Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PERKEMBANGAN BELAJAR PESERTA DIDIK


Dosen Pengampu: Ni Wayan Suparmi,S.Pd.,M.Pd

Oleh:
BERNARDUS ARDI DEDO

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

CITRA BAKTI

2023

1
KATA PENGANTAR
Tujuan penulisan ini untuk memenuhi tugas dari ibu dosen, makalah ini
diharapkan dapat menjadi penambah wawasan bagi pembaca serta penulis
sendiri,Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas
berkat dan Rahmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Perkembangan Belajar Peserta Didik ini yang berjudul “Teori Perkembangan
sosial Dan Kepribadian dari Erikson (Konsep,Tahap Perkembangan,Kritik,Revisi,dan
Penerapannya, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ibu dosen pada
kuliah yang sudah mempercayakan tugas ini kepada penulis, sehingga sangat
membantu penulis untuk memperdalam pengetahuan pada bidang studi yang
ditekuni. Terima kasih juga kami ucapkan kepada semua pihak yang telah
berbagi pengetahuannya sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan
tepat waktu
Kami menyadari jika makalah ini jauh dari kata sempurna.Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik serta saran demi kesempurnaan dari makalah ini.

Malanuza 8 Oktober, 2023

2
Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................I
DAFTAR ISI..............................................................................................................II
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 . Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 . Rumusan Masalah.........................................................................................2
1.3 . Tujuan Penulisan...........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Konsep Teori Perkembangan Sosial dan Kepribadian dari Erikson...........................6
2.2. Tahap Teori Perkembangan Sosial dan Kepribadian dari Erikson.................................8

2.3. Kritik dan Revisi Teori Perkembangan Sosial dan Kepribadian dari Erikson................10

2.4 Penerapan Teori Perkembangan Sosial dan Kepribadian dari Erikson.........................12

BAB : 3 Penutup............................................................................................................16
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................16
3.2 Saran.....................................................................................................................16
Daftar Pustaka.............................................................................................................17

3
BAB 1

PENDAHULUAN

2.1 LATAR BELAKANG

Erikson terlatih sebagai seorang tenaga analisis lepas dalam tradisi pengikut
Freud.Erikson dan nego neo-Freudnya tentang perkembangan teori kepribadian telah
dikenal secara luas melalui empat bukunya, risetnya, ajaran kuliahnya secara luas, dan
lusinan artikel jurnal, Erikson adalah pengikut Neo freud yang terlatih sebagai
psikoanalisis lepas, dan masih meneruskan secara luas dalam tradisi teori pengikut Freud.

Bagaimanapun juga, kami mencatat beberapa perluasan karyanya terhadap kerangka


acuan psikoanalisis. Sebagai contoh, secara kontras dengan posisi freud, ia tidak merasa
bahwa kepribadian dimulai setelah masa kanak-kanak. Seperti yang kita lihat, ia
mempertimbangkan kepribadian agar tetap fleksibel di sepanjang usia dewasa. Erikson
juga menggunakan prinsip kutub atau prinsip dikotomi Yang digunakan freud dan , tentu
saja, juga digunakan oleh Jung. Suatu Ilustrasi mengenai perkembangan ego pada
kedelapan perkembangan umur dimana kehidupan individual berakhir, apakah sebagai
pribadi yang sukses atau gagal dengan kata Erikson, integritas vs keputusan.

Erikson menggambarkan adanya sejumlah kualitas yang dimiliki ego, yang tidak ada pada
psikoanalisis Freud, yang digambarkan pada masing-masing 8 tahap perkembangan umur.
Kualitas-kualitas ego tersebut inilah yang biasa dikenal dengan ego kreatif (Alwisol,
2005). Pada konsep ini ego bukanlah budak tetapi justru tuan atau pengatur dari ide, super
ego dan dunia luar. Jadi ego di samping hasil proses faktor-faktor genetik, fisiologi,dan
anatomis, juga dibentuk oleh konteks kultural dan historik. Ego yang sempurna
digambarkan

1.2. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana konsep teori perkembangan sosial dan kepribadian dari Erikson ?


2. Bagaimana tahap teori perkembangan sosial dan kepribadian dari Erikson

4
3. Bagaimana kritik dan revisi teori perkembangan sosial dan kepribadian dari Erikson ?
4. Bagaimana penerapan teori perkembangan sosial dan kepribadian dari Erikson ?

1.3. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini diantaranya adalah:

1. Mengetahui konsep teori perkembangan sosial dan kepribadian dari Erikson


2. Mengetahui tahap teori perkembangan sosial dan kepribadian dari Erikson
3. Mengetahui kritik dan revisi teori perkembangan sosial dan kepribadian dari Erikson
4. Mengetahui penerapan teori perkembangan sosial dan kepribadian dari Erikson

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Teori Perkembangan Sosial dan Kepribadian dari Erikson


Setiap organisme, baik manusia maupun hewan mengalami peristiwa perkembangan
selam hidupnya. Perkembangan ini meliputi seluruh bagian dengan keadaan yang dimiliki
organisasi tersebut, baik yang bersifat kongkret maupun yang bersifat abstrak. Jadi arti
peristiwa perkembangan tersebut khususnya perkembangan manusia tidak hanya tertuju
pada aspek psikologis saja, tetapi juga aspek biologis, karena setiap aspek perkembangan
individu, baik fisik, emosi, intelegensi maupun sosial, satu sama lain saling
mempengaruhi.

Terdapat hubungan atau korelasi yang positif diantara aspek tersebut. Setiap
organisme, baik manusia maupun hewan mengalami peristiwa perkembangan selam
hidupnya. Perkembangan ini meliputi seluruh bagian maupun yang bersifat abstrak. Jadi
arti peristiwa perkembangan tersebut khususnya perkembangan manusia tidak hanya
tertuju pada aspek psikologis saja, tetapi juga aspek biologis, karena setiap aspek
perkembangan individu, baik fisik, emosi, intelegensi maupun sosial, satu sama lain
saling mempengaruhi.

Terdapat hubungan atau korelasi yang positif diantara aspek tersebut. Ada tiga fondasi
yang digunakan Erikson dalam mengembangkan teori kepribadiannya. Khususnya terkait
delapan tahap perkembangannya yaitu:

a. Prinsip Epigenetik
Dari delapan tahap perkembangan manusia dari lahir hingga meninggal,
erikson menyimpulkan, urutan delapan tahap ini sudah ditentukan secara genetik
dan tidak bisa diubah-ubah. Urutan yang ditentukan secara genetik bagi

6
perkembangan kepribadian manusia ini disebutnya karena mengikuti prinsip
epigenik, istilah epigenik ini dipinjam oleh Erikson dari bidang biologi

Menurut Erikson seluruh kepribadian terbentuk di sepanjang delapan tahap


perkembangan, namun semua tahapan itu sudah ada dalam bentuk benih saat
manusia lahir. Tahap perkembangan yang satu terbentuk dan dikembangkan atas
perkembangan sebelumnya, tetapi tidak mengganti perkembangan di tahap
sebelumnya. Dengan kata lain, setiap tahap, ketika karakteristik-karakteristik baru
muncul, dibangun dari karakeristik yang sudah mendahuluinya, dan menjadi dasar
bagi pembentukan yang akan muncul sesudahnya.

Erikson (1968) menyatakan, "semuanya yang berkembang mempunyai


rencana dasar, dan dari perencanaan ini muncul bagian- bagian, masing-masing
bagian mempunyai waktu khusus untuk menjadi pusat perkembangan, sampai
semua bagian muncul untuk membentuk keseluruhan fungsi. "Matthew H. Olson,
Pengantar Teori-teori Kepribadian, hlm. 285). Menurut prinsip
epigenetik,karakeristik kepribadian yang jadi mengemuka di suatu
tahap perkembangan, sudah eksis sebelum tahap itu muncul, dan akan teruseksis
setelah tahap itu dilalui

b. Krisis

Setiap tahap perkembangan ini dicirikan oleh sebuah krisis. Kata krisis yang
digunakan erikson ini mirip dengan penggunaan oleh para dokter, yaitu
berkonotasi dengan suatu titik balik yang penting. Jadi krisis yang mencirikan
setiap tahap perkembangan ini akan memunculkan satu resolusi positif yang
memungkinkan, atau jika gagal diselesaikan, sebuah resolusi negatif. Resolusi
positif berkontribusi bagi penguatan ego dan karenanya memperbesar kemampuan
manusia beradaptasi

Resolusi negatif sebaliknya melemahkan ego dan melemahkan manusia


beradaptasi. Lebih jauh lagi, resolusi krisis yang positif disebuah tahap akan
meningkatkan kemungkinan diraihnya resolusi positif bagi krisis yang muncul
ditahap berikutnya dan sebaliknya. Meski Erikson sendiri tidak percaya bahwa
suatu resolusi terhadap krisis di setiap tahap menjadi positif atau negatif dalam
maknanya yang penuh, selain ia menegaskan bahwa setiap resolusi yang selalu

7
mengandung elemen positif sekaligus negatif. Jadi ketika rasio suatu resolusi lebih
besar positifnya barulah ia dikatakan positif, dan sebaliknya.

Berdasarkan prinsip epigenetik, setiap krisis selalu eksis dalam tiga fase yaitu:

1. Fase tidak matang/dewasa (immature)


Yaitu ketika krisis tidak menjadi titik perkembangan kepribadian.
2. Kritis
Fase kritis yaitu ketika disebabkan berbagai alasan biologis, psikologis, dan
sosial, ia menjadi titik fokus perkembangan kepribadian

3. Resolusi.

Ketika resolusi atas krisis mempengaruhi perkembangan kepribadian


ditahap selanjutnya. Jika krisis-krisis yang berkaitan dengan delapan tahap
perkembangan ini terselesaikan secara positif, perkembangan kepribadian
normal yang akan muncul. Jika satu atau lebih krisis terselesaikan secara
negatif, perkembangan normal tersebut akan terhambat dengan kata lain,
setiap krisis di suatu tahap harus bisa diselesaikan secara positif ditahap
tersebut sebelum individu sepenuhnya siap untuk mengatasi krisis lain yang
akan mendominasi tahapan berikutnya.

Kendati faktor biologis yang menentukan kapan delapan tahap


perkembangan kepribadian ini muncul, yaitu karena proses pematangan
fisiologis penentu kapan sebuah pengalaman jadi memungkinkan, namun
lingkungan sosial yang menentukan benar tidaknya suatu krisis disebuah tahap
bertahap perkembangan yang diusulkan Erikson dinamik tahap-tahap
psikososial perkembangan. untuk mengontrakkannya dengan tahap-tahap
psikoseksual Freud.

C. Ritualisasi dan Ritualisme

Bagai Erikson, penting sekali mengakui perkembangan kerpibadian muncul


dari sebuah seting budaya. Karena melihat manusia terjebak di dalam
budayanya, seperti yang dilakukan Freud, Erikson menekankan kesesuaian
antara individu dengan budayanya. Faktanya, ditaraf yang lebih besar, kerja
budaya adalah menyediakan cara-cara yang efektif untuk memenuhi
kebutuhan biologis maupun psikologis manusia. Menurut Erikson,

8
pengalaman internal maupun eksternal manusia mestinya sama, minimal
dibeberapa tarafnya, jika seseorang individu berkembang dengan berfungsi
normal di budayanya masing-masing

2.2 Tahap Teori Perkembangan Sosial dan Kepribadian dari Erikson

Erikson berpendapat bahwa sepanjang sejarah hidup manusia, setiap orang mengalami
tahapan perkembangan dari bayi sampai dengan usia lanjut. Perkembangan sepanjang
hayat tersebut diperhadapkan dengan delapan tahapan yang masing-masing mempunyai
nilai kekuatan yang membentuk karakter positif atau sebaliknya, berkembang sisi
kelemahan sehingga karakter negatif yang mendominasi pertumbuhan seseorang. Erikson
menyebut setiap tahapan tersebut sebagai krisis atau konflik yang mempunyai sifat sosial
dan psikologis yang sangat berarti bagi kelangsungan perkembangan di masa depan.
Delapan tahapan perkembangan tersebut sebagai berikut:

a. Tahap I usia 0-2 tahun

Pada masa bayi atau tahun pertama adalah titik awal pembentukan kepribadian
Bayi belajar mempercayai orang lain agar kebutuhan- kebutuhan dasarnya
terpenuhi. Peran ibu atau orang-orang terdekat seperti pengasuh yang mampu
menciptakan keakraban dan kepedulian dapat mengembangkan kepercayaan dasar.
Persepsi yang salah pada diri anak tentang lingkungannya karena penolakan dari
orangtua atau pengasuh mengakibatkan bertumbuhnya perasaan tidak percaya
sehingga anak memandang dunia sekelilingnya sebagai tempat yang jahat. Pada
tahap ini kekuatan yang perlu ditumbuhkan pada kepribadian anak ialah
"harapan".

b. Tahap II usia 2-3 tahun


Konflik yang dialami anak pada tahap ini ialah otonomi vs rust malu serta keragu-
raguan. Kekuatan yang seharu adalah "keinginan atau kehendak dimana anak bel
Unduh untuk mengembangkan kemandirian. Kebutuhan tersebut dapat terpenuhi
melalui motivasi untuk melakukan kepentingannya sendiri seperti belajar makan
atau berpakaian sendiri, berbicara, bergerak atau mendapat jawaban dari sesuatu
yang ditanyakan.
c. Tahap III, usia 3-6 tahun
Anak pada tahap ini belajar menemukan keseimbangan antara kemampuan yang
ada dalam dirinya dengan harapan atau tujuannya. Itu sebabnya anak cenderung

9
menguji kemampuannya tanpa mengenal potensi yang ada pada dirinya. Konflik
yang terjadi adalah Inisiatif atau terbentuknya perasaan bersalah. Bila lingkungan
sosial kurang mendukung maka anak kurang memiliki inisiatif.
d. Tahap IV, usia 6-12 tahun

Konflik pada tahap ini ialah kerja aktif vs rendah diri, itu sebabnya kekuatan yang
perlu ditumbuhkan ialah "kompetensi atau terbentuknya berbagai keterampilan.
Membandingkan kemampuan diri sendiri dengan teman sebaya terjadi pada tahap
ini. Anak belajar mengenai ketrampilan sosial dan akademis melalui kompetisi
yang sehat dengan kelompoknya. Keberhasilan yang diraih anak memupuk rasa
percaya diri, sebaliknya apabila anak menemui kegagalan maka terbentuklah
inferioritas.

e. Tahap V, usia 12-20 tahun

Pada tahap ini anak mulai memasuki usia remaja dimana identitas diri baik dalam
lingkup sosial maupun dunia kerja mulai ditemukan. Bisa dikatakan masa remaja
adalah awal usaha pencarian diri sehingga anak berada pada tahap persimpangan
antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Konflik utama yang terjadi ialah
Identitas vs Kekaburan Peran sehingga perlu komitmen yang jelas agar terbentuk
kepribadian yang mantap untuk dapat mengenali dirinya.

f. Tahap VI, usia antara 20-40 tahun

Pada tahap ini kekuatan dasar yang dibutuhkan ialah "kasih" karena kesendirian.
Agen sosial pada tahap ini ialah kekasih, suami atau istri termasuk juga sahabat
yang dapat membangun suatu bentuk persahabatan sehingga tercipta rasa cinta
dan kebersamaan. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka muncullah perasaan
kesepian kesendirian dan tidak berharga.

g. Tahap VII, usia 40-65 tahun

Seseorang telah menjadi dewasa pada tahap ini sehingga diperhadapkan kepada
tugas utama untuk menjadi produktif dalam bidang pekerjaannya serta tuntutan
untuk berhasil mendidik keluarga serta melatih generasi penerus. Konflik utama
pada tahap ini ialah generatifitas vs stagnasi, sehingga kekuatan dasar yang
penting untuk ditumbuhkan ialah "kepedulian". Kegagalan pada masa
menyebabkan stagnasi atau keterhambatan perkembangan.

10
h. Tahap VIII, usia 65 tahun-kematian ini

Pribadi yang sudah memasuki usia lanjut mulai mengalami penurunan fungsi-
fungsi kesehatan. Begitu juga pengalaman masa lalu baik keberhasilan atau
kegagalan menjadi perhatiannya sehingga kebutuhannya adalah untuk dihargai.
Konflik utama pada tahap ini ialah Integritas Ego vs Keputusasaan dengan
kekuatan utama yang perlu dibentuk ialah pemunculan "hikmat atau
kebijaksanaan". Fungsi pengalaman hidup terutama yang bersifat sosial, memberi
makna tentang kehidupan.

2.3. Kritik dan Revisi Teori Perkembangan Sosial dan Kepribadian dari Erikson

Sekarang karangnya ada lima kritikan yang dilontarkan pada teori kepribadian
Erikson yaitu:

Pertama, sulit untuk dites secara empiris. Erikson tidak begitu berminat untuk
mengetes sendiri teorinya secara empiris, dan tidak begitu peduli bahwa riset yang
dilaporkannya seperti risetnya tentang aktivitas-aktivitas bermain anak laki-laki dan
perempuan tidak punya analisis kuantifikasi dan statistik yang benar. Namun para
peneliti lain telah sukses memverifikasi sejumlah konsep Erikson tentang tahap-tahap
perkembangannya, khususnya terkait identitas.

Kedua, pandangannya yang terlalu optimis tentang manusia. Meski mengklaim


sebuah afiliasi yang dekat dengan teori Freud, Erikson melukiskan sebuah gambar
yang jauh lebih manusiawi. Sedikit saja di teori Erikson yang mendeskripsikan
perjuangan intens mengendalikan sifat hewani manusia. Dengan menekankan dan
meluaskan fungsi ego. Erikson berkonsentrasi kepada persoalan-persoalan tentang
identitas, penyelesaian masalah-maslah. dan hubungan antar pribadi lebih dari pada
menjinakkan insting-insting seksualitas dan agresivitas. Potret Erikson tentang
manusia terlalu optimis, tidak realistik dan simplistik.

Ketiga, mendukung status Quo Pada esensinya Erikson mendefinisikan pribadi


yang sehat sebagai individu yang mampu menyesuaikan diri dengan, menerima, dan
meneruskan ke generasi selanjutnya elemen-elemen budayanya. Definisi ini terdengar
seolah Erikson mendukung sebuah kompromi. Bahkan Erikson menegaskan jika
perkembangan ego terjadi setelah manusia terlibat di dalam ritualisasi budaya yang
tersedia dibanyak tahap perkembangan.

11
Dengan kata lain. Erikson menegaskan ego yang sehat mensyaratkan dukungan
terhadap peran-peran yang mendapat sangsi budaya, dan penitik beratan ini dinilai
banyak pihak sebagai penguatan atas peran-peran itu. Bagi mereka yang melihat
ketidakadilan, nilai-nilai yang tidak manusiawi dan kebodohan-kebodohan
dibudayanya, tentulah sulit mengamini konsep bahwa kesehatan mental berarti
penyesuaian deiri dengan situasi yang abnormal ini,(Matthew H. Olson, Pengantar
Teori-Teori Kepribadian him, 315) .

Keempat, moralisasi berlebihan. Definisi Erikson tentang penyesuaian positif bagi


krisis-krisis setiap tahap perkembangan bersesuaian dengan etika kristiani dan
institusi-institusi sosial yang ada dimasa itu. Erikson lebih banyak mendeskripsikan
nilai-nilai dianutnya daripada mendeskripsikan realitas objektif

Kelima, gagal mengakui pengaruh-pengaruh yang membentuk teorinya Satu


kritikan yang menyoroti klaim Erikson bahwa teorinya pasca Freudian padahal
faktanya, sedikit saja kemiripan substansial antara teorinya dengan teori Freud. Kritik
ini juga mengatakan bahwa Erikson sengaja melabeli teorinya demikian untuk
menghindari pengecualian dari lingkaran psikoanalitik, dengan kata lain, tujuannya
semata-mata bersifat politisi dan pragmatis selain itu, meski Erikson banyak memuji
kontribusi Freud bagi teorinya, namun jelas-jelas pemikirannya sam dengan para
teorisi lain seperti Adler dan Horney, yang sama-sama menekankan pentingnya
variabel social sebelum Erikson menggulirkan teorinya itu.

2.4 Penerapan Teori Perkembangan Sosial dan Kepribadian dari Erikson.


Dalam penyelenggaraan pendidikan metode pembelajaran ada berbagai metode yang
dilakukan oleh para pendidik. Diantaranya adalah metode belajar sambil bermain ataupun
bermain sambil belajar. Pada hakikatnya dua macam metode tersebut sama-sama saling
mendukung dalam proses belajar anak didik

Pada umumnya dalam proses pendidikan pada anak balita atau usia dini lebih
diutamakan pada metode bermain sambil belajar. Hal ini dilakukan karena metode ini
lebih sesuai dengan kondisi anak-anak yang cenderung lebih suka bermain. Maka para
pendidik memanfaatkan hal ini untuk mendidik mereka dengan cara bermain sambil
belajar yaitu di samping mereka bermain mereka sekaligus mengasah ketrampilan dan
kemampuan. Cara ini akan lebih berkesan dalam memori otak anak-anak untuk

12
perkembangan pengetahuannya karena pada usia dini adalah masa-masa perkembangan
memori otak sangat pesat.

Di seluruh dunia anak bermain. Bermain bagi anak bagaikan bekerja bagi manusia
dewasa. Ada anak-anak yang bermain dengan patut,namun ada juga yang bermain “cukup
berbahaya” mereka lakukan sebagai kanak-kanak.peran pendidikanlah untuk mengawal
bagaimana permainan dapat menumbuh kembangkan mereka secara patut dan utuh
sebagai anak manusia.

Anak-anak senantiasa tumbuh dan berkembang. Mereka Menampilkan ciri-ciri fisik


dan psikologis yang berbeda untuk tiap tahap perkembangannya. Masa anak-anak
merupakan masa puncak kreativitasnya, dan kreativitas mereka perlu terus dijaga dan
dikembangkan dengan menciptakan lingkungan yang menghargai kreativitas yaitu
melalui bermain. Oleh karena itu, pendidikan di TK yang menekankan bermain sambil
belajar dapat mendorong anak untuk mengeluarkan semua daya kreativitasnya.

Seluruh potensi kecerdasan anak akan berkembang optimal apabila disirami suasana
penuh kasih sayang dan jauh dari berbagai tindak kekerasan, sehingga anak-anak dapat
bermain dengan gembira. Oleh karena itu, kegiatan belajar yang efektif pada
anak dilakukan melalui cara-cara bermain aktif yang menyenangkan, dan interaksi
pedagogis yang mengutamakan sentuhan emosional, bukan teori akademik

Menurut Erikson, tahap perkembangan ketiga erikson adalah manusia


bermain, periode yang meliputi waktu yang sama dengan fase falik (phallic)sekitar usia 3-
5 Erikson (1982) menyatakan bahwa selain mengidentifikasi diri dengan orang tua
mereka, anak-anak usia prasekolah mengembangkan daya gerak, keterampilan berbicara,
keingintahuan, imajinasi, dan kemampuan untuk menentukan tujuan. Pada tahap ini ada
beberapa tugas yang dilalui oleh seorang anak yaitu sebagai berikut:

a. Gaya Lokomotor Genita Erikson melihat situasi

Oedipal sebagai prototipe “kekuatan seumur hidup akan keriangan manusia”. Dengan
kata lain, Oedipus conplex adalah drama yang dimainkan dalam imajinasi anak-anak
mencakup pengertian yang dimulai meningkat akan konsep dasar, seperti reprodusi,
pertumbuhan, Masa depan, dan kematian.

b. Inisiatif Versus Rasa Bersalah

13
Tahap ini adalah tahap kelamin-Lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang
biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak
menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun (pra sekolah). Tugas yang harus diemban
seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak
terlalu melakukan kesalahan. Pada umumnya di tahap ini anak terlihat sangat aktif,
suka berlari, berkelahi, memanjat dan suka menantang lingkungannya. Dengan
menggunakan bahasa, fantasi dan permainan khayalan, dia memperoleh perasaan
harga diri. Bila orangtua berusaha memahami, menjawab pertanyaan anak, dan
menerima keaktifan anak dalam bermain, maka anak akan belajar untuk mendekati
apa yang diinginkan, dan perasaan inisiatif menjadi semakin kuat. Sebaliknya bila
orangtua kurang memahami, kurang sabar, suka memberi hukuman dan menganggap
bahwa pengajuan pertanyaan, bermain dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak
tidak bermanfaat, maka anak akan merasa bersalah dan menjadi enggan untuk
mengambil inisiatif untuk mendekati apa yang diinginkannya.

c. Tujuan (Kekuatan Dasar Usia Bermain)

Anak-anak sekarang bermain dengan tujuan, bersaing dalam permainan dengan


tujuan menang atau mencapai puncak. Mereka menentukan sasaran dan mengejar
sasaran itu dengan tujuan. Usia bermain juga merupakan tahapan dimana anak-anak
mengembangkan hati nurani dan mulai 7meletakkan benar dan salah pada tingkah
laku mereka. Hati nurani di masa muda ini menjadi landasan akan moralitas.

Ada tiga jenis kegiatan bermain yang mendukung pembelajaran anak yaitu, bermain
fungsional atau sensor motor, bermain peran, dan bermain konstruktif.

Bermain fungsional atau sensorimotor dimaksudkan bahwa anak belajar melalui


panca inderanya dan melalui hubungan fisik dengan lingkungannya. Kebutuhan
sensorimotor anak didukung ketika anak-anak disediakan kesempatan untuk bergerak
secara bebas berhubungan dengan bermacam-macam bahan dan alat permainan, baik
di dalam maupun di luar ruangan, dihadapkan dengan berbagai jenis bahan bermain
yang berbeda yang mendukung setiap kebutuhan perkembangan anak. Anak dibina
dengan berbagai cara agar mereka dapat bermain secara penuh dan diberikan
sebanyak mungkin kesempatan untuk menambah macam gerakan dan meningkatkan
perkembangan sensorimotor.

14
Bermain peran disebut juga bermain simbolik, pura-pura, fantasi, imajinasi, atau
bermain drama. Bermain peran ini sangat penting untuk perkembangan kognisi,
sosial, dan emosi anak pada usia tiga sampai enam tahun. Bermain peran dipandang
sebagai sebuah kekuatan yang menjadi dasar perkembangan daya cipta, tahapan
ingatan, kerja sama kelompok. penyerapan kosa kata, konsep hubungan kekeluargaan,
pengendalian diri, keterampilan spasial, afeksi, dan keterampilan kognisi. Bermain
peran memungkinkan anak memproyeksikan dirinya ke masa depan dan menciptakan
kembali masa lalu. Kualitas pengalaman main peran tergantung pada beberapa faktor,
antara lain: (1) cukup waktu untuk bermain, (2) ruang yang cukup, dan (3) adanya
peralatan untuk mendukung bermacam-macam adegan permainan.

Menurut Erikson terdapat dua jenis bermain peran, yaitu bermain peran mikro dan
makro. Bermain peran mikro dimaksudkan bahwa anak memainkan peran dengan
menggunakan alat bermain berukuran kecil. misalnya orang-orangan kecil yang lagi
berjual beli. Sedangkan bermain peran makro, anak secara langsung bermain menjadi
tokoh untuk memainkan peran-peran tertentu sesuai dengan tema. Misalnya peran
sebagai ayah, ibu, dan anak dalam sebuah rumah tangga.

Bermain konstruktif dilakukan melalui kegiatan bermain untuk membuat bentuk-


bentuk tertentu menjadi sebuah karya dengan menggunakan beraneka bahan, baik
bahan cair, maupun bahan terstruktur, seperti air, cat, krayon, playdough, pasir,
puzzle, atau bahan alam lain. Bermain pembangunan menurut Piaget dapat membantu
mengembangkan keterampilan anak dalam rangka keberhasilan sekolahnya
dikemudian hari. Melalui bermain pembangunan, anak juga dapat mengekspresikan
dirinya dalam mengembangkan bermain sensorimotor, bermain peran, serta hubungan
kerja sama dengan anak lain dan menciptakan karya nyata.

Dalam kegiatan bermain, dikenal adanya konsep intensitas dan dentitas. Konsep
intensitas menekankan pada jumlah waktu yang dibutuhkan anak untuk berpindah
melalui tahap perkembangan kognisi, sosial, emosi, dan fisik yang dibutuhkan
Misalnya anak-anak harus memiliki pengalaman harian yang memungkinkan mereka
untuk berinteraksi dengan bahan yang bersifat cair, mendapatkan kesempatan untuk
menggambar, melukis, dan keterampilan awal menulis. Bahan-bahan seperti kertas
dengan tekstur, ukuran, dan warna yang berbeda, dengan spidol dan krayon, papan
lukis dengan kertas berbagai ukuran dan kuas akan membantu anak sepanjang waktu

15
untuk berkembang melalui tahap awal dari corat-coret menuju ke penciptaan sesuatu
yang bermakna dan menuju ke menulis kata dan kemudian kalimat.

Konsep densitas menekankan pada keanekaragaman kegiatan bermain yang


disediakan untuk anak di lingkungannya. Kegiatan ini harus memperkaya kesempatan
pengalaman anak melalui beberapa jenis bermain yang dipilih sesuai dengan minat
dan kebutuhan perkembangan anak. Misalnya untuk melatih keterampilan
pembangunan anak dapat menggunakan cat di papan lukis, nampan cat jari, cat
dengan kuas kecil di atas meja, dan sebagainya. Anak-anak dapat menggunakan palu
dengan paku dan kayu, sisa- sisa bahan bangunan untuk berlatih keterampilan
pembangunan terstruktur. Dengan demikian berarti dalam kegiatan bermain harus
mempunyai intensitas dan dentitas yang memadai.

Dengan menyediakan beraneka jenis mainan yang tepat bagi anak. peralatan, dan
tempat yang memadai, serta memberi kesempatan yang cukup kepada anak untuk
bermain, misalnya anak mendapat kesempatan memilih serangkaian kegiatan bermain
setiap hari untuk terlibat dalam bermain peran, bermain pembangunan, dan
sensorimotor, hal itu berarti memberi layanan pendidikan kepada anak TK secara
optimal

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Teori perkembangan kepribadian milik Erik Erikson mempunyai pengaruh yang


cukup kuat dalam dunia psikologi Walaupun teorinya merupakan sebuah tambahan
dan improvisasi dari psikoantasia dari Sigmun Freud, akan tetapi tahapan
perkembangan yang dikenalkan oleh Erikson, yaitu perkembangan kepribadian dari

16
mulai lahir hingga masa tua menjadi ciri khas tersendiri yang tidak didapatkan dari
teori Sigmun Freud

Teori Erikson dinilai lebih realistis dengan membawa aspek kehidupan sosial
dan fungsi budaya sebagai pengaruh kepribadian pembentuk suatu individu Erikson
berpendapat bahwa perkembangan manusia akan melalui delapan tahap yang
berdasarkan prinsip epigenetik. Jika pada satu tahap tidak dapat terselesaikan dengan
baik maka akan mempengaruhi dan menghambat tahap perkembangan selanjutnya.

Pada setiap tahapan mempunya tugas perkembangan yang berbeda dan bersifat
psikososial Identitas ego hadir sebagai sebuah potensi yang memiliki kualitas seperti
keyakinan, penghargaan diri kemauan tekad, ketekunan dan keterampilan, identitas,
kesetiaan, keakraban dan cinta, generativitas dan pemeliharaan, serta integritas.

3 2 Saran
Penulisan makalah ini mungkin masih terdapat banyak kesalahan, maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dari para pembaca yang bersifat membangun. Harapan
penulis dengan adanya penulisan makalah ini dapat menambah wawasan pengetahuan
kita.

Daftar Pustaka

Atmaja, Anak Agung Gde Agung Angga, Made Nyandra, and Nyoman Trisna Aryanata.
"Kecemasan dan mekanisme pertahanan diri pada kaum Homoseksual." JURNAL
PSIKOLOGI MANDALA 2.1 (2018).

Matthew H. Olson, Pengantar Teori-teori Kepribadian, hlm. 285)

17
Sokol, Justin T. "Perkembangan identitas sepanjang hidup: Pemeriksaan teori
Eriksonian." Jurnal Pascasarjana Psikologi Konseling 1.2 (2009): 14.

Sacco, Robert G. "Membayangkan kembali delapan tahap perkembangan Erik Erikson:


metode grafik hidup Fibonacci (FLCM)." Jurnal Psikologi Pendidikan dan
Perkembangan 3.1 (2013): 140-146.

18

Anda mungkin juga menyukai