Anda di halaman 1dari 24

ARTIFICIAL INTELLIGENCE DALAM PERSPEKTIF ISLAM

PENDAHULUAN
Dalam kehidupan manusia, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki
dampak yang sangat signifikan. Berbagai inovasi teknologi, seperti jam, telepon genggam,
televisi, kendaraan, dan lainnya, telah mempermudah berbagai aspek kegiatan manusia. Di
Indonesia, perkembangan teknologi semakin pesat, terutama seiring dengan kemajuan dalam
revolusi industri 4.0 dan revolusi sosial 5.0. Kedua revolusi ini telah membantu
meningkatkan berbagai aspek kehidupan manusia dalam era modern. Perkembangan
teknologi di Indonesia tidak hanya terbatas pada aspek industri, melainkan juga mencakup
semua lapisan masyarakat. Tujuan dari Revolusi Sosial 5.0 adalah menciptakan masyarakat
yang berfokus pada kepentingan manusia. Fukuyama (2018) mengatakan bahwa hubungan
antara pengembangan teknologi dan evolusi masyarakat dapat dicapai, sehingga masyarakat
dapat menikmati kehidupan yang berkualitas tinggi. Tujuan revolusi ini adalah menciptakan
lingkungan di mana kehidupan sosial aktif dan nyaman dapat terwujud.

Amrizal dan Aini (2013) mengakui bahwa penggunaan komputer dapat signifikan
dalam mempercepat dan meningkatkan efisiensi pencarian serta perolehan informasi. Pada
awalnya, fungsi utama komputer adalah untuk mengolah dan menampilkan hasil dari
pengumpulan data. Namun, dengan kemajuan teknologi saat ini, peran komputer telah
berkembang, memungkinkannya untuk mengolah data dengan lebih akurat dan cepat.

Perkembangan teknologi juga membawa konsep kecerdasan buatan (AI), di mana


manusia menciptakan sistem pintar di dalam mesin. Meskipun belum mencapai kecerdasan
manusia secara keseluruhan, AI dirancang untuk membantu mesin berpikir dan belajar,
meniru fungsi akal manusia.

Dalam konteks Islam, terdapat lima pandangan penting terkait arah perkembangan
teknologi. Pertama, pandangan yang melihat kesamaan antara teknologi dan agama, di mana
pertanyaan ilmiah diajukan tanpa jawaban konkret (Hom et al., 2020). Kedua, pandangan
yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan ilmiah dengan memahami perspektif Islam
(Brierly et al., 2018). Ketiga, pandangan yang menganggap teknologi dan agama sebagai dua
bidang dengan pusat perhatian penting termasuk penggabungan ilmu agama yang
berhubungan dengan Tuhan dan ilmu sains yang mempelajari alam menuntut integrasi
dengan teknologi (Ghernaout, 2018). Keempat, pandangan yang memberikan keyakinan
bahwa agama dan teknologi saling terkait dalam dunia, memberikan gambaran yang jelas
mengenai konsistensi yang terjadi (Ghernaout, 2017). Kelima, pandangan yang menganggap
ilmu teknologi dan agama sebagai dua aspek yang berbeda (Rahardja et al., 2019).

Dalam dunia ilmu teknologi, para ilmuwan kini dihadapkan pada kebutuhan esensial
untuk mengakui keberadaan sang Pencipta. Oleh karena itu, pengetahuan perlu disebarkan
dengan semangat tauhid. Semangat ini memimpin menuju pengakuan Tuhan Yang Maha Esa
sebagai tanda mutlak sebagai pencipta dan penguasa umat manusia. Umat manusia begitu
luas, dan pikiran manusia belum terbentuk pada tema atau gaya tertentu.

Kecerdasan Buatan (AI), atau singkatannya, adalah sistem yang dimasukkan ke dalam
mesin seperti komputer atau robot untuk dapat bertindak mirip dengan sifat asli manusia,
seperti emosi, kemampuan berpikir, daya ingat, dan sebagainya. Menurut Shabbir dan Anwar
(2015), tujuan pengembangan sistem AI adalah untuk melatih mesin agar dapat memahami
tingkah laku manusia dan memberikan respon atau reaksi seperti manusia. Russell dan
Norvig (2016) mendefinisikan AI sebagai program yang memungkinkan mesin berfungsi
seperti manusia, termasuk dalam hal pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan
pemberian ramalan. Perkembangan AI telah menjadi pusat perhatian dunia modern saat ini.
Dalam perspektif Islam, penerapan dan pengembangan AI memunculkan berbagai pertanyaan
etis dan filosofis yang mendalam. Islam sebagai agama yang mencakup panduan hidup dalam
segala aspek, juga menuntut untuk memahami dan merangkum kemajuan teknologi ini dalam
konteks nilai-nilai dan norma-norma Islam.

Artikel ilmiah ini bertujuan untuk menjelajahi peran serta dampak penggunaan
kecerdasan buatan dalam perspektif Islam. Dalam hal ini, akan dianalisis secara kritis
bagaimana konsep-konsep Islam, seperti etika, keadilan, dan hak asasi manusia, dapat
berbaur dan memberikan panduan dalam perkembangan dan penerapan teknologi AI. Melalui
pemahaman ini, diharapkan dapat dihasilkan suatu pandangan yang seimbang dan harmonis
antara kemajuan teknologi AI dengan prinsip-prinsip moral dan spiritual Islam.

PEMBAHASAN
Islam memberikan perhatian penuh kepada umatnya agar terus menggali potensi alam
dan lingkungan, menjadikannya sentrum peradaban yang gemilang. Dalam konteks ini, tidak
ada pertentangan antara sains dan Islam; keduanya berjalan seimbang dan selaras untuk
menciptakan khazanah keilmuan dan peradaban manusia yang lebih baik. Pandangan Islam
terhadap sains dan teknologi menekankan bahwa Islam tidak pernah mengekang umatnya
untuk berkembang dan menjadi modern. Sebaliknya, Islam mendukung umatnya untuk
melakukan penelitian dan bereksperimen dalam berbagai bidang, termasuk sains dan
teknologi. Bagi Islam, sains dan teknologi merupakan ayat-ayat Allah yang perlu digali dan
ditemukan keberadaannya di alam semesta. Ayat-ayat Allah yang tersebar di seluruh alam ini
dianggap sebagai anugerah bagi manusia sebagai khalifatullah di bumi, untuk diolah dan
dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Menurut Fukuyama, Sosial 5.0 menjadikan kehidupan bermasyarakat berfokus pada


manusia. Pengembangan teknologi dan resolusi dalam bermasyarakat dapat diraih,
memungkinkan masyarakat menikmati kehidupan dengan kualitas terbaik yang aktif dan
nyaman. Sosial 5.0 diperkenalkan pertama kali di Jepang untuk mengatasi tantangan
bagaimana kemajuan teknologi harus sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Perkembangan ini diharapkan membantu seluruh umat manusia mendapatkan kualitas hidup
yang lebih layak, memperbaiki kualitas hidup, dan menikmati kemudahan dalam genggaman
mereka.

Dengan Sosial 5.0, Kecerdasan Buatan akan berkolaborasi dengan segala aspek
kehidupan, membantu menyelesaikan permasalahan dalam bidang sains, teknologi, dan sosial
humaniora. Hal ini akan memudahkan peneliti menjawab berbagai permasalahan dengan
cepat.

Memahami IPTEK dalam islam


Dalam ilmu teknologi data berbasis indra, indra dianggap sebagai sumber informasi
terpercaya tentang dunia alam. Meskipun Islam mengakui pentingnya peran indra dalam
memahami dunia, namun Islam tidak menganggap data berbasis indra sebagai cukup untuk
pemahaman penuh. Lebih tepatnya, Islam menekankan peran ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) dalam interpretasi data empiris, sementara juga mengakui peran intuisi dan wahyu.
Keberadaan ilmu teknologi dalam perspektif dunia Islam memiliki pandangan yang jauh
lebih luas terkait perkembangan yang diakui oleh pandangan positivistik. Sementara Al-
Qur'an memberi petunjuk tentang pentingnya peran indra, pendekatan Islam lebih
mengedepankan harmoni antara ilmu pengetahuan, teknologi, intuisi, dan wahyu dalam
pemahaman dunia.

‫َو ُهّٰللا َاْخ َر َج ُك ْم ِّم ْۢن ُبُطْو ِن ُاَّم ٰه ِتُك ْم اَل َتْع َلُم ْو َن َش ْئًـۙا َّوَجَعَل َلُك ُم الَّسْمَع َو اَاْلْبَص اَر َو اَاْلْفِٕـَدَةۙ َلَع َّلُك ْم َتْشُك ُرْو َن‬

“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar
kamu bersyukur.” (Q.S. An-Nahl 16: 78)

Ayat tersebut, yang terdapat dalam Surat An-Nahl (16:78), menggambarkan


penciptaan manusia oleh Allah dan pemberian-Nya atas kemampuan pendengaran,
penglihatan, dan hati nurani. Pemahaman ayat ini dapat dihubungkan dengan konsep ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek) dalam Islam. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk
yang awalnya tidak mengetahui apa-apa, namun dengan memberikan indra pendengaran,
penglihatan, dan hati nurani, Allah memberikan manusia kemampuan untuk memahami dunia
dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam perspektif Islam, ilmu pengetahuan dan
teknologi dianggap sebagai sarana untuk memahami ciptaan Allah, menghargai keajaiban
penciptaan-Nya, dan menjalani kehidupan dengan penuh syukur. Oleh karena itu, melalui
pemberian indra dan akal pikiran, Islam mendorong umatnya untuk memanfaatkan iptek
dengan penuh rasa syukur dan tanggung jawab, serta selalu mengingatkan bahwa segala
pengetahuan yang diperoleh harus dipergunakan sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika
Islam.

Dampak Teknologi Terhadap Masyarakat Islam


Perkembangan teknologi pada era sekarang ini sangat pesat, memudahkan akses
terhadap berbagai kemajuan teknologi dengan sangat mudah. Seiring dengan perkembangan
zaman, komunikasi antar manusia dapat dilakukan dengan berbagai alat sarana, seperti
internet, handphone, Twitter, dan Facebook. Manusia dan teknologi menjadi dua hal yang tak
dapat dipisahkan dalam era modern saat ini. Kita menyadari bahwa perkembangan teknologi
yang pesat seakan-akan memudahkan dan memanjakan manusia dalam menjalankan aktivitas
kehidupannya.

Hubungan antara manusia dan teknologi dapat dijumpai dalam setiap aktivitas yang
kita lakukan. Manusia tidak akan pernah lepas dari teknologi, sehingga teknologi saat ini
menjadi bagian dari kebutuhan pokok yang harus dirasakan dan dinikmati manfaatnya, selain
kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, dan papan (Hidayat et al., 2022).

Namun, perlu diakui bahwa teknologi informasi dan komunikasi juga memiliki
dampak negatif yang cukup mengganggu kehidupan sehari-hari. Banyak dampak negatif
tersebut disebabkan oleh penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi, serta
kurangnya pemahaman masyarakat akan etika dan cara yang baik dalam menggunakan
teknologi informasi dan komunikasi.

Beberapa dampak negatif teknologi informasi terhadap masyarakat Islam antara lain:

a. Individu menjadi malas untuk bersosialisasi secara fisik.


b. Meningkatnya penipuan dan kejahatan cyber.
c. Cyber Bullying.
d. Konten negatif yang berkembang pesat.
e. Fitnah dan pencemaran nama baik secara luas.
f. Menjauhkan hubungan yang dekat.
g. Mengabaikan tugas dan pekerjaan.
h. Membuang-buang waktu untuk hal yang tidak berguna.
i. Menurunnya prestasi belajar dan kemampuan bekerja seseorang.

Dengan demikian, perlu adanya upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan
etika penggunaan teknologi informasi dan komunikasi agar dampak negatif dapat
diminimalkan.

Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence)


Kecerdasan Buatan (AI) adalah kemampuan tambahan yang diberikan pada suatu
sistem, atau dengan kata lain, kemampuan sistem untuk menginterpretasi data eksternal
dengan akurat, mengelola data tersebut, dan menggunakan hasil olahan untuk mencapai suatu
tujuan tertentu (Goralski & Tan, 2020; Sousa, Melo, Bermejo, Farias, & Gomes, 2019).
Meskipun AI tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran manusia, ada satu aspek di mana
AI masih belum dapat menyamai manusia, yaitu kemampuan untuk merasakan empati
(Budianto et al., 2021). Meski demikian, Kecerdasan Buatan tetap dapat berperan sebagai
pendukung kinerja Sumber Daya Manusia (SDM). Oleh karena itu, pengembangan
kompetensi SDM menjadi suatu kebutuhan, terutama dalam hal kompetensi yang tidak dapat
dilakukan oleh Kecerdasan Buatan.

Salah satu aspek penting dari pengembangan kompetensi SDM adalah meningkatkan
soft skill, serta menangani masalah yang masih belum dapat dipecahkan oleh AI selama
berabad-abad. Kecerdasan Buatan dapat diaplikasikan pada robot, yang nantinya akan
membantu manusia dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini, penerapan tersebut sudah dapat
dirasakan dalam dunia manufaktur industri, di mana beberapa sektor telah mengalami
otomasi menggunakan robot.

AI dalam Pandangan Negara Islam


Ada minat besar di banyak negara dengan populasi yang mayoritas Muslim untuk
mengadaptasi dan mengintegrasikan teknologi kecerdasan buatan (AI) ke dalam infrastruktur
sosial mereka. Sebagai contoh, pada tahun 2017, Pemerintah Arab Saudi mengumumkan
keputusannya untuk memberikan kewarganegaraan kepada robot Sophia sebagai 'warga
negara robot' pertama di dunia. Negara-negara Teluk lainnya juga banyak menginvestasikan
dalam membangun kota pintar yang dioperasikan oleh aplikasi AI (Elmahbub, 2023).

Dari tahun 2017 hingga 2021, negara-negara di wilayah Timur Tengah dan Afrika
Utara (MENA) menerbitkan banyak dokumen yang menguraikan strategi untuk
memanfaatkan AI dalam pertumbuhan ekonomi, keamanan, pendidikan, kesehatan, dan
transportasi, antara lain. Dokumen-dokumen ini secara konsisten menunjukkan prioritas
kebijakan yang berfokus pada pengembangan infrastruktur teknis untuk AI. Namun,
komitmen strategi tersebut untuk menggabungkan komponen etika dan normatif bervariasi.
Misalnya, dokumen strategi AI UEA (2017) dan Arab Saudi (2020) berjanji untuk melakukan
reformasi kebijakan dan legislasi untuk menyambut teknologi AI tanpa menyebutkan norma
dan nilai lokal sebagai tolak ukur untuk menentukan konten etika dan normatif dari strategi
AI tersebut.

Sebaliknya, dokumen strategi AI Qatar (2019) dan Mesir (2021) memberikan lebih
banyak perhatian pada memastikan keselarasan kebijakan teknis AI dengan gagasan
kesejahteraan dan etika lokal. Menariknya, strategi AI Qatar menekankan pentingnya visi
lokal terhadap etika AI, menyatakan bahwa "kerangka [AI] yang akan dikembangkan harus
konsisten dengan norma sosial, budaya, dan agama Qatar". Namun, perlu dicatat bahwa
dokumen-dokumen ini bersifat aspirasional dan tidak mengandung standar etika yang
memadai untuk integrasi dan implementasi teknologi AI. Ada kecenderungan awal untuk
mengulang prinsip normatif yang ditemukan dalam strategi AI Barat, seperti keadilan,
akuntabilitas, dan transparansi. Penulis Strategi AI Nasional Qatar juga merekomendasikan
menggunakan Peraturan Perlindungan Data Umum Uni Eropa (GDPR) sebagai template
untuk memperkenalkan pedoman lokal bagi aplikasi AI.

Tantangan besar bagi negara-negara di Dunia Islam adalah membangun sistem AI


yang selaras dengan keyakinan agama dan budaya mereka. Penyesuaian sistem AI dengan
keyakinan agama dan budaya akan memastikan bahwa sistem-sistem ini lebih diterima oleh
populasi. Hal ini penting karena penerimaan merupakan faktor kritis untuk berhasilnya
implementasi teknologi baru. Jika sistem AI tidak selaras dengan keyakinan agama dan
budaya, mereka dapat dianggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai dan tradisi lokal. Selain
itu, ada alasan yang baik untuk menghindari penerimaan dan transplantasi tanpa kritis dari
prinsip normatif asing sambil mengabaikan norma, nilai, dan realitas lokal. Sebagai contoh,
sektor swasta menghasilkan sejumlah besar dokumen kebijakan perbandingan yang ada. Nilai
normatif utama bagi perusahaan swasta adalah memaksimalkan keuntungan. Keterlibatan
perusahaan swasta dalam penetapan standar AI telah banyak dikritik karena berpotensi
bergantung pada kekuatan mereka untuk menghasilkan panduan kebijakan tingkat tinggi
dengan komponen teknis berat untuk mengubah tantangan sosial dan etika AI menjadi
masalah teknis semata. Oleh karena itu, ada alasan baik untuk mengoptimalkan penetapan
standar AI dalam konteks lokal, dengan memperhatikan norma dan tantangan lokal.

Dampak Penggunaan Teknologi AI


Meskipun keberadaan kecerdasan buatan (AI) telah memberikan banyak dampak
positif bagi negara, penggunaan AI juga membawa dampak negatif bagi masyarakat, terutama
dalam hal kesempatan kerja. Salah satu dampak negatifnya adalah meningkatnya penggantian
pekerjaan manusia oleh mesin dan robot, seperti yang diungkapkan oleh Au-Yong-Oliveira,
Canastro, Oliveira, Tomás, Amorim & Moreira pada tahun 2019. Survei yang dilakukan oleh
Granulo, Fuchs, dan Puntoni pada tahun yang sama juga menemukan bahwa banyak
perusahaan lebih cenderung memilih menggunakan mesin daripada tenaga manusia. Situasi
ini menimbulkan isu ketidakstabilan perekonomian di tingkat global karena pekerja
kehilangan sumber pendapatan dan menghadapi kekhawatiran ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Penggunaan media sosial seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, dan Instagram telah
berperan penting dalam kasus intrusi data pribadi. Dengan dukungan teknologi kecerdasan
buatan (AI), keamanan data pribadi seringkali dimanipulasi demi kepentingan pihak tertentu.
Sebagai contoh, penyalahgunaan data pengguna diketahui telah memengaruhi hasil pemilihan
presiden di Amerika Serikat, seperti yang terjadi pada pemilu Presiden Trump (Gonzalez,
2017). Kejadian serupa juga terjadi di berbagai negara, termasuk Argentina, Nigeria, Kenya,
India, dan Republik Ceko, di mana data pribadi digunakan untuk memengaruhi proses politik
(Posetti & Matthews, 2018). Di Malaysia, terdapat dugaan bahwa hasil pemilu sebelumnya
juga dipengaruhi oleh pihak ketiga yang melakukan manipulasi terhadap data pribadi
pengguna (Bradshaw & Howard, 2018; Welsh, 2018). Adanya penyalahgunaan data pribadi
ini menimbulkan keprihatinan karena dapat membentuk pemikiran negatif dan memengaruhi
kecenderungan atau emosi masyarakat sesuai dengan kepentingan politisi tertentu.

Ancaman terhadap keamanan dunia semakin meningkat akibat pelanggaran dalam


penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI), terutama terkait dengan terorisme,
persenjataan, dan perang. Penggunaan luas teknologi AI, khususnya melalui sistem
pengenalan wajah, telah menjadi sorotan utama dalam konteks pemanfaatan untuk tujuan
diskriminatif, seperti pelacakan dan pengendalian terhadap kelompok etnis Uighur, sebuah
komunitas Muslim yang signifikan di Tiongkok (Mozur, 2019; Byler, 2019). Isu ini tidak
hanya menjadi perhatian lokal, tetapi juga mendapat sorotan internasional. The New York
Times bahkan mengklasifikasikan masalah ini sebagai "ancaman eksistensial terhadap
demokrasi" (Mozur, 2019). Mehta, Siddiqui, dan Javaid (2019) menunjukkan bahwa
kemampuan teknologi AI bukan hanya terbatas pada deteksi wajah, melainkan juga mampu
mengenali emosi dan perilaku individu. Oleh karena itu, dikhawatirkan bahwa di masa depan,
teknologi AI dapat disalahgunakan untuk melacak dan menindas individu berdasarkan faktor
demografi seperti warna kulit, ras, etnis, agama, atau jenis kelamin.

Selain itu, sistem AI hanya mengandalkan algoritme untuk berfungsi sebagai daftar
perintah dan pintasan yang memberi petunjuk kepada komputer tentang tindakan yang harus
dilakukan. Namun, menurut Silva dan Kenney (2018), hasil dari algoritma tersebut
kemungkinan besar akan menghasilkan output yang tidak adil atau bias. Ilmuwan data juga
membenarkan bahwa program komputer, jaringan, algoritme pembelajaran mesin, dan
kecerdasan buatan bekerja karena mereka mempelajari cara bertindak dari data yang
diberikan. Namun, hal tersebut belum sempurna dan seringkali gagal berfungsi dengan baik.
Contohnya, kecelakaan fatal yang melibatkan firmware Tesla sebagian disebabkan oleh
algoritma yang tidak dapat membedakan antara sisi traktor putih dan langit cerah di
belakangnya (Mackie, 2018). Hal yang serupa terjadi pada algoritma yang digunakan dalam
Flickr Apps dan Google Photos Apps yang memberikan label palsu pada foto dengan unsur
rasial (Grush, 2015; Hern, 2015). Algoritma-algoritma ini juga memiliki kecenderungan
menghasilkan bias gender dalam alat terjemahan otomatis, seperti yang dieksploitasi dalam
fenomena bias gender (Prates, Avelar & Domba, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa
algoritma-algoritma ini masih mengalami konflik dalam pengambilan keputusan dan menjadi
sumber kekhawatiran, terutama jika terkait dengan masalah hukum dan aturan.

Kedudukan Agama dalam IPTEK


Al-Qur'an, sebagai kitab suci dalam agama Islam, memberikan gambaran tentang
teknologi sebagai sarana pembelajaran untuk menguasai berbagai ilmu. Tujuan dari
penyampaian ini adalah untuk memberikan pemahaman mengenai kealamian teknologi.
Firman Allah yang menjelaskan konsep ini dalam Al-Qur'an adalah Q.S. Al-Anbiya ayat 80
yang berbunyi:

‫َو َع َّلْم ٰن ُه َص ْنَع َة َلُبْو ٍس َّلُك ْم ِلُتْح ِص َنُك ْم ِّم ْۢن َبْأِس ُك ْۚم َفَهْل َاْنُتْم ٰش ِكُرْو َن‬

“Kami mengajarkan pula kepada Daud cara membuat baju besi untukmu guna
melindungimu dari serangan musuhmu (dalam peperangan). Maka, apakah kamu bersyukur
(kepada Allah)?” (Q.S. Al-Anbiya’ 21:80)

Ayat ini merujuk pada kebijaksanaan dan kemampuan Nabi Daud (David) yang
diberikan oleh Allah, termasuk pengetahuan tentang pengolahan besi sebagai pakaian
pelindung saat berperang. Hikmah yang dapat diambil dari ayat tersebut adalah kemampuan
untuk melihat evolusi dalam pembuatan baju besi khusus yang digunakan oleh prajurit dalam
pertempuran, sebagai bentuk perkembangan teknologi.

Dalam ayat tersebut, Allah SWT memberikan petunjuk kepada Nabi Daud mengenai
perlunya pakaian pelindung saat berperang. Al-Qur'an juga mengajarkan bahwa fenomena
alam adalah tanda-tanda Tuhan pada surat Al-Imran ayat 190:

‫ِاَّن ِفْي َخ ْلِق الَّسٰم ٰو ِت َو اَاْلْر ِض َو اْخ ِتاَل ِف اَّلْيِل َو الَّنَهاِر ٰاَل ٰي ٍت ُاِّلوِلى اَاْلْلَباِۙب‬

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal." (Q.S. Al-Imran 3:190).

Ayat ini menjelaskan seberapa besar Allah menunjukkan kekayaannya melalui ciptaan
alam semesta dan bagaimana hamba-hamba-Nya sangat bergantung pada-Nya. Hanya Allah
yang mampu menciptakan dan mengatur segala hal di alam semesta ini. Namun, pemahaman
ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang memiliki akal yang sempurna dan logika yang
sehat, yang disebut sebagai ulul albab.

Teknologi Yang Saling Berkolaborasi Dengan Islam


Secara mendasar, Islam mendorong umatnya untuk menjadi individu yang berprestasi
baik dalam konteks ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), baik di dalam maupun di luar
panggung. Keterlibatan teknologi dalam keseharian umat Muslim diharapkan dapat
berkolaborasi harmonis dengan ajaran Islam, memberikan manfaat bagi seluruh umat
manusia dan khususnya umat Muslim. Oleh karena itu, umat Muslim diwajibkan untuk
memiliki sifat-sifat seorang ilmuwan, yaitu kritis (sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-
Isra 17: 36), terbuka terhadap kebenaran dari sumber apapun (Q.S. Az-Zumar 39: 18), dan
selalu menggunakan akal pikirannya secara kritis (Q.S. Yunus 10: 10). Hal ini menjadi dasar
bagi setiap Muslim untuk berkembang dalam bidang IPTEK sebagai sarana utama untuk
mencapai kebahagiaan, baik dalam kehidupan dunia maupun di akhirat (sebagaimana
disebutkan dalam Q.S. Al-Qashash 28: 77; Q.S. An-Nahl 16: 43; Q.S. Al-Mujadilah 58: 11;
Q.S. At-Taubah 9: 122).
‫ٰۤل‬
‫َو اَل َتْقُف َم ا َلْيَس َلَك ِبٖه ِع ْلٌم ۗ ِاَّن الَّسْمَع َو اْلَبَصَر َو اْلُفَؤ اَد ُك ُّل ُاو ِٕىَك َك اَن َع ْنُه َم ْسُٔـْو اًل‬
“Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta
pertanggungjawabannya.” (Q.S. Al-Isra 17: 36).

Dalam konteks perkembangan teknologi, ayat ini dapat diartikan sebagai peringatan
untuk tidak secara buta mengikuti atau menerima teknologi tanpa pemahaman yang memadai.
Umat Muslim diminta untuk menggunakan akal pikiran, penglihatan, dan pendengaran
mereka secara bijaksana dalam menghadapi kemajuan teknologi. Dengan kata lain, Islam
mendorong umatnya untuk memiliki sikap kritis terhadap perkembangan teknologi,
memahami implikasi etika dan moralnya, serta memastikan bahwa penggunaan teknologi
tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam.

‫ٰۤل‬ ‫ٰۤل‬
‫اَّلِذ ْيَن َيْسَتِم ُعْو َن اْلَقْو َل َفَيَّتِبُعْو َن َاْح َس َنٗه ۗ ُاو ِٕىَك اَّلِذ ْيَن َهٰد ىُهُم ُهّٰللا َو ُاو ِٕىَك ُهْم ُاوُلوا اَاْلْلَباِب‬

“(Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka
itulah ululalbab (orang-orang yang mempunyai akal sehat).” (QS. Az-Zumar 39: 18).

Ayat tersebut menekankan pentingnya mendengarkan dengan teliti dan mengikuti


yang terbaik dalam perkataan. Dalam konteks perkembangan teknologi, ajaran ini
mengajarkan umat Islam untuk mengakomodasi inovasi dan pengetahuan yang bermanfaat.
Menyikapi kemajuan teknologi dengan kritis dan selektif, umat Islam diajak untuk memilih
yang paling baik dari inovasi tersebut, yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu,
dalam perspektif Islam, perkembangan teknologi diharapkan untuk memberikan manfaat
positif bagi kehidupan umat manusia secara keseluruhan, sejalan dengan prinsip-prinsip
kebenaran, kemanfaatan, dan kesejahteraan. Dengan cara ini, umat Islam dapat menjalani
kehidupan dengan bijaksana, sesuai dengan petunjuk Allah, dan menggunakan akal sehat
sebagai landasan untuk mengambil keputusan yang terbaik.

‫َد ْعٰو ىُهْم ِفْيَها ُسْبٰح َنَك الّٰل ُهَّم َو َتِح َّيُتُهْم ِفْيَها َس ٰل ٌۚم َو ٰا ِخ ُر َد ْعٰو ىُهْم َاِن اْلَحْم ُد ِهّٰلِل َر ِّب اْلٰع َلِم ْيَن‬

“Doa mereka di dalamnya adalah “Subhānakallāhumma” (‘Mahasuci Engkau, ya


Tuhan kami’) penghormatan mereka di dalamnya adalah (ucapan) salam, dan doa penutup
mereka adalah “Alḥamdu lillāhi rabbil ‘ālamīn” (‘segala puji bagi Allah, Tuhan semesta
alam’).” (Q.S. Yunus 10: 10).

Dalam konteks perkembangan teknologi, ayat ini mengajarkan bahwa setiap tindakan,
termasuk pemanfaatan teknologi, seharusnya diiringi dengan rasa ketaqwaan kepada Allah.
Penggunaan teknologi harus diawali dengan doa "Subhānakallāhumma" (‘Mahasuci Engkau,
ya Tuhan kami’) sebagai bentuk pengakuan akan kebesaran Allah dalam segala hal, termasuk
dalam dunia teknologi. Penghormatan yang ditanamkan dalam doa salam mengajarkan bahwa
penggunaan teknologi juga harus didasari oleh nilai-nilai moral dan etika. Doa penutup
"Alḥamdu lillāhi rabbil ‘ālamīn” (‘segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam’) menekankan
pentingnya bersyukur atas kemajuan teknologi dan mengakui bahwa segala keberhasilan
berasal dari Allah. Dengan demikian, Islam merangkai penggunaan teknologi dengan
ketaqwaan, penghormatan, dan rasa syukur kepada Allah, memandangnya sebagai sarana
yang harus dijalankan dengan tanggung jawab moral dan spiritual.

‫َو اْبَتِغ ِفْيَم ٓا ٰا ٰت ىَك ُهّٰللا الَّد اَر اٰاْل ِخَر َة َو اَل َتْنَس َنِص ْيَبَك ِم َن الُّد ْنَيا َو َاْح ِس ْن َك َم ٓا َاْح َس َن ُهّٰللا ِاَلْيَك َو اَل َتْبِغ اْلَفَس اَد ِفى اَاْلْر ِضۗ ِاَّن َهّٰللا اَل‬
‫ُيِح ُّب اْلُم ْفِسِد ْيَن‬

“Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri
akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash 28: 77)

Ayat ini mengajarkan untuk mencari keberkahan dan pahala di akhirat, namun tidak
melupakan tanggung jawab dan peran di dunia. Dalam konteks perkembangan teknologi,
umat Muslim dihimbau untuk memanfaatkan anugerah Allah berupa ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk kebaikan umat manusia. Dengan berbuat baik dan menggunakan teknologi
secara produktif, umat Muslim dapat menciptakan dampak positif di masyarakat. Namun,
perlu diingat bahwa penggunaan teknologi harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab
dan tidak menyebabkan kerusakan di bumi. Pesan ini sejalan dengan prinsip-prinsip Islam
yang menekankan pentingnya etika, keadilan, dan keseimbangan dalam setiap aspek
kehidupan, termasuk dalam pemanfaatan teknologi.
‫َو َم ٓا َاْر َس ْلَنا ِم ْن َقْبِلَك ِااَّل ِر َج ااًل ُّنْو ِح ْٓي ِاَلْيِه ْم َفْس َٔـُلْٓو ا َاْهَل الِّذْك ِر ِاْن ُكْنُتْم اَل َتْع َلُم ْو َۙن‬

“Kami tidak mengutus sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan laki-laki yang
Kami beri wahyu kepadanya. Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. An-Nahl 16: 43)

Dalam konteks perkembangan teknologi, ayat ini dapat diartikan sebagai dorongan
untuk umat Islam untuk memanfaatkan pengetahuan dan konsultasi dengan ahli ilmu jika
mereka tidak mengetahui sesuatu. Islam mendorong umatnya untuk menjadi peneliti dan
ilmuwan yang berkontribusi pada perkembangan IPTEK. Oleh karena itu, perspektif Islam
terhadap teknologi adalah positif selama digunakan sesuai dengan nilai-nilai agama,
mempromosikan kesejahteraan umat, dan meningkatkan pemahaman terhadap ciptaan Allah.

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَذ ا ِقْيَل َلُك ْم َتَفَّسُحْو ا ِفى اْلَم ٰج ِلِس َفاْفَس ُحْو ا َيْفَس ِح ُهّٰللا َلُك ْۚم َو ِاَذ ا ِقْيَل اْنُشُز ْو ا َفاْنُشُز ْو ا َيْر َفِع ُهّٰللا اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا ِم ْنُك ْۙم‬
‫َو اَّلِذ ْيَن ُاْو ُتوا اْلِع ْلَم َد َر ٰج ٍۗت َو ُهّٰللا ِبَم ا َتْع َم ُلْو َن َخ ِبْيٌر‬

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah


kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya
akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mujadilah
58: 11)

Q.S. Al-Mujadilah ayat 11 mengandung petunjuk yang relevan terkait dengan


perkembangan teknologi dalam perspektif Islam. Ayat tersebut mengajarkan kepada umat
Muslim untuk memberikan ruang yang luas dalam majelis-majelis, menunjukkan sikap
terbuka terhadap ide dan inovasi. Islam mendorong umatnya untuk tidak hanya duduk pasif,
tetapi juga bangkit dan berdiri ketika diperlukan. Dalam konteks perkembangan teknologi,
ayat ini dapat diartikan sebagai dorongan untuk aktif terlibat dalam kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pemberian kelapangan di dalam majelis-majelis dapat
menciptakan lingkungan yang mendukung pertukaran ide dan pengetahuan, memungkinkan
umat Islam untuk berperan aktif dalam pengembangan teknologi. Dengan berdiri untuk
mengambil peran dalam perkembangan teknologi, umat Muslim dapat mengharapkan
keberkahan dari Allah, sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut, yang menyebutkan
bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang beriman dan mereka yang diberi ilmu.
Dengan demikian, Islam mengajarkan agar umatnya tidak hanya menjadi pengguna
teknologi, tetapi juga berkontribusi secara aktif dalam menciptakan dan mengembangkan
inovasi yang bermanfaat bagi umat manusia.

‫ًۗة‬
‫َو َم ا َك اَن اْلُم ْؤ ِم ُنْو َن ِلَيْنِفُرْو ا َك ۤا َّف َفَلْو اَل َنَفَر ِم ْن ُك ِّل ِفْر َقٍة ِّم ْنُهْم َطۤا ِٕىَفٌة ِّلَيَتَفَّقُهْو ا ِفى الِّدْيِن َوِلُيْنِذ ُرْو ا َقْو َم ُهْم ِاَذ ا َر َج ُع ْٓو ا ِاَلْيِه ْم َلَع َّلُهْم‬
‫ࣖ َيْح َذ ُرْو َن‬

“Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang).


Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama
Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya?” (Q.S.
At-Taubah 9: 122)

Ayat ini menegaskan bahwa tidak semua orang mukmin seharusnya terlibat langsung
di medan perang. Ayat ini menyoroti kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara tugas-
tugas dunia dan spiritualitas. Dalam konteks perkembangan teknologi, perspektif Islam
menekankan pentingnya pendalaman pengetahuan agama. Sebagaimana terkandung dalam
ayat tersebut, sebagian dari setiap golongan mukmin seharusnya memilih untuk tetap tinggal
bersama Rasulullah untuk memperdalam pengetahuan agama dan kemudian berfungsi
sebagai pemimpin spiritual dan pemberi peringatan kepada masyarakat setelah kembali dari
medan perang. Dengan mengaitkan ayat ini dengan perkembangan teknologi, dapat dilihat
bahwa Islam mendorong umatnya untuk tidak hanya terlibat dalam urusan dunia semata,
tetapi juga mengedepankan pengetahuan agama sebagai landasan untuk memberikan panduan
spiritual dan moral kepada masyarakat. Ini mencerminkan prinsip-prinsip kebijaksanaan
(hikmah) dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam memanfaatkan dan mengarahkan
perkembangan teknologi agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Dalam hadis Rasulullah S.A.W, terdapat dorongan untuk menuntut ilmu yang sejalan
dengan penekanan arti ilmu dalam Al-Quran. Dalam salah satu hadisnya, beliau bersabda,
"Barang siapa menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan
melapangkan jalan baginya menuju surga" (HR at-Tirmizi). Beliau juga menyatakan, "Barang
siapa keluar untuk menuntut ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai ia kembali" (HR at-
Tirmizi).
Dalam bidang pendidikan, contohnya, penggunaan Augmented Reality (AR) dapat
membantu dalam menghafalkan ayat suci Al-Qur'an, sedangkan kehadiran kecerdasan buatan
(AI) dalam model pembelajaran daring juga membantu umat Muslim dalam mentransfer ilmu
dari guru ke murid secara lebih mudah dan efisien. Penggunaan AR dalam pembelajaran Al-
Qur'an, khususnya untuk anak-anak, menjadikan proses tersebut lebih menarik dibandingkan
dengan metode konvensional yang umumnya banyak digunakan oleh guru di Indonesia.
Seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi, media dakwah juga mengalami perkembangan.

Peran Agama dalam Penerapan Perkembangan Teknologi


Islam memberikan petunjuk kepada umat Muslim tentang cara menjalani hubungan
yang benar di dunia ini. Tuhan menyatakan bahwa manusia adalah khalifah (wakil) di bumi.
‫ٰۤل‬
‫َو ِاْذ َقاَل َر ُّبَك ِلْلَم ِٕىَك ِة ِاِّنْي َج اِع ٌل ِفى اَاْلْر ِض َخ ِلْيَفًةۗ َقاُلْٓو ا َاَتْج َع ُل ِفْيَها َم ْن ُّيْفِس ُد ِفْيَها َو َيْس ِفُك الِّد َم ۤا َۚء َو َنْح ُن ُنَس ِّبُح ِبَحْمِد َك َو ُنَقِّدُس‬
‫َلَكۗ َقاَل ِاِّنْٓي َاْعَلُم َم ا اَل َتْع َلُم ْو َن‬

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak


menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang
yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan
menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah 2: 30)

Ayat Al-Baqarah ayat 30 menggambarkan ketika Tuhan menyatakan niat-Nya untuk


menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Dalam konteks pemahaman Islam terhadap
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), ayat ini menyoroti tanggung jawab manusia sebagai
wakil Tuhan di bumi. Islam mengakui pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai
sarana untuk memahami dan memanfaatkan sumber daya alam. Namun, perlu dicatat bahwa
perspektif Islam menekankan bahwa penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah
untuk kesejahteraan umat manusia secara menyeluruh. Dalam kontrast dengan pandangan
sekuler yang mungkin mendasarkan penelitian ilmiah pada kepentingan negara atau kelas
tertentu, Islam menekankan bahwa hasil penelitian ilmiah harus digunakan untuk kepentingan
umat manusia secara keseluruhan, tanpa memandang kelas sosial atau ekonomi (Putri et al.,
2021). Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perspektif Islam seharusnya
bertujuan untuk mengatasi kemiskinan, menyembuhkan penyakit, dan meningkatkan
kesejahteraan seluruh umat manusia.
Artificial Intelligence (AI) dan Sumber Etika Normatif Islam
Muslim menghadapi ketidakpastian etika dengan mendapatkan penilaian moral Islam
(hukm al-sharʿi) dari prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam ilmu usul al-fiqh (prinsip-
prinsip hukum Islam). Sebagai contoh, ketika mengevaluasi tanggapan terhadap bias atau
opasitas dalam algoritma atau memperjuangkan hak privasi dari sudut pandang Islam,
seseorang sebaiknya berkonsultasi dengan Al-Qur'an dan tradisi yang dicatat dari Nabi
sebagai sumber utama panduan moral. Sumber-sumber ini menawarkan prinsip-prinsip
normatif yang luas, yang mungkin mendukung argumen-argumen untuk keadilan,
transparansi, dan privasi sebagai perbuatan yang terpuji secara moral, sementara mengutuk
bias, opasitas, dan pelanggaran privasi. Namun, perlu diakui bahwa sumber-sumber ini
mungkin tidak memberikan panduan rinci untuk tantangan-tantangan modern seperti yang
dihadapi oleh AI.

Usul al-fiqh mengakui bahwa teks-teks bersifat terbatas, sementara masalah-masalah


yang muncul terus berkembang (al-nusūs mutanāhiyya wa al-waqaeiʿ ghaiyru mutanāhiyya).
Muslim sering menghadapkan pertanyaan etika atau dilema kepada seorang mufti. Mufti
mengeluarkan fatwa (pendapat agama) untuk menjawab pertanyaan etika tersebut sesuai
dengan sumber-sumber Islam. Dengan munculnya teknologi AI, mungkin terlihat aplikasi
fatwa dalam berbagai domain AI, seperti menentukan pilihan yang diperlukan secara moral
dalam merancang algoritma kecelakaan kendaraan otonom atau memutuskan apakah harus
menggunakan algoritma pembelajaran mesin yang menunjukkan bias rasial atau gender yang
marginal, tetapi mempromosikan keamanan dan penegakan hukum secara keseluruhan.

Muftis biasanya mencari jawaban dalam sumber-sumber tekstual. Jika diperlukan,


mereka beralih ke sumber-sumber rasional usul al-fiqh (masādir ʿaqliyya), seperti analogi
hukum atau analisis normatif umum, untuk mengidentifikasi kepentingan yang harus mereka
lindungi. Di zaman modern, muftis semakin bergantung pada input rasional untuk mengatasi
pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi. Untuk
menentukan moralitas suatu tindakan, muftis berargumen bahwa sumber-sumber Islam
mendukung pilihan-pilihan yang mempromosikan kepentingan masyarakat dan mencegah
kerusakan, selama tidak melanggar larangan-larangan teks tertentu, seperti larangan terhadap
pembunuhan, perzinahan, atau riba.
Pendekatan Berbasis Aturan terhadap Etika Islam dalam AI
Beberapa berpendapat bahwa mendefinisikan maṣlaḥa hanya sebagai kepentingan
atau kesejahteraan publik dalam yurisprudensi Islam menyederhanakan kompleksitas
teknisnya. Deskripsi yang sempit ini mungkin melewatkan dimensi nilai etika lain yang tidak
sejalan dengan pandangan berbasis utilitas dalam menentukan apa yang baik dan benar.
Sebaliknya, mungkin lebih akurat melihat maṣlaḥa dalam istilah normatif yang lebih luas,
sebagai keadaan yang mencerminkan cita-cita etika dan nilai-nilai yang sejalan dengan
kehendak ilahi.

Meskipun maṣlaḥa memang mencakup elemen kesejahteraan dan utilitas, tidak


seharusnya terbatas pada hal-hal tersebut saja. Ini adalah konsep yang kompleks yang
mencakup berbagai nilai etika intrinsik, seperti keadilan, belas kasihan, dan martabat
manusia. Para ulama seperti Muhammad Saʿīd al-Būti mendukung pandangan yang
berlawanan dengan visi etika utilitaris. Al-Būti (2013) menentang pengurangan penalaran
moral Islam menjadi tujuan utilitarian untuk memaksimalkan kebaikan terbesar bagi
sebanyak mungkin orang. Dia mengkritik upaya reformis untuk memasukkan rasionalitas
dalam menentukan nilai dan membuat pilihan moral, khawatir bahwa peningkatan
rasionalisme dalam evaluasi moral akan mengarah pada posisi normatif "bengong" (hawā)
yang melanggar norma-norma Islam yang mapan. Al-Būti meyakini bahwa konsep kebaikan
tidak bisa hanya didasarkan pada perhitungan rasional kebutuhan manusia, keinginan, rasa
sakit, atau kesenangan. Meskipun dia menerima bahwa Tuhan menginginkan kebaikan umat
manusia, dia menolak untuk menjelaskan keinginan ini dalam istilah utilitarian standar, lebih
menekankan peran wahyu dan isyarat metafisika dalam menentukan kebaikan moral.

Dengan kata lain, yang benar mendahului yang baik, dengan wahyu menentukan hal
yang benar untuk dilakukan, dan apa yang wahyu tentukan sebagai benar intrinsik baik tanpa
memperhatikan persepsi manusia terhadap rasa sakit dan kesenangan. Oleh karena itu,
seorang agen moral mungkin diharuskan untuk menanggung berbagai bentuk rasa sakit,
termasuk kehilangan nyawa, untuk memajukan tujuan agama. Dalam yurisprudensi Islam
klasik, konsep kebaikan (maṣlaḥa) tidak hanya terbatas pada interpretasi utilitarian atau
berbasis kesejahteraan. Menurut tokoh-tokoh seperti al-Juwaynī dan al-Ghazālī, maṣlaḥa
dalam penciptaan norma tidak semata-mata bertujuan untuk memaksimalkan kebaikan yang
sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya. Al-Juwaynī menganggap norma wahyu sebagai
sumber nilai etika dan berpendapat bahwa pengetahuan moral tidak bergantung pada
intuisionisme, yang memungkinkan adanya penalaran di luar kitab suci. Maṣlaḥa
didefinisikan secara eksklusif sebagai apa yang dimaksudkan oleh wahyu (maqsūd al-sharʿ),
sehingga hanya kitab suci yang dapat membimbing kita untuk mengidentifikasi apa yang baik
(ḥasan) dan harus dipromosikan, atau apa yang jahat (qabīh) dan harus dihindari.

Al-Ghazālī memiliki keyakinan yang sama dengan al-Juwaynī tentang pentingnya


sumber tekstual dalam menentukan baik dan buruk. Namun, ia tidak melihat adanya
kontradiksi antara maṣlaḥa dan kebaikan manusia sebagaimana yang dimaksudkan oleh
wahyu. Al-Ghazālī berpendapat bahwa sumber-sumber tekstual mempromosikan nilai-nilai
yang bermanfaat bagi umat manusia, dan diatur oleh prinsip-prinsip desain yang
memungkinkan pelaku moral menghasilkan kebaikan dan menghindari keburukan. Ia
menyarankan agar penalaran manusia tentang kebaikan dan keburukan harus dipandu oleh
pendekatan induktif. dan pembacaan deduktif terhadap sumber-sumber tekstual, karena
kecerdasan manusia tidak dapat membedakan nilai-nilai di luar lingkungan tekstual. Al-
Ghazālī mengidentifikasi lima nilai etika yang harus memandu semua analisis normatif dalam
pandangan dunia Islam, termasuk memajukan agama, kehidupan manusia, martabat,
kecerdasan, dan kekayaan. Kita bisa melihat penolakan Al-Ghazālī terhadap perhitungan
berbasis utilitas dalam posisinya mengenai seseorang. Tujuan tekstual yang dikemukakannya.
Al-Ghazālī menganjurkan untuk menghormati kehidupan individu manusia apapun
konsekuensinya. Ia menghadirkan situasi dilematis di mana keputusan harus dibuat antara
mengorbankan satu nyawa atau melakukan penilaian utilitarian untuk menyelamatkan lebih
banyak nyawa. Al-Ghazālī percaya bahwa hal yang benar untuk dilakukan adalah menahan
diri untuk tidak mengorbankan kehidupan individu sebagai prinsip utama, tanpa terlibat
dalam perhitungan untung dan rugi yang konsekuensialis. Beliau memberi contoh serupa
dengan masalah troli, dengan alasan bahwa tidak diperbolehkan mengorbankan satu orang
untuk menyelamatkan orang lain karena setiap nyawa adalah suci dan tidak dapat
dikorbankan untuk kebaikan yang lebih besar.

Berkaca pada sudut pandang di atas, ada suatu arah dalam fikih Islam yang menyoroti
hal tersebut. pentingnya nilai-nilai etika dan kewajiban di luar kerangka welfaris atau
utilitarian konvensional. Dalam etika AI, perspektif ini mendukung model yang berpusat pada
tugas, menekankan komitmen teguh terhadap prinsip-prinsip seperti keadilan, privasi,
transparansi, dan akuntabilitas. Dengan menghargai prinsip-prinsip etika ini, hal ini memandu
perancang dan pengguna AI untuk memprioritaskan perlindungan hak-hak individu dan nilai-
nilai intrinsik dibandingkan perhitungan berdasarkan kesejahteraan atau utilitas. Perspektif ini
menggarisbawahi pentingnya menjunjung tinggi tanggung jawab moral dan menghormati
martabat manusia, meskipun hal tersebut tidak selalu memaksimalkan kesejahteraan kolektif.

Perlunya Pedoman & Etika Islam Pada Perkembangan Teknologi AI


Dalam waktu dekat, AI akan memainkan peran yang lebih penting dalam kehidupan
sipil, dan dunia akan menyaksikan pesatnya pertumbuhan robotika (Bouazzaoui, Castelle,
Witherow, 2016). Kajian oleh Kim, Kleiman-Weiner, Abeliuk, Awad, Dsouza, Tenenbaum,
dan Rahwan (2018) juga menunjukkan bahwa proyeksi pengembangan penelitian teknologi
otonom tidak terbatas. Berbagai negara di seluruh dunia telah memulai upaya untuk
menggunakan sistem AI di berbagai bidang. Akibat munculnya berbagai isu dan
permasalahan, beberapa pedoman telah dikeluarkan untuk mengatur penelitian dan
pengembangan AI.

Sebelumnya, laporan "100 Year Study on Artificial Intelligence" dari Stanford


University diterbitkan pada tahun 2016 dan merekomendasikan bahwa etika, privasi, dan
keamanan harus ditangani dengan baik untuk memastikan bahwa manfaat teknologi AI dapat
disebarluaskan seiring dengan mulai terlibatnya AI dalam kehidupan manusia dalam berbagai
dimensi (Stone et al., 2016). Aturan yang diberikan juga menjadi pedoman bagi pengembang
AI untuk menghormati hak asasi manusia, kesejahteraan, dan hukum.

Pemerintah Inggris telah mengenalkan aturan dan kontrol terkait kecerdasan buatan
(AI) (House of Lords, 2018). Terdapat lima prinsip inti yang telah dijabarkan, yaitu:

(1) pengembangan AI harus bertujuan untuk kebaikan bersama dan kemaslahatan umat
manusia
(2) AI harus beroperasi dalam batas-batas kecerdasan dan keadilan
(3) penggunaan AI tidak boleh merugikan hak privasi atau data individu, keluarga, atau
komunitas
(4) setiap individu berhak mendapatkan pendidikan dan pengembangan melalui AI
(5) penggunaan AI sebagai robot pembunuh yang memiliki otonomi untuk menyakiti,
menghancurkan, atau menipu manusia harus ditentang.

Di Eropa, kelompok ahli AI sedang meminta masukan terkait panduan etika untuk
kecerdasan buatan yang dapat dipercaya, dan mereka telah menyusun draf pertama pedoman
etika penelitian AI (Komisi Eropa, 2018). Dalam dokumen tersebut, 52 pakar dari berbagai
latar belakang menjelaskan bagaimana pengembang dan pengguna harus memastikan bahwa
AI menghormati hak-hak dasar, peraturan, dan prinsip inti yang relevan, serta bagaimana
teknologi dapat dibuat konsisten dan dapat diandalkan.

Di Amerika Serikat, CARR Center for Human Rights, sebuah pusat penelitian di
Kennedy School of Government di Universitas Harvard, terlibat aktif dalam merancang
kebijakan untuk melindungi hak asasi manusia dan keamanan (Risse, 2019). Dokumen
tersebut berusaha menjelaskan bagaimana melindungi kehidupan manusia tanpa membatasi
kemajuan penelitian di bidang kecerdasan buatan (AI). Selain itu, inovasi dalam penelitian
juga harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan mempertimbangkan berbagai
permasalahan etika yang mungkin timbul dari penggunaan teknologi tersebut. Mereka juga
memperkirakan bahwa AI kemungkinan akan berbagi kehidupan dengan manusia melalui
berbagai bentuk teknologi yang tidak terduga. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa masa
depan umat manusia akan dipertaruhkan, dan kemunculan AI dapat menjadi ancaman jika
tidak diawasi dengan baik.

Beberapa negara di Asia telah merespons perkembangan teknologi kecerdasan buatan


(AI) dengan membentuk komite ahli ad hoc yang dimulai dengan menyusun rancangan
dokumen kebijakan. Jobin, Ienca, dan Vayena (2019) melaporkan bahwa Singapura telah
mengembangkan Dewan Penasihat Penggunaan AI dan Data yang Etis, sementara Korea
Selatan menyusun Rencana Induk Jangka Menengah hingga Panjang dalam Persiapan
Komunitas Informasi Cerdas. Di Jepang, tiga panduan etika telah dirumuskan dan disiapkan,
yaitu AI and Human Community Report, Draft R&D Guidelines for International Discussion,
dan Sony Group AI Ethical Guidelines. Inisiatif ini mencerminkan kebutuhan mendesak
untuk melibatkan dan melindungi hak asasi manusia.

Hingga saat ini, belum ada panduan khusus terkait penelitian teknologi AI yang
dikeluarkan oleh negara-negara Muslim. Meskipun demikian, teknologi AI mulai menarik
perhatian dan keterlibatan dari negara-negara Arab, seperti penggunaan robot patroli di
bidang keamanan di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) (Al Shouk, 2018), dan pengakuan robot
Sophia sebagai warga negara pertama di Arab Saudi (Pizzetti, 2019). Namun, perlu dicatat
bahwa kedua robot tersebut bukanlah produk dalam negeri dan diproduksi di luar negeri.

Malaysia juga telah aktif dalam penelitian AI, misalnya dalam penggunaan AI untuk
mendeteksi dan memprediksi indeks kualitas air (Hameed, Sharqi & Yaseen). Penelitian lain
mencakup prediksi laju radiasi energi matahari (Khatib, Mohamed, Sopian & Mahmoud,
2012) serta pemanfaatan jaringan saraf (ANN) dan hutan acak (RF) untuk perkiraan arus
fotovoltaik jangka pendek (PV) (Othman, Fazi, Harun, Musirin & Sulaiman, 2019).
Meskipun demikian, penelitian ini masih terbatas pada wilayah tertentu dan belum
sepenuhnya terlibat dalam ekosistem kehidupan masyarakat, terutama di negara berkembang
yang telah mengadopsi teknologi seperti penggunaan drone secara komersial atau mobil
tanpa pengemudi di jalan raya.

Islam tidak pernah menghalangi kemajuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Sebaliknya, ini dianggap sebagai kewajiban kolektif (fardhu kifayah) karena
dapat meningkatkan kualitas hidup manusia ke arah yang lebih baik. Meskipun demikian,
panduan dan etika penelitian dalam teknologi kecerdasan buatan (AI) yang berakar pada
ajaran agama sangat penting untuk membimbing dan menjaga komunitas Islam.

Tidak dapat disangkal bahwa tujuan penelitian AI adalah untuk membantu manusia
mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Ini sejalan dengan tujuan ajaran Islam yang
mencakup lima prinsip asas dalam maqasid syariah, yang bertujuan untuk melindungi hak-
hak manusia, termasuk penjagaan agama (hifz al-adin), penjagaan nyawa (hifz al-nafs),
penjagaan akal (hifz al-‘aql), penjagaan keturunan (hifz al-nasl), dan penjagaan harta (hifz al-
mal). Pendekatan yang terpadu ini dapat membantu dalam mengatasi berbagai isu
kontemporer yang timbul akibat penggunaan teknologi AI, seperti isu etika penelitian, hak,
tanggung jawab, privasi, ketidaksetaraan, keselamatan, dan kepercayaan.

KESIMPULAN
Pandangan Islam terhadap perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI)
mencerminkan sikap yang seimbang antara penerimaan dan kewaspadaan. Secara umum,
Islam mendorong umatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi guna
meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Konsep-konsep seperti ijtihad (ijtihad) atau
upaya pemikiran, memberikan legitimasi bagi umat Muslim untuk mengadopsi teknologi
canggih seperti AI selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan etika Islam.
Namun demikian, pandangan Islam juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan
antara kemajuan teknologi dan nilai-nilai keagamaan. Islam menegaskan perlunya
menghindari penggunaan teknologi yang dapat merugikan atau merugikan manusia, serta
memastikan bahwa kebijakan dan etika pengembangan AI senantiasa diarahkan untuk
kebaikan bersama dan keadilan. Dengan demikian, Islam memandang perkembangan
teknologi AI sebagai suatu potensi positif asalkan dielola dengan bijaksana dan sesuai dengan
nilai-nilai moral Islam.

REFERENSI
Amrizal, Victor & Aini, Qurrotul. 2013. Artificial Intellegence. Jakarta Barat: Halaman
Moeka Publishing.

Bouazzaouri, S., Witherow, M.A., & Castelle, K.M. (2016). Ethics and robotics. In:
Proceedings of the International Annual Conference of the AmericanSociety for
Engineering Management. American Society for Engineering Management (ASEM).

Bradshaw, S., & Howard, P. N. (2018). Challenging Truth and Trust: A Global Inventory of
Organized Social Media Manipulation. The Computational Propaganda Project.
http://comprop.oii.ox.ac.uk/wpcontent/uploads/sites/93/2018/07/ct2018.pdf

Byler, Darren. (2019). China’s Hi-Tech War on Its Muslim Minority, The Guardian, 11 April
2019, https://www.theguardian.com/

Brierley, C., Sawalha, M., Islam, T., Dickins, J., & Atwell, E. (2018). Automatic Extraction of
Quranic Lexis Representing Two Different Notions of Linguistic Salience: Keyness
and Prosodic Prominence. Journal of Semitic Studies, 63(2), 407-456.

Budianto , M. R. R. ., Kurnia, S. F., & Galih , T. R. S. W. (2021). Perspektif Islam Terhadap


Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Islamika : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 21(01), 55–
61. https://doi.org/10.32939/islamika.v21i01.776

Elmahjub, E. (2023). Artificial Intelligence (AI) in Islamic Ethics: Towards Pluralist Ethical
Benchmarking for AI. Philosophy & Technology, 36(4), 73.

Fukuyama, M. 2018. Society 5.0: Aiming for a new human-centered society. Japan
Spotlight, 27, 47-50.

Ghernaout, D. (2017). Environmental principles in the Holy Koran and the Sayings of the
Prophet Muhammad. American Journal of Environmental Protection, 6(3), 75-79.
Ghernaout, D. (2018). Disinfection and DBPs removal in drinking water treatment: A
perspective for a green technology. International Journal of Advances in Applied
Sciences, 5, 108-117.

Hidayat, I., Askar, A., & Zaitun, Z. (2022). Teknologi Menurut Pandangan Islam. Prosiding
Kajian Islam dan Integrasi Ilmu di Era Society (KIIIES) 5.0, 1(1), 456-460.

Hom, J., Anong, B., Rii, K. B., Choi, L. K., & Zelina, K. (2020). The Octave Allegro Method
in Risk Management Assessment of Educational Institutions. Aptisi Transactions on
Technopreneurship (ATT), 2(2), 167-179.

Nawi, A., Yaakob, M. F. M., Hussin, Z., Muhaiyuddin, N. D. M., Samuri, M. A. A., &
Tamuri, A. H. (2021). Keperluan Garis Panduan dan Etika Islam Dalam Penyelidikan
Kecerdasan Buatan. Journal of Fatwa Management and Research (JFatwa).
https://doi.org/10.33102/jfatwa.vol26no2.414

Putri, R., Ramadhan, A., & Afif, M. (2021). Perspektif Islam Terhadap Integrasi
Perkembangan Ilmu Teknologi. ADI Bisnis Digital Interdisiplin Jurnal, 2(1 Juni), 48–
54. https://doi.org/10.34306/abdi.v2i1.447

Rahardja, U., Hariguna, T., & Aini, Q. (2019). Understanding the Impact of Determinants in
Game Learning Acceptance: An Empirical Study. International Journal of Education
and Practice, 7(3), 136-145.

Russell, S. J., Norvig, P., (2016). Artificial Intelligence: A Modern Approach. Malaysia:
Pearson Education Limited.

Grush, L. (2015) “Google engineer apologizes after Photos app tags two black people as
gorillas,” The Verge, July 1, 2015.
https://www.theverge.com/2015/7/1/8880363/googleapologizes-photosapp-tags-two-
black-people-gorillas

Gurkaynak, G., Yilmaz, I., & Haksever, G. (2016). Stifling artificial intelligence: Human
perils. Computer Law & Security Review, 32(5), 749–758.
doi:10.1016/j.clsr.2016.05.003

Mackie, T. (2018). Proving liability for highly and fully automated vehicle accidents in
Australia. Computer Law & Security Review. doi:10.1016/j.clsr.2018.09.002
Mehta, D., Siddiqui, M. F. H., & Javaid, A. Y. (2019). Recognition of Emotion Intensities
Using Machine Learning Algorithms: A Comparative Study. Sensors, 19(8), 1897.
https://doi.org/10.3390/s19081897

Mozur, Paul. (2019). One Month, 500,000 Face Scans: How China Is Using A.I. to Profile a
Minority. The New York Times.
https://www.nytimes.com/2019/04/14/technology/china-surveillanceartificial-
intelligence-racial-profiling.html

Posetti, J. & Matthews, A. (2018). A short guide to the history of ’fake news’ and
disinformation. International Center for Journalists.

Silva, Selena & Kenney, Martin. (2018) Algorithms, platforms, and ethnic bias: An
integrative essay. Phylon (1960-), 55(1 & 2):9–37, 2018.
https://kenney.faculty.ucdavis.edu/wpcontent/uploads/sites/332/2018/09/ Silva-
Kenney-AlgorithmsPlatforms-and-Bias-9-8-18.pdf

Anda mungkin juga menyukai