Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“PAUD DALAM PERSPEKTIF KONTRUKTIVE”

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah SAINS


AUD dengan Dosen Pengampu : Khoirunnisa Isnani, M.Pd

DISUSUN OLEH :
EKA PUSPANINGRUM

INSTITUT AGAMA ISLAM


IAI AN NUR LAMPUNG
TA. 2022

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Artikel ini. Shalawat serta salam
senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan Semoga kita termasuk
dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga
selesainya makalah Artikel ini. Harapan kami semoga makalah yang telah
tersusun ini dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi
para pembaca, menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya
dapat memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Kami sadar bahwa kami ini tentunya tidak lepas dari banyaknya
kekurangan, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian yang
dipaparkan. Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki kami. Oleh
sebab itu, kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang
bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.

Kalianda, 21 Agustus 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................1
C. Tujuan Masalah...........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Konstruktivisme........................................................................2
B. TEORI-TEORI KONSTRUKTIVISME .....................................................3
C. Paud Dalam Perspektif Konstuktivisme .....................................................6
D. APLIKASI KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN
DANPENGAJARAN..................................................................................9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan..................................................................................................11
B. Saran.............................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Anak usia dini menurut UU No 20 tahun 2003 anak yang berusia antara 0 sampai 6
tahun adalah berada dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Hasil konvensi
Jenewa tahun 1979 aspek –aspek yang harus dikembangkan pada anak usia dini
adalah aspek motorik, bahasa, sosial, emosi, kognisi, moral dan kepribadian.
Banyak pertanyaan bagaimana mengajarkan anak agar semua aspek
perkembangan itu dapat terstimulasi dengan baik. Dalam rangka mengoptimalkan 
pencapaian tujuan pembelajaran pada pendidikan anak usia dini yang sesuai
dengan aspek perkembangan, maka Bredekamp dan copple, 1997 menyatakan
bahwa ”pelaksanaan program pembelajarannya dapat melayani anak dari lahir
sampai usia delapan tahun yang dirancang untuk meningkatkan perkembangan
intelektual, sosial, emosional, bahasa  dan fisik anak”. Oleh karena itu, dianjurkan
memilih dan menggunakan model- model pembelajaran yang tepat. Model
pembelajaran yang dapat menstimulasi aspek perkembangan anak  secara simultan
untuk semua aspek perkembangan anak adalah dengan pembelajaran tematik.
Hendrick (dalam Kostelnik, 1991) menyatakan pembelajaran tematik dapat
membantu anak mengembangkan semua peikirannya dalam kegiatan belajar,
karena dalam pembelajaran tamatik, anak dapat membangun konsep melalui
hubungan di antara informasi yang satu dengan informasi lainnya (antara satu
topik dengan topik lainya. Jadi dengan pembelajaran tematik, sejak dini anak-anak
sudah terlatih menghubungkan/ mengkaitkan hal yang satu dengan hal lainnya,
objek yang satu dengan objek lainnya. Keterlatihan ini sehingga anak menjadi
biasa menghadapi situasi yang memang adanya saling keterkaitan antara satu
masalah dengan masalah lainnya, yang pada akhirnya anak memiliki kemampuan
survive menghadapi berbagai situasi baru dalam kehidupan nyata. Sebenarnya
pembelajaran tema adalah khas bagi anak usia dini dari jenjang pendidikan anak
usia dini sampai kelas-kelas awal Sekolah Dasar (kelas 1, 2, dan 3). Semua

1
kegiatannya melibatkan pengalaman langsung bagi anak-anak serta memberikan
berbagai informasi atau pemahaman tentang lingkungan sekitar anak. Kegiatan ini
juga memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan keterampilan
lebih lanjut seperti mengendalikan kemampuan motorik halus, mengobservasi,
membandingkan, menyimpulkan, mengingat, menghitung, bermain peran serta
mengeksplorasi gagasan. Pada tahapan ini, ada sebuah teori yang disebut teori
perkembangan anak yang dikemukakan oleh Erikson.

B.  RUMUSAN MASALAH

1.      Siapa itu erikson?

2.      Bagaimana teori yang dikemukakan erikson?

C.   TUJUAN RUMUSAN MASALAH

1.      Mengetahui siapa pencetus teori perkembangan anak.

2.      Mengetahui dan memahami teori yang dikemukakan oleh erikson

2
BAB II

PEMBAHASAN

A.      BIOGRAFI ERIKSON

Erikson lahir di Frankurt Jerman pada tanggal 15 Juni 1902. Ayahnya adalah


seorang kebangsaan Denmark yang tidak dikenal namanya dan ibunya, Karla
Abrhamsen, adalah wanita Yahudi. Orang tuanya berpisah sebelum Erik lahir.
Ibunya, Karla kemudian menikah dengan Dr. Theodore Homburger, lalu pindah
ke Karlsruhe, Jerman Selatan. Erikson menyelesaikan pendidikan di Gymnasium.
Pada usia 25 tahun ia diundang untuk mengajar di sebuah sekolah swasta di Wina.
Erikson menjadi begitu tertarik pada pendidikan anak-anak. Erikson akhirnya
memilih kesenian, karena ia memiliki bakat dan minat di bidang itu. Pada masa
hidupnya ini (Erikson pada waktu itu berusia 25 tahun) terjadilah sesuatu yang
membuatnya berubah secara drastis. Ia diundang untuk mengajar pada suatu
sekolah swasta kecil, di Wina. Sekolah ini dibangun sebagai tempat mendidik
anak anak, sementara mereka dan (atau) orangtua mereka menjalani psikoanalisis.
Sekolah itu progresif dan para guru serta murid diberi kebebasan penuh dalam
mengembangkan kurikulum. Erikson menjadi begitu tertarik pada pendidikan
anak anak sehingga ia mengikuti dan tamat dari sekolah pendidikan guru yang
menerapkan metode Montessori. Metode Montessori menekankan perkembangan
inisiatif anak sendiri melalui permainan dan pekerjaan. Pengalaman ini memiliki
pengaruh yang tidak pernah hilang dalam diri Erikson. Pengaruh lain yang lebih
dalam ialah perkenalannya yang tak teralakan dengan psikoanalisis ialah ia
berkenalan dengan perkumpulan Freud, mengikuti pendidikan pbeliau dengan
konsep psikoanalisis di bawah bimbingan Anna Freud, mempelajari
psikoloanalisis di Institut Psikoanalisis di Wina, dan tamat dari sana pada tahun
1933. Bisa dikatakan, ia telah menemukan identitas profesinya. Reputasi Erikson

3
hampir seluruhnya berasal dari uraiannya tentang perkembangan psikososial
sepanjang masa kehidupan, dari masa bayi sampai masa tua, terutama konsep-
konsepnya tentang identitas dan krisis identitas. Pada umumnya para psikolog
lebih menyukai tahap Erikson daripada tahap psikoseksual Freud. Mereka
berpendapat bahwa Erikson telah memberikan sumbangan untuk perkembangan
kepribadian, setara dengan apa yang telah dilakukan Piaget tentang perkembangan
intelektual. Erikson juga dikagumi karena observasinya yang tajam dan
inteprestasinya yang peka dan perasaan kasihnya dalam terhadap segala sesuatu
yang bersifat manusiawi. Erikson berkata bahwa orang-orang harus menemukan
identitasnya dalam potensi-potensi masyarakatnya, sedangkan perkembangannya
harus selaras dengan syarat-syarat yang dicanangkan masyarakat, atau mereka
harus menanggung akibat-akibatnya. Sumbangan penting yang telah diberikan
Erikson meliputi dua topik utama yaitu teori psikososial tentang perkembangan
dari mana muncul suatu konsepsi yang luas tentang ego dan penelitian
psikosejarah yang menerangkan psikososialnya.

B.                 TEORI YANG DIKEMUKAKAN OLEH ERIKSON


Teori Psikososial tentang Kepribadian
Diperkenalkan oleh Erik Erikson ( 1902 – 1994 )  yang merupakan ahli neo-
Freudian yang menerima rangka kerja psikoseksual Freud. Teori perkembangan
psikososial Erik Erikson adalah salah satu daripada teori – teori yang paling
terkenal dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erik Erikson percaya bahawa
personaliti yang terbentuk dalam satu siri peringkat. Berbeza dengan teori Freud
peringkat psikoseksual, teori Erikson menerangkan kesan pengalaman merentasi
seluruh jangka hayat, dari lahir hingga kematian. Salah satu unsur utama teori
peringkat psikososial Erikson ialah perkembangan identiti ego. Identiti ego rasa
sedar diri kita berkembang melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, identiti ego
kita sentiasa berubah – ubah disebabkan oleh pengalaman baru dan maklumat
yang kita peroleh dalam interaksi harian kita dengan orang lain. Di samping
identiti ego, Erikson percaya bahawa rasa kecekapan juga mendorong tingkah
laku dan tindakan. Jika diuruskan dengan buruk, orang itu akan merasai perasaan

4
yang tidak mencukupi. Beliau juga menggabungkan tiga faktor yang
mempengaruhi perkembangan individu iaitu faktor kendiri, emosi, dan sosial.
Teori Erikson adalah berdasarkan lima prinsip iaitu:

i. Manusia mempunyai keperluan asas yang sama

ii. Perkembangan individu bergantung kepada tindak balas terhadap keperluan-


keperluan asas

iii. Perkembangan manusia mengikut tahap-tahap tertentu

iv. Setiap tahap mempunyai konflik dan ia mesti diatasi sebelum individu dapat
berfungsi dengan jayanya pada tahap berikutnya .

v. Kegagalan mengatasi konflik pada suatu tahap akan menjejaskan perkembangan


tahap yang berikut

Walau bagaimanapun, beliau telah menambah baikkan gambaran dengan


menambahkan peringkat perkembangan sosio-emosi manusia daripada lima
kepada lapan peringkat, mulai dari peringkat bayi hingga peringkat tua. Beliau
menyatakan bahawa di dalam setiap peringkat tingkah laku positif dan negatif
akan timbul yang menyebabkan penyesuaian psikologikal kerana konflik
emosinya.

Perkembangan berlangsung melalui delapan tahap menurut Erikson. Tahap yang


berurutan itu tidak ditetapkan menurut suatu jadwal kronologis yang ketat.
Erikson berpendapat bahwa setiap anak memiliki jadwal waktunya sendiri.
Erikson membagi tahap-tahap itu berdasarkan kualitas dasar ego pada masing-
masing tahap yaitu:
1. Kepercayaan Dasar vs. Kecurigaan Dasar

Kepercayaan dasar yang paling awal terbentuk selama tahap sensorik oral dan
ditunjukkan oleh bayi lewat kapasitasnya untuk tidur dengan tenang, menyantap

5
makanan dengan nyaman dan membuang kotoran dengan santai. Kebiasaan itu
berlangsung terus dalam kehidupan bayi dan merupakan dasar paling awal bagi
berkembangnya suatu perasaan identitas psikososial. Melalui pengalaman dengan
orang dewasa, bayi belajar menggantungkan diri dan percaya pada mereka, tetapi
mungkin yang lebih penting, ia mempercayai dirinya sendiri. Kepastias semacam
itu harus mengungguli lawan negatif dari kepercayaan dasar yakni, kecurigaan
dasar. Pengharapan merupakan kebajikan paling awal dan paling esensial yang
melekat dalam hidup. Fondasi pengharapan pertama terletak pada hubungan
dengan orang tua yang memberikan pengalaman-pengalaman seperti ketenangan,
makanan dan kehangatan. Pada saat yang sama, ia mengembangkan kemampuan
untuk membuang pengharapan yang dikecewakan dan menemukan pengharapan
dalam tujuan dan kemungkinan pada masa mendatang. Menurut Erikson,
pengharapan adalah keyakinan yang bersifat menetap akan kemungkinan
dicapainya hasrat-hasrat kuat. Tahap pertama kehidupan ini merupakan tahap
ritualisasi numinous yaitu, perasaan bayi akan kehadiran ibu, dalam hal ini
pandangannya, pegangannya, sentuhannya, teteknya atau “pengakuan atas
dirinya”. Bentuk ritual numinous yang menyimpang dan terungkap dalam
kehidupan dewasa berupa pemujaan terhadap pahlawan secara berlebih-lebihan
atau idolisme.

2. Otonomi vs. Perasaan Malu dan Keragu-Raguan

Anak harus didorong untuk mengalami situasi-situasi yang menuntut otonomi


dalam melakukan pilihan bebas. Rasa mampu mengendalikan diri akan
menimbulkan dalam diri anak rasa memiliki kemauan baik dan bangga yang
bersifat menetap. Sebaliknya rasa kehilangan kontrol diri dapat menyebabkan
perasaan malu dan ragu-ragu yang bersifat menetap. Nilai kemauan muncul pada
tahap ke dua kehidupan ini. Anak belajar dari dirinya sendiri dan dari orang.
Kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum
dan kewajiban. Kemauan adalah kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan
bebas, memutuskan, melatih mengendalikan diri dan bertindak yang terus
meningkat. Ritualisasi menyebut ritualisasi tahap ini sifat bijaksana, karena anak
mulai menilai dirinya sendiri dan orang lain serta membedakan antara benar dan

6
salah. Penyimpangan ritualisme pada tahap ini adalah legalisme, yakni
pengagungan huruf ketentuan hukum daripada semangatnya, mengutamakan
hukuman daripada belas kasih.
3. Inisiatif vs. Kesalahan

Tahap psikososial ketiga ialah tahap inisiatif yaitu suatu masa untuk memperluas
penguasaan dan tanggung jawab. Selama tahap ini anak menampilkan diri lebih
maju dan lebih seimbang secara fisik maupun kejiwaan. Tujuan adalah nilai yang
menonjol pada tahap perkembangan ini. Kegiatan utama anak dalam tahap ini
adalah bermain, dan tujuan tumbuh dari kegiatan bermainnya, eksplorasi, usaha,
kegagalannya serta eksperimen dengan alat permainannya. Masa bermain ini
bercirikan ritualisasi dramatik. Anak secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan
bermain, memakai pakaian, meniru kepribadian orang dewasa dan berpura-pura
menjadi apa saja. Keterasingan batin yang dapat timbul pada masa kanak-kanak
ini ialah suatu perasaam bersalah. Padanan negatif dari ritualisasi dramatik adalah
ritualisme impersonasi sepanjang hidup, yaitu melakukan tindakan yang tidak
mencerminkan kepribadiannya yang sejati.
4. Kerajinan vs. Inferioritas

Pada tahap ini, anak harus belajar mengontrol imjinasinya yang sangat kaya, dan
mulai menempuh pendidikan formal. Bahaya dari tahap ini ialah anak bisa
mengembangkan perasaan rendah diri apabila ia tidak berhasil menguasai tugas-
tugas yang dipilihnya atau yang diberikan oleh guru dan orangtua. Nilai
kompetensi muncul pada tahap kerajinan ini. Rasa kompetensi dicapai dengan
menerjunkan diri pada pekerjaan dan penyelesaian tugas, yang pada akhirnya
mengembangkan kecakapan kerja. Usia sekolah merupakan tahap ritualisasi
formal, masa anak belajar bekerja secara metodis. Penyimpangan ritualismenya
dimasa depan adalah formalisme, berwujud pengulangan, formalitas yang tidak
berarti.
5. Identitas vs. Kekacauan Identitas

Selama masa [adolesen], individu mulai merasakan suatu perasaan tentang


identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk
memasuki suatu peranan yang berarti di tengah masyarakat, entah peranan ini

7
bersifat menyesuaikan diri atau bersifat memperbaharui. Inilah masa dalam
kehidupan ketika orang ingin menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan
ingin menjadi apakah ia pada masa yang akan datang. Daya penggerak batin
dalam rangka pembentukan identitas ego dalam aspek-aspeknya yang sadar
maupun tak sadar. Pada tahap ini ego memiliki kapasitas untuk memilih dan
mengintegrasikan bakat-bakat dan ketrampilan dalam melakukan identifikasi
dengan orang yang sependapat, dalam lingkungan sosial, serta menjaga
pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan kecemasan. Semua ciri yang
dipilih oleh ego ini dihimpun dan diintegrasikan oleh ego serta membentuk
identitas psikososial seseorang. Peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke
masa dewasa di satu pihak dan karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan
historis dilain pihak, maka selama tahap pembentukan identitas seorang remaja,
mungkin merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain
akibat kekacauan peranan atau kekacauan identitas. Istilah krisis identitas
menunjuk pada perlunya mengatasi kegagalan yang bersifat sementara itu untuk
selanjutnya membentuk suatu identitas yang stabil atau sebaliknya suatu
kekacauan peranan. Kesetiaan adalah pondasi atas dasar mana terbentuk suatu
perasaan identitas yang bersifat kontinyu. Ritualisasi yang menyertai tahap
adolesen adalah ritualisasi ideologi. Penyimpangan ritualisasinya adalah totalisme.

6. Keintiman vs. Isolasi

Tahap dimana orang dewasa awal siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan
orang lain. Agar memiliki arti sosial yang bersifat menetap maka genitalitas
membutuhkan seseorang untuk dicintai dan diajak menngadakan hubungan
seksual, dan dengan siapa seseorang dapat berbagi rasa dalam suatu hubungan
kepercayaan. Bahaya pada keintiman ini adalah isolasi. Ritualisasi pada tahap ini
adalah afiliatif yakni berbagi bersama dalam pekerjaan, persahabatan dan cinta.
Penyimpangan ritualismenya adalah elitisme.

7. Generativitas vs. Stagnasi

Ciri tahap ini adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan, keturunan, produk, ide
serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi mendatang.

8
Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan
mundur dan mengalami stagnasi. Nilai pemeliharaan berkembang dalam tahap ini.
Ritualisasi dari tahap ini ialah sesuatu yang generasional, yakni ritualisasi peranan
orang tua, produksi, pengajaran dengan mana orang dewasa bertindak sebagai
penerus nilai-nilai ideal kepada kaum muda. Penyimpangan dari ritualisasi ini
adalah autoritisme.

8. Integritas vs. Keputusasaan

Tahap terakhir dalam proses epigenetis perkembangan disebut integritas. Integritas


paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah
memelihara benda, produk, ide, orang dan setelah berhasil menyesuaikan diri
dengan keberhasilan dan kegagalan dalam hidup. Lawan integritas adalah
keputusasaan tertentu menghadapi perubahan siklus kehidupan individu, terhadap
kondisi sosial dan historis, belum lagi kefanaan hiidup di hadapan kematian.
Kebijaksanaan adalah nilai yang berkembang dari hasil pertemuan antara
integritas dan keputusasaan dalam tahap kehidupan yang terakhir ini. Ritualisasi
usia lanjut dapat disebut integral, ini tercermin dalam kebijaksanaan segala
zaman. Sebagai ritualisme yang padanannya, Erikson mengusulkan sapientisme.

Berikut adalah jadwal konflik emosi dan ciri-cirinya yang dikenalpasti oleh Erikson
pada tingkatan umur anak usia dini :

     Peringkat konflik Ciri-ciri perkembangan          Contoh / huraian


emosi

         Rasa kepercayaan Bayi mestilah


dibina dalam tahun pertama menjalinkan hubungan
kasih sayang serta
kepercayaan dengan
         membina rasa pengasuh atau
  0 - 1½  tahun(bayi)
kepercayaan secara sebaliknya membentuk
peringkat perasaan tidak percaya.

9
-  Kepercayaan lawan     Hal ini demikian
ketidakpercayaan bermakna, jika tidak
         membina rasa
diberi penjagaan yang
ketidakpercayaan jika
sepatutnya seperti
keperluannya tidak dapat
penyusuan, tidak dijaga
dipenuhi
atau lampin tidak
bertukar,
ketidakpercayaan
         ketidakpercayaan akan
kepada orang lain
membentuk tingkah laku
timbul dalam diri bayi
negatif
yang akan menimbulkan
ketakutan dan
berprasangka

         Keinginan memiliki
kuasa
Perkembangan kanak-
kanak pada tahap ini
tertumpu kepada
         keinginan membuat
perkembangan
sesuatu dengan daya usaha
kemahiran fizikal
    1 ½-3 tahun sendiri
seperti berjalan dan
  (awal kanak-kanak) pelbagai lagi. Rasa
percaya kepada
keupayaan diri timbul
-   Autonomi Lawan          merasa malu jika tidak jika berjaya dan
Malu/Ragu diberi kuasa menerima sokongan.
Sekiranya gagal mereka
akan ragu-ragu terhadap
         merasa malu didepan keupayaan diri
orang

10
         merasa takut
melakukan kesalahan.

·         belajar cepat Kanak-kanak pada tahap


ini akan cuba berdikari
melakukan sesuatu dan
           3-6 tahun ·         bergerak cepat jika gagal perasaan
bersalah akan timbul.
         ( awal kanak –
Mereka meneroka
        kanak tadika ) ·         peka kepada yang persekitaran dan
betul dan salah mencuba kemahiran-
kemahiran baru. Mereka
- Inisiatif lawan serba juga suka bertanya dan
salah ·         merasa serba salah jika meminta penjelasan dan
ketawa rasa bersalah terhadap
diri sendiri akan timbul
apabila kanak-kanak
·         membina sikap negatif dihukum atau tidak
jika merasa serba salah diberi peluang semasa
mencuba kemahiran

Pakar Psikologi Perkembangan Erikson memfokuskan pada perkembangan


psikososial sejak kecil hingga dewasa dalam delapan tahap. Setiap orang akan
melewati tahapan dan setiap tahapan akan mendapatkan pengalaman positif dan
negatif. Kepribadian yang sehat akan diperoleh apabila seseorang dapat melewati
krisis dalam tugas perkembangan dengan baik. Bagi anak usia dini, autonomy v.s.
doubt (1-3 tahun).Bayi memerlukan pengasuhan yang penuh cinta kasih sehingga
ia merasa yang aman baginya. Ketidak konsistenan dan penolakan pada masa bayi
akan menimbulkan ketidak percayaan pada pengasuhnya berlanjut pada orang lain
dan lingkungan yang lebih luas.Pada masa usia dini banyak hal yang menarik dia

11
sehingga akan menjadikan dia ingin selalu mencoba terkadang berbahaya. Pada
tahap ini orang dewasa harus memberikan dukungannya dan Erikson
mengingatkan pembatasan dan kritik yang berlebihan akan menyebabkan tumbuh
rasa ragu terhadap kemampuan dirinya. Penelitian tentang kecerdasan lebih jauh
lagi diungkapkan Gardner yang dikenal konsep kecerdasan Jamak atau Multiple
Intelegence (MI) ia mengidentifikasikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk
menemukan dan mencari pemecahan masalah serta membentuk suatu produk yang
mempunyai nilai dipandang dari budaya seseorang. Ketujuh kecerdasantersebut
adalah : Linguistik, logika, matematika, spasial, kinestetik, musik, intrapersonal,
interpersonal serta naturalis. Setiap orang mempunyai berbagai potensi tersebut
dan masing-masing dapat dikembangkan ke tahap tertentu. Dalam mendesain
kurikulum konsep Piaget, Vigotsky, Erikson dan Gardner sangat bermanfaat
sebagai arahan dalam menyusun kurikulum yang sesuai dengan tahap
perkembangan dan minat individu. Erikson menyoroti aspek psikososial yang
dialami masa anak-anak serta bagaimana pendidik dapat membantu anak melewati
masa tersebut untuk menjadi mandiri. Piaget dengan konsep tahapan
perkembangan berfikir memberikan pedoman Dalam menyusun pembelajaran
yangsesuaiusia, sementaraVigotsky mengemukakan tentang pentingnya interaksi
sosial dalam menstimulus berbagai aspek perkembangan.

12
BAB III

PENUTUP

A.      KESIMPULAN

Konsep pembelajaran menurut Corey (Sagala, 2003) adalah suatu proses dimana
lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut
serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan
respon terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari
pendidikan. Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditempuh oleh
guru dan peserta didik dalam mencapai tujuan instruksional untuk suatu satuan
instruksional tertentu (Sagala, 2003). Pendekatan pembelajaran tentu tidak kaku
harus menggunakan pendekatan tertentu, tetapi sifatnya lugas dan terencana,
artinya memilih suatu pendekatan harus disesuaikan dengan kebutuhan
tertentu. Metode pembelajaran adalah suatu cara atau prosedur yang ditempuh
pendidik dalam mengelola pembelajaran yang efektif dan efesien. Sesuai dengan
tuntutan dunia karakteristik anak yang berbeda dengan orang dewasa, guru perlu
menyiapkan suatu metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan dunia anak.
Penggunaan metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan dunia anak akan
memfasilitasi perkembangan berbagai potensi dan kemampuan anak secara
optimal serta tumbuhnya sikap dan kebiasaan berperilaku positif yangendukung
pengembangan berbagai potensi dan kemampuan anak

13
DAFTAR PUSTAKA

https://pembelajaranguru.wordpress.com/2008/05/25/teori-perkembangan-anak-
%E2%80%93-erickson-dan-gardner/#more-45

14

Anda mungkin juga menyukai