Anda di halaman 1dari 53

UJI AKTIVITAS FRAKSI EKSTRAK ETANOL BUAH ASAM

JAWA (Tamarindus indica L) TERHADAP PENURUNAN KADAR


GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)
YANG DI INDUKSI STREPTOZOTOCIN.

PROPOSAL

MARIA N. SIA
G 701 18 105

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
MEI 2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) adalah suatu sindroma klinik metabolik dengan

ditemukannya keadaan hiperglikemia dengan gejala berupa gangguan

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, terjadi akibat kelainan sekresi

insulin,kerja insulin atau keduanya. (PERKENI, 2011) World Health

Organization (WHO) memprediksikan penderita diabetes melitus di Indonesia

pada tahun 2030 mencapai 21,3 juta. (WHO,2013) International Diabetes

Federation (IDF) tahun 2015 mengungkapkan bahwa penderita diabetes

melitus di Indonesia menempati urutan ke-7 dengan jumlah mencapai 10 juta.

(IDF, 2015) Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah DM tipe 2.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi diabetes yang

terdiagnosis dokter yang tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah 3,7%,

Sulawesi Utara 3,6%, Sulawesi Selatan 3,4% dan Nusa Tenggara Timur 3,3%.

(RISKESDAS, 2013)

Penegakan diagnosis diabetes melitus dapat dilakukan jika kadar gula

darah sewaktu mencapai ≥200 mg/dL atau gula darah puasa ≥126 mg/dL yang

disertai gejala khas (poliuria, polidipsia, polifagia) dan berat badan menurun

tanpa sebab yang jelas (Purnamasari. 2009). Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi masyarakat dalam memilih pengobatan yaitu tingkat

pendidikan, motivasi diri dan sosial ekonomi. Tingkat pendidikan yang

1
rendah berdampak pada pengetahuan seseorang dalam masalah kesehatan

khususnya pengobatan DM (Sari, 2013). Kebudayaan mempengaruhi

masyarakat dalam memilih pengobatan tradisional. Hal ini dikarenakan

kebudayaan didasari oleh turun- tumurun dan dapat mempengaruhi keyakinan

orang dalam menggunakan obat tradisional (Yuka, 2011).

Obat tradisional telah digunakan masyarakat indonesia sejak zaman

dahulu. Penggunaan tanaman sebagai salah satu upaya pengobatan di

masyarakat luas telah lama dilakukan karena dinilai lebih aman daripada

penggunaan obat sintesis, Hal tersebut telah membawa suatu perubahan dalam

tekhnik pengobatan yang bisa menjadi rekomendasi alternatif pemeliharaan

kesehatan (Nursetiani dan Herdiana, 2018). Salah satu tanaman yang bisa

digunakan sebagai obat tradisional adalah buah asam jawa yang memiliki

nama ilmiah Tamarindus Indica L menurut identifikasi fitokimia, tanaman ini

mengandung flavonoid, tanin dan saponin. Buah asam jawa juga mengandung

protein dengan asam amino esensial, tinggi karbohidrat untuk persediaan

energi, kaya akan mineral, kalium, kalsium, magnesium sedikit mengandung

zat besi dan vitamin A. Selain digunakan sebagai antidiabetes Buah asam

jawa juga dapat digunakan sebagai pengobatan demam, diare, sakit perut,

penyakit kuning dan juga sebagai pembersih kulit (Bhadorya, 2014).

Penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh (Puspitasari Dkk.,

2014), menggunakan buah asam jawa dengan dosis 100mg/kg BB, 200mg/kg

BB dan 250mg/kg BB menunjukan penurunan kadar glukosa darah pada dosis

250mg/kg BB. Menurut (Jindal et al., 2011), menyebutkan bahwa terdapat

2
kandungan flavonoid, tanin dan saponin dalam ekstrak etanol daging buah

asam jawa. Flavonoid itu sendiri merangsang sekresi insulin dan meregerasi

kerusakan sel beta pankreas sebagai antihiperglikemik. Penelitian yang

dilakukan oleh (Bhardorya, 2014), mengenai potensial kandungan ekstrak

asam jawa terutama daging buahnya menunjukan antioksidan yang paling

tinggi. Mekanisme antioksidan dalam antihiperglikemia yaitu mengurangi

stress oksidatif pada terjadinya diabetes, selain itu antioksidan bekerja dengan

cara mengurangi glukosa dalam darah dan meningkatan kadar insulin plasma.

Penelitian lain yang dilakukakan oleh (Haning Dian Saputri, 2019),

menggunakan ekstrak etanol buah asam jawa juga memberikan efek

menurunkan kadar glukosa darah pada tikus putih pada dosis 150 mg/kg BB

tikus putih yang telah hiperglikemik setelah pemberian perlakuan selama 14

hari.

3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah
yaitu:
1. senyawa metabolit sekunder apa saja yang terkandung dalam Fraksi ekstrak
etanol buah asam jawa (Tamarindus indica L) ?
2. Apakah Fraksi ekstrak etanol buah asam jawa (Tamarindus indica L)
memiliki efek terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus putih jantan
yang di induksi Streptozotocin?
3. Fraksi apakah dari ekstrak etanol buah asam jawa (Tamarindus indica L)

yang paling efektif dalam menurunkan kadar glukosa pada tikus putih

jantan?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat

pada fraksi ekstrak etanol buah asam jawa (Tamarindus indica L).

2. Untuk mengetahui fraksi yang paling efektif dalam menurunkan kadar

glukosa darah pada tikus putih jantan

3. Untuk memisahkan senyawa aktif pada ekstrak buah asam jawa yang
berkhasiat untuk menurunkan kadar glukosa darah pada tikus putih jantan
berdasarkan sifat dari kepolarannya yaitu non polar, semi polar, dan polar.

4
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu :
1. Bagi Masyarakat
Dapat memberikan bukti secara ilmiah mengenai manfaat fraksi ekstrak
buah asam jawayang memiliki aktivitas antidiabetes sebagai pengobatan
alternatif dengan memanfaatkan bahan alami.

2. Bagi Penelitian
Dapat menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan pada proses
pemisahan dan penggujian aktivitas farmakologi bagi peneliti dalam
pemanfaatan mengenai aktivitas fraksi ekstrak buah asam jawa sebagai
antidiabetes.

3. Bagi Pendidikan
Diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah bagi masyrakat tentang
efektivitas dari buah asam jawa dalam pengobatan untuk menurunkan
kadar glukosa darah dan membantu bidang farmasi dalam memberikan
alternatif pengobatan yang berasal dari bahan alam sehingga dapat
dikembangkan uji produk fitofarmaka.

1.5 Batasan Masalah


Penelitian ini hanya sebatas mempelajari dan mengetahui apakah fraksi
ekstrak buah asam jawamemiliki aktivitas antidiabetes dan mengetahui dosis
fraksi mana yang paling efektif untuk memberikan efek antidiabetes.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Buah Asam Jawa (Tamarindus indica L)


2.1.1 Klasifikasi
Adapun klasifikasi dari buah Asam Jawa (Tamarindus indica L)
menurut (UPT Sumber Daya Hayati, 2019), sebagai berikut :
Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae

Genus : Tamarindus

Species : Tamarindus indica L.

Gambar 2.1 Tanaman Asam Jawa (Tamarindus Indica L)

6
2.1.2 Morfologi
Asam jawa merupakan tumbuhan tahunan yang tinggi dan berukuran

besar, tingginya dapat mencapai 25 m. Batang pohon asam jawa cukup

keras, dapat tumbuh menjadi besar dan memiliki daun yang rindang.

Tumbuhan ini memiliki daun yang bertangkai panjang, sekitar 17 cm dan

bersirip genap. Tumbuhan asam jawa memiliki bunga yang berwarna

kuning kemerah-merahan dan buah dengan tipe polong berwarna cokelat

dengan rasa khas asam. Dalam buahnya selain terdapat kulit yang

membungkus daging buah juga terdapat biji berjumlah 2-5 yang berbentuk

pipih dengan warna cokelat agak kehitaman (Harahap, 2014).

2.1.3 Nama Daerah


Nama daerah asam jawa (Kalimantan, Kayu Asam (Sumatra), Tangkal

Asem (Jawa), Celangi (Nusa Tenggara), Camba (Sulawesi) Dan Tobe Laki

(Maluku) (Herminia, 2011).

2.1.4 Manfaat Buah Asam Jawa

Buah asam jawa merupakan salah satu tumbuhan yang banyak

digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit selain menurunkan

kadar glukosa darah buah asam jawa juga dapat mengobati demam,

disentri, hepatitis, dan gangguan pencernaan (Fakhrurrazi et al., 2016).

2.1.5 Kandungan Kimia Buah Asam Jawa

Nutrisi yang terkandung di dalam asam jawa antara lain protein

dengan asam amino esensial, tinggi karbohidrat untuk persediaan energi,

7
kaya akan mineral, kalium kalsium, magnesium, sedikit mengandung zat

besi dan vitamin A (Bhadorya, 2014).

Kandungan kimia yang terdapat pada buah asam jawa (Tamarindus

indica L) adalah sebaga berikut :

1. Tanin

Tanin diketahui dapat memacu metabolisme glukosa dan lemak

sehingga timbunan kedua sumber kalori ini dalam darah dapat dihindari.

Tanin mempunyai aktivitas hipoglikemik yaitu dengan meningkatkan

glikogenesis. Selain itu, tanin juga berfungsi sebagai astringent atau

pengkelat yang dapat mengerutkan membran epitel usus halus sehingga

mengurangi penyerapan sari makanan dan sebagai akibatnya menghambat

asupan gula dan laju peningkatan gula darah tidak terlalu (Sri Irianty dan

Yenti, 2014).

Gambar 2.2 Struktur Tanin (Robinson, 2011)

2. Flavonoid

Flavonoid adalah senyawa yang bersifat polar, pada umumnya

flavonoid mudah larut dalam pelarut polar seperti etanol, methanol dan

8
aseton. Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol.

(Kurniawan et al., 2014).

Mekanisme penurunan kadar glukosa darah oleh flavonoid diantaranya

dengan meningkatkan sekresi insulin, meningkatkan ambilan glukosa di

jaringan perifer dan menghambat glukoneogenesis selama itu, flavonoid

diketahui dapat mencegah kerusakan sel beta pankreas karena memiliki

aktifitas antioksidan dengan cara menangkap atau menetralkan radikal

bebas terkait dengan gugus fenolik sehingga dapat memperbaiki keadaan

jaringan yang rusak mekanisme penurunan kadar glukosa darah oleh

flavonoid diantaranya dengan meningkatkan sekresi insulin,

meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer dan menghambat

glukoneogenesis. Selain itu flavonoid diketahui dapat mencegah

kerusakan sel beta pankreas karena memiliki aktifitas antioksidan dengan

cara menangkap atau menetralkan radika bebas terkait dengan gugus oh

fenolik sehingga dapat memperbaiki keadaan jaringan yang rusak

(Ayunda Dkk., 2014).

Gambar 2.3 struktur flavonoid (Rheda Abdi, 2010)

9
3. Saponin

Saponin adalah glikosida triterpen yang merupakan senyawa aktif

permukaan dan dapat menimbulkan busa jika dikocok dengan air pada

konsentrasi yang rendah dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah

pada tikus. Identifkasi saponin dapat dilakukan dengan mengocok ekstrak

bersama air hangat di dalam tabung reaksi dan akan timbul busa yang

dapat bertahan lama setelah penambahan HCl2n busa tidak akan hilang (

Ayunda Dkk., 2014).

Gambar 2.4 struktur Saponin (Rheda Abdi, 2010).

2.2 Uraian Ekstrak Dan Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. (Tandi

j, 2018). Sedangkan ekstrak merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan

mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan

pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut di uapkan

dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga

memenuhi baku yang telah ditetapkan (BPOM, 2010).

10
2.2.1 Metode Ekstraksi

Metode ekstraksi berdasarkan ada tidaknya proses pemanasan dapat dibagi

menjadi dua yaitu :

1. Ekstraksi Cara Dingin

a. Maserasi

Maserasi merupakan proses penyari yang paling sederhana dan banyak

digunakan untuk menyari bahan obat alam yang berupa serbuk simplisia

halus. Maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung zat

aktif yang mudah larut dalam cairan penyari. Simplisia direndam dalam

penyari hingga meresap dan melemahkan susunan sel yang mengandung

zat aktif. Zat aktif ini akan larut dan adanya perbedaan konsentrasi antara

larutan zat aktif di dalam dan diluar sel menyebabkan larutanya yang

pekat keluar sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di

dalam dan diluar sel. Serbuk simplisia yang akan disari ditempatkan

dalam wadah atau bejana kemudian ditutup rapat dan dikocok berulang-

ulang sehingga memungkinkan pelarut masuk ke seluruh permukaan

serbuk simplisia (Pranowo Dkk., 2016).

Prinsip maserasi adalah pengikatan pelarut zat aktif berdasarkan sifat

kelarutanya dalam suatu pelarut. Kelebihan dari metode maserasi adalah

satuan alat yang digunakan sederhana dan mudah di dapatkan, biaya

operasionalnya relatif rendah dan prosesnya relatif hemat.

Maserasi bisa dilakukan dengan cara lain misalnya :

11
1. Digesti

Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah,

yaitu pada suhu 40-50o C. Cara maserasi ini hanya bisa dilakukan untuk

simpisia yang zat aktifnya tahan terhadap pemanasan.

2. Maserasi dengan mesin pengaduk

Penggunaan mesin pengaduk yang berputar terus menerus, waktu

proses maserasi bisa di persingkat menjadi 6-24 selai.

3. Remaserasi

Seluruh serbuk simplisia dimaserasi dengan cairan penyari pertama,

setelah diendapkan tuang kemudian diperas, ampas di maserasi lagi

dengan caian penyari kedua.

4. Maserasi melingkar

Maserasi bisa diperbaiki dengan mengusahakan agar cairan penyari

selalu bergerak dan menyebar. Dengan cara ini penyari selalu mengalir

kembali secara berkelanjutan melalui serbuk simplisia dan melarutkan zat

aktifnya.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah suatu cara penarikan memakai alat yang disebut

perkolator yang simplisianya terendam dalam cairan penyari, zat-zat akan

terlarut dan larutan tersebut akan menetes secara beraturan sampai

memenuhi syarat yang telah ditetapkan. Cara perkolasi ini umumnya

digunakan untuk pembuaan sediaan galenik yang pekat. Pada proses

penarikan ini cairan penyari akan turn perlahan-lahan dari atas melalui

12
simplisia (berlainan dengan maserasi yang cairanya tidak mengalir

(Goeswin, A. 2007).

2. Ekstraksi Cara Panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur didihnya

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses

pada residu pertama 3-5 kali sehingga termasuk dalam proses ekstraksi

sempurna. Metode ini dapat digunakan untuk mengektraksi simplisia

yang tahan terhadap pemanasan langsung.

b. Soxhlet

Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi

kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin

balik. Kelebihan dari metode soxhlet yaitu dapat digunakan untuk sampel

dengan tekstur yang lembut dan tidak tahan terhadap pemanasan

langsung sedangkan kekurangan metode soxhlet yaitu karena pelarut di

daur ulang, ekstrak yang terkumpul pada wadah di sebelah bawah terus-

terusan dipanaskan jadi bisa menyebabkan reaksi peruraian oleh panas.

c. Infus

13
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih). Temperatur terukur

96-98OC selama waktu tertentu (15-20 menit).

2.3 Metode Maserasi

Penelitian ini menggunakan metode maserasi. Alasan pemilihan metode

ekstraksi maserasi karena metode maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi

cara dingin yang mudah dilakukan karena alat dan caranya sederhana, dan

memungkinkan senyawa aktif yang terkandung di dalam simplisia tidak rusak karena

cara dingin dapat digunakan untuk simplisia yang tahan atau tidak tahan akan

pemanasan. Metode maserasi dinilai lebih efisien karena membutuhkan waktu

ekstraksi yang tidak terlalu lama dan pelarut yang sedikit. Pelarut yang digunakan

dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain (Istiqomah, 2013).

2.4 Uraian Fraksinasi

Fraksinasi merupakan proses pemisahan komponen-komponen dalam ekstrak

berdasarkan kepolarannya. Metode yang dapat digunakan dalam fraksinasi antara lain

dengan cara ekstraksi cair-cair dan cara kromatografi.

1. Ekstraksi Cair-Cair (ECC)

Ekstrak yang dapat difraksinasi dengan bermacam-macam pelarut secara

bertahap dengan urutan pelarut nonpolar, semipolar dan polar. Dalam metode ini,

solut dipindahkan dari cairan yang satu ke cairan yang lain yang tidak bercampur.

14
Proses fraksinasi ekstrak secara ECC dilakukan berdasarkan koefisien partisi senyawa

diantara dua pelarut yang tidak bercampur.

2. Kromatografi

Kromatografi adalah istilah umum untuk berbagai cara pemisahan berdasarkan

partisi cuplikan antara fase yang bergerak, dapat berupa gas atau zat cair. Metode

kromatografi yang sering digunakan untuk fraksinasi adalah metode kromatografi

kolom dan kromatografi cair vakum (Venni Frida, 2016)

2.5 Uraian Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pemisahan fisikokimia

yang didasarkan atas penyerapan, partisi (pembagian) atau gabungannya. Metode

pemisahan ini menggunakan lapis tipis adsorben sebagai media pemisahan.

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) digunakan pada pemisahan zat secara cepat, dengan

menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan serba rata pada

lempeng kaca. Lempeng yang dilapis dapat dianggap sebagai kolom kromatografi

terbuka dan pemisahan didasarkan pada penyerapan, pembagian atau gabungannya

tergantung dari jenis zat penyerap dan cara pembuatan lapisan zat penyerap dan jenis

pelarut.

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) biasanya digunakan untuk pengecekkan yang

cepat terhadap komposisi campuran, mengetahui kesempurnaan suatu reaksi dan

untuk identifikasi obat, ekstrak tanaman, preparat biokimia serta mendeteksi

kontaminan dan pemalsuan. Kelebihan dari teknik ini adalah dapat dilakukan dengan

peralatan sederhana dan waktu yang cukup singkat (15-60 menit), dengan jumlah

15
sampel yang cukup kecil dan hasil pemisahan yang paling jelas. Adapun kekurangan

dari metode kromatografi lapis tipis adalah harga Rf yang diperoleh tidak tetap jika

dibandingkan dengan yang diperoleh pada kromatografi kertas. Oleh karena itu pada

lempeng yang sama disamping kromatogram dari zat yang diperiksa perlu dibuat

kromatogram dari zat pembanding kimia, lebih baik dengan kadar yang berbeda-

beda. Perkiraan identifikasi diperoleh dengan pengamatan 2 bercak dengan harga Rf

dan ukuran yang lebih kurang sama (Venni Frida, 2016).

2.6 Uraian Diabetes Melitus

2.6.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik kronis dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin dann kedua-duanya (Perkeni, 2015). Penyakit diabetes melitus

menyebabkan glukosa tidak dapat di kelola atau masuk kedalam sel untuk di

manfaatkan sebagai energi, sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat.

Kadar glukosa pada orang normal adalah ≤120 mg/dl pada kondisi puasa ≤140

mg/dl saat dua jam setelah makan. Penderita diabetes melitus kadar glukosa

darahnya adalah ≥120 mg/dl pada kondisi puasa dan ≥200 mg/dl saat 2 jam

setelah makan. Apabila kadar glukosa dara puasa dan saat dua jam setelah

makan berurutan adalah ≤120 mg/dl dan 120-200 mg/dl termasuk kondisi

gangguan toleransi glukosa. Pada kondisi gangguan toleransi glukosa pada

saat puasa kadar glukosa darahnya normal, namun setelah makan kadar

glukosa darahnya berada di atas normal. Hal ini menunjukan bahwa meskipun

16
belum terjadi kondisi diabetes melitus, tetapi terjadi gangguan mekanisme

pengaturan glukosa. Oleh karena itu penderita wajib waspada dan melakukan

terapi agar tidak berkembang menjadi diabetes melitus (Nugroho, 2006).

2.6.2 Gejala Umum Penyakit Diabetes Melitus

Menurut ( Nugroho, 2006), gejalah umum penyakit diabetes melitus yaitu:

1. Poliuria (Banyak kencing) merupakan gejala umum pada penderita

diabetes melitus, banyak kencing disebabkan kadar gula dalam darah yang

berlebihan sehingga merangsang tubuh untuk mengeluarkan kelebihan

gula tersebut melalui ginjal berasama urin biasanya gejala ini terjadi pada

malam hari.

2. Polidipsi (Banyak minum) merupakan akibat reaksi tubuh karena banyak

mengeluarkan urin. Gejala ini sebenarnya merupakan usaha tubuh untuk

menghindari kekurangan cairan selama kadar gula dalam darah belum

terkontrol baik akan timbul terus keinginan untuk terus menerus minum.

3. Polifagia (Banyak makan) gejala ini disebabkan berkurangnya cadangan

gula dalam tubuh meskipun kadar gula dalam darah tinggi ketidak

mampuan insulin dalam menyalurkan gula sebagai sumber tenaga dalam

tubuh membuat tubuh terasa lemas, sehingga timbul rasa lapar terus

menerus.

17
2.6.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

1. Diabetes melitus tipe 1

Pada diabetes melitus tipe 1 (diabetes insulin dependent), lebih

sering ternyata pada usia remaja. Lebih dari 90% dari sel pankreas yang

memproduksi insulin mengalami kerusakan secara permanen. Oleh

karena itu, insulin yang di produksi sedikit atau tidak langsung dapat di

produksikan. Hanya sekitar 10% dari semua penderita diabetes melitus

menderita tipe 1. Diabetes tipe 1 kebanyakan pada usia dibawah 30 tahun.

Para ilmuan percaya bahwa faktor lingkungan seperti infeksi virus atau

faktor gizi dapat menyebabkan penghancuran sel penghasil insulin di

pankreas.

2. Diabetes melitus tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 bervariasi mulai yang terutama dominan

resistensi insulin disertai defesiensi insulin relatif sampai yang terutama

efek sekresi insulin yang disertai resistensi insulin. Diabetes tipe 2

(diabetes non insulin dependent) ini tidak ada kerusakan pada

pankreasnya dan dapat terus menghasilkan insulin. Bahkan kadang-

kadang insulin pada tingkat tinggi dari normal. Akan tetapi tubuh

manusia resisten terhadap efek insulin sehingga tidak ada insulin yang

cuku untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Diabetes tipe ini sering terjadi

pada dewasa yang berumur lebih dari 30 tahun dan menjadi lebih umum

dengan peningkatan usia. Obesitas menjadi faktor resiko utama pada

diabetes tipe 2 sebanyak 80% sampai 90% dari penderita diabetes tipe 2

18
mengalami obesitas. Obesitas dapat menyebabkan sensitivitas insulin

menurun, maka dari itu orang obesitas memerlukan insulin yang

berjumlah sangat besar untuk mengawali kadar gula darah normal.

2. Diabetes melitus tipe lain

Diabetes melitus tipe lain merupakan diabetes melitus yang

diketahui atau di curigai dapat menyebabkan penyakit lain seperti efek

genetik fungsi sel beta, efek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin

pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, imunologi

dan sindroma genetik lain.

3. Diabetes melitus gestasional

Diabetes gestasional adalah diabetes yang muncul pada masa

kehamilan, dan hanya berangsung hingga proses melahirkan. Kondisi ini

dapat terjadi di usia kehamilan berapapun. Namun lazimnya berlangsung

di minggu ke 24 sampai ke-28 kehamilan. Sama halnya dengan diabetes

biasa, diabetes gestasional terjadi ketika tubuh tidak memproduksi cukup

insulin untuk mengontrol kadar glukosa (gula) dalam darah pada masa

kehamilan.

2.6.4 Komplikasi Diabetes Melitus

DM yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut

dan kronis. Menurut Perkeni (2015), komplikasi DM dapat dibagi menjadi 2

kategori, yaitu :

1. Komplikasi Akut

19
a. Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Ketoasidosis diabetik merupakan komplikasi akut diabetes yang

ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600

mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma

keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan

terjadi peningkatan anion gap.

b. Hiperosmolar Non Ketotik (HNK)

Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-

1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat

meningkat (330-380 mos/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau

sedikit meningkat. Catatan: kedua keadaan (KAD dan HNK) tersebut

mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Memerlukan

perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang

memadai.

c. Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <50

mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes

harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia.

Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan

insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama,

sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja

obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk

20
pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal

ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang).

Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus

dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran

mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut

sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.

Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergic (berdebar-debar,

banyak keringat, gemetar, dan rasalapar) dan gejala neuro-glikopenik

(pusing, gelisah,kesadaran menurun sampai koma). Hipoglikemia harus

segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi pasien dengan

kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang mengandung

karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa

15-20 gram melalui intravena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa

darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada

pasien dengan hipoglikemia berat. Untuk penyandang diabetes yang tidak

sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40% intravenater lebih dahulu

sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya

kesadaran (Perkeni, 2015).

2. Komplikasi Kronik

a. Makrovaskular

1. Penyakit Kardiovaskular

Penyakit jantung adalah penyebab paling umum dari kematian dan

cacat pada penderita diabetes. Penyakit kardiovaskular yang menyertai

21
diabetes termasuk angina, infark miokard (serangan jantung), stroke,

penyakit arteri perifer dan gagal jantung kongestif. Tekanan darah

tinggi, kolesterol tinggi, gula darah tinggi dan faktor risiko lain

berkontribusi terhadap peningkatan risiko komplikasi kardiovaskular.

2. Pembuluh Darah Tepi

Pembuluh darah tepi adalah penyakit arteri perifer sering terjadi

pada penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal

claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala.Terkadang ulkus

siskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.

b. Mikrovaskular

1. Retinopati

Banyak orang yang menderita diabetes menyebabkan beberapa

bentuk penyakit mata (retinopati), yang dapat merusak penglihatan

atau menimbulkan kebutaan. Tingginya glukosa darah adalah

penyebab utama dari retinopati. Jaringan pembuluh darah yang

memasok retina dapat menjadi rusak di retinopati, yang menyebabkan

hilangnya penglihatan secara permanen. Namun, dapat menjadi cukup

maju sebelum mempengaruhi visi, dan oleh karena itu penting bahwa

orang dengan diabetes memiliki pemutaran mata secara teratur.Jika

terdeteksi dini, pengobatan dapat diberikan untuk mencegah kebutaan.

Menjaga dan mengkontrol glukosa darah sangat mengurangi risiko

retinopati.

2. Nefropati

22
Nefropati (penyakit ginjal) jauh lebih umum pada penderita

diabetes dibandingkan orang tanpa diabetes. Diabetes adalah salah satu

penyebab utama penyakit ginjal kronis. Penyakit ini disebabkan oleh

kerusakan pembuluh darah kecil, yang dapat menyebabkan ginjal

menjadi kurang efisien, atau gagal sama sekali. Mempertahankan

kadar glukosa darah yang mendekati normal dan tekanan darah sangat

mengurangi resiko nefropati.

3. Neuropati

Neuropati (kerusakan saraf) juga hasil dari kadar glukosa darah

tinggi yang berkepanjangan. Hal ini dapat mempengaruhi setiap saraf

dalam tubuh. Jenis yang paling umum adalah perifer neuropati, yang

terutama mempengaruhi saraf sensorik di kaki. Hal ini dapat

menyebabkan nyeri, kesemutan, dan kehilangan sensasi. Hal ini

terutama signifikan karena dapat memungkinkan luka yang tanpa

disadari, menyebabkan ulserasi, infeksi serius dan dalam beberapa

kasus amputasi. Sakit saraf juga dapat menyebabkan disfungsi ereksi,

serta masalah dengan pencernaan, buang air kecil dan angka fungsi

lainnya.

Dengan adanya kerusakan saraf, penderita diabetes dapat

mengalami masalah dengan sirkulasi yang buruk ke kaki, akibat kerusakan

pembuluh darah. Masalah-masalah ini meningkatkan risiko ulserasi,

infeksi dan amputasi. Orang dengan diabetes menghadapi risiko amputasi

yang mungkin lebih dari 25 kali lebih besar dari pada pada orang tanpa

23
diabete`s. Dengan manajemen yang baik bagaimanapun. Mengingat risiko

ini, penting bahwa orang dengan diabetes memeriksa kaki secara teratur.

2.7 Pengobatan Diabetes Melitus

Terapi pengobatan diabetes melitus dilakukan bertujuan untuk mengendalikan

kadar gula dalam darah sehingga penderita diabetes melitus tidak mengalami

gangguan berupa rasa sakit. Terapi pengobatan penyakit diabetes melitus juga

bertujuan untuk agar tidak terjadi komplikasi yaitu terjadinya kerusakan pada organ-

organ dalam tubuh. Pengobatan yang biasanya dilakukan adalah :

a. Pengaturan Diet

Penderita diabetes melitus mengutamakan prinsip pembatasan kalori

total. Penderita masih diperbolehkan mengkonsumsi karbohidrat terutama

yang memiliki serat, protein dalam jumlah terkendali, serta sedikit lemak.

Tubuh tetap memperoleh zat – zat gizi yang diperlukan tubuh, serta dapat

mengatur kadar gula darah agar tidak melonjak. Diet yang dilakukan oleh

penderita diabetes diutamakan untuk dapat mengendalikan kadar gula darah

agar berada pada kisaran normal yaitu antara 60 mg% - 130 mg%. Diusahakan

agar terdapat keselarasan antara pasokan glukosa dan insulin yang dihasilkan

dan diperoleh kadar glukosa maupun insulin yang mendekati kondisi pada

orang normal (Widharto.2007).

b. Olahraga

Penderita diabetes melitus dianjurkan melakukan latihan fisik atau

olahraga secara teratur setiap harinya selama lebih kurang 20 menit. Olahraga

24
dilakukan berupa olahraga ringan namun harus dilakukan secara rutin. Latihan

fisik dilakukan 1,5 jam sesudah makan. Melakukan latihan fisik secara teratur

dan berkesinambungan, diharapkan dapat menurunkan kadar glukosa darah

pada penderita diabetes melitus (Widharto.2007).

c. Obat Antidiabetik Oral

Obat antidiabetik oral (ADO) secara umum baru diberikan bila

pengaturan pola makan (diet), olahraga dan penurunan berat badan tidak

mampu menurunkan kadar gula yang tinggi.

a). Pemicu Sekresi Insulin

Pemicu sekresi insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara

stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi

sulfonilurea dan meglitinid

(a) Sulfonilurea

Sulfonilurea menstimulasi sel beta dari pulau langerhans, sehingga

sekresi insulin ditingkatkan. Kepekaan sel beta bagi kadar glukosa darah

diperbesar melalui pengaruh protein transport glukosa. Obat ini digunakan

sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes melitus,

terutama bila kadar glukosa darah tinggi dan terjadi gangguan sekresi

insulin. Mekanisme golongan obat ini dengan merangsang sel beta

pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan, sehingga bermanfaat

bagi pasien yang masih mampu mensekresi insulin. Pada dosis tinggi,

sulfonilurea menghambat degradasi insulin oleh hati. Senyawa

sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada penderita gangguan hati dan

25
ginjal. Obat golongan sulfonilurea yaitu glibenklamida, glipizida,

glikazida dan glikuidon. (Suherman,S. 2009)

1. Glibenklamid

Glibenklamid merupakan obat antidiabetes golongan sulfonilurea yang

mempunyai efek farmakologi seperti sulfonilurea pada umumnya.

Glibenklamid dimetabolisme dalam hati, 25% metabolit diekskresi

melalui ginjal, sebagian besar diekskresi melalui empedu dan dikeluarkan

bersama tinja. Glibenklamid efektif dengan pemberian dosis tunggal.

Mekanisme golongan obat ini, yaitu dengan dosis tunggal pagi hari

mampu menstimulir sekresi insulin pada setiap pemasukan glukosa

(sewaktu makan).Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih keluar dari

serum setelah 36 jam. (Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan.2005)

2. Glipzida

Glipzida mempunyai masa kerja yang lebih lama dibandingkan dengan

glibenklamid tetapi lebih pendek dari pada klorpropamid. Glipzida

absorpsinya lengkap, masa paruhnya 3-4 jam. Obat ini mempunyai efek

menekan produksi glukosa hati dan meningkatkan jumlah reseptor insulin.

Glipizida dimetabolisme dalam hati menjadi metabolit yang tidak aktif,

sekitar 10%diekskresikan melalui ginjal dalam keadaan utuh. (Dirjen Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan.2005)

3. Glikasida

26
Obat ini mempunyai efek hipoglikemik sedang dan jarang

menyebabkan efek hipoglikemik. Glikasida mempunyai efek anti agregasi

trombosit. Obat ini dapat diberikan pada penderita gangguan fungsi hati

dan ginjal yang ringan. (Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan.2005)

4. Glikuidon

Obat ini mempunyai efek hipoglikemik sedang dan jarang

menimbulkan efek hipoglikemik. Hampir seluruhnya diekskresi melalui

empedu dan usus, sehingga dapat diberikan pada penderita dengan

gangguan fungsi hati dan ginjal yang agak berat. (Dirjen Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan.2005)

(b) Meglitinid

Obat hipoglikemi koral golongan meglitinid merupakan obat

hipoglikemik generasi baru yang cara kerja mirip golongan sulfonilurea.

Kedua golongan senyawa hipoglikemik oral inibekerja meningkatkan

sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya senyawa

obat hipoglikemik golongan meglitinid dan turunan fenilalanin ini dipakai

dalam bentuk kombinasi dengan obat anti diabetik oral lainnya.

Pemberian oral, absorsinya cepat dan kadar puncak dapat dicapai dalam

waktu 1 jam dan masa paruh meglitinid 1 jam. Obat golongan meglitinid

yaitu repaglidin dan nateglinid. (Suherman,S.2009)

1. Repaglidin

Repaglidin merupakan turunan asam benzoat yang mempunyai efek

27
hipoglikemik ringan sampai sedang. Repaglidin diabsorpsi dengan cepat

setelah pemberian peroral dandiekskresi secara cepat melalui ginjal. Efek

samping adalah keluhan saluran cerna dan peningkatan berat badan.

(Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.2005)

2. Nateglinid

Nateglinid merupakan turunan fenilalanin dengan mekanisme kerja

yang mirip dengan repaglinid. Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah

pemberian peroral dan diekskresi terutama melalui ginjal. Efek samping

yang mungkin terjadi pada penggunaan obat ini adalah keluhan infeksi

saluran nafas atas. (Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.2005)

b). Penambah Sensitivitas Terhadap Insulin

Golongan penambah sensitivitas terhadap insulin meliputi biguanid

dan Tiazolidindion.

(a) Biguanid

Obat hipoglikemik oral golongan biguanid bekerja langsung pada hati

(hepar) dan menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa golongan

biguanid tidak merangsang sekresi insulin dan hampir tidak pernah

menyebabkan hipoglikemia. Senyawa biguanid yang dipakai sebagai obat

hipoglikemik oral saat ini adalah metformin. Efek samping yang sering

terjadi adalah muntah, kadang – kadang diare dan dapat menyebabkan

asidosis laktat. Biguanid tidak boleh diberikan pada penderita gangguan

28
fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, penyakit jantung dan wanita hamil.

Keadaan gawat sebaiknya tidak diberikan biguanid. Obat golongan ini

adalah metformin. (Suherman,S.2009)

1. Metformin

Metformin merupakan satu-satunya golongan biguanid yang masih

digunakan sebagai obat hipoglikemik oral. Metformin bekerja

menurunkan kadar glukosa darah dengan memperbaiki transport glukosa

kedalam sel - sel otot. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh

sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga

menghambat absopsi glukosa diusus sesudah asupan makanan. Obat ini

dapat menurunkan produksi glukosa hati dengan jalan mengurangi

glikogenolisis danglukoneogenesis. Metformin setelah diberikan secara

oral akan mencapai kadar puncak dalam darah setelah 2 jam dan

diekskresi lewat urin dengan waktu paruh 2-5 jam. (Dirjen Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan.2005)

(b). Tiazolidindion

Tiazolidindion adalah golongan obat yang mempunyai efek

farmakologis meningkatkan sensitivitas insulin dan dapat diberikan secara

oral. Tiazolidindion ini memperbaiki sensitivitas insulin dijaringan lemak,

otot kerangka, dan dalam hati. Mekanisme kerja obat ini adalah

meningkatkan sensitivitas adiposity bagi insulin, sehingga kapasitas

penimbunan bagi glukosa dan lipid diperbesar dengan kenaikan HDL. Obat

– obat ini misalnya Pioglizatan, seringkali ditambahkan pada metformin bila

29
efek antidiabetikum ini kurang memuaskan. (Suherman,S.2009)

1. Pioglitazon

Pioglitazon mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan

meningkatkan jumlah protein transporter glukosa dan dimetabolisme di hati.

Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien gagal jantung karena dapat

memperberat edema dan juga pada gangguan fungsi hati. Saat ini tidak

digunakansebagai obat tunggal. (Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan, 2005)

c) Penghambat Alfa Glukosidase

Senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat enzim alfa

glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim α-glukosidase

(maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk

menghidrolisis oligosakarida pada dinding usus halus. Senyawa inhibitor α-

glukosidase juga menghambat enzim α-amilase pankreas yang bekerja

menghidrolisis polisakarida didalam lumen usus halus. Obat ini

mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak

mempengaruhi kadar glukosa darah setelah makan. Obat inhibitor α-

glukosidase dapat diberikan sebagai obat tunggal atau dalam bentuk

kombinasi dengan obat hipoglikemik lainnya. Obat ini umumnya diberikan

dengan dosis awal 50 mg dan dinaikkan secara bertahap sampai 150 - 600

mg/hari. Efek samping obat ini adalah kadang diare yang akan berkurang

setelah pengobatan berlangsung lama. Obat dari golongan ini yaitu acarbose.

(Suherman,S.2009)

30
(a). Acarbose

Acarbose dapat diberikan dalam terapi kombinasi dengan sulfonilurea,

metformin atau insulin. Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja

enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan

penyerapan glukosa dan menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan

hiperglikimia postprandial. Obat ini bekerja dengan cara memperlambat

enzim yang berubah dari karbohidrat menjadi glukosa. Obat ini digunakan

untuk mengobati diabetes melitus tipe 2 (non insulin-dependent) (Dirjen Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan.2005)

d) Golongan incretin mimetic dan Inhibitor DPP-4

Pemberian glukosa secara oral akan didapatkan kenaikan kadar insulin

yang lebih besar daripada pemberian glukosa secara intravena. Perbedaan

respon insulin ini disebut efek inkretin yang berpengaruh pada produksi

Glucagon like peptide 1 (GLP-1). Terdapat dua hormon incretin utama pada

manusia, yaitu Glucagon-Like Peptide (GLP-1) dan Glucose-Dependent

Insulinotropic Peptide (GIP). Hormon inkretin, terutama Glucagon like

peptide 1 (GLP-1) adalah hormon polipeptida disintesis diusus yang

merangsang sekresi insulin sebagai respons terhadap asupan makanan.

Penghambatan enzim DPP-4 (Dipeptidyl Peptidase 4) diharapkan dapat

memperpanjang masa kerja GLP-1 sehingga membantu menurunkan

hiperglikemia. Terdapat 2 macam penghambat DPP-4 yang ada saat ini yaitu

sitagliptin dan vidagliptin. (Suherman, S.2009)

(a). Sitagliptin

31
Sitagliptin merupakan obat diabetes oral yang membantu mengontrol

kadar gulkosa dalam darah. Sitagliptin bekerja dengan cara mengatur kadar

insulin yang dihasilkan oleh tubuh setelah makan dan digunakan untuk

mengobati diabetes melitus tipe 2. Dosis 100 mg melalui oral sekali sehari.

(Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.2005)

(b). Vidagliptin

Vidagliptin adalah agen antihiperglikemik oral dari kelompok obat baru,

dikenal sebagai DPP-IV inhibitor dan berfungsi mengurangi kadar gula darah

dengan meningkatkan pengaruh inkretin. Dosis 50 mg peroral 1-2 kali sehari.

(Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.2005)

d. Insulin

Insulin adalah salah satu hormon yang diproduksi oleh pankreas yang

bertanggung jawab untuk mempertahankan kadar gula dalam darah tetap normal

dan mengatur jumlah atau kadar gula dalam darah. Hormon insulin berfungsi

menurunkan kadar gula dalam darah. Insulin mutlak diperlukan oleh penderita

diabetes melitus tipe 1 karena sel beta pankreas telah rusak sehingga tidak

mampu lagi memproduksi insulin yang diperlukan dalam penyerapan glukosa

dari darah kedalam sel. Penderita diabetes melitus tipe 1 tidak dianjurkan untuk

meminum obat - obatan antidiabetika oral. Penderita diabetes tipe 2, suntikan

insulin seringkali diperlukan bila obat antidiabetika oral sudah tidak

memberikan efek yang diinginkan atau menunjukkan resistensi. Kombinasi

sulfonilurea dengan insulin (satu injeksi sehari) semakin banyak

digunakan.Insulin tidak dapat digunakan peroral karena terurai oleh pepsin

32
lambung, sehingga selalu diberikan sebagai injeksi subkutan setengah jam

sebelum makan. (Subroto.2006).

2.8 Pankreas

Pankreas adalah suatu kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon peptida

insulin, glukagon dan somatostatin, dan suatu kelenjar eksokrin yang menghasilkan

enzim pencernaan. Hormon peptida disekresikan dari sel-sel yang berlokasi dalam

pulau-pulau Langerhans. Hormon-hormon ini memegang peranan penting dalam

pengaturan aktivitas metabolik tubuh, dan dengan demikian, membantu memelihara

homeostatis glukosa darah. Hiperinsulinemia (misalnya, disebabkan oleh suatu

insulinoma) dapat menyebabkan hipoglikemia berat. Umumnya, kekurangan insulin

relatif ataupun absolut (seperti pada diabetes melitus) dapat menyebabkan

hiperglikemia berat. Pemberian preparat insulin atau obat-obat hipoglikemik dapat

mencegah morbiditas dan mengurangi mortalitas yang berhubungan dengan DM.

(Venni Frida.2016). Bagian endokrin pankreas adalah pulau-pulau Langerhans,

terdiri dari satu atau dua pulau sel-sel tersebar diantara bagian eksokrin. Disekitar

pulau-pulau terdapat bantalan pembuluh darah kapiler. Setiap pulau terdiri dari

bermacam-macam jenis sel yang berbeda. Setiap sel mensekresi hormon pankreas

dengan metode pengecatan khusus imunocythochemical dikenal 4 jenis sel A, B, D

dan F (alfa, beta, delta, dan sel f) yaitu : sel A (sel alfa) yaitu sel yang menghasilkan

glukagon, jumlah sel lebih kecil dan terletak ditepi pulau langerhans. Fungsi

glukagon adalah memecah glikogen di hati. Sel B (sel beta) yaitu sel yang

menghasilkan hormon insulin, jumlah sel lebih banyak dan terletak di bagian tengah

33
pulau langerhans. Fungsi insulin adalah mempercepat transport glukosa ke dalam sel.

Sel D (sel delta) yaitu sel yang menghasilkan somastatin dan letaknya tersebar.

Fungsi somastatin adalah menghambat sekresi insulin dan glukagon. Sel F yaitu sel

yang menghasilkan polipeptida pankreas yang berfungsi menghambat sekresi

somastatin dan sekresi dari insulin, serta memperlambat penyerapan makanan.

(Arisandi, R.2004)

Saluran
Usus duabelas jari empedu dari
(Duodenum) hati

Darah

Kelenjar Ensokrin
Sel-sel acinar yang Pankreas (Pulau
Sel-sel saluran yang
mensekresi enzim PulauLangerhans
mensekresi larutan
pencernaan
NaHCO3

Gambar 2.6 Kelenjar Pankreas (Arisandi,R.2004)

2.9 Insulin, Glukagon, dan Somastatin

Insulin dan glukagon mengatur metabolisme karbohidrat dalam jaringan dan

mempertahankan kadar gula darah tetap optimal. Insulin, dengan cara memfasilitasi

transpor glukosa melintasi membran sel, meningkatkan tersedianya glukosa dalam sel

34
dan mendorong penggunaan glukosa. Insulin berfungsi sebagai hormon hipoglikemik,

penurun kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah biasanya meningkat setelah kita

makan. Glukagon meningkatkan penggunaan karbohidrat dengan memobilisasi dari

tempat penyimpanan (glikogen hati). Dalam keadaan ini glukagon berfungsi sebagai

hormon hiperglikemik yang meningkatkan kadar glukosa darah. Kadar glukosa

rendah sewaktu orang berpuasa.

Somastatin adalah hormon yang diproduksi oleh sel delta yang bertindak

sebagai hormon lokal pada jaringan hormon. Somastatin bekerja menghambat sekresi

insulin dan glukagon. Insulin dan glukagon saling mempengaruhi, glukagon

mendorong sekresi insulin sedangkan insulin sendiri cenderung menghambat sekresi

glukagon. (Venni Frida.2016).

3.0 Kerja Hormon Insulin

Glukosa yang masuk ke dalam sel otot rangka dan ke jaringan adiposa hanya

melalui pembawa di membran plasma yang dikenal sebagai glukosa transporter.

Glukosa transporter ini adalah glucose transporter 4 atau yang lebih dikenal dengan

istilah GLUT 4. Insulin meningkatkan mekanisme difusi terfasilitasi (dengan

perantara pembawa) glukosa ke dalam sel-sel tergantung insulin tersebut melalui

fenomena transporter recruitment. Pengangkut-pengangkut tersebut dimasukkan ke

dalam membran plasma sebagai respon terhadap peningkatan sekresi insulin,

sehingga terjadi peningkatan pengangkutan glukosa ke dalam sel. Apabila sekresi

insulin berkurang, GLUT 4 tersebut sebagian ditarik dari membran sel dan

35
dikembalikan ke simpanan intrasel. Akan tetapi pada beberapa jaringan masuknya

glukosa tidak tergantung pada insulin. (Eliasson L, dkk.2008).

Gambar 2.7 Sekresi Insulin(Fajans S Stefan et al. 2001)

Sekresi insulin dari sel β pankreas merupakan proses kompleks yang

melibatkan integrasi dan interaksi berbagai stimulus. Secara molekuler mekanisme

glukosa menginduksi sekresi insulin melalui beberapa tahapan yaitu, peningkatan

konsentrasi glukosa pada cairan ekstraseluler menyebabkan peningkatan kadar

glukosa di antara sel, glukosa masuk ke dalam sel pankreas melalui difusi yang

difasilitasi oleh GLUT 2 Glukosa transporter. Intraseluler glukosa dimetabolisme

membentuk adenosine triphosphate (ATP), menyebabkan terjadinya rasio ATP/ADP

(adenosine diphosphate) dan kadar glukosa intraseluler yang tinggi menyebabkan

36
depolarisasi membran sel serta menginduksi penutupan ATP-sensitive potassium

(KATP) channel pada permukaan sel, diikuti dengan terbentuknya cell-surface

Voltage Dependent Calcium Channels (VDCC), influx kalsium ke dalam sel β

pankreas, penambahan Cytosolic Calcium bebas memicu eksositosis insulin,

kemudian molekul insulin masuk ke dalam sirkulasi darah terikat dengan reseptor.

Ikatan insulin dan reseptornya membutuhkan GLUT 4 glukosa tranporter untuk dapat

masuk ke dalam sel otot dan jaringan lemak serta uptake glukosa dengan efisien yang

akhirnya menurunkan kadar glukosa plasma. (Eliasson L, dkk. 2008).

3.1 Glukosa Transport (GLUT)

Glukosa memasuki sel secara ATP independent oleh sarana protein transport

glukosa (GLUT) yang sedikitnya terdapat 12 subtipe telah teridentifikasi. Setiap

subtipe memiliki karakteristik yang berbeda untuk transport glukosa maksimal dan

ketergantungan insulin. Masing-masing subtipe memiliki jenis sel yang berbeda

untuk memanfaatkan glukosa sesuai dengan fungsi spesifiknya, misalnya sel-sel otak

yang memiliki GLUT 1 sebagai transport protein utama, glukosa darah bergerak pada

intrasel darah dengan konsentrasi rendah tanpa membutuhkan insulin.

Neuron ini membutuhkan glukosa sebagai energi utama intraseluler, meskipun

kadar glukosa darah rendah pada saat keadaan puasa. Pada sel-sel adiposa dan sel-sel

otot memiliki GLUT 4 sebagai transport protein glukosa terbesar yang setiap aksinya

membutuhkan insulin dan kadar glukosa lebih tinggi. Hal ini memungkinkan sel-sel

jaringan adiposa berfungsi untuk menyimpan kelebihan energi dan memungkinkan

glukosa untuk memasuki sel-sel dimana asam lemak dan sintesis gliserol dirangsang

37
dan lipolisis ditekan. Kadar glukosa dan insulin jatuh pada nilai-nilai puasa, glukosa

tidak lagi memasuki sel-sel sehingga lipolisis meningkat. Pada sel otot, transport

glukosa intraseluler memfasilitasi sintesis glikogen dalam keadaan makan.

phospoinositide 3-kinase (PI 3-kinase) tampaknya penting untuk translokasi GLUT 4

ke membran sel dalam sel otot dan adiposa. (Merentek, dkk. 2006).

Tabel 2.4 Klasifikasi Glukosa Transport (GLUT) (I Stuart Wood,dkk .2013)

Nama Benda di Berada


Jenis Sebelu Tempat Kerja Tingkat Karakter Dalam Dalam
mnya Sensitif Fungsional Otot Jaringan
Rangka Adiposa
GLUT1 - Eritrosit, otak, Tidak Glukosa Ya Ya
dan dimana-
mana
GLUT2 - Hati, pankreas, Tidak Glukosa (afinitas Tidak Tidak
ginjal dan usus rendah), fruktosa
GLUT 3 - Otak Tidak Glukosa (afinitas Tidak Ya
tinggi)
GLUT 4 - Jantung Ya Glukosa (afinitas Ya Ya
tinggi)
GLUT 5 - Usus, testis, dan Tidak Fruktosa, Flukosa Ya Ya
ginjal (afinitas sangat
lemah)
GLUT 6 GLUT Otak, limpa, Tidak Glukosa Tidak Tidak
9 leukosit terdetermi
nasi
GLUT 7 - Tidak Tidak Tidak Tidak Ya
terdeterminasi terdeterm terdeterminasi terdeterm
inasi inasi
GLUT 8 GLUT Testis, otak, dan Tidak Glukosa Ya Tidak
11 jaringan lainnya terdetermi
nasi
GLUT 9 GLUT Hati dan ginjal Tidak Tidak Tidak Tidak
10 terdeterm terdeterminasi terdetermi
inasi nasi
GLUT - Hati dan Tidak Glukosa Ya Tidak
10 pancreas
GLUT GLUT Jantung dan otot Tidak Glukosa (afinitas Ya Ya
11 10 rendah)

GLUT GLUT Jantung, prostat, Ya Tidak Ya Ya


12 8 otot, usus kecil, terdeterminasi
otak

38
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian


3.1.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen murni dimana dilakukan
pengujian aktivitas antidiabetes melalui parameter penurunan kadar
glukosa darah pada hewan uji.

3.1.2 Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Juni 2021.

3.1.3 Tempat Pengambilan Sampel


Bahan yang digunakan adalah buah asam jawa (Tamarindus indica L)

yang diperoleh dari seputaran Kota Palu.

3.1.4 Lokasi Penelitian


Pembuatan ekstrak dan fraksi buah asam jawa (Tamarindus indica L)

dilakukan di LaboratoriumFarmakognosi-Fitokimia Jurusan Studi Farmasi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako.

3.2 Populasi dan Sampel


3.2.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh tikus putih jantan galur wistar yang
berada pada satu area.

39
3.2.2 Sampel
a. Besar Sampel

Besar sampel ditentukan berdasarkan jumlah kelompok yakni 6 kelompok,

setiap kelompok terdiri dari 5 ekor tikus, sehingga besar sampel pada

penelitian ini sebanyak 30 ekor, kontrol normal 5 ekor, kontrol sakit

(negatif) 5 ekor, kontrol positif 5 ekor, kelompok perlakuan yaitu fraksi n

– heksan dosis 150 mg/kg BB 5 ekor, fraksii etil asetat dosis 150 mg/kg

BB 5 ekor, dan fraksi etanol – air dosis 150 mg/kg BB 5 ekor.

3.2.3 Kriteria Hewan Uji


Pengambilan sampel didasarkan pada kriteria inklusi dan eksklusi sebagai
berikut:
1) Kriteria Inklusi
a) Tikus putih jantan
b) Galur wistar
c) Berat badan 150 – 200 g
d) Usia 3 - 4 bulan
e). Tikus dalam keadaan sehat sebelum perlakuan, aktivitas dan
tingkah laku normal.
2) Kriteria Eksklusi
a) Tikus sakit (ciri-cirinya yaitu bulu berdiri, kurang aktif, dan mata
tidak jernih
b) Tikus yang berat badannya lebih ringan dari 150 gram dan lebih
berat dari 200 gram
c) Tikus mati

40
3.3 Alat Dan Bahan Penelitian
3.3.1 Alat
Ayakan nomor 40 mesh, batang pengaduk, bejana maserasi, blender

(Cyprus), botol minum hewan uji, Cawan porselin (pyrex), gelas kimia

100 ml, 1000 ml (Pyrex), gelas ukur 25 ml, 50 ml, 100 ml kaca (Pyrex),

gegep kayu, glukometer (Accu-Chek), glukotest strip test (Accu-Chek),

gunting, kain lap, kandang hewan uji, labu ukur (Pyrex), lumpang dan alu,

mortir dan stamper, Penangas air (Thermostatic Water Bath), pipet tetes,

rak tabung, rotavapor (Heidolph), sendok tanduk, sonde oral (one healt

med care), spoit injeksi 1 ml, 3 mL (One Med Health Care), Spoit oral 3

mL (One Med Health Care), tabung reaksi (Pyrex), timbangan gram (cook

master), Timbangan analitik (Ohaus) dan waterbath.

3.3.2 Bahan
Aqua Desilata (Aqua), Aqua Pro Injeksi (Otsuka), Asam klorida (Merck),

Besi (III) klorida (Merck), buah asam jawa, Citrate-buffer saline, Etanol

96%, Eter, Etil Asetat, Fecl3, handskun (sensi), kapas, Glibenklamid,

Serbuk magnesium (Merck), Natrium Carboxymethyle Cellulose 0,5%

(Bioworld), Natrium klorida (PT.Widatra Bhakti), N-heksan,

Streptozotocin 30 mg (Bioworld USA), Pereaksi Lieberman-Buncha,

Pereaksi Dragendorff, kertas saring.

41
3.3.3 Hewan Percobaan
Hewan percobaan dalam penelitian ini yaitu tikus putih jantan galur
wistar (Rattus norvegicus L).

3.4 Tahap Penelitian


3.4.1 Teknik Pengambilan dan Preparasi Sampel
Bahan baku yang telah diambil kemudian dikumpulkan kemudian di

sortasi basah untuk memisahkan bagian tanaman yang tidak di butuhkan

lalu dicuci dengan air mengalir sampai bersih kemudian dikupas kulit

buah asam jawa setelah itu pisahkan dengan bijinya kemudian di

keringkan dengan cara di oven pada suhu 550 selama 24 jam. Selanjutnya

dilakukan sortasi kering untuk memisahkan benda-benda asing yang

masuk pada saat pengeringan. Lalu simplisia di haluskan hingga menjadi

serbuk dengan cara di blender dan diayak dengan menggunakan pengayak

mesh no 40.

3.4.2 Tahap Ekstraksi


Pembuatan ekstrak etanol Buah Asam Jawa dilakukan menggunakan

metode maserasi yaitu Serbuk simplisia diekstraksi menggunakan pelarut

etanol 96%. Serbuk buah asam jawa yang telah diayak menggunakan

ayakan no. 40 mesh, ditimbang sebanyak 900 gram lalu di masukan ke

dalam bejana maserasi dengan menggunakan pelarut etanol sebanyak 6 L,

di tutup lalu di biarkan selama 3X24 jam terlindung dari cahaya. Bejana

yang digunakan adalah 3 bejana maserasi dengan masing-masing bejana

42
berisi 300 gram maserat, selanjutnya dipekatkan menggunakan Rotary

Vacum Evaporator pada suhu 60OC dan dilanjutkan dengan penguapan

menggunakan waterbath hingga menjadi ekstrak kental.

3.4.3 Pembuatan Fraksi – fraksi etanol

Ekstrak kental etanol 96% difraksinasi dengan n-heksan dan air (1:3)

dalam corong pisah dan dikocok secukupnya. Setelah itu dibiarkan sampai

terbentuk 2 lapisan yaitu lapisan n-heksan dan lapisan air. Perlakuan

dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan sehingga diperoleh fraksi n-

heksan. Lapisan air kemudian difraksinasi dengan etil asetat (3:1)

sebanyak 3 kali pengulangan seperti perlakuan diatas sehingga diperoleh

fraksi etanol - air dan fraksi etil asetat. Semua fraksi etanol - air, etil asetat

dan n-heksan diuapkan secara in vacuo (dalam keadaan hampa udara).

3.4.4 Uji Penapisan Fitokimia

Uji penapisan fitokimia dilakukan untuk mendeteksi komposisi kimia

tumbuhan berdasarkan golongannya. Digunakan sebagai informasi awal

untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang mempunyai aktfitas

biologi dari suatu tanaman. Uji ini merupakan suatu analisis kualitatif

kandungan kimia tanaman atau bagian tanaman yang meliputi uji

flavonoid, alkaloid, tanin dan saponin.

43
3.4.5 Uji Flavonoid

Ekstrak etanol buah asam jawa ditimbang sebanyak 1 gram lalu di

tambahkan 10 ml aquades dan dipanaskan di atas penangas air kemudian

disaring, selanjutnya dilarutkan dalam 1 ml etanol (96%) dengan

penambahan serbuk magnesium P, setelah dilarutkan dalam 10 ml asam

klorida pekat P, jika terbentuk warna kuning menunjukan adanya

Flavonoid.

3.4.6 Uji Tanin

Ekstrak etanol buah asam jawa ditimbang sebanyak 1 gram dimasukan

ke dalam cawan lalu ditabahkan dengan 20 ml air panas dan larutan nacl

10% sebanyak 3 tetes. Kemudian ditambahkan larutan FeCL3, bila

berbentuk warna biru hitam menunjukan adanya tanin .

3.4.7 Uji Saponin

Ekstrak etanol buah asam jawa ditimbang sebanyak 1 gram dimasukan

dalam tabung reaksi kemudian menambahkan 10 ml air panas. Setelah itu

di dinginkan lalu dikocok dengan kuat selama 10 detik. Jika terbentuk

buih yang menetap selama tidak kurang dari 1 menit setinggi 10 cm atau

pada penambahan 1 tets asam klorida 2N buih tidak hilang maka

menunjukan adanya saponin.

44
3.4.8 Uji Alkaloid

Ekstrak etanol buah asam jawa ditimbang sebanyak 1 gram lalu

dimasukkan kedalam 1 buah erlenmeyer, ditambahkan 5 ml kloroform

dan 5 ml amoiak. Selanjutnya dipanaskan diatas penangas air selama 2

menit dikocok dan disaring. Filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi,

lalu ditambahkan 5 tetes H2SO4 2N. Tabung yang berisi filtrat

ditambahkan pereaksi Dragendrof LP. Jika hasil memberikan endapan

merah-jingga maka sampel mengandung alkaloid.

3.5 Pembuatan Larutan Koloida Na CMC 0,5%

Natrium karboksimetil selulosa (Na CMC) ditimbang 0.5 gram lalu

masukan dalam lumpang yang berisi 10 ml aquades yang telah di panaskan,

didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh massa yang transparan, lalu di

aduk sampai homogen.larutan Na cmc dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml.

Volumenya dicukupkan dengan aquades hingga 100 ml.

3.6 Pembuatan Suspensi Glibenklamid

Glibenklamid diberikan dalam bentuk suspensi dengan Na CMC sesuai dosis

efek terapi pada manusia, yaitu 5 mg dikonversikan berdasarkan konversi

Laurence dan Bacharach, yaitu dosis untuk setiap 200 gram berat badan tikus

setara dengan 0,018 kali pada dosis manusia, sehingga dosis yang digunakan

adalah 0,09 mg/200 gram berat badan.

45
dosis x bobot badan mkasimal
Pembuatan larutan stok glibenklamid = 1
x volume maksimal
2

= 0,09 mg/200 g bobot tikus x 250 gram


2,5 mL
0,1125
= 2,5

= 0,045 mg/mL

Dibuat larutan stok untuk 50 mL = 0,045mg/mL x 50 = 2,25 mg/50 mL

Perhitungan pembuatan larutan stok menggunakan tablet glibenklamid

Ditimbang 10 tablet glibenklamid = 2,1 gram


2,1 gram
Bobot rata-rata 1 tablet = = 0,21 gram
10

2,25 mg
= x 0,21 gram = 0,0945 gram
5 mg

10 tablet glibenklamid digerus kemudian diambil dan ditimbang 0,0945 gram

lalu dicukupkan dengn Na CMC 0,5% hingga 50 mL.

3.7 Pembuatan Supensi Ekstrak Buah Asam Jawa

Ekstrak buah asam jawa ditimbang setiap hari untuk membuat suspensi uji

dengan masing-masing 0,3 gam (dosis 150mg/kg BB), 0,5 gram (dosis 250

mg/kg BB) dan 0,7 (dosis 350 mg/kg BB). Selanjutnya pada masing-masing

ekstrak ditambahkan Na CMC 0,5% dan dicukup volumenya dengan aquadest

hingga 25 ml kemudian dikocok hingga homogen.

3.8 Pembuatan Larutan Induksi Streptozotocin

Serbuk Streptozotocin dengan dosis 30 mg/kg BB di timbang sebanyak 0,24

46
gram lalu dilarutkan menggunakan citrate-buffered saline, ph 4,5 lalu di

induksi pada tikus melalui intraperitoneal (ip).

3.9 Pemeliharaan Hewan Uji

Penelitian ini menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar. Hewan

uji ini merupakan jenis tikus yang umum digunakan untuk penelitian. Tikus

yang dipilih yaitu tikus jantan karena kondisi biologisnya lebih stabil

dibandingkan dengan tikus betina dan tidak dipengaruhi oleh adanya siklus

estrusserta tikus jantan juga mempunyai kecapatan metabolisme obat yang lebih

cepat. Untuk menjaga keragaman bobot antara hewan uji, maka hewan yang

digunakan harus mempunyai keseragaman bobot yaitu memiliki berat badan

antara 200-250 gram, umur ±3 bulan. Tikus diadaptasikan di labarotorium

penelitian Farmasi Universitas Tadulako selama 2 minggu untuk menyesuaikan

pola hidup dan mencegah terjadinya stress pada saat perlakuan. Sebelum

pengambilan darah hewan uji dipuasakan selama 16 jam dengan hanya diberi

minum. Tujuan dipuasakan agar kondisi hewan uji sama dan mengurangi

pengaruh makanan yang dikonsumsi terhadap absorpsi ekstrak yang diberikan.

3.10 Perlakuan Hewan Uji

Sebanyak 30 ekor tikus putih jantan dibagi menjadi 6 kelompok dan

diadaptasikan selama 2 minggu di laboratorium dan diberi pakan standar. Pada

hari ke-14 tikus dipuasakan selama 16 jam, kemudian dilakukan pengukuran

kadar glukosa darah awal. Setelah diukur kadar glukosa darah awal, pada hari

47
yang sama, tikus diinduksi dengan streptozotocin 40 mg/kg BB secara

intraperitoneal.Hari ketujuh setelah penginduksian, tikus dipuasakan selama 16

jam kemudian mengukur kembali kadar glukosa darah tikus sesudah

penginduksian. Setelah kadar glukosa darah puasa tikus telah mencapai

keadaan hiperglikemia (> 200 mg/dL), diberikan perlakuan peroral selama 14

hari.

Kelompok 1 : Tidak diberikan induksi Streptozotocin sebagai kontrol


normal/sehat
Kelompok 2: Diberikan suspensi Na CMC 0,5% sebagai kontrol negatif
( - )/sakit
Kelompok 3 : Diberikan suspensi glibenklamid sebagai kontrol positif (+)

Kelompok 4 : Diberikan fraksi n- Heksan ekstrak buah asam jawa dengan


dosis masing – masing 150 mg/kg BB.
Kelompok 5 : Diberikan fraksi etil asetat ekstrak buah asam jawa dengan
dosis masing – masing 150 mg/kg BB.
Kelompok 6 : Diberikan fraksi etanol - air ekstrak buah asam jawa dengan
dosis masing – masing 150 mg/kg BB.
Pada hari ke 14, 21 dan hari ke 28, tikus dipuasakan selama 16 jam kemudian

kadar glukosa darah tikus diukur kembali. Data p e n g u k u r a n kadarglukosa

darah sebelum dan setelah perlakuan yang diperoleh dicatat dan dianalisis.

3.11 Penentuan Kadar Glukosa Darah

Masing-masing tikus diambil sampel darah dari vena ekor dan diukur kadar

glukosa darahnya dengan menggunakan glukometer untuk memastikan semua

tikus memiliki kadar glukosa darah normal sebelum diberi perlakuan.

48
Kadar glukosa darah puasa normal pada tikus dalam rentang antara 50-135

mg/dl. Sebelum digunakan, glukometer dihidupkan dan stik glukosa

dimasukkan ke dalam glukometer. Darah diambil melalui ujung ekor tikus yang

sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian diurut perlahan-lahan

selanjutnya ujung ekor dipotong menggunakan gunting bedah. Darah yang

keluar kemudian diteteskan pada stik glukometer, dalam waktu 10 detik kadar

glukosa darah akan terukur secara otomatis dan hasilnya dapat dibaca pada

monitor glukometer. Mekanisme kerja alat glukometer ini yaitu bekerja secara

enzimatik melibatkan reaksi glukosa oksidase dimana reaksi ini menghasilkan

intensitas warna yang akan dideteksi oleh alat ini. Metode penggunaan alat ini

sangat sederhana, sensitif dan spesifik untuk pengujian glukosa darah.

3.12 Analisis Data

Data yang diperoleh berupa selisih penurunan kadar glukosa darah dianalisis

secara statistik menggunakan uji one way ANOVA, pada tingkat kepercayaan

95% dan untuk melihat perbedaan yang bermakna antar perlakuan digunakan uji

lanjut Post hoc Duncan menggunakan program SPSS 23.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Arisandi, R. 2004. Anatomi dan Fisiologi Pankreas. Bogor. Institut Pertanian


Bogor. Hal 73.

2. Ayunda, R., Andrie, M. and Taurina, W. (2014) ‘Uji aktivitas jamu gendong
kunyit asam (Curcuma domestica L.) sebagai antidiabetes pada tikus yang
diinduksi streptozotocin’, Traditional medicine Journal, 19(2), pp. 1–19

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS. Kementrian
Kesehatan RI. Jakarta. Hal 88

4. Badan Pengawasan Obat Dan Makanan. (2010) ‘Acuan Sediaan Herbal’, 5(1),
pp. 3-7.

5. Bhardorya (2014) ‘Tamarindus Indica Extent of Explored


Potential’,Pharmaceutical Science and Technology, 5(1).

6. Dirjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan. (2005). Pharmaceutical Care


Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.Hal 18.

7. Eliasson L, Abdulkader F, Braun M, Galvanovskis J, Hoppa MB, Rorsman P.


2008. Novel aspects of the moleculer mechanism controling insulin secretion.
Journal Physiol. Vol.586 No 14. Hal 24.

8. Fahri C., Sutarno S. dan Listyawati S. 2005. Kadar Glukosa dan Kolestrol total
Darah Tikus Putih (Rattus Norvegicus)HiperglikemikSetelah Pemberian
Ekstrak Metanol Akar Meniran (phyllanthus niruri L).Jurnal Biofarmasi.
Jurusan Biologi FMIPA.,Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Hal1

9. Fajans, S. Stefan., Bell. I Grame and Polonsky, S. Kenneth. 2001. Moleculer


mechanism and clinical pathophysiology of maturity-onset diabetes of the
young. The new England journal of medicine. England. Hal:132

10. Goeswin, A. (2007). Teknologi Bahan Alam, Cetakan 1. Penerbit ITB.


Bandung. Hal. 21.

11. Haning Dian Saputri. (2019). Uji Efek Ekstrak Etanol Buah Asam Jawa
(Tamarindus indica L) Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Jantan
(Rattus norvegicus) Yang Diinduksi Streptozotocin Dan Pakan Tinggi Lemak.
STIFA PM Palu.

50
12. Harahap, F. H. (2014) ‘Efek pemberian ekstrak nigella sativa terhadap kadar
glukosa darah dan kolesterol pada tikus diabetes mellitus yang diinduksi dengan
streptozocin’, Journal of Pharmacology and Pharmacotherapeutics, 2(1), pp.
18–32

13. Herminia, D. G. L. (2011) ‘Tanaman Obat Penyembuh Ajaib’, Indonesia Publik


House. (979-504-014-6).

14. I.Stuart Wood, Paul Trayhun. 2013. Glucose Transpoters (GLUT and SGLT):
Expanded families of British Journal of Nutrition. Hal 67.

15. Internasional Diabetes Federation. 2015. IDF Diabetes Atlas. Edisi 7.


www.idf.org/diabetesatlas. Hal 14

16. Istiqomah. 2013. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi Dan Sokletasi


Terhadap Kadar Piperin Buah Cabe Jawa (Piperis retrofracti fructus). Skripsi
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Hal 2-3

17. Jindal, V. et al. (2011) ‘Hypolipidemic and weight reducing activity of the
ethanolic extract of Tamarindus indica fruit pulp in cafeteria diet- and
sulpiride-induced obese rats’, Journal of Pharmacology and
Pharmacotherapeutics, 2(4S), pp. 80–84.

18. Kurniawan, B., Carolia, N. and Pheilia, A. (2014) ‘The effectiveness of


Binahong leaf extract (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) and mefenamic acid
as anti inflamation to white male rat induced by karagenin’, Juke, 4(8), pp.
151–157.

19. Merentek, Enriko.2006. Resistensi Insulin Pada Diabetes Tipe 2. Cermin Dunia
Kedokteran. Hal 78.

20. Nugroho, A.E. (2006). Hewan percobaan Diabetes Mellitus: Patologi dan
Mekanisme Aksi Diabetogenik. Biodiversitas. Okt; 7(4): Hal 378-382.

21. Nursetiani, A. and Herdiana, Y. (2018) ‘Potensi Biji Klabet (Trigonella


Foenum-Graecum L.) Sebagai Alternatif Pengobatan Herbal : Review Jurnal’,
Farmaka, 4(2), pp. 475–484.
22. Perkeni (2015) Kriteria Diagnostik DM Tipe 2, Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.(978-979-19388-6-0), pp. 6,
7, 39-46.

23. PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus


Tipe 2 Di Indonesia. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Hal 1-63

51
24. Pranowo, D. et al. (2016) ‘Optimasi Ekstraksi Flavonoid Total Daun Gedi
(Abelmoschus Manihot L.) Dan Uji Aktivitas Antioksidan’, Buletin Penelitian
Tanaman Rempah Dan Obat, 27(1), pp. 37.

25. Prapti,U dan Tim Lentera. 2003. Tanaman Obat Untuk Mengatasi Diabetes
Mellitus. Penerbit PT.Agromedia Pustaka, Hal 1-13

26. Redha, A. (2010) ‘Flavonoid: Struktur, Sifat Antioksidatif dan Peranannya


Dalam Sistem Biologis’, Jurnal Berlin, 9(2),

27. Robinson, T. (2011) Kandungan Organik tumbuhan tinggi, ITB, pp. 347-369.

28. Sari,R. (2013). Diabetes Mellitus. Yoyakarta : Nuha Medika.

29. Sri Irianty, R. and Yenti, S. R. (2014) ‘Pengaruh Perbandingan Pelarut Etanol-
Air Terhadap Kadar Tanin Pada Sokletasi Daun Gambir (Uncaria gambir
Roxb)’, Sagu, 13(1), pp. 1–7

30. Subroto. (2006). Ramuan herbal untuk diabetes mellitus. Penebar Swadaya.
Jakarta. Hal 5, 15.

31. Suherman, S. (2009). Farmakologi dan Terapi edisi V. Fakultas Kedokteran.


UI.Hal 485,489,894.

32. Venni Frida Yustin D. (2016). Uji Aktivitas Fraksi Daun Semak Bunga Putih
(Chromolaena odorata(L.) R.M. King& H.Rob Terhadap Penurunan Kadar
Glukosa Tikus Putih Jantan Hiperkolesterolemia (Rattus norvegicus) yang
Diinduksi Streptozotocin. STIFA PM Palu.

33. Widharto. (2007). Kencing Manis (DIABETES). PT. Sunda Kelapa Pustaka
Jakarta. Hal 2, 3, 5, 8, 13, 19-20, 28.

34. World Health Organization (WHO). 2013. Type 2 diabetes practical targets
and treatments. International Diabetes Federation. Hal : 8

35. Yuka. (2011). Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Obat
Tradisonal Pada Penderita DM Di Wilayah Kerja Puskesmas Buleleng
Kecamatan Buleleng. Diperoleh pada 23 Januari 2015. http: www.pdf.jurnal
kesehatan. com987-vol.1234.

52

Anda mungkin juga menyukai