Anda di halaman 1dari 4

Reaksi Buku “Menggeluti Misi Lintas Budaya”

Yosia D.G / 21.01.001

I. Ringkasan

Buku ini adalah untuk mengidentifikasi ketegangan budaya dan memberikan strategi

dalam pelayanan Injil kepada orang-orang dari budaya berbeda dengan menggunakan model

nilai-nilai dasar. Buku ini juga mengandalkan inkarnasi Yesus Kristus sebagai model

pelayanan lintas budaya. Para misionaris ditantang untuk menjadi lebih seperti orang-orang

yang ingin mereka evangelisasi.

Ada bagian yang lugas dan berbeda dari buku ini. Bab pertama mendefinisikan dan

menjelaskan Inkarnasi sebagai teladan Tuhan tentang bagaimana seharusnya pelayanan

dalam konteks lintas budaya. Dalam bab ini, pembaca diperkenalkan kepada Yesus Kristus

sebagai pribadi yang 200 persen. Lingenfelter menyimpulkan hal ini dengan mengatakan,

“Dia adalah 100 persen Tuhan dan 100 persen Yahudi – 200 persen manusia .”

Bab berikutnya mendefinisikan model nilai-nilai dasar dan mencakup kuesioner

evaluasi diri. Ini berisi dua belas elemen yang membentuk enam pasang sifat yang

bertentangan yaitu waktu (waktu dan kegiatan), pemikiran (Dikotomistik dan holistik),

penanganan krisis (orientasi krisis & orientasi nonkrisis), tujuan ( orientasi orang & orientasi

Tugas), harga diri (fokus status & fokus prestasi), kerentanan (penyembunyian kerentanan

& kesediaan Mengungkap Kerentanan).

Bab tiga sampai delapan mengeksplorasi secara mendalam ketegangan yang terkait

dengan enam pasang sifat yang kontras. Dalam bab-bab inilah penerapan model tersebut
didemonstrasikan. Bab terakhir diakhiri dengan desakan kepada para calon pendeta untuk

melakukan proses adaptasi ke dalam budaya apa pun yang mereka anggap menarik.

Lingenfelter mendorong para misionaris untuk menjadi 150 persen manusia. Lingenfelter

mencapai tujuan mengidentifikasi isu-isu yang terlibat dalam pelayanan lintas budaya.

II. Hal-Hal yang menarik dan tidak menarik

Salah satu keistimewaan buku ini adalah pembahasan yang fokus. Pembahasan yang

fokus tersebut akan membantu seseorang memahami motivasi yang mempengaruhi tindakan

seseorang. Buku ini membantu misionaris keluar dari budaya mereka sendiri untuk

menghubungkan orang-orang dengan Injil. Logika buku ini jelas. Pesan penulisnya adalah

para misionaris perlu memahami bahwa motivasi mereka dapat mengasingkan orang lain

yang memiliki motivasi berbeda.

Para misionaris yang mempelajari bahasa tersebut harus mengambil langkah

berikutnya dalam mempelajari kebudayaan. Lingenfelter menunjukkan bahwa Yesus

membungkus diri-Nya dalam budaya umat-Nya selama tiga puluh tahun. Logikanya juga

nyata. Buku ini menunjukkan bahwa tidak ada misionaris yang benar-benar terlibat dalam

budaya lain. Ini adalah cara kiasan untuk mengatakan bahwa para misionaris hanya dapat

mengadopsi sebagian budaya lain dan mencampurkannya dengan asal usul mereka.

Kekuatan lain dari buku ini adalah komitmen mutlaknya untuk memberikan

perspektif Alkitabiah. Tampaknya beberapa buku mengenai subjek ini hanya berfokus pada

aspek antropologis dari isu tersebut. Lingenfelter menyajikan preseden Alkitab yang akan

membuktikan poin-poin sentralnya. Tidak pernah terasa seperti dia mengirim pesan bukti

dalam konotasi negatif dari kata tersebut.


Dengan beberapa kekuatan di atas mengingatkan penulis akan pelayanan di bidang

anak-anak khususnya anak-anak Sekolah Minggu. Penulis belum memiliki pengalaman

untuk bermisi ke luar pulau namun penulis telah berpengalaman melayani anak-anak

Sekolah Minggu di berbagai kota dan desa. Walaupun dalam taraf kota dan desa, penulis

bersyukur dapat belajar observasi lapangan serta mengambil keputusan dengan cepat. Setiap

gereja maupun komunitas memiliki kondisi yang berbeda-beda sehingga perlu kejelian dan

improvisasi untuk menunjang tujuan dari setiap pelayanan.

Dalam buku ini dikatakan mengenai motivasi yang benar, perspektif Alkitabiah

diperlukan juga seseorang yang ingin bermisi lintas budaya. Hal ini penulis setujui karena

tanpa kedua hal ini, pelayanan hanya akan menjadi sebuah rutinitas belaka. Esensi

pelayanan tidak akan lagi berkobar di hati misionaris. Ia akan mengandalkan pengalaman

saja tanpa melibatkan Tuhan dalam menyentuh hati jiwa-jiwa yang terhilang. Dampak yang

dihasilkan pun belum tentu tepat sasaran sesuai visi misinya.

Namun ada bagian yang menurut penulis kurang dapat dipahami secara jelas. Hal

tersebut ada dalam statement “pribadi 150% ”. Menurut saya konsep “150% orang”

agaknya menjadi batasan. Penulis berpendapat bahwa tingkat adaptasi tiap pribadi berbeda-

beda sehingga tiap orang bisa saja kurang dari 50% atau bahkan lebih dari 50%

beradaptasinya. Perlu penjelasan yang lebih tepat agar bagian ini dapat diterapkan secara

natural tanpa dibebani sebuah angka.

III. Rekomendasi

Buku "Menggeluti Misi lintas Budaya" oleh Sherwood G. Lingenfelter dan Marvin

K. Mayers menyajikan sebuah model yang tampaknya mencakup unsur-unsur utama

perbedaan budaya. Model ini sangat bermanfaat bagi para misionaris yang berupaya
menyesuaikan diri dengan budaya yang mereka layani. Buku ini memberikan wawasan

yang berharga bagi misionaris yang melayani baik di luar negeri maupun dalam negeri.

Buku ini juga berguna bagi semua pendeta, tidak hanya bagi mereka yang melayani di

lingkungan misi internasional, tetapi juga yang melayani di gereja lokal. Setiap pendeta akan

menemukan penerapan praktis yang mudah dipahami dan diterapkan dalam buku ini.

Sherwood G. Lingenfelter dengan cermat menguraikan prinsip-prinsip yang dapat

membantu para pendeta dan misionaris memahami konteks budaya yang berbeda. Ini adalah

buku yang relevan dan praktis, membantu para pendeta di semua jenis gereja membawa

pesan Injil ke berbagai budaya yang ada di dunia, menjadikannya sumber penting dalam

pekerjaan pelayanan dan misi gereja. Bagi mahasiswa teologi, buku ini menyajikan sebuah

pandangan yang mendalam tentang tantangan dan kompleksitas yang terlibat dalam

pekerjaan misi lintas budaya. Ini bukan hanya buku teori melainkan juga memberikan

pandangan praktis tentang bagaimana misionaris dan pendeta dapat beradaptasi dengan

berbagai konteks budaya yang berbeda. Ini sangat relevan untuk studi teologi dan pelayanan

gereja mereka. Dalam studi mereka, mahasiswa teologi dapat menemukan bahwa buku ini

membantu mereka memahami pentingnya budaya dalam konteks misi dan bagaimana

mereka dapat mempersiapkan diri untuk pekerjaan pastoral dan misi di masa depan.

Sementara itu, masyarakat awam yang tertarik dalam misi gereja juga akan

menemukan buku ini bermanfaat. Buku ini memberikan pemahaman awal yang lebih baik

tentang tantangan dan prinsip-prinsip misi lintas budaya. Ini membantu masyarakat awam

untuk memahami pentingnya budaya dalam pekerjaan misi dan bagaimana mereka dapat

berperan dalam mendukung pekerjaan misi gereja mereka.

Anda mungkin juga menyukai