Anda di halaman 1dari 3

Makna Bekerja

Dalam al-Qur’an kata “kerja” digunakan beberapa


istilah: ‘amal (kerja), kasb (pendapatan), sakhkhara (untuk mempekerjakan atau
mengguna), ajr (upah atau penghargaan), ibtigha’a fadl Allah (mencari
keutamaan Allah ‫)ﷻ‬. Bekerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia melakukan
suatu pekerjaan (perbuatan); berbuat sesuatu. Dalam kamus lain menyebutkan, bekerja
ialah aktivitas yang merupakan usaha badan atau usaha akal yang digunakan untuk
menghasilkan sesuatu, lebih dari sekedar hiburan. Dalam Ensiklopedi Indonesia
bekerja diartikan sebagai pengerahan tenaga baik pekerjaan jasmani maupun rohani
yang dilakukan untuk menyelenggarakan proses produksi. Jadi bekerja berarti
aktivitas bertujuan memperoleh hasil, mencakup kerja lahir dan batin.
Bekerja dalam pandangan Islam merupakan kerja lahir yang merupakan aktivitas fisik
dan juga kerja batin dalam hal ini kerja otak dan kerja hati (qalb). Bekerja merupakan
salah satu amal saleh yang menjadi kewajiban setiap umat Islam. Tentunya, Islam
menganjurkan dan mewajibkan manusia untuk bekerja dan mencari rezeki yang halal
dan baik. Bekerja dalam Islam merupakan usaha yang dilakukan dengan serius dengan
cara mengerahkan semua tenaga dan pikiran.
Bekerja dalam Prespektif
Islam bukan hanya agama langit, tetapi sekaligus agama yang dapat membumi, oleh
karenanya Islam memandang bekerja sebagai fitrah. Manusia adalah makhluk yang
bekerja (homo faber), bahkan manusia tidak akan mendapatkan suatu apa pun kecuali
apa yang diusahakannya. Sehingga tidak mengherankan jika sering didengar bahwa
masuk surga atau neraka sangat ditentukan oleh perbuatan seseorang, atau usahanya
ketika hidup di dunia. Perlu ditekankan supaya manusia bekerja atau berusaha untuk
kebaikan serta dengan cara yang baik, sebab orang yang beriman dan bekerja dengan
baik maka Allah ‫ ﷻ‬akan memberi kehidupan yang baik pula.
Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah ‫( ﷻ‬Q.S. Adz-Dzariyat [51]:
56). Salah bentuk ibadah yang bersifat umum adalah bekerja. Tidak ada kesuksesan,
kebaikan, manfaat atau perubahan dari keadaan buruk menjadi lebih baik kecuali
dengan kerja menurut bidang masing-masing. Melalui kerja manusia menyatakan
eksistensi dirinya dalam kehidupan bermasyarakat, karena bekerja pada dasarnya
merupakan realitas fundamental bagi manusia dan karenanya menjadi hakikat kodrat
yang selalu terbawa dalam setiap jenjang perkembangan kemanusiaannya, sebab
dengan kerja manusia dapat melaksanakan pembangunan perekonomian masyarakat
dan sekaligus sebagai cermin pelaksanaan perintah agama.
Allah ‫ ﷻ‬berfirman,
‫َقاَلْت ِإْح َد اُهَم ا َيا َأَبِت اْسَتْأِج ْر ُه ِإَّن َخ ْيَر َمِن اْسَتْأَج ْر َت اْلَقِو ُّي اَأْلِم يُن‬
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
(Q.S. Al-Qashshash [28]: 26).
Dari ayat ini, terdapat kata Al-Qawiy dan Al-Amîn yang dijadikan landasan bagi orang
yang berkerja (pada kita). Al-Qawiy, yaitu memiliki kapabilitas (kompentesi yang
baik) dan pandai untuk menjaga amanat, dan juga melakukan hal-hal yang mendukung
sehingga pekerjaan bisa sempurna. Al-Amîn, yaitu tahu akan kewajiban sebagai orang
yang diserahi amanat.
Dari Abu Abdillah Zubair bin Awwam, ia berkata Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda,
‫َﻷْﻥ َﻳْﺄُﺧَﺬ َاَﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ َﺍْﺣ ُﺒَﻠُﻪ ُﺛَّﻢ َﻳْﺎِﺗﻰ ﺍْﻟَﺠ َﺒَﻞ َﻓَﻴْﺎِﺗَﻰ ِﺑُﺤ ْﺰ َﻣ ٍﺔ ِﻣ ْﻦ َﺣ َﻄٍﺐ َﻋ َﻠﻰ َﻇْﻬِﺮِﺥ َﻓَﻴِﺒْﻴَﻌَﻬﺎ َﻓَﻴُﻜ َّﻒ ُﻪﻠﻟﺍ ِﺑَﻬﺎ َﻭ ْﺟ َﻬُﻪ َﺧْﻴٌﺮ َﻟُﻪ ِﻣ ْﻦ َﺍْﻥ‬
‫ َﻳْﺴ َﺄَﻝ ﺍﻟَّﻨﺎَﺱ َﺍْﻋ َﻄْﻮ ُﻩ َﺍْﻭ َﻣ َﻨُﻌْﻮ ُﻩ‬.
“Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit
untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk dijual sehingga ia
bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada
orang lain, baik mereka memberi atau tidak”. (H.R. Bukhari, no. 2073).
Dari sini jelaslah bahwa tidak ada alasan seorang muslim menganggur, apalagi
menjadi jumud yang kehilangan semangat inovatif.
Disebutkan dalam dari Abu Hurairah, Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda,
‫اْلُم ْؤ ِم ُن اْلَقِو ُّى َخ ْيٌر َو َأَح ُّب ِإَلى ِهَّللا ِم َن اْلُم ْؤ ِم ِن الَّض ِع يِف‬
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang
lemah. (H.R. Muslim, no. 2664).
Bekerja Bagian dari Iman
Bekerja adalah fitrah dan sekaligus merupakan satu identitas manusia, sehingga
bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja menunjukkan
fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai
‘abdullah (hamba Allah). Bekerja dan kesadaran bekerja mempunyai dua dimensi
yang berbeda menurut takaran seorang muslim, yaitu bahwa makna dan hakikat
bekerja adalah fitrah manusia yang sudah seharusnya demikian (conditio sine
quanon). Sedangkan kesadaran bekerja akan melahirkan suatu improvements untuk
meraih nilai-nilai yang bermakna, dia mampu menuangkan idenya dalam bentuk
perencanaan, tindakan, serta melakukan penilaian dan analisa tentang sebab dan akibat
dari aktifitas yang dilakukannya (managerial aspect).
Dengan cara pandang seperti ini, setiap muslim tidak akan bekerja hanya sekedar
bekerja; asal mendapat gaji, dapat surat pengangkatan, tunjangan, akan tetapi
kesadaran bekerja secara produktif dengan dilandasi tauhid dan tanggung
jawab Uluhiyah merupakan salah satu ciri yang khas dari karakter kepribadian
seorang muslim.
Allah ‫ ﷻ‬berfirman,
‫َفِإَذ ا َفَر ْغ َت َفٱنَص ْب‬
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Q.S. al Insyirah [94]: 7).
Dalam ayat ini terkandung amar (perintah) yang berarti bahwa hal itu wajib
dilaksanakan, artinya siapapun yang hanya berdiam diri dan pasif tidak mau berusaha
untuk bekerja, maka dia telah mengabaikan perintah Allah ‫ﷻ‬.
Allah ‫ ﷻ‬memberikan gelar kepada manusia sebagai khaira Ummah (the best
society), gelar itu tidak akan berarti apabila tidak ada semangat bekerja, serta usaha
untuk menanamkan ideologi bahwa bekerja, berkreasi, dan berinovasi adalah indah.
Sebaliknya, pribadi yang malas dan bermental pengemis hanyalah akan
mengorbankan masyarakat dan bahkan generasi yang terjajah dan terbelenggu, tak
punya wibawa, wujuduhu kaadamihi (ada dan tiadanya sama saja).
Dalam Islam, rezeki memang menjadi urusan Allah ‫ ﷻ‬dan sebagai hamba-Nya,
manusia diwajibkan untuk selalu berusaha sekuat tenaga untuk mencari rezeki yang
halal. Bekerja merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan setiap orang. Hal
ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam Firman Allah ‫ﷻ‬,
‫َٰٓيَأُّيَها ٱلُّر ُسُل ُك ُلو۟ا ِم َن ٱلَّطِّيَٰب ِت َو ٱْع َم ُلو۟ا َٰص ِلًحاۖ ِإِّنى ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َع ِليٌم‬
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang
saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-
Mu’minun [23]: 51).
Bekerja mempunyai tempat yang sangat mulia dan luhur yaitu digolongkan fi
sabilillah, hal ini tercermin dari sabda Rasulullah ‫ﷺ‬, Ka’b bin ‘Ujrah z berkata,
“Seorang laki-laki melewati Nabi ‫ ﷺ‬kemudian para sahabat melihat bagaimana
kuat dan rajinnya laki-laki tersebut, lalu mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬,
seandainya hal ini di jalan Allah.’ Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, “Jika ia keluar bekerja
untuk menghidupi anaknya yang masih kecil maka dia fi sabilillah (di jalan Allah),
jika ia keluar bekerja untuk kedua orang tuanya yang telah lanjut usia maka fi
sabilillah, jika ia keluar bekerja untuk menjaga kehormatan dirinya dari meminta-
minta maka ia fi sabilillah dan jika ia keluar karena riya’ dan sombong maka ia di
jalan setan.’” (H.R. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 19/129. Berkata al-
Mundziri, “Rentetan perawi haditsnya shahih.” dan dishahihkan oleh al-Albani
dalam Shahih at-Targhib: 1692)
Bekerja adalah suatu aksioma Ilahiyyah yang berlaku universal, pada kurun waktu
kenabian dan awal kebangkitan Islam, sangat jelas terlihat bahwa penghargaan atas
makna bekerja telah diterima oleh seluruh pengikut Rosul dengan sikap sami’na wa
ato’na, sikap patuh tanpa reserve.
Dalam hadits disebutkan dari al-Miqdam z, bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
‫َم ا َأَك َل َأَح ٌد َطَع اًم ا َقُّط َخ ْيًرا ِم ْن َأْن َيْأُك َل ِم ْن َع َمِل َيِدِه َو ِإَّن َنِبَّي ِهَّللا َداُوَد َع َلْيِه الَّس اَل م َك اَن َيْأُك ُل ِم ْن َع َمِل َيِدِه‬
“Tidaklah seorang (hamba) memakan makanan yang lebih baik dari hasil usaha
tangannya (sendiri), dan sungguh Nabi Dawud  makan dari hasil usaha tangannya
(sendiri)” (H.R. Bukhari, no. 1966).
Penutup
Tujuan bekerja keras, bukanlah sekedar memenuhi naluri yakni hidup untuk
kepentingan perut saja. Islam memberikan pengarahan kepada suatu tujuan filosofi
yang luhur, tujuan yang mulia, tujuan yang ideal yang sempurna yaitu keimanan,
berta’abbud, menghambakan diri untuk mencari keridaan Allah ‫ﷻ‬. Semua usaha
seorang muslim yang bercorak duniawi maupun ukhrowi pada hakikatnya tertuju pada
satu titik yaitu keridaan Allah ‫( ﷻ‬mardhatillâh).
Ibadah tidak hanya salat, puasa, zakat, haji akan tetapi ibadah dalam pengertian luas
juga meliputi bidang duniawi yang kesemuanya dilakukan dengan niat iman dan
mencari keridaan Allah ‫ﷻ‬. Niat seorang muslim merupakan hal yang sangat
penting, termasuk semua aktifitas yang dilakukannya. Niat merupakan tekat hati untuk
melakukan suatu perbuatan ibadah dalam rangka mendekatkan diri semata-mata
karena Allah ‫ﷻ‬, sekaligus merupakan unsur yang sangat menentukan dalam
keabsahan suatu ibadah. Wa Allâhu a’lam bi ash shawwâb.[]

Anda mungkin juga menyukai