Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

AKIDAH AKHLAK

(Tasawuf Imam Junaid Al Baghdadi)

DISUSUN OLEH:
-FATIMATUL ZAHRA
-HAZINAR

GURU PEMBIMBING:
-SALASIAH SP.d

MADRASAH ALIYAH RAUDHATUL JANNAH


PALANGKA RAYA
DAFTAR ISI
i. HALAMAN
JUDUL……………………………………………………………………………………………………………………
ii. DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………………………………………………………
1.BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………………………………….
A. Latar belakang……………………………………………………………………………………………………………......
B. Rumusan Makalah……………………………………………………………………………………………………………
C. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan………………………………………………………………………………………
2.BAB II
PEMBAHASAN………………………………………………………………………………………………………………
A. Memahami pemikiran tasawuf Imam Junaid Al-Baghdadi.……………………………………………….
B. pemikiran tasawuf Imam Junaid AlBaghdadi terhadap pemikiran
Islam………......................
C. Karya Karya Imam Junaid
AlBaghdadi……………………………………………………………………………….
3.BAB III
…………………………………………………………………………………………………………………………………….
PENUTUP………………………………………………………………………………………………………………………………..
A. Kesimpulan……………………………………………………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tradisi Islam saat ini, sangat menarik perhatian para ilmuan Muslim khususnya Di

bidang tasawuf untuk terus melakukan kajian ulang terhadap Islam itu sendiri. Sebab, akhir-

akhir ini kebanyakan orang beragama selalu mengkaji agama dari aspek hukum atau fikih

saja. Misalnya, prihal halal atau haramnya suatu persoalan, ada atau tidak adanya hukum

yang mendasari segala bentuk pekerjaannya, dan semua ini hanya berorientasi kepada surga

atau neraka. Hal ini dibuktikan dengan maraknya forum-forum pengajian, dengan munculnya

suatu pertanyaan dari jama’ah selalu diawali dengan perkataan “Apakah hukumnya…?” atau

“Apakah boleh…?.

Paradigma seperti ini memang sangat menonjol dalam studi keIslaman saat ini. Hal

ini menggambarkan bahwa adanya kesadaran dalam umat beragama agar tidak melanggar

hukum Tuhan dalam kesehariannya. Akan tetapi, jika aspek fikih sangat dominan dalam

beragama, maka aspek ajaran yang lainnya dalam agama akan tergeser. Fenomena demikian

justru berbeda dari masa-masa berkembangnya Islam di Nusantara yang lebih

mengedepankan aspek tasawuf dan kultural, dan bahkan sangat jauh berbeda jika

dibandingkan dengan masa Rasulullah SAW ketika menyebarluaskan ajaran Islam di tanah

haramain kota Mekah dan Madinah, dimana aspek fikih tidak terlalu dominan.

Cara beragama seperti ini dapat dikategorikan sebagai formalisme agama. Islam

formalis memiliki beberapa karakter. Pertama, pemahaman yang literer. Kedua, pemahaman

yang menolak tradisi lokal atau budaya. Ketiga, memiliki pemahaman terhadap kebenaran

atau keyakinan yang tunggal. Pemahaman seperti ini akan melahirkan sikap ekslusif terhadap

keyakinannya sendiri sehingga mengabaikan tentang perlunya menghargai keyakinan orang

lain. Selain itu, formalisme agama juga memudahkan akan adanya kepentingan ideologis dan

politis dalam beragama. Kepentingan inilah yang akan memicu adanya gerakan revolusioner
dan radikalisme dalam Islam. Dengan adanya radikalisme dalam Islam, maka Islam tidak lagi

dipahami sebagai pencetak akhlak yang terpuji, melainkan menjadi pemicu konflik yang

berbasis agama.

Padahal dalam kesehariannya termasuk dalam menyebarluaskan ajaran Islam,

Rasulullah SAW lebih mengutamakan akhlak al-karimah dari pada yang lainnya.

Sebagaimana sabdanya, Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak. Kepribadian

terpuji ini muncul jauh sebelum nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasulullah, sejak

kecil sifat suci ini sudah tertanam dalam dirinya. Misalnya, orang-orang Mekah mengenalnya

sebagai pemuda yang jujur dan lemah lembut kepada sesama. Sifat inilah yang membuat

Khadijah, seorang pengusaha sukses memberikan kepercayaan kepada nabi Muhammad

SAW untuk mengurus segala bentuk usahanya, dan berkat keberhasilannya mengurus segala

hal perniagaan milik Khadijah nama Muhammad melejit di kalangan masyarakat saat itu dan

Khadijah tak sungkansungkan untuk kemudian meminangnya.

Perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan agama Islam di kota Mekah sudah

sangat banyak mengajarkan kita tentang cara beragama. Dimana Rasulullah SAW masih

tetap mengontrol diri dalam bertindak, memelihara ucapan, menggunakan akal sehat, dan

selalu memaafkan perbuatan keji masyarakat Mekah terhadap dirinya.

Meskipun banyak mendapatkan kekerasan fisik yang dilontarkan oleh generasi muda

Mekah pembenci nabi Muhammad SAW seperti, Abu Lahab, Abu Jahal dan lainnya. Dan

fitnah sebagai tukang sihir yang dilontarkan dari pemimpin suku Arab yang tidak

menyukainya. Namun ada hal yang menarik dan bernilai besar yang dapat kita teladani dari

pribadi Rasulullah SAW. Yakni, walaupun berbagai rintangan, kebencian, dan siksaan yang

dialaminya, tidak pernah sedikitpun ia kehilangan kesabaran, keinginan balas dendam, dan

rasa putus asa dalam jiwanya untuk terus melanjutkan menyebarluaskan ajaran Islam. Semua

inilah yang disebut dengan Sunnah yang ingin Rasulullah SAW contohkan untuk kita

teladani.Peristiwa ini juga menunjukkan bahwa Allah Swt berkeinginan agar akhlak nabi

Muhammad SAW menjadi contoh bagi manusia dalam berperilaku. Sebab, setiap manusia
memiliki potensi untuk menjadi Muhammad atau Me-Muhammad. Allah Swt berfirman,

Sesungguhnya dalam diri-Mu (Muhammad) terdapat budi pekerti yang luhur.

Agama bukanlah sekedar kumpulan hukum-hukum, melainkan mekanisme atau tata

cara mengatur konektivitas hamba terhadap Tuhan, dengan cara mengoptimalkan tiga potensi

manusia yang dianugrahkan Tuhan yakni, intelektual, psikis, dan spiritual.

Seharusnya penetapan hukum merupakan hak mutlak Tuhan, akan tetapi akhir-akhir

ini hak tersebut sudah diambil alih oleh para ahli fikih. Alhasil, Islam pun tidak lagi

bermakna sebagai petunjuk Tuhan untuk menjadikan umat yang berintegritas dan berakhlak

mulia, melainkan agama hanya sekedar sebagai kumpulan hukum-hukum yang mengatur

pribadi seseorang. Dan bahkan, hukum-hukum ini menjadi sebuah alat ukur dalam

menentukan derajat manusia, tanpa melihat aspek ihklas atau tidaknya seseorang kepada

Tuhannya, dan mengabaikan apakah hal-hal tersebut akan menjadikan seseorang berakhlak

mulia.

Fenomena ini juga sampai merambat ke ranah peribadatan hamba kepada Tuhan.

Perlu diketahui bahwa Tuhan sama sekali tidak menerima manfaat dari segala bentuk ibadah

hamba-hamba-Nya. Akan tetapi, dari ibadah inilah kita bisa mendidik diri menjadi manusia

yang berkribadian baik terhadap keluarga, tetangga, dan masyarakat. Mirisnya, saat ini ritual

keagaamaan tidak lagi bermakna seperti ini, melainkan orang-orang yang gemar beribadah

selalu tergiur dengan “iming-iming” surga dan takut akan neraka. Cara beragama seperti ini

justru sangat mengkerdilkan nilai ibadah itu sendiri.10 Tanpa disadari cara beragama seperti

ini akan mengakibatkan timbulnya jarak yang jauh luar biasa antara hamba dengan

Tuhannya.

Imam Junaid Al-Baghdadi yang dijuluki sebagai guru besar tasawuf, menegaskan

bahwa ketika ritual keagamaan sudah membentuk akhlak yang terpuji, barulah seorang

hamba mampu memasuki dunia tasawuf. Akhlak alkarimah terbentuk dari tumbuhnya akal

sehat, dan tajamnya instiusi. Hal ini dapat diperoleh melalui ibadah hamba yang tulus dan

berkesinambungan, sehingga Allah Swt akan memberi hidayah berupa pengambilan alih diri

hambaNya, hal inilah yang sering disebut dengan ma’rifat. Ketika Saidina Ali ditanya
tentang makrifat, beliau menjawab: Aku mengenal Allah karena Allah dan aku mengenal

yang bukan Allah dari cahaya Allah.

Intelektual Muslim berbeda-beda dalam mendeskripsikan tasawuf, baik sebagai

ekspresi batiniyah, jalan hidup, dan bahkan sebagai ilmu pengetahuan. Namun, rasa yang

mereka rasakan dan visi yang mereka inginkan adalah sama. Imam Junaid mengatakan

bahwa tasawuf ialah terus bersama Allah dan menghiraukan hal yang lainnya. Ketika Imam

Junaid ditanya, “apakah ini semua sifat Allah atau manusia?” ia menjawab, “hakikatnya ini

sifat Allah, akan tetapi secara imajinasi ini merupakan sifat manusia.” Lebih rinci Imam

Junaid menjelaskan bahwa pada dasarnya segala sifat-sifat manusia merupakan sifat Allah,

sehingga jika Allah telah mengambil alih dirinya, maka sifat kemanusiaannya akan sirna.

Imam Junaid Al-Baghdadi dikenal sebagai tokoh yang cerdas dalam pemikiran Islam

terutama dikajian tasawuf, sebutan Sayyid al-Thaifah disandangkan oleh kalangan sufi

terhadap dirinya. Meskipun tidak menutupi kebenaran bahwasannya masih banyak tokoh-

tokoh sufi yang lebih luas ilmunya dan lebih dalam pengalaman spiritualnya, seperti Abu

Yazid AlBustami, Al-Sari Al-Saqathi, Al-Harist Ibn Hasad Al-Muhasibi yang menjadi guru-

guru Imam Junaid. Boleh jadi ketokohan ini ditentukan oleh kehidupan Imam Junaid di

tengah-tengah kota Baghdad yang menjadi pusat peradaban, pemerintahan dan keilmuan.

Meskipun demikian, Imam Junaid tidak bersikap me-marijinalkan diri dan memilih untuk

ikut berpatisipasi sebagai pedagang kaca serta aktif dalam forum-forum diskusi keilmuan.

Selain itu, Imam Junaid selalu menekankan bahwa ajaran tasawufnya bersumber dari Al-

Quran dan Sunnah. Sehingga tidak ada sufi mana pun yang menentang ajaran Imam Junaid,

dan bahkan kalangan-kalangan yang mempersoalkan “tasawuf”.

Dalam menyikapi kondisi umat beragama saat ini, sangat dibutuhkan kajian ulang

terhadap makna Islam itu sendiri, sehingga penulis beranggapan bahwa dengan memahami

ajaran-ajaran Imam Junaid Al-Baghdadi akan dapat menemukan kembali esensi Islam. Oleh

karenanya, penulis mengangkat “Tasawuf Sebagai Inti Islam, Telaah Pemikiran Tasawuf

Imam Junaid AlBaghdadi” sebagai tema dalam penelitian ini.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, serta untuk

memfokuskan kajian dan penyelesaian masalah dalam penelitian ini, maka perlu

dilakukan perumusan masalah agar menghindari pembahasan yang terlalu meluas dan

menyimpang, adapun perumusan masalah dalam penulisan tesis ini adalah sebagai

berikut: Tasawuf mestinya mengajarkan umat beragama untuk mendekatkan diri

kepada Tuhan, akan tetapi akhir-akhir ini tasawuf dipandang sebagai suatu hal yang

baru dalam Islam dan para sufi juga menjelaskan tasawuf dengan sangat extream

sehingga tidak dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat.

Oleh karenanya dalam tesis ini, akan ditegaskan bahwa bertasawuf adalah

berislam itu sendiri. Imam Junaid Al-Baghdadi sangat sederhana dalam menjelaskan

tasawuf sehingga tidak ada kontradiksi antara Islam dan Tasawuf. Berdasarkan

perumusan masalah ini, muncullah beberapa pertanyaan penelitian yakni:

1. Bagaimana pemikiran tasawuf Imam Junaid Al-Baghdadi?

2. Apa urgensi pemikiran tasawuf Imam Junaid Al-Baghdadi terhadap pemikiran

Islam?

C. Tujuan dan Kegunaan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Memahami pemikiran tasawuf Imam Junaid Al-Baghdadi.

2. Mengetahui kontribusi pemikiran tasawuf Imam Junaid AlBaghdadi terhadap

pemikiran Islam.

3. Mengenal Karya Karya Imam Junaid AlBaghdadi.

Selain dari pada itu, penulis secara pribadi ingin mengetahui secara

mendalam mengenai pemikiran tasawuf Imam Junaid Al-Baghdadi, Adapun kegunaan


dalam penelitian ini terdapat dua kegunaan yakni: kegunaan secara akademis dan

kegunaan secara praktis.

1.Kegunaan Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan

serta dapat memperluas cakrawala pengetahuan dalam bidang keIslaman, terutama yang

berkaitan dengan pengetahuan tasawuf.

2.Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini berguna untuk memberi penyadaran bagi umat beragama

yang meliputi cara dalam ber-Tuhan, dan bersikap dalam perbedaaan, serta meluruskan

kembali pandangan masyarakat terhadap teoriteori kontroversial tasawuf seperti: fana,

tauhid, mitsaq, dan mahabbah.

BAB II

PEMBAHASAN

1.pemikiran tasawuf Imam Junaid Al-Baghdadi.

Tasawuf Junaid Al-Baghdadi dan implikasinya di Era Kontemporer Seiring

dengan perkembangan zaman, manusia akan mengalami perkembangan dari hari ke

hari. Ini dapat diartikan bahwa setiap perbuatan manusia akan dipengaruhi oleh setiap

pengetahuan yang datang. Jika mereka tidak mampu menilai dan memilah mana yang

sesuai dengan ajaran Islam maka akan membawa kepada kesesatan. Selain itu, manusia

dituntut untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah agar tidak keluar dari nilai-nilai

ajaran agama. Upaya untuk mendekatkan diri ini dinamakan dengan ajaran tasawuf.

Dalam tasawuf terdapat nilai-nilai bagaimana manusia berusaha untuk mendekatkan

diri kepada Allah SWT. Dalam tasawuf juga terdapat maqam-maqam dan hal ihwal

yang menjadi titik poin dalam tasawuf. Ajaran tasawuf sebagian besar berbicara terkait

dengan fana dan baqa, zuhud dan lainnya. Jika mereka mengikuti ajaran dan nilai-nilai

dalam tasawuf maka akan membawa kepada kebaikan. Salah seorang sufi yang

mencurahkan pemikirannya dalam masalah tasawuf yaitu Junaid al-Baghdadi. Seorang


sufi yang berasal dari Baghdad dan sufi yang sangat cerdas serta mendekatkan diri

kepada Allah. Masalah dalam penelitian ini adalah: a). Bagaimana tasawuf dalam

pandangan Junaid al-Baghdadi? b). Bagaimana Implikasi nilai-nilai tasawuf Junaid al-

Baghdadi di Era modern? Metode penelitian dalam tulisan ini adalah library

Research atau studi kepustakaan. Kesimpulan dari riset ini adalah Junaid al-Baghdadi

adalah seorang sufi yang moderat serta dalam ajaran tasawufnya lebih menekankan

kepada syariat. Tasawuf menurut Junaid harus sesuai dan selaras dengan ajaran Islam

yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, konsep tauhid Junaid al-Baghdadi berdasarkan

kepada kefanaan. Fana disini berarti melenyapkan sifat-sifat duniawi dan menfokuskan

kepada sifat-sifat akhirat supaya bisa dekat dengan Tuhan. Tauhid yang dibangun oleh

Junaid berupaya untuk mengesakan Tuhan serta harus konsisten untuk mentauhidkan

Allah baik dari dahulu sampai sekarang. Tauhid menurutnya berarti mengesakan Allah,

hanya Allah yang tidak terbatas serta berbeda dengan makhluk-Nya. tauhid disini

berarti pemisahan antara yang qadim dengan yang hudus. Oleh karena itu, pemikiran

seperti ini yang mengantarkan Junaid sebagai sufi yang berlandaskan kepada syariat

Islam al-Qur’an dan Sunnah.

2. pemikiran tasawuf Imam Junaid AlBaghdadi terhadap pemikiran Islam.

Tasawuf merupakan alat umat Islam untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Akan tetapi, akhir-akhir ini tasawuf dipandang sebagai suatu hal yang baru dalam Islam

dan para sufi juga menjelaskan tasawuf dengan sangat ekstrem. Sehingga, tasawuf tidak

dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat. Alhasil, banyak orang yang mengatakan

bahwa tasawuf tidak bersumber dari ajaran agama Islam. Oleh karena itu, dalam

penelitian ini akan dijelaskan bahwa ber-tasawuf adalah ber-islam itu sendiri. Sehingga,

tidak ada kontradiksi antara Islam dan Tasawuf. Adapun tokoh yang relevan untuk

membedah tema penelitian ini adalah Imam Junaid Al-Baghdadi. Tujuan dalam

penelitian ini adalah memahami perkembangan tasawuf dalam Islam, memahami

pemikiran tasawuf Imam Junaid Al-Baghdadi, dan memahami urgensi pemikiran

tasawuf Imam Junaid terhadap pemikiran Islam. Adapun teori dalam penulisan tesis ini
adalah hadis Rasulullah SAW tentang inti ajaran agama Islam, yaitu Islam, Iman, dan

Ihsan. Karena objek penelitian ini adalah literatur, maka penelitian ini dapat

dikategorikan sebagai penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini

menggunakan metode kualitatif. Dan data primer dalam penelitian ini adalah kitab

Rasail Junaid yang merupakan karya Abu Al-Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi.

Berdasarkan hasil penelitian ini. Penulis menemukan bahwa tasawuf telah dimulai pada

masa Rasulullah SAW baik sebelum maupun setelah pengangkatan Muhammad

sebagai Rasulullah SAW. Meskipun istilah tasawuf itu sendiri baru muncul atau baru

terdefenisikan secara ilmu pengetahuan pada abad ketiga Hijriah.

Pemikiran tasawuf Imam Junaid terdiri dari tiga unsur, yaitu mitsaq

(perjanjian), fana (peleburan), dan tauhid (penyatuan). Teori Mitsaq dan Fana,

keduanya menunjukkan tujuan yang sama yakni tauhid. Mitsaq ialah kembali kepada

masa eksistensi manusia sebelum diciptakan di dunia, Imam Junaid berkeyakinan

bahwa sebelum bertempat dalam raga jasmaniahnya seorang hamba sudah memiliki

eksistensiya sendiri. Fana ialah lenyapya individualitas manusia walaupun wujud

jasmaniahnya masih ada. Sedangkan tauhid adalah menetapnya seorang hamba dalam

keabadian Tuhan, hal ini bisa terjadi karena sirnanya individualitas manusia.

Berdasarkan ketiga unsur pemikiran tasawuf Imam Junaid tersebut, Imam Junaid

berhasil mendamaikan antara ahli tasawuf dan fiqh, serta meruntuhkan stigma buruk

yang selama ini tasawuf dianggap sesat, dan bahkan pemikiran tasawuf Imam Junaid

merupakan redifinisi tasawuf yang lebih sederhana dan mudah diterima oleh seluruh

kalangan umat muslim. Oleh karenanya, pemikiran tasawuf Imam Junaid Al-Baghdadi

sangat mempengaruhi pemikiran Islam khususnya dalam kajian tasawuf.

3.Mengenal Karya Karya Imam Junaid AlBaghdadi

Dalam perjalanan hidupnya, kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan

terbilang cukup besar. Ia mendalami banyak keilmuan dan menguasainya dengan baik.

Dari keilmuan tersebut ia kemudian menulis dengan orientasi untuk menyebarkannya

supaya dapat dibaca dan dipahami oleh generasi selanjutnya.


Karya-karyanya menurut Al-Hujwiri dalam Kitab Kasyf al-Mahjub meliputi Kitab

Amtsal al-Quran, Kitab Rasail, serta Tashihul Iradah.

Ada juga yang berpendapat beberapa karyanya yang telah lenyap di

antaranya Tashih Iradah, Kitab al-Munajat, Muntakhab al-Asrar fi Shifat ash-

shiddiqqin wa al-abrar, Hikayat, al-Mufarriqat, al-Ma’tsurat’an al-Junaid wa asy-syibli

wa abi Yazid al-Bisthami.

Selain itu, terdapat pula karya-karya yang diduga karya Imam al-Junaid, di

antaranya Risalah Abu al-Qasim al-Junaid ila Yusuf bin al-Husain, Risalah fi al-Syukr

dan Risalah fi al-Faqah, Kitab al-Qashd ila Allah, Ma’ali al-Himan, dan As-Sirr fi

Anfas ash-Shufiyyah (Ali Hassan Abdel Kader:2018).

Karya-karya di atas menjadi indikasi dari keluasan dan kecintaan Imam al-

Junaid terhadap ilmu pengetahuan. Ia berguru kepada seseorang yang sanad

keilmuannya terpercaya. Mendapat keberkahan dari setiap doa yang mengalir dari

guru-guru serta keikhlasannya sendiri dalam menuntut ilmu. Pengalamannya tersebut

dapat kita teladani sebagai salah satu kunci sukses dalam menyelami luasnya ilmu

pengetahuan.

BAB III

KESIMPULAN

Trilogi pemikiran tasawuf Imam Junaid adalah; mitsaq (perjanjian), fana

(peleburan), dan tauhid (penyatuan). Teori Mitsaq dan Fana, memiliki persamaan

tujuan yakni tauhid. Mitsaq dan Fana menggunakan pendekatan yang berbeda dalam

meraih tauhid, Mitsaq menjelaskan kembali kepada kondisi primordial hamba,

sedangkan Fana menjelaskan metode, pelatihan, dan langkah-langkah menuju kondisi

primordial hamba tersebut.

Dalam teori mitsaq, Imam Junaid dalam teori mitsaq nya berpandangan bahwa

manusia sudah mengalami pengalaman yang intim bersama Tuhannya sebelum

memiliki raga jasmaniah. Akan tetapi, pengalaman ini hilang dikarenakan manusia
terkungkung oleh hasrat duniawinya sendiri. Untuk kembali kepada tempat yang

penuh dengan kesucian tersebut, seorang hamba tidak akan bisa mencapainya kecuali

dengan adanya bantuan Tuhan. Sehingga, manusia bisa kembali pada kondisi tersebut,

semata-mata karena anugerah Tuhan kepada manusia yang Dia pilih. Imam Junaid

menguatkan pandangannya tersebut melalui hadis qudsi sebagai berikut: Nabi

Muhammad SAW bersabda: Allah SWT berfirman: “ Hamba -Ku menenggelamkan

dirinya untuk beribadah kepada-Ku, sehingga Aku pun mencintainya, dan ketika

Aku mencintainya, maka jadilah Aku telinganya, sehingga ia bisa mendengar melalui

Aku, dan menjadi matanya, sehingga ia melihat melalui Aku.” Sedangkan dalam teori

fana Imam Junaid menerangkan bahwa manusia akan mengalami kehilangan

kesadaran. Inilah kondisi ketika seorang manusia benar-benar diliputi dan

ditenggelamkan oleh Allah.

Pada tahapan ini, individualitas manusia lenyap walaupun wujud

jasmaniahnya masih ada. Ketika seorang hamba sudah mengalami kondisi seperti ini,

maka dirinya akan lenyap dan menetap dalam keabadian Tuhan, hal inilah yang

dimaksud oleh Imam Junaid dengan tauhid sejati.

Anda mungkin juga menyukai