Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM ALIRAN EMPIRISME

“ Makalah Ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah”


Filsafat Pendidikan
Dosen Pengampu : Rofiq Hidayat M.Pd.

Disusun Oleh Kelompok 2 :


Amelia Rasida (214101030024)
Anis Ellyana (213101030004)

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UIN KH. ACHMAD SIDDIQ JEMBER
MARET 2022/ 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur atas kehadirat tuhan yang maha esa yang telang
melimpahkan rahmat dan hadiratnya sehingga kami dapat menyelesaikan
Makalah dengan judul “FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM ALIRAN
EMPIRISME”

Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima


kasih yang atak terhingga kepada pihak yang telah membatu menyelesaikan
penulisan makalah ini, Khusunya kepada : Bapak Rofiq Hidayat M.Pd
selaku dosen mata kuliah Filsafat Pendidikan yang telah meluangkan waktu
dalam melaksanakan bimbingan , Pengarahan, dalam rangka penyusunan
makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari


kata Sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca dan teman-
teman semua demi kesempurnaan tugas ini. Semoga apa yang dapat dan
tertera dalam makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan
serta wawasan bagi para pembaca.

Jember, 02 Maret 2022

Penulis
DAFTAR ISI

MAKALAH.................................................................................................................1
KATA PENGANTAR....................................................................................................2
DAFTAR ISI................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................4
PENDAHULUAN........................................................................................................4
1.1. Latar Belakang...............................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................4
1.3. Tujuan...........................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................6
PEMBAHASAN..........................................................................................................6
2.1. Sejarah Filsafat Pendidikan dalam aliran EMPIRISME...................................6
2.2. Tokoh-Tokoh Aliran EMPIRISME..................................................................10
2.3. Konsep Filsafat Pendidikan dalam Aliran Empirisme...................................16
2.4. Keunggulan dan Kelemahan Filsafat dalam Aliran Empirisme.....................18
2.5. Implementasi di masa kini / di Indonesia....................................................20
A. PENERAPAN ALIRAN EMPIRISME...................................................................20
B. Konsep Manajemen Pendidikan Islam dan Karakteristiknya..........................21
C. Penerapan Manajemen Pendidikan Islam di Pesantren.................................25
BAB III.....................................................................................................................29
PENUTUP................................................................................................................29
3.1. Kesimpulan..................................................................................................29
3.2. Saran...........................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................31
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Pada dasarnya manusia sebagai makhluk hidup berpikir dan selalu


berusaha untuk mengetahui segala sesuatu, tidak mau menerima begitu saja
apa adanya sesuatu itu, selalu ingin tahu apa yang ada dibalik yang dilihat
dan diamati. Segala sesuatu yang dilihatnya, dialaminya, dan gejala yang
terjadi di lingkungannya selalu dipertanyakan dan dianalisis atau dikaji. Ada
tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat yaitu keheranan,
kesangsian, dan kesadaran atas keterbatasan. Berfilsafat kerap kali didorong
untuk mengetahui apa yang telah tahu dan apa yang belum tahu, berfilsafat
berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahui dalam
kemestaan yang seakan tak terbatas.

Filsafat memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan


manusia. Setidaknya ada tiga peran utama yang dimiliki yaitu sebagai
pendobrak, pembebas, dan pembimbing Pendidikan adalah upaya
mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik
potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan
dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-
cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi
dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai
tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang
digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.

1.2. Rumusan Masalah

 Sejarah Filsafat Pendidikan dalam aliran EMPIRISME?


 Siapa saja tokoh-tokoh Filsafat Pendidikan dalam aliran
EMPIRISME?
 Bagaimana konsep Filsafat Pendidikan dalam aliran EMPIRISME?
 Apa saja Keunggulan dan kelemahan Filsafat Pendidikan dalam
aliran EMPIRISME?
 Bagaimana Implementasi di masa kini/di Indonesia

1.3. Tujuan

 Mampu menjelaskan bagaimana Sejarah Filsafat Pendidikan dalam


aliran EMPIRISME?
 Menyebutkan tokoh-tokoh Filsafat Pendidikan dalam aliran
EMPIRISME?
 Mampu menjelaskan Bagaimana konsep Filsafat Pendidikan dalam
aliran EMPIRISME?
 Mampu menjelaskan Keunggulan dan kelemahan Filsafat
Pendidikan dalam aliran EMPIRISME?
 Mampu menjelaskan Bagaimana Implementasi di masa kini/di
Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Filsafat Pendidikan dalam aliran EMPIRISME

Filsafat berasal dari dua kata yaitu philo dan shophia. Filsafat dapat
diartikan sebagai proses berfikir secara mendalam untuk mencari sebuah
kebenaran tentang sesuatu. Dengan adanya filsafat manusia bisa berfikir
secara kritis dan sistematis, serta bisa memecahkan permasalahan yang
berhubungan dengan aspek kehidupan manusia. Tidak hanya dalam
kehidupan manusia saja, namun filsafat ini juga mempunyai peranan
penting dalam dunia pendidikan.

Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan serta


mengembangkan porensi yang ada dalam diri kita baik itu berupa jasmani,
maupun rohani, sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam ajaran agama
islam. Dengan pendidikan pula bisa membawa kehidupan yang bermakna,
yang penuh dengan keharmonisan, serta kebahagiaan.

Filsafat dengan pendidikan mempunyai keterkaiatan yang erat satu


sama lain, baik dalam pendidikan secara teoritis maupun pendidikan secara
praktik. Dalam hal praktik pendidikan filsafat menjadi landasan teori dalam
kegiatan belajar mengajar. dalam hal ini filsafat pendidikan dapat diartikan
sebagai hasil pemikiran secara mendalam berkaiatan dengan dunia
pendidikan, baik dalam proses maupun tujuannya.1

Aliran Empirisme dibangun pada abad ke 17 yang muncul setelah


lahirnya aliran rasionalisme. Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat
yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman
manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa
fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan.

1
Muti Syarofani.“ Impementasi Pemikiran Filsafat Empirisme dalam Pendidikan”
www.kompasiana.com/muti63249/61d32e7116671714d0539c42/implementasi-
pemikiran-filsafat-empirisme-dalam-pendidikan-anak?page=2&page_images=1 (diakses
pada 4 januari 2022)
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris
empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani
(empeiria) dan dari kata experieti yang berarti “berpengalaman dalam”,
“berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Empirisme adalah aliran dalam
filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau
parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.

Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai


Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus
dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi
yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman
inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal.

Menurut aliran ini adalah tidak mungkin untuk mencari pengetahuan


mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat
kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia,
yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan. Kaum
empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan
yang mempunyai peluang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak
tidak akan pernah dapat dijamin.

Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan


manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk
meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata
“tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia
harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita mengatakan kepada
dia bahwa seekor harimau di kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk
menjelaskan bagaimana kita dapat sampai kepada kesimpulan tersebut. Jika
kemudian kita mengatakan bahwa kita melihat harimau tersebut di dalam
kamar mandi, baru kaum empiris akan mau mendengar laporan mengenai
pengalaman kita, namun dia hanya akan menerima hal tersebut jika dia atau
orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan
melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri (Basyit, 2009).
Sumber pengetahuan dalam diri manusia itu banyak sekali. Salah
satu paham yang memaparkan tentang sumber pengetahuan adalah paham
empirisme. Empirisme merupakan paham yang mencoba memaparkan dan
menjelaskan bahwa sumber pengetahuan manusia itu adalah pengalaman.
Ilmu-ilmu empiris ini memperoleh bahan-bahan untuk sesuatu yang
dinyatakan sebagai hasil atau fakta dari sesuatu yang dapat diamati dengan
berbagai cara. Bahan-bahan ini terlebih dahulu harus disaring, diselidiki,
dikumpulkan, diawasi, diverifikasi, diidentifikasi, didaftar, dan
diklasifikasikan secara ilmiah.

Paham empirisme telah banyak didiskusikan oleh orang-orang di


bangku perkuliahan.Banyak yang menyatakan bahwa suatu penelitian itu
harus didasarkan atas data empiris, namun menurut penulis dengan data
empiris saja penelitian tidak cukup dan harus juga berdasarkan rasionalisme
logis. Tuhan telah menciptakan akal bagi manusia sehingga
membedakannya dengan makhluk-makhluk yang lain. Akal harus
difungsikan dalam suatu penelitian agar pembaca memiliki gambaran yang
kuat untuk menerima hasil kajian ilmiah dari peneliti yang akan dijadikan
sebagai pengetahuan. Paham empirisme banyak juga menuai sanggahan dari
orang-orang rasionalis karena mengesampingkan akal dalam penelitian.
Sehingga dapat dikatakan bahwa paham rasionalisme ini merupakan lawan
dari paham empirisme (Hamdi, 2014).

Pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman-pengalaman inderawi


yang sesuai dan pengalaman dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan
bukan rasio. Oleh sebab itu, empirisme dinisabatkan kepada faham yang
memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan yang dimaksudkan
dengannya ialah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun
pengalaman batiniyah yang menyangkut pribadi manusia (Praja, 2005).

Sedangkan menurut Sutarjo menyatakan bahwa empirisme


merupakan aliran yang mengakui bahwa pengetahuan itu pada hakikatnya
didasarkan ataspengalaman atau empiri melalui alat indra (empiri).
Empirisme menolak pengetahuan yang semata-mata didasarkan akal, karena
dapat dipandang sebagai spekulasi belaka dan tidak berdasarkan realitas
sehingga berisiko tidak sesuai dengan kenyataan.Pengetahuan sejati harus
didasarkan pada kenyataan sejati, yaitu realitas (Sutardjo, 2009).

Berbeda dengan Rasionalisme yang mengatakan bahwa akal itulah


alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal,
temuannya diukur dengan akal pula. Dicari dengan akal artinya dicari
dengan berfikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu
logis atau tidak.bila logis berarti benar, bila tidak logis berarti salah. Jadi
sumber pengetahuan bagi paham Rasionalisme adalah akal yang logis
(Tafsir, 2006).

Dari beberapa uraian di atas tentang empirisme dan rasionalisme,


keduanya memiliki kekurangan. Empiris (pengalaman) belumlah menjadi
sebuah pengetahuan, karena masih merupakan bahan yang belum berbentuk.
Pengalaman itu menjadi sebuah pengetahuan setelah diolah, dibentuk oleh
akal kita. Pandangan ini juga selaras dengan pandangan Kant yang
menyebut dirinya sebagai aliran Kritisme. Begitupula dengan akal (rasio)
belum juga dapat menjadi sebuah pengetahuan, karena manusia memiliki
akal yang terbatas. Sehingga terkadang orang menafsirkan sesuatu dengan
akalnya sama-sama logis padahal sesuatu itu tidak sama, seperti ayam dan
telur. Tanpa melibatkan konsep penciptaan tidak dapat ditemukan mana dari
keduanya yang pertama kali ada. Adanya telur karena ayam, adanya ayam
juga karena telur. Karena tidak pernah ditemukan ayam melahirkan seorang
anak ayam sebelum telur. Oleh karena itu pengetahuan perlu ditinjau dari
kemungkinan sumber lain (Hamdi, 2014).

Adapun kekurangan empirisme menurut positivisme bahwa


empirisme belum terukur. Empirisme hanya sampai pada konsep-konsep
umum, seperti kelereng ini kecil, bulan lebih besar, bumi lebih besar lagi,
matahari sangat besar, demikianlah seterusnya.Konsep ini belum
operasional, karena belum terukur.Jadi, masih perlu alat-alat lain seperti
paham positivisme. Paham positivisme mengajarkan bahwa kebenaran itu
ialah yang logis, ada bukti empirisnya, dan terukur.”Terukur” inilah yang
menjadi sumbangan penting positivisme. Positivisme akan mengatakan
bahwa air kopi ini panasnya 80 derajat celcius, air mendidih ini 100 derajat
celcius, ini panjangnya satu meter, dan lainnya.

Oleh karena itu, filsafat empirisme tentang teori makna amat


berdekatan dengan aliran positivisme logis. Akan tetapi, teori makna dan
empirisme selalu harus dipahami lewat penafsiran pengalaman.Kalau kaum
rasionalis berpendapat bahwa manusia sejak lahir di karuniai idea oleh
Tuhan yang dinamakan “idea innatae” ( idea terang benderang atau idea
bawaan) , maka pendapat impiris berlawanan mereka mengatakan bahwa
waktu lahir jiwa manusia adalah putih bersih ( tabula rasa), tidak ada bekal
dari siapapun yang merupakan “idea innatae”.

Meskipun demikian positivisme telah memberi sumbangan terhadap


paham empirisme yang dapat mengajukan logikanya, menunjukkan bukti
empirisnya yang terukur, namun keduanya masih pula memiliki
kekurangan. Kekurangannya menimbulkan pertanyaan “ Bagaimana
caranya?”oleh karena itu masih diperlukan alat-alat lain seperti Metode
Ilmiah. Metode ilmiah mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang
benar dilakukan langkah berikut: logico – hypothetico – verificartif.
Maksudnya, buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis
berdasarkan logika itu, kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara
empiris.2

2.2. Tokoh-Tokoh Aliran EMPIRISME

Tokoh-tokoh pakar filsafat yang mengembangkan paham empirisme


diantaranya John Locke, George Berkeley, dan David Hume. Sebagai aliran
filsafat, empirisme merupakan salah satu dari dua cabang filsafat modern
yang lahir pada zaman pencerahan. Bertentangan dengan rivalnya,

2
Muji Gunarto, Aliran Filsafat : “EMPIRISME”
https://mujigunarto.wordpress.com/2017/10/09/aliran-filsafat-empirisme/(diakses pada 9
oktober 2017).
rasionalisme, yang menempatkan rasio sebagai sumber utama pengetahuan,
empirisme justru memilih

pengalaman sebagi sumber utama pengetahuan baik lahiriah maupun


batiniah.

1. Jhon Locke(1632-1704 M)

John Locke lahir tanggal 29 Agustus 1632 di


Wrington/Somersetshire dan meninggal di Oates/Essex tanggal 28 Oktober
1704. Ia dilahirkan dari keluarga yang memihak parlemen. Sikap puritan
ayahnya sedikit banyak menularkan kepada anaknya sebuah sikap tidak
suka pada aristokrasi.

John Locke adalah tokoh pembawa gerbong aliran empirisme dalam


filsafat. Yakni, sebuah aliran yang mengimani bahwa semua pikiran dan
gagasan manusia berasal dari sesuatu yang didapat melalui indra atau
pengalaman, sehingga dia disebut filsuf Inggris dengan pandangan
empirisme.3
Fokus filsafat Locke adalah antitesis pemikiran Descrates. Ia
menyarankan bahwa akal budi dan spekulasi abstrak agar kita harus
menaruh perhatian dan kepercayaan pada pengalaman dalam menangkap
fenomena alam melalui pancaindera. Pengenalan manusia terhadap seluruh
pengalaman yang dilaluinya seperti mencium, merasa, mengecap dan
mendengar menjadi dasar bagi hadirnya gagasan-gagasan dan pikiran
sederhana. Gagasan yang datang dari indra tadi diolah dengan cara berpikir,
bernalar, memercayai dan meragukannya dan inilah akhirnya disebut bagian
aktivitas merenung dan perenungan.
Locke banyak membaca karya-karya Descartes dan mengaguminya.
Akan tetapi, dia tidak setuju atas rasionalisme Descartes yang beranggapan
bahwa pengetahuan dapat diperoleh secara a priori. Dalam teori Descartes
mengenai idea-idea bawaan sangat jelas bahwa bagi Descartes pengetahuan
3
li Maksum, Pengantar Filsafat; Dari Masa Klasik Hingga Post modernisme (Ar-Ruzz Media
: Jogjakarta, 2012) hal. 133
kita tentang dunia luar ditentukan oleh kebenaran-kebenaran yang sudah
melekat dalam pikiran subjek. Teori kebenaran a priori ini sebenarnya
merupakan warisan kuno dari plato.
Menurut Locke anggapan para filsuf rasionalis bahwa idea-idea
tentang kenyataan itu sudah kita miliki sejak lahir adalah anggapan yang
tidak terbukti dalam kenyataan. Pikiran anak harus dianggap sebagai ‘tabula
rasa‘, yaitu kertas kosong. Baru dalam proses pengenalannya terhadap
dunia luar, pengalaman memberikan kesan-kesan dalam pikirannya. Dengan
demikian kebenaran dan kenyataan dipersepsi subjek melalui pengalaman
dan buku bersifat bawaan. Berdasarkan anggapan ini Locke berusaha
menolak segala prinsip-prinsip logis, matematis, bahkan moral yang bersifat
a priori. Misalnya, ajaran tentang dosa asal juga ditolaknya, karena
menurutnya manusia memiliki kekuatan untuk berubah dan bukan budak
dari keadaan-keadaan awalinya. Segala prinsip a priori yang universal itu
harus dikembalikan kapada pengalaman dulu. Dapat dikatakan bahwa
penolakan Locke atas adea-idea bawaan itu berkaitan dengan pandangan
liberalnya tentang manusia dan masyarakat.4
Locke berusaha menggabungkan teori empirisme seperti yang telah
diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Ia
menentang teori rasionalisme yang mengenai idea-idea dan asas-asas
pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala
pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal (rasio)
adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan
pengetahuan dari dirinya sendiri. Semula akal serupa dengan secarik kertas
yang tanpa tulisan (tabula rasa), yang menerima segala sesuatu dari
pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi dan
pengetahuan akali. Satu satunya sasaran atau obyek pengetahuan adalah
gagasan-gagasan atau idea-idea, yang timbulnya karena pengalaman lahiriah
(sensation) dan karena pengalaman batiniah (reflection). Pengalaman
lahiriah mengajarkan kepada kita tentang hal-hal yang ada diluar kita,
sedangkan pengalaman batiniah mengajarkan tentang keadan-keadaan spikis
4
F.Budi Hardiman, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia,
2007) hal.75
kita sendiri. Kedua macam pengalaman ini jalin-menjalin. Pengalaman
lahiriah menghasilkan gejala-gejala psikis yang harus ditanggapi oleh
pengalaman batiniah. Obyek-obyek pengalaman lahiriah itu mula-mula
menjadi isi pengalaman, karena dihisabkan oleh pengalaman batiniah,
artinya : obyek-obyek itu tampil dalam kesadaran. Segala sesuatu yang
berada di luar kita berupa pengalaman lahiriah menimbulkan gagasan-
gagasan dalam diri kita.5
Dengan demikian, Locke menyatakan ada dua macam pengalaman
manusia, yakni pengalaman lahiriah (sense atau eksternal sensation) dan
pengalaman batiniah (internal sense atau reflection). Pengalaman lahiriah
adalah pengalaman yang menangkap aktivitas indrawi yaitu segala aktivitas
material yang berhubungan dengan panca indra manusia. Sedangkan
reflection adalah pengenalan intuitif yang memberikan pengetahuan kepada
manusia, yang sifatnya lebih baik dari pada sensation, pengalaman batiniah
terjadi ketika manusia memiliki kesadaran terhadap aktivitasnya sendiri
dengan cara 'mengingat', 'menghendaki', 'meyakini', dan sebagainya. Kedua
bentuk pengalaman manusia inilah yang akan membentuk pengetahuan
melalui proses selanjutnya.6
Proses manusia mendapatkan pengetahuan itu didapat dari perpaduan
antara pengalaman lahiriah dan batiniah. Dari kedua perpaduan pengalaman
tersebut diperoleh apa yang disebut pandangan – pandangan sederhana
seperti: Pandangan yang hanya diterima oleh satu indra manusia saja.
Misalnya, warna diterima oleh mata, dan bunyi diterima oleh telinga.
Pandangan yang diterima oleh beberapa indra, misalnya saja ruang dan
gerak. Pandangan yang dihasilkan oleh refleksi kesadaran manusia,
misalnya ingatan. Pandangan yang menyertai saat-saat terjadinya proses
penerimaan dan refleksi. Misalnya, rasa tertarik, rasa heran, dan waktu.
Di dalam proses terbentuknya pandangan-pandangan sederhana ini,
rasio atau pikiran manusia bersifat pasif atau belum berfungsi. Setelah
pandangan-pandangan sederhana ini ada, baru rasio atau pikiran bekerja
membentuk ‘pandangan-pandangan kompleks. Rasio bekerja membentuk
5
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Hal. 36.
6
Simon Petrus L. Tjahjadi. Petualangan Intelektual ( Yogyakarta: Kanisius. 2004) Hal. 236.
pandangan kompleks dengan cara membandingkan, mengabstraksi, dan
menghubung-hubungkan pandangan-pandangan sederhana tersebut.7
Locke membedakan antara gagasan-gagasan yang tunggal ( simple
ideas ) dan gagasan-gagasan majemuk ( complex ideas ). Gagasan-gagasan
tunggal datang pada diri kita secara langsung dari pengalaman, tanpa
pengolahan logis apa pun, akan tetapi gagasan-gagasan majemuk timbul
dari percampuran atau penggabungan gagasan-gagasan tunggal. Jikalau
beberapa gagasan secara teratur bersama-sama menampilkan diri, kita
menanggapi gagasan-gagasan itu sebagai termasuk satu hal yang sama, yang
berdiri sendiri, yang disebut subtansi. Selain daripada substansi gagasan-
gagasan majemuk juga dapat meliputi pengertian tentang keadaan atau modi
dan tenang hubungan-hubungan.
Pekerjaan roh manusia terbatas pada memberi sebutan kepada
gagasan-gagasan tunggal tadi, menggabung-gabungkannya,
merangkumkannya dan menjadikannya sifat umum. Dari gagasan-gagasan
itulah timbul isi pengatahuan kita yang bermacam-macam sekali. Pengertian
umum adalah suatu sebutan kolektif bagi segala gagasan yang tunggal dan
majemuk dari macam atau rumpun yang sama. Jadi kata atau perkataan
berfungsi sebagai tanda bagi suatu isi kesadaran kita.8

2. George Berkeley (1685-1753)

George Berkeley lahir pada tanggal 12 Maret 1685 di Dysert Castle


Irlandia dan meninggal tanggal 14 Januari 1753 di Oxford. Sebagai
penganut empirisme mencanangkan teori yang dinamakan immaterialisme
atas dasar prinsip-prinsip empirisme. Ia bertolak belakang dengan pendapat
John Locke yang masih menerima substansi dari luar. Berkeley berpendapat
sama sekali tidak ada substansi-substansi material dan yang ada hanya
pengalaman ruh saja karena dalam dunia material sama dengan ide-ide.
Berkeley mengilustrasikan dengan gambar film yang ada dalam layar putih

7
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/09/21/pemikiran-john-locke diaksess 1
April 2016

8
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2… Hal.37
sebagai benda yang riil dan hidup. Pengakuannya bahwa “aku” merupakan
suatu substansi rohani. Tuhan adalah asal-usul ide itu ada yang
menunjukkan ide-ide pada kita dan Tuhanlah yang memutarkan film pada
batin kita.

Pandangan Berkeley ini sekilas seperti rasionalisme karena


memutlakkan subjek. Jika diperhatikan lebih lanjut padangan ini termasuk
empirisme, sebab pengetahuan subjek itu diperoleh lewat pengalaman,
bukan prinsip-prinsip dalam rasio, meskipun pengalaman itu adalah
pengalaman batin. Selanjutnya, dengan menegaskan tentang adanya sesuatu
yang sama dengan pengertiannya dalam diri subjek dan juga ia beranggapan
bahwa dunia adalah idea-idea kita.

3. David Hume (1711-1776)

Hume lahir pada tanggal 7 Mei 1711 di Edinburgh Inggris dan


meninggal pada tanggal 25 Agustus 1776. David Hume merupakan puncak
dari aliran Empirisme. Baginya, pengalaman lebih dari rasio sebagai sumber
pengetahuan, baik pengalaman intern maupun ekstern. Menurut Hume, semua ilmu
itu berhubungan dengan hakekat manusia. Dan ilmu inilah yang menjadi satu –
satunya dasar bagi ilmu – ilmu yang lain.

Hume mengatakan bahwa, semua pengetahuan dimulai dari pengalaman


indra sebagai dasar. Impression pada Hume, sama dengan sensasional pada John
Lock yaitu basis pengetahuan. Semua persepsi jiwa manusia terbentuk dari dua alat
yang berbeda yaitu impression dan idea. Dari keduanya, perbedaan terletak pada
tingkat kekuatan dan garis menuju kekuatan besar dan kasar disebut impression,
sedangkan idea adalah gambaran kabur tentang persepsi yang masuk ke dalam
pikiran.

Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialaminya hanya kesan –


kesan saja tentang beberapa cirri yang selalu ada bersama – sama. Dimulai dari
kesan, kemudian muncul gagasan, dimana kesan merupakan hasilpenginderaan
secara langsung, sedangkan gagasan itu sendiri merupakan ingatan akan kesan –
kesan. Kita ambil contoh, ada sebuah benda dengan cirri –ciri putih, lcin, ringan,
tipis. Dengan ciri – ciri tersebut tidak bisa disimpulkan bahwa yang memiliki ciri –
ciri tadi adalah kertas.

Hume tidak mengakui adanya kausalitas atau hukum sebab akibat. Banyak
orang berpendapat bahwa penyimpulan soal – soal yang nyata tampaknya
didasarkan atas hubungan sebab akibat. Sebagai contoh, kita menuangkan air
dalam bejana, kemudian di bawah bejana tersebut kita nyalakan api, setelah
beberapa menit, air pun mendidih. Kesan gejala pertama adalah air bejana. Setelah
beberapa waktu pengamatan, mendapat gejala yang kedua yaitu air mendidih.
Kesan akan terus menerus diterima jika ada api diletakkan dibawah bejana yang
berisi air yang mana akan timbul asosiasi tertentu yang menjadikan akal kita
cenderung berpendapat seolah api itu yang menghubungkan air dingin dengan air
mendidih. Hubungan ini kita angap sebagai suatu yang pasti,dimana kepastian
disini adalah hanya mengungkapkan harapa kita saja dan tidak boleh dimengerti
lebih dari berpeluang. Maka Hume menolak kausalitas sebab sesuatu mengikuti
yang lain, tidak melakat pada hal – hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan
kita. Jika kita bicara tentang hukum alam atau sebab akibat, sebenarnya kita
membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang
lebih didikte leh kebiasaan atau perasaan kita saja.

David hume menolak membagi persepsi menjadi dua, dimana persepsi


sederhana adalah persepsi yang tidak bisa dibagi seperti ketika melihat merah,
bulat dan pesepsi ruwet seperti idea apel yang memerlukan idea yang susunannya
dan asosiasinya harus kompleks. Jadi untuk mengetahui kebenaran sebuah
pengetahuan, maka diuraikan idea yang kompleks menjadi ide- de sederhana dan
kemudian menemukan kesan yang merupakan basis idea tersebut. Oleh karena itu,
metode Hume tidak bisa digunakan untuk persoalan metafisika seperti Tuhan
karena tidak memiliki basis pengalaman dan tidak bisa mempunyai basis berupa
hubungan antara idea yang dapat didemonstrasikan melalui logika sederhana atau
pembuktian matematis.

Di dalam etikanya, Hume membuang segala kausalitas, karena akal hanya


bisa menunjuk pada kesesuaian antara suatu perbuatan tertentu dengan defacto.
Pada dasarnya, pemikiran Hume bersifat analisis, kritis dan skeptis. Ia berpangkal
pada keyakinan bahwa hanya kesan – kesanlah yang pasti, jelas dan tidak
diragukan, dari situlah dia sampai pada keyakinan bahwa “ aku “ termasuk dunia
khayalan. Berarti, dunia terdiri dari kesan – kesan yang terpisah dan dapat disusun
secara obyektif, sistematis, karena tiada hubungan sebab-sebab diantara kesan –
kesan itu.9

2.3. Konsep Filsafat Pendidikan dalam Aliran Empirisme


Empiris memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan, malah
barang kali merupakan satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan menurut
penganut empirisme. Pengalaman inderawi sering dianggap sebagai pengadilan
yang tertinggi. Berbeda dengan rasionalisme dengan titik tumpu pengetahuan
berdasarkan rasio yang memang menempel secara alami, maka kita akan
menemukan perbedaan tajam dengan aliran yang satu ini, yaitu empirisme. Aliran
ini menegaskan bahwa pengetahuan manusia berdasarkan pengalaman. Atau
meminjam kata-kata John Locke, salah satu dedengkotnya “Manusia itu ibarat
tabula rasa yang nantinya akan diwarnai oleh keadaan eksternalnya…”

Ajaran-ajaran pokok empirisme yaitu :

1. Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang


dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
2. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan
akal atau rasio.
3. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
4. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau disimpulkan secara tidak
langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran defisional logika
dan matematika)
5. Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang
realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca
indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan yang
diperoleh dari pengalaman.
6. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.10

Manfaat Filsafat Dalam Ilmu Pendidikan


9
Zainul 2015, Filsafat David Hume,
https://zainul2015.wordpress.com/2015/09/28/filsafat-david-hume/ (diakses pada 28
September 2015)

10
Afid Burhsnuddin, PENERAPAN ALIRAN EMPIRISME DALAM PENDIDIKAN,Prngantar
Pendidikan,07 (Nov.),2013
1. Menjadi salah satu landasan dalam perkembangan ilmu pendidikan

Pendidikan itu sendiri tidak lain adalah ilmu yang dapat berkembang
dari waktu ke waktu. Dengan filosofi ilmu dan pendidikan dapat membantu
setiap peneliti yang ikut serta dalam penelitian dan menjadi salah satu
pemerhati di bidang pendidikan untuk lebih mengembangkan ilmu
pendidikan yang ada. Mulai dari pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana
menjadi landasan utama filsafat.

Hal ini dapat membantu para peneliti dan juga mereka yang terlibat dalam
dunia pendidikan mampu mengembangkan dan menyempurnakan ilmu
pendidikan yang sudah ada

2.Menjadi landasan dari kebijakan mengenai program pendidikan

Sesuatu yang diwajibkan dan juga merupakan hak warga Negara


pastinya harus diatur dalam sebuah undang-undang atau aturan tertentu.
Peraturan mengenai pendidikan ini dibuat dengan menggunakan prinsip
filsafat pendidikan.

Dengan menggunakan prinsip filsafat, yaitu mengetahui :

1. Apa yang harus dilakukan untuk memajukan pendidikan

2. Mengapa pendidikan itu perlu

3. Bagaimana melaksanakan pendidikan

4. Maka dengan demikian dapat dibuat suatu peraturan atau undang-


undang yang melandasi bidang pendidikan sehingga pendidikan
dapat berjalan dengan baik tanpa adanya kebingungan bagi para
pendidik maupun yang terdidik.11

3.Menjadi landasan untuk berkarya dan juga mengabdi di bidang


pendidikan

11
Dr. Muhammad Kristiawan M.Pd. Konsep Filsafat Pendidikan, English
Development,University of Bengkulu, September 2020
Pertanyaan filosofis mengenai pendidikan, seperti mengapa
pendidikan itu penting dapat memberikan jawaban kepada mereka yang
ingin mengabdi menjadi tenaga pendidik. Dengan adanya filsafat
pendidikan, maka tujuan pengabdian dari setiap insan pendidik akan
menjadi jelas, dan hal ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh pemahaman dan
juga pengimplementasian mengenai filsafat pendidikan.

4. Memberikan pemahaman menyeluruh mengani dunia pendidikan

Meskipun sudah sangat sering mempelajari tentang pendidikan,


namun mungkin masih banyak beberapa orang yang belum memiliki
pemahaman seutuhnya mengenai arti dan juga manfaat dari pendidikan.
Dengan manfaat filsafat pendidikan, maka pemahaman dan arti keseluruhan
mengai apa itu pendidikan akan menjadi lebih jelas dan membuat siapapun
akan menjadi lebih paham mengenai dunia pendidikan.

5. Menciptakan generasi pendidik dan tenaga pengajar yang


berkualitas

Sekali lagi, pemahaman yang diperoleh para pendidik mengenai


pendidikan akan membuat kualitas dari para pendidik tersebut menjadi lebih
baik lagi. Jadi, secara harafiah, apabila ingin meningkatkan kualitas
pendidikan dan juga kualitas dari tenaga pendidik, maka setiap pendidik
haruslah memahamai dan juga mempelajari mengenai filsafat pendidikan,
agar dapat menjadi tenaga pendidik yang lebih baik lagi, sekaligus mampu
untuk memajukan dan juga mengembangkan pendidikan di Indonesia secara
khususnya.

6. Meningkatkan kualitas pendidikan

Manfaat penting lainnya dari filsafat pendidikan adalah dapat


meningkatkan kualitas dari pendidikan. Hal ini tentu saja sejalan dengan
manfaat lainnya dari filsafat pendidikan, yaitu dapat emeningkatkan
pemahamn dan juga kualitas dari para tenaga pendidik. Tentu saja hal ini
dapat berpengaruh langsung kepada kualitas pendidikan Indonesia.12

12
Dr. Muhammad Kristiawan M.Pd. Konsep Filsafat Pendidikan, English
Development,University of Bengkulu, September 2020
2.4. Keunggulan dan Kelemahan Filsafat dalam Aliran Empirisme

A. Keunggulan

Empirisme berpendirian bahwa pengetahuan dapat di peroleh


melalui indera. Indera memperoleh kesan-kesan dari alam nyata. Untuk
kemudian kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia sehingga
menjadi pengalaman. Pengetahuan yang berupa pengalaman terdiri dari
penyusunan dan pengaturan kesan-kesan yang bermacam- macam.

▪ Pengalaman indra merupakan sumber yang benar

▪ Mengedepankan fakta-fakta di lapangan

B. Kelemahan

kekurangan empirisme menurut positivisme bahwa empirisme belum


terukur. Empirisme hanya sampai pada konsep-konsep umum, seperti
kelereng ini kecil, bulan lebih besar, bumi lebih besar lagi, matahari sangat
besar, demikianlah seterusnya.Konsep ini belum operasional, karena belum
terukur.Jadi, masih perlu alat-alat lain seperti paham positivisme. Paham
positivisme mengajarkan bahwa kebenaran itu ialah yang logis, ada bukti
empirisnya, dan terukur.”Terukur” inilah yang menjadi sumbangan penting
positivisme. Positivisme akan mengatakan bahwa air kopi ini panasnya 80
derajat celcius, air mendidih ini 100 derajat celcius, ini panjangnya satu
meter, dan lainnya.

Kelemahan aliran ini cukup banyak, diantaranya yang pertama ialah


indera terbatas. Benda yang jauh kelihatan kecil. Apakah benda itu kecil?
Tidak. Ketebatasan kemampuan indera ini melaporkan bahwa tidak
sebagaimana adanya; dari sini akan membentuk pengetahuan yang salah.
Kemudian yang kedua ialah indera menipu. Pada orang sakit malaria, gula
rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini juga akan menimbulkan
pengetahuan yang empiris. Yang ketiga ialah objek yang menipu, contohnya
ilusi. Kelemahan yang keempat ialah berasal dari indera atau objek
sekaligus. Yang mana mata (indera penglihatan) tidak dapat melihat
keseluruhan seekor kerbau tersebut, dan seekor kerbau tersebut juga tidak
dapat memperlihatkan seluruh anggota badannya. Andaikan saja ketika kita
melihatnya dari depan, kita hanya dapat melihat kepalanya saja yang mana
kita tidak akan melihat ekornya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa aliran ini
lemah karena keterbatasan indera atau objek tersebut. Maka dari itu aliran
empirisme sangatlah bertentangan dengan aliran rasionalisme.

▪ Indrawi yang terbatas

▪ Indrawi yang menipu

▪ Objek yang menipu

▪ Indra dan objek tergabung sekaligus 13

2.5. Implementasi di masa kini / di Indonesia


A. Penerapan Filsafat Empirisme di Indonesia / dalam dunia Pendidikan

Sebagai contoh saya mengambil ketika seorang guru ingin


mengajarkan kebiasaan yang baik yaitu mencuci tangan memakai sabun
sebelum makan, sebagai bentuk perilaku hidup bersih dan sehat. Maka
disini guru harus memberikan contoh dan melibatkan siswa dalam
pembelajaran mengenai kesehatan tubuh. Perkenalkan kepada siswa apa
yang disebut sebagai kuman yang menempel pada tangan. Selain itu
kenalkan pada siswa manfaat sabun dan bagaimana cara mencuci tangan
yang benar. Jadikan kebiasaan mencuci tangan pakai sabun sebagai rutinitas
harian yang memberikan pengalaman menyenangkan.

Belajar haruslah dilakukan sendiri oleh siswa, belajar adalah


mengalami dan tidak bisa di wakilkan kepada orang lain. (Edgar Dale,
2004) dalam penggolongan pengalaman belajar menyatakan bahwa belajar
yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung. Dalam
belajar melalui pengalaman langsung siswa tidak hanya mengamati, tetapi ia

13
Abd. Gafur, Filsafat Ilmu, (Malang: Kantor Jaminan Mutu (KJM) UIN Malang: 2007),
59
harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan dan bertanggung
jawab terhadap hasilnya.

dari sini dapat dilihat implementasi/penerapan filsafat empirisme


dalam dunia pendidikan. Ketika guru itu mengajarakan sesuatu kepada
siswa, lalu siswa tersebut melakukannya dan tidak hanya mendengarkan dan
memperhatikan saja. Disini nanti dapat dilihat bahwa siswa nantinya
memperoleh sebuah pengetahuan melalui pengalaman-pengalaman mereka
sendiri.14

B. Konsep Manajemen Pendidikan Islam dan Karakteristiknya

Kata manajemen berasal dari bahasa Inggris dari kata kerja “to
manage” yang sinonimnya antara lain; “to hand’ berarti mengurus, “to
control” berarti memeriksa, “to guide” berarti memimpin. Dalam kamus
istilah populer, kata manajemen mempunyai arti pengelolaan usaha,
kepengurusan, ketatalaksanaan, penggunaan sumber daya secara efektif
untuk mencapai sasaran yang di inginkan direksi.
Menurut Abduh, tujuan pendidikan dalam Alquran adalah membina
manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan
fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya guna membangun dunia
ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh Allah. Keberhasilan
pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan tujuan tergantung
pada proses manajerial yang terdapat di dalamnya.
Manajemen sebagai suatu disiplin ilmu pertama kali diperkenalkan
oleh Frederick W. Taylor dengan bukunya The Principle of Scientific
Management (1914) dan Henry Fayol dalam General dan Industral
Management (1945). Namun jauh sebelumnya keduanya, ajaran-ajaran
Alquran dan Hadits telah lebih dulu menjelaskan pokok-pokok dan prinsip-
prinsip manajemen yang jika diperbandingkan dengan teori-teori

14
Feby Alifia Rachmawati,Filsafat, Penerapan Pemikiran Filsafat Empirisme dalam Dunia
Pendidikan.https://www.kompasiana.com/febyalifiarchmwti/61b978e43991aa4ff0750312
/penerapan-pemikiran-filsafat-empirisme-dalam-dunia-pendidikan?
page=2&page_images=1 diakses pada 18 Desember 2021
manajemen para ahli masa kini tidaklah kurang bobotnya, karena ajaran itu
juga merupakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar manajemen sekalipun
dengan istilah lain.

Pada saat ini manajemen sudah banyak dikenal di kalangan


masyarakat secara luas. Setiap organisasi baik yang mencari keuntungan
maupun lembaga sosial hampir semuanya menyadari pentingnya
manajemen.Istilah manajemen berasal dan bahasa Inggris “management”,
dipandang dari segi anti kata manajemen berarti pengelolaan. 15 Istilah
manajemen telah diartikan oleh berbagai pihak dengan perspektif yang
berbeda, misalnya pengelolaan, pembinaan, pengurusan, ketatalaksanaan,
kepemimpinan, pemimpin, ketatapengurusan, administrasi dan
sebagainya.16 Istilah manajemen juga mengacu kepada proses pelaksanaan
aktivitas yang diselenggarakan secara efisien dengan dan melalui
pendayaagunaan orang lain.17 Selanjutnya dalam konteks ini manajemen
juga memiliki makna dalam beberapa pandangan dan sudut pandang.
Beberapa pendapat mengenai pengertian dari manajemen
pendidikan, diantaranya: manajemen pendidikan adalah aktivitas
memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam usaha untuk
mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya. Definis
lain menyebutkan, manajemen pendidikan adalah suatu kegiatan atau
rangkaian kegiatan yang berupa proses pengelolaan usaha kerjasama
sekelompok manusia yang tergabung dalam organisasi pendidikan, untuk
mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya, agar efektif
dan efisien.18

15
Mujamil Qomar et, al, Meniti Jalan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), hlm. 23.
16
Imron Fauzi, Manajemen Pendidikan Ala Rasulullah (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm. 35.
17
Marno & Triyo Supriyatno, Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam

(Bandung: PT Refika Aditama, 2008), hlm. 1.


18
Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam: Konsep, Strategi, dan Aplikasi
(Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 13.
Dalam dimensi pendidikan Islam, manajemen telah menjadi sebuah
istilah yang tidak dapat dihindari demi tercapainya suatu tujuan. Untuk
mencapai tujuannya, pendidikan Islam harus memiliki manajemen yang
baik dan terarah. Adapun pengertian dari manajemen pendidikan Islam
adalah suatu proses penataan atau pengelolaan lembaga pendidikan Islam
yang melibatkan sumber daya manusia Muslim dan non-Muslim dalam
menggerakkannya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam secara efektif
dan efisien. Selanjutnya sebagai mana dalam pandangan Mujamil Qomar
dalam Imron Fauzi mengatakan bahwa manajemen pendidikan Islam
adalah suatu proses pengelolaan lembaga pendidikan Islam secara Islami
dengan cara menyiasati sumber-sumber belajar dan hal-hal lain yang
terkait untuk mencapai tujuan pendidikan Islam secara efektif dan efisien.
Bila kita perhatikan dari kedua pengertian manajemen di atas maka
dapatlah disimpulkan bahwa manajemen merupkan sebuah
proses pemanfaatan semua sumber daya melalui bantuan
orang lain dan bekerjasama dengannya, agar tujuan bersama bisa
dicapai secara efektif, efesien, dan produktip. Sedangkan Pendidikan
Islam merupakan proses transinternalisasi nilai-nilai Islam kepada peserta
didik sebagai bekal untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan di
dunia dan di akhirat. Dengan demikian maka yang disebut dengan
manajemen pendidikan Islam sebagaimana dinyatakan Ramayulis
adalah proses pemanfaatan semua sumber daya yang dimiliki (ummat
Islam, lembaga pendidikan atau lainnya) baik perangkat keras
maupun lunak. Pemanfaatan tersebut dilakukan melalui kerjasama
dengan orang lain secara efektif, efisien, dan produktif untuk mencapai
kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat.19

Di samping itu juga manajemen pendidikan Islam tidak hanya


berbicara masalah konteks melakukan kontrol dan mengatur segala tata
kelola dalam sebuah lembaga atau sekolah. Lebih jauh manajemen
pendidikan Islam memiliki karakteristik yang membuatnya berbeda dengan

19
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), hlm. 260.
manajemen pendidikan secara umum.

Manajemen pendidikan Islam merupakan manajemen pendidikan


yang berlabel Islam. Sudah barang tentu mempunyai karakteristik
tersendiri. Karakteristik itu tidak lepas yang bersifat Islami. Menurut
Mujamil Qomar, istilah Islam itu dapat dimaknai sebagai Islam wahyu atau
Islam budaya. Islam wahyu meliputi Al Qur'an dan hadist-hadist nabi
maupun hadist qudsi. Sementara itu, Islam budaya meliputi ungkapan
sahabat, pemahaman ulama, pemahaman cendekiawan muslim dan budaya
umat Islam. Oleh sebab itu manajemen pendidikan Islam melibatkan
wahyu dan budaya kaum muslimin ditambah dengan kaidah-kaidah
manajemen pndidikan secara umum. Hal-hal yang selalu dipertimbangkan
sebagai bahan acuan adalah sebagai berikut:
(1). Teks-teks wahyu baik A1quran maupun hadis yang terkait
dengan manajemen pendidikan Islam. Ibnu Majah menyatakan, Al-
Abbas bin Walid al Dimsyqiy telah menyampaikan riwayat kepada
kami, Wahb bin Sa'id bin Athiyah Al Salamiy telah menympaikan
riwayat kepada kami, Abd. Al Rahman bin Zaid bin Aslam telah
menyampaikan (riwayat) kepada kami (riwayat ini) dan ayahya dari
Abudllah bin Umar yang berkata, Rasulullah bersabda : Berikanlah
gaji atau upah pegawai sebelum kering keringatnya.” (2).
Perkataan-perkataan para sahabat nabi maupun ulama dan
cendekiawan muslim yang terkait dengan manajemen
pendidikan.Contohnya perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib
“Kebenaran yang tidak terorganisir dapat dikalahkan oleh kebatilan
yang terorganisasi.” (3). Realitas perkembangan lembaga
pendidikan Islam. (4). Kutlur komunitas (pimpinan dan pegawal)
lembaga pendidikan Islam. (5). Ketentuan kaidah-kaidah
manajemen pendidikan.

Bahan acuan di atas merupakan refleksi ciri khas bangunan


manajemen pendidikan Islam kecuali yang ketentuan kaidah-kaidah
manajemen pendidikan (nomor 5) merupakan tambahan yang bersifat
umum. Pengambilan itu tentunya setelah diseleksi berdasarkan nilai-nilai
Islam dalam realitas yang dihadapi lembaga pendidikan Islam. Teks wahyu
sebagai sandaran teologis; perkataan-perkataan para sahabat nabi, lama
dan cendekiawan muslim sebagai sandaran rasional; realitas
perkembangan Lembaga Pendidikan Islam serta kultur komunitas (pimpinan
dan pegawai) lembaga pendidikan Islam sebagai sandaran empiris;
sedangkan ketentuan kaidah-kaidah manajemen pendidikan Islam sebagai
sandaran teoritis. Jadi, bangunan manajemen pendidikan Islam ini
diletakkan di atas empat sandaran yaitu sandaran teologis, rasional; empiris
dan teoritis.

Dan berbagai sandaran yang bersifat ilahi, rasio dan ilmiah akan
menimbulkan keyakinan yang berdasar pada kebenaran ketuhan, berdasar
akal fikiran, berdasar data yang akurat yang dipraktekkan berkali-kali
dalam pengelolaan pendidikan. Dapat dipahami bahwa manajemen
pendidikan Islam yang karakteristik Islami akan lebih unggul dibanding
dengan manajemen pendidikan yang bersifat umum, baik secara personal
maupun lembaga. Satu lagi yang perlu kita cermati apakah kelebihan
manajemen pendidikan Islam yang unggul secara teori sudah diwujudkan
unggul secara riil dalam dunia atau lembaga pendidikan di negeri ini?

Menurut Mujamil Qomar, perwujudan secara riil


manajemen pendidikan Islam masih kalah dengan non
muslim hal ini ditunjukkan oleh hal-hal di bawah ini.

1. Islam masih terbiasa dengan tradisi dakwah, ukan akademik.

2. Dalam hal pendanaan Islam masih jauh dari kebutuhan.

3. Kepedulian masyarakat terhadap Pendidikan Islam masih


kurang, masyarakat Islam jika mempunyai anak pandai di
sekolahkan pada sekolah negeri.
4. Profesionalisme masyarakat muslim masih apa adanya.20

C. Penerapan Manajemen Pendidikan Islam di Pesantren

20
Taliziduku Ndzaha, Manajemen Perguruan Tinggi (Jakarta: Bina Aksara,
1988), hlm. 112.
Pendidikan sebagai sebuah sistem terdiri dari berbagai kompenen
yang antara satu dan yang lainnya saling berkaitan. Dalam Standar
Nasional Pendidikan sebagaimana digunakan sebagai acuan oleh BAN-PT,
kompenen pendidikan terdiri dari visi, misi, tujuan, kurikulum, proses
belajar mengajar, pendidik, peserta didik, manajemen pengelolaan, sarana
prasarana, pembiayaan, sistem komunikasi, lingkungan dan evaluasi
pendidikan. Dalam berbagai kompenen pendidikan tersebut telah terjadi
paradigma baru sebagai akibat dari pengembangan era globalisasi,
reformasi, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ideologi
sebuah bangsa dan perkembangan politik.

Membentuk masyarakat yang baru yaitu masyarakat madani


Indonesia tentunya memerlukan berbagai paradigma baru, karena
paradigma lama tidak memadai lagi. Paradigma tersebut harus mengarah
kepada lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu dan demokratis. Oleh
karena itu, penyelenggaraan pendidikan yang sentalistik baik didalam
manajemen maupun didalam penyusunan kurikulum harus diubah dan
disesuaikan dengan tuntutan pendidikan yang demokratis. Paradigma
pendidikan baru bukanlah mematikan ke-Bhinnekaan malahan
mengembangkan kebhinnekaan menuju kepada terciptanya suatu
masyarakat Indonesia yang bersatu diatas kekayaan Kebhinnekaan
masyarakat dan bangsa Indonesia. Paradigma baru pendidikan nasional
haruslah dituangkan dan dijabarkan di dalam berbagai program
pengembangan pendidikan nasional secara bertahap dan berkelanjutan.
Persoalan dasar dan tujuan pendidikan merupakan masalah yang
sangat fundamental dalam pelaksanaan pendidikan karena dasar
pendidikan itu akan menentukan corak dan isi pendidikan. Tujuan
pendidikan itu akan menentukan kearah mana anak didik akan dibawa.
Dengan demikian maka dibutuhkan satu bentuk manajemen pendidikan
yang mampu menjewab tantangan di era modern seperti sekarang ini.
Maka untuk itu dalam hal ini maka manajemen Islamlah yang dapat
memberikan jalan keluar yang lebih manusiawi
Melihat perkembangan tersebut, para pakar manajemen mencoba
menggali dan mencari referensi-referensi konsep dan ide manajemen
berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sumber-sumber Islam.
Menurut Ketua Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia, K.H Ali Yafie,
dalam Islam manajemen dipandang sebagai perwujudan amal sholeh yang
harus bertitik tolak dari niat baik. Niat baik tersebut akan memunculkan
motivasi aktivitas untuk mencapai hasil yang bagus demi kesejahteraan
bersama.

Ada empat landasan untuk mengembangkan manajemen menurut


pandangan Islam, yaitu: kebenaran, kejujuran, keterbukaan, dan keahlian.
Seorang manajer harus memiliki empat sifat utama itu agar manajemen
yang dijalankannya mendapatkan hasil yang maksimal. Yang paling
penting dalam manajemen berdasarkan pandangan Islam adalah harus ada
jiwa kepemimpinan. Kepemimpinan menurut Islam merupakan faktor
utama dalam konsep manajemen.
Manajemen menurut pandangan Islam merupakan manajemen yang
adil. Batasan adil adalah pimpinan tidak “menganiaya” bawahan dan
bawahan tidak merugikan pimpinan maupun perusahaan lembaga
pendidikan atau institusi lain yang ditempati. Bentuk penganiayaan yang
dimaksudkan adalah mengurangi atau tidak memberikan hak bawahan dan
memaksa bawahan untuk bekerja melebihi ketentuan. Seyogyanya
kesepakatan kerja dibuat untuk kepentingan bersama antara pimpinan dan
bawahan. Jika seorang manajer mengharuskan bawahannya bekerja
melampaui waktu kerja yang ditentukan, maka sebenarnya manajer itu
telah mendzalimi bawahannya. Dan ini sangat bertentangan dengan ajaran
agama Islam. Sedangkan dalam konteks pendidikan Islam manajemen
memberikan sebuah pandangan yang sangat komprehensip di era
globalisasi.
Untuk menghasilkan para lulusan yang berdaya saing tinggi
(qualified) dalam pendidikan Islam perlu didukung dengan pola
manajemen yang baik. Manajemen dalam pendidikan Islam perlu
menunjukkan performa sehingga pendidikan Islam tidak dipandang
sebelah mata oleh kebanyakan masyarakat. Dukungan manajemen ini juga
harus didukung dengan sumber daya manusia yang terlibat dalam
manajemen pendidikan Islam. Manajemen pendidikan Islam itu
mempunyai pengertian suatu proses pengelolaan lembaga pendidikan
Islam secara Islami dengan cara menyiasati sumber-sumber belajar dan
hal-hal lain yang terkait untuk mencapai tujuan pendidikan Islam secara
efektif dan efisien.

Berkenaan dengan hal tersebut, manajemen pendidikan Islam yang


dilaksanakan dalam setiap satuan pendidikan Islam, baik formal maupun
nonformal, harus mempunyai visi dalam mewujudkan tujuan pendidikan
Islam. Eksistensi lembaga pendidikan Islam dalam system Pendidikan
Nasional merupakan salah satu peluang bagi pendidikan Islam untuk dapat
melebarkan sayapnya dalam mewujudkan visi besar pendidikan Islam.
Untuk itu lembaga-lembaga pendidikan Islam harus didukung dengan
manajemen pendidikan Islam yang baik. Tujuan pendidikan Islam tidak
terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan
pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat
mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat.21
Tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin
dicapai melalui pendidikan Islam. Sifatnya lebih praxis, sehingga konsep
pendidikan Islam jadinya tidak sekedar idealisasi ajaran-ajaran Islam
dalam bidang pendidikan. Dengan kerangka tujuan ini dirumuskan
harapan-harapan yang ingin dicapai di dalam tahap-tahap tertentu proses
pendidikan, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang telah dicapai.
Menurut Junaidi, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya
manusia sebagai hamba Allah.22 Pendidikan Islam haruslah menjadikan
seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud
menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah. Islam menghendaki
agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya
sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu
21
Adi Sasono, Solusi Islam Atas Problematika Umat: Ekonomi, Pendidikan, dan Dakwah
(Jakarta: Gema Insani, 1988), hlm. 129.
22
Mahfudz Junaidi, Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam (Depok: Kencana,
2017), hlm. 111.
menurut Allah ialah beribadah kepada Allah.
Sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan
shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji,
serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup
semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan)
kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk
mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.
Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta
segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan,
pemikiran yang disangkutkan dengan Allah

Menurut Imam Ghozali, tujuan pendidikan Islam adalah: (1)


kesempurnaan manusia yang berujung taqarrub (mendekatkan diri) kepada
Allah; dan (2) kesempurnaan manusia yang berujung kepada kebahagiaan
dunia dan kesentosaan akhirat.23 Sedangkan al-Abrasyi, merinci tujuan
akhir pendidikan islam menjadi: (1) Pembinaan akhlak. (2) menyiapkan
anak didik untuk hidup di dunia dan akhirat. (3) Penguasaan ilmu. (4)
Keterampilan bekerja dalam masyrakat., Maka dapat dipahami lebih jauh
dengan pemaparan tujuan pendidikan islam dapat disimpulkan bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan manusia selaras dengan tujuan
utama manusia menurut islam, yakni menjadi hamba Allah Allah yang
kaffah yang dapat menyeimbangi kehidupan ukhrowi dan kehidupan
duniawi. Dalam bahasa keseharian kita lebih dikenal dengan istilah selamat
dunia akhirat.
Dalam situasi yang demikian itu, pendidikan Islam harus
memainkan peran dan fungsi kultural, yaitu suatu upaya melestarikan,
mengembangkan, dan mewariskan cita-cita masyarakat yang didukungnya.
Dalam fungsi ideal ini pula sebuah lembaga pendidikan Islam juga
bertugas untuk mengontrol dan mengarahkan perkembangan masyarakat.
Sehingga orientasi pendidikan Islam yang seringkali masih kepada
kehidupan ukhrawi, mestinya dirubah menjadi duniawi-ukhrawi secara

23
Muhammad Nafi, Pendidik dalam Konsepsi Imam Al-Ghazali (Yogyakarta: Depublis
Publisher, 2017), hlm. 68.
bersamaan. Orientasi ini menghendaki suatu rumusan tujuan pendidikan
yang jelas karena itu program pembelajarannya harus diproyeksikan ke
masa depan dari pada masa kini atau masa lampau. Meskipun masa lampau
dan kini tetap dijadikan khasanah kekayaan empiris yang amat berharga
bagi batu loncatan ke masa depan. Untuk menjawab tantangan era
globalisasi tersebut, pendidikan Islam perlu melakukan perubahan-
perubahan yang signifikan terutama berkaitan dengan Visi dan
Orientasinya serta dituntut untuk menerapkan pendekatan dan orientasi
baru yang relevan dengan tuntutan zaman.

Artinya, manajemen pendidikan Islam di era globalisasi seperti


sekarang ini, harus tetap mampu menuntun manusia untuk tetap menjadi
manusia yang memiliki nilai-nilai kemanusian yang tinggi yang sejalan
dengan ajaran yang terdapat di dalam Alquran dan hadis nabi Muhammad.
Sehingga pendidikan dalam era globalisasi seperti ini nilai pendidikan
tidak akan pernah kehilangan arah dan tujuannya, hal ini dapat dilakukan
manakala manajemen pendidikan Islam benar-benar dapat diterapkan
dengan baik dan sesuai dengan hukum dan ketentuan agama Islam.24

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa aliran filsafat ini berhubungan


dengan ilmu pengetahuan. Terutama aliran empirisme, Aliran empirisme
memandang bahwa pengetahuan ini bukanlah ada pada kita, akan tetapi ada
diluar pada diri kita.

24
Moh Roqib, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: LKis, 2009), hlm. 56.
Dalam paham empirisme, pengalaman sebagai sumber utama
pengetahuan, baik pengalaman lahiriyah yang menyangkut dunia maupun
pengalaman batiniyah yang menyangkut pribadi manusia. Pengalaman yang
dimaksud adalah pengalaman atauempiri melalui alat indera. Paham
empirisme ini dipertentangkan dengan paham rasionalisme yang
mengatakan akal (rasio) sebagai sumber pengetahuan.

Penerapan manajemen dalam pengelolaan pendidikan di Pesantren,


madrasah, universitas harus didukung sumber daya personil dan sumber
daya lain yang dimanfaatkan untuk mewujudkan kinerja organisasi
pendidikan yang tinggi dalam rangka mencapai mutu lulusan yang handal,
menggerakkan personil ini ada unsur pemberian motivasi, mengarahkan
dan memimpin agar mereka bekerja sama dengan baik dan harmonis. Itu
semua harus dilakukan dalam rangka menjawab tantangan zaman seperti
sekarang ini. Manajeman pendidikan Islam tidak akan kehilangan
fungsinya dalam memanusiakan manusia karena manajemen pendidikan
Islam adalah bagian terpenting dalam mengelola pendidikan dalam
memperkenalkan manusia pada nilai-nilai duniawi dan ukhrawi.
3.2. Saran

Menyadari peran penting pendidikan, maka langkah pertama yang


harus dilakukan adalah memahami terlebih dahulu filsafat dan hakikat
filsafat pendidikan. Pemahaman tersebut akan menyebabkan kita memahami
peran, kedudukkan nya,dan menilai pendidikan secara proporsional.
DAFTAR PUSTAKA

Syarofani, M. (2022), Impementasi Pemikiran Filsafat Empirisme dalam


Pendidikan Anak, diakses pada 4 Januari 2022, dari
https://www.kompasiana.com/muti63249/61d32e7116671714d0539
c42/implementasi-pemikiran-filsafat-empirisme-dalam-pendidikan-
anak?page=2&page_images=1

Gunarto, M. (2017), Filsafat Ilmu, Aliran Filsafat : EMPIRISME” Diakses


Pada 11 Maret 2022, Dari
https://mujigunarto.wordpress.com/2017/10/09/aliran-filsafat-
empirisme/(diakses pada 9 oktober 2017).

Maksum, M. (2012), Pengantar Filsafat; Dari Masa Klasik Hingga Post


modernisme. 133

Hadiwijono ,H. (2005) Sari Sejarah Filsafat Barat ,37

Hardiman, F. (2007), Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai


Nietzsche.75

Hadiwijono, H. (2005), Sari Sejarah Filsafat Barat 2, 36

Petrus L. S. Tjahjadi. (2004), Petualangan Intelektual, 236

Burhanuddin, A. (2013), Filsafat Ilmu, Pemikiran John Locke, Diakses Pada


2022, Dari
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/09/21/pemikiran-john-
locke/

Zainul, Z. (2015), Filsafat David Hume, Diakses Pada 2022, Dari


https://zainul2015.wordpress.com/2015/09/28/filsafat-david-hume/

Kristiawa, M. (2020) Konsep Filsafat Pendidikan, English


Development,University of Bengkulu, September 2020
Gafur, A. (2007), Filsafat Ilmu, (Malang: Kantor Jaminan Mutu (KJM) UIN
Malang:59

Qomar, M. (2003), Meniti Jalan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar)23.

Fauzi, I. (2012), Manajemen Pendidikan Ala Rasulullah (Jogjakarta: Ar-


Ruzz Media)35

Marno, Supriyatno, T, (2008), Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan


Islam

(Bandung: PT Refika Aditama)1

Sulistyorini, S. (2009), Manajemen Pendidikan Islam: Konsep, Strategi,


dan Aplikasi (Yogyakarta: Teras) 13

Ramayulis, R. (2008). lmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia,) 260


Ndzaha, T. (1988), Manajemen Perguruan Tinggi (Jakarta: Bina
Aksara)112
Sasono, A. (1988), Solusi Islam Atas Problematika Umat: Ekonomi,
Pendidikan, dan Dakwah (Jakarta: Gema Insani,)129

Junaidi, M. (2017), Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam (Depok:


Kencana)111

Nafi, N. (2017), Pendidik dalam Konsepsi Imam Al-Ghazali (Yogyakarta:


Depublis Publisher)68

Roqib, M. (2009), Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Lkis)56

Anda mungkin juga menyukai