Anda di halaman 1dari 12

TRANSFORMASI CULTURE ADALAH PERUBAHAN KESADARAN

PARA PIMPINAN (LEADERSHIP CONSCIOUSNESS CHANGE)

Tingkatan Kesadaran
Kesadaran diwujudkan sebagai perhatian anda. Apa yang menjadi tujuan perhatian anda
ditentukan oleh apa yang menjadi kebutuhan anda. Secara kausal kebutuhan diri anda akan
menentukan kesadaran anda. Maslow menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki lima
tingkatan kebutuhan. Kebutuhan fisiologis yaitu makan, minum dan tempat berteduh. Kebutuhan
kedua adalah kebutuhan untuk merasa aman. Kebutuhan ketiga adalah kebutuhan rasa memiliki
dan kasih sayang. Kebutuhan keempat adalah dihargai dan diapresiasi. Kebutuhan kelima adalah
aktualisasi diri. Richard Barrett mengadopsi teori hirarki kebutuhan Maslow dan memodifikasinya
menjadi tingkat kesadaran yang terdiri dari tujuh tingkatan. Hirarki kebutuhan Maslow pertama
sampai keempat dijadikan tiga tingkatan kesadaran pertama. Sedangkan tingkat kebutuhan
model Maslow kelima menjadi tingkatan kebutuhan untuk transformasi atau kebutuhan keempat.
Mari kita bahas lebih lanjut apa saja tingkat kesadaran yang dimaksud Richard Barret.
Tingkat kesadaran di level bawah merupakan kesadaran yang masih dikendalikan oleh tiga jenis
kebutuhan ego manusia. Kebutuhan ini didorong oleh mindset yang didominasi rasa kurang
(scarcity), khawatir dan takut.

Tingkat kesadaran bawah ini ditengarai oleh kuatnya ego diri terutama dalam konteks untuk
survive dan menang (mempertahankan eksistensi dirinya, posisi/jabatan, imej, reputasi diri, serta
pemenuhan hasrat dan keinginan dirinya). Kebutuhan ego yang ada pada tiga kesadaran bawah
ini bisa membesar sedemikian sehingga menutupi kesadaran atas misi, tugas ataupun peran diri
seorang leader sebagai pembina, penggerak, pengayom atau peran yang mewakili kepentingan
yang lebih besar dari ego pribadinya. Seorang leader akan mulai memiliki tingkat kesadaran
meningkat ke level atas pada saat dirinya merasa perlu melakukan perubahan dari dalam dirinya
sendiri terlebih dulu. Mereka mulai menyadari bahwa dirinya masih perlu ‘belajar’ dan
‘bertumbuh’. Kesadaran ini memang tidak mudah untuk dimunculkan terutama pada mereka yang
sudah berada pada zona nyaman, memegang jabatan penting dan hampir tiap hari didatangi oleh
orang-orang yang meminta restu, persetujuan, maupun keputusan dari dirinya. Individu yang ada
di posisi ini cenderung terlena dalam ruang lingkup perbatasan nyamannya dizona pemegang
kekuasaan. Tidak jarang bahkan mereka merasa dirinya berada diatas ‘awan’ dan mengganggap
orang lain ‘kurang’ dari dirinya (dalam hal kepandaian, pengetahuan, atau kemampuan). Sistem
organisasi yang hirarkis, mengutamakan senioritas juga mempertebal dinding kepekaan dan
dapat ‘membutakan’ pemegang jabatan. Dunia penghormatan, tidak pernah merasa kekurangan
finansial, seremonial gunting pita, pemberian penghargaan yang ter- (ajang CEO terbaik, brand
terbaik, perusahaan terbaik di media), otoritas dan kekuasaan, bisa mengkondisikan diri mereka
jadi kurang sadar bahkan buta jika mereka sendiri ‘tidak sadar’ (atas kekurangan dan
ketidakmampuan mereka dalam konteks memimpin).

Organisasi yang memiliki leader adaptif akan meninggalkan warisan generasi muda pimpinan dan
talenta yang siap dengan mindset adaptif. Leader adaptif melakukan transformasi organisasi dan
meninggalkan jejak budaya organisasi seperti kolaborasi, sinergi, kejujuran, resilience (keuletan),
adaptif dan kreatifitas. Para leader adaptif ini biasanya justru jauh dari hingar bingar kegiatan yang
tujuannya untuk mempopulerkan diri dan tidak menaruh banyak perhatian kepada seremonial
penghargaan. Waktu mereka terserap bekerja keras dalam membangun organisasi. Mereka
percaya diri bahwa keberhasilan dirinya memimpin ditentukan oleh nilai-nilai prinsip yang mereka

1
pegang. Nilai-nilai ini merupakan arah tuntunan perilaku para leaders dalam organisasinya. Dalam
empat level kesadaran yang ada diatas terdapat nilai-nilai seperti melayani sesama, coaching dan
mentoring, mengkoreksi asumsi diri yang kurang tepat, kepedulian, pembelajaran kontinyu,
integritas dan keberanian untuk mengakui kekeliruan ataupun ketidaktahuan. Mengapa nilai-nilai
ini (kesadaran level keempat sampai ketujuh) penting untuk organisasi? Bagaimana suatu
organisasi bisa mengembangkan sumber daya manusia yang menghayati dan mempraktekkan
nilai-nilai seperti diatas?

Otto Scharmer, Joseph Jaworski dan Peter Senge adalah pakar system dan management di MIT
yang turut membidani lahirnya teori U. Latar belakang munculnya teori U dipicu pemikiran akan
perlunya melakukan transformasi yang mengakar ke level individu. Para ahli ini paham bahwa
berbagai cara dan pendekatan transformasi yang ada selama ini belum menjawab tuntas
perubahan yang diperlukan di era lingkungan yang berkembang sedemikian kompleks. Teori U
memberi jawaban aplikatif bagi individu, organisasi maupun sistem sosial untuk mengatasi
tantangan yang tadinya dirasa amat sulit untuk diatasi (antara lain mengubah tingkat kesadaran
para leader).

Transformasi menggunakan proses U membantu mengubah pola berpikir secara individu maupun
kolektif. Teori U menyelaraskan cara pandang, sikap dan respon terhadap masalah yang dihadapi
para leaders menjadi lebih akurat dan menyerap aspek maupun variable penting yang tadinya
terlewatkan. Sebagai contoh, respon yang menjadi kebiasaan umum di organisasi adalah
ketergesaan para leaders mencari solusi saat menghadapi suatu masalah atau tantangan. Tanpa
dilandasi mindset baru, kebiasaan seperti ini bisa menjadi bumerang dan justru menghambat
diperolehnya solusi yang optimal. Ketergesaan muncul dari kekhawatiran bawah sadar dan
merespon terhadap apa yang terjadi di luar sebagai suatu ancaman. Ketika seorang leader
memaknai stimulus luar seperti ini maka rasa takut akan menjadi pengendali otomatis respon
dirinya. Dalam cengkeraman ketergesaan, ketelitian, keakuratan dan pertimbangan bijak sering
terlewatkan. Berapa kali anda pernah menerima desakan yang muncul dari atas untuk
mendahulukan prioritas project mereka. Anda menjadi kewalahan mereschedule prioritas lainnya.
Jika tipe atasan anda pengontrol dan tidak menyukai anakbuah yang beda pendapat, maka amat
mungkin anda akan terpengaruh untuk ‘cari aman’ mengikuti apa permintaannya. Kadang akan
muncul konflik dalam diri anda. Apakah anda akan mengikuti kata hati yang mengatakan anda
seharusnya tidak usah memenuhi permintaan atasan?, dan anda mau terima risiko berkurang kans
promosi atau penilaian baik ditahun ini. Jika anda memilih ‘bermain aman’ maka bisa jadi

2
perhatian anda akan tertuju kepada bagaimana memenuhi keinginannya. Seluruh upaya anda
akan terpusat kesana. Anda berpotensi menjadi lengah dalam konteks memimpin menghadapi
tantangan adaptif. Tidak sedikit organisasi yang sudah masuk kategori penerima penghargaan,
namun beroperasi dengan pola pemadam kebakaran seperti ini. Bos atau atasan mereka
cenderung mengikuti apa yang akan membuat mereka lebih populer di media atau didukung lagi
oleh para penentu kursi jabatan mereka. Coba anda rasakan bagaimana anda berada dan bekerja
di organisasi seperti ini. Organisasi dimana anda sulit menjadi diri anda sendiri dan perlu
‘mempackaging’ apa kata hati anda yang berdasar nilai kesadaran apa yang benar.

Dalam organisasi ‘pemadam kebakaran’ dan ‘seremonial’ yang menjadi perhatian dan menyedot
energi para leader adalah bagaimana memiliki ‘pentas’ untuk membuat diri mereka menjadi lebih
‘terlihat’ dan ‘tersorot’. Karena hal itulah yang dianggap sebagai ‘kunci sukses karir’. Di kalangan
atasan mereka, kedaan yang mirip sebenarnya juga terjadi. Ujung pangkal situasi ini (untuk
organisasi pelat merah) biasanya berawal dari si penentu utama nasib kursi jabatan, yang dalam
proses pengambilan keputusan pemilihan eksekutif puncak lebih mengandalkan info dari
‘keterkenalan’ dan ‘rekam jejak’ para potential kandidat. Sayangnya yang luput dari perhatian
adalah apakah ‘rekam jejak’ mereka, meninggalkan legacy organisasi yang lebih tertata dan
independen? atau malah hanya bagus ‘pas’ dipimpin mereka tapi kinerjanya melempem lagi
setelah mereka pergi? Pembuat keputusan utama ini sebenarnya tidak memahami benar seluk
beluk bagaimana sebaiknya kepemimpinan organisasi ditentukan. Mereka lebih memperhatikan
indikator keuangan dan rasio-rasio yang sifatnya merupakan potret sesaat. Untuk organisasi
swasta pemilihan leader biasanya ditentukan oleh kecocokan dengan pemegang saham.
Pemilihan ini bisa menjadi subjektif karena kecocokan biasanya dipengaruhi oleh fektor preferensi
personal. Ada kecenderungan jika model pemegang saham perannya sangat kuat maka yang
terpilih adalah orang-orang yang modelnya sesuai dengan ciri ciri tertentu. Ini akan berpotensi
membentuk organisasi dipenuhi oleh orang orang yang sama pola perilakuknya. Contoh ada
organisasi yang lingkaran atasnya diisi orang-orang yang dianggap loyal, penurut dan tidak neko-
neko. Proses homogenisasi ini mendorong keluarnya talenta muda mencari peluang ke organisasi
yang lebih terbuka, transparan dan objektif. Maka dalam jangka panjang organisasi yang
dikendalikan mereka yang mengontrol dengan ketat akan menderita dalam proses pertumbuhan
bisnis, kompetitif dan kesulitan melakukan regenerasi serta rentan terhadap perubahan.

Transformasi proses U mengajak kita untuk mendudukan porsi kesadaran sebagai sesuatu yang
amat vital jika suatu organisasi diinginkan untuk survive dan grow secara sustainable. Langkah
yang paling pertama dalam transformasi antara lain adalah menggali dan memahami kesadaran
apa yang dimiliki oleh para leaders suatu organisasi. Kesadaran yang sering menimbulkan efek
destruktif bagi pertumbuhan organisasi adalah kesadaran yang dikendalikan oleh rasa takut.

Kesadaran ini ada di level satu sampai ketiga dari Kesadaran Barret 7 level.
Mari kita bahas sejenak bagaimana kesadaran yang didominasi oleh rasa takut ini muncul dan
terbentuk dalam diri kita. Pada masa prasejarah manusia hidup dalam lingkungan yang penuh
ancaman dari alam sekitarnya. Wujud ancaman ini bisa berupa binatang buas, kelompok suku lain
ataupun lingkungan alam yang masih liar. Dimasa modern ini ancaman dalam wujud seperti itu
tidak lagi ada dalam lingkungan hidup kita. Namun manusia masih memiliki insting untuk
menengarai sesuatu sebagi ancaman layaknya bak bertemu binatang buas pada prasejarah.
Struktur otak kita di bagian amygdala memiliki mekanisme pertahanan diri ini sebagai cara untuk
membuat kita siap menghindar, melawan atau diam. Walaupun lingkungan hidup kita bukan lagi
dalam era primitif namun otak kita merespon komentar pedas atasan, opini rekan kerja mengenai

3
kualitas project dalam meeting, nada suara yang menunjukan rasa kurang hormat, sebagai
ancaman. Selain dari mekanisme evolusi manusia, kita juga menerima programming dari
lingkungan dan budaya bagaimana kita ditumbuh-kembangkan. Bagaimana situasi lingkungan kita
dibesarkan. Apa yang terjadi dalam keluarga kita. Bagaimana orang tua kita mendidik. Faktor tadi
amat berpengaruh terhadap bagaimana kita memiliki mindset atau filter yang akan
menerjemahkan apa yang terjadi diluar diri kita. Filter inilah yang akan memberi makna dan
berpengaruh terhadap kemampuan kita untuk mengelola respon. Sebagian besar dari filter tadi
berupa pemrograman yang dilandasi rasa takut. Takut tidak bisa survive, takut kehilangan posisi,
takut tidak akan disukai, takut dianggap tidak kompeten, takut tidak dihargai, dst. Jika kita tidak
melatih diri untuk mengelola proses penerjemahan ini maka bisa jadi secara otomatis kita akan
terkondisikan untuk merespon dengan apa yang disebut dalam pengaruh ‘amygdala hijack‘.
Dalam kondisi terhijack dan dilandasi rasa takut tanpa disadari kita akan merespon masalah atau
tantangan dengan pendekatan yang sifatnya reaktif dan bisa menuju ke destruktif.

Tiga Jenis Respon reaktif


Ada tiga kategori respon reaktif yang dilandasi oleh rasa ‘takut’ dan ‘mentalitas kekurangan’ yang
semuanya ada di Level satu sampai ketiga kesadaran. Secara umum respon reaktif ini mengacu
pada perilaku sbb:

Mengontrol: mencoba memastikan semua dibawah kendali dan memastikan bahwa semua pihak
tidak melakukan hal-hal yang kita anggap sebagai risiko ataupun ancaman. Bila berlebihan
dengan respon ini maka ada kecenderungan seseorang menjadi otoriter, suka mendikte dan tidak
peka. Kecenderungan lain di kategori ini adalah sangat ingin agar dirinya menjadi yang benar dan
sempurna. Menyukai dirinya diikuti, dipanuti, disegani ataupun ditakuti. Cenderung menuntut
orang lain loyal dan patuh. Dominan dalam kelompok (keinginan mengendalikan). Tidak menyukai
perbedaan pendapat. Merasa ada ancaman saat orang lain, terutama anak buahnya ada yang
lebih menonjol (contoh dari sisi: pengetahuan, kepandaian, atau reputasi).

Menuruti: mengikuti apa yang menjadi permintaan, menyenangkan atasan/ orang lain, bersikap
konservatif, mengikuti kemauan orang banyak (tekanan jumlah suara), maupun pendapat yang
lebih dominan. Hal ini dilakukan karena adanya rasa takut kepada konsekuensi buruk yang akan
diterima kalau kita tidak menuruti kemauan, pendapat maupun permintaan orang/ kelompok
tersebut. Bila berlebihan dengan kecenderungan ini maka seseorang bisa menjadi yes-man, cari
selamat, mengikuti arah angin bertiup, berlindung dibalik SOP dan peraturan, menghindari
konflik, menghindari tanggung-jawab, atau bahkan mememanipulasi orang lain.

Memproteksi: melindungi diri kita dengan menyangkal, menyembunyikan, menjaga jarak,


menghindari, melawan, menunjukkan dirinya lebih (pandai, kreatif, memegang prinsip, lebih loyal,
dst), menjadi arogan, atau bahkan bereaksi tidak suka sampai ke marah. Respon Ini biasanya
muncul atas keinginan untuk tidak dinilai buruk atau tidak dipersepsi jelek yang menurutnya akan
berimbas kepada kepercayaan, harga diri, martabat, kehormatan ataupun status diri. Bila
berlebihan maka maka kecenderungan memproteksi ini bisa membuat ekspresi seseorang muncul
sebagai suka mengeles, sinis, suka berdebat, mudah tersinggung, tidak mau berbagi informasi,
menyalahkan pihak lain, kurang peka, suka menghakimi atau terkesan melepas tanggung jawab.

Bisa dibayangkan bagaimana suatu organisasi akan maju dan bertumbuh apabila para
pimpinannya memiliki kecenderungan respon-respon reaktif seperti yang dicontohkan diatas?
Pola respon reaktif ini ada pada tingkatan kesadaran di satu sampai ketiga di level kesadaran

4
bawah. Menurut riset yang dilakukan Richard Barrett suatu organisasi hanya akan mencapai
tingkat kesadaran kolektif tertentu sesuai dengan tingkatan kesadaran yang dimiliki oleh pucuk
pimpinan di organisasi tersebut. Ini menimbulkan konsekuensi bahwa sehebat apapun klaim
program pengembangan leadership yang dinyatakan bisa mendorong perubahan ataupun
transformasi, tidak akan mencapai sasaran perubahan jika tingkat kesadaran para leader puncak
masih berada pada tingkat kesadaran bawah. Ini karena manifestasi ketiga tingkat kesadaran
bawah yang akan mendorong munculnya pola respon reaktif seperti yang diuraikan diatas. Hanya
melalui perubahan (peningkatan) level kesadaran yang terjadi pada tingkatan individu sang
pimpinan di organisasi itu, perubahan yang diinginkan baru akan terjadi secara kolektif, serentak
dan menyeluruh. Mengapa demikian? Karena kesadaran (consciousness, bukan awareness)
menurut Richard Barrett menentukan pola pemaknaan seseorang terhadap apa yang menjadi
bernilai, apa yang diprioritaskan, kemana energi akan mengalir dan apa yang memperoleh
perhatian. Dengan demikian semua keputusan dan sikap seorang leader akan sangat dipengaruhi
oleh tingkatan kesadaran dirinya. Jika kesadaran para leader berada pada level 4-7 maka
perhatian dan energi mereka akan mengalir dan fokus ke arah: bagaimana organisasinya
berkembang (mengembangkan dirinya dan orang lain), bagaimana menjadi otentik (tidak
memanipulasi dan berintegritas tinggi), bagaimana bisa memberikan nilai tambah dan berbeda
(make a difference) dan melayani orang lain (menjadi berkah bagi bisnis/sesama).

(referensi: Richard Barrett – Seven levels of Consciousness)


Kesadaran tingkat pertama didorong oleh kebutuhan untuk survival fisik dan menjaga ego. Energi
dan perhatian kesadaran tingkat satu mengarah pada hal-hal yang dirasa akan mengancam
survival, keberadaan maupun eksistensi baik secara fisik maupun kelangsungan keuangan
5
seseorang. Mengapa keuangan? Karena pada jaman modern ini kita memerlukan uang sebagai
alat untuk menjaga kelangsungan hidup kita. Dasar dari kesadaran tingkat pertama adalah adanya
kekhawatiran maupun ketakutan akan kelangsungan hidup kita. Ketika anda merasa tidak aman
baik secara fisik maupun keuangan, maka kesadaran anda akan bergeser berada pada mode
bertahan hidup (survival). Jika di masa kecil anda tidak pernah merasa ditelantarkan, ditinggal
orang tua anda (cerai, meninggal atau meninggalkan), atau mengalami ancaman hidup, maka
kemungkinan anda akan berkembang dengan ego yang memiliki hubungan sehat dengan
kesadaran survival. Anda akan responsif dan tidak bersikap reaktif terhadap situasi survival. Anda
akan bisa menyikapi situasi survival dengan tenang tanpa harus emosional, menjadi khawatir
ataupun takut. Namun sebaliknya jika orang tua anda mengabaikan anda di masa kecil anda atau
anda mengalami tekanan keadaan untuk survive (bisa karena masalah keuangan maupun tidak
adanya payung kepastian siapa yang menjaga dan menopang hidup anda) maka tanpa sadar
timbunan penderitaan ini dapat menumbuhkan rasa takut akan terulangnya peristiwa menyakitkan
ini dalam alam bawah sadar anda. Anda menjadi mudah terpicu dan bereaksi secara emosional ke
situasi yang anda rasa mengancam diri anda (posisi, jabatan, keuangan, karir, atau kesehatan). Jika
anda memiliki kecenderungan takut atas survival anda maka perhatian dan energi anda mengarah
ke bagaimana mengamankan status, jabatan, posisi, penghasilan, project, atau segala sesuatu
yang merupakan kepastian untuk kelangsungan hidup anda. Kesadaran di tingkatan ini erat
hubungannya dengan materi, finansial dan kesehatan fisik. Kesadaran ini dilandasi oleh rasa takut
dan keyakinan atas tidak cukupnya uang, kesempatan, kepastian untuk memenuhi kebutuhan kita
agar kita bisa survive.

Kesadaran kedua adalah tentang perlunya memiliki hubungan (relationship) dengan orang lain
atau afiliasi terhadap kelompok. Kesadaran ini tumbuh seiring dengan proses adaptasi dan evolusi
manusia menjadi makhluk yang hidup berkelompok. Dalam perjalanan evolusi, kita belajar untuk
memiliki ketergantungan dan ikatan kepada kelompok. Perilaku ini penting karena dengan
memiliki atau berada pada kelompok akan muncul rasa aman karena terlindungi dari berbagai
risiko seperti serangan kelompok lain. Pada jaman primitif bila seseorang dikeluarkan dari
kelompoknya (sukunya) maka risikonya adalah menemui maut. Jaman kini bukan masa prasejarah
lagi namun kesadaran ini masih ada dalam wujud yang berbeda. Pada era modern kita dapat
melihat munculnya kelompok dan afiliasi sebagai tempat untuk membuat diri kita merasa aman
dan terlindungi. Kesadaran kedua ini mengarahkan perhatian dan energi kita kepada tindakan
yang pada dasarnya mendorong agar kita merasa diterima dalam kelompok yang kita inginkan.
Manifestasi dari kesadaran ini bisa merupakan tindakan yang memiliki tujuan agar kita dicintai,
diperhatikan atau diterima sebagai anggota suatu kelompok (keluarga, rekan kerja, atasan,
anggota team elite, kelompok sosial, kelompok religi, dst). Jika di masa kecil anda menerima kasih
sayang dan perhatian yang cukup dari orang tua anda dan mereka mencintai anda tanpa kondisi
(unconditional love) maka anda akan tumbuh sebagai orang yang memiliki kesadaran hubungan
yang sehat. Anda merasa aman karena anda beranjak dewasa dengan lingkungan yang penuh
oleh kasih sayang. Jika anda tumbuh dengan orang tua yang menuntut perilaku anda yang ditukar
dengan rasa kasih sayang dan perhatian mereka maka anda belajar bahwa untuk dicintai anda
harus berusaha dan melakukan hal tertentu yang diinginkan mereka. Kalau orang tua anda
menekankan aturan perilaku tertentu ini dengan ancaman anda tidak dicintai atau diperhatikan
(jika anda tidak melakukan yang diharapkan oleh mereka) maka anda bisa tumbuh dewasa
memiliki kebutuhan untuk diterima oleh orang lain anda harus mengadopsi perilaku tertentu yang
bisa jadi menyebabkan anda tidak menjadi diri anda yang sebenarnya atau bahkan anda bisa jadi
akan memiliki multinpersonality karena diri anda sebenarnya ada konflik hasrat diri sejak dini yang
sampai saat ini belum terselesaikan. Supaya diterima oleh lingkungan anda belajar untuk

6
mempersonakan diri agar diterima, mendapat perhatian dan juga semacam kasih sayang (baca:
dukungan dan perhatian baik dari rekan atau atasan jika di organisasi). Tanpa anda sadari
perhatian dan energi anda mengarah kepada bagaimana agar disukai oleh orang lain. Bagaimana
menjadi populer dan jangan sampai terpinggirkan atau dikucilkan. Manifestasi yang sering terjadi
di leader dengan kesadaran ini adalah menghindari konflik, menunda membuat keputusan sulit
(yang harus segera dilakukan tapi ada resistensi lingkungan), suka membuat keputusan yang
populer (namun belum tentu sejalan dengan kepentingan organisasi), atau tidak berani berbeda
pendapat dengan atasan, cenderung memperhatikan ‘arah angin’.

Kesadaran ketiga adalah self esteem. Kesadaran ini tumbuh seiring dengan keinginan manusia
untuk dihargai, dihormati dan merasa bermartabat. Kesadaran ini menekankan pada pentingnya
memperoleh approval dari atasan, kelompok, rekan kerja, lingkungan yang berpengaruh.
Kesadaran ini mengarahkan energi dan perhatian kita untuk menilai apakah kita merasa
‘berharga’, ‘bagus’ (cantik, tampan, kaya, pintar, pandai), kaya, religius, dihormati, dst. Status dan
atribut menjadi sesuatu yang penting dalam tingkat kesadaran ini karena keyakinan bahwa hal itu
akan berpengaruh pada penerimaan orang lain atas dirinya. Organisasi yang para pimpinannya
terdominasi oleh kesadaran ketiga, menaruh perhatian yang cukup besar atas upaya memperoleh
pengakuan “ter….” di lingkungan kerja maupun ‘dunianya’. Predikat perusahaan terbaik dalam
pemasaran, dalam quality management, dalam customer satisfaction, dst, menjadi salah satu
obsesi yang menguras banyak energi para pimpinan untuk mengejarnya. Kekhawatiran atas status
dan pengakuan ini secara logis bisa diterima karena sering dikaitkan dengan kepentingan untuk
menjaga reputasi dan brand (merk). Efek samping dari tuntutan berlebihan terhadap kebutuhan di
kesadaran tingkat ketiga ini berpotensi menimbulkan personifikasi, manipulasi dan kompromi
untuk memperoleh imaje, reputasi, predikat atau peringkat. Para leader yang berada pada
tingkatan kesadaran ini bisa kita tengarai dari perhatiannya kepada citra perusahaan dan reputasi
dirinya. Tidak jarang kepentingan yang lebih besar dari organisasi dan pelanggan menjadi
terkorbankan jika para leaders dominan berada pada kesadaran ketiga.

Ketiga tingkat kesadaran yang baru saja kita bahas penting untuk menjaga survival kita sebagai
maklhuk hidup yang bersosialisasi. Namun dalam tiga kesadaran itu jika kita didominasi oleh rasa
khawatir atau takut yang tidak proporsional, akan menimbulkan respon reaktif yang tidak
membantu pertumbuhan kematangan individu maupun kesehatan organisasi. Para leader yang
diharapkan mampu membuat keputusan penting menjadi tidak optimal ketika berada dibawah
pengaruh “takut’ pada tiga tingkatan kesadaran ini. Kekhawatiran maupun ketakutan yang umum
dijumpai di dunia profesional antara lain takut dipersepsi tidak baik, tidak mampu atau tidak
kompeten. Ketiga kekhawatiran ini sering menjadi penyebab dari berbagai perilaku negatif (sok
tahu, mengklaim prestasi yang bukan miliknya, menjatuhkan orang lain agar dirinya tampak lebih
bagus, dst). Impak dari ‘fear’ ini dalam dunia bisnis bisa mendorong terjadinya pemolesan
informasi, ketidakjujuran, menyalahkan pihak lain, mencari jalan pintas, dst. Ketakutan atas
penilaian kinerja yang kurang baik dan kesempatan karir yang stagnan membayangi banyak
perilaku para leader di organisasi untuk membuat keputusan yang risikonya paling kecil dan
paling aman. Anda bisa bayangkan kalau dalam organisasi hal-hal yang barusan saya singgung
tadi sebenarnya mengokupansi benak dan pikiran para pimpinan. Hal-hal diatas menguras energi
dan mengalihkan perhatian para leader. Itu sebabnya mengapa energi suatu organisasi untuk
menjadi kreatif dan kompetitif seringkali dierosi oleh kondisi tidak sehat ini yang terjadi di level
mindset para pimpinan. Transformasi para leader menuju kesadaran yang lebih tinggi dan
mengelola tiga kesadaran pertama merupakan kunci dari keberhasilan pertumbuhan keberhasilan
suatu organisasi. Organisasi yang para pimpinannya memiliki hubungan yang sehat dengan ‘fear’

7
atau rasa takut ini akan beroperasi dengan tingkat kesadaran yang lebih tinggi dan
mengembangkan pola respon yang kreatif.

Salah satu inti dari proses transformasi adalah saat tingkat kesadaran individu maupun kolektif
organisasi yang bergeser menuju tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Dalam empat tingkat
kesadaran yang lebih tinggi, terjadi pergeseran dari dominasi ego dan rasa takut sebagai
pengendali di tiga tingkat kesadaran terdahulu, menuju ke jiwa atau soul dan spiritual (bukan
religius) sebagai pengendali. Makna dan misi dari setiap apa yang kita niatkan, pikirkan dan
lakukan menjadi penting setelah proses pergeseran (shifting) ini. Dasar keyakinan dari keempat
tingkat kesadaran selanjutnya adalah rasa penerimaan, memiliki dan tanggungjawab bahwa saya
adalah bagian dari kelompok umat manusia yang bersama hidup di muka bumi ini. Saya adalah
bagian dari organisasi yang punya misi menyejahterakan komunitas melalui produk dan jasa
organisasi saya. Kita adalah sungai-sungai kecil yang pada akhirnya sama-sama bermuara kelautan
besar. Pada realitas praktisnya di dunia bisnis kita memerlukan kolaborasi, sinergi, aliansi, dan
mengakomodasi kepentingan stakeholder minoritas. Kompetitor juga tidak harus dianggap
sebagai lawan yang harus disingkirkan. Dengan sikap ini tidak berarti bahwa kita melupakan
kebutuhan untuk mampu mengelola keuntungan ataupun efisiensi proses bisnis. Empat kesadaran
atas ini lebih inklusif (mencakupi) dan merupakan bintang navigasi bagi para leader untuk
menakhodai kapal perubahan atau transformasi di lautan VUCA.

Kesadaran Transformasi dan Tiga Tingkat kesadaran Kedua


Mari kita bahas apa saja keempat tingkatan kesadaran yang lebih tinggi:
Kesadaran keempat (Kesadaran Transformasi) bisa muncul ketika seseorang ataupun organisasi
terkena masalah yang cukup mengguncang survival dan menyebabkan para leaders untuk
berbenah kedalam. Mereka mulai menyadari bahwa apa yang telah membuatnya sukses dimasa
lalu tidak menjadi jaminan untuk masa depan. Kesadaran mulai atas apa yang perlu diperbaiki
terhadap dirinya sendiri memerlukan keberanian. Keberanian ini antara lain:

8
Keberanian menjadi diri sendiri – melepas topeng dan persona yang selama ini digunakan. Lebih
mengatakan dan bersikap apa adanya. Menggunakan hati dan menjadi otentik.
• Berani terlihat rapuh dan lemah. Tidak menutupi kesalahan, kekeliruan ataupun kelalaian yang
dilakukan. Men’share’ hal ini kepada teamnya secara terbuka.
• Berani mengambil risiko akan dinilai dan ditolak karena mengatakan apa adanya.
• Berani untuk memegang pendirian yang tidak populer dan menghadapi apa yang dianggap
akan sulit.
• Keberanian untuk mengeksplorasi apa yang baru dan berbeda. Untuk melepas dari batasan
comfort zone.
• Keberanian untuk mengambil tindakan yang benar.
• Keberanian untuk mengambil risiko terhadap imej diri, reputasi diri, keamanan diri,
kenyamanan demi misi melayani orang lain.
• Berani melakukan perubahan dan bersedia ‘diubah’.
Ada keinginan untuk mempertanyakan mindset dan pola pikir dirinya maupun kelompoknya
(organisasi). Ada semacam dorongan untuk meninjau kembali keyakinan ataupun asumsi yang
selama ini dianggap sudah benar dan dapat digunakan. Ada rasa ingin tahu terhadap
kemungkinan kekeliruan atau tidak proporsionalnya sikap, perilaku, keputusan dan tindakan.

Kesadaran ini mulai muncul disertai keberanian dan pupusnya resistensi diri untuk keluar dari
comfort zone. Pada kesadaran keempat ini kita mulai melihat keterbatasan yang ada dalam diri
kita sendiri. Kita mulai menyadari jika ingin tumbuh, berkembang dan sukses tidak bisa
mengandalkan apa yang sudah kita miliki (pengetahuan dan pengalaman). Kita bertanya apa
proses pembentukan diri kita di masa lalu dari sisi budaya dan lingkungan yang tidak lagi relevan
untuk menjadikan diri kita sebagai leader yang adaptif. Kita mempertanyakan kembali asumsi
dalam bentuk belief dan value yang mungkin menjadi gembok untuk diri kita tumbuh secara
penuh dari potensi kita sebagai leader. Kita mulai bertanya barangkali kita ikut menjadi penyebab
suatu keadaan ataupun kejadian yang tadinya kita pikir orang lain yang menjadi penyebabnya.
Kesadaran tingkat keempat ini biasanya akan lebih mudah terjadi pada kelompok ataupun mereka
yang pada masa pendewasaannya mengalami pendidikan dan kehidupan yang di lingkungannya
menyambut keterbukaan. Hambatan untuk masuk ke tingkat kesadaran keempat biasanya terjadi
pada mereka yang sudah terindoktrinasi bahwa hanya diri mereka yang paling benar. Pada
tingkatan kesadaran ini para leader mencari tahu apa feedback terhadap dirinya. Mereka
menyadari pentingnya memberdayakan anggota teamnya. Para leader mulai merasakan bahwa
apa yang menjadi pola respon dan kebiasaan anakbuahnya juga merupakan akibat dari caranya
memimpin. Para leader di tingkat kesadaran ini mulai menghargai perlunya keseimbangan dalam
hidup dan bekerja. Mereka mulai menjadi penganjur kerja smart, menjaga kesehatan,
berkolaborasi, berani mengakui kekeliruan, terbuka menerima saran dan perbaikan. Kesadaran
keempat merupakan gerbang menuju ke tiga tingkat kesadaran yang lebih atas lagi.

Kesadaran kelima (internal cohesion). Kesadaran kelima merupakan tingkatan dimana seseorang
mulai mencari apa makna hidup. Mereka mulai menemukan apa yang menjadi passion diri
mereka. Sayang dalam bahasa Indonesia belum ada kata pas terjemahan passion. Passion
bukanlah keinginan atau kegemaran ataupun hobi. Passion bisa dikatakan hasrat dari dalam diri
untuk melakukan, meraih, menjadi sesuatu yang diinginkan, bermakna dan memberikan semangat
bagi hidup seseorang. Pada level kesadaran ini seseorang juga mulai memahami apa maksud
alam semesta menempatkan dirinya dalam jabatan, posisi, tugas maupun peran tertentu. Level
kesadaran ini membawa seseorang untuk menghubungkan apa yang dilakukannya sebagai respon
dalam kehidupannya dengan apa yang menjadi misi dan passionnya. Kesadaran kelima mulai

9
terbuka melalui pengalaman spiritual, pencerahan, terjadinya peristiwa penting yang mulai
membawa kesadaran baru mengenai apa makna hidup, berkarya dan berkarir. Dalam kesadaran
kelima, jiwa kita sebagai manusia mulai lebih muncul dibanding dengan ego yang berpusat pada
kepentingan diri. Organisasi yang pimpinannya berada di tingkat kesadaran kelima tercermin dari
tindakan mereka yang menggalang energi untuk mencapai visi dan misi organisasi, mengadopsi
nilai-nilai perusahaan dalam keputusan dan tindakan mereka. Lingkungan di organisasi merasakan
adanya rasa trust terhadap para pimpinannya. Integritas menjadi sesuatu yang bukan hanya
dikatakan tapi memang dilakukan. Pimpinan menjadi transparan, terbuka terhadap kritik,
membangun antusiasme ketika berada disekitar teamnya. Mereka menunjukan komitmen
terhadap apa yang dinyatakan sebagai tata nilai dan misi perubahan.

Kesadaran keenam (make a difference) Kesadaran keenam ditandai dengan munculnya sikap
bahwa kita memerlukan orang, kelompok atau organisasi lain untuk saling bekerjasama mencapai
visi misi kita. Kita menjadi sadar bahwa keberadaan kita adalah untuk menciptakan adanya
perbedaan yang positif. Nasib masyarakat sekitar menjadi lebih terangkat dengan adanya
operasional, produksi jasa dan barang perusahaan kita. Anggota team kita menjadi lebih sehat,
bijak, membaik sejak berada bersama didalam pembinaan team kita. Kita sadar bahwa
keberadaan kita untuk membawa perubahan ke diri kita sendiri, orang lain dan lingkungan.
Kesadaran keenam di organisasi bisa dilihat dari kemauan untuk beraliansi dengan pihak luar. Kita
menjadi yakin bahwa untuk tumbuh kita perlu tumbuh bersama dengan lingkungan, para partner
atau rekanan usaha. Para pimpinan mengadopsi apa yang disebut servant leader. Bagi mereka,
posisi bukan ekivalen dengan dilayani. Mereka justru menempatkan diri ‘melayani’. Kesadaran
keenam mendorong para leader memiliki pendekatan coaching dan mentoring. Mereka
mempraktekkan kebiasaan memfasilitasi pematangan anakbuahnya dengan bertanya. Mereka
membuka jendela pemikiran, mentransfer keahliannya untuk memastikan tunas baru pimpinan
akan muncul sesuai waktunya. Team pun mulai terbiasa menjadi apa yang disebut self-managed
team atau team yang bisa berinisiatif dan bergerak sendiri tanpa selalu harus diawasi dan diberi
instruksi. Kesadaran keenam menuntun pimpinan untuk fokus bagaimana mereka menjadi pribadi
yang peduli terhadap lingkungan dan kualitas hidup dari anggota teamnya.

Kesadaran ketujuh (Service). Kesadaran ketujuh merupakan kesadaran dimana para leader
beroperasi dengan landasan etika dan menjadikan dirinya contoh dari standar etika suatu
organisasi. Fokus leader yang memiliki kesadaran di level ini adalah tanggungjawab sosial,
kesinambungan, etika, pandangan jangka panjang, kemanusiaan, keadilan sosial, kasih sayang,
kesahajaan dan memaafkan. Tingkat kesadaran ini menuntun leader untuk memikirkan bagaimana
generasi masa depan akan tumbuh dan melanjutkan misi serta visi mereka. Kesadaran ini
merupakan manifestasi dari keyakinan bahwa kita ada di dunia ini untuk ‘melayani’ orang lain.
Maksud melayani disini bukan berarti kita lebih rendah karena kata pelayan masih dikonotasikan
sebagai pihak yang diupah dan bekerja kepada seorang majikan. Kata ‘melayani’ disini memiliki
makna pengabdian kita sebagai bagian dari komunitas di bumi dan umat manusia. Kita menjadi
sadar bahwa apa yang kita lakukan terhadap orang lain pada akhirnya akan balik lagi efeknya
kediri kita sendiri. Kita menjadi peka terhadap hukum sebab akibat. Kita bukan takut tapi sadar
bahwa apa saja yang kita lakukan akan kita pertanggungjawabkan pada akhirnya nanti (bukan
hanya dari sisi religius tapi dari sisi sebab akibat yang akan terjadi dalam rentang waktu tertentu
selama kita masih hidup). Ini membuat diri kita sebagai pemimpin menjadi waspada, peka, hati-
hati dalam artian positif, dan mengedepankan pertimbangan ekologis serta kemanusiaan dalam
setiap keputusan, sikap dan tindakan.

10
Transformasi memerlukan perubahan tingkat Kesadaran
Transformasi di organisasi hanya akan terjadi manakala para leadernya mengalami perubahan
tingkatan kesadaran. Ketika para leader di suatu organisasi memiliki kesadaran tingkatan
kesadaran level 1-3 (yang dilandasi rasa khawatir dan takut) maka akan sangat sulit bagi organisasi
itu untuk menjadi organisasi yang berisi orang-orang yang mengambil inisiatif, kreatif dan saling
bekerja sama. Kesadaran di level 1-3 merupakan pencerminan dari tingkat pengembangan
psikologis individu yang masih banyak dipengaruhi oleh ego, rasa takut dan kekhawatiran. Sisi
negatif dari kesadaran level 1 adalah ketakutan atas kegagalan, tidak bisa survive dan tidak
selamat (jabatan, karir, kenaikan gaji). Untuk jenis pekerjaan yang monoton dan berisi kegiatan
sederhana seperti pengepakan barang dipabrik, maka jika diisi oleh orang-orang yang masih ada
di kesadaran level 1 tidak terasa impack negatifnya. Sebaliknya ketika organisasi anda sudah
beralih menuntut tingkat skill dan mental karyawan yang dapat berinisiatif, berkreasi dan
melakukan tugas yang agak kompleks maka anda tidak lagi bisa optimal jika anggota team anda
masih berada pada level 1-3. Ambil contoh sebuah perusahaan konsultan IT. Type pekerjaan yang
dilakukan menuntut kerjasama, keterbukaan, fleksibilitas, pembelajaran, kolaborasi, kecepatan,
inisiatif dan belajar dari kekeliruan. Nah anda bisa bayangkan bagaimana jadinya jika para leader
di organisasi ini isinya adalah individu yang masih mengutamakan cari selamat, tidak berani
berbeda pendapat, melihat dulu situasi angin emosi bosnya baru berani mengatakan pendapat
sesungguhnya. Sepandai apapun dari sisi teknis para leader yang mengisi pos pimpinan di
organisasi konsultan itu, kalau kesadaran mereka masih berkutat di level survival, ingin diakui
kehebatannya, dan takut kehilangan posisi, maka akan sulit kepandaian teknis mereka muncul
sebagai sikap, keputusan dan tindakan yang positif.

Hal inilah yang banyak saya rasakan, saksikan dan alami sendiri mengapa orang orang kita yang
nota bene jago dalam science dan matematika di tingkat akademis di institusi dunia menjadi
melempem ketika bekerja di perusahaan di negara maju. Orang kita sulit untuk bersaing
mendapatkan posisi di level top manajemen di negara seperti US dan Eropa. Kalaupun ada
jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan pendatang India atau Singapura misalnya. Salah
satu hal yang saya rasakan sebagai penghambat adalah karena pola pendidikan dan pola asuh
kita sejak kecil. Dengan pendidikan yang paternalistik, submisif, hirarkis senioritas dan guru selalu
benar, sulit bagi kita untuk berkompetisi menghasilkan leader di korporasi tingkat global.
Perusahaan multinasional yang berada di Indonesia juga sering mengeluhkan sulitnya mencari
orang yang berkarakter kuat, berani mengambil inisiatif, terbuka dan kreatif. Pendidikan dasar kita
sayangnya kurang memfasilitasi untuk mendevelop kita menuju kesana. Menurut Bruce Lipton,
pakar biologis keyakinan, masa satu sampai tujuh tahun merupakan pemrograman diri yang akan
membedakan kita menjadi orang yang memiliki kesadaran level keempat sampai ketujuh atau
terkungkung di level satu sampai ketiga. Sayangnya pendidikan kita di masa ini jauh dari
menghasilkan kemandirian dan kedewasaan. Masa kecil kita tumbuh dengan pendekatan yang
isinya berupa ancaman dan ketakutan. Kalau tidak melakukan ‘ini’ ancamannya ‘itu’. Kalau kamu
tidak begini (mengikuti tradisi, ekspektasi masa, dll) akan berakibat begitu. Yang ditonjolkan lebih
banyak hukuman dan konsekuensi negatif. Akibatnya secara nasional kita memiliki leader yang
memimpin tapi keputusan dan tindakannya rata-rata merupakan hasil jajahan rasa takut (takut
kehilangan jabatan, takut tidak dianggap, takut tidak diperhitungkan, takut tidak memiliki harta
cukup untuk keturunannya, takut kehilangan kesempatan, takut dipersepsi tidak capable, takut
tidak diberi kepercayaan lagi, takut ditinggalkan pengikut, takut tidak populer, takut tidak
didukung, dst). Tantangan kita bersama untuk membangun para leader yang lebih kuat adalah
dengan mengubah spektrum tingkat kesadaran para leader sehingga mereka lebih menyeluruh
berada di spektrum level satu sampai ketujuh. Ini berarti kita perlu membawa mereka untuk

11
melepas diri dari zona nyaman dan melatih diri untuk mengelola kesadaran yang masih
dikendalikan rasa ‘takut’ yang selama ini membelenggu potensial leadership mereka.

Perubahan tingkat kesadaran para leader hanya bisa dilakukan jika leader diatas memberikan
contoh bahwa mereka memiliki awareness bagaimana dirinya memimpin. Dalam situasi tertekan
dan krisis apa pola yang muncul dominan? di level kesadaran mana mereka beroperasi dalam
kondisi tidak nyaman? Para leader dipuncak organisasi perlu melatih kesadaran diatas kesadaran
saat ini yang menguasai diri mereka (berada di atas ‘balkon’ dari ‘balkon’ diri sendiri). Yang kedua
adalah adanya komitmen dari para leader senior (termasuk leader puncak seperti BOD), untuk
mengikuti program dan proses perubahan menuju tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Komitmen
mereka dalam hal pembelajaran, mengikuti sesi coaching transformational leaders, menyediakan
waktu berpartisipasi, kesemuanya memberikan pengaruh menciptakan momentum perubahan
budaya di organisasi. Yang ketiga adalah menanamkan praktek perubahan kesadaran menuju ke
leader yang beroperasi dari tingkat kesadaran empat, lima, enam atau ketujuh dan menguasai
spektrum ketujuh tingkat kesadaran secara seimbang. Praktek ini penting ditanamkan agar para
leader bisa tumbuh dan berkembang seiring bertambahnya kompleksitas tantangan bisnis yang
ada. Ibarat pelita, nyalanya akan terus berlangsung manakala minyaknya terus kita isi. Program
transformasi organisasi hanya akan terjadi saat para leadernya paham dimana diri mereka berada
(mengetahui blindspot dirinya) dan kemana mereka akan pergi (life & career purpose), bagaimana
mereka melakukan perjalanan menuju ke tujuan mereka (paths and being). Transformasi tidak bisa
dilakukan dengan menambah pengetahuan dan skill melalui training. Transformasi membutuhkan
leader di organisasi untuk berproses melihat kedalam dirinya sendiri dan melakukan perubahan
dari sisi internal diri masing-masing secara individu. Pada akhirnya secara kolektif perubahan
budaya akan terwujud sebagai momentum transformasi di organisasi melalui proses yang terjadi
di dalam diri para leader.

Copyright by Leksana TH
email: leksanath@hotmail.com

12

Anda mungkin juga menyukai