawa Timur pada tahun 1982. Setelah lulus dari SMU Insan Cendekia Serpong
pada tahun 2002. Selanjutnya mendapatkan beasiswa pemerintah Jepang (Monbukagakusho)
untuk program d3 di Ichinoseki College of Technology di prefektur Iwate. Lulus d3 pada tahun
2006 dilanjutkan dengan program S1 di Tokyo Institute of Technology. Setelah menyelesaikan
studi S2, dilanjutkan ke jenjang S3 dan lulus pada tahun 2012 dengan disertasi berjudul “The
Treatment of Asbestos with Atmospheric Pressure Microwave Air Plasma”. Masuk ke dunia
industri dengan bekerja di perusahaan kimia KANEKA di bidang pengembangan thin-film hingga
sekarang.
Email: averroes.a@gmail.com

124
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Azhari Sastranegara, Dr. Eng.


(Penulis Epilog)
Dilahirkan di Majene, Sulawesi Barat pada tanggal 11 April 1976. Menamatkan pendidikan
sekolah menengah di SMA Taruna Nusantara, Magelang, tahun 1994. Menyelesaikan pendidikan
S1, S2, dan S3 di Tokyo Institute of Technology, Tokyo, Jepang masing-masing pada tahun 2000,
2002, dan 2005 dengan spesialisasi mekanika material. Sejak April 2005 bekerja di Pusat
Litbang NSK LTD., sebuah perusahaan produsen bearing dan produk otomotif di Jepang. Mulai
tahun 2010 ditugaskan menangani Asia Pacific Technology Center dan Asia Pacific Quality
Assurance, NSK.
Email:azhari@nsk.com atau azhari.sn@gmail.com

Bondan Setiawan, M. Eng.


(Penulis Bab 1 sub-bab ‘Bentengi Produk dengan Paten’)
Dilahirkan di Jakarta pada tahun 1981. Lulus dari SMU 8 Jakarta pada tahun 1999. Dengan biaya
dari Beasiswa Pemerintah Jepang (Monbukagakusho), gelar pendidikan S1 dan S2 pada bidang
Teknik Elektro diraih dari Tohoku University pada tahun 2005 dan 2007. Setelah itu bekerja
sebagai Researcher Engineer di dapur litbang Hitachi, Ltd. Jepang hingga sekarang.
Email: bondans@gmail.com

Endrianto Djajadi, M. Eng.


(Penulis Bab 1 sub-bab ‘Benchmark, “Membongkar Produk Lain Menuai Ilmu’)
Menyelesaikan jenjang pendidikan S1 dan S2 di Universitas Yamanashi Jurusan Teknik Elektro
(Electrical Engineering and Computer Science) di Jepang. Setelah menyelesaikan S2 tahun 2001,
bekerja sebagai Engineer di Sony Corporation Divisi Pengembangan Panel/LCD untuk Video
Camera dan Digital Camera sampai tahun 2013. Sejak tahun 2014 hingga saat ini bekerja sebagai
Engineer di perusahaan yang memproduksi Display/LCD untuk digital camera dan Smartphone,
Japan Display Inc.
Email : endrix2002@yahoo.com

Dedy Eka Priyanto, M. Eng.


(Penulis Bab 1 sub-bab ‘Riset ≠0’ dan ‘Peran Pemerintah dan Kolaborasi R&D)
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 1 Sragen, sempat melanjutkan S1 di
Universitas Indonesia. Karena mendapat beasiswa Monbukagakusho, memilih melanjutkan d3
di Tokyo National College of Technology, kemudian melanjutkan S1, S2 di Kyoto University
jurusan teknik kimia. Setelah menyelesaikan S2 di tahun 2013 hingga saat ini, ia bekerja sebagai
peneliti di IHI Corporation, perusahaan heavy industry, divisi product development center,
khususnya teknologi terkait pengelolaan batu bara dan biomass. Mulai Oktober 2015, penulis
akan melanjutkan S3 di Kyoto University sambil bekerja di perusahaan saat ini.
Email: dedy_priyanto@ihi.co.jp

125
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Farid Triawan, Dr. Eng.


(Ketua Tim Editor dan Penulis Bab 1 dan Bab 3)
Selepas lulus dari SMU 1 Bekasi pada tahun 2001, Farid mengenyam pendidikan S1 di Institut
Teknologi Bandung, Jurusan Teknik Mesin. Kemudian, sempat bergabung dengan salah satu
perusahaan otomotif Jepang di Indonesia selama satu tahun sebagai Engineer. Pada tahun 2006,
berangkat ke Jepang untuk melanjutkan pendidikan S2 dan S3 di Tokyo Institute of Technology
dengan beasiswa dari pemerintah Jepang (Monbukagakusho). Setelah menerima gelar Doctor of
Engineering dibidang Mechanics of Material pada tahun 2012, ia bekerja di Torishima Pump Mfg.
Co., Ltd., di Osaka sebagai Engineer. Sejak tahun 2013, Farid ditugaskan untuk memimpin Grup
Riset untuk Pengembangan Teknologi Material pada struktur pompa.
Email: farid.triawan@gmail.com

Fidens Simanjuntak, M. Eng.


(Penulis Bab 4 sub-bab ‘Pelanggan adalah Raja’)
Lahir di Jakarta tahun 1980, lulusan SMU Negeri 8 Jakarta ini bertolak ke Jepang pada tahun
1998 lewat program beasiswa Monbukagakusho pemerintah Jepang. Setelah tamat program S2
Universitas Osaka di tahun 2006, penulis memulai karir di kantor pusat Toyota, Jepang. Di sini
penulis mendapatkan pengalaman yang kaya di bidang manajemen produksi, riset dan proyeksi
market. Pada tahun 2013 penulis merintis beberapa bisnis di Indonesia yang terfokus pada
bidang SDM yaitu rekrument, outsourcing dan training (www.jmaxindo.com), site info lowongan
kerja (www.jmaxjob.com) dan site info guru privat (www.guruprivat.com).
Email: fidens@jmaxindo.com

Giri Kuncoro, S.T.


(Penulis Bab 3 sub-bab ‘Gotong Royong dalam Monozukuri’)
Jajaka kelahiran Bandung tahun 1989 ini lulus pendidikan S1 Teknik Telekomunikasi, Sekolah
Teknik Elektro dan Informatika, ITB pada tahun 2010. Selepas kelulusan, ia langung bergabung
dengan pabrik terbesar Toshiba Corporation di Fuchu, Tokyo, sebagai software engineer selama
hampir 4 tahun. Ia sempat menyumbangkan 2 buah paten selama kiprahnya di Toshiba. Sistem
yang ia kembangkan telah digunakan oleh beberapa perusahaan energi terkemuka di Jepang,
Italia, dan Amerika. Pada akhir tahun 2014 memutuskan untuk melanjutkan studi S2 di Cornell
University, Amerika Serikat, dalam bidang Big Data melalui bantuan beasiswa LPDP
(Kementerian Keuangan).
Email: gk256@cornell.edu atau girikuncoro@gmail.com

126
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Indra Hermawan, B. Eng.


(Penulis Bab 2)
Lahir di Pamekasan, Madura pada tahun 1982. Setelah lulus dari SMU Taruna Nusantara
Magelang pada tahun 2001, sempat melanjutkan pendidikan S1 di Jurusan Teknik Infomatika
Institut Teknologi Bandung, sebelum akhirnya memilih berhenti dan mengambil beasiswa
pemerintah Jepang (Monbukagakusho) program D3 di Toba National College of Maritime
Technology di Prefektur Mie, dengan jurusan yang sama. Kemudian melanjutkan S1 pada tahun
2006 di University of Electro Communication, Tokyo. Lulus kuliah pada tahun 2008 lalu bekerja
sebagai Production Engineer pada Divisi Wiper System di Asmo Co., Ltd, perusahaan yang
begerak di bidang otomotif di Jepang. Pada 2011 Indra memutuskan untuk pulang ke Indonesia
dengan bergabung ke PT. Sumitomo Heavy Industries Indonesia, di divisi purchasing. Saat ini
bertanggung jawab di dalam kegiatan lokalisasi di Indonesia, dan kegiatan pemangkasan biaya
di Sumitomo Heavy Industries group.
Email: indrahr@gmail.com atau idr_hermawan@shi.co.jp

Inez Angelixa
(Tim Editor dan Penulis Bab 3 sub-bab ‘Lebih dari Sekedar Kepuasan Pelanggan’)
Lahir di Jakarta, 6 December 1989 dan tumbuh besar di Bintaro. Pada tahun 2008 terbang dan
menginjakan kaki untuk pertama kali nya di negri Sakura, tepatnya Kota Beppu, Oita yang
terletak di pulau Kyushuu. Dengan scholarship 65% dari Kampus Ritsumeikan Asia Pacific
University (APU), Inez berhasil menamatkan 4 tahun studi dan mendapat gelar S1 dalam bidang
Asia Pacific Studies, language and culture studies. Sekarang, sebagai satu-satunya karyawan
wanita Indonesia di kantor, ia bekerja di Daihatsu Motors Company. Ltd di Osaka, Jepang.
Tugasnya ialah mengurusi bisnis automotif Daihatsu di Malaysia.
Email: inezangelixa@gmail.com

Lyta Liem, Dr. Eng.


(Tim Editor)
Wanita kelahiran Bandung ini menamatkan pendidikan S1 di Teknik Material Institut Teknologi
Bandung (ITB). Kemudian ia melanjutkan pendidikan S2 dan S3 di Tokyo Institute of Technology
dengan beasiswa pemerintah Jepang (Monbukagakusho). Sekarang ia bekerja di bidang Material
pada departemen R & D di Torishima Pump Mfg. Co., Ltd., suatu perusahaan pompa di Osaka.
Bidang keahliannya antara lain oksidasi temperatur tinggi, perlakuan panas, dan perlakuan
permukaan.
Email: lyta137@yahoo.com

127
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

Patra Azwar, SE.Ak, MM, CA, CPA.


(Tim Editor dan Penulis Bab 5)
Selepas lulus dari SMA Negeri I Medan, pada tahun 1996 melanjutkan pendidikan di Universitas
Indonesia jurusan Ekonomi Akuntansi dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2010 melanjutkan
pendidikan Pascasarjana pada Program Studi Magister Manajemen dan Bisnis, Institut Pertanian
Bogor dan lulus tahun 2012. Mulai bekerja pada tahun 2000 sebagai auditor pada Kantor
Akuntan Publik PriceWaterhouseCoopers di Jakarta dengan posisi terakhir sebagai Senior
Associate. Tahun 2004, pindah ke PT Goodyear Indonesia Tbk, dengan posisi Regional/Internal
Auditor Asia Pacific. Tahun 2007, ditugaskan untuk bekerja pada kantor regional Asia Pacific di
Shanghai, China sebagai Finance Analyst. Sejak awal tahun 2010 kembali ke kantor PT Goodyear
Indonesia Tbk di Bogor sebagai Factory Accounting Manager sampai Nopember 2012. Mulai
Desember 2012, dipindah tugaskan ke Tatsuno, Jepang dengan posisi Finance Controller untuk
Nippon Giant Tire Co Ltd, anak perusahaan dari Goodyear Tire Rubber Company, USA. Sejak
Agustus 2105, kembali ditugaskan bekerja di kantor regional Goodyear Asia Pacific di Shanghai,
China dengan posisi Regional Finance Leader for Consumer Tires hingga saat ini.
Email: patra_azwar@gmail.com

Prasetyo Albertus
(Penulis Bab 5 sub-bab ‘Sisi Finance pada UMKM Jepang’)
Lahir di surabaya 11 september 1981. Menyelesaikan pendidikan di SMU Taruna Nusantara
pada tahun 1999. Keikutsertaan di TOFI membuatnya masuk ITB tanpa jalur UMPTN. Tahun
2001 masuk the University of Tokyo jurusan Fisika Murni setelah menyelesaikan pendidikan
bahasa Jepang di Osaka University for Foreign Studies. Tahun 2005 masuk Tokyo University of
Foreign Studies belajar sastra klasik jepang dan linguistik umum. Setelah menjadi staf ahli
bahasa bidang teknologi pada proyek-proyek JICA dan ODA, mendirikan Indonesia Research
Institute Japan pada tahun 2011. Perusahaan ini dipercaya oleh Ministry of Economic Trade and
Industry untuk menjalankan proyek-proyek riset dan out-bound investment bagi UMKM Jepang.
Email: arbee@indonesiasoken.com

Rudi Agus Setiawan, Dr. Eng.


(Penulis Bab 3 sub-bab ‘Lika-liku Pendidikan Karyawan Baru’)
Lahir di Bandar jawa, Sumatera utara pada tahun 1984. Setelah lulus dari SMU Plus Provinsi Riau
pada tahun 2003, melanjutkan pendidikan S1 di Jurusan Teknik Lingkungan Shinshu University,
Nagano, melalui beasiswa pemerintah daerah provinsi Riau. Kemudian melanjutkan studi S2
sampai S3 di universitas yang sama melalui beasiswa Monbukagakusho, dan lulus pada tahun
2014 dengan disertasi berjudul “Photoelectric conversion properties of dye-containing titania
electrodes prepared at low temperature”. Masuk ke dunia industri dengan bekerja di
perusahaan otomotif Daihatsu hingga sekarang.
Email: pieronosai04@yahoo.com

Teguh S. Anugeraha
128
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara
Copyright © Enjinia Nusantara. All rights reserved

(Tim Editor dan Penulis Bab 4)


Lahir di Bandung pada tahun 1981. Setelah lulus dari SMUN 10 Bandung pada tahun 1998,
melanjutkan pendidikan S1 di Jurusan Bahasa dan Sastra Jepang Universitas Padjadjaran.
Sempat mengikuti program beasiswa Japanese Studies di Osaka Kyoiku University selama 1
tahun di Osaka University. Lulus S1 pada tahun 2004, dan sempat menjadi interpreter di Toyota
Motor Manufacturing Indonesia. Lulus S2 bidang linguistik di Osaka University yang ditempuh
dengan beasiswa pemerintah Jepang (Monbukagakusho), kemudian bekerja di perusahaan
industri di Jepang baik sebagai interpreter maupun di bidang marketing. Saat ini bekerja
melayani masyarakat di KJRI Osaka.
Email: teguhanugeraha@gmail.com

Sonny Kurniawan, M. Eng.


(Penulis Bab 1 sub-bab ‘Pengembangan dan Kemajuan Front-end Perangkat Lunak’)
Mendalami bidang mekanika dan robotika di Tohoku University, Sendai dan bergabung dengan
Sony Corporation setelah lulus pada tahun 2009. Setelah itu sempat juga mendalami game
development di Pokelabo Inc. sebagai programmer untuk social game dan saat ini bergabung di
Rakuten sebagai product manager untuk aplikasi native. Sehari-hari berfokus kepada topik-
topik seputar web, internet dan teknologi pendukung seperti HTML5, browser, dll.
Email: sonny_yap@hotmail.com

129
Dilarang keras menyebarluaskan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Enjinia Nusantara

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai