Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tahun 1996 dan 1997 merupakan awal dari masa kelam Suku Dayak di

Indonesia. Pasalnya pada tahun-tahun ini, Suku Dayak berkonflik dengan Suku

Madura dan mengakibatkan korban meninggal sebanyak 600 jiwa (Rinaldo, 2019).

Konflik yang diharapkan tidak lagi terjadi, justru kembali terulang pada tahun 2001

di Sampit, Kalimantan Tengah. Konflik tersebut berdampak sangat merusak baik

dari segi jumlah korban jiwa, material, dan sistem sosial masyarakat yang sudah

terbentuk (Priandono, 2016: 2).

Mengutip dari Tirto.id, berdasarkan data versi Garry van Klinken penulis buku

Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia, jumlah

korban meninggal dalam konflik ini berkisar antara 500-1500 jiwa (sebagian besar

Suku Madura) dan berdasarkan data dari Ditintel Polda Kalteng, kerugian fisik

setelah terjadinya perang ini adalah 1192 rumah dibakar, 16 mobil dirusak, 43

motor dirusak, dan 114 becak dirusak (Firdausi, 2018). Berdasarkan Liputan6.com,

selain korban meninggal dan kerugian fisik, sekitar 33 ribu penduduk berlindung di

tempat penampungan dan lebih dari 23.800 warga pendatang diungsikan keluar

Kalimantan secara bergantian untuk dievakuasi menggunakan kapal TNI (Rinaldo,

2019).

Menurut Ting-Toomey dalam buku Priandono yang berjudul Komunikasi

Keberagaman (2016: 213), konflik merupakan sebuah fenomena yang akan selalu

1
terjadi dalam setiap hubungan sosial manusia. Konflik melibatkan persepsi budaya

yang dapat dilihat melalui sikap entosentrisme dan stereotip budaya.

Konflik Suku Dayak dan Madura pada tahun 2001, meninggalkan trauma yang

cukup besar. Hingga saat ini terdapat stereotip bahwa Suku Dayak merupakan suku

yang mistis, kejam, dan masih menggunakan ilmu hitam. Peneliti sendiri sebagai

salah satu anggota dari Etnis Dayak, sering mendapatkan berbagai pertanyaan

negatif mengenai Suku Dayak. Salah satunya pada bulan November 2018 lalu, saat

peneliti hendak mencari kost baru, peneliti mendapat pertanyaan dari pemilik jasa

pencari kost yang peneliti gunakan. Ia bertanya apakah perempuan Dayak benar-

benar sering menggunakan santet atau ilmu hitam untuk membalaskan dendam.

Pemilik jasa pencari kost tersebut memasang raut wajah yang serius dan tegang,

serta terlihat sangat berhati-hati dalam menjaga omongan. Hal ini menunjukkan

bahwa sang pemilik jasa pencari kost tersebut memiliki suatu ketakutan yang

disebabkan oleh stereotip negatif atau pemikiran negatif akan Suku Dayak yang Ia

miliki. Berdasarkan pengalaman pribadi ini, kemudian peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian.

Untuk memperkuat stereotip awal yang peneliti temukan, sebelum melakukan

penelitian, peneliti terlebih dahulu melakukan pra wawancara terhadap 11

narasumber dari Suku Dayak mengenai pengalaman mereka selama di Yogyakarta.

Dari 11 narasumber, 10 di antaranya menjawab pernah ditanyakan pertanyaan

apakah Suku Dayak benar memotong dan memakan daging manusia dan apakah

Suku Dayak benar masih bermain santet atau ilmu hitam.

2
Tabel 1. Pertanyaan yang diterima 10 mahasiswa Suku Dayak oleh Suku non-Dayak

No Nama Kalimat pertanyaan dan pernyataan yang didapat

1 Brigita Yolanda “Emang bener orang Dayak makan orang?”


Pidang
2 Petra Yodi Naro “Sejauh ini gak pernah sih. Nggak ada yang ngira aku
orang Dayak soalnya”
3 Fransiskus Meyriyadi “Pernah ditanya sama induk semang waktu KKN sama
keluarganya. Segala ilmu lah, minyak bintang segala”

4 Gabriella Gabby “Teman sama mamaknya bilang orang Dayak seram, bisa
kayak nyantet gitu. Masih kental adatnya. Jago guna-guna
gitu”
5 Dwi Hendro Pranowo “Ditanya orang sini, ditanya segala masih tinggal di hutan
ndak, masih suka guna-guna ndak”
6 Angelina Dayakng “Cumaa ditanya, benar ke orang Kalimantan tuh suka
Uthari Pamane motong sama makan orang? Rata-rata gitu sih nanya nya”

7 Clara Suwastika “Waktu awal kuliah, ditanya sama teman kuliah, kalian
masih nda potong atau makan orang gitu”
8 Thomas Jacky “Pernah sama teman kuliah dulu, Dayak tu makan orang
kah? Berburu manusia?”
9 Shantana Wira Putra “Pernah waktu awal semester kalau nda salah, ditanya
orang Dayak makan orang kah”
10 Dyas Shangie “Udah lama, ditanya kawan yang Jawa lah. Dayak seram
mereka tau. Cumaa nanya, masih sampe sekarang ada
yang makan manusia?”
11 Robert Advento “Pernah lah. Ditanya orang Dayak tu main santet ndak,
Beding makan orang segala”

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa dari 11 narasumber, 10 di antaranya

mendapat pertanyaan yang mengarah ke stereotip negatif. Dari 11 orang, 7 orang

pernah ditanyakan apakah Suku Dayak pernah/benar makan manusia, 4 orang

ditanyakan apakah Suku Dayak benar bermain santet, 2 orang ditanyakan apakah

Suku Dayak benar memotong manusia dan 1 orang ditanyakan apakah benar Suku

Dayak berburu manusia.

3
Berdasarkan wawancara ini, pertanyaan dan pernyataan yang dilontarkan

kepada 11 narasumber oleh lawan bicara mereka berasal dari konsumsi media

online seperti portal berita dan media sosial youtube, juga dari hasil bicara satu

orang ke orang lainnya mengenai perang Sampit. Meskipun demikian, tidak ada

lawan bicara narasumber yang benar-benar pernah melihat atau mengalami

langsung kejadian tersebut.

Dari kesimpulan pra penelitian ini, kalimat ‘memotong, berburu, dan memakan

daging manusia’ merupakan kalimat negatif yang memberi kesan bahwa Suku

Dayak merupakan suku yang kejam, sadis, dan juga seram. Sedangkan kalimat

‘masih bermain santet’ menunjukkan bahwa Suku Dayak merupakan suku yang

penuh mistis dan ilmu hitam. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapatnya

keterbatasan pemahaman antarbudaya di Indonesia (khususnya di Kota

Yogyakarta), sehingga stereotip terhadap suatu suku dan budaya dapat berkembang

dengan mudah dan memunculkan sikap intoleransi, etnosentrisme, dan sebagainya.

Menurut idntimes.com, pada tahun 2017 Yogyakarta memasuki peringkat 10

besar kota dengan tingkat toleransi rendah. Kasus intoleransi mulai diketahui publik

sejak tahun 2000. Tercatat dari tahun 2000-2016, terdapat 71 kasus intoleransi di

Kota Yogyakarta. Namun sejak tahun 2017, kasus intoleransi tersebut perlahan

mulai menurun. Tahun 2017 terdapat 9 kasus, 2018 terdapat 6 kasus, dan tahun

2019 sementara terdapat 5 kasus. Kasus-kasus tersebut antara lain, pemotongan

salib makam di Kota Gede, penyerangan di Gereja St. Lidwina Bedog, penolakan

kegiatan bakti sosial Paroki Gereja Sto. Paulus, penolakan camat non-muslim di

Bantul, dan penutupan pondok pesantren waria Al-Fatah (Khalika, 2019).

4
Berdasarkan kelima kasus tersebut, terlihat bahwa dalam kehidupan beragama

pun tidak terlepas dari stereotyping. Seperti misalkan yang terjadi pada penolakan

bakti sosial oleh Paroki Gereja Sto. Paulus yang menduga kegiatan tersebut

melakukan ‘kristenisasi’ dan penutupan pondok pesantren waria. Karena kehidupan

beragama pun tidak terlepas dari stereotyping, maka peneliti terarik untuk

mengangkat penelitian mengenai stereotip dan kelompok agama di Yogyakarta.

Stereotip merupakan istilah yang berasal dari gabungan dua kata dan bahasa

berbeda, yaitu stereos (dalam bahasa Yunani berarti tetap, padat, permanen) dan

typus (dalam bahasa Latin berarti kesan). Dari dua kata tersebut, kemudian stereotip

dimaknai sebagai sebuah kesan (terhadap suatu kelompok) yang bersifat tetap.

Dengan menilai orang lain dengan pandangan sendiri, stereotip dapat menimbulkan

berbagai perilaku intoleran (Priandono, 2016: 200). Stereotip menjadi akar dari

kesalahpahaman, ketegangan, dan konflik sosial seperti yang terjadi pada perang

Sampit tahun 2001 silam.

Dalam Priandono, Samovar dan Porter menyatakan bahwa budaya dan

komunikasi tidak dapat dipisahkan. Tidak hanya untuk menentukan siapa yang

berbicara, perihal apa, dan bagaimana komunikasi tersebur berlangsung, tetapi

budaya dan komunikasi juga turut menyandikan dan memaknai pesan. Budaya

menyampaikan sesuatu hal yang perlu untuk dimaknai dengan komunikasi. Oleh

karena itu komunikasi dan budaya harus dipelajari secara bersamaan (Priandono,

2016: 55).

Indonesia merupakan negara multikultural yang memiliki 1300 suku berbeda

dengan 31 kelompok suku bangsa (BPS, 2010: 5). Banyaknya suku dan kelompok

5
suku bangsa ini, kemudian mengharuskan masyarakat Indonesia untuk dapat hidup

berdampingan dengan baik antara satu kelompok suku dengan kelompok suku lain.

Hubungan individu atau kelompok dari lingkungan kebudayaan berbeda akan turut

memengaruhi pola komunikasi. Hambatan-hambatan seperti perbedaan bahasa,

sikap, norma dan adat istiadat dalam suatu kelompok masyarakat tertentu akan

mudah ditemui dan menjadi kendala dalam proses komunikasi yang dapat

menimbulkan konflik. Dengan demikian, komunikasi dalam hubungan multi etnis

sangat perlu dilakukan sebagai salah satu cara untuk mencapai komunikasi yang

efektif. Agar komunikasi berjalan dengan efektif, maka diperlukan adanya sebuah

proses dan strategi adaptasi (akomodasi) di dalamnya.

Mengingat peranan komunikasi yang sangat penting dalam komunikasi

antarbudaya, kebudayaan yang menjadi latar belakang kehidupan serta

memengaruhi perilaku manusia, dan masih kentalnya stereotip di Kota Yogyakarta

khususnya untuk Suku Dayak, membuat peneliti tertarik untuk meneliti dan

mengkaji komunikasi antarbudaya. Dalam hal ini peneliti akan meneliti akomodasi

komunikasi Suku non-Dayak dan Dayak Orang Muda Katolik (OMK) Don Bosco

Paroki Babarsari Yogyakarta dalam menghadapi stereotip, sesuai dengan

pembahasan awal dalam penelitian ini.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu Provinsi yang pada

tahun 1946-1949 pernah menjadi ibukota Republik Indonesia. Oleh karena menjadi

ibukota negara ini, Yogyakarta kemudian banyak menerima pelajar dari seluruh

Indonesia yang secara otomatis menjadikan Yogyakarta sebagai sebuah Provinsi

plural.Banyaknya perguruan tinggi dan besarnya minat belajar di Kota Yogyakarta,

6
menjadikan Yogyakarta sebagai ‘Kota Pelajar’ (Bernas.id, 2018). Tidak sulit untuk

menemukan berbagai suku dan agama di Kota Yogyakarta.

Bagi sebagian perantau (termasuk peneliti), kelompok, komunitas, atau

organisasi merupakan hal yang penting. Kelompok dan organisasi dapat membantu

para perantau untuk merasa nyaman. Jenis kelompok pun bervariasi, ada kelompok

agama, kelompok etnik, kelompok belajar, dan sebagainya. Dalam kehidupan

berbudaya, agama merupakan salah satu komponen yang selalu dikaitkan dengan

budaya. Ngatawi Al-Zastrow, ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia

PBNU Periode 2004-2009, sekaligus salah satu budayawan Indonesia menyatakan

budaya dan tradisi merupakan wadah atau alat bagi agama untuk menyampaikan

ajaran-ajaran pencipta kepada umatnya (Syafirdi, 2018). Dengan kata lain, agama

dan budaya saling berkaitan.

Dalam ajarannya, tidak ada agama yang tidak mengajarkan kebaikan. Kepala

Kantor Kementrian Agama Kabupaten Minahasa Utara, Pendeta Tilaar menyatakan

konflik dan kekerasan tidak dibenarkan oleh agama, karena semua agama

mengajarkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia. Buddha mengajarkan

kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih, Khonghucu mengajarkan

kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam (Putra, B.

K., 2018). Oleh karena itu, untuk mencapai sebuah kerukunan antar suku, budaya,

dan agama diperlukan adanya toleransi.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, meskipun agama-agama

mengajarkan tentang kebaikan dan toleransi, tidak dapat dipungkiri bahwa kasus

intoleransi dan konflik yang mengatasnamakan agama marak terjadi di Indonesia.

7
Berdasarkan hal ini alasan mengapa peneliti tertarik untuk meneliti OMK Don

Bosco sebagai objek penelitian ini, karena meskipun banyak kasus intoleransi yang

disebabkan oleh agama dan umat beragama, kelompok agama ini masih

mempertahankan sikap toleransi serta kepluralitasan mereka sebagai kelompok

beragama dan berbudaya. Hal ini terlihat dari visi misi mereka yang diwujudkan

dalam acara pagelaran budaya disetiap tahunnya.

Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Babarsari merupakan salah satu kelompok

agama multikultural di Kota Yogyakarta yang memiliki sifat toleransi tinggi. OMK

ini tergolong baru karena dibentuk pada tahun 2010. OMK Don Bosco merupakan

komunitas yang ada di bawah naungan Gereja Assumpta Paroki Babarsari,

Yogyakarta. Selain OMK Paroki Don Bosco, Gereja Assumpta juga memiliki OMK

lingkungan bernama Santo Yusuf. Yang menjadi pembeda antara OMK Don Bosco

dan Santo Yusuf adalah OMK Don Bosco memiliki anggota yang lebih plural.

Berbagai jenis suku, budaya, dan ras seperti Suku Dayak, Batak, Jawa, mahasiswa

NTT, Lampung, Bangka, dan Jakarta dapat dengan mudah ditemui di OMK ini.

Berbeda dengan OMK Santo Yusuf yang hanya didominasi oleh suku-suku timur

(Chatarina, 2019).

Penelitian yang akan berfokus pada akomodasi komunikasi antara suku non-

Dayak dan Dayak ini, akan dilakukan di OMK Don Bosco Paroki Babarsari. Selain

karena merupakan komunitas agama yang sangat plural karena didukung oleh

banyaknya universitas yang berdekatan dengan Gereja Assumpta seperti

Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), STIE YKPN, Universitas Proklamasi

45, UPN Veteran, dan lain sebagainya, OMK ini juga merupakan komunitas yang

8
toleransi terhadap suku dan agama lain. Hal ini dinyatakan oleh Yuni Indra

Chatarina, mantan pengurus OMK Don Bosco, yang mengatakan bahwa setiap

tahunnya OMK ini akan selalu melaksanakan pagelaran budaya dengan tidak

membatasi kebudayaan dan agama apapun. Dalam kepanitiaan pun tidak tertutup

pada agama Katolik saja, tetapi semua agama diperbolehkan untuk ikut menjadi

panitia. Selain untuk menjaga kelestarian suku budaya, pegelaran ini dilakukan

sebagai aksi menggerakkan toleransi budaya dan agama di Yogyakarta (Chatarina,

2019).

Berdasarkan stereotip tentang Suku Dayak yang masih dengan mudah ditemui

di ‘Kota Pelajar’ Yogyakarta dan komunitas agama yang sangat plural yaitu OMK

Don Bosco Paroki Babarsari, maka peneliti hendak melihat akomodasi komunikasi

apa saja yang dilakukan oleh suku non-Dayak dan Dayak untuk mengatasi stereotip

Etnis Dayak yang masih berkembang, sehingga OMK ini dapat berjalan dengan

baik dan tetap mempertahankan kepluralitasan serta sifat toleransi mereka. Oleh

karena itu, judul dari penelitian ini adalah Akomodasi Komunikasi Suku non-Dayak

dan Dayak OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta dalam Menghadapi

Stereotipe (Studi Kasus Stereotip Suku Dayak).

Terdapat beberapa penelitian serupa yang membahas akomodasi komunikasi

antara kebudayaan berbeda. Seperti Maria Ulpa (2014) dengan judul penelitian

Akomodasi Komunikasi dalam Interaksi antarbudaya Studi pada Himpunan Pelajar

Patani (HIPPI) di Indonesia dalam Mengomunikasikan Identitas Budaya. Penelitian

ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini membahas mengenai

bagaimana akomodasi komunikasi dalam interaksi antarbudaya anggota HIPPI

9
terhadap lingkungan baru dalam mengomunikasikan identitas budayanya dan apa

hambatan penyesuaian dirinya. Karena subjek yang diteliti adalah himpunan

mahasiswa Thailand, selain akomodasi dan adaptasi, teori yang digunakan adalah

teori gegar budaya atau culture shock. Teori ini yang menjadi pembeda antara

penelitian Maria Ulpa dan peneliti. Penelitian ini sampai pada kesimpulan di mana

akomodasi komunikasi dalam interaksinya, mahasiswa Patani Thailand melakukan

adaptasi konvergensi. Bahasa dan pakaian turut berperan sebagai alat

mengungkapkan identitas budaya.

Selanjutnya, ada penelitian dari Fransisca Cindy (2013) yang berjudul Proses

Komunikasi Akomodasi antarbudaya Etnis Cina dan Etnis Jawa di Perusahaan

Karangturi Group Purwokerto. Penelitian ini membahas tentang bagaimana proses

akomodasi antar Etnis Cina dan Jawa dalam kehidupan organisasi. Penelitian yang

menggunakan metode studi kasus ini memiliki kesimpulan bahwa dalam suatu

grup, khususnya di Karangturi, bahasa menjadi faktor utama dalam menentukan

kelancaran sebuah komunikasi. Bahasa yang berbeda memunculkan perasaan tidak

nyaman terhadap pihak lain. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Fansisca

Cindy terletak pada pemilihan objek dan teori perbedaan budaya.

Penelitian ketiga adalah penelitian dari Muhammad Hyqal Kevinzky (2011)

yang berjudul Proses dan Dinamika Komunikasi dalam Menghadapi Culture Shock

pada Adaptasi Mahasiswa Perantauan (Kasus Adaptasi Mahasiswa Perantau di

UNPAD Bandung). Penelitian ini merupakan penelitian serupa kedua yang

menggunakan metode studi kasus. Meskipun dalam penelitian ini subjek yang

digunakan bukan berupa komunitas atau organisasi, melainkan mahasiswa rantau

10
di luar organisasi dengan berbagai etnis, namun peneliti tetap menjadikan penelitian

ini sebagai salah satu acuan karena kesamaan subjek dari berbagai etnis dan metode

penelitian. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat tiga hal yang

mempengaruhi proses adaptasi seseorang, yaitu stereotip, lingkungan, dan

motivasi.

Selanjutnya terdapat sebuah penelitian berjudul Akomodasi Komunikasi

Pemain Game Online dalam Menghadapi Stereotipe (Studi Kasus: Stereotipe

Pemain Indonesia dalam Game Online Battle of Immortals). Tidak seperti ketiga

penelitian sebelumnya, penelitian Girindra Adyapradana (2012) ini melihat strategi

akomodasi komunikasi dalam menghadapi stereotip dalam pemain game online

yang memiliki latar belakang budaya berbeda. Seperti yang tertera dalam judul,

penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus, sedangkan teori yang

digunakan adalah teori akomodasi dan Computer Mediated Communication

(CMC). Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat beberapa stereotip terhadap

pemain game online Indonesia, yaitu miskin, rusuh, cheater, dan perusak. Untuk

mengatasi hal ini, narasumber yang diteliti melakukan strategi konvergensi dan

divergensi. Strategi konvergensi yaitu dengan meniru perilaku pemain luar negeri

dan mengikuti guild agar diterima, sedangkan divergensi adalah dengan tidak

melakukan pembalasan apapun terhadap hinaan pemain-pemain luar. Diam ini

menunjukkan bahwa pemain Indonesia sebenarnya mengomunikasikan bahwa

mereka berbeda kelas dan menganggap hinaan tersebut sebagai hal yang tidak

pantas juga tidak penting untuk dilayani.

11
Keempat penelitian tersebut sama-sama menggunakan teori akomodasi

komunikasi untuk menganalisis di lapangan dan keempatnya berhasil menemukan

strategi adaptasi apa saja yang digunakan oleh masing-masing subjek dalam

penelitian mereka. Mereka berhasil menemukan fakta/data/temuan bahwa dalam

kehidupan organisasi atau komunitas antarbudaya, akomodasi komunikasi sangat

berpengaruh dalam kelancaran dan keberlangsungan komunikasi sebuah organisasi.

Yang membedakan penelitian ini dengan keempat penelitian yang dibahas

adalah pemilihan subjek, dan fokus penelitian. Dari keempat penelitian tersebut,

subjek penelitian pertama merupakan komunitas kampus, subjek kedua merupakan

organisasi perusahaan, subjek penelitian ketiga merupakan mahasiswa rantau di

lingkungan universitas dengan berbagai etnis, dan subjek keempat merupakan

pemain game online Battle of Immortal yang berbeda daerah. Sedangkan subjek

penelitian ini adalah kelompok agama (OMK) di Yogyakarta dengan fokus

penelitian pada akomodasi komunikasi Suku Dayak dan non-Dayak, terkait

stereotip Suku Dayak yang masih berkembang hingga saat ini. Pemilihan subjek

dan objek dalam penelitian terbilang unik karena hingga saat ini peneliti belum

menemukan penelitian terkait akomodasi dan stereotip dengan subjek kelompok

agama, terutama OMK.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana akomodasi komunikasi Suku non-Dayak dan Dayak OMK Don

Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta dalam menghadapi stereotip Suku Dayak?

C. Tujuan Penelitian

12
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui akomodasi komunikasi apa saja

yang digunakan oleh Suku non-Dayak dan Dayak OMK Don Bosco Paroki

Babarsari Yogyakarta dalam menghadapi stereotip Suku Dayak.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapakan dapat menambah kekayaan ilmu dan pengetahuan

dalam dunia akademik, terutama dalam memahami komunikasi antarbudaya dan

teori akomodasi. Selain itu diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu acuan

bagi peneliti selanjutnya yang juga akan meneliti komunitas agama yang bersifat

plural.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan dalam

praktik memahami bentuk penyesuaian perilaku komunikasi dan juga strategi

adaptasi dari berbagai latar belakang suku budaya terhadap Suku Dayak dan

sebaliknya, terkait stereotip.

E. Kerangka Teori

1. Komunikasi Antarbudaya

1.1 Definisi Komunikasi Antarbudaya

Menurut Crossman et al dalam Priandono (2016: 58), istilah komunikasi lintas

budaya (cross cultural communication) dengan komunikasi antarbudaya

(intercultural communication) berbeda. Komunikasi antarbudaya dikaitkan dengan

apa saja yang terjadi ketika orang-orang berbeda budaya berinteraksi dan kemudian

memodifikasi komunikasinya sebagai hasil dari interaksi komunikasi, sedangkan

13
komunikasi lintas budaya merupakan komunikasi yang terjadi antara dua

kebudayaan berbeda, namun lebih fokus pada aspek kesamaan dan perbedaan

antarbudaya.

Dalam perkembangannya, komunikasi antarbudaya telah banyak didefinisikan

oleh beberapa ahli. Samovar dan Porter mendefinisikan komunikasi antarbudaya

sebagai komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, seperti antar

suku bangsa, etnik dan ras, atau kelas sosial. Sedangkan menurut Hood, komunikasi

antarbudaya merupakan komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan

kelompok, di mana terdapat tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan

yang turut memengaruhi perilaku komunikasi komunikator dan komunikan.

Liliweri dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Komunikasi antarbudaya,

mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai komunikasi antarpribadi yang

dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan (Liliweri, 2003: 9-

11).

Berdasarkan ketiga definisi yang telah disebutkan, maka dapat disimpulkan

bahwa komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi atau kelompok

berbeda budaya yang perilaku masing-masing komunikator dan komunikan

dipengaruhi oleh kebudayaannya.

Di bawah ini, Liliweri, menggambarkan model komunikasi antarbudaya yang

menunjukkan dua komunikator berbeda budaya yang melakukan interaksi

komunikasi. Dari interaksi yang diilustrasikan dengan komunikator sebagai huruf

“A” dan komunikan sebagai huruf “B”, lahir sebuah kebudayaan baru atau yang

ditandai sebagai huruf “C”. Kebudayaan ini merupakan hasil dari strategi

14
komunikasi yang dilakukan oleh kedua pribadi dan secara psikologis

menyenangkan kedua komunikator-komunikan ini. Komunikasi yang bersifat

adaptif ini merupakan hasil dari penyesuaian diri “A” dan “B” yang menyebabkan

adanya komunikasi antarbudaya yang efektif.

Bagan 1. Model Komunikasi antarbudaya

Strategi adaptif
C
Komunikasi
akomodatif efektif
Kebudayaan
Kebudayaan

Kepribadian
Percakapan
A B Kepribadian

Persepsi
terhadap Persepsi
Menerima
relasi terhadap
antarpribadi relasi
perbedaan
antarpribadi

a. Ketidakpastian
b. Kecemasan

Sumber: Liliweri, 2003: 32

1.2 Prinsip Dasar Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya bersifat kompleks. Kompleksitas ini merupakan

kombinasi dari beberapa aspek. Oleh karena sifat kompleks ini, maka komunikasi

antarbudaya memiliki beberapa prinsip-prinsip dasar, di antaranya adalah (Liliweri,

2003: 15-17)

a. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan bahwa terdapat perbedaan

persepsi antara komunikator dan komunikan

Komunikasi, apapun bentuk dan konteksnya akan selalu menampilkan

perbedaan iklim antara komunkator dan komunikannya. Prinsip-prinsip yang

15
terkandung dalam perbedaan itu umumnya mengimplikasikan bahwa hambatan

komunikasi antarbudaya biasanya tampil dalam bentuk perbedaan persepsi, pola

pikir, struktur budaya, dan sistem budaya.

b. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi

Proses komunikasi antarbudaya secara alamiah berakar dari relasi sosial

antarbudaya. Isi (content) dan makna (meaning) merupakan dua hal yang tidak

dapat dipisahkan ketika membentuk relasi. Dengan kata lain, relasi antar manusia

sangat mempengaruhi bagaimana isi dan makna sebuah pesan diinterpretasi.

c. Gaya personal memengaruhi komunikasi antarpribadi

Gaya komunikasi antarpribadi dapat diterangkan secara kognitif maupun sosial.

Beberapa orang menunjukkan gaya komunikasi yang mendominasi sedangkan

beberapa orang lainnya menunjukkan gaya komunikasi yang submisif. Pengalaman

sosial dalam komunikasi antarbudaya dengan berbagai macam latar belakang

budaya yang berbeda, akan membuat seseorang semakin berpengalaman,

berpendapat, dan mungkin memberikan evaluasi tentang gaya personal maupun

gaya suatu kelompok tertentu.

d. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian

Gudykunst dan Kim (dalam Liliweri, 2003: 19), menyatakan bahwa orang-orang

yang tidak dikenal akan berusaha mengurangi ketidakpastian melalui tiga tahap

interaksi, yaitu:

1. Pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui pesan verbal maupun

non-verbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari

komunikasi);

16
2. Initial contact and impression, atau tanggapan lanjutan yang muncul dari

kontak awal sebelumnya;

3. Closure, di mana seseorang akan mulai membuka diri melalui atribusi dan

pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan untuk

seseorang agar lebih mengerti perilaku orang lain dengan menyelidiki

motivasi atau suatu tindakan. Selain itu, dapat pula dengan mengembangkan

sebuah kesan melalui evaluasi atas kehadiran kesan kepribadian yang

implisit. Misalkan jika seseorang memiliki kesan sifat yang baik, maka

semua sifat-sifat positif akan turut mengikuti orang tersebut.

e. Komunikasi berpusat pada kebudayaan

Dalam uraian tentang kebudayaan, terdapat dua hal, pertama, terdapat sebuah

sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol

komunikasi. Kedua, hanya dengan komunikasi maka pertukaran tersebut akan

dilakukan dan kebudayaan hanya akan eksis jika ada komunikasi.

f. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya

Komunikasi antarbudaya akan tercapai jika bentuk-bentuk hubungan

antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk

memperbaharui relasi antara komunikator dan komunikan, menciptakan dan

memperbaharui komunikasi yang efektif.

Dalam konsep teori antarbudaya, asumsi-asumsi yang berkaitan dengan

penelitian ini adalah asumsi a, b, c, d, dan f. Asumsi a menjelaskan bahwa dalam

komunikasi antarbudaya terdapat perbedaan persepsi antara komunikator dan

komunikan. Perbedaan persepsi ini bisa muncul karena terdapat pola pikir, norma

17
budaya, dan sistem budaya yang berbeda antara narasumber. Asumsi b berkaitan

dengan kedekatan relasi yang dimiliki oleh antar narasumber. Semakin dekat relasi

antar narasumber, maka akan turut mempengaruhi isi dan makna dari sebuah pesan.

Asumsi c yang menyatakan gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi,

berkaitan dengan komunikasi antarpribadi dari anggota OMK Don Bosco dalam

melakukan akomodasi satu sama lain. Asumsi d dan f berkaitan dengan tujuan dari

penelitian ini, di mana akomodasi komunikasi digunakan agar setiap anggota OMK

tidak memiliki rasa ‘tidak nyaman’ karena takut tidak diterima dan lain sebagainya.

1.3 Stereotip Budaya

Menurut Priandono (2016: 199), dalam interaksi antarbudaya terdapat tiga

aspek yang dapat menjadi faktor penghambat komunikasi antarbudaya, salah

satunya adalah stereotip. Stereotip merupakan istilah yang berasal dari gabungan

dua kata dan bahasa berbeda, yaitu stereos (dalam bahasa Yunani berarti tetap,

padat, permanen) dan typus (dalam bahasa Latin berarti kesan). Dari dua kata

tersebut, kemudian stereotip dimaknai sebagai sebuah kesan yang bersifat tetap.

Dengan menilai orang lain dengan pandangan sendiri, stereotip dapat

menimbulkan sikap rasisme, seksisme, homofhobia, xenofhobia, dan jenis-jenis

perilaku intoleransi lainnya. Meskipun demikian, stereotip tidak selalu bersifat

buruk karena dapat membantu manusia untuk dapat menentukan respon terbaik

dalam menghadapi situasi tertentu.

Menurut Operario dan Fiske dalam Priandono (2016: 201), stereotip memiliki

tiga prinsip dasar, yaitu stereotip berisi kepercayaan bersifat positif dan negatif

dalam menggambarkan hubungan kelompok, stereotip mendorong seseorang untuk

18
memiliki persepsi negatif serta melakukan hal ekstrim, dan stereotip mengelola

hubungan antara perasaan tentang kita (in-group) dan mereka (out-group).

Samovar et al juga menyatakan terdapat tiga faktor yang menjadi penyebab

dalam pembentukan stereotip, yaitu keluarga, media massa, dan agama. Dalam hal

ini keluarga menjadi faktor utama dalam pembentukan stereotip. Hal ini

dikarenakan keluarga merupakan kelompok pertama yang dimiliki oleh seseorang

ketika hidup. Apapun yang menjadi pandangan orangtua saat itu, akan menjadi

pandangan sang anak pula (Priandono 2016: 203).

Media massa, secara tidak langsung kita akan mempelajari stereotip tentang

suatu ras, agama, budaya, atau suatu kelompok tertentu melalui berbagai macam

rangkaian acara yang ditampilkan, baik itu melalui sinetron, drama, film, atau pun

berita. Pertanyaan ini sejalan dengan Appiah (dalam Priandono 2016: 203) yang

menyatakan bahwa media sangat berpengaruh dalam pembentukan stereotip terkait

sejumlah kelompok, secara khusus terjadi ketika pengalaman pribadi khalayak

terhadap kelompok tersebut terbatas. Media massa akan menggiring opini dan juga

mengonstruksi pikiran khalayak untuk dapat berpikir tentang suatu kelompok atau

kebudayaan sesuai dengan yang mereka pahami. Sedangkan dalam konteks agama,

dengan turut mendengar pernyataan bahwa “pengikut agama lain adalah murtad”,

maka seseorang akan turut berpikir demikian sesuai dengan apa yang diajarkan

kepadanya (Adyapradana, 2012).

Menurut Samovar, terdapat empat alasan mengapa stereotip dapat menghambat

komunikasi antarbudaya (Adyapradana, 2012), yaitu:

19
1. Stereotip sebagai filter, di mana seseorang hanya akan menyerap informasi

sesuai dengan yang pengetahuan yang telah dimiliki.

2. Bukan perilaku klasifikasi yang menciptakan masalah antarbudaya,

melainkan asumsi bahwa informasi mengenai suatu kelompok

disamaratakan dengan seluruh orang-orang yang menjadi anggota kelompok.

3. Stereotip selalu menghalangi seseorang untuk menjadi komunikator yang

baik, karena terlalu disederhanakan, dilebih-lebihkan, dan digeneralisasikan.

4. Stereotip tahan terhadap perubahan, dengan kata lain akan sangat sulit untuk

mengubah stereotip yang sudah ada.

Stereotip, etnosentrisme, dan rasisme tidak terlepas dari sikap prasangka. Myers

mendefinisikan prasangka sebagai sebuah sikap di mana terkandung sebuah

penilaian negatif dari anggota kelompok atau individu. Prasangka merupakan

bentuk perasaan yang lebih kuat, selalu mengacu ke arah negatif dan kepada suatu

kelompok. Prasangka dapat mendorong seseorang untuk dapat membenci dan

menjadi fanatik. Disitulah kemudian tindakan diskriminasi dan rasis akan muncul

(Priandono, 2016: 53).

2. Teori Akomodasi

Teori akomodasi komunikasi merupakan teori yang dikenalkan oleh Howard

Giles pada tahun 1973. Dalam penciptaannya, teori ini mempertimbangkan dan

memberi konsekuensi mendasar atas apa yang terjadi ketika dua komunikator

menyesuaikan gaya komunikasi baik secara verbal maupun non-verbal. West dan

Turner mendefinisikan akomodasi sebagai kemampuan untuk menyesuaikan,

20
memodifikasi, atau mengatur perilaku komunikasi seseorang dalam responnya

terhadap orang lain (West & Turner, 2008: 217).

Teori ini mengacu pada adaptasi interpersonal, ketika dua orang sedang

berkomunikasi, tiap individu akan melakukan akomodasi untuk mencapai tujuan

tertentu. Komunikator dan komunikan akan berbicara dengan menggunakan bahasa

yang sama, berperilaku mirip, bahkan berbicara dengan kecepatan yang sama. Teori

ini menjelaskan cara-cara di mana orang-orang dapat mempengaruhi satu sama lain

selama interaksi.

Menurut West & Turner (2008: 220), teori akomodasi komunikasi memiliki

empat asumsi yang menjadi dasar dari dibangunnya teori ini. Berikut asumsi-

asumsi tersebut:

1. Persamaan dan perbedaan berbicara serta perilaku terdapat dalam semua

percakapan

Teori akomodasi mengingatkan pada pengalaman komunikasi yang pernah terjadi.

Komunikasi terjadi secara bervariasi dan menentukan apakah seseorang akan

memengaruhi orang lain. Dari pengalaman komunikasi dan latar belakang

bervariasi ini, kemudian menentukan apakah nanti seseorang akan memengaruhi

orang lainnya. Semakin mirip sikap dan keyakinan seseorang dengan orang lain,

maka proses mengakomodasi pun secara otomatis dilakukan.

2. Cara di mana kita memersepsikan tuturan dan perilaku orang lain, akan

menentukan bagaimana kita mengevaluasi sebuah percakapan.

Asumsi ini terletak pada persepsi atau evaluasi. Akomodasi komunikasi merupakan

teori yang mementingkan bagaimana seseorang mempersepsikan dan mengevaluasi

21
apa yang sedang terjadi dalam sebuah percakapan. Persepsi merupakan sebuah

proses menilai percakapan.

3. Bahasa dan perilaku memberikan informasi mengenai status sosial dan

keanggotaan kelompok.

Asumsi ini merupakan dampak yang ditimbulkan dari bahasa seseorang terhadap

orang lain. Bahasa memiliki kemampuan untuk mengomunikasikan status dan

keanggotaan kelompok di antara para komunikator, baik dalam percakapan singkat

maupun panjang.

4. Akomodasi bervariasi dalam hal tingkat kesesuaian sosial, serta norma yang

mengarahkan proses akomodasi

Asumsi ini berfokus pada norma dan isu mengenai kepantasan sosial. Dalam

teori Gilles (West & Turner, 2008: 222), norma merupakan harapan mengenai

perilaku yang menurut seseorang harus atau tidak harus terjadi di dalam

percakapan. Seperti misalkan dalam percakapan yang sangat sering terjadi antara

dua orang yang berbeda usia, yang muda akan harus selalu lebih hormat dan sopan

saat berbicara dengan yang lebih tua.

Dari beberapa asumsi di atas, asumsi yang sesuai dengan penelitian ini adalah

asumsi pertama dan kedua, sebagaimana tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetaui bagaimana proses akomodasi komunikasi antara Suku Dayak dan non-

Dayak di OMK Don Bosco Paroki Babarsari, Yogyakarta terkait banyaknya

stereotip mengenai Suku Dayak setelah perang Sampit tahun 2001 lalu. Asumsi

pertama berkaitan dengan interaksi komunikasi Suku Dayak dengan non-Dayak

yang memiliki banyak perbedaan dan tidak menutup kemungkinan memiliki

22
persamaan. Sedangkan asumsi kedua terkait bagaimana Suku Dayak dan non-

Dayak di OMK Don Bosco Paroki Babarsari, Yogyakarta memersepsikan

perkataan dan perilaku satu sama lain sehingga komunikasi tetap dapat berjalan

dengan baik dan OMK tetap terjaga pluralismenya.

Dalam percakapan, teori akomodasi menyatakan bahwa seseorang berhak untuk

memilih bagaimana cara mereka berkomunikasi antara satu orang dengan orang

lainnya. Seseorang tersebut mungkin akan menciptakan sebuah percakapan dengan

bahasa yang sama atau membedakan diri dengan orang lain. Cara ini disebut dengan

divergensi dan konvergensi.

Cara Beradaptasi

1. Konvergensi

Giles dan Justine, mendefinisikan konvergensi sebagai sebuah strategi dalam

beradaptasi yang dilakukan oleh seseorang saat berkomunikasi dengan orang lain.

Dalam strategi ini, orang-orang akan beradaptasi dengan kecepatan bicara, gaya

bahasa, jeda bicara, senyuman, tatapan mata, perilaku verbal maupun non-verbal

yang sama dengan lawan bicaranya (West & Turner, 2008: 222). Ketika seseorang

melakukan konvergensi, maka mereka akan bergantung pada persepsi tentang

perkataan dan perilaku lawan bicaranya. Selain itu, konvergensi juga dikaitkan

dengan ketertarikan saat berkomunikasi. Orang-orang akan melakukan konvergensi

kalau mereka saling tertarik dalam pembicaraan.

Giles dan Smith percaya bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat

memengaruhi ketertarikan seseorang terhadap orang lain, seperti kemungkinan

akan berinteraksi kembali, kemampuan untuk berkomunikasi, dan perbedaan status

23
antar komunikator. Sejarah hubungan antar komunikator juga merupakan salah satu

hal penting dalam konvergensi (Adyapradana, 2012).

2. Divergensi

Divergensi merupakan strategi yang berbanding terbalik dengan konvergensi.

Jika konvergensi merupakan strategi untuk menyamakan dan menyesuaikan, maka

divergensi merupakan strategi untuk menonjolkan perbedaan-perbedaan saat

berkomunikasi. Perbedaan seperti gaya bahasa, nada bicara, aksen, dan lain

sebagainya akan ditonjolkan di sini. Divergensi biasanya akan digunakan ketika

orang-orang merasakan adanya perbedaan dalam komunikasi. Meskipun demikian,

divergensi tidak selalu buruk. Divergensi bisa digunakan sebagai salah satu cara

untuk mempertahankan identitas atau budaya dari seseorang di hadapan

komunikator lain ketika sedang bicara (West & Turner, 2008: 226).

F. Kerangka Konsep

Bagan 2. Kerangka Pemikiran

Konvergensi Divergensi
Strategi
C Komunikasi
akomodatif

Percakapan
Stereotip A B Stereotip
Menerima

perbedaan

c. Ketidakpastian
d. Kecemasan

Sumber: Adaptasi Liliweri, 2003: 32

24
Bagan di atas merupakan bagan dari kerangka penelitian ini. A dan B

merupakan dua komunikator yang saling berinteraksi dalam OMK Don Bosco,

yaitu subjek etnis non-Dayak dan Dayak. Sebelum A dan B berkomunikasi, masing-

masing komunikator akan memiliki faktor yang turut mempengaruhi proses

interaksi nantinya. Faktor tersebut adalah stereotip tentang Suku Dayak yang

berkembang. Untuk mengurangi ketidakpastian dan kecemasan dari masing-masing

komunikator, setelah berkomunikasi nantinya akan dilihat strategi komunikasi

akomodatif apa yang nantinya akan subjek gunakan. Strategi konvergensi,

divergensi, atau keduanya dalam proses akomodasi (C).

Stereotip Budaya

Stereotip merupakan istilah yang berasal dari gabungan dua kata dan bahasa

berbeda, yaitu stereos (dalam bahasa Yunani berarti tetap, padat, permanen) dan

typus (dalam bahasa Latin berarti kesan). Dari dua kata tersebut, kemudian stereotip

dimaknai sebagai sebuah kesan yang bersifat tetap.

Dengan menilai orang lain dengan pandangan dari diri sendiri, stereotip dapat

menimbulkan sikap rasisme, seksisme, homofhobia, xenofhobia, dan jenis-jenis

perilaku intoleransi lainnya. Meskipun demikian, stereotip tidak selalu bersifat

buruk karena diperlukan untuk membantu manusia dalam menyederhanakan dan

mengorganisasikan lingkungan, serta membantu seseorang untuk menentukan

respon terbaik dalam menghadapi situasi tertentu.

Samovar et al juga menyatakan terdapat tiga faktor yang menjadi penyebab

dalam pembentukan stereotip, yaitu keluarga, media massa, dan agama. Dalam hal

ini keluarga menjadi faktor utama dalam pembentukan stereotip. Hal ini

25
dikarenakan keluarga merupakan kelompok pertama yang dimiliki oleh seseorang

ketika hidup. Apapun yang menjadi pandangan orangtua saat itu, akan menjadi

pandangan sang anak pula (Priandono 2016: 203).

Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan berfokus pada hambatan stereotip

tentang Suku Dayak, sesuai dengan penjelasan dalam latar belakang yang telah

dipaparkan sebelumnya. Peneliti akan melihat apakah dalam OMK ini juga terdapat

stereotip mengenai Suku Dayak, seperti yang telah peneliti paparkan di latar

belakang.

Proses Akomodasi Komunikasi

Penelitian ini menjelaskan proses komunikasi antarbudaya dengan bentuk

akomodasi komunikasi. West & Turner (2008: 217), mendefinisikan akomodasi

sebagai kemampuan untuk menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku

seseorang dalam responnya terhadap orang lain. Teori ini memusatkan perhatian

pada interaksi memahami antara orang-orang yang berbeda latar belakang budaya,

dengan menilai bahasa, perilaku non-verbal dan penggunaan paralinguistik

individu (Gudykunst & Moody, 2002: 44).

Dalam praktiknya, proses akomodasi komunikasi dilakukan untuk menjelaskan

tahapan-tahapan seseorang yang mencoba untuk beradaptasi terhadap orang lain

dalam interaksi dan dapat memengaruhi satu sama lain. Dalam prosesnya,

akomodasi komunikasi memiliki dua strategi dalam beradaptasi, yaitu:

a. Konvergensi

Konvergensi merupakan strategi adaptasi dengan cara menyamakan gaya

bahasa, jeda bicara, kecepatan bicara, tatapan mata, atau perilaku verbal maupun

26
non-verbal dengan lawan bicaranya (West & Turner, 2008: 222). Ketika seseorang

melakukan konvergensi, maka mereka akan bergantung pada persepsi mengenai

perkataan dan perilaku lawan bicaranya. Selain itu, konvergensi juga dikaitkan

dengan ketertarikan saat berkomunikasi. Biasanya orang-orang akan melakukan

konvergensi kalau mereka saling tertarik dalam pembicaraan.

Dalam penelitian ini, peneliti melihat bagaimana penggunaan strategi

konvergensi yang dilakukan oleh masing-masing subjek dari Suku Dayak dan non-

Dayak di OMK Don Bosco Paroki Babarsari, Yogyakarta, terkait stereotip terhadap

Suku Dayak sehingga komunikasi satu sama lain dapat berjalan dengan baik dan

sikap toleransi OMK tetap terjaga.

b. Divergensi

Divergensi merupakan strategi yang berbanding terbalik dengan konvergensi.

Jika konvergensi merupakan strategi untuk menyamakan dan menyesuaikan, maka

divergensi merupakan strategi untuk menonjolkan perbedaan-perbedaan saat

berkomunikasi. Perbedaan seperti gaya bahasa, nada bicara, aksen, dan lain

sebagainya akan ditonjolkan di sini. Divergensi biasanya akan digunakan ketika

orang-orang merasakan adanya perbedaan dalam komunikasi. Meskipun demikian,

divergensi tidak selalu buruk. Divergensi bisa digunakan sebagai salah satu cara

untuk mempertahankan identitas atau budaya dari seseorang di hadapan

komunikator lain ketika sedang bicara (West & Turner, 2008: 226).

Dalam penelitian ini, peneliti melihat bagaimana penggunaan strategi

divergensi yang dilakukan oleh masing-masing subjek Suku Dayak dan non-Dayak

di OMK Don Bosco Paroki Babarsari, Yogyakarta. Dalam hal ini, peneliti ingin

27
melihat apakah dalam interaksinya, baik subjek Dayak maupun non-Dayak tetap

menonjolkan perbedaan satu sama lain dengan mempertahankan gaya bicara, logat,

bahasa, sikap, atau perilaku dari suku asal mereka saat melakukan interaksi.

G. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode penelitian studi

kasus. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bersifat alamiah, natural,

atau apa adanya, bersifat dinamis (berkembang), dan deskriptif. Deskriptif yang

dimaksudkan di sini adalah hasil penelitian berupa narasi cerita mengenai apa saja

yang narasumber katakan, dokumen-dokumen seperti buku dan catatan pribadi,

perilaku, gerak tubuh, mimik, dan sebagainya. (Idrus, 2009: 24-25). Dalam

penelitian ini, peneliti hanya akan berfokus pada narasi terkait apa saja yang

narasumber katakan, perilaku, dan mimik.

Studi kasus merupakan metode analisis yang menekankan pada kasus-kasus

khusus atau unik yang terjadi pada subjek analisis. Unik dan khusus yang

dimaksudkan adalah kasus yang diangkat hanya terjadi pada lokus atau tempat

tertentu. Dalam studi kasus, biasanya subjek yang diteliti adalah seseorang atau

kelompok-kelompok tertentu secara mendalam (Idrus, 2009: 57). Dengan

demikian, peneliti akan dapat menemukan semua variabel penting terkait subjek

yang diteliti. Dalam penelitian ini, sifat unik dan khusus dapat dilihat dari anggota

OMK yang plural dan stereotip Suku Dayak yang melekat erat. Variabel penting

yang dicari dalam penelitian ini adalah setiap perubahan atau penyamaan cara

28
berkomunikasi terkait gaya bahasa, nada bicara, selipan kata, dan komunikasi non-

verbal terkait sikap.

Dengan pendekatan ini, peneliti akan meneliti setiap narasumber secara

mendalam (sampai pada sebab-akibat penyebab). Dengan begitu, peneliti akan

meneliti tentang bagaimana perkembangan diri narasumber terkait streotip Suku

Dayak yang dimiliki, penyebab munculnya stereotip, perilaku keseharian

narasumber terkait stereotip, alasan perilaku tersebut dilakukan, bagaimana

perilaku berubah dan penyebab perubahan perilaku tersebut.

Karena banyaknya informasi yang akan digali dalam penelitian, maka

diperlukan adanya batasan waktu tertentu untuk melakukan penelitian. Dalam

penelitian ini, peneliti melakukan penelitian selama 26 hari. Waktu 26 hari ini

digunakan untuk observasi lapangan dan wawancara mendalam.

Dalam penelitian ini, data yang dikumpul berupa kata-kata hasil wawancara

antara peneliti dengan informan atau narasumber dan juga perilaku hasil observasi

yang peneliti lakukan. Alasan peneliti menggunakan metode ini karena studi kasus

menekankan kedalaman analisis pada kasus tertentu yang lebih spesifik. Studi kasus

merupakan metode yang tepat untuk memahami suatu keadaan atau kondisi

tertentu, di satu tempat dan waktu tertentu seperti dalam penelitian ini yang

mengambil lokasi penelitian di ‘Kota Pelajar’ Yogyakarta. Studi kasus membantu

peneliti untuk melakukan penelitian secara mendalam dan total karena pendekatan

ini membahas secara mendalam sebuah keadaan, kondisi, atau peristiwa yang

terjadi, terkait keinginan, perasaan, opini, serta perilaku tentang strategi adaptasi

yang akan peneliti teliti nantinya. Sebagaimana peneliti ingin mengangkat

29
penelitian tentang akomodasi komunikasi Suku Dayak dan non-Dayak di OMK

Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta dalam menghadapi stereotip Suku Dayak.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Gereja Assumpta Paroki Babarsari Yogyakarta.

Lokasi dipilih karena kegiatan dari OMK Don Bosco Paroki Babarsari selalu

dilakukan di Gereja Assumpta dan beberapa narasumber melakukan wawancara di

UAJY dan Asrama Putri Kubar.

3. Subjek Penelitian

Dalam sebuah penelitian, subjek merujuk pada responden atau informan yang

akan digali datanya. Dalam penelitian kualitatif, penentuan subjek sudah ditentukan

sejak awal saat penelitian baru dirancang (proposal penelitian). Dalam proses di

lapangan, teknik sampling atau penentuan sampel (informan) juga akan sesuai

dengan kondisi di lapangan (Idrus, 2009: 91-92). Dalam penentuan subjek,

diperlukan adanya kerasionalan yang jelas serta alasan yang kuat mengapa subjek

tersebut dipilih.

Subjek dalam penelitian ini adalah Suku Dayak dan non-Dayak di OMK Don

Bosco Paroki Babarsari, Yogyakarta. OMK Don Bosco merupakan komunitas

agama yang sudah terbentuk sejak tahun 2010. Berdasarkan wawancara dengan

Yuni, mantan pengurus OMK Minggu, 7 Juli 2019 lalu, jumlah anggota dari OMK

ini sekitar 100 orang dan jumlah kepengurusan dalam OMK Don Bosco berjumlah

26 orang. 5 di antaranya dinyatakan kurang aktif (jarang muncul dalam grup chat

dan kegiatan OMK) dalam kepengurusan, 21 sisanya merupakan laki-laki sebanyak

30
7 orang dan perempuan sebanyak 14 orang. Berikut tabel anggota kepengurusan

OMK Don Bosco Paroki Babarsari, Yogyakarta.

Tabel 2. Daftar jumlah etnis kepengurusan OMK Don Bosco

No Suku/ Pulau Jumlah


1. Dayak 5
2. Batak 6
3. Jawa 4
4. Tionghoa 4
5. NTT 1
6. Papua 1
Sumber: Make, 2019.

Berdasarkan daftar tabel serta keterangan di atas, berikut beberapa

pertimbangan dan kriteria dalam pemilihan subjek dalam penelitian ini:

a. Subjek merupakan anggota aktif OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta.

Aktif yang dimaksudkan di sini adalah yang sering mengikuti kegiatan OMK

seperti rapat evaluasi yang dilaksanakan setiap tiga bulan sekali ataupun

kegiatan lainnya.

b. Subjek tergabung dalam OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta selama

minimal 6 bulan. Penetapan waktu minimal bergabung selama 6 bulan ini

dikarenakan semakin lama subjek bergabung dalam OMK, maka frekuensi

interaksi akan semakin intens.

c. Subjek (Suku Dayak dan non-Dayak) pernah berinteraksi secara personal.

d. Untuk penetapan subjek dalam penelitian ini, pengambilan subjek yang

mewakili etnik tidak berdasarkan jumlah anggota dan pengurus OMK. Hal ini

dikarenakan tidak imbangnya jumlah anggota dari setiap etnis yang tergabung.

Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, maka peneliti menemukan enam subjek

untuk diwawancarai dalam penelitian ini. Subjek tersebut adalah Jeremias

31
Adiputranto Make dari Etnis Timur, Mayrisky Samosir dari Etnis Batak, Peter D.

Lim dari Etnis Tionghoa, Ovilia Alvionita, Patricia Jessica, dan Brigitha Cindy

Nadya Adriani dari Etnis Dayak. penjelasan lebih lanjut mengenai subjek, akan

dipaparkan secara terpisah dalam Bab II penelitian.

4. Objek Penelitian

Dalam sebuah penelitian, objek merupakan masalah atau tema yang sedang

diteliti (Idrus, 2009:91). Berdasarkan pengertian ini, maka objek dalam penelitian

ini adalah masalah yang diteliti, yaitu akomodasi komunikasi Suku Dayak dan non-

Dayak di OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta.

5. Jenis Data

Data merupakan segala keterangan atau informasi yang berkaitan dengan

tujuan penelitian. Meskipun demikian, tidak semua keterangan atau informasi dapat

dijadikan sebagai data penelitian. Data penelitian hanya sebagian informasi yang

berkaitan dengan hal-hal terkait penelitian. Dalam penelitian kualitatif, Idrus (2003:

62) menerangkan terdapat tujuh hal yang dapat menjadi data penelitian, yaitu

catatan lapangan, sumber data tertulis dan rekaman, oral history, sejarah hidup,

family stories, jurnal, dan material culture.

Dalam penelitian ini, data yang peneliti gunakan adalah catatan lapangan, dan

sejarah hidup. Catatan lapangan merupakan data berupa catatan tertulis yang ditulis

secara rinci, cermat, luas, dan mendalam (sampai pada sebab-akibat) yang diperoleh

dari hasil wawancara mendalam dan observasi lapangan. Sedangkan sejarah hidup

merupakan cerita yang dituturkan secara lisan maupun tertulis seperti autobiografi

oleh informan (Idrus, 2003: 74).

32
6. Teknik Pengumpulan Data

Dalam teknik pengumpulan data kualitatif, terdapat beberapa hal yang dapat

dilakukan, yaitu dengan observasi, wawancara, dokumenter, bahan visual, dan

penelusuran data online. Namun, dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan

teknik wawancara dan observasi. Teknik wawancara yang digunakan adalah teknik

wawancara mendalam (indepth interview) dengan jenis wawancara semi

terstruktur. Teknik wawancara mendalam bertujuan untuk memperoleh keterangan

dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan

informan (subjek), dengan atau tanpa menggunakan perdoman wawancara di mana

pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Jenis

wawancara semi terstruktur merupakan jenis wawancara yang pertanyaannya

secara lebih dahulu ditetapkan oleh pewawancara atau peneliti, namun untuk

mendapatkan kekayaan data, peneliti tidak akan selalu mengikuti pedoman

wawancara. Peneliti akan fokus pada jawaban dari narasumber yang diteliti.

Melalui teknik wawancara mendalam ini, peneliti akan mendapatkan data

(catatan lapangan dan sejarah hidup) yang diperlukan, yaitu tentang perasaan,

pandangan, motivasi, gagasan, ide atau apa saja yang dialami dan dipikirkan oleh

informan dan dalam penelitian ini, data yang akan peneliti pakai hanya pada

perasaan, pandangan, dan motivasi.

Surwandi Endraswara (2006: 151) menyatakan tujuan dari wawancara ialah

untuk mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, tuntutan,

kepedulian, dan lain-lain. Wawancara mengkonstruksi hal-hal di masa lalu, yang

kemudian memproyeksikan sebagai yang diharapkan untuk dialami di masa yang

33
akan datang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diterima

dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); memverifikasi,

mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai

pengecekan anggota.

Triangulasi merupakan teknis pemeriksaan keabsahan data dengan cara

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu sendiri, untuk pengecekan atau

sebagai pembanding data yang sudah didapat sebelumnya. Pada penelitian ini,

peneliti memilih untuk menggunakan triangulasi agar peneliti bisa mengonfirmasi

kebenaran setelah wawancara. Triangulasi yang peneliti gunakan adalah triangulasi

metode. Triangulasi metode merupakan suatu cara yang dilakukan untuk

membandingkan informasi atau data dengan cara yang berbeda. Untuk memperoleh

kebenaran informasi, peneliti bisa menggunakan multi metode seperti wawancara

dan observasi (Raharji, 2016).

Selain melakukan wawancara, peneliti akan melakukan obeservasi di Gereja

Assumpta Paroki Babarsari Yogyakarta. Dalam penelitian ini peneliti hanya akan

berperan sebagai pengamat di lapangan (non-partisipatif). Peneliti tidak menjadi

anggota dari OMK, namun masih mengikuti kegiatan atau aktivitas yang dilakukan

oleh subjek yang diamati. Observasi ini dimulai pada Jumat, 16 Agustus 2019 dan

selesai pada Senin, 9 September 2019. Dalam observasi ini, peneliti mengamati

interaksi setiap subjek, termasuk sikap dan cara berbicara setiap narasumber.

Berikut pedoman wawancara yang peneliti gunakan untuk mendapatkan data

yang dibutuhkan dari narasumber selama penelitian:

Tabel 3. Pedoman Wawancara

34
No. Konsep Alur Pertanyaan
1. Stereotip 1. Pernah dengar stereotip tentang Suku
Dayak?
2. Stereotip apa saja yang kamu ketahui?
3. Percaya atau tidak?
4. Apakah stereotip ini mempengaruhi interaksi
kamu?
5. Menurutmu Suku Dayak gimana?
6. Punya pengalaman tidak menyenangkan atau
menyenangkan yang disebabkan oleh
stereotip ini? Terkait perilaku atau omongan.
2. Akomodasi Konvergensi 7. Bahasa apa yang digunakan ketika
Komunikasi berinteraksi?
8. Bagaimana dengan sikap? Ada yang berubah
atau tidak?
9. Pernah menggunakan bahasa suku lain
dalam berkomunikasi?
Divergensi 10.Pernah menggunakan bahasa sendiri dalam
berkomunikasi?
11.Lebih senang menggunakan bahasa apa?
12.Punya kesulitan selama berinteraksi?
13.Penting tidak untuk menyamakan bahasa,
gaya bicara, intonasi, dan perilaku ketika
berbicara?

7. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang peneliti gunakan adalah model analisis interaktif

Miles dan Huberman. Dalam penelitian ini analisis data (hasil wawancara dan

observasi) telah dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Data yang

dimaksudkan di sini adalah data hasil wawancara peneliti dengan narasumber

mengenai pandangan dan pengetahuan setiap narasumber tentang stereotip Suku

35
Dayak dan akomodasi komunikasi yang dilakukan oleh masing-masing narasumber

untuk menghadapi stereotip tersebut dalam OMK Don Bosco Paroki Babarsari

Yogyakarta, serta hasil observasi peneliti terhadap narasumber terkait akomodasi

komunikasi narasumber.

Model ini memiliki empat tahap dalam menganalisis penelitian kualitatif, yaitu

tahap pengumpulan data, reduksi data, display data, dan verifikasi dan penarikan

kesimpulan (Idrus, 2009: 147).

Pada tahap pengumpulan data, proses yang dilakukan adalah mengumpulkan

data dengan menggunakan teknik yang telah ditentukan dari awal (wawancara

mendalam dan observasi). Yang dimaksudkan dalam tahap ini adalah peneliti

mengumpulakan data melalui wawancara dan observasi terhadap setiap

narasumber. Wawancara dimulai pada Sabtu, 24 Agustus 2019, sedangkan

observasi dimulai pada Jumat, 16 Agustus 2019 hingga Senin, 9 September 2019

bertempat di Gereja Assumpta Paroki Babarsari Yogyakarta dan Asrama Putri

Kubar Yogyakarta.

Pada tahap reduksi data, proses yang dilakukan adalah melakukan pemilihan

pemusatan perhatian dalam data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dari

lapangan. Proses ini dilakukan agar data yang diperoleh menjadi lebih tajam,

terarah, menggolongkan dan membuang data yang tidak diperlukan,

mengorganisasi data sehingga dapat memudahkan peneliti untuk melakukan

penarikan kesimpulan yang dilanjutkan dengan proses verifikasi (Idrus, 2009: 150).

Pemilihan pemusatan perhatian data kasar yang dimaksudkan adalah peneliti

menyaring dan memilih kutipan wawancara tentang setereotip dan akomodasi

36
komunikasi dari narasumber. Peneliti juga memilah hasil observasi yang berkaitan

dengan stereotip dan akomodasi komunikasi dari setiap narasumber.

Pada tahap display data, proses yang dilakukan adalah menyusun kumpulan

informasi yang kemudian dapat ditarik menjadi sebuah kesimpulan dan

pengambilan tindakan dari tahap sebelumnya. Dalam penelitian ini, data yang

sudah dipilah akan disajikan dalam bentuk deskripsi atau catatan singkat dan

kemudian akan dibandingkan kembali dengan konsep penelitian awal (Idrus, 2009:

151). Tahap ini dilakukan dalam sub bab temuan data. Setelah peneliti memilih

hasil wawancara dan observasi yang digunakan, peneliti kemudian menyusun

kumpulan data tersebut menjadi sebuah narasi yang nantinya akan digunakan untuk

membandingkan hasil data tersebut dengan konsep penelitian awal.

Tahap terakhir, yaitu tahap verifikasi dan penarikan kesimpulan, merupakan

proses di mana peneliti melakukan penarikan arti dari data yang telah ditampilkan

sebelumnya. Penarikan kesimpulan berkisar pada pemahaman dan interpretasi

peneliti. Setelah mendapatkan data dan verifikasi dari tiga tahapan sebelumnya,

peneliti akan membandingkan dengan konsep teori dan menarik kesimpulan.

Penarikan arti data yang dimaksudkan di sini adalah peneliti menarik sebuah

kesimpulan dari temuan data (tahap reduksi) yang telah dilakukan, kemudian

menganalisis serta membandingkan hasil wawancara dan observasi yang telah

dilakukan dengan konsep awal penelitian dan teori akomodasi.

37
BAB II

DESKRIPSI SUBJEK DAN OBJEK PENELITIAN

A. Objek Penelitian

Pada sub bab ini, peneliti akan menjelaskan mengenai objek penelitian yang

menjadi fokus dalam penelitian ini. Lokasi penelitian terletak di Yogyakarta karena

Kota Yogyakarta merupakan ‘Kota Pelajar’ yang memiliki banyak pendatang di

dalamnya. Meskipun demikian, masih banyak para perantau, khususnya mahasiswa

dari luar Yogyakarta yang memiliki stereotip negatif tentang Suku Dayak, tidak

terkecuali di OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta yang menjadi objek

penelitian. Dalam sub bab ini, peneliti akan memaparkan sejarah dan visi misi dari

OMK Don Bosco.

Bagan 3. Struktur organisasi OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta

Romo Paroki

Ketua bidang
paguyuban Romo, Bruder,
Suster pendamping

Ketua/pengurus
OMK Don Bosco

Ketua/ Pengurus Ketua/ Pengurus


Ketua/ Pengurus
OMK Lingkungan paguyuban Asal
Lektor-Mazmur-PA
Daerah - Minat

Sumber: OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta

Sejarah dan Perkembangan OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta

OMK Don Bosco merupakan salah satu kelompok agama yang tergolong baru

dibentuk. OMK ini terbentuk sejak tahun 2010, bertepatan dengan kelahiran Santo

38
Don Bosco ke Bumi. Sebelum menjadi OMK, sebelumnya di Gereja Assumpta

terdapat sebuah kelompok agama bernama Mudika-Mudika. Namun karena

beberapa alasan, Mudika-mudika kemudian diubah menjadi Orang Muda Katolik

(OMK) (Finanta, 2019).

OMK atau Orang Muda Katolik, merupakan wadah bagi kaum muda untuk

mengisi masa mudanya dengan kegiatan yang positif di bawah pengawasan Gereja.

Orang Muda Katolik merupakan seluruh kaum muda yang telah menerima

sakramen babtis secara Katolik dan berada dalam rentang usia 13-35 tahun dan

belum menikah (Komisi Kepemudaan KWI, Pastor Adi & Pastor Stabu, dalam

Olivia, 2017).

Dalam keanggotaannya, OMK Don Bosco memiliki anggota lebih dari 100

orang dengan jumlah pengurus aktif sebanyak 21 orang. 7 di antaranya merupakan

laku-laki dan 14 sisanya adalah perempuan. Etnis yang ada di dalam OMK ini juga

bervariasi, di antaranya terdapat Suku Dayak, Jawa, Batak, Tionghoa, NTT,

Manado, Bali, dan Papua. Menurut Yuni Indra Chatarina, mantan pengurus OMK

Don Bosco, siapa saja bisa bergabung dalam OMK ini. Tidak ada syarat khusus

untuk dapat bergabung, dengan kata lain kelompok ini merupakan kelompok yang

tidak terikat. Anggota bisa bebas untuk keluar masuk OMK selama masih beragama

Katolik dan berusia 13-35 tahun. Berbeda dengan anggota biasa, untuk menjadi

pengurus OMK diperlukan adanya open recruitment dengan beberapa kriteria yang

ditentukan (Chatarina, 2019).

Dari tahun 2010 hingga saat ini, banyak kegiatan yang telah dilakukan oleh

OMK Don Bosco. Kegiatan yang dilakukan pun berbeda-beda tergantung pada

39
program kerja setiap kepengurusan. Namun terdapat beberapa kegiatan yang masih

rutin dilakukan hingga saat ini. Untuk kegiatan internal yang masih rutin dilakukan

adalah rapat evaluasi per tiga bulan dan malam keakraban (makrab) OMK.

Sedangkan untuk kegiatan eksternal, kegiatan yang masih dilakukan adalah

pagelaran budaya (Firnanta, 2019).

Menurut Kelvin Firnanta (mantan ketua OMK Don Bosco periode 2016),

kegiatan pagelaran budaya dilakukan sesuai dengan kemampuan dari tiap

kepengurusan. Dengan kata lain, kegiatan ini tidak wajib untuk dilakukan.

Meskipun demikian, tiap kepengurusan tetap berusaha untuk melakukan kegiatan

pagelaran budaya ini. Pagelaran budaya merupakan wujud dari ulang tahun OMK.

Kegiatan ini merupakan wujud aksi nyata dari OMK Don Bosco untuk melestarikan

budaya dan juga toleransi, baik dalam berbudaya maupun beragama. Dalam

kegiatan ini, siapa pun dan dari agama apa pun bisa turut serta menjadi bagian dari

kepanitiaan (Firnanta, 2019).

Visi

Menjadi wadah iman Orang Muda Katolik.

Misi

Dalam OMK Don Bosco, misi berubah setiap dua tahun sekali mengikuti

program kerja kepengurusan baru. Untuk kepengurusan periode 2018 ini, misi dari

OMK Don Bosco adalah mempererat ikatan baik antara pengurus maupun

eksternal.

B. Subjek Penelitian

40
Berdasarkan objek penelitian, maka setiap suku yang terdapat dalam OMK

Don Bosco berpotensi sebagai subjek penelitian. Namun, dalam penelitian ini,

penulis memiliki beberapa kriteria dalam pemilihan subjek, yaitu:

1. Subjek merupakan anggota aktif OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta.

Aktif yang dimaksudkan di sini adalah sering mengikuti kegiatan OMK seperti

rapat evaluasi yang dilaksanakan setiap tiga bulan sekali ataupun kegiatan lainnya.

2. Subjek tergabung dalam OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta selama

minimal 6 bulan. Penetapan waktu minimal bergabung selama 6 bulan dikarenakan

semakin lama subjek bergabung dalam OMK, maka frekuensi interaksi akan

semakin intens.

3. Subjek (Suku Dayak dan non-Dayak) pernah berinteraksi secara personal.

4. Untuk penetapan subjek dalam penelitian ini, pengambilan subjek yang

mewakili etnik tidak berdasarkan jumlah baik anggota kepemgurusan maupun

OMK secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan tidak imbangnya jumlah anggota

dari setiap etnis.

Berdasarkan empat kriteria di atas, penulis menemukan enam subjek yang akan

dikelompokkan ke dalam tabel berikut:

Tabel 4. Subjek penelitian berdasarkan kriteria peneliti

No Subjek Penelitian Suku Lama Bergabung di OMK


1. Jeremias Adiputranto Make Timur (NTT) 2 Tahun
2. Mayrisky Samosir Batak 9 Bulan
3. Peter D. Lim Tionghoa 10 Bulan
4. Patricia Jessica Dayak 10 Bulan
5. Olivia Alvioniya Dayak 2 Tahun
6. Brigitha Cindy Nadya A. Dayak 10 Bulan
Sumber: Olahan Data Peneliti

41
1. Jeremias Adiputranto Make

Gambar 1. Foto pribadi Jerry

Sumber: Dokumentasi pribadi narasumber

Narasumber pertama adalah Jeremias Adiputranto Make atau Jerry. Jerry

merupakan ketua dari OMK Don Bosco Paroki Babarsari Yogyakarta Periode 2018

dan merupakan mahasiswa Universitas Atma Jaya (UAJY) angkatan 2016.

Mahasiswa Suku Timur ini lahir dan dibesarkan di Kupang, Provinsi Nusa

Tenggara Timur. Jerry pertama kali menginjakkan kaki di Kota Yogyakarta pada

tahun 2016. Setelahnya pada bulan Oktober 2016, Jerry bergabung dengan OMK

Don Bosco, namun baru benar-benar aktif setahun belakangan. Dalam interaksinya

dengan Suku Dayak, Jerry tergolong sering berkomunikasi dengan Opi dan Cindy.

Interaksi ini menjadi semakin sering ketika mereka berada dalam divisi yang sama

dalam kepanitiaan pagelaran budaya pada bulan September.

Dalam pengalamannya selama bergabung dalam kepengurusan dan anggota

OMK Don Bosco, Jerry sempat memiliki rasa takut untuk berinteraksi dengan Suku

Dayak. Hal ini dikarenakan pengetahuannya mengenai Suku Dayak yang Ia peroleh

dari hasil browsing di internet yang menyatakan bahwa Suku Dayak merupakan

suku yang mistis. Ketakutan Jerry semakin diperkuat oleh informasi yang Ia terima

dari teman kuliahnya (dari Suku Dayak) yang mengatakan bahwa jika memiliki

42
masalah, Suku Dayak cenderung akan menggunakan Mandau. Hal ini yang

kemudian menjadikan Jerry segan untuk berinteraksi dengan Suku Dayak.

Meskipun demikian, Jerry tetap mencoba untuk beradaptasi dan membiasakan

diri. Untuk dapat terbiasa dengan lingkungan OMK, Jerry membutuhkan waktu

sekitar satu minggu (jika rutin bertemu) hingga berbulan-bulan (jika jarang

bertemu). Dalam adaptasinya, Jerry cenderung menggunakan strategi divergensi

meskipun konvergensi juga Ia gunakan.

2. Peter D. Lim

Gambar 2. Foto pribadi Peter

Sumber: Dokumentasi pribadi narasumber

Peter D. Lim atau yang lebih dikenal dengan panggilan Peter merupakan

mahasiswa Etnis Tionghoa asal Ketapang, Kalimantan Barat. Peter telah bergabung

di OMK Don Bosco selama 10 bulan terhitung dari Oktober 2018. Dalam struktur

organisasi OMK Don Bosco, Peter menjabat sebagai koordinator Divisi Minat dan

Bakat (Mikat). Serupa dengan Jerry, Peter juga merupakan mahasiswa UAJY,

namun berangkatan 2018. Dalam interaksinya dengan Suku Dayak, Peter sering

berinteraksi dengan Opi, Jessica, dan Cindy.

43
Dalam pengalamannya dengan Suku Dayak selama bergabung di OMK Don

Bosco, Peter merasa biasa saja. Karena besar di Ketapang yang banyak ditempati

oleh Suku Dayak, membuat Peter cukup terbiasa dengan Suku Dayak. Meskipun

demikian, Peter tetap memiliki stereotip tentang Suku Dayak yang seram dan penuh

mistis. Berdasarkan informasi yang Ia dapat selama di Ketapang, Suku Dayak dapat

memanggil roh panglima burung jika terdapat masalah. Hal ini yang kemudian

membuat Peter cukup segan jika terlibat masalah dengan Suku Dayak.

Untuk dapat beradaptasi di lingkungan OMK, Peter hanya membutuhkan

waktu sekitar satu minggu (jika rutin bertemu) hingga beberapa minggu (jika jarang

bertemu). Durasi ini tergolong cepat jika dibandingan dengan kelima narasumber

lain yang rata-rata membutuhkan waktu satu bulan untuk dapat beradaptasi dengan

baik. Dalam adaptasinya dengan Suku Dayak, Peter cenderung menggunakan

konvergensi, meskipun juga menggunakan divergensi.

3. Mayrisky Samosir

Gambar 3. Foto pribadi Mey

Sumber: Dokumentasi pribadi narasumber

Mayrisky Samosir atau yang kerap disapa dengan panggilan Mey, merupakan

mahasiswi Universitas Mercu Buana angkatan 2018. Mey lahir dan dibesarkan di

44
Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Mahasiswa yang berasal dari Suku Batak ini,

telah bergabung selama 9 bulan di OMK Don Bosco terhitung sejak bulan

November 2019 lalu. Namun Mey baru aktif dalam kepengurusan sejak bulan

Februari 2019 lalu sebagai sekretaris dua. Dalam interaksinya dengan Suku Dayak,

Mey tergolong sering berinteraksi dengan Opi dikarenakan satu divisi dalam

kepanitiaan pagelaran budaya dan satu kepanitiaan dalam acara welcome party.

Selain itu Mey juga kerap berinteraksi dengan Jessica dari divisi usaha dana (usda).

Dalam pengalamannya bergabung dengan OMK Don Bosco, Mey juga sempat

memiliki rasa khawatir untuk berinteraksi dengan Suku Dayak. Menurut informasi

yang Ia terima (dari teman kampus yang juga berasal dari Suku Dayak), Suku

Dayak merupakan suku yang suka bermain mistis atau ilmu hitam. Informasi ini

membuat Mey merasa segan untuk berbicara dengan Suku Dayak seperti Jerry.

Untuk dapat beradaptasi dengan Suku Dayak, Mey membutuhkan waktu yang

cukup lama, yaitu sekitar enam bulan lebih karena menurutnya terlalu banyak yang

berbeda antara sukunya dengan Suku Dayak. Dalam strategi akomodasi, Mey

cenderung menggunakan strategi konvergensi, meskipun terkadang menggunakan

divergensi. Mey merupakan tipikal seseorang yang moody. Sehingga, Ia akan dapat

berbicara dengan baik (menyesuaikan lawan bicara) jika moodnya baik. Jika Ia

kelelahan atau merasa kurang sehat, Mey akan cenderung tidak perduli dengan

lawan bicaranya dan menggunakan logat serta selipan bahasanya sendiri.

4. Brigitha Cindy Nadya Adriani

45
Gambar 4. Foto pribadi Cindy

Sumber: Dokumentasi pribadi narasumber

Brigitha Cindy Nadya Adriani atau yang lebih dikenal dengan Cindy,

merupakan mahasiswa UAJY angkatan 2018, jurusan akuntansi. Cindy pertama

kali menginjakkan kaki di Yogyakarta pada tahun 2018 lalu. Sama dengan Jessica,

Cindy merupakan anggota OMK yang menjabat sebagai salah satu pengurus Divisi

Usaha Dana. Ia ikut bergabung dalam OMK dan kepengurusan sejak Oktober 2018

lalu bersama dengan Jessica. Cindy merupakan koordinator dari Divisi Usda.

Dalam pengalamannya dengan suku non-Dayak di OMK, Cindy sempat

beberapa kali ditanyakan mengenai perang Sampit. Karena merasa Perang Sampit

tidak berasal dari daerahnya dan Ia juga tidak mengetahui tentang Kalimantan

Tengah dengan bik, maka Ia tidak ambil pusing tentang pertanyaan-pertanyaan

tersebut. Justru Ia menganggap teman-temannya hanya merasa ingin tahu tentang

kejadian perang Sampit.

Untuk dapat beradaptasi dengan Suku non-Dayak di OMK, Cindy

membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk dapat terbiasa. Cindy mengaku cukup

kaget saat bergabung ke dalam OMK karena lingkungan yang sangat berbeda

dengan tempat asalnya. Dalam strategi akomodasi, Cindy cenderung lebih banyak

menggunakan strategi konvergensi, meskipun Ia juga menggunakan divergensi.

5. Patricia Jessica

46
Gambar 5. Foto pribadi Jessica

Sumber: Dokumentasi pribadi narasumber

Patricia Jessica atau yang lebih dikenal dengan panggilan Jessica, merupakan

salah satu pengurus di bidang atau Divisi Usaha Dana. Jessica baru bergabung

dalam kepengurusan sejak 2018 lalu. Jessica berasal dari Asa, Kutai Barat,

Kalimantan Timur dan memiliki jenis Suku Dayak Tunjung. Jessica bergabung

dalam kepengurusan bersama dengan Cindy dan satu teman lainnya. Ia pertama kali

menginjakkan kaki di Yogyakarta pada tahun 2018 dan saat ini sedang menempuh

pendidikan di UAJY jurusan arsitektur angkatan 2018.

Dalam pengalamannya dengan suku non-Dayak di OMK Don Bosco, Jessica

tidak pernah sekalipun mendapat pertanyaan negatif mengenai Suku Dayak. Justru

Ia banyak mendapat stereotip di lingkungan kampusnya. Hal ini kemudian

membuat Jessica tidak masalah dengan stereotip Suku Dayak yang berkembang.

Untuk dapat beradaptasi dengan suku non-Dayak di OMK, Jessica memerlukan

waktu sekitar lima hingga enam bulan. Dalam penggunaan strategi akomodasi,

Jessica lebih banyak menggunakan konvergensi dibandingkan divergensi.

6. Olivia Alvioniya

47
Gambar 6. Foto pribadi Opi

Sumber: Dokumentasi pribadi narasumber

Olivia Alvioniya atau yang sering disebut dengan panggilan Opi, merupakan

mahasiswa Suku Dayak Tunjung, kelahiran Kutai, Kalimantan Timur. Opi mulai

menginjakkan kaki di Kota Yogyakarta pada tahun 2016. Dalam perkuliahannya,

saat ini Opi sedang menempuh semester 7 di Universitas Respatih. Opi mulai aktif

dalam OMK Don Bosco sejak 2 tahun yang lalu dan sekarang menjabat sebagai

bendahara. Saat ini Opi tergabung dalam kepanitiaan pagelaran budaya sebagai

divisi acara. Dalam interaksinya, Opi tergolong sering berkomunikasi dengan Mey,

Jerry, dan Peter. Opi memiliki kepribadian yang pendiam.

Selama bergabung dalam kepengurusan dan menjadi anggota OMK, Opi sering

mendapat pertanyaan negatif mengenai Suku Dayak. Pertanyaan yang paling sering

Ia terima adalah mengenai Suku Dayak yang bermain ilmu hitam. Meskipun

demikian, Opi tidak mengambil pusing mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut,

Ia hanya menganggap pertanyaan-pertanyaan tersebut rasa penasaran dari teman-

temannya saja.

48
Untuk dapat beradaptasi dengan suku non-Dayak di OMK, Opi memerlukan

waktu sekitar satu hingga dua bulan. Dalam penggunaan strategi akomodasi, Opi

cenderung menggunakan strategi konvergensi dibanding divergensi.

49

Anda mungkin juga menyukai