AKIDAH AKHLAK
DISUSUN OLEH:
-FATIMATUL ZAHRA
-HAZINAR
GURU PEMBIMBING:
-SALASIAH SP.d
bidang tasawuf untuk terus melakukan kajian ulang terhadap Islam itu sendiri. Sebab, akhir-
akhir ini kebanyakan orang beragama selalu mengkaji agama dari aspek hukum atau fikih
saja. Misalnya, prihal halal atau haramnya suatu persoalan, ada atau tidak adanya hukum
yang mendasari segala bentuk pekerjaannya, dan semua ini hanya berorientasi kepada surga
atau neraka. Hal ini dibuktikan dengan maraknya forum-forum pengajian, dengan munculnya
suatu pertanyaan dari jama’ah selalu diawali dengan perkataan “Apakah hukumnya…?” atau
“Apakah boleh…?.
Paradigma seperti ini memang sangat menonjol dalam studi keIslaman saat ini. Hal
ini menggambarkan bahwa adanya kesadaran dalam umat beragama agar tidak melanggar
hukum Tuhan dalam kesehariannya. Akan tetapi, jika aspek fikih sangat dominan dalam
beragama, maka aspek ajaran yang lainnya dalam agama akan tergeser. Fenomena demikian
mengedepankan aspek tasawuf dan kultural, dan bahkan sangat jauh berbeda jika
dibandingkan dengan masa Rasulullah SAW ketika menyebarluaskan ajaran Islam di tanah
haramain kota Mekah dan Madinah, dimana aspek fikih tidak terlalu dominan.
Cara beragama seperti ini dapat dikategorikan sebagai formalisme agama. Islam
formalis memiliki beberapa karakter. Pertama, pemahaman yang literer. Kedua, pemahaman
yang menolak tradisi lokal atau budaya. Ketiga, memiliki pemahaman terhadap kebenaran
atau keyakinan yang tunggal. Pemahaman seperti ini akan melahirkan sikap ekslusif terhadap
lain. Selain itu, formalisme agama juga memudahkan akan adanya kepentingan ideologis dan
politis dalam beragama. Kepentingan inilah yang akan memicu adanya gerakan revolusioner
dan radikalisme dalam Islam. Dengan adanya radikalisme dalam Islam, maka Islam tidak lagi
dipahami sebagai pencetak akhlak yang terpuji, melainkan menjadi pemicu konflik yang
berbasis agama.
Rasulullah SAW lebih mengutamakan akhlak al-karimah dari pada yang lainnya.
terpuji ini muncul jauh sebelum nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasulullah, sejak
kecil sifat suci ini sudah tertanam dalam dirinya. Misalnya, orang-orang Mekah mengenalnya
sebagai pemuda yang jujur dan lemah lembut kepada sesama. Sifat inilah yang membuat
SAW untuk mengurus segala bentuk usahanya, dan berkat keberhasilannya mengurus segala
hal perniagaan milik Khadijah nama Muhammad melejit di kalangan masyarakat saat itu dan
Perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan agama Islam di kota Mekah sudah
sangat banyak mengajarkan kita tentang cara beragama. Dimana Rasulullah SAW masih
tetap mengontrol diri dalam bertindak, memelihara ucapan, menggunakan akal sehat, dan
Meskipun banyak mendapatkan kekerasan fisik yang dilontarkan oleh generasi muda
Mekah pembenci nabi Muhammad SAW seperti, Abu Lahab, Abu Jahal dan lainnya. Dan
fitnah sebagai tukang sihir yang dilontarkan dari pemimpin suku Arab yang tidak
menyukainya. Namun ada hal yang menarik dan bernilai besar yang dapat kita teladani dari
pribadi Rasulullah SAW. Yakni, walaupun berbagai rintangan, kebencian, dan siksaan yang
dialaminya, tidak pernah sedikitpun ia kehilangan kesabaran, keinginan balas dendam, dan
rasa putus asa dalam jiwanya untuk terus melanjutkan menyebarluaskan ajaran Islam. Semua
inilah yang disebut dengan Sunnah yang ingin Rasulullah SAW contohkan untuk kita
teladani.Peristiwa ini juga menunjukkan bahwa Allah Swt berkeinginan agar akhlak nabi
Muhammad SAW menjadi contoh bagi manusia dalam berperilaku. Sebab, setiap manusia
memiliki potensi untuk menjadi Muhammad atau Me-Muhammad. Allah Swt berfirman,
cara mengatur konektivitas hamba terhadap Tuhan, dengan cara mengoptimalkan tiga potensi
Seharusnya penetapan hukum merupakan hak mutlak Tuhan, akan tetapi akhir-akhir
ini hak tersebut sudah diambil alih oleh para ahli fikih. Alhasil, Islam pun tidak lagi
bermakna sebagai petunjuk Tuhan untuk menjadikan umat yang berintegritas dan berakhlak
mulia, melainkan agama hanya sekedar sebagai kumpulan hukum-hukum yang mengatur
pribadi seseorang. Dan bahkan, hukum-hukum ini menjadi sebuah alat ukur dalam
menentukan derajat manusia, tanpa melihat aspek ihklas atau tidaknya seseorang kepada
Tuhannya, dan mengabaikan apakah hal-hal tersebut akan menjadikan seseorang berakhlak
mulia.
Fenomena ini juga sampai merambat ke ranah peribadatan hamba kepada Tuhan.
Perlu diketahui bahwa Tuhan sama sekali tidak menerima manfaat dari segala bentuk ibadah
hamba-hamba-Nya. Akan tetapi, dari ibadah inilah kita bisa mendidik diri menjadi manusia
yang berkribadian baik terhadap keluarga, tetangga, dan masyarakat. Mirisnya, saat ini ritual
keagaamaan tidak lagi bermakna seperti ini, melainkan orang-orang yang gemar beribadah
selalu tergiur dengan “iming-iming” surga dan takut akan neraka. Cara beragama seperti ini
justru sangat mengkerdilkan nilai ibadah itu sendiri.10 Tanpa disadari cara beragama seperti
ini akan mengakibatkan timbulnya jarak yang jauh luar biasa antara hamba dengan
Tuhannya.
Imam Junaid Al-Baghdadi yang dijuluki sebagai guru besar tasawuf, menegaskan
bahwa ketika ritual keagamaan sudah membentuk akhlak yang terpuji, barulah seorang
hamba mampu memasuki dunia tasawuf. Akhlak alkarimah terbentuk dari tumbuhnya akal
sehat, dan tajamnya instiusi. Hal ini dapat diperoleh melalui ibadah hamba yang tulus dan
berkesinambungan, sehingga Allah Swt akan memberi hidayah berupa pengambilan alih diri
hambaNya, hal inilah yang sering disebut dengan ma’rifat. Ketika Saidina Ali ditanya
tentang makrifat, beliau menjawab: Aku mengenal Allah karena Allah dan aku mengenal
ekspresi batiniyah, jalan hidup, dan bahkan sebagai ilmu pengetahuan. Namun, rasa yang
mereka rasakan dan visi yang mereka inginkan adalah sama. Imam Junaid mengatakan
bahwa tasawuf ialah terus bersama Allah dan menghiraukan hal yang lainnya. Ketika Imam
Junaid ditanya, “apakah ini semua sifat Allah atau manusia?” ia menjawab, “hakikatnya ini
sifat Allah, akan tetapi secara imajinasi ini merupakan sifat manusia.” Lebih rinci Imam
Junaid menjelaskan bahwa pada dasarnya segala sifat-sifat manusia merupakan sifat Allah,
sehingga jika Allah telah mengambil alih dirinya, maka sifat kemanusiaannya akan sirna.
Imam Junaid Al-Baghdadi dikenal sebagai tokoh yang cerdas dalam pemikiran Islam
terutama dikajian tasawuf, sebutan Sayyid al-Thaifah disandangkan oleh kalangan sufi
terhadap dirinya. Meskipun tidak menutupi kebenaran bahwasannya masih banyak tokoh-
tokoh sufi yang lebih luas ilmunya dan lebih dalam pengalaman spiritualnya, seperti Abu
Yazid AlBustami, Al-Sari Al-Saqathi, Al-Harist Ibn Hasad Al-Muhasibi yang menjadi guru-
guru Imam Junaid. Boleh jadi ketokohan ini ditentukan oleh kehidupan Imam Junaid di
tengah-tengah kota Baghdad yang menjadi pusat peradaban, pemerintahan dan keilmuan.
Meskipun demikian, Imam Junaid tidak bersikap me-marijinalkan diri dan memilih untuk
ikut berpatisipasi sebagai pedagang kaca serta aktif dalam forum-forum diskusi keilmuan.
Selain itu, Imam Junaid selalu menekankan bahwa ajaran tasawufnya bersumber dari Al-
Quran dan Sunnah. Sehingga tidak ada sufi mana pun yang menentang ajaran Imam Junaid,
Dalam menyikapi kondisi umat beragama saat ini, sangat dibutuhkan kajian ulang
terhadap makna Islam itu sendiri, sehingga penulis beranggapan bahwa dengan memahami
ajaran-ajaran Imam Junaid Al-Baghdadi akan dapat menemukan kembali esensi Islam. Oleh
karenanya, penulis mengangkat “Tasawuf Sebagai Inti Islam, Telaah Pemikiran Tasawuf
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, serta untuk
memfokuskan kajian dan penyelesaian masalah dalam penelitian ini, maka perlu
dilakukan perumusan masalah agar menghindari pembahasan yang terlalu meluas dan
menyimpang, adapun perumusan masalah dalam penulisan tesis ini adalah sebagai
kepada Tuhan, akan tetapi akhir-akhir ini tasawuf dipandang sebagai suatu hal yang
baru dalam Islam dan para sufi juga menjelaskan tasawuf dengan sangat extream
Oleh karenanya dalam tesis ini, akan ditegaskan bahwa bertasawuf adalah
berislam itu sendiri. Imam Junaid Al-Baghdadi sangat sederhana dalam menjelaskan
tasawuf sehingga tidak ada kontradiksi antara Islam dan Tasawuf. Berdasarkan
Islam?
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
pemikiran Islam.
Selain dari pada itu, penulis secara pribadi ingin mengetahui secara
1.Kegunaan Akademis
serta dapat memperluas cakrawala pengetahuan dalam bidang keIslaman, terutama yang
2.Kegunaan Praktis
Secara praktis penelitian ini berguna untuk memberi penyadaran bagi umat beragama
yang meliputi cara dalam ber-Tuhan, dan bersikap dalam perbedaaan, serta meluruskan
BAB II
PEMBAHASAN
hari. Ini dapat diartikan bahwa setiap perbuatan manusia akan dipengaruhi oleh setiap
pengetahuan yang datang. Jika mereka tidak mampu menilai dan memilah mana yang
sesuai dengan ajaran Islam maka akan membawa kepada kesesatan. Selain itu, manusia
dituntut untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah agar tidak keluar dari nilai-nilai
ajaran agama. Upaya untuk mendekatkan diri ini dinamakan dengan ajaran tasawuf.
diri kepada Allah SWT. Dalam tasawuf juga terdapat maqam-maqam dan hal ihwal
yang menjadi titik poin dalam tasawuf. Ajaran tasawuf sebagian besar berbicara terkait
dengan fana dan baqa, zuhud dan lainnya. Jika mereka mengikuti ajaran dan nilai-nilai
dalam tasawuf maka akan membawa kepada kebaikan. Salah seorang sufi yang
kepada Allah. Masalah dalam penelitian ini adalah: a). Bagaimana tasawuf dalam
pandangan Junaid al-Baghdadi? b). Bagaimana Implikasi nilai-nilai tasawuf Junaid al-
Baghdadi di Era modern? Metode penelitian dalam tulisan ini adalah library
Research atau studi kepustakaan. Kesimpulan dari riset ini adalah Junaid al-Baghdadi
adalah seorang sufi yang moderat serta dalam ajaran tasawufnya lebih menekankan
kepada syariat. Tasawuf menurut Junaid harus sesuai dan selaras dengan ajaran Islam
yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, konsep tauhid Junaid al-Baghdadi berdasarkan
kepada kefanaan. Fana disini berarti melenyapkan sifat-sifat duniawi dan menfokuskan
kepada sifat-sifat akhirat supaya bisa dekat dengan Tuhan. Tauhid yang dibangun oleh
Junaid berupaya untuk mengesakan Tuhan serta harus konsisten untuk mentauhidkan
Allah baik dari dahulu sampai sekarang. Tauhid menurutnya berarti mengesakan Allah,
hanya Allah yang tidak terbatas serta berbeda dengan makhluk-Nya. tauhid disini
berarti pemisahan antara yang qadim dengan yang hudus. Oleh karena itu, pemikiran
seperti ini yang mengantarkan Junaid sebagai sufi yang berlandaskan kepada syariat
Tasawuf merupakan alat umat Islam untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Akan tetapi, akhir-akhir ini tasawuf dipandang sebagai suatu hal yang baru dalam Islam
dan para sufi juga menjelaskan tasawuf dengan sangat ekstrem. Sehingga, tasawuf tidak
dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat. Alhasil, banyak orang yang mengatakan
bahwa tasawuf tidak bersumber dari ajaran agama Islam. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini akan dijelaskan bahwa ber-tasawuf adalah ber-islam itu sendiri. Sehingga,
tidak ada kontradiksi antara Islam dan Tasawuf. Adapun tokoh yang relevan untuk
membedah tema penelitian ini adalah Imam Junaid Al-Baghdadi. Tujuan dalam
tasawuf Imam Junaid terhadap pemikiran Islam. Adapun teori dalam penulisan tesis ini
adalah hadis Rasulullah SAW tentang inti ajaran agama Islam, yaitu Islam, Iman, dan
Ihsan. Karena objek penelitian ini adalah literatur, maka penelitian ini dapat
menggunakan metode kualitatif. Dan data primer dalam penelitian ini adalah kitab
Berdasarkan hasil penelitian ini. Penulis menemukan bahwa tasawuf telah dimulai pada
sebagai Rasulullah SAW. Meskipun istilah tasawuf itu sendiri baru muncul atau baru
Pemikiran tasawuf Imam Junaid terdiri dari tiga unsur, yaitu mitsaq
(perjanjian), fana (peleburan), dan tauhid (penyatuan). Teori Mitsaq dan Fana,
keduanya menunjukkan tujuan yang sama yakni tauhid. Mitsaq ialah kembali kepada
bahwa sebelum bertempat dalam raga jasmaniahnya seorang hamba sudah memiliki
jasmaniahnya masih ada. Sedangkan tauhid adalah menetapnya seorang hamba dalam
keabadian Tuhan, hal ini bisa terjadi karena sirnanya individualitas manusia.
Berdasarkan ketiga unsur pemikiran tasawuf Imam Junaid tersebut, Imam Junaid
berhasil mendamaikan antara ahli tasawuf dan fiqh, serta meruntuhkan stigma buruk
yang selama ini tasawuf dianggap sesat, dan bahkan pemikiran tasawuf Imam Junaid
merupakan redifinisi tasawuf yang lebih sederhana dan mudah diterima oleh seluruh
kalangan umat muslim. Oleh karenanya, pemikiran tasawuf Imam Junaid Al-Baghdadi
terbilang cukup besar. Ia mendalami banyak keilmuan dan menguasainya dengan baik.
Selain itu, terdapat pula karya-karya yang diduga karya Imam al-Junaid, di
antaranya Risalah Abu al-Qasim al-Junaid ila Yusuf bin al-Husain, Risalah fi al-Syukr
dan Risalah fi al-Faqah, Kitab al-Qashd ila Allah, Ma’ali al-Himan, dan As-Sirr fi
Karya-karya di atas menjadi indikasi dari keluasan dan kecintaan Imam al-
keilmuannya terpercaya. Mendapat keberkahan dari setiap doa yang mengalir dari
dapat kita teladani sebagai salah satu kunci sukses dalam menyelami luasnya ilmu
pengetahuan.
BAB III
KESIMPULAN
(peleburan), dan tauhid (penyatuan). Teori Mitsaq dan Fana, memiliki persamaan
tujuan yakni tauhid. Mitsaq dan Fana menggunakan pendekatan yang berbeda dalam
Dalam teori mitsaq, Imam Junaid dalam teori mitsaq nya berpandangan bahwa
memiliki raga jasmaniah. Akan tetapi, pengalaman ini hilang dikarenakan manusia
terkungkung oleh hasrat duniawinya sendiri. Untuk kembali kepada tempat yang
penuh dengan kesucian tersebut, seorang hamba tidak akan bisa mencapainya kecuali
dengan adanya bantuan Tuhan. Sehingga, manusia bisa kembali pada kondisi tersebut,
semata-mata karena anugerah Tuhan kepada manusia yang Dia pilih. Imam Junaid
dirinya untuk beribadah kepada-Ku, sehingga Aku pun mencintainya, dan ketika
Aku mencintainya, maka jadilah Aku telinganya, sehingga ia bisa mendengar melalui
Aku, dan menjadi matanya, sehingga ia melihat melalui Aku.” Sedangkan dalam teori
jasmaniahnya masih ada. Ketika seorang hamba sudah mengalami kondisi seperti ini,
maka dirinya akan lenyap dan menetap dalam keabadian Tuhan, hal inilah yang