Anda di halaman 1dari 9

Buletin Kaffah, No.

329
14 Rajab 1445 H
26 Januari 2024 M

PEMIMPIN WAJIB DITAATI,


TAPI JUGA WAJIB
DINASIHATI

S UDAH sering kita mendengar bahwa pemimpin, khusus-


nya pemimpin negara, wajib ditaati oleh seluruh rakyat.
Dengan kata lain, rakyat wajib menaati pemimpin atau
penguasa mereka. Sebaliknya, rakyat haram untuk membang-
kang apalagi memberontak kepada pemimpin atau penguasa
mereka. Dalilnya, yang sering dikutip, antara lain firman Allah
SWT:
۟ ِ ۟ ِ ۟
ۖ ‫ﻮل َوأ ُ۟وِﱃ ْٱﻷ َْﻣ ِﺮ ِﻣﻨ ُﻜ ْﻢ‬ ‫ٱﻪﻠﻟَ َوأ‬
َ ‫َﻃﻴﻌُﻮا ٱﻟ ﱠﺮ ُﺳ‬ ‫َﻃﻴﻌُﻮا ﱠ‬
‫ﻳﻦ ءَ َاﻣﻨُـٓﻮا أ‬ ِ‫ﱠ‬
َ ‫َٰٓ�َﻳـﱡ َﻬﺎ ٱﻟﺬ‬
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah,
dan taatlah kalian kepada Rasul serta ulil amri (pemimpin)
kalian (TQS an-Nisa’ [4]: 59).

01
Dalil lainnya antara lain sabda Baginda Rasulullah saw.:
ِ ِ ِ
ٌ‫ْﺳﻪُ َزﺑِﻴﺒَﺔ‬ ْ ‫اﲰَﻌُﻮا َوأَﻃﻴﻌُﻮا َوإِ ْن‬
َ ‫اﺳﺘُـ ْﻌﻤ َﻞ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َﻋْﺒ ٌﺪ َﺣﺒَﺸ ﱞﻲ َﻛﺄَ ﱠن َرأ‬ ْ
Dengar dan taatlah kalian meski yang memimpin kalian adalah
seorang budak hitam Habasyi yang kepalanya seperti anggur
kering (HR al-Bukhari).

Siapakah Ulil Amri?


Saat menjelaskan ayat yang memerintahkan ketaatan kepa-
da ulil amri (QS an-Nisa’ [4]: 59) di atas, Imam Abu Zahrah
menyatakan, sebagian ulama berpendapat bahwa ulil amri
adalah para ulama ahli fiqih yang mampu menggali hukum.
Adapun menurut mayoritas ulama, ulil amri adalah para pe-
nguasa (al-hukkâm) dan ahlul halli wa 'aqdi, tetapi dengan dua
catatan: (1) selama mereka Mukmin, artinya bukan penguasa
kafir; (2) selama mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya, yang
ditandai dengan menegakkan keadilan dan tidak melanggar
hukum-hukum-Nya (Lihat: Abu Zahrah, Zahrah at-Tafâsîr, hlm
1727-1728).
Dengan demikian ulil amri yang wajib ditaati dalam pemaha-
man syariah (mafhûm syar'i) bukanlah sembarang penguasa,
melainkan penguasa yang memiliki dua kriteria utama, yakni:
(1) Mukmin; (2) menegakkan hukum-hukum Allah SWT atau
selalu terikat dengan syariah-Nya.

02
Hak dan Kewajiban Pemimpin
Tentu benar bahwa pemimpin atau penguasa memiliki hak
untuk ditaati oleh rakyatnya. Ini sesuai dengan nas-nas di atas.
Namun demikian, pemimpin juga memiliki kewajiban, yakni
wajib memimpin rakyatnya dengan adil. Dalam ayat sebelum-
nya, yakni sebelum ayat yang memerintahkan umat agar me-
naati Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri mereka, Allah SWT
berfirman:
۟ ِ‫ﺖ إِ َ ٰﱃٓ أَﻫﻠ‬
ِ ۟
ِ ‫ﲔ ٱﻟﻨ‬
‫ﱠﺎس أَن َْﲢ ُﻜ ُﻤﻮا‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ﻜ‬َ ‫ﺣ‬ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ
َ َْ ُ ْ َ َ َ ْ ِ
‫إ‬‫و‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻬ‬ ٰ
‫ٰﻨ‬‫َﻣ‬
‫ٱﻷ‬ْ ‫ا‬
‫و‬ ‫إِ ﱠن ﱠ‬
ََ ‫ٱﻪﻠﻟَ َ�ْ ُﻣ ُﺮُﻛ ْﻢ أَن ﺗـُ َﺆﱡد‬
ۚ ‫ﺑِﭑﻟْ َﻌ ْﺪ ِل‬
Sungguh Allah memerintah kalian agar menyerahkan amanah
kepada yang berhak menerima amanah tersebut, juga (meme-
rintah kalian) jika kalian memutuskan hukum di tengah-tengah
manusia agar kalian berlaku adil (TQS an-Nisa’ [4]: 58).

Yang harus selalu diingat, seorang pemimpin baru bisa dika-


tegorikan sebagai pemimpin yang adil jika dia memimpin
berdasarkan Kitabullah (al-Quran) dan Sunnah Rasul-Nya. Jika
tidak, pada dasarnya dia adalah pemimpin yang zalim dan
fasiq. Allah SWT berfirman:
‫ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟﻈﱠﺎﻟِ ُﻤﻮ َن‬
َ ِ‫اﻪﻠﻟُ ﻓَﺄُوﻟَﺌ‬
‫َوَﻣ ْﻦ َﱂْ َْﳛ ُﻜ ْﻢ ِﲟَﺎ أَﻧْـَﺰَل ﱠ‬

03
Siapa saja yang tidak memutuskan hukum berdasarkan wahyu
yang telah Allah turunkan, mereka itulah kaum yang zalim (TQS
al-Maidah [5]: 45).

ِ ‫ﻚ ﻫﻢ اﻟْ َﻔ‬ ِ ‫وﻣﻦ َﱂ َﳛ ُﻜﻢ ِﲟَﺎ أَﻧْـﺰَل ﱠ‬


‫ﺎﺳ ُﻘﻮ َن‬ ُ ُ َ ‫اﻪﻠﻟُ ﻓَﺄُوﻟَﺌ‬ َ ْ ْ ْ ْ ََ
Siapa saja yang tidak memutuskan hukum berdasarkan wahyu
yang telah Allah turunkan, mereka itulah kaum yang fasiq (TQS
al-Maidah [5]: 47).

Dengan demikian ketaatan kepada pemimpin atau pengu-


asa sesungguhnya tidaklah mutlak. Tetap ada batasan. Apa
batasannya? Tidak lain selama pemimpin atau penguasa ter-
sebut menjalankan syariah-Nya. Imam al-Baghawi, saat menaf-
sirkan QS an-Nisa’ ayat 59 tentang kewajiban menaati ulil amri,
beliau menukil sebuah atsar bahwa Imam Ali bin Abi Thalib ra.
pernah berkata:
ِ ِ ِ ِ ِ
‫ﻠﻰ‬ َ ‫ي اْﻷ ََﻣﺎﻧَﺔَ ﻓَِﺈ َذا ﻓَـ َﻌ َﻞ َذﻟ‬
َ ‫ﻚ ﻓَ َﺤ ﱞﻖ َﻋ‬ َ ‫َﺣ ﱞﻖ َﻋﻠَﻰ اْﻹ َﻣﺎم أَ ْن َْﳛ ُﻜ َﻢ ﲟَﺎ أَﻧْـَﺰَل ﷲُ َو ﻳـَُﺆّد‬
.‫اﻟ ﱠﺮ ِﻋﻴﱠ ِﺔ أَ ْن ﻳَ ْﺴ َﻤﻌُ ْﻮا َو ﻳُ ِﻄﻴْـﻌُ ْﻮا‬
Wajib atas pemimpin/penguasa untuk memutuskan semua per-
kara dengan hukum yang telah Allah turunkan (yakni al-Quran
dan Sunnah) serta menjalankan amanah. Jika pemimpin/pengu-
asa telah melakukan hal demikian, wajib atas rakyat untuk
mendengar dan taat (Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, 2/240).

04
Ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw.:
ِ ‫ﺎﲰﻌﻮا ﻟَﻪ وأ‬ ِ‫ﺎب ﱠ‬ِ َ‫اﺳﺘُـ ْﻌ ِﻤﻞ َﻋﻠَْﻴ ُﻜﻢ َﻋْﺒ ٌﺪ ﺣﺒ ِﺸ ﱞﻲ ﻳـ ُﻘﻮدُ ُﻛﻢ ﺑِ ِﻜﺘ‬
‫َﻃﻴﻌُﻮا‬ َ ُ ُ َْ َ‫اﻪﻠﻟ ﻓ‬ ْ َ ََ ْ َ ْ ‫َوﻟَ ْﻮ‬
Andai yang diangkat sebagai pemimpin kalian adalah seorang
budak hitam Habasy, tetapi dia memimpin kalian dengan Kita-
bullah, maka dengar dan taatilah dia (HR an-Nasa’i).

Dengan demikian pemimpin atau penguasa memang ber-


hak untuk ditaati oleh rakyatnya. Namun, dia juga berkewaji-
ban untuk memimpin rakyatnya dengan Kitabullah.
Alhasil, yang diperlukan saat ini bukanlah sekadar fatwa
ulama yang ditujukan kepada rakyat untuk mentaati pemim-
pinnya. Yang jauh lebih dibutuhkan saat ini adalah fatwa ulama
yang ditujukan kepada pemimpin atau penguasa agar selalu
memimpin rakyatnya dengan Kitabullah (al-Quran).
Dalam konteks Pemilu/Pilpres 2024, yang lebih dibutuhkan
saat ini bukanlah fatwa ulama yang hanya ditujukan kepada
rakyat tentang keharaman golput, yang selalu diulang-ulang
setiap menjelang Pemilu/Pilpres. Yang lebih dibutuhkan saat
ini justru fatwa ulama yang ditujukan kepada pemimpin atau
calon pemimpin tentang kewajiban mereka memimpin de-
ngan Kitabullah (al-Quran), yakni dengan menerapkan dan
menegakkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek
kehidupan. Sayangnya, fatwa ulama semacam ini, yang dituju-

05
kan kepada pemimpin atau calon pemimpin, nyaris selalu
absen dalam setiap Pemilu/Pilpres.

Nasihat untuk Penguasa dan Ulama


Dalam salah satu masterpiece-nya, At-Tibr al-Masbûk fî Na-
shîhah al-Mulûk, pada bagian awal babnya, Hujjatul Islam Imam
al-Ghazali menukil beberapa riwayat sebagai bahan renungan
bagi para penguasa, juga para ulamanya. Di antaranya sebagai
berikut:
Suatu hari, saudara kandung al-Balkhi menemui Khalifah
Harun ar-Rasyid. Khalifah kemudian berkata, “Nasihatilah a-
ku!”
Orang itu berkata, “Sesungguhnya Allah telah menduduk-
kan dirimu pada kedudukan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin
al-Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib (yakni
sebagai penguasa, pen.). Karena itu Allah SWT meminta dari-
mu sifat benar/jujur seperti yang ditunjukkan Ash-Shiddiq
(Abu Bakar). Allah meminta dirimu menjadi pembela yang haq
dan penumpas yang batil seperti Al-Faruq (Umar). Allah me-
minta dirimu memiliki rasa malu dan kemurahan seperti
Utsman bin Affan. Allah pun meminta dirimu memiliki ilmu dan
keadilan seperti yang ditunjukkan Ali bin Abi Thalib.”
“Teruskan,” kata Khalifah.

06
Orang itu berkata lagi, “Perumpamaanmu seperti mata air,
sedangkan seluruh ulama di dunia ini seperti wadahnya. Jika
mata air itu jernih, kotornya wadah air tidaklah berbahaya. Na-
mun, jika mata airnya kotor, bersihnya wadah air tak ada
gunanya.”
Pada waktu lain, suatu malam, Khalifah Harun ar-Rasyid me-
nemui Fudhail bin Iyadh rahimahulLâh. Saat pintu rumah
Fudhail bin Iyadh dibuka, Khalifah menyalami tuan rumah,
yang spontan berkata, “Api nerakalah untuk tangan halus ini
jika ia tidak selamat dari azab-Nya pada Hari Kiamat nanti.”
Fudhail bin Iyadh melanjutkan, “Amirul Mukminin, bersiap-
siaplah engkau untuk menjawab pertanyaan Allah kelak. Se-
babnya, sungguh Allah akan menghadapkan dirimu kepada
setiap Muslim atas kebijakanmu terhadap masing-masing dari
mereka.”
Mendengar itu, menangislah Harun ar-Rasyid sejadi-jadinya
seraya menundukkan kepalanya di dadanya. Saat itu, Abbas,
yang mendampingi dirinya, berkomentar, “Celakalah, wahai
Fudhail. Engkau telah membunuh Amirul Mukminin!”
Fudhail bin Iyadh menjawab, “Wahai Hamman, justru kamu
dan kaummulah yang mencelakakan dia...”
Khalifah Harun ar-Rasyid lalu berkata kepada Abbas, “Jika
ia menyebut kamu Hamman, berarti ia menganggap aku

07
Fir’aun.” (Lihat: Al-Ghazali, At-Tibr al-Masbûk fî Nashîhah al-
Mulûk. Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, hlm. 23-54, 1988).
Demikianlah. Nasihat adalah bagian tak terpisahkan dari
para penguasa Muslim pada masa lalu. Bahkan telah menjadi
‘makanan’ sehari-hari mereka. Sebaliknya, nasihat kepada pa-
ra penguasa juga tidak pernah lepas dari para ulama. Bahkan
menjadi ‘kebutuhan’ mereka. Banyak para ulama pada masa
lalu rela menghabiskan waktunya untuk mengontrol, menga-
wasi, menasihati, mengkritik sekaligus meluruskan para
penguasa—yang menyimpang—tanpa kenal lelah, khawatir
atau rasa takut. Dengan itulah, dalam sistem Islam, keadilan
tetap kukuh meski seandainya bumi runtuh. Kezaliman lenyap
di bumi yang berdiri tegap.
Tidak aneh jika sepanjang zaman Kekhilafahan Islam pada
masa lalu, terlalu banyak kisah-kisah nyata para penguasa
Muslim yang menggugah perasaan karena kezuhudan, keren-
dahatian, keadilan, kejujuran, keamanahan dan kebajikan
mereka dalam memimpin rakyatnya. Terlalu banyak pula
kisah-kisah nyata para ulama yang menyentuh kalbu karena
kewaraan, keberanian dan ketajaman lidah mereka di
hadapan para penguasa.
Sudah sepantasnya para penguasa Muslim saat ini menja-
dikan kisah-kisah di atas sebagai cermin dan pelajaran. Sela-

08
yaknya mereka senantiasa berlapang dada dalam menerima
nasihat, bahkan selalu meminta nasihat kepada para ulama.
Sebaliknya, para ulama wajib menyampaikan nasihat kepa-
da penguasa, diminta atau tidak diminta. Mereka tidak boleh
bermanis-muka, apalagi sampai menjilat penguasa. Mereka
tidak patut menyembunyikan kebenaran yang wajib mereka
sampaikan, apalagi di hadapan penguasa zalim yang enggan
menerapkan syariah Islam. Sebabnya, ulama sejati tentu tak
akan pernah melupakan sabda Baginda Rasulullah saw.:
ٍ َ‫ﻀﻞ ا ْﳉِﻬ ِﺎد َﻛﻠِﻤﺔُ ﺣ ٍﻖ ِﻋْﻨ َﺪ ﺳﻠْﻄ‬
‫ﺎن َﺟﺎﺋٍِﺮ‬ ُ ّ َ َ َ ُ َ ْ‫أَﻓ‬
Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di
hadapan penguasa zalim (HR an-Nasa’i, Ibnu Majah dan
Ahmad).

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

HIKMAH:
Rasulullah saw. bersabda:
ِ‫ﱠﺎس إِ َﱃ ﷲ‬ ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ‫ َو إِ ﱠن أَﺑْـﻐ‬،‫ﱠﺎس إِ َﱃ ﷲ ﻳـَ ْﻮَم اﻟْﻘﻴَ َﺎﻣﺔ َو أَﻗْـ َﺮَﻬﺑُْﻢ ﻣْﻨﻪُ َْﳎﻠ ًﺴﺎ إِ َﻣ ٌﺎم َﻋ َﺎد ٌل‬
ِ ‫ﺾ اﻟﻨ‬ ِ ‫ﺐ اﻟﻨ‬ َ ‫إِ ﱠن أ‬
‫َﺣ ﱠ‬
‫ﱠﻫ ْﻢ َﻋ َﺬ ًاﺎﺑ إِ َﻣ ٌﺎم َﺟﺎﺋٌِﺮ‬
ُ ‫َﺷﺪ‬ َ ‫َو أ‬
Sungguh manusia yang paling Allah cintai pada Hari Kiamat kelak dan paling
dekat kedudukannya dengan Dia adalah seorang pemimpin yang adil. Sungguh
manusia yang paling Allah benci dan paling keras mendapatkan azab-Nya
adalah seorang pemimpin yang zalim. (HR at-Tirmidzi). []

09

Anda mungkin juga menyukai