PENDAHULUAN
Dalam kehidupan manusia, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki
dampak yang sangat signifikan. Berbagai inovasi teknologi, seperti jam, telepon genggam,
televisi, kendaraan, dan lainnya, telah mempermudah berbagai aspek kegiatan manusia. Di
Indonesia, perkembangan teknologi semakin pesat, terutama seiring dengan kemajuan dalam
revolusi industri 4.0 dan revolusi sosial 5.0. Kedua revolusi ini telah membantu
meningkatkan berbagai aspek kehidupan manusia dalam era modern. Perkembangan
teknologi di Indonesia tidak hanya terbatas pada aspek industri, melainkan juga mencakup
semua lapisan masyarakat. Tujuan dari Revolusi Sosial 5.0 adalah menciptakan masyarakat
yang berfokus pada kepentingan manusia. Fukuyama (2018) mengatakan bahwa hubungan
antara pengembangan teknologi dan evolusi masyarakat dapat dicapai, sehingga masyarakat
dapat menikmati kehidupan yang berkualitas tinggi. Tujuan revolusi ini adalah menciptakan
lingkungan di mana kehidupan sosial aktif dan nyaman dapat terwujud.
Amrizal dan Aini (2013) mengakui bahwa penggunaan komputer dapat signifikan
dalam mempercepat dan meningkatkan efisiensi pencarian serta perolehan informasi. Pada
awalnya, fungsi utama komputer adalah untuk mengolah dan menampilkan hasil dari
pengumpulan data. Namun, dengan kemajuan teknologi saat ini, peran komputer telah
berkembang, memungkinkannya untuk mengolah data dengan lebih akurat dan cepat.
Dalam konteks Islam, terdapat lima pandangan penting terkait arah perkembangan
teknologi. Pertama, pandangan yang melihat kesamaan antara teknologi dan agama, di mana
pertanyaan ilmiah diajukan tanpa jawaban konkret (Hom et al., 2020). Kedua, pandangan
yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan ilmiah dengan memahami perspektif Islam
(Brierly et al., 2018). Ketiga, pandangan yang menganggap teknologi dan agama sebagai dua
bidang dengan pusat perhatian penting termasuk penggabungan ilmu agama yang
berhubungan dengan Tuhan dan ilmu sains yang mempelajari alam menuntut integrasi
dengan teknologi (Ghernaout, 2018). Keempat, pandangan yang memberikan keyakinan
bahwa agama dan teknologi saling terkait dalam dunia, memberikan gambaran yang jelas
mengenai konsistensi yang terjadi (Ghernaout, 2017). Kelima, pandangan yang menganggap
ilmu teknologi dan agama sebagai dua aspek yang berbeda (Rahardja et al., 2019).
Dalam dunia ilmu teknologi, para ilmuwan kini dihadapkan pada kebutuhan esensial
untuk mengakui keberadaan sang Pencipta. Oleh karena itu, pengetahuan perlu disebarkan
dengan semangat tauhid. Semangat ini memimpin menuju pengakuan Tuhan Yang Maha Esa
sebagai tanda mutlak sebagai pencipta dan penguasa umat manusia. Umat manusia begitu
luas, dan pikiran manusia belum terbentuk pada tema atau gaya tertentu.
Kecerdasan Buatan (AI), atau singkatannya, adalah sistem yang dimasukkan ke dalam
mesin seperti komputer atau robot untuk dapat bertindak mirip dengan sifat asli manusia,
seperti emosi, kemampuan berpikir, daya ingat, dan sebagainya. Menurut Shabbir dan Anwar
(2015), tujuan pengembangan sistem AI adalah untuk melatih mesin agar dapat memahami
tingkah laku manusia dan memberikan respon atau reaksi seperti manusia. Russell dan
Norvig (2016) mendefinisikan AI sebagai program yang memungkinkan mesin berfungsi
seperti manusia, termasuk dalam hal pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan
pemberian ramalan. Perkembangan AI telah menjadi pusat perhatian dunia modern saat ini.
Dalam perspektif Islam, penerapan dan pengembangan AI memunculkan berbagai pertanyaan
etis dan filosofis yang mendalam. Islam sebagai agama yang mencakup panduan hidup dalam
segala aspek, juga menuntut untuk memahami dan merangkum kemajuan teknologi ini dalam
konteks nilai-nilai dan norma-norma Islam.
Artikel ilmiah ini bertujuan untuk menjelajahi peran serta dampak penggunaan
kecerdasan buatan dalam perspektif Islam. Dalam hal ini, akan dianalisis secara kritis
bagaimana konsep-konsep Islam, seperti etika, keadilan, dan hak asasi manusia, dapat
berbaur dan memberikan panduan dalam perkembangan dan penerapan teknologi AI. Melalui
pemahaman ini, diharapkan dapat dihasilkan suatu pandangan yang seimbang dan harmonis
antara kemajuan teknologi AI dengan prinsip-prinsip moral dan spiritual Islam.
PEMBAHASAN
Islam memberikan perhatian penuh kepada umatnya agar terus menggali potensi alam
dan lingkungan, menjadikannya sentrum peradaban yang gemilang. Dalam konteks ini, tidak
ada pertentangan antara sains dan Islam; keduanya berjalan seimbang dan selaras untuk
menciptakan khazanah keilmuan dan peradaban manusia yang lebih baik. Pandangan Islam
terhadap sains dan teknologi menekankan bahwa Islam tidak pernah mengekang umatnya
untuk berkembang dan menjadi modern. Sebaliknya, Islam mendukung umatnya untuk
melakukan penelitian dan bereksperimen dalam berbagai bidang, termasuk sains dan
teknologi. Bagi Islam, sains dan teknologi merupakan ayat-ayat Allah yang perlu digali dan
ditemukan keberadaannya di alam semesta. Ayat-ayat Allah yang tersebar di seluruh alam ini
dianggap sebagai anugerah bagi manusia sebagai khalifatullah di bumi, untuk diolah dan
dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Dengan Sosial 5.0, Kecerdasan Buatan akan berkolaborasi dengan segala aspek
kehidupan, membantu menyelesaikan permasalahan dalam bidang sains, teknologi, dan sosial
humaniora. Hal ini akan memudahkan peneliti menjawab berbagai permasalahan dengan
cepat.
َو ُهّٰللا َاْخ َر َج ُك ْم ِّم ْۢن ُبُطْو ِن ُاَّم ٰه ِتُك ْم اَل َتْع َلُم ْو َن َش ْئًـۙا َّوَجَعَل َلُك ُم الَّسْمَع َو اَاْلْبَص اَر َو اَاْلْفِٕـَدَةۙ َلَع َّلُك ْم َتْشُك ُرْو َن
“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar
kamu bersyukur.” (Q.S. An-Nahl 16: 78)
Hubungan antara manusia dan teknologi dapat dijumpai dalam setiap aktivitas yang
kita lakukan. Manusia tidak akan pernah lepas dari teknologi, sehingga teknologi saat ini
menjadi bagian dari kebutuhan pokok yang harus dirasakan dan dinikmati manfaatnya, selain
kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, dan papan (Hidayat et al., 2022).
Namun, perlu diakui bahwa teknologi informasi dan komunikasi juga memiliki
dampak negatif yang cukup mengganggu kehidupan sehari-hari. Banyak dampak negatif
tersebut disebabkan oleh penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi, serta
kurangnya pemahaman masyarakat akan etika dan cara yang baik dalam menggunakan
teknologi informasi dan komunikasi.
Beberapa dampak negatif teknologi informasi terhadap masyarakat Islam antara lain:
Dengan demikian, perlu adanya upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan
etika penggunaan teknologi informasi dan komunikasi agar dampak negatif dapat
diminimalkan.
Salah satu aspek penting dari pengembangan kompetensi SDM adalah meningkatkan
soft skill, serta menangani masalah yang masih belum dapat dipecahkan oleh AI selama
berabad-abad. Kecerdasan Buatan dapat diaplikasikan pada robot, yang nantinya akan
membantu manusia dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini, penerapan tersebut sudah dapat
dirasakan dalam dunia manufaktur industri, di mana beberapa sektor telah mengalami
otomasi menggunakan robot.
Dari tahun 2017 hingga 2021, negara-negara di wilayah Timur Tengah dan Afrika
Utara (MENA) menerbitkan banyak dokumen yang menguraikan strategi untuk
memanfaatkan AI dalam pertumbuhan ekonomi, keamanan, pendidikan, kesehatan, dan
transportasi, antara lain. Dokumen-dokumen ini secara konsisten menunjukkan prioritas
kebijakan yang berfokus pada pengembangan infrastruktur teknis untuk AI. Namun,
komitmen strategi tersebut untuk menggabungkan komponen etika dan normatif bervariasi.
Misalnya, dokumen strategi AI UEA (2017) dan Arab Saudi (2020) berjanji untuk melakukan
reformasi kebijakan dan legislasi untuk menyambut teknologi AI tanpa menyebutkan norma
dan nilai lokal sebagai tolak ukur untuk menentukan konten etika dan normatif dari strategi
AI tersebut.
Sebaliknya, dokumen strategi AI Qatar (2019) dan Mesir (2021) memberikan lebih
banyak perhatian pada memastikan keselarasan kebijakan teknis AI dengan gagasan
kesejahteraan dan etika lokal. Menariknya, strategi AI Qatar menekankan pentingnya visi
lokal terhadap etika AI, menyatakan bahwa "kerangka [AI] yang akan dikembangkan harus
konsisten dengan norma sosial, budaya, dan agama Qatar". Namun, perlu dicatat bahwa
dokumen-dokumen ini bersifat aspirasional dan tidak mengandung standar etika yang
memadai untuk integrasi dan implementasi teknologi AI. Ada kecenderungan awal untuk
mengulang prinsip normatif yang ditemukan dalam strategi AI Barat, seperti keadilan,
akuntabilitas, dan transparansi. Penulis Strategi AI Nasional Qatar juga merekomendasikan
menggunakan Peraturan Perlindungan Data Umum Uni Eropa (GDPR) sebagai template
untuk memperkenalkan pedoman lokal bagi aplikasi AI.
Selain itu, sistem AI hanya mengandalkan algoritme untuk berfungsi sebagai daftar
perintah dan pintasan yang memberi petunjuk kepada komputer tentang tindakan yang harus
dilakukan. Namun, menurut Silva dan Kenney (2018), hasil dari algoritma tersebut
kemungkinan besar akan menghasilkan output yang tidak adil atau bias. Ilmuwan data juga
membenarkan bahwa program komputer, jaringan, algoritme pembelajaran mesin, dan
kecerdasan buatan bekerja karena mereka mempelajari cara bertindak dari data yang
diberikan. Namun, hal tersebut belum sempurna dan seringkali gagal berfungsi dengan baik.
Contohnya, kecelakaan fatal yang melibatkan firmware Tesla sebagian disebabkan oleh
algoritma yang tidak dapat membedakan antara sisi traktor putih dan langit cerah di
belakangnya (Mackie, 2018). Hal yang serupa terjadi pada algoritma yang digunakan dalam
Flickr Apps dan Google Photos Apps yang memberikan label palsu pada foto dengan unsur
rasial (Grush, 2015; Hern, 2015). Algoritma-algoritma ini juga memiliki kecenderungan
menghasilkan bias gender dalam alat terjemahan otomatis, seperti yang dieksploitasi dalam
fenomena bias gender (Prates, Avelar & Domba, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa
algoritma-algoritma ini masih mengalami konflik dalam pengambilan keputusan dan menjadi
sumber kekhawatiran, terutama jika terkait dengan masalah hukum dan aturan.
َو َع َّلْم ٰن ُه َص ْنَع َة َلُبْو ٍس َّلُك ْم ِلُتْح ِص َنُك ْم ِّم ْۢن َبْأِس ُك ْۚم َفَهْل َاْنُتْم ٰش ِكُرْو َن
“Kami mengajarkan pula kepada Daud cara membuat baju besi untukmu guna
melindungimu dari serangan musuhmu (dalam peperangan). Maka, apakah kamu bersyukur
(kepada Allah)?” (Q.S. Al-Anbiya’ 21:80)
Ayat ini merujuk pada kebijaksanaan dan kemampuan Nabi Daud (David) yang
diberikan oleh Allah, termasuk pengetahuan tentang pengolahan besi sebagai pakaian
pelindung saat berperang. Hikmah yang dapat diambil dari ayat tersebut adalah kemampuan
untuk melihat evolusi dalam pembuatan baju besi khusus yang digunakan oleh prajurit dalam
pertempuran, sebagai bentuk perkembangan teknologi.
Dalam ayat tersebut, Allah SWT memberikan petunjuk kepada Nabi Daud mengenai
perlunya pakaian pelindung saat berperang. Al-Qur'an juga mengajarkan bahwa fenomena
alam adalah tanda-tanda Tuhan pada surat Al-Imran ayat 190:
ِاَّن ِفْي َخ ْلِق الَّسٰم ٰو ِت َو اَاْلْر ِض َو اْخ ِتاَل ِف اَّلْيِل َو الَّنَهاِر ٰاَل ٰي ٍت ُاِّلوِلى اَاْلْلَباِۙب
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal." (Q.S. Al-Imran 3:190).
Ayat ini menjelaskan seberapa besar Allah menunjukkan kekayaannya melalui ciptaan
alam semesta dan bagaimana hamba-hamba-Nya sangat bergantung pada-Nya. Hanya Allah
yang mampu menciptakan dan mengatur segala hal di alam semesta ini. Namun, pemahaman
ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang memiliki akal yang sempurna dan logika yang
sehat, yang disebut sebagai ulul albab.
Dalam konteks perkembangan teknologi, ayat ini dapat diartikan sebagai peringatan
untuk tidak secara buta mengikuti atau menerima teknologi tanpa pemahaman yang memadai.
Umat Muslim diminta untuk menggunakan akal pikiran, penglihatan, dan pendengaran
mereka secara bijaksana dalam menghadapi kemajuan teknologi. Dengan kata lain, Islam
mendorong umatnya untuk memiliki sikap kritis terhadap perkembangan teknologi,
memahami implikasi etika dan moralnya, serta memastikan bahwa penggunaan teknologi
tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam.
ٰۤل ٰۤل
اَّلِذ ْيَن َيْسَتِم ُعْو َن اْلَقْو َل َفَيَّتِبُعْو َن َاْح َس َنٗه ۗ ُاو ِٕىَك اَّلِذ ْيَن َهٰد ىُهُم ُهّٰللا َو ُاو ِٕىَك ُهْم ُاوُلوا اَاْلْلَباِب
“(Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka
itulah ululalbab (orang-orang yang mempunyai akal sehat).” (QS. Az-Zumar 39: 18).
َد ْعٰو ىُهْم ِفْيَها ُسْبٰح َنَك الّٰل ُهَّم َو َتِح َّيُتُهْم ِفْيَها َس ٰل ٌۚم َو ٰا ِخ ُر َد ْعٰو ىُهْم َاِن اْلَحْم ُد ِهّٰلِل َر ِّب اْلٰع َلِم ْيَن
Dalam konteks perkembangan teknologi, ayat ini mengajarkan bahwa setiap tindakan,
termasuk pemanfaatan teknologi, seharusnya diiringi dengan rasa ketaqwaan kepada Allah.
Penggunaan teknologi harus diawali dengan doa "Subhānakallāhumma" (‘Mahasuci Engkau,
ya Tuhan kami’) sebagai bentuk pengakuan akan kebesaran Allah dalam segala hal, termasuk
dalam dunia teknologi. Penghormatan yang ditanamkan dalam doa salam mengajarkan bahwa
penggunaan teknologi juga harus didasari oleh nilai-nilai moral dan etika. Doa penutup
"Alḥamdu lillāhi rabbil ‘ālamīn” (‘segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam’) menekankan
pentingnya bersyukur atas kemajuan teknologi dan mengakui bahwa segala keberhasilan
berasal dari Allah. Dengan demikian, Islam merangkai penggunaan teknologi dengan
ketaqwaan, penghormatan, dan rasa syukur kepada Allah, memandangnya sebagai sarana
yang harus dijalankan dengan tanggung jawab moral dan spiritual.
َو اْبَتِغ ِفْيَم ٓا ٰا ٰت ىَك ُهّٰللا الَّد اَر اٰاْل ِخَر َة َو اَل َتْنَس َنِص ْيَبَك ِم َن الُّد ْنَيا َو َاْح ِس ْن َك َم ٓا َاْح َس َن ُهّٰللا ِاَلْيَك َو اَل َتْبِغ اْلَفَس اَد ِفى اَاْلْر ِضۗ ِاَّن َهّٰللا اَل
ُيِح ُّب اْلُم ْفِسِد ْيَن
“Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri
akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash 28: 77)
Ayat ini mengajarkan untuk mencari keberkahan dan pahala di akhirat, namun tidak
melupakan tanggung jawab dan peran di dunia. Dalam konteks perkembangan teknologi,
umat Muslim dihimbau untuk memanfaatkan anugerah Allah berupa ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk kebaikan umat manusia. Dengan berbuat baik dan menggunakan teknologi
secara produktif, umat Muslim dapat menciptakan dampak positif di masyarakat. Namun,
perlu diingat bahwa penggunaan teknologi harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab
dan tidak menyebabkan kerusakan di bumi. Pesan ini sejalan dengan prinsip-prinsip Islam
yang menekankan pentingnya etika, keadilan, dan keseimbangan dalam setiap aspek
kehidupan, termasuk dalam pemanfaatan teknologi.
َو َم ٓا َاْر َس ْلَنا ِم ْن َقْبِلَك ِااَّل ِر َج ااًل ُّنْو ِح ْٓي ِاَلْيِه ْم َفْس َٔـُلْٓو ا َاْهَل الِّذْك ِر ِاْن ُكْنُتْم اَل َتْع َلُم ْو َۙن
“Kami tidak mengutus sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan laki-laki yang
Kami beri wahyu kepadanya. Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. An-Nahl 16: 43)
Dalam konteks perkembangan teknologi, ayat ini dapat diartikan sebagai dorongan
untuk umat Islam untuk memanfaatkan pengetahuan dan konsultasi dengan ahli ilmu jika
mereka tidak mengetahui sesuatu. Islam mendorong umatnya untuk menjadi peneliti dan
ilmuwan yang berkontribusi pada perkembangan IPTEK. Oleh karena itu, perspektif Islam
terhadap teknologi adalah positif selama digunakan sesuai dengan nilai-nilai agama,
mempromosikan kesejahteraan umat, dan meningkatkan pemahaman terhadap ciptaan Allah.
ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَذ ا ِقْيَل َلُك ْم َتَفَّسُحْو ا ِفى اْلَم ٰج ِلِس َفاْفَس ُحْو ا َيْفَس ِح ُهّٰللا َلُك ْۚم َو ِاَذ ا ِقْيَل اْنُشُز ْو ا َفاْنُشُز ْو ا َيْر َفِع ُهّٰللا اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا ِم ْنُك ْۙم
َو اَّلِذ ْيَن ُاْو ُتوا اْلِع ْلَم َد َر ٰج ٍۗت َو ُهّٰللا ِبَم ا َتْع َم ُلْو َن َخ ِبْيٌر
ًۗة
َو َم ا َك اَن اْلُم ْؤ ِم ُنْو َن ِلَيْنِفُرْو ا َك ۤا َّف َفَلْو اَل َنَفَر ِم ْن ُك ِّل ِفْر َقٍة ِّم ْنُهْم َطۤا ِٕىَفٌة ِّلَيَتَفَّقُهْو ا ِفى الِّدْيِن َوِلُيْنِذ ُرْو ا َقْو َم ُهْم ِاَذ ا َر َج ُع ْٓو ا ِاَلْيِه ْم َلَع َّلُهْم
ࣖ َيْح َذ ُرْو َن
Ayat ini menegaskan bahwa tidak semua orang mukmin seharusnya terlibat langsung
di medan perang. Ayat ini menyoroti kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara tugas-
tugas dunia dan spiritualitas. Dalam konteks perkembangan teknologi, perspektif Islam
menekankan pentingnya pendalaman pengetahuan agama. Sebagaimana terkandung dalam
ayat tersebut, sebagian dari setiap golongan mukmin seharusnya memilih untuk tetap tinggal
bersama Rasulullah untuk memperdalam pengetahuan agama dan kemudian berfungsi
sebagai pemimpin spiritual dan pemberi peringatan kepada masyarakat setelah kembali dari
medan perang. Dengan mengaitkan ayat ini dengan perkembangan teknologi, dapat dilihat
bahwa Islam mendorong umatnya untuk tidak hanya terlibat dalam urusan dunia semata,
tetapi juga mengedepankan pengetahuan agama sebagai landasan untuk memberikan panduan
spiritual dan moral kepada masyarakat. Ini mencerminkan prinsip-prinsip kebijaksanaan
(hikmah) dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam memanfaatkan dan mengarahkan
perkembangan teknologi agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dalam hadis Rasulullah S.A.W, terdapat dorongan untuk menuntut ilmu yang sejalan
dengan penekanan arti ilmu dalam Al-Quran. Dalam salah satu hadisnya, beliau bersabda,
"Barang siapa menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan
melapangkan jalan baginya menuju surga" (HR at-Tirmizi). Beliau juga menyatakan, "Barang
siapa keluar untuk menuntut ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai ia kembali" (HR at-
Tirmizi).
Dalam bidang pendidikan, contohnya, penggunaan Augmented Reality (AR) dapat
membantu dalam menghafalkan ayat suci Al-Qur'an, sedangkan kehadiran kecerdasan buatan
(AI) dalam model pembelajaran daring juga membantu umat Muslim dalam mentransfer ilmu
dari guru ke murid secara lebih mudah dan efisien. Penggunaan AR dalam pembelajaran Al-
Qur'an, khususnya untuk anak-anak, menjadikan proses tersebut lebih menarik dibandingkan
dengan metode konvensional yang umumnya banyak digunakan oleh guru di Indonesia.
Seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi, media dakwah juga mengalami perkembangan.
Dengan kata lain, yang benar mendahului yang baik, dengan wahyu menentukan hal
yang benar untuk dilakukan, dan apa yang wahyu tentukan sebagai benar intrinsik baik tanpa
memperhatikan persepsi manusia terhadap rasa sakit dan kesenangan. Oleh karena itu,
seorang agen moral mungkin diharuskan untuk menanggung berbagai bentuk rasa sakit,
termasuk kehilangan nyawa, untuk memajukan tujuan agama. Dalam yurisprudensi Islam
klasik, konsep kebaikan (maṣlaḥa) tidak hanya terbatas pada interpretasi utilitarian atau
berbasis kesejahteraan. Menurut tokoh-tokoh seperti al-Juwaynī dan al-Ghazālī, maṣlaḥa
dalam penciptaan norma tidak semata-mata bertujuan untuk memaksimalkan kebaikan yang
sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya. Al-Juwaynī menganggap norma wahyu sebagai
sumber nilai etika dan berpendapat bahwa pengetahuan moral tidak bergantung pada
intuisionisme, yang memungkinkan adanya penalaran di luar kitab suci. Maṣlaḥa
didefinisikan secara eksklusif sebagai apa yang dimaksudkan oleh wahyu (maqsūd al-sharʿ),
sehingga hanya kitab suci yang dapat membimbing kita untuk mengidentifikasi apa yang baik
(ḥasan) dan harus dipromosikan, atau apa yang jahat (qabīh) dan harus dihindari.
Berkaca pada sudut pandang di atas, ada suatu arah dalam fikih Islam yang menyoroti
hal tersebut. pentingnya nilai-nilai etika dan kewajiban di luar kerangka welfaris atau
utilitarian konvensional. Dalam etika AI, perspektif ini mendukung model yang berpusat pada
tugas, menekankan komitmen teguh terhadap prinsip-prinsip seperti keadilan, privasi,
transparansi, dan akuntabilitas. Dengan menghargai prinsip-prinsip etika ini, hal ini memandu
perancang dan pengguna AI untuk memprioritaskan perlindungan hak-hak individu dan nilai-
nilai intrinsik dibandingkan perhitungan berdasarkan kesejahteraan atau utilitas. Perspektif ini
menggarisbawahi pentingnya menjunjung tinggi tanggung jawab moral dan menghormati
martabat manusia, meskipun hal tersebut tidak selalu memaksimalkan kesejahteraan kolektif.
Pemerintah Inggris telah mengenalkan aturan dan kontrol terkait kecerdasan buatan
(AI) (House of Lords, 2018). Terdapat lima prinsip inti yang telah dijabarkan, yaitu:
(1) pengembangan AI harus bertujuan untuk kebaikan bersama dan kemaslahatan umat
manusia
(2) AI harus beroperasi dalam batas-batas kecerdasan dan keadilan
(3) penggunaan AI tidak boleh merugikan hak privasi atau data individu, keluarga, atau
komunitas
(4) setiap individu berhak mendapatkan pendidikan dan pengembangan melalui AI
(5) penggunaan AI sebagai robot pembunuh yang memiliki otonomi untuk menyakiti,
menghancurkan, atau menipu manusia harus ditentang.
Di Eropa, kelompok ahli AI sedang meminta masukan terkait panduan etika untuk
kecerdasan buatan yang dapat dipercaya, dan mereka telah menyusun draf pertama pedoman
etika penelitian AI (Komisi Eropa, 2018). Dalam dokumen tersebut, 52 pakar dari berbagai
latar belakang menjelaskan bagaimana pengembang dan pengguna harus memastikan bahwa
AI menghormati hak-hak dasar, peraturan, dan prinsip inti yang relevan, serta bagaimana
teknologi dapat dibuat konsisten dan dapat diandalkan.
Di Amerika Serikat, CARR Center for Human Rights, sebuah pusat penelitian di
Kennedy School of Government di Universitas Harvard, terlibat aktif dalam merancang
kebijakan untuk melindungi hak asasi manusia dan keamanan (Risse, 2019). Dokumen
tersebut berusaha menjelaskan bagaimana melindungi kehidupan manusia tanpa membatasi
kemajuan penelitian di bidang kecerdasan buatan (AI). Selain itu, inovasi dalam penelitian
juga harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan mempertimbangkan berbagai
permasalahan etika yang mungkin timbul dari penggunaan teknologi tersebut. Mereka juga
memperkirakan bahwa AI kemungkinan akan berbagi kehidupan dengan manusia melalui
berbagai bentuk teknologi yang tidak terduga. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa masa
depan umat manusia akan dipertaruhkan, dan kemunculan AI dapat menjadi ancaman jika
tidak diawasi dengan baik.
Hingga saat ini, belum ada panduan khusus terkait penelitian teknologi AI yang
dikeluarkan oleh negara-negara Muslim. Meskipun demikian, teknologi AI mulai menarik
perhatian dan keterlibatan dari negara-negara Arab, seperti penggunaan robot patroli di
bidang keamanan di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) (Al Shouk, 2018), dan pengakuan robot
Sophia sebagai warga negara pertama di Arab Saudi (Pizzetti, 2019). Namun, perlu dicatat
bahwa kedua robot tersebut bukanlah produk dalam negeri dan diproduksi di luar negeri.
Malaysia juga telah aktif dalam penelitian AI, misalnya dalam penggunaan AI untuk
mendeteksi dan memprediksi indeks kualitas air (Hameed, Sharqi & Yaseen). Penelitian lain
mencakup prediksi laju radiasi energi matahari (Khatib, Mohamed, Sopian & Mahmoud,
2012) serta pemanfaatan jaringan saraf (ANN) dan hutan acak (RF) untuk perkiraan arus
fotovoltaik jangka pendek (PV) (Othman, Fazi, Harun, Musirin & Sulaiman, 2019).
Meskipun demikian, penelitian ini masih terbatas pada wilayah tertentu dan belum
sepenuhnya terlibat dalam ekosistem kehidupan masyarakat, terutama di negara berkembang
yang telah mengadopsi teknologi seperti penggunaan drone secara komersial atau mobil
tanpa pengemudi di jalan raya.
Islam tidak pernah menghalangi kemajuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Sebaliknya, ini dianggap sebagai kewajiban kolektif (fardhu kifayah) karena
dapat meningkatkan kualitas hidup manusia ke arah yang lebih baik. Meskipun demikian,
panduan dan etika penelitian dalam teknologi kecerdasan buatan (AI) yang berakar pada
ajaran agama sangat penting untuk membimbing dan menjaga komunitas Islam.
Tidak dapat disangkal bahwa tujuan penelitian AI adalah untuk membantu manusia
mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Ini sejalan dengan tujuan ajaran Islam yang
mencakup lima prinsip asas dalam maqasid syariah, yang bertujuan untuk melindungi hak-
hak manusia, termasuk penjagaan agama (hifz al-adin), penjagaan nyawa (hifz al-nafs),
penjagaan akal (hifz al-‘aql), penjagaan keturunan (hifz al-nasl), dan penjagaan harta (hifz al-
mal). Pendekatan yang terpadu ini dapat membantu dalam mengatasi berbagai isu
kontemporer yang timbul akibat penggunaan teknologi AI, seperti isu etika penelitian, hak,
tanggung jawab, privasi, ketidaksetaraan, keselamatan, dan kepercayaan.
KESIMPULAN
Pandangan Islam terhadap perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI)
mencerminkan sikap yang seimbang antara penerimaan dan kewaspadaan. Secara umum,
Islam mendorong umatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi guna
meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Konsep-konsep seperti ijtihad (ijtihad) atau
upaya pemikiran, memberikan legitimasi bagi umat Muslim untuk mengadopsi teknologi
canggih seperti AI selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan etika Islam.
Namun demikian, pandangan Islam juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan
antara kemajuan teknologi dan nilai-nilai keagamaan. Islam menegaskan perlunya
menghindari penggunaan teknologi yang dapat merugikan atau merugikan manusia, serta
memastikan bahwa kebijakan dan etika pengembangan AI senantiasa diarahkan untuk
kebaikan bersama dan keadilan. Dengan demikian, Islam memandang perkembangan
teknologi AI sebagai suatu potensi positif asalkan dielola dengan bijaksana dan sesuai dengan
nilai-nilai moral Islam.
REFERENSI
Amrizal, Victor & Aini, Qurrotul. 2013. Artificial Intellegence. Jakarta Barat: Halaman
Moeka Publishing.
Bouazzaouri, S., Witherow, M.A., & Castelle, K.M. (2016). Ethics and robotics. In:
Proceedings of the International Annual Conference of the AmericanSociety for
Engineering Management. American Society for Engineering Management (ASEM).
Bradshaw, S., & Howard, P. N. (2018). Challenging Truth and Trust: A Global Inventory of
Organized Social Media Manipulation. The Computational Propaganda Project.
http://comprop.oii.ox.ac.uk/wpcontent/uploads/sites/93/2018/07/ct2018.pdf
Byler, Darren. (2019). China’s Hi-Tech War on Its Muslim Minority, The Guardian, 11 April
2019, https://www.theguardian.com/
Brierley, C., Sawalha, M., Islam, T., Dickins, J., & Atwell, E. (2018). Automatic Extraction of
Quranic Lexis Representing Two Different Notions of Linguistic Salience: Keyness
and Prosodic Prominence. Journal of Semitic Studies, 63(2), 407-456.
Elmahjub, E. (2023). Artificial Intelligence (AI) in Islamic Ethics: Towards Pluralist Ethical
Benchmarking for AI. Philosophy & Technology, 36(4), 73.
Fukuyama, M. 2018. Society 5.0: Aiming for a new human-centered society. Japan
Spotlight, 27, 47-50.
Ghernaout, D. (2017). Environmental principles in the Holy Koran and the Sayings of the
Prophet Muhammad. American Journal of Environmental Protection, 6(3), 75-79.
Ghernaout, D. (2018). Disinfection and DBPs removal in drinking water treatment: A
perspective for a green technology. International Journal of Advances in Applied
Sciences, 5, 108-117.
Hidayat, I., Askar, A., & Zaitun, Z. (2022). Teknologi Menurut Pandangan Islam. Prosiding
Kajian Islam dan Integrasi Ilmu di Era Society (KIIIES) 5.0, 1(1), 456-460.
Hom, J., Anong, B., Rii, K. B., Choi, L. K., & Zelina, K. (2020). The Octave Allegro Method
in Risk Management Assessment of Educational Institutions. Aptisi Transactions on
Technopreneurship (ATT), 2(2), 167-179.
Nawi, A., Yaakob, M. F. M., Hussin, Z., Muhaiyuddin, N. D. M., Samuri, M. A. A., &
Tamuri, A. H. (2021). Keperluan Garis Panduan dan Etika Islam Dalam Penyelidikan
Kecerdasan Buatan. Journal of Fatwa Management and Research (JFatwa).
https://doi.org/10.33102/jfatwa.vol26no2.414
Putri, R., Ramadhan, A., & Afif, M. (2021). Perspektif Islam Terhadap Integrasi
Perkembangan Ilmu Teknologi. ADI Bisnis Digital Interdisiplin Jurnal, 2(1 Juni), 48–
54. https://doi.org/10.34306/abdi.v2i1.447
Rahardja, U., Hariguna, T., & Aini, Q. (2019). Understanding the Impact of Determinants in
Game Learning Acceptance: An Empirical Study. International Journal of Education
and Practice, 7(3), 136-145.
Russell, S. J., Norvig, P., (2016). Artificial Intelligence: A Modern Approach. Malaysia:
Pearson Education Limited.
Grush, L. (2015) “Google engineer apologizes after Photos app tags two black people as
gorillas,” The Verge, July 1, 2015.
https://www.theverge.com/2015/7/1/8880363/googleapologizes-photosapp-tags-two-
black-people-gorillas
Gurkaynak, G., Yilmaz, I., & Haksever, G. (2016). Stifling artificial intelligence: Human
perils. Computer Law & Security Review, 32(5), 749–758.
doi:10.1016/j.clsr.2016.05.003
Mackie, T. (2018). Proving liability for highly and fully automated vehicle accidents in
Australia. Computer Law & Security Review. doi:10.1016/j.clsr.2018.09.002
Mehta, D., Siddiqui, M. F. H., & Javaid, A. Y. (2019). Recognition of Emotion Intensities
Using Machine Learning Algorithms: A Comparative Study. Sensors, 19(8), 1897.
https://doi.org/10.3390/s19081897
Mozur, Paul. (2019). One Month, 500,000 Face Scans: How China Is Using A.I. to Profile a
Minority. The New York Times.
https://www.nytimes.com/2019/04/14/technology/china-surveillanceartificial-
intelligence-racial-profiling.html
Posetti, J. & Matthews, A. (2018). A short guide to the history of ’fake news’ and
disinformation. International Center for Journalists.
Silva, Selena & Kenney, Martin. (2018) Algorithms, platforms, and ethnic bias: An
integrative essay. Phylon (1960-), 55(1 & 2):9–37, 2018.
https://kenney.faculty.ucdavis.edu/wpcontent/uploads/sites/332/2018/09/ Silva-
Kenney-AlgorithmsPlatforms-and-Bias-9-8-18.pdf