DISUSUN OLEH :
EKA PUSPANINGRUM
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Artikel ini. Shalawat serta salam
senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan Semoga kita termasuk
dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga
selesainya makalah Artikel ini. Harapan kami semoga makalah yang telah
tersusun ini dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi
para pembaca, menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya
dapat memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Kami sadar bahwa kami ini tentunya tidak lepas dari banyaknya
kekurangan, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian yang
dipaparkan. Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki kami. Oleh
sebab itu, kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang
bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................1
C. Tujuan Masalah...........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Konstruktivisme........................................................................2
B. TEORI-TEORI KONSTRUKTIVISME .....................................................3
C. Paud Dalam Perspektif Konstuktivisme .....................................................6
D. APLIKASI KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN
DANPENGAJARAN..................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anak usia dini menurut UU No 20 tahun 2003 anak yang berusia antara 0 sampai 6
tahun adalah berada dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Hasil konvensi
Jenewa tahun 1979 aspek –aspek yang harus dikembangkan pada anak usia dini
adalah aspek motorik, bahasa, sosial, emosi, kognisi, moral dan kepribadian.
Banyak pertanyaan bagaimana mengajarkan anak agar semua aspek
perkembangan itu dapat terstimulasi dengan baik. Dalam rangka mengoptimalkan
pencapaian tujuan pembelajaran pada pendidikan anak usia dini yang sesuai
dengan aspek perkembangan, maka Bredekamp dan copple, 1997 menyatakan
bahwa ”pelaksanaan program pembelajarannya dapat melayani anak dari lahir
sampai usia delapan tahun yang dirancang untuk meningkatkan perkembangan
intelektual, sosial, emosional, bahasa dan fisik anak”. Oleh karena itu, dianjurkan
memilih dan menggunakan model- model pembelajaran yang tepat. Model
pembelajaran yang dapat menstimulasi aspek perkembangan anak secara simultan
untuk semua aspek perkembangan anak adalah dengan pembelajaran tematik.
Hendrick (dalam Kostelnik, 1991) menyatakan pembelajaran tematik dapat
membantu anak mengembangkan semua peikirannya dalam kegiatan belajar,
karena dalam pembelajaran tamatik, anak dapat membangun konsep melalui
hubungan di antara informasi yang satu dengan informasi lainnya (antara satu
topik dengan topik lainya. Jadi dengan pembelajaran tematik, sejak dini anak-anak
sudah terlatih menghubungkan/ mengkaitkan hal yang satu dengan hal lainnya,
objek yang satu dengan objek lainnya. Keterlatihan ini sehingga anak menjadi
biasa menghadapi situasi yang memang adanya saling keterkaitan antara satu
masalah dengan masalah lainnya, yang pada akhirnya anak memiliki kemampuan
survive menghadapi berbagai situasi baru dalam kehidupan nyata. Sebenarnya
pembelajaran tema adalah khas bagi anak usia dini dari jenjang pendidikan anak
usia dini sampai kelas-kelas awal Sekolah Dasar (kelas 1, 2, dan 3). Semua
1
kegiatannya melibatkan pengalaman langsung bagi anak-anak serta memberikan
berbagai informasi atau pemahaman tentang lingkungan sekitar anak. Kegiatan ini
juga memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan keterampilan
lebih lanjut seperti mengendalikan kemampuan motorik halus, mengobservasi,
membandingkan, menyimpulkan, mengingat, menghitung, bermain peran serta
mengeksplorasi gagasan. Pada tahapan ini, ada sebuah teori yang disebut teori
perkembangan anak yang dikemukakan oleh Erikson.
B. RUMUSAN MASALAH
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI ERIKSON
3
hampir seluruhnya berasal dari uraiannya tentang perkembangan psikososial
sepanjang masa kehidupan, dari masa bayi sampai masa tua, terutama konsep-
konsepnya tentang identitas dan krisis identitas. Pada umumnya para psikolog
lebih menyukai tahap Erikson daripada tahap psikoseksual Freud. Mereka
berpendapat bahwa Erikson telah memberikan sumbangan untuk perkembangan
kepribadian, setara dengan apa yang telah dilakukan Piaget tentang perkembangan
intelektual. Erikson juga dikagumi karena observasinya yang tajam dan
inteprestasinya yang peka dan perasaan kasihnya dalam terhadap segala sesuatu
yang bersifat manusiawi. Erikson berkata bahwa orang-orang harus menemukan
identitasnya dalam potensi-potensi masyarakatnya, sedangkan perkembangannya
harus selaras dengan syarat-syarat yang dicanangkan masyarakat, atau mereka
harus menanggung akibat-akibatnya. Sumbangan penting yang telah diberikan
Erikson meliputi dua topik utama yaitu teori psikososial tentang perkembangan
dari mana muncul suatu konsepsi yang luas tentang ego dan penelitian
psikosejarah yang menerangkan psikososialnya.
4
yang tidak mencukupi. Beliau juga menggabungkan tiga faktor yang
mempengaruhi perkembangan individu iaitu faktor kendiri, emosi, dan sosial.
Teori Erikson adalah berdasarkan lima prinsip iaitu:
iv. Setiap tahap mempunyai konflik dan ia mesti diatasi sebelum individu dapat
berfungsi dengan jayanya pada tahap berikutnya .
Kepercayaan dasar yang paling awal terbentuk selama tahap sensorik oral dan
ditunjukkan oleh bayi lewat kapasitasnya untuk tidur dengan tenang, menyantap
5
makanan dengan nyaman dan membuang kotoran dengan santai. Kebiasaan itu
berlangsung terus dalam kehidupan bayi dan merupakan dasar paling awal bagi
berkembangnya suatu perasaan identitas psikososial. Melalui pengalaman dengan
orang dewasa, bayi belajar menggantungkan diri dan percaya pada mereka, tetapi
mungkin yang lebih penting, ia mempercayai dirinya sendiri. Kepastias semacam
itu harus mengungguli lawan negatif dari kepercayaan dasar yakni, kecurigaan
dasar. Pengharapan merupakan kebajikan paling awal dan paling esensial yang
melekat dalam hidup. Fondasi pengharapan pertama terletak pada hubungan
dengan orang tua yang memberikan pengalaman-pengalaman seperti ketenangan,
makanan dan kehangatan. Pada saat yang sama, ia mengembangkan kemampuan
untuk membuang pengharapan yang dikecewakan dan menemukan pengharapan
dalam tujuan dan kemungkinan pada masa mendatang. Menurut Erikson,
pengharapan adalah keyakinan yang bersifat menetap akan kemungkinan
dicapainya hasrat-hasrat kuat. Tahap pertama kehidupan ini merupakan tahap
ritualisasi numinous yaitu, perasaan bayi akan kehadiran ibu, dalam hal ini
pandangannya, pegangannya, sentuhannya, teteknya atau “pengakuan atas
dirinya”. Bentuk ritual numinous yang menyimpang dan terungkap dalam
kehidupan dewasa berupa pemujaan terhadap pahlawan secara berlebih-lebihan
atau idolisme.
6
salah. Penyimpangan ritualisme pada tahap ini adalah legalisme, yakni
pengagungan huruf ketentuan hukum daripada semangatnya, mengutamakan
hukuman daripada belas kasih.
3. Inisiatif vs. Kesalahan
Tahap psikososial ketiga ialah tahap inisiatif yaitu suatu masa untuk memperluas
penguasaan dan tanggung jawab. Selama tahap ini anak menampilkan diri lebih
maju dan lebih seimbang secara fisik maupun kejiwaan. Tujuan adalah nilai yang
menonjol pada tahap perkembangan ini. Kegiatan utama anak dalam tahap ini
adalah bermain, dan tujuan tumbuh dari kegiatan bermainnya, eksplorasi, usaha,
kegagalannya serta eksperimen dengan alat permainannya. Masa bermain ini
bercirikan ritualisasi dramatik. Anak secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan
bermain, memakai pakaian, meniru kepribadian orang dewasa dan berpura-pura
menjadi apa saja. Keterasingan batin yang dapat timbul pada masa kanak-kanak
ini ialah suatu perasaam bersalah. Padanan negatif dari ritualisasi dramatik adalah
ritualisme impersonasi sepanjang hidup, yaitu melakukan tindakan yang tidak
mencerminkan kepribadiannya yang sejati.
4. Kerajinan vs. Inferioritas
Pada tahap ini, anak harus belajar mengontrol imjinasinya yang sangat kaya, dan
mulai menempuh pendidikan formal. Bahaya dari tahap ini ialah anak bisa
mengembangkan perasaan rendah diri apabila ia tidak berhasil menguasai tugas-
tugas yang dipilihnya atau yang diberikan oleh guru dan orangtua. Nilai
kompetensi muncul pada tahap kerajinan ini. Rasa kompetensi dicapai dengan
menerjunkan diri pada pekerjaan dan penyelesaian tugas, yang pada akhirnya
mengembangkan kecakapan kerja. Usia sekolah merupakan tahap ritualisasi
formal, masa anak belajar bekerja secara metodis. Penyimpangan ritualismenya
dimasa depan adalah formalisme, berwujud pengulangan, formalitas yang tidak
berarti.
5. Identitas vs. Kekacauan Identitas
7
bersifat menyesuaikan diri atau bersifat memperbaharui. Inilah masa dalam
kehidupan ketika orang ingin menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan
ingin menjadi apakah ia pada masa yang akan datang. Daya penggerak batin
dalam rangka pembentukan identitas ego dalam aspek-aspeknya yang sadar
maupun tak sadar. Pada tahap ini ego memiliki kapasitas untuk memilih dan
mengintegrasikan bakat-bakat dan ketrampilan dalam melakukan identifikasi
dengan orang yang sependapat, dalam lingkungan sosial, serta menjaga
pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan kecemasan. Semua ciri yang
dipilih oleh ego ini dihimpun dan diintegrasikan oleh ego serta membentuk
identitas psikososial seseorang. Peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke
masa dewasa di satu pihak dan karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan
historis dilain pihak, maka selama tahap pembentukan identitas seorang remaja,
mungkin merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain
akibat kekacauan peranan atau kekacauan identitas. Istilah krisis identitas
menunjuk pada perlunya mengatasi kegagalan yang bersifat sementara itu untuk
selanjutnya membentuk suatu identitas yang stabil atau sebaliknya suatu
kekacauan peranan. Kesetiaan adalah pondasi atas dasar mana terbentuk suatu
perasaan identitas yang bersifat kontinyu. Ritualisasi yang menyertai tahap
adolesen adalah ritualisasi ideologi. Penyimpangan ritualisasinya adalah totalisme.
Tahap dimana orang dewasa awal siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan
orang lain. Agar memiliki arti sosial yang bersifat menetap maka genitalitas
membutuhkan seseorang untuk dicintai dan diajak menngadakan hubungan
seksual, dan dengan siapa seseorang dapat berbagi rasa dalam suatu hubungan
kepercayaan. Bahaya pada keintiman ini adalah isolasi. Ritualisasi pada tahap ini
adalah afiliatif yakni berbagi bersama dalam pekerjaan, persahabatan dan cinta.
Penyimpangan ritualismenya adalah elitisme.
Ciri tahap ini adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan, keturunan, produk, ide
serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi mendatang.
8
Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan
mundur dan mengalami stagnasi. Nilai pemeliharaan berkembang dalam tahap ini.
Ritualisasi dari tahap ini ialah sesuatu yang generasional, yakni ritualisasi peranan
orang tua, produksi, pengajaran dengan mana orang dewasa bertindak sebagai
penerus nilai-nilai ideal kepada kaum muda. Penyimpangan dari ritualisasi ini
adalah autoritisme.
Berikut adalah jadwal konflik emosi dan ciri-cirinya yang dikenalpasti oleh Erikson
pada tingkatan umur anak usia dini :
9
- Kepercayaan lawan Hal ini demikian
ketidakpercayaan bermakna, jika tidak
membina rasa
diberi penjagaan yang
ketidakpercayaan jika
sepatutnya seperti
keperluannya tidak dapat
penyusuan, tidak dijaga
dipenuhi
atau lampin tidak
bertukar,
ketidakpercayaan
ketidakpercayaan akan
kepada orang lain
membentuk tingkah laku
timbul dalam diri bayi
negatif
yang akan menimbulkan
ketakutan dan
berprasangka
Keinginan memiliki
kuasa
Perkembangan kanak-
kanak pada tahap ini
tertumpu kepada
keinginan membuat
perkembangan
sesuatu dengan daya usaha
kemahiran fizikal
1 ½-3 tahun sendiri
seperti berjalan dan
(awal kanak-kanak) pelbagai lagi. Rasa
percaya kepada
keupayaan diri timbul
- Autonomi Lawan merasa malu jika tidak jika berjaya dan
Malu/Ragu diberi kuasa menerima sokongan.
Sekiranya gagal mereka
akan ragu-ragu terhadap
merasa malu didepan keupayaan diri
orang
10
merasa takut
melakukan kesalahan.
11
sehingga akan menjadikan dia ingin selalu mencoba terkadang berbahaya. Pada
tahap ini orang dewasa harus memberikan dukungannya dan Erikson
mengingatkan pembatasan dan kritik yang berlebihan akan menyebabkan tumbuh
rasa ragu terhadap kemampuan dirinya. Penelitian tentang kecerdasan lebih jauh
lagi diungkapkan Gardner yang dikenal konsep kecerdasan Jamak atau Multiple
Intelegence (MI) ia mengidentifikasikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk
menemukan dan mencari pemecahan masalah serta membentuk suatu produk yang
mempunyai nilai dipandang dari budaya seseorang. Ketujuh kecerdasantersebut
adalah : Linguistik, logika, matematika, spasial, kinestetik, musik, intrapersonal,
interpersonal serta naturalis. Setiap orang mempunyai berbagai potensi tersebut
dan masing-masing dapat dikembangkan ke tahap tertentu. Dalam mendesain
kurikulum konsep Piaget, Vigotsky, Erikson dan Gardner sangat bermanfaat
sebagai arahan dalam menyusun kurikulum yang sesuai dengan tahap
perkembangan dan minat individu. Erikson menyoroti aspek psikososial yang
dialami masa anak-anak serta bagaimana pendidik dapat membantu anak melewati
masa tersebut untuk menjadi mandiri. Piaget dengan konsep tahapan
perkembangan berfikir memberikan pedoman Dalam menyusun pembelajaran
yangsesuaiusia, sementaraVigotsky mengemukakan tentang pentingnya interaksi
sosial dalam menstimulus berbagai aspek perkembangan.
12
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Konsep pembelajaran menurut Corey (Sagala, 2003) adalah suatu proses dimana
lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut
serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan
respon terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari
pendidikan. Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditempuh oleh
guru dan peserta didik dalam mencapai tujuan instruksional untuk suatu satuan
instruksional tertentu (Sagala, 2003). Pendekatan pembelajaran tentu tidak kaku
harus menggunakan pendekatan tertentu, tetapi sifatnya lugas dan terencana,
artinya memilih suatu pendekatan harus disesuaikan dengan kebutuhan
tertentu. Metode pembelajaran adalah suatu cara atau prosedur yang ditempuh
pendidik dalam mengelola pembelajaran yang efektif dan efesien. Sesuai dengan
tuntutan dunia karakteristik anak yang berbeda dengan orang dewasa, guru perlu
menyiapkan suatu metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan dunia anak.
Penggunaan metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan dunia anak akan
memfasilitasi perkembangan berbagai potensi dan kemampuan anak secara
optimal serta tumbuhnya sikap dan kebiasaan berperilaku positif yangendukung
pengembangan berbagai potensi dan kemampuan anak
13
DAFTAR PUSTAKA
https://pembelajaranguru.wordpress.com/2008/05/25/teori-perkembangan-anak-
%E2%80%93-erickson-dan-gardner/#more-45
14