PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tahun 1996 dan 1997 merupakan awal dari masa kelam Suku Dayak di
Indonesia. Pasalnya pada tahun-tahun ini, Suku Dayak berkonflik dengan Suku
Madura dan mengakibatkan korban meninggal sebanyak 600 jiwa (Rinaldo, 2019).
Konflik yang diharapkan tidak lagi terjadi, justru kembali terulang pada tahun 2001
dari segi jumlah korban jiwa, material, dan sistem sosial masyarakat yang sudah
Mengutip dari Tirto.id, berdasarkan data versi Garry van Klinken penulis buku
korban meninggal dalam konflik ini berkisar antara 500-1500 jiwa (sebagian besar
Suku Madura) dan berdasarkan data dari Ditintel Polda Kalteng, kerugian fisik
setelah terjadinya perang ini adalah 1192 rumah dibakar, 16 mobil dirusak, 43
motor dirusak, dan 114 becak dirusak (Firdausi, 2018). Berdasarkan Liputan6.com,
selain korban meninggal dan kerugian fisik, sekitar 33 ribu penduduk berlindung di
tempat penampungan dan lebih dari 23.800 warga pendatang diungsikan keluar
2019).
Keberagaman (2016: 213), konflik merupakan sebuah fenomena yang akan selalu
1
terjadi dalam setiap hubungan sosial manusia. Konflik melibatkan persepsi budaya
Konflik Suku Dayak dan Madura pada tahun 2001, meninggalkan trauma yang
cukup besar. Hingga saat ini terdapat stereotip bahwa Suku Dayak merupakan suku
yang mistis, kejam, dan masih menggunakan ilmu hitam. Peneliti sendiri sebagai
salah satu anggota dari Etnis Dayak, sering mendapatkan berbagai pertanyaan
negatif mengenai Suku Dayak. Salah satunya pada bulan November 2018 lalu, saat
peneliti hendak mencari kost baru, peneliti mendapat pertanyaan dari pemilik jasa
pencari kost yang peneliti gunakan. Ia bertanya apakah perempuan Dayak benar-
benar sering menggunakan santet atau ilmu hitam untuk membalaskan dendam.
Pemilik jasa pencari kost tersebut memasang raut wajah yang serius dan tegang,
serta terlihat sangat berhati-hati dalam menjaga omongan. Hal ini menunjukkan
bahwa sang pemilik jasa pencari kost tersebut memiliki suatu ketakutan yang
disebabkan oleh stereotip negatif atau pemikiran negatif akan Suku Dayak yang Ia
melakukan penelitian.
apakah Suku Dayak benar memotong dan memakan daging manusia dan apakah
2
Tabel 1. Pertanyaan yang diterima 10 mahasiswa Suku Dayak oleh Suku non-Dayak
4 Gabriella Gabby “Teman sama mamaknya bilang orang Dayak seram, bisa
kayak nyantet gitu. Masih kental adatnya. Jago guna-guna
gitu”
5 Dwi Hendro Pranowo “Ditanya orang sini, ditanya segala masih tinggal di hutan
ndak, masih suka guna-guna ndak”
6 Angelina Dayakng “Cumaa ditanya, benar ke orang Kalimantan tuh suka
Uthari Pamane motong sama makan orang? Rata-rata gitu sih nanya nya”
7 Clara Suwastika “Waktu awal kuliah, ditanya sama teman kuliah, kalian
masih nda potong atau makan orang gitu”
8 Thomas Jacky “Pernah sama teman kuliah dulu, Dayak tu makan orang
kah? Berburu manusia?”
9 Shantana Wira Putra “Pernah waktu awal semester kalau nda salah, ditanya
orang Dayak makan orang kah”
10 Dyas Shangie “Udah lama, ditanya kawan yang Jawa lah. Dayak seram
mereka tau. Cumaa nanya, masih sampe sekarang ada
yang makan manusia?”
11 Robert Advento “Pernah lah. Ditanya orang Dayak tu main santet ndak,
Beding makan orang segala”
ditanyakan apakah Suku Dayak benar bermain santet, 2 orang ditanyakan apakah
Suku Dayak benar memotong manusia dan 1 orang ditanyakan apakah benar Suku
3
Berdasarkan wawancara ini, pertanyaan dan pernyataan yang dilontarkan
kepada 11 narasumber oleh lawan bicara mereka berasal dari konsumsi media
online seperti portal berita dan media sosial youtube, juga dari hasil bicara satu
orang ke orang lainnya mengenai perang Sampit. Meskipun demikian, tidak ada
Dari kesimpulan pra penelitian ini, kalimat ‘memotong, berburu, dan memakan
daging manusia’ merupakan kalimat negatif yang memberi kesan bahwa Suku
Dayak merupakan suku yang kejam, sadis, dan juga seram. Sedangkan kalimat
‘masih bermain santet’ menunjukkan bahwa Suku Dayak merupakan suku yang
penuh mistis dan ilmu hitam. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapatnya
Yogyakarta), sehingga stereotip terhadap suatu suku dan budaya dapat berkembang
besar kota dengan tingkat toleransi rendah. Kasus intoleransi mulai diketahui publik
sejak tahun 2000. Tercatat dari tahun 2000-2016, terdapat 71 kasus intoleransi di
Kota Yogyakarta. Namun sejak tahun 2017, kasus intoleransi tersebut perlahan
mulai menurun. Tahun 2017 terdapat 9 kasus, 2018 terdapat 6 kasus, dan tahun
salib makam di Kota Gede, penyerangan di Gereja St. Lidwina Bedog, penolakan
kegiatan bakti sosial Paroki Gereja Sto. Paulus, penolakan camat non-muslim di
4
Berdasarkan kelima kasus tersebut, terlihat bahwa dalam kehidupan beragama
pun tidak terlepas dari stereotyping. Seperti misalkan yang terjadi pada penolakan
bakti sosial oleh Paroki Gereja Sto. Paulus yang menduga kegiatan tersebut
beragama pun tidak terlepas dari stereotyping, maka peneliti terarik untuk
Stereotip merupakan istilah yang berasal dari gabungan dua kata dan bahasa
berbeda, yaitu stereos (dalam bahasa Yunani berarti tetap, padat, permanen) dan
typus (dalam bahasa Latin berarti kesan). Dari dua kata tersebut, kemudian stereotip
dimaknai sebagai sebuah kesan (terhadap suatu kelompok) yang bersifat tetap.
Dengan menilai orang lain dengan pandangan sendiri, stereotip dapat menimbulkan
berbagai perilaku intoleran (Priandono, 2016: 200). Stereotip menjadi akar dari
kesalahpahaman, ketegangan, dan konflik sosial seperti yang terjadi pada perang
komunikasi tidak dapat dipisahkan. Tidak hanya untuk menentukan siapa yang
budaya dan komunikasi juga turut menyandikan dan memaknai pesan. Budaya
menyampaikan sesuatu hal yang perlu untuk dimaknai dengan komunikasi. Oleh
karena itu komunikasi dan budaya harus dipelajari secara bersamaan (Priandono,
2016: 55).
dengan 31 kelompok suku bangsa (BPS, 2010: 5). Banyaknya suku dan kelompok
5
suku bangsa ini, kemudian mengharuskan masyarakat Indonesia untuk dapat hidup
berdampingan dengan baik antara satu kelompok suku dengan kelompok suku lain.
Hubungan individu atau kelompok dari lingkungan kebudayaan berbeda akan turut
sikap, norma dan adat istiadat dalam suatu kelompok masyarakat tertentu akan
mudah ditemui dan menjadi kendala dalam proses komunikasi yang dapat
sangat perlu dilakukan sebagai salah satu cara untuk mencapai komunikasi yang
efektif. Agar komunikasi berjalan dengan efektif, maka diperlukan adanya sebuah
khususnya untuk Suku Dayak, membuat peneliti tertarik untuk meneliti dan
mengkaji komunikasi antarbudaya. Dalam hal ini peneliti akan meneliti akomodasi
komunikasi Suku non-Dayak dan Dayak Orang Muda Katolik (OMK) Don Bosco
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu Provinsi yang pada
tahun 1946-1949 pernah menjadi ibukota Republik Indonesia. Oleh karena menjadi
ibukota negara ini, Yogyakarta kemudian banyak menerima pelajar dari seluruh
6
menjadikan Yogyakarta sebagai ‘Kota Pelajar’ (Bernas.id, 2018). Tidak sulit untuk
organisasi merupakan hal yang penting. Kelompok dan organisasi dapat membantu
para perantau untuk merasa nyaman. Jenis kelompok pun bervariasi, ada kelompok
berbudaya, agama merupakan salah satu komponen yang selalu dikaitkan dengan
budaya dan tradisi merupakan wadah atau alat bagi agama untuk menyampaikan
ajaran-ajaran pencipta kepada umatnya (Syafirdi, 2018). Dengan kata lain, agama
Dalam ajarannya, tidak ada agama yang tidak mengajarkan kebaikan. Kepala
konflik dan kekerasan tidak dibenarkan oleh agama, karena semua agama
kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam (Putra, B.
K., 2018). Oleh karena itu, untuk mencapai sebuah kerukunan antar suku, budaya,
mengajarkan tentang kebaikan dan toleransi, tidak dapat dipungkiri bahwa kasus
7
Berdasarkan hal ini alasan mengapa peneliti tertarik untuk meneliti OMK Don
Bosco sebagai objek penelitian ini, karena meskipun banyak kasus intoleransi yang
disebabkan oleh agama dan umat beragama, kelompok agama ini masih
beragama dan berbudaya. Hal ini terlihat dari visi misi mereka yang diwujudkan
Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Babarsari merupakan salah satu kelompok
agama multikultural di Kota Yogyakarta yang memiliki sifat toleransi tinggi. OMK
ini tergolong baru karena dibentuk pada tahun 2010. OMK Don Bosco merupakan
Yogyakarta. Selain OMK Paroki Don Bosco, Gereja Assumpta juga memiliki OMK
lingkungan bernama Santo Yusuf. Yang menjadi pembeda antara OMK Don Bosco
dan Santo Yusuf adalah OMK Don Bosco memiliki anggota yang lebih plural.
Berbagai jenis suku, budaya, dan ras seperti Suku Dayak, Batak, Jawa, mahasiswa
NTT, Lampung, Bangka, dan Jakarta dapat dengan mudah ditemui di OMK ini.
Berbeda dengan OMK Santo Yusuf yang hanya didominasi oleh suku-suku timur
(Chatarina, 2019).
Penelitian yang akan berfokus pada akomodasi komunikasi antara suku non-
Dayak dan Dayak ini, akan dilakukan di OMK Don Bosco Paroki Babarsari. Selain
karena merupakan komunitas agama yang sangat plural karena didukung oleh
45, UPN Veteran, dan lain sebagainya, OMK ini juga merupakan komunitas yang
8
toleransi terhadap suku dan agama lain. Hal ini dinyatakan oleh Yuni Indra
Chatarina, mantan pengurus OMK Don Bosco, yang mengatakan bahwa setiap
tahunnya OMK ini akan selalu melaksanakan pagelaran budaya dengan tidak
membatasi kebudayaan dan agama apapun. Dalam kepanitiaan pun tidak tertutup
pada agama Katolik saja, tetapi semua agama diperbolehkan untuk ikut menjadi
panitia. Selain untuk menjaga kelestarian suku budaya, pegelaran ini dilakukan
2019).
Berdasarkan stereotip tentang Suku Dayak yang masih dengan mudah ditemui
di ‘Kota Pelajar’ Yogyakarta dan komunitas agama yang sangat plural yaitu OMK
Don Bosco Paroki Babarsari, maka peneliti hendak melihat akomodasi komunikasi
apa saja yang dilakukan oleh suku non-Dayak dan Dayak untuk mengatasi stereotip
Etnis Dayak yang masih berkembang, sehingga OMK ini dapat berjalan dengan
baik dan tetap mempertahankan kepluralitasan serta sifat toleransi mereka. Oleh
karena itu, judul dari penelitian ini adalah Akomodasi Komunikasi Suku non-Dayak
dan Dayak OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta dalam Menghadapi
antara kebudayaan berbeda. Seperti Maria Ulpa (2014) dengan judul penelitian
9
terhadap lingkungan baru dalam mengomunikasikan identitas budayanya dan apa
mahasiswa Thailand, selain akomodasi dan adaptasi, teori yang digunakan adalah
teori gegar budaya atau culture shock. Teori ini yang menjadi pembeda antara
penelitian Maria Ulpa dan peneliti. Penelitian ini sampai pada kesimpulan di mana
Selanjutnya, ada penelitian dari Fransisca Cindy (2013) yang berjudul Proses
akomodasi antar Etnis Cina dan Jawa dalam kehidupan organisasi. Penelitian yang
menggunakan metode studi kasus ini memiliki kesimpulan bahwa dalam suatu
nyaman terhadap pihak lain. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Fansisca
yang berjudul Proses dan Dinamika Komunikasi dalam Menghadapi Culture Shock
menggunakan metode studi kasus. Meskipun dalam penelitian ini subjek yang
10
di luar organisasi dengan berbagai etnis, namun peneliti tetap menjadikan penelitian
ini sebagai salah satu acuan karena kesamaan subjek dari berbagai etnis dan metode
penelitian. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat tiga hal yang
motivasi.
Pemain Indonesia dalam Game Online Battle of Immortals). Tidak seperti ketiga
yang memiliki latar belakang budaya berbeda. Seperti yang tertera dalam judul,
penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus, sedangkan teori yang
(CMC). Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat beberapa stereotip terhadap
pemain game online Indonesia, yaitu miskin, rusuh, cheater, dan perusak. Untuk
mengatasi hal ini, narasumber yang diteliti melakukan strategi konvergensi dan
divergensi. Strategi konvergensi yaitu dengan meniru perilaku pemain luar negeri
dan mengikuti guild agar diterima, sedangkan divergensi adalah dengan tidak
mereka berbeda kelas dan menganggap hinaan tersebut sebagai hal yang tidak
11
Keempat penelitian tersebut sama-sama menggunakan teori akomodasi
strategi adaptasi apa saja yang digunakan oleh masing-masing subjek dalam
adalah pemilihan subjek, dan fokus penelitian. Dari keempat penelitian tersebut,
pemain game online Battle of Immortal yang berbeda daerah. Sedangkan subjek
stereotip Suku Dayak yang masih berkembang hingga saat ini. Pemilihan subjek
dan objek dalam penelitian terbilang unik karena hingga saat ini peneliti belum
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
12
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui akomodasi komunikasi apa saja
yang digunakan oleh Suku non-Dayak dan Dayak OMK Don Bosco Paroki
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
teori akomodasi. Selain itu diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu acuan
bagi peneliti selanjutnya yang juga akan meneliti komunitas agama yang bersifat
plural.
2. Manfaat Praktis
adaptasi dari berbagai latar belakang suku budaya terhadap Suku Dayak dan
E. Kerangka Teori
1. Komunikasi Antarbudaya
apa saja yang terjadi ketika orang-orang berbeda budaya berinteraksi dan kemudian
13
komunikasi lintas budaya merupakan komunikasi yang terjadi antara dua
kebudayaan berbeda, namun lebih fokus pada aspek kesamaan dan perbedaan
antarbudaya.
suku bangsa, etnik dan ras, atau kelas sosial. Sedangkan menurut Hood, komunikasi
dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan (Liliweri, 2003: 9-
11).
“A” dan komunikan sebagai huruf “B”, lahir sebuah kebudayaan baru atau yang
ditandai sebagai huruf “C”. Kebudayaan ini merupakan hasil dari strategi
14
komunikasi yang dilakukan oleh kedua pribadi dan secara psikologis
adaptif ini merupakan hasil dari penyesuaian diri “A” dan “B” yang menyebabkan
Strategi adaptif
C
Komunikasi
akomodatif efektif
Kebudayaan
Kebudayaan
Kepribadian
Percakapan
A B Kepribadian
Persepsi
terhadap Persepsi
Menerima
relasi terhadap
antarpribadi relasi
perbedaan
antarpribadi
a. Ketidakpastian
b. Kecemasan
kombinasi dari beberapa aspek. Oleh karena sifat kompleks ini, maka komunikasi
2003: 15-17)
15
terkandung dalam perbedaan itu umumnya mengimplikasikan bahwa hambatan
antarbudaya. Isi (content) dan makna (meaning) merupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan ketika membentuk relasi. Dengan kata lain, relasi antar manusia
Gudykunst dan Kim (dalam Liliweri, 2003: 19), menyatakan bahwa orang-orang
yang tidak dikenal akan berusaha mengurangi ketidakpastian melalui tiga tahap
interaksi, yaitu:
komunikasi);
16
2. Initial contact and impression, atau tanggapan lanjutan yang muncul dari
3. Closure, di mana seseorang akan mulai membuka diri melalui atribusi dan
motivasi atau suatu tindakan. Selain itu, dapat pula dengan mengembangkan
implisit. Misalkan jika seseorang memiliki kesan sifat yang baik, maka
Dalam uraian tentang kebudayaan, terdapat dua hal, pertama, terdapat sebuah
komunikan. Perbedaan persepsi ini bisa muncul karena terdapat pola pikir, norma
17
budaya, dan sistem budaya yang berbeda antara narasumber. Asumsi b berkaitan
dengan kedekatan relasi yang dimiliki oleh antar narasumber. Semakin dekat relasi
antar narasumber, maka akan turut mempengaruhi isi dan makna dari sebuah pesan.
berkaitan dengan komunikasi antarpribadi dari anggota OMK Don Bosco dalam
melakukan akomodasi satu sama lain. Asumsi d dan f berkaitan dengan tujuan dari
penelitian ini, di mana akomodasi komunikasi digunakan agar setiap anggota OMK
tidak memiliki rasa ‘tidak nyaman’ karena takut tidak diterima dan lain sebagainya.
satunya adalah stereotip. Stereotip merupakan istilah yang berasal dari gabungan
dua kata dan bahasa berbeda, yaitu stereos (dalam bahasa Yunani berarti tetap,
padat, permanen) dan typus (dalam bahasa Latin berarti kesan). Dari dua kata
tersebut, kemudian stereotip dimaknai sebagai sebuah kesan yang bersifat tetap.
buruk karena dapat membantu manusia untuk dapat menentukan respon terbaik
Menurut Operario dan Fiske dalam Priandono (2016: 201), stereotip memiliki
tiga prinsip dasar, yaitu stereotip berisi kepercayaan bersifat positif dan negatif
18
memiliki persepsi negatif serta melakukan hal ekstrim, dan stereotip mengelola
dalam pembentukan stereotip, yaitu keluarga, media massa, dan agama. Dalam hal
ini keluarga menjadi faktor utama dalam pembentukan stereotip. Hal ini
ketika hidup. Apapun yang menjadi pandangan orangtua saat itu, akan menjadi
Media massa, secara tidak langsung kita akan mempelajari stereotip tentang
suatu ras, agama, budaya, atau suatu kelompok tertentu melalui berbagai macam
rangkaian acara yang ditampilkan, baik itu melalui sinetron, drama, film, atau pun
berita. Pertanyaan ini sejalan dengan Appiah (dalam Priandono 2016: 203) yang
terhadap kelompok tersebut terbatas. Media massa akan menggiring opini dan juga
mengonstruksi pikiran khalayak untuk dapat berpikir tentang suatu kelompok atau
kebudayaan sesuai dengan yang mereka pahami. Sedangkan dalam konteks agama,
dengan turut mendengar pernyataan bahwa “pengikut agama lain adalah murtad”,
maka seseorang akan turut berpikir demikian sesuai dengan apa yang diajarkan
19
1. Stereotip sebagai filter, di mana seseorang hanya akan menyerap informasi
4. Stereotip tahan terhadap perubahan, dengan kata lain akan sangat sulit untuk
Stereotip, etnosentrisme, dan rasisme tidak terlepas dari sikap prasangka. Myers
bentuk perasaan yang lebih kuat, selalu mengacu ke arah negatif dan kepada suatu
menjadi fanatik. Disitulah kemudian tindakan diskriminasi dan rasis akan muncul
2. Teori Akomodasi
Giles pada tahun 1973. Dalam penciptaannya, teori ini mempertimbangkan dan
memberi konsekuensi mendasar atas apa yang terjadi ketika dua komunikator
menyesuaikan gaya komunikasi baik secara verbal maupun non-verbal. West dan
20
memodifikasi, atau mengatur perilaku komunikasi seseorang dalam responnya
Teori ini mengacu pada adaptasi interpersonal, ketika dua orang sedang
yang sama, berperilaku mirip, bahkan berbicara dengan kecepatan yang sama. Teori
ini menjelaskan cara-cara di mana orang-orang dapat mempengaruhi satu sama lain
selama interaksi.
Menurut West & Turner (2008: 220), teori akomodasi komunikasi memiliki
empat asumsi yang menjadi dasar dari dibangunnya teori ini. Berikut asumsi-
asumsi tersebut:
percakapan
orang lainnya. Semakin mirip sikap dan keyakinan seseorang dengan orang lain,
2. Cara di mana kita memersepsikan tuturan dan perilaku orang lain, akan
Asumsi ini terletak pada persepsi atau evaluasi. Akomodasi komunikasi merupakan
21
apa yang sedang terjadi dalam sebuah percakapan. Persepsi merupakan sebuah
keanggotaan kelompok.
Asumsi ini merupakan dampak yang ditimbulkan dari bahasa seseorang terhadap
maupun panjang.
4. Akomodasi bervariasi dalam hal tingkat kesesuaian sosial, serta norma yang
Asumsi ini berfokus pada norma dan isu mengenai kepantasan sosial. Dalam
teori Gilles (West & Turner, 2008: 222), norma merupakan harapan mengenai
perilaku yang menurut seseorang harus atau tidak harus terjadi di dalam
percakapan. Seperti misalkan dalam percakapan yang sangat sering terjadi antara
dua orang yang berbeda usia, yang muda akan harus selalu lebih hormat dan sopan
Dari beberapa asumsi di atas, asumsi yang sesuai dengan penelitian ini adalah
asumsi pertama dan kedua, sebagaimana tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetaui bagaimana proses akomodasi komunikasi antara Suku Dayak dan non-
stereotip mengenai Suku Dayak setelah perang Sampit tahun 2001 lalu. Asumsi
22
persamaan. Sedangkan asumsi kedua terkait bagaimana Suku Dayak dan non-
perkataan dan perilaku satu sama lain sehingga komunikasi tetap dapat berjalan
memilih bagaimana cara mereka berkomunikasi antara satu orang dengan orang
bahasa yang sama atau membedakan diri dengan orang lain. Cara ini disebut dengan
Cara Beradaptasi
1. Konvergensi
beradaptasi yang dilakukan oleh seseorang saat berkomunikasi dengan orang lain.
Dalam strategi ini, orang-orang akan beradaptasi dengan kecepatan bicara, gaya
bahasa, jeda bicara, senyuman, tatapan mata, perilaku verbal maupun non-verbal
yang sama dengan lawan bicaranya (West & Turner, 2008: 222). Ketika seseorang
perkataan dan perilaku lawan bicaranya. Selain itu, konvergensi juga dikaitkan
Giles dan Smith percaya bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat
23
antar komunikator. Sejarah hubungan antar komunikator juga merupakan salah satu
2. Divergensi
berkomunikasi. Perbedaan seperti gaya bahasa, nada bicara, aksen, dan lain
divergensi tidak selalu buruk. Divergensi bisa digunakan sebagai salah satu cara
komunikator lain ketika sedang bicara (West & Turner, 2008: 226).
F. Kerangka Konsep
Konvergensi Divergensi
Strategi
C Komunikasi
akomodatif
Percakapan
Stereotip A B Stereotip
Menerima
perbedaan
c. Ketidakpastian
d. Kecemasan
24
Bagan di atas merupakan bagan dari kerangka penelitian ini. A dan B
merupakan dua komunikator yang saling berinteraksi dalam OMK Don Bosco,
yaitu subjek etnis non-Dayak dan Dayak. Sebelum A dan B berkomunikasi, masing-
interaksi nantinya. Faktor tersebut adalah stereotip tentang Suku Dayak yang
Stereotip Budaya
Stereotip merupakan istilah yang berasal dari gabungan dua kata dan bahasa
berbeda, yaitu stereos (dalam bahasa Yunani berarti tetap, padat, permanen) dan
typus (dalam bahasa Latin berarti kesan). Dari dua kata tersebut, kemudian stereotip
Dengan menilai orang lain dengan pandangan dari diri sendiri, stereotip dapat
dalam pembentukan stereotip, yaitu keluarga, media massa, dan agama. Dalam hal
ini keluarga menjadi faktor utama dalam pembentukan stereotip. Hal ini
25
dikarenakan keluarga merupakan kelompok pertama yang dimiliki oleh seseorang
ketika hidup. Apapun yang menjadi pandangan orangtua saat itu, akan menjadi
Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan berfokus pada hambatan stereotip
tentang Suku Dayak, sesuai dengan penjelasan dalam latar belakang yang telah
dipaparkan sebelumnya. Peneliti akan melihat apakah dalam OMK ini juga terdapat
stereotip mengenai Suku Dayak, seperti yang telah peneliti paparkan di latar
belakang.
seseorang dalam responnya terhadap orang lain. Teori ini memusatkan perhatian
pada interaksi memahami antara orang-orang yang berbeda latar belakang budaya,
dalam interaksi dan dapat memengaruhi satu sama lain. Dalam prosesnya,
a. Konvergensi
bahasa, jeda bicara, kecepatan bicara, tatapan mata, atau perilaku verbal maupun
26
non-verbal dengan lawan bicaranya (West & Turner, 2008: 222). Ketika seseorang
perkataan dan perilaku lawan bicaranya. Selain itu, konvergensi juga dikaitkan
konvergensi yang dilakukan oleh masing-masing subjek dari Suku Dayak dan non-
Dayak di OMK Don Bosco Paroki Babarsari, Yogyakarta, terkait stereotip terhadap
Suku Dayak sehingga komunikasi satu sama lain dapat berjalan dengan baik dan
b. Divergensi
berkomunikasi. Perbedaan seperti gaya bahasa, nada bicara, aksen, dan lain
divergensi tidak selalu buruk. Divergensi bisa digunakan sebagai salah satu cara
komunikator lain ketika sedang bicara (West & Turner, 2008: 226).
divergensi yang dilakukan oleh masing-masing subjek Suku Dayak dan non-Dayak
di OMK Don Bosco Paroki Babarsari, Yogyakarta. Dalam hal ini, peneliti ingin
27
melihat apakah dalam interaksinya, baik subjek Dayak maupun non-Dayak tetap
menonjolkan perbedaan satu sama lain dengan mempertahankan gaya bicara, logat,
bahasa, sikap, atau perilaku dari suku asal mereka saat melakukan interaksi.
G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
atau apa adanya, bersifat dinamis (berkembang), dan deskriptif. Deskriptif yang
dimaksudkan di sini adalah hasil penelitian berupa narasi cerita mengenai apa saja
perilaku, gerak tubuh, mimik, dan sebagainya. (Idrus, 2009: 24-25). Dalam
penelitian ini, peneliti hanya akan berfokus pada narasi terkait apa saja yang
khusus atau unik yang terjadi pada subjek analisis. Unik dan khusus yang
dimaksudkan adalah kasus yang diangkat hanya terjadi pada lokus atau tempat
tertentu. Dalam studi kasus, biasanya subjek yang diteliti adalah seseorang atau
demikian, peneliti akan dapat menemukan semua variabel penting terkait subjek
yang diteliti. Dalam penelitian ini, sifat unik dan khusus dapat dilihat dari anggota
OMK yang plural dan stereotip Suku Dayak yang melekat erat. Variabel penting
yang dicari dalam penelitian ini adalah setiap perubahan atau penyamaan cara
28
berkomunikasi terkait gaya bahasa, nada bicara, selipan kata, dan komunikasi non-
penelitian ini, peneliti melakukan penelitian selama 26 hari. Waktu 26 hari ini
Dalam penelitian ini, data yang dikumpul berupa kata-kata hasil wawancara
antara peneliti dengan informan atau narasumber dan juga perilaku hasil observasi
yang peneliti lakukan. Alasan peneliti menggunakan metode ini karena studi kasus
menekankan kedalaman analisis pada kasus tertentu yang lebih spesifik. Studi kasus
merupakan metode yang tepat untuk memahami suatu keadaan atau kondisi
tertentu, di satu tempat dan waktu tertentu seperti dalam penelitian ini yang
peneliti untuk melakukan penelitian secara mendalam dan total karena pendekatan
ini membahas secara mendalam sebuah keadaan, kondisi, atau peristiwa yang
terjadi, terkait keinginan, perasaan, opini, serta perilaku tentang strategi adaptasi
29
penelitian tentang akomodasi komunikasi Suku Dayak dan non-Dayak di OMK
Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta dalam menghadapi stereotip Suku Dayak.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi dipilih karena kegiatan dari OMK Don Bosco Paroki Babarsari selalu
3. Subjek Penelitian
Dalam sebuah penelitian, subjek merujuk pada responden atau informan yang
akan digali datanya. Dalam penelitian kualitatif, penentuan subjek sudah ditentukan
sejak awal saat penelitian baru dirancang (proposal penelitian). Dalam proses di
lapangan, teknik sampling atau penentuan sampel (informan) juga akan sesuai
diperlukan adanya kerasionalan yang jelas serta alasan yang kuat mengapa subjek
tersebut dipilih.
Subjek dalam penelitian ini adalah Suku Dayak dan non-Dayak di OMK Don
agama yang sudah terbentuk sejak tahun 2010. Berdasarkan wawancara dengan
Yuni, mantan pengurus OMK Minggu, 7 Juli 2019 lalu, jumlah anggota dari OMK
ini sekitar 100 orang dan jumlah kepengurusan dalam OMK Don Bosco berjumlah
26 orang. 5 di antaranya dinyatakan kurang aktif (jarang muncul dalam grup chat
30
7 orang dan perempuan sebanyak 14 orang. Berikut tabel anggota kepengurusan
a. Subjek merupakan anggota aktif OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta.
Aktif yang dimaksudkan di sini adalah yang sering mengikuti kegiatan OMK
seperti rapat evaluasi yang dilaksanakan setiap tiga bulan sekali ataupun
kegiatan lainnya.
b. Subjek tergabung dalam OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta selama
mewakili etnik tidak berdasarkan jumlah anggota dan pengurus OMK. Hal ini
dikarenakan tidak imbangnya jumlah anggota dari setiap etnis yang tergabung.
31
Adiputranto Make dari Etnis Timur, Mayrisky Samosir dari Etnis Batak, Peter D.
Lim dari Etnis Tionghoa, Ovilia Alvionita, Patricia Jessica, dan Brigitha Cindy
Nadya Adriani dari Etnis Dayak. penjelasan lebih lanjut mengenai subjek, akan
4. Objek Penelitian
Dalam sebuah penelitian, objek merupakan masalah atau tema yang sedang
diteliti (Idrus, 2009:91). Berdasarkan pengertian ini, maka objek dalam penelitian
ini adalah masalah yang diteliti, yaitu akomodasi komunikasi Suku Dayak dan non-
5. Jenis Data
tujuan penelitian. Meskipun demikian, tidak semua keterangan atau informasi dapat
dijadikan sebagai data penelitian. Data penelitian hanya sebagian informasi yang
berkaitan dengan hal-hal terkait penelitian. Dalam penelitian kualitatif, Idrus (2003:
62) menerangkan terdapat tujuh hal yang dapat menjadi data penelitian, yaitu
catatan lapangan, sumber data tertulis dan rekaman, oral history, sejarah hidup,
Dalam penelitian ini, data yang peneliti gunakan adalah catatan lapangan, dan
sejarah hidup. Catatan lapangan merupakan data berupa catatan tertulis yang ditulis
secara rinci, cermat, luas, dan mendalam (sampai pada sebab-akibat) yang diperoleh
dari hasil wawancara mendalam dan observasi lapangan. Sedangkan sejarah hidup
merupakan cerita yang dituturkan secara lisan maupun tertulis seperti autobiografi
32
6. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data kualitatif, terdapat beberapa hal yang dapat
penelusuran data online. Namun, dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan
teknik wawancara dan observasi. Teknik wawancara yang digunakan adalah teknik
dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan
pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Jenis
secara lebih dahulu ditetapkan oleh pewawancara atau peneliti, namun untuk
wawancara. Peneliti akan fokus pada jawaban dari narasumber yang diteliti.
(catatan lapangan dan sejarah hidup) yang diperlukan, yaitu tentang perasaan,
pandangan, motivasi, gagasan, ide atau apa saja yang dialami dan dipikirkan oleh
informan dan dalam penelitian ini, data yang akan peneliti pakai hanya pada
33
akan datang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diterima
dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); memverifikasi,
pengecekan anggota.
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu sendiri, untuk pengecekan atau
sebagai pembanding data yang sudah didapat sebelumnya. Pada penelitian ini,
membandingkan informasi atau data dengan cara yang berbeda. Untuk memperoleh
Assumpta Paroki Babarsari Yogyakarta. Dalam penelitian ini peneliti hanya akan
anggota dari OMK, namun masih mengikuti kegiatan atau aktivitas yang dilakukan
oleh subjek yang diamati. Observasi ini dimulai pada Jumat, 16 Agustus 2019 dan
selesai pada Senin, 9 September 2019. Dalam observasi ini, peneliti mengamati
interaksi setiap subjek, termasuk sikap dan cara berbicara setiap narasumber.
34
No. Konsep Alur Pertanyaan
1. Stereotip 1. Pernah dengar stereotip tentang Suku
Dayak?
2. Stereotip apa saja yang kamu ketahui?
3. Percaya atau tidak?
4. Apakah stereotip ini mempengaruhi interaksi
kamu?
5. Menurutmu Suku Dayak gimana?
6. Punya pengalaman tidak menyenangkan atau
menyenangkan yang disebabkan oleh
stereotip ini? Terkait perilaku atau omongan.
2. Akomodasi Konvergensi 7. Bahasa apa yang digunakan ketika
Komunikasi berinteraksi?
8. Bagaimana dengan sikap? Ada yang berubah
atau tidak?
9. Pernah menggunakan bahasa suku lain
dalam berkomunikasi?
Divergensi 10.Pernah menggunakan bahasa sendiri dalam
berkomunikasi?
11.Lebih senang menggunakan bahasa apa?
12.Punya kesulitan selama berinteraksi?
13.Penting tidak untuk menyamakan bahasa,
gaya bicara, intonasi, dan perilaku ketika
berbicara?
Teknik analisis data yang peneliti gunakan adalah model analisis interaktif
Miles dan Huberman. Dalam penelitian ini analisis data (hasil wawancara dan
observasi) telah dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Data yang
35
Dayak dan akomodasi komunikasi yang dilakukan oleh masing-masing narasumber
untuk menghadapi stereotip tersebut dalam OMK Don Bosco Paroki Babarsari
komunikasi narasumber.
Model ini memiliki empat tahap dalam menganalisis penelitian kualitatif, yaitu
tahap pengumpulan data, reduksi data, display data, dan verifikasi dan penarikan
data dengan menggunakan teknik yang telah ditentukan dari awal (wawancara
mendalam dan observasi). Yang dimaksudkan dalam tahap ini adalah peneliti
observasi dimulai pada Jumat, 16 Agustus 2019 hingga Senin, 9 September 2019
Kubar Yogyakarta.
Pada tahap reduksi data, proses yang dilakukan adalah melakukan pemilihan
pemusatan perhatian dalam data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dari
lapangan. Proses ini dilakukan agar data yang diperoleh menjadi lebih tajam,
penarikan kesimpulan yang dilanjutkan dengan proses verifikasi (Idrus, 2009: 150).
36
komunikasi dari narasumber. Peneliti juga memilah hasil observasi yang berkaitan
Pada tahap display data, proses yang dilakukan adalah menyusun kumpulan
pengambilan tindakan dari tahap sebelumnya. Dalam penelitian ini, data yang
sudah dipilah akan disajikan dalam bentuk deskripsi atau catatan singkat dan
kemudian akan dibandingkan kembali dengan konsep penelitian awal (Idrus, 2009:
151). Tahap ini dilakukan dalam sub bab temuan data. Setelah peneliti memilih
kumpulan data tersebut menjadi sebuah narasi yang nantinya akan digunakan untuk
proses di mana peneliti melakukan penarikan arti dari data yang telah ditampilkan
peneliti. Setelah mendapatkan data dan verifikasi dari tiga tahapan sebelumnya,
Penarikan arti data yang dimaksudkan di sini adalah peneliti menarik sebuah
kesimpulan dari temuan data (tahap reduksi) yang telah dilakukan, kemudian
37
BAB II
A. Objek Penelitian
Pada sub bab ini, peneliti akan menjelaskan mengenai objek penelitian yang
menjadi fokus dalam penelitian ini. Lokasi penelitian terletak di Yogyakarta karena
dari luar Yogyakarta yang memiliki stereotip negatif tentang Suku Dayak, tidak
terkecuali di OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta yang menjadi objek
penelitian. Dalam sub bab ini, peneliti akan memaparkan sejarah dan visi misi dari
Romo Paroki
Ketua bidang
paguyuban Romo, Bruder,
Suster pendamping
Ketua/pengurus
OMK Don Bosco
OMK Don Bosco merupakan salah satu kelompok agama yang tergolong baru
dibentuk. OMK ini terbentuk sejak tahun 2010, bertepatan dengan kelahiran Santo
38
Don Bosco ke Bumi. Sebelum menjadi OMK, sebelumnya di Gereja Assumpta
OMK atau Orang Muda Katolik, merupakan wadah bagi kaum muda untuk
mengisi masa mudanya dengan kegiatan yang positif di bawah pengawasan Gereja.
Orang Muda Katolik merupakan seluruh kaum muda yang telah menerima
sakramen babtis secara Katolik dan berada dalam rentang usia 13-35 tahun dan
belum menikah (Komisi Kepemudaan KWI, Pastor Adi & Pastor Stabu, dalam
Olivia, 2017).
Dalam keanggotaannya, OMK Don Bosco memiliki anggota lebih dari 100
laku-laki dan 14 sisanya adalah perempuan. Etnis yang ada di dalam OMK ini juga
Manado, Bali, dan Papua. Menurut Yuni Indra Chatarina, mantan pengurus OMK
Don Bosco, siapa saja bisa bergabung dalam OMK ini. Tidak ada syarat khusus
untuk dapat bergabung, dengan kata lain kelompok ini merupakan kelompok yang
tidak terikat. Anggota bisa bebas untuk keluar masuk OMK selama masih beragama
Katolik dan berusia 13-35 tahun. Berbeda dengan anggota biasa, untuk menjadi
pengurus OMK diperlukan adanya open recruitment dengan beberapa kriteria yang
Dari tahun 2010 hingga saat ini, banyak kegiatan yang telah dilakukan oleh
OMK Don Bosco. Kegiatan yang dilakukan pun berbeda-beda tergantung pada
39
program kerja setiap kepengurusan. Namun terdapat beberapa kegiatan yang masih
rutin dilakukan hingga saat ini. Untuk kegiatan internal yang masih rutin dilakukan
adalah rapat evaluasi per tiga bulan dan malam keakraban (makrab) OMK.
Menurut Kelvin Firnanta (mantan ketua OMK Don Bosco periode 2016),
kepengurusan. Dengan kata lain, kegiatan ini tidak wajib untuk dilakukan.
pagelaran budaya ini. Pagelaran budaya merupakan wujud dari ulang tahun OMK.
Kegiatan ini merupakan wujud aksi nyata dari OMK Don Bosco untuk melestarikan
budaya dan juga toleransi, baik dalam berbudaya maupun beragama. Dalam
kegiatan ini, siapa pun dan dari agama apa pun bisa turut serta menjadi bagian dari
Visi
Misi
Dalam OMK Don Bosco, misi berubah setiap dua tahun sekali mengikuti
program kerja kepengurusan baru. Untuk kepengurusan periode 2018 ini, misi dari
OMK Don Bosco adalah mempererat ikatan baik antara pengurus maupun
eksternal.
B. Subjek Penelitian
40
Berdasarkan objek penelitian, maka setiap suku yang terdapat dalam OMK
Don Bosco berpotensi sebagai subjek penelitian. Namun, dalam penelitian ini,
1. Subjek merupakan anggota aktif OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta.
Aktif yang dimaksudkan di sini adalah sering mengikuti kegiatan OMK seperti
rapat evaluasi yang dilaksanakan setiap tiga bulan sekali ataupun kegiatan lainnya.
2. Subjek tergabung dalam OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta selama
semakin lama subjek bergabung dalam OMK, maka frekuensi interaksi akan
semakin intens.
OMK secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan tidak imbangnya jumlah anggota
Berdasarkan empat kriteria di atas, penulis menemukan enam subjek yang akan
41
1. Jeremias Adiputranto Make
merupakan ketua dari OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta Periode 2018
Mahasiswa Suku Timur ini lahir dan dibesarkan di Kupang, Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Jerry pertama kali menginjakkan kaki di Kota Yogyakarta pada
tahun 2016. Setelahnya pada bulan Oktober 2016, Jerry bergabung dengan OMK
Don Bosco, namun baru benar-benar aktif setahun belakangan. Dalam interaksinya
dengan Suku Dayak, Jerry tergolong sering berkomunikasi dengan Opi dan Cindy.
Interaksi ini menjadi semakin sering ketika mereka berada dalam divisi yang sama
OMK Don Bosco, Jerry sempat memiliki rasa takut untuk berinteraksi dengan Suku
Dayak. Hal ini dikarenakan pengetahuannya mengenai Suku Dayak yang Ia peroleh
dari hasil browsing di internet yang menyatakan bahwa Suku Dayak merupakan
suku yang mistis. Ketakutan Jerry semakin diperkuat oleh informasi yang Ia terima
dari teman kuliahnya (dari Suku Dayak) yang mengatakan bahwa jika memiliki
42
masalah, Suku Dayak cenderung akan menggunakan Mandau. Hal ini yang
diri. Untuk dapat terbiasa dengan lingkungan OMK, Jerry membutuhkan waktu
sekitar satu minggu (jika rutin bertemu) hingga berbulan-bulan (jika jarang
2. Peter D. Lim
Peter D. Lim atau yang lebih dikenal dengan panggilan Peter merupakan
mahasiswa Etnis Tionghoa asal Ketapang, Kalimantan Barat. Peter telah bergabung
di OMK Don Bosco selama 10 bulan terhitung dari Oktober 2018. Dalam struktur
organisasi OMK Don Bosco, Peter menjabat sebagai koordinator Divisi Minat dan
Bakat (Mikat). Serupa dengan Jerry, Peter juga merupakan mahasiswa UAJY,
namun berangkatan 2018. Dalam interaksinya dengan Suku Dayak, Peter sering
43
Dalam pengalamannya dengan Suku Dayak selama bergabung di OMK Don
Bosco, Peter merasa biasa saja. Karena besar di Ketapang yang banyak ditempati
oleh Suku Dayak, membuat Peter cukup terbiasa dengan Suku Dayak. Meskipun
demikian, Peter tetap memiliki stereotip tentang Suku Dayak yang seram dan penuh
mistis. Berdasarkan informasi yang Ia dapat selama di Ketapang, Suku Dayak dapat
memanggil roh panglima burung jika terdapat masalah. Hal ini yang kemudian
membuat Peter cukup segan jika terlibat masalah dengan Suku Dayak.
waktu sekitar satu minggu (jika rutin bertemu) hingga beberapa minggu (jika jarang
bertemu). Durasi ini tergolong cepat jika dibandingan dengan kelima narasumber
lain yang rata-rata membutuhkan waktu satu bulan untuk dapat beradaptasi dengan
3. Mayrisky Samosir
Mayrisky Samosir atau yang kerap disapa dengan panggilan Mey, merupakan
mahasiswi Universitas Mercu Buana angkatan 2018. Mey lahir dan dibesarkan di
44
Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Mahasiswa yang berasal dari Suku Batak ini,
telah bergabung selama 9 bulan di OMK Don Bosco terhitung sejak bulan
November 2019 lalu. Namun Mey baru aktif dalam kepengurusan sejak bulan
Februari 2019 lalu sebagai sekretaris dua. Dalam interaksinya dengan Suku Dayak,
Mey tergolong sering berinteraksi dengan Opi dikarenakan satu divisi dalam
kepanitiaan pagelaran budaya dan satu kepanitiaan dalam acara welcome party.
Selain itu Mey juga kerap berinteraksi dengan Jessica dari divisi usaha dana (usda).
Dalam pengalamannya bergabung dengan OMK Don Bosco, Mey juga sempat
memiliki rasa khawatir untuk berinteraksi dengan Suku Dayak. Menurut informasi
yang Ia terima (dari teman kampus yang juga berasal dari Suku Dayak), Suku
Dayak merupakan suku yang suka bermain mistis atau ilmu hitam. Informasi ini
membuat Mey merasa segan untuk berbicara dengan Suku Dayak seperti Jerry.
Untuk dapat beradaptasi dengan Suku Dayak, Mey membutuhkan waktu yang
cukup lama, yaitu sekitar enam bulan lebih karena menurutnya terlalu banyak yang
berbeda antara sukunya dengan Suku Dayak. Dalam strategi akomodasi, Mey
divergensi. Mey merupakan tipikal seseorang yang moody. Sehingga, Ia akan dapat
berbicara dengan baik (menyesuaikan lawan bicara) jika moodnya baik. Jika Ia
kelelahan atau merasa kurang sehat, Mey akan cenderung tidak perduli dengan
45
Gambar 4. Foto pribadi Cindy
Brigitha Cindy Nadya Adriani atau yang lebih dikenal dengan Cindy,
kali menginjakkan kaki di Yogyakarta pada tahun 2018 lalu. Sama dengan Jessica,
Cindy merupakan anggota OMK yang menjabat sebagai salah satu pengurus Divisi
Usaha Dana. Ia ikut bergabung dalam OMK dan kepengurusan sejak Oktober 2018
lalu bersama dengan Jessica. Cindy merupakan koordinator dari Divisi Usda.
beberapa kali ditanyakan mengenai perang Sampit. Karena merasa Perang Sampit
tidak berasal dari daerahnya dan Ia juga tidak mengetahui tentang Kalimantan
membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk dapat terbiasa. Cindy mengaku cukup
kaget saat bergabung ke dalam OMK karena lingkungan yang sangat berbeda
dengan tempat asalnya. Dalam strategi akomodasi, Cindy cenderung lebih banyak
5. Patricia Jessica
46
Gambar 5. Foto pribadi Jessica
Patricia Jessica atau yang lebih dikenal dengan panggilan Jessica, merupakan
salah satu pengurus di bidang atau Divisi Usaha Dana. Jessica baru bergabung
dalam kepengurusan sejak 2018 lalu. Jessica berasal dari Asa, Kutai Barat,
Kalimantan Timur dan memiliki jenis Suku Dayak Tunjung. Jessica bergabung
dalam kepengurusan bersama dengan Cindy dan satu teman lainnya. Ia pertama kali
menginjakkan kaki di Yogyakarta pada tahun 2018 dan saat ini sedang menempuh
tidak pernah sekalipun mendapat pertanyaan negatif mengenai Suku Dayak. Justru
membuat Jessica tidak masalah dengan stereotip Suku Dayak yang berkembang.
waktu sekitar lima hingga enam bulan. Dalam penggunaan strategi akomodasi,
6. Olivia Alvioniya
47
Gambar 6. Foto pribadi Opi
Olivia Alvioniya atau yang sering disebut dengan panggilan Opi, merupakan
mahasiswa Suku Dayak Tunjung, kelahiran Kutai, Kalimantan Timur. Opi mulai
saat ini Opi sedang menempuh semester 7 di Universitas Respatih. Opi mulai aktif
dalam OMK Don Bosco sejak 2 tahun yang lalu dan sekarang menjabat sebagai
bendahara. Saat ini Opi tergabung dalam kepanitiaan pagelaran budaya sebagai
divisi acara. Dalam interaksinya, Opi tergolong sering berkomunikasi dengan Mey,
Selama bergabung dalam kepengurusan dan menjadi anggota OMK, Opi sering
mendapat pertanyaan negatif mengenai Suku Dayak. Pertanyaan yang paling sering
Ia terima adalah mengenai Suku Dayak yang bermain ilmu hitam. Meskipun
temannya saja.
48
Untuk dapat beradaptasi dengan suku non-Dayak di OMK, Opi memerlukan
waktu sekitar satu hingga dua bulan. Dalam penggunaan strategi akomodasi, Opi
49