PARASITOLOGI
Dosen Pengampu :
Prayudhy Yushananta, SKM., MKM
KELOMPOK 4
Disusun Oleh :
1. Devina Oktrin Arbina Bangun (2213351007)
2. Enisa Rahma Wati (2213351009)
3. Intan Amanda Puspita Devi (2213351013)
4. Nisa Nurul Hasanah (2213351015)
5. Rensi Amelia (2213351016)
6. Risna Sari (2213351017)
7. Selvia Laras Safitri (2213351018)
8. Ayu Widia Lestari (2213351034)
9. Derry Widiyanto Pramono (2213351038)
i
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan pratikum ini disusun untuk memenuhi persyaratan Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah
Parasitologi pada jurusan Kesehatan Lingkungan Tanjung Karang Tahun 2022/2023.
Mengetahui :
i
LEMBAR PERSETUJUAN
Laporan Pratikum Parasitologi ditunjukan sebagai persyaratan mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS)
Program Studi D4 Sanitasi Politeknik Kesehatan Tanjung Karang Tahun Akademik 2022/2023.
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi rahmat serta
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan praktikum mata kuliah Parasitologi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah Parasitologi yang telah membimbing
kami dalam pemberian materi. Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan juga bagi
para pembacanya
Dalam penyusunan laporan praktikum ini kami menyadari masih terdapat kekurangan di dalamnya,
maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca untuk
kesempurnaan panduan praktikum ini.
KELOMPOK 4
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB V PEMERIKSAAN PADA KUTU MANUSIA, KUCING DAN BERAS
A. Tinjauan Pustaka ..............................................................................................................53
B. Alat Dan Bahan ................................................................................................................55
C. Prosedur Kerja...................................................................................................................57
D. Hasil Dan Pembahasan......................................................................................................57
E. Kesimpulan ......................................................................................................................58
F. Daftar Pustaka...................................................................................................................59
G. Lampiran...........................................................................................................................60
BAB VI PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN CACING PADA FESES BALITA
A. Tinjauan Pustaka ..............................................................................................................61
B. Alat Dan Bahan ................................................................................................................63
C. Prosedur Kerja...................................................................................................................65
D. Hasil Dan Pembahasan......................................................................................................65
E. Kesimpulan ...................................................................................................................... 66
F. Daftar Pustaka...................................................................................................................67
G. Lampiran...........................................................................................................................68
v
PRAKTIKUM I
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Cacing
a) Pengertian Cacing
Cacing adalah organisme multiseluler yang tidak memiliki tulang belakang dan biasanya
hidup di lingkungan tanah, air atau organisme lain sebagai parasit. Cacing memiliki tubuh
yang panjang dan silindris, dan dapat berkembang biak secara seksual maupun aseksual.
Beberapa jenis cacing dapat membawa manfaat bagi manusia, seperti cacing tanah yang
dapat membantu meningkatkan kesuburan tanah, sementara jenis cacing parasit dapat
menyebabkan berbagai penyakit pada manusia dan hewan, seperti cacing tambang, cacing
kremi, dan cacing pita.
b) Jenis-Jenis Cacing
1. Taenia Saginata
Taenia saginata merupakan parasit yang termasuk dalam kelas cestoda yang hidup
dalam usus manusia dan dapat menye babkan penyakit Taeniasis saginata. Cacing ini
disebut juga dengan Taeniarhynchus saginata dan cacing pita sapi. Hospes definitif
dari parasit ini adalah Daphnia manusia sedangkan hospes intermediernya adalah sapi.
Taenia Saginata memiliki skoleks berupa kepala kecil yang berukuran berkisar 1-2
mm, berbentuk seperti mangkuk, dan memiliki 4 batil pisah.
2. Ancylostonum Duodenale
Berbentuk oval, tubuh tipis dan transparan, ujung posterior runcing, memiliki dua
pasang gigi besar.
3. Euritrema
Memiliki 4 alat penghisap, cacing pita ini memiliki scolek dengan lebar 360-800
micron.
1
4. Daphnia
Berbentuk pipih bilateral dan lonjong, di tutupi cangkang kaki kutikula, di kepala
terdapat sepasang appendik dan antenna.
c) Morfologi
A. Taenia Saginata Skoleks pada Taenia saginata berukuran 1,5-2 milimeter dan memiliki
4 batil isap yang menyerupai mangkuk berdiameter kurang lebih 0,7-0,8 milimeter,
skoleks tidak memiliki rostelum ataupun kait. Cacing dewasa memiliki panjang badan
kurang lebih 6 meter dan akan tetapi pada keadaan yang sangat baik cacing dewasa ini
dapat berkembang mencapai 25 meter bahkan lebih.
B. Ancylostonum Duodenale Cacing dewasa hidup di rongga usus halus manusia, dengan
mulut yang melekat pada mukosa dinding usus. Ancylostoma duodenale ukurannya
lebih besar dari Necator americanus. Yang betina ukurannya 10-13 mm x 0,6 mm,
sedangkan jantan berukuran 8-11 x 0,5 mm, bentuknya menyerupai huruf C. Cacing
ini memilki mulut terbuka. Rongga mulut Ancylostoma duodenale mempunyai dua
pasang gigi. Alat kelamin jantan adalah tunggal yang disebut bursa copalatrix.
C. Euritrema
Kepala (Scolex) Kepala pada cacing Trematoda biasanya dilengkapi dengan
beberapa struktur seperti cincin perekat atau sucker untuk menempel pada
inangnya. Beberapa jenis cacing Trematoda juga memiliki ciri khas seperti
pedipalpus dan kait di kepala mereka.
Leher (Neck) Leher pada cacing Trematoda merupakan bagian yang
menghubungkan kepala dengan tubuh. Pada beberapa spesies, leher juga dapat
berfungsi sebagai alat penetrasi pada inangnya.
Tubuh (Body) Tubuh cacing Trematoda biasanya pipih dan dilengkapi dengan
organ-organ seperti saluran pencernaan, sistem saraf, dan sistem reproduksi. Bagian
tubuh yang paling mencolok pada cacing Trematoda adalah ventral sucker, yang
terletak di bawah tubuh dan berfungsi untuk menempel pada inangnya.
D. Daphnia
Bentuk tubuh: Tubuh Daphnia memiliki bentuk yang unik dan khas, dengan
panjang sekitar 0,2-5 mm tergantung pada spesiesnya. Tubuhnya dapat dibagi
menjadi tiga bagian yaitu kepala, dada, dan ekor. Kepala Daphnia dilengkapi
2
dengan sepasang antena, serta beberapa kaki renang untuk memudahkan
pergerakan.
Kepala: Kepala Daphnia memiliki bentuk seperti topi dan dilengkapi dengan
sepasang antena yang panjangnya hampir sama dengan panjang tubuhnya. Antena
tersebut berguna untuk mendeteksi sinyal kimia dan mekanik yang ada di
sekitarnya.
Mata: Daphnia memiliki sepasang mata majemuk yang terletak di sisi kepala. Mata
ini memungkinkan Daphnia untuk melihat objek yang ada di sekitarnya.
Dada: Bagian dada Daphnia terdiri dari beberapa segmen yang mengandung otot-
otot yang berguna untuk menggerakkan kaki renangnya. Dada Daphnia juga
dilengkapi dengan sebuah kelelawar air (carapace) yang melindungi tubuhnya.
Ekor: Ekor Daphnia berguna untuk menggerakkan tubuhnya dan membantu dalam
pergerakan. Ekor Daphnia biasanya terdiri dari sepasang penopang yang disebut
spines.
Reproduksi: Daphnia merupakan organisme hermafrodit, sehingga dapat
menghasilkan telur dan sperma. Daphnia betina memiliki kantung reproduksi yang
terletak di bawah dada.
Dalam penyajian preparat parasitologi didasarkan atas sampel yang digunakan dalam
pembuatan preparat :
Preparat cacing, preparat yang sampelnya berupa telur cacing maupun cacing
dewasa yang didapat lewat muntahan dan feses.
Preparat protozoa, preparat yang menggunakan sampel berupa protozoa
yangditemukan dalam feses.
Preparat entomologi, preparat yang menggunakan sampel berupa tungau,
caplak,kutu, insektisida
Preparat tropozoit, preparat yang menggunakan sampel darah yang dibuat apusan
(darah tebal maupun darah tipis) untuk menemukan tropozoit, skizon
dangametosit pada penyakit malaria (Is. Suhairiah Ismid, 2000).
2. Protozoa
a) Pengertian Protozoa
Protozoa adalah kelompok mikroorganisme bersel satu yang berukuran kecil dan biasanya
ditemukan di air, tanah, dan di sekitar tubuh makhluk hidup lainnya. Protozoa termasuk
dalam kingdom Protista dan merupakan organisme eukariotik, yang berarti mereka
3
memiliki inti sel dan struktur sel yang lebih kompleks daripada bakteri. Ada berbagai jenis
protozoa yang memiliki bentuk, ukuran, dan perilaku yang berbeda-beda, termasuk yang
bergerak dengan flagela, silia, atau pseudopodia. Beberapa jenis protozoa bersifat parasit
dan dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan.
b) Jenis-Jenis Cacing
1. Balantidium
Balatidium adalah genus dari protozoa yang termasuk dalam filum Ciliophora atau
Ciliata. Organisme ini berbentuk oval atau bulat dengan ukuran antara 50 hingga 200
mikrometer. Balantidium dapat ditemukan di air tawar, air laut, dan saluran
pencernaan hewan, termasuk manusia. Balantidium coli adalah spesies Balantidium
yang paling dikenal. Organisme ini adalah parasit usus besar pada manusia dan babi,
serta dapat ditemukan pada hewan lainnya. Balantidium coli dapat menyebabkan
penyakit balantidiasis, yang ditandai dengan gejala seperti diare, mual, muntah, sakit
perut, dan demam. Penularan penyakit ini terutama terjadi melalui kontak dengan tinja
yang terinfeksi.
2. Opalina
Opalina adalah sejenis protozoa mirip ameba yang termasuk dalam kelompok ciliates.
Protozoa ini memiliki bentuk tubuh yang tidak beraturan dan biasanya terdiri dari
beberapa bagian atau sel. Opalina sering ditemukan di air tawar dan laut serta di
saluran pencernaan hewan seperti ikan dan reptil. Meskipun kecil, opalina memiliki
peran penting dalam siklus nutrisi di ekosistem air karena berperan dalam
menguraikan dan mencerna sisa-sisa organik. Beberapa spesies opalina juga
digunakan sebagai organisme model dalam penelitian biologi dan bioteknologi.
3. Amoeba
Amoeba adalah organisme bersel satu yang termasuk dalam kelompok protista atau
protozoa. Amoeba biasanya memiliki bentuk bulat atau tidak berbentuk dan dapat
bergerak menggunakan pseudopodia, yaitu semacam tonjolan sitoplasma yang dapat
memperluas dan menyusut untuk bergerak. Amoeba dapat ditemukan di berbagai jenis
habitat, seperti air tawar, laut, dan tanah. Mereka juga dapat menjadi parasit pada
manusia dan hewan, dan dalam beberapa kasus, dapat menyebabkan penyakit.
Amoeba memiliki peran penting dalam ekosistem, di mana mereka bertindak sebagai
pemangsa mikroba dan berkontribusi pada siklus nutrisi.
4
d) Morfologi
1. Balantidium
Morfologi Balantidium dapat dibagi menjadi dua tahap: tahap vegetatif dan tahap
kista. Tahap vegetatif memiliki ukuran sekitar 50-200 mikrometer dan bergerak
dengan menggunakan silia berduri. Selain itu, tahap vegetatif memiliki struktur yang
disebut stigma yang terletak di ujung anterior sel, yang berfungsi untuk mendeteksi
cahaya dan mengarahkan gerakan sel. Tahap kista memiliki ukuran sekitar 60-70
mikrometer dan berfungsi sebagai bentuk resisten yang dapat bertahan dalam kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan. Pada tahap vegetatif, Balantidium memiliki
struktur sel lainnya, seperti sitoplasma, nukleus besar (macronukleus), nukleus kecil
(mikronukleus), dan vakuola kontraktil yang berfungsi untuk mempertahankan
keseimbangan osmotik. Balantidium juga memiliki alat pengunyah yang disebut
sikostom, yang berfungsi untuk menghancurkan partikel makanan sebelum dikirim ke
saluran pencernaan.
2. Opalina
Tubuhnya terdiri dari dua lapisan membran, yaitu membran sel luar yang dilapisi oleh
membran pelindung yang disebut periplast. Di dalam tubuh Opalina terdapat dua inti
sel atau nukleus yang berperan dalam regulasi aktivitas sel. Selain itu, Opalina juga
memiliki dua buah organel berbentuk seperti kantung yang disebut vacuole. Organel
ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara untuk makanan dan limbah sel
sebelum akhirnya dikeluarkan dari tubuh. Meski Opalina memiliki bentuk tubuh yang
sederhana, namun protista ini memiliki kemampuan yang cukup kompleks dalam hal
reproduksi. Opalina melakukan reproduksi secara aseksual dengan cara membelah diri,
di mana satu sel induk akan membelah menjadi dua sel anak yang identik secara
genetik. Selain itu, Opalina juga dapat melakukan reproduksi seksual dengan cara
menggabungkan materi genetik dari dua individu yang berbeda melalui proses
konjugasi.
3. Amoeba Secara umum, morfologi amoeba terdiri dari beberapa bagian, yaitu:
5
Sitoplasma: merupakan bagian terbesar dari amoeba dan berfungsi sebagai tempat
metabolisme dan pergerakan. Sitoplasma ini tidak memiliki struktur yang kaku atau
teratur, melainkan berbentuk seperti gel atau sol.
Pseudopodia: merupakan tonjolan atau "kaki palsu" yang dapat dikeluarkan oleh
amoeba untuk bergerak atau menangkap makanan. Pseudopodia dibentuk oleh
pergerakan sitoplasma yang mengalir dan mengubah bentuk membran sel.
Inti: merupakan struktur sel amoeba yang mengandung materi genetik (DNA).
Amoeba memiliki satu inti sel yang tidak terdiferensiasi.
Vakuola: merupakan organel yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan atau
pengeluaran zat-zat tertentu seperti air, sisa makanan, atau zat limbah. Vakuola
pada amoeba dapat bergerak dan mengubah bentuk.
C. CARA KERJA
a. Identifikasi preparat cacing
1) Pastikan alat dan bahan yang akan digunakan
2) Siapkan Mikroskop Binokuler Elektrik
3) Kalung kabel mikroskop pada arus listrik, lalu nyalakan dengan menekan tombol “on”
4) Ambil salah satu preparat yang sudah disediakan
5) Kemudian letakkan di mikroskop
6) Periksa preparat dengan perbesaran 40px.
7) Amati hasil pada mikroskop
8) Gambar hasil pengamatan
9) Setelah selesai menggunakan, matikan mikroskop dengan menekan tombol “off”
b. Identifikasi preparat telur
1) Pastikan alat dan bahan yang akan digunakan
2) Siapkan Mikroskop Binokuler Elektrik
6
3) Kalung kabel mikroskop pada arus listrik, lalu nyalakan dengan menekan tombol “on”
4) Ambil salah satu preparat yang sudah disediakan
5) Kemudian letakkan di mikroskop
6) Periksa preparat dengan perbesaran 40px
7) Amati hasil pada mikroskop
8) Gambar hasil pengamatan
9) Setelah selesai menggunakan, matikan mikroskop dengan menekan tombol “off”
D. HASIL PENGAMATAN
1. Cacing
JENIS MORFOLOGI SESUAI TIDAK
SESUAI
ukuran : panjang 50 – 60 μm dan lebar
20 – 32 μm. dinding 2 lapis tipis dan
transparan : dinding luar merupakan
lapisan albumin yang bersifat
mechanical protection, sedangkan
dinding dalam merupakan lapisan lemak
yang bersifat chemical protection. telur
selalu berisi larva.
Cacing Oxyuris
Filum Acanthocephala merupakan jenis
cacing parasit yang terdapat di usus
ikan, amfibi, burung, dan mamalia.
Acanthocephala berasal dari bahasa
Yunani, (akanthos) duri dan (kephale)
kepala adalah cacing yang memiliki duri
di kepala. Siklus hidup Acanthocephala
sangat kompleks dan merupakan cacing
parasit.
Cacing Acanthocephala
berukuran lebih besar dari Necator
americanus. Yang betina ukurannya 10-
13 mm x 0,6 mm, yang jantan 8-11 x 0,5
mm. Bentuknya menyerupai huruf C,
Necator americanus berbentuk huruf S,
ukuran yang betina 9-11 x 0,4 mm, dan
yang jantan 7-9 x 0,3 mm.
Cacing Ancylostonum
duo denale
7
Opalina adalah genus heterokontsparasit
ditemukan di ususkatak dan kodok .
Mereka tidak memiliki mulut dan
vakuola kontraktil, mereka ditutup
dengan siliaflagelliformis yang hampir
sama , dan mereka memiliki banyak inti,
semuanya serupa.Semua spesies adalah
endosimbion wajib, kemungkinan besar
komensal daripada parasit, pada
vertebratadingin berdarah . Tubuhnya
Cacing Opalina berbentuk seperti daun. Mereka tidak
memiliki sitostom. Mereka
saprozoikum, memakan benda mati,
yang menunjukkan peran
komensalmereka. Mereka berkembang
biak dengan cara plasmotomi. Badannya
pipih, seperti daun dan berbentuk
lonjong serta ditutup oleh pelikel tipis.
Nutrisi adalah dengan pinositosis. Ada
beberapa inti berukuran kecil, bulat dan
serupa yang ada di endoplasma. Inti
didistribusikan secara merata. Hewan
berkembangbiak dengan pembelahan
biner longitudinal dan transversal, atau
dengan plasmotomi di mana
pembelahan sel berulang-ulang tanpa
pembelahan inti. Sel-sel anak menjadi
kista dan pingsan dalam kotoran inang.
Achantochepala Adalah filum cacing
parasit yang dikenal sebagai
acanthocephalans,cacing berkepala
berduri,atau cacing berkepala berduri ,
ditandai dengan adanya belalai yang
selalu ada , dipersenjatai dengan duri ,
yang digunakannya untuk menusuk dan
menahan dinding ususinangnya.
Acanthocephalans memilikisiklus hidup
yang kompleks, melibatkan setidaknya
Cacing Acanthocephala dua inang, yang mungkin
termasukinvertebrata, ikan,amfibi,
burung, danmamalia. [4] [5] [6] Sekitar
1420spesiestelah dideskripsikan.
8
Cacing ini terdiri dari scolex, leher, dan
strobila. Scolex berbentuk piriform
berukuran 1 – 2 mm dilengkapi dengan
4 batil isap yang menonjol. Strobila
terdiri dari 1000 – 2000 proglotid atau
segmen dimana makin ke distal
proglotid semakin matang.
Eurytrema pancreaticum
merupakan parasit cacing yang termasuk
kelas trematoda Keluarga Dicrocoliidae
yang dapat ditemukan di Eropa, Asia
dan Amerika Selatan. Parasit ini
menginfestasi pada sebuah saluran
empedu pada hewan sapi, kerbau, unta,
rusa, domba, kambing,
babisertamanusia. (Mattos dan Vianna,
1987 yang disitasi oleh Ilha dkk., 2005).
Eurytrema pancreaticum
subkelas Digenea, famili Dicrocoliidae,
genus Eurytrema. Margaini terdiri atas
tujuh spesies yaitu E. pancreaticum, E.
coelomaticum, E. Parvum, E. rebelle,
E.dajii, E. tonkinense dan E. satoi
(Yamaguti, 1958).Perbedaan antara satu
Cacing Euritrema spesies dengan spesiesyang lain bisa
dilakukan dengan cara mengidentifikasi
morfologi seperti ukuran tubuh,
9
telurserta perbandinga ukuran batil isap
perut dan batil isap mulut.
Trypanosoma
2. Telur Cacing
cacing jantan memiliki panjang sekitar
10–31 cm dan berdiameter 2–4 mm,
sedangkan betina memiliki panjang
20–35 cm dan berdiameter 3–6 mm.
Pada cacing jantan ditemukan spikula
atau bagian seperti untaian rambut di
ujung ekornya (posterior). Pada cacing
betina, pada sepertiga depan terdapat
bagian yang disebut cincin atau gelang
kopulasi. Cacing betina memiliki
tubulus dan duktus sepanjang kurang
lebih 12 cm dan kapasitas sampai 27
juta telur. Cacing dewasa hidup pada
usus halus manusia. Seekor cacing
betina dapat bertelur hingga sekitar
200.000 telur per harinya. Telur yang
telah dibuahi berukuran 50–70 × 40–
50 mikron. Sedangkan telur yang tak
dibuahi, bentuknya lebih besar sekitar
90 × 40 mikron. Telur yang telah
Telur Ascaris c. S
dibuahi inilah yang dapat menginfeksi
manusia. Telur cacing A. lumbricoides
dilapisi lapisan albumin dan tampak
berbenjol-benjol.
10
cysticercus, bentuk plural: cysticerci)
adalah nama ilmiah yang diberikan
pada larva cacing dalam genus Taenia.
Bentuknya berupa vesikel kecil seperti
kantung yang menyerupai kandung
kemih; karenanya, ia juga dikenal
sebagai cacing kandung kemih.
Sistiserkus berisi cairan, yang di
dalamnya terdapat tubuh utama larva
yang disebut skoleks. Pada akhirnya,
skoleks akan berkembang dan menjadi
"bagian kepala" cacing pita.
Telur Cestisercus Sistiserkus merupakan fase setelah
telur cacing, yang sebelumnya ditelan
oleh inang perantara seperti babi dan
sapi.
12
3. Protozoa
Amuba dapat ditemukan di habitat
darat dan udara. Selain itu, amoeba
dapat berkembang biak di hampir
semua jenis habitat. Beberapa jenis
amuba merupakan benalu, yang
menyebabkan penyakit pada manusia
dan hewan. Sampai saat ini, enam jenis
amoeba parasit yang menyebabkan
penyakit ringan sampai berat pada
manusia telah teridentifikasi. Oleh
Amuba karena itu, organisme eukariotik
uniseluler inu secara luas dipelajari
dalam mikrobiologi.
13
Balantidium ini merupakan protozoa
usus manusia yang paling besar.
Memiliki dua bentuk tubuh yaitu,
trofozoit dan kista. a. Bentuk trofozoit
seperti kantung, panjangnya 50-200
mµ, lebarnya 40-70 mµ dan berwarna
abu-abu tipis.
Balantidium
4. Jamur
Jamur o.vermicularis
14
E. KESIMPULAN
Cacing adalah organisme multiseluler yang tidak memiliki tulang belakang dan biasanya
hidup di lingkungan tanah, air atau organisme lain sebagai parasit. Cacing memiliki tubuh yang
panjang dan silindris, dan dapat berkembang biak secara seksual maupun aseksual. Beberapa jenis
cacing dapat membawa manfaat bagi manusia, seperti cacing tanah yang dapat membantu
meningkatkan kesuburan tanah, sementara jenis cacing parasit dapat menyebabkan berbagai
penyakit pada manusia dan hewan, seperti cacing tambang, cacing kremi, dan cacing pita.
Berdasarkan hasil pengamatan dan identifikasi dari praktikum ini, dapat disimpullkan
bahwa terdapat 9 jenis cacing, 4 jenis telur cacing dan 2 jenis protozoa, dan 1 jenis jamur yaitu
cacing , cacing oxyuris, cacing acanthocephala, cacing ancylostonum duo denale, cacing opalina
acanthocephalla, cacing taenia saginata, cacing paramphintomun cervi, cacing euritrema, cacing
trypanosoma, telur ascaris c. S, telur cestisercus, telur spermatozoa, telur eurytrema pancreaticum,
protozoa amuba, protozoa balantidium, jamur o vermicularis. Cacing adalah organisme
multiseluler yang umumnya hidup di lingkungan yang lembab dan dapat ditemukan di berbagai
habitat seperti tanah, air, dan tubuh hewan atau manusia. Cacing memiliki tubuh yang berbentuk
seperti tabung dan tidak memiliki tulang belakang. Beberapa jenis cacing dapat menghasilkan
ribuan bahkan jutaan telur dalam satu siklus hidup. Telur cacing dapat ditemukan di lingkungan
sekitar seperti tanah, air, atau makanan. Sedangkan Protozoa adalah kelompok organisme bersel
satu yang tersebar di berbagai jenis habitat seperti air tawar, laut, tanah, dan tubuh hewan atau
manusia. Jamur adalah organisme yang termasuk ke dalam kingdom fungi dan tidak mempunyai
klorofil sehingga bersifat heterotrof. Keempatnya merupakan parasit yang dapat menyebabkan
masalah kesehatan pada manusia. Oleh karena itu, penting untuk menghindari terpapar dan
mengambil langkahlangkah pencegahan yang tepat untuk mencegah infeksi dan meminimalkan
dampak kesehatan yang mungkin terjadi.
15
DAFTAR PUSTAKA
16
LAMPIRAN
17
PRAKTIKUM II
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Malaria
Pengertian Malaria Menurut WHO disebabkan oleh parasit Plasmodium. Malaria pada
manusia disebabkan oleh empat spesies Plasmodium yang berbeda, yakni P. falciparum, P.
malariae, P. ovale dan P. vivax.
Plasmodium penyebab malaria telah dikenal sejak tahun 1753 dan 1880, Plasmodium
penyebab malaria ditemukan oleh Laveran tahun 1883, morfologi Plasmodium mulai
dipelajari dengan menggunakan larutan metilen biru untuk mewarnai parasit malaria tahun
1885, pada tahun 1990 Manson membuktikan bahwa nyamuk adalah vektor yang menularkan
penyakit malaria.
2. Epidemiologi Malaria
Komponen epidemiologi malaria terdiri dari (1) agent malaria adalah parasit Plasmodium
spp akan dijelaskan pada bab tersendiri. (2) host malaria ada dua jenis yaitu manusia sebagai
host intermediate atau sementara karena di dalam tubuh hospes tersebut tidak terjadi
perkembangbiakan seksual dan nyamuk sebagai host definitive atau hospes tetap karena di
dalam tubuhnya terjadi perkembangbiakan seksual dan (3) lingkungan yaitu yang
mempengaruhi kehidupan manusia dan nyamuk vektor malaria. Lingkungan tempat tinggal
manusia dan nyamuk, berpengaruh besar terhadap kejadian malaria di suatu daerah, karena
bila kondisi lingkungan sesuai dengan tempat perindukan, maka nyamuk akan
berkembangbiak dengan cepat. Tingkat penularan malaria dipengaruhi beberapa faktor biologi
dan iklim, yang menyebabkan fluktuasi pada lama dan intensitas penularan malaria pada tahun
yang sama atau di antara tahun yang berbeda.
Nyamuk Anopheles yang berperan sebagai vektor malaria harus mempunyai kebiasaan
menggigit manusia dan hidup yang cukup lama. Keadaan ini diperlukan oleh parasit malaria
18
untuk menyelesaikan siklus hidupnya sampai menghasilkan bentuk yang infektif (menular),
dan kemudian mengigit manusia kembali. Suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap
kecepatan perkembangbiakan plasmodium dalam tubuh nyamuk. Hal ini menjadi bukti,
penyebab intensitas penularan malaria paling tinggi menjelang musim penghujan berkaitan
dengan peningkatan populasi nyamuk (Sutrisna, 2004).
Satu tinjauan literatur yang telah dilakukan untuk mengevaluasi malaria yang berhubungan
dengan lingkungan di 6 (enam) daerah di Indonesia, bahwa lingkungan fisik yang penting
terhadap malaria adalah curah hujan, tempat perindukan, tempat istirahat nyamuk, jarak dari
tempat tinggal manusia dan ketinggian dari permukaan air laut. Meskipun secara statistik
kurang bermakna, kondisi perumahan penting untuk diamati. Sedangkan faktor sosial-ekonomi
yang berdampak penting terhadap penyakit malaria adalah pendapatan, pendidikan,
penggunaan kelambu dan aktivitas keluar malam (Depkes, 2003).
Kebiasaan menghindari gigitan nyamuk selain menggunakan kelambu waktu tidur, juga
dengan memasang kawat kasa serta memakai obat anti nyamuk (mosquito coil atau repellent).
Penduduk yang mempunyai kebiasaan menghindari kontak dengan gigitan nyamuk tentu
relatif lebih kecil berisiko menderita malaria. Hasil penelitian di Kabupaten Belitung
menunjukkan bahwa, orang yang mempunyai kebiasaan tidak memakai obat anti nyamuk
berisiko terkena malaria sebesar 2,91 kali dibanding dengan orang yang mempunyai kebiasaan
menggunakan obat anti nyamuk (Suwandi, 2000).
Hasil penelitian di Kabupaten Donggala, menunjukkan bahwa mereka yang tidak
menggunakan anti nyamuk berisiko terkena malaria 2,17 kali dibanding dengan orang yang
menggunakan anti nyamuk (Sulistyo, 2001)
3. Morfologi Plasmodium
19
Morfologi: jumlah inti lebih dari 10 (10-32) berwarna merah berukuran kecil padat.
Setiap inti dikelilingi oleh sitoplasma, sitoplasma berwarna kebiruan, tebal menyertai
masing-masing inti, pigmen menggumpal, warna tangguli kehitaman dan parasit tidak
memenuhi seluruh eritrosit.
3. Gametosit
a. Makrogametosit
Inti berwarna merah, padat. Sitoplasma ujungnya meruncing dan berwarna biru.
Pigmen disekitar inti berbentuk batang berwarna coklat kehitaman.
b. Mikrogametosit
Inti berwarna merah, menyebar. Sitoplasma berwarna biru kemerahan dan melebar.
Pigmen menyebar, berbentuk batang warna coklat kehitaman. Kadang dapat
ditemukan stadium gametosit muda dengan balon merah.
● Plasmodium vivax
Sporozoit masuk melalui kulit ke peredaran darah perifer manusia, setelah ± ½ jam
sporozoit masuk dalam sel hati dan tumbuh menjadi skizon hati dan sebagian menjadi
hipnozoit, berukuran 45 mikron dan membentuk ±10.000 merozoit. Skizon hati masih
dalam daur praeritrosit (daur eksoeritrosit primer) yang berkembangbiak secara aseksual
dan prosesnya disebut skizogoni hati. Hipnozoit beristirahat dalam sel hati selama
beberapa waktu sampai aktif dan dimulai dengan daur eksoeritositer sekunder. Merozoit
dari skizon hati masuk ke peredaran dan menginfeksi eritrosit untuk mulai dengan daur
eritrosit (skizogoni darah). Merozoit hati pada eritrosit tumbuh menjadi trofozoit muda
yang berbentuk cincin, besarnya ±1/3 eritrosit. Trofozoit muda memiliki sitoplasma
berawarna biru, inti merah, dan memiliki vakuola besar.
Eritrosit muda atau retikulosit yang terinfeksi Plasmodium vivax ukurannya lebih
besar dari eritrosit lainnya, berwarna pucat, tampak titik halus berwarna merah, bentuk dan
besarnya disebut titik schuffner. Kemudian trofozoit muda menjadi trofozoit stadium lanjut
(trofozoit tua) yang sangat aktif sehingga sitoplasmanya tampak berbentuk amoeboid.
Pigmen parasit menjadi nyata dan berwarna kuning tengguli. Skizon matang dari daur
eritrosit mengandung 12-18 merozoit dan mengisi seluruh eritrosit dengan pigmen
berkumpul di bagian tengah atau pinggir. Daur eritrosit berlangsung 48 jam dan terjadi
secara singkron. Dalam darah tepi ditemukan semua stadium parasit sehingga tidak
uniform.
Sebagian merozoit tumbuh menjadi trofozoit yang dapat membentuk sel kelamin,
yaitu makrogametosit dan mikrogametosit (gametogoni), mengisi hampir seluruh eritrosit
dan masih tampak titik schuffner di sekitarnya. Makrogametosit (betina) memiliki
sitoplasma yang berwarna biru dengan inti kecil, padat, dan berwarna merah.
Mikrogametosit (jantan) biasanya bulat, sitoplasma berwarna pucat, biru kelabu dengan
inti yang besar, dan difus. Inti biasanya terletak ditengah. Butir-butir pigmen, baik pada
makrogametosit maupun mikrogametosit, jelas, dan tersebar pada sitoplasma (Sutanto,
dkk., 2008).
20
● Plasmodium malariae
Daur praeritrosit pada manusia belum pernah ditemukan. Inokulasi sporozoit
Plasmodium malariae manusia pada simpanse dengan tusukan nyamuk Anopheles
membutikan stadium praeritrosit Plasmodium malariae. Skizon praeritrosit matang 13 hari
setelah terinfeksi. Jika skizon matang, merozoit dilepaskan ke aliran darah tepi, siklus
eritrosit aseksual dimulai dengan peruodisitas 72 jam. Stadium trofozoit muda dalam darah
tepi tidak berbeda banyak dengan Plasmodium vivax. Pewarnaan giemsa memperlihatkan
sitopalsamanya lebih tebal dan gelap. Sel darah merah tidak membesar. Dalam pulasan
khusus, pada sel darah merah terdapat titik-titik yang disebut titik ziemann. Trofozoit tua
bila membulat besarnya kira - kira setengah eritrosit. Pada sediaan tipis, stadium trofozoit
dapat sepanjang sel darah merah, berbentuk pita yaitu bentuk yang khas pada Plasmodium
malariae.
Skizon muda membagi intinya dan akhirnya terbentuk skizon matang yang
mengandung rata-rata 8 buah merozoit. Skizon matang mengisi hampir seluruh eritrosit
dan merozoit serta biasanya mempunyai susunan teratur sehingga membentuk bunga daisy
atau disebut juga rosette.
Stadium gametosit dibentuk di darah perifer. Makrogametosit memiliki sitoplasma
berwarna biru tua, berinti kecil, dan padat. Mikrogametosit sitoplasmanya berwarna biru
pucat, berinti difus, dan lebih besar. Pigmen tersebar pada sitoplasma (Sutanto, dkk.,
2008).
● Plasmodium ovale
Trofozoit muda berukuran kira-kira 2 µ (1/3 eritrosit). Titik schuffner disini disebut
titik james yang terbentuk sangat dini dan tampak jelas. Stadium trofozoit berbentuk bulat
dan kompak dengan granula pigmen yang lebih kasar, tetapi tidak sekasar pigmen
Plasmodium malariae. Pada stadium ini eritrosit agak membesar dan sebagian berbentuk
lonjong (oval) serta pinggir eritrosit pada salah satu ujungnya bergerigi dengan titik
schuffner yang menjadi lebih banyak.
Stadium skizon berbentuk bulat dan bila matang mengandung 8-10 merozoit, yang
letaknya teratur di tepi mengelilingi granula pigmen yang berkelompok di tengah. Stadium
gametosit betina (makrogametosit) berbentuk bulat dengan inti kecil kompak dan
sitoplasma berwarna biru. Gametosit jantan (mikrogametosit) mempunyai inti difus,
sitoplasma berwarna pucat kemerah-merahan, dan berbentuk bulat. Pigmen dalam ookista
berwarna coklat/tengguli tua granulanya mirip dengan tampak pada Plasmodium malariae.
21
Siklus sporogoni dalam badan nyamuk Anopheles betina memerlukan waktu 12-14 hari
pada suhu 27°C (Sutanto, dkk., 2008).
4. Siklus Hidup
Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu manusia dan nyamuk
Anopheles betina.
1. Siklus Pada Manusia.
Pada waktu nyamuk Anopheles infektif menghisap darah manusia, sporozoit yang
berada di kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran darah selama lebih kurang
setengah jam. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit
hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari 10,000-30,000 merozoit
hati (tergantung spesiesnya). Siklus ini disebut siklus ekso-eritrositer yang berlangsung
selama lebih kurang 2 minggu. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian tropozoit hati tidak
langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dorman yang
disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam sel hati selama berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun. Pada suatu saat bila imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif
sehingga dapat menimbulkan relaps (kambuh). Merozoit yang berasal dari skizon hati
yang pecah akan masuk ke peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel
darah merah, parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon 8-30
merozoit, tergantung spesiesnya). Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni.
Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan
menginfeksi sel darah merah lainnya. Siklus ini disebut siklus eritrositer.
Pada P. falciparum setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang
menginfeksi sel darah merah dan membentuk stadium seksual (gametosit jantan dan
betina). Pada spesies lain siklus ini terjadi secara bersamaan. Hal ini terkait dengan waktu
dan jenis pengobatan untuk eradikasi. Siklus P. knowlesi pada manusia masih dalam
penelitian. Reservoar utama Plasmodium ini adalah kera ekor panjang (Macaca sp). Kera
ekor panjang ini banyak ditemukan di hutan-hutan Asia termasuk Indonesia. Pengetahuan
mengenai siklus parasit tersebut lebih banyak dipahami pada kera dibanding manusia.
2. Siklus pada nyamuk anopheles betina.
Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang mengandung gametosit, di
dalam tubuh nyamuk gamet jantan dan betina melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot
berkembang menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada
dinding luar lambung nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi
22
sporozoit. Sporozoit ini bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia. Masa inkubasi
adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke tubuh manusia sampai timbulnya gejala
klinis yang ditandai dengan demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung spesies
plasmodium (lihat Tabel 1). Masa prepaten adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke
tubuh manusia sampai parasit dapat dideteksi dalam sel darah merah dengan pemeriksaan
mikroskopik.
3. Masa Inkubasi Penyakit Malaria
Plasmodium
Masa Inkubasi (rata-rata)
P. falciparum
9 – 14 hari (12)
P. vivax
12 – 17 hari (15)
P. ovale
16 – 18 hari (17)
P. malariae
18 – 40 hari (28)
P.knowlesi
10 – 12 hari (11)
5. Sediaan Darah
Ciri-ciri apusan sedian darah tebal yaitu membutuhkan darah lebih banyak untuk
pemeriksaan dibanding dengan apusan darah tipis sehingga jumlah parasit yang ditemukan
lebih banyak dalam satu lapang pandang sehingga pada infeksi ringan lebih mudah
ditemukan. Sediaan ini mempunyai bentuk parasit yang kurang utuh dan kurangbegitu
lengkap morfologinya
23
B. ALAT DAN BAHAN
a. Alat
1. Objek kaca
2. Tutup kaca
3. Rak pewarnaan
4. Klik otomatis
5. Gelas beker 50 ml.
6. Pipet tetes
7. Pipet ukur 1 mL dan 10 mL
8. Pipet bola
9. Botol semprot
b. Bahan
1. Larutan warna Giemsa 10%
2. Aquadest
3. Metanol p.a
4. Buffer phosfat pH 6,8
5. Alkohol 70%
6. Lancet
7. Kapas kering
8. Alkohol swab
9. Tissue
10. Label
11. Persiapan malaria
12. Oil imersi
C. CARA KERJA :
A. Pengambilan Sampel Darah Kapiler
1. Alat dan bahan disiapkan
2. Kaca objek dibersihkan dengan alcohol 70% (jika ada sebaiknya digunakan alcohol
96%)
24
3. Kaca objek diberi label (nama, umur, jenis kelamin, tanggal pembuatan)
4. Jari tengah atau jari manis (tangan kiri) pasien didesinfeksi dengan alcohol swab
5. Ujung jari dibendung dengan cara ditekan, namun jangan dipijat-pijat
6. Bagian pinggir jari pasien ditusuk dengan lanset steril dengan bantuan auto click.
7. Darah yang pertama keluar dihapus dengan tissue
8. Darah yang keluar berikutnya diteteskan pada objek glass secara terpisah untuk sediaan
darah tebal (12 um) dan sediaan darah tipis (6 um)
B . Pembuatan Sediaan Tetes Tebal
1. Tetesan darah dilebarkan dari luar ke dalam dengan diameter + 1 cm menggunakan
salah satu ujung kaca objek lain yang bersih
2. 2. Dibiarkan sampai mengering.
C. Pembuatan Sediaan Tetes Tipis
1. Pada tepi tetesan darah, Taruh tepi kaca objek lain yang bersih untuk membentuk sudut
30°-40° sehingga darah akan menyebar ditepi kaca objek lain tersebut.
2. Bila darah telah menyebar rata, maka kaca objek yang digunakan untuk membuat
apusan didorong perlahan membentuk apusan darah yang tipis dan rata dengan ujung
berbentuk lidah.
3. Apusan darah dikeringkan
D. Pembuatan Cat Giemsa 10%
1. 1 mL. Giemsa dimasukkan ke dalam gelas beaker dengan pipet ukur.
2. Dilarutkan dengan 9 mL. Buffer Fosfat pH 6,8
3. Larutan Giemsa 10% dihomogenkan dan ditutup dengan aluminium foil
25
4. Sediaan diteteskan dengan larutan Giemsa 10% secara merata, lalu dibiarkan 30 menit
5. Setelah 30 menit, warna Giemsa ditiriskan dan sediaan dibilas dengan aquades
6. Sediaan dibiarkan kering dalam suhu ruang
F. Pewarnaan Tetes Tipis dengan Menggunakan Giemsa 10%
1. Sediaan darah diletakkan di rak pewarnaan dan diatur jaraknya
2. Sediaan darah tipis diteteskan dengan methanol p.a secara merata, dibiarkan + 5 menit
3. Setelah 5 menit metanol ditiriskan
4. Sediaan diteteskan dengan larutan Giemsa 10% secara merata, lalu dibiarkan 30 menit
5. Setelah 30 menit, warna Giemsa ditiriskan dan sediaan dibilas dengan aquades
6. Sediaan dibiarkan kering dalam suhu ruang
PEMBAHASAN
Sebelum pemeriksaan, dilakukan terlebih dahulu pengambilan sampel darah tepi.
Pengambilan sampel darah tepi dilakukan pada jari tengan dan jari manis tangan kiri karena
tangan kiri lebih sedikit bekerja dibandingkan tangan kanan. Sebelum pengambilan darah, jari
yang akan ditusuk didesinfeksi dengan kapas alkohol 70% atau dengan alkohol swab agar
terbebas dari bakteri. Desinfeksi dilakukan dengan mengusap/memutar alkohol swab dari dalam
ke luar secara searah. Hal ini bertujuan agar kotoran yang sudah dibersihkan tidak kembali lagi
kebagian yang sudah dibersihkan.
26
Saat pengambilan darah, jari ditekan agar terbendung pada bagian yang akan ditusuk. Jari
ditusuk dengan lanset dengan bantuan autoclick dimana kedalaman penusukan disesuaikan
dengan jari pasien. Darah yang keluar pertama dihapuskan dengan tissue. Hal ini bertujuan untuk
meminimalisir kontaminasi oleh alkohol. Darah berikutnya diteteskan secara terpisah pada kaca
objek. Untuk sediaan darah tebal diteteskan 12 mikron darah (± 3 tetes) sedangkan untuk sediaan
darah tipis diteteskan 6 mikron darah (+2 tetes).
Dalam Praktikum ini, pengambilan sampel darah tepi diambil dar pasien Coratry Shovariah
(19 thn). Tetesan darah yang diambil kemudian dihapuskan menjadi sediaan apus tebal dan apus
tipis.
Perbedaan sediaan apus tebal dan tipis :
● Sediaan apus tebal
Lebih banyak membutuhkan darah. Jumlah selnya lebih banyak dalam satu lapang pandang.
Dalam sediaan ini, lebih mudah menginfeksi yang ringan.
● Sediaan apus tipis
Lebih sedikit membutuhkan darah. Sediaan apus tipis yang baik bentuknya seperti lidah.
Dalam sediaan ini, morfologi parasit lebih jelas dan perubahan pada eritrosit dapat terlihat
jelas.
Kriteria Preparat yang baik:
1. Lebar dan panjangnya tidak memenuhi seluruh kaca benda sehingga masih ada tempat untuk
pemberian label
2. Penebalannya nampak berangsur-angsur menipis dari kepala ke ekor
3. Ujung atau ekornya tidak membentuk kepala robek
4. Tidak berlubang-lubang karena bekas lemak masih ada diatas kaca objek
5. Tidak terputus-putus karena gerakan gesekan yang ragu-ragu
6. Tidak terlalu tebal atau tidak terlalu tipis
Setelah itu apusan darah dikeringkan dalam kamar bebas debu. Setelah kering sediaan
segera diwarnai dengan Giemsa 10%. Prinsip pewarnaan giemsa adalah presipitasi hitam yang
terbentuk dari penambahan larutan metilen biru dan cosin yang dilarutkan didalam metanol.
Pengecatan Giemsa dilakukan dengan menggunakan Giemsa 10%. Larutan ini dapat
dibuat dengan melarutkan 1 ml Giemsa dengan 9 ml Buffer Phosphat pH 6,8. Sebaoknya larutan
Buffer Phosphat yang digunakan dengan pH 7.2 agar memperoleh hasil pewarnaan yang baik.
Sediaan darah tipis difiksasi dengan metanol p.a. dengan cara diteteskan dan dibiarkan 3
menit. Sedangkan sediaan darah tebal dihemolisis dengan aquadest sampai seluruh hemoglobin
27
hilang (3 menit). Setelah itu sediaan ditetesi dengan larutan Giemsa 10% sampai menutupi
seluruh permukaan dan dibiarkan selama 30 menit. Sediaan darah dibilas dengan aquades yang
mengalir sehingga larutan Giemsa turut mengalir dengan air. Dengan demikian tidak ada sisa cat
yang mengendap pada sediaan darah. Sediaan darah tpis yang difiksasi dengan metanol p.a.
bertujuan untuk melekatkan sel-sel darah dan mikroorganisme pada kaca objek, menon-aktifkan
mikroorganisme dan mengawetkan mikroorganisme pada slide.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pewarnaan Giemsa adalah
1. Dalam pengeringan sediaan darah tebal tidak boleh dipanasi karena tindakan ini menyebabkan
eritrosit susah dihemolisis pada proses pewarnaan.
2. Pewarnaan tidak boleh >24 jam setelah kering, karena jika terlalu lama didiamkan eritrosit
sukar dihemolisis saat pewarnaan.
3. Metanol tidak boleh menegnai sediaan tetes tebal karena akan membuat bagian tersebut
terfiksasi dan hasil pewarnaan tidak sesuai keinginan.
4. Hati-hati membilas sediaan tetes tebal karena bagian tersebut tidak terfiksasi dan tidak
menempel pada objek gelas
5. Sediaan darah tipis tidak boleh terkena aquades agar sel-sel darah tidak lisis.
28
E. KESIMPULAN
Malaria pada manusia disebabkan oleh empat spesies Plasmodium yang berbeda, yakni P.
falciparum, P. malariae, P. ovale dan P. vivax.Plasmodium penyebab malaria telah dikenal sejak
tahun 1753 dan 1880, Plasmodium penyebab malaria ditemukan oleh Laveran tahun 1883,
morfologi Plasmodium mulai dipelajari dengan menggunakan larutan metilen biru untuk
mewarnai parasit malaria tahun 1885, pada tahun 1990 Manson membuktikan bahwa nyamuk
adalah vektor yang menularkan penyakit malaria. host malaria ada dua jenis yaitu manusia
sebagai host intermediate atau sementara karena di dalam tubuh hospes tersebut tidak terjadi
perkembangbiakan seksual dan nyamuk sebagai host definitive atau hospes tetap karena di dalam
tubuhnya terjadi perkembangbiakan seksual dan lingkungan yaitu yang mempengaruhi
kehidupan manusia dan nyamuk vektor malaria.Lingkungan tempat tinggal manusia dan
nyamuk, berpengaruh besar terhadap kejadian malaria di suatu daerah, karena bila kondisi
lingkungan sesuai dengan tempat perindukan, maka nyamuk akan berkembangbiak dengan
cepat.Tingkat penularan malaria dipengaruhi beberapa faktor biologi dan iklim, yang
menyebabkan fluktuasi pada lama dan intensitas penularan malaria pada tahun yang sama atau di
antara tahun yang berbeda.Satu tinjauan literatur yang telah dilakukan untuk mengevaluasi
malaria yang berhubungan dengan lingkungan di 6 (enam) daerah di Indonesia, bahwa
lingkungan fisik yang penting terhadap malaria adalah curah hujan, tempat perindukan, tempat
istirahat nyamuk, jarak dari tempat tinggal manusia dan ketinggian dari permukaan air laut.
Sediaan darah tipis Ciri-ciri apusan sedian darah tipis yaitu lebih sedikit membutuhkan
darah untuk pemeriksaan dibandingkan dengan sedian apusan darah tebal, morfologinya lebih
jelas bentuk parasit plasmodium berada di dalam eritrosit sehingga didapatkan bentuk parasit
yang utuh dan morfologinya sempurna, serta lebih mudah untuk menentukan spesies dan stadium
parasit dan perubahan padaa eritrosit yang dihinggapi parasit dapat dilihat jelas.Sediaan darah
tebal Ciri-ciri apusan sedian darah tebal yaitu membutuhkan darah lebih banyak untuk
pemeriksaan dibanding dengan apusan darah tipis sehingga jumlah parasit yang ditemukan lebih
banyak dalam satu lapang pandang sehingga pada infeksi ringan lebih mudah ditemukan.
Berdasarkan hasil praktikum yang telah di lakukan di laboratorium poltekkes tanjung
karang maka dapat disimpulkan sampel menunjukkan negatif malaria.
29
DAFTAR PUSTAKA
30
LAMPIRAN
31
MEMBERSIHKAN JARI PASIEN MENGGUNAKAN MENETESKAN DARAH PASIEN KE OBKEK GLASS
ALKOHOL
32
MENUNGGU SAMPEL YANG TELAH DI CAT MEMBERSIHKAN GIEMSA MENGGUNAKAN AIR
MENGGUNAKAN GIEMSA
33
PRAKTIKUM III
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Malaria
Pengertian Malaria Menurut WHO disebabkan oleh parasit Plasmodium. Malaria pada manusia
disebabkan oleh empat spesies Plasmodium yang berbeda, yakni P. falciparum, P. malariae, P.
ovale dan P. vivax.
Plasmodium penyebab malaria telah dikenal sejak tahun 1753 dan 1880, Plasmodium penyebab
malaria ditemukan oleh Laveran tahun 1883, morfologi Plasmodium mulai dipelajari dengan
menggunakan larutan metilen biru untuk mewarnai parasit malaria tahun 1885, pada tahun 1990
Manson membuktikan bahwa nyamuk adalah vektor yang menularkan penyakit malaria.
2. Epidemiologi Malaria
Komponen epidemiologi malaria terdiri dari (1) agent malaria adalah parasit Plasmodium spp
akan dijelaskan pada bab tersendiri. (2) host malaria ada dua jenis yaitu manusia sebagai host
intermediate atau sementara karena di dalam tubuh hospes tersebut tidak terjadi perkembangbiakan
seksual dan nyamuk sebagai host definitive atau hospes tetap karena di dalam tubuhnya terjadi
perkembangbiakan seksual dan (3) lingkungan yaitu yang mempengaruhi kehidupan manusia dan
nyamuk vektor malaria. Lingkungan tempat tinggal manusia dan nyamuk, berpengaruh besar
terhadap kejadian malaria di suatu daerah, karena bila kondisi lingkungan sesuai dengan tempat
perindukan, maka nyamuk akan berkembangbiak dengan cepat. Tingkat penularan malaria
dipengaruhi beberapa faktor biologi dan iklim, yang menyebabkan fluktuasi pada lama dan
intensitas penularan malaria pada tahun yang sama atau di antara tahun yang berbeda.
Nyamuk Anopheles yang berperan sebagai vektor malaria harus mempunyai kebiasaan
menggigit manusia dan hidup yang cukup lama. Keadaan ini diperlukan oleh parasit malaria untuk
menyelesaikan siklus hidupnya sampai menghasilkan bentuk yang infektif (menular), dan kemudian
mengigit manusia kembali. Suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap kecepatan
34
perkembangbiakan plasmodium dalam tubuh nyamuk. Hal ini menjadi bukti, penyebab intensitas
penularan malaria paling tinggi menjelang musim penghujan berkaitan dengan peningkatan
populasi nyamuk (Sutrisna, 2004).
Satu tinjauan literatur yang telah dilakukan untuk mengevaluasi malaria yang berhubungan
dengan lingkungan di 6 (enam) daerah di Indonesia, bahwa lingkungan fisik yang penting terhadap
malaria adalah curah hujan, tempat perindukan, tempat istirahat nyamuk, jarak dari tempat tinggal
manusia dan ketinggian dari permukaan air laut. Meskipun secara statistik
kurang bermakna, kondisi perumahan penting untuk diamati. Sedangkan faktor sosial-ekonomi
yang berdampak penting terhadap penyakit malaria adalah pendapatan, pendidikan, penggunaan
kelambu dan aktivitas keluar malam (Depkes, 2003).
Kebiasaan menghindari gigitan nyamuk selain menggunakan kelambu waktu tidur, juga dengan
memasang kawat kasa serta memakai obat anti nyamuk (mosquito coil atau repellent).
Penduduk yang mempunyai kebiasaan menghindari kontak dengan gigitan nyamuk tentu relatif
lebih kecil berisiko menderita malaria. Hasil penelitian di Kabupaten Belitung menunjukkan bahwa,
orang yang mempunyai kebiasaan tidak memakai obat anti nyamuk berisiko terkena malaria sebesar
2,91 kali dibanding dengan orang yang mempunyai kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk
(Suwandi, 2000).
Hasil penelitian di Kabupaten Donggala, menunjukkan bahwa mereka yang tidak menggunakan
anti nyamuk berisiko terkena malaria 2,17 kali dibanding dengan orang yang menggunakan anti
nyamuk (Sulistyo, 2001)
C. CARA KERJA
1. Hidupkan mikroskop dan ambil sampel preparat malaria yang telah di sediakan.
2. Amati sampel preparat malaria.
35
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
PEMBAHSAN
Dari kedua sampel preparate malaria tipis dan tebal dapat di simpulkan bahwa keduanya positif
malaria.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan hasil pemeriksaan pada sampel yang
di periksa yakni positif terinfeksi malaria.
36
DAFTAR PUSTAKA
37
LAMPIRAN
Hasil Pengamatan
Mengamati Sampel di Mikroskop
38
PRAKTIKUM IV
A. TINJAUAN PUSTAKA
I. Pengertian salmonella
Salmonella adalah salah satu jenis bakteri penyebab penyakit yang terkait
dengan makanan. Penyakit infeksi salmonella, atau disebut salmonellosis,
membuat penderitanya mengalami gejala sakit perut, diare, demam, nyeri dan
kram di perut. Penyakit bawaan makanan (foodborne disease) atau infeksi
penyakit melalui makanan adalah suat gejala penyakit yang timbul akibat
makanan karena mikroorganisme masuk dan berkembang biak di dalam tubuh
melalui makanan (Nurul,2015).
39
Spesies Salmonella dapat dibagi kepada dua yakni spesies typhoidal dan
non typhoidal. Bagi kelompok typhoidal bisa menyebabkan demam tifoid dan
untuk spesies non typhoidal bisa menyebabkan diare atau disebut enterokolitis.
Spesies typhoidal adalah bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi
dan bakteri Salmonella enteriditis (Kuswiyanto, 2017)
40
Kelas : Scotobacteria
41
B. ALAT DAN BAHAN
a. Alat
1. Tabung reaksi
2. Rak tabung reaksi
3. Enlenmeyer
4. Gelas ukur
5. Batang pengaduk
6. Spatula
7. Beaker glass 100 ml
8. Cawan Arloji
9. Pipet ukur 5 ml
10. Sendok Reagen
11. Petridish
12. Bulb (karet penghisap)
13. Alumunium foil
14. Kapas
15. Mortal + Alu
16. Kompor listrik
17. Neraca digital
18. Bunsen (lampu spiritus) dan korek
19. Autoklaf
20. Inkubator
21. Jarum ose
22. Kapas
23. Tisu
24. Kertas buram
b. Bahan
1. Alkohol
2. Aquades
3. Ikan (sebagai sampel yang akan diuji)
4. Media LB (Lactose Broth)
5. Media TSIA (Triple Sugar Iron Agar)
42
6. Media SIM (Sulfide Indole Motility)
7. Media SSA (Salmonella Shigella Agar)
8. Media BSA ( Bismuth Sulfite Agar )
9. Media PCA (Plate Count Agar)
C. PROSEDUR KERJA
a. Hari Pertama
a. Pipet Ukur 5 ml
b. Mortal + Alu
c. Sendok Reagen
d. Cawan Arloji
Kemudian Oven dengan suhu 160°C dalam waktu 1 jam
2. Setelah itu ambil Aquades 45 ml untuk timbang LB (Lactose Broth)
13 𝑔𝑟𝑎𝑚
LB = x 45 ml aquades = 0,58 gram
1000
3. Setelah menimbang 0,58 gram LB, masukan LB ke dalam beker glass 100
ml lalu di aduk dengan menggunakan batang pengaduk
5. Setelah dipanaskan tutup beker glass yang berisi larutan LB dan Aquades
menggunakan Alumunium Foil
10. Campurkan sampel ikan basah yang sudah dihaluskan kedalam beaker
43
glass yang berisi media LB dan aquades, lalu diaduk menggunakan
batang pengaduk
11. Tutup beaker glass menggunakan alumunium foil
12. Setelah itu, masukkan ke dalam inkubator selama 1 x 24 jam dengan suhu
37°C
14. Siapkan media SSA, TSIA, dan SIM sebagai bahan untuk menguji
apakah sampel ikan basah mengandung salmonella atau tidak
15. Timbang SSA seberat 5 gram menggunakan neraca digital dan ambil 80
ml aquadesmenggunakan gelas ukur
16. Masukkan aquades ke dalam beaker glass
17. Panaskan aquades di kompor listrik, lalu campurkan dengan media SSA,
kemudian aduk menggunakan batang pengaduk
18. Setelah media SSA mendidih, masukkan media sebanyak 15 ml ke dalam
petridish
20. Panaskan jarum ose menggunakan bunsen agar steril lalu tempelkan
jarum ose dipinggir media LB agar tidak terlalu panas saat dimasukkan
ke media LB. Setelah jarum ose tidak terlalu panas masukkan jarum ose
ke media LB lalu buat goresan ke media SSA yang sudah menjadi agar
dengan membentuk zigzag
21. Bungkuslah petridish menggunakan kertas buram dan masukkan ke dalam
inkubator selama 1x 24 jam
22. Timbang BSA seberat 4,1 gram menggunakan neraca digital dan ambil 80
ml aquades menggunakan gelas ukur
23. Masukkan aquades ke dalam beaker glass
24. Panaskan aquades di kompor listrik, lalu campurkan dengan media BSA,
kemudianaduk menggunakan batang pengaduk
25. Setelah media BSA mendidih, masukkan media sebanyak 15 ml ke dalam
petridish
44
26. Diamkan larutan hingga berubah menjadi agar
27. Panaskan jarum ose menggunakan bunsen agar steril lalu tempelkan
jarum ose dipinggir media LB agar tidak terlalu panas saat dimasukkan
ke media LB. Setelah jarum ose tidak terlalu panas masukkan jarum ose
ke media LB lalu buat goresan ke media BSA yang sudah menjadi agar
dengan membentuk zigzag
28. Bungkuslah petridish menggunakan kertas buram dan masukkan ke dalam
inkubator selama 24 jam
29. Timbang TSIA seberat 3,25 gram menggunakan neraca digital dan ambil
50 ml aquades menggunakan gelas ukur
30. Masukkan aquades ke dalam beaker glass
31. Panaskan aquades di kompor listrik, lalu campurkan dengan media TSIA,
kemudian aduk menggunakan batang pengaduk.
32. Setelah media TSIA mendidih, masukkan larutan ke dalam 5 tabung
reaksi,masing-masing sebanyak 8 ml, lalu tutup mulut tabung reaksi
dengan kapas.
33. Masukkan tabung reaksi ke dalam autoklaf untuk disterilkan selama 15
menit
34. Setelah 15 menit, keluarkan tabung reaksi dari dalam autoklaf dan
dinginkan dengan posisi membentuk bidang miring
35. Diamkan larutan hingga menjadi agar
36. Panaskan jarum ose menggunakan bunsen agar steril lalu tempelkan
jarum ose dipinggir media LB agar tidak terlalu panas saat dimasukkan
ke media LB. Setelah jarum ose tidak terlalu panas masukkan jarum ose
ke media LB lalu buat goresan ke media TSIA yang sudah menjadi agar
menggunakan jarum ose dengan menusukkannya ke dalam media lalu
membentuk zigzag
37. Tutup mulut tabung reaksi dengan kapas dan masukkan ke dalam
inkubator selama24 jam
38. Timbang SIM seberat 1,2 gram menggunakan neraca digital dan ambil 40
ml aquades menggunakan gelas ukur
39. Masukkan aquades ke dalam beaker glass
45
40. Panaskan aquades di kompor listrik, lalu campurkan dengan SSA,
kemudian aduk menggunakan batang pengaduk.
41. Setelah media SIM mendidih, masukkan ke dalam 5 tabung reaksi,
masing-masingsebanyak 5 ml, lalu tutup mulut tabung reaksi dengan
kapas.
42. Masukkan tabung reaksi ke dalam autoklaf untuk disterilkan selama 15
menit
43. Setelah 15 menit, keluarkan tabung reaksi dari dalam autoklaf dan
dinginkan
45. Panaskan jarum ose menggunakan bunsen agar steril lalu tempelkan
jarum ose dipinggir media LB agar tidak terlalu panas saat dimasukkan
ke media LB. Setelah jarum ose tidak terlalu panas masukkan jarum ose
ke media LB lalu buat goresan ke media SIM yang sudah menjadi agar
menggunakan jarum ose dengan cara menusukkannya lurus ke dalam
tabung
46. Tutup mulut tabung reaksi dengan kapas dan masukkan ke dalam
inkubator selama 1 x 24 jam
b. Hari Kedua
Setelah 1 x 24 jam, keluarkan tabung reaksi dan petridish dari inkubator, lalu
amati apakah ada ciri-ciri adanya bakteri salmonella atau tidak
Pada media SSA ciri-ciri salmonella : koloni tidak berwarna, kecil-
kecil, keping, smooth, bulat
Pada media TSIA ciri-ciri salmonella : dasar tabung berwarna merah,
lereng tabung berwarna kuning, terdapat gas atau tidak
Pada media SIM ciri-ciri salmonella : terdapat gas atau tidak, indol,
motility(+) / aktif
Pada media BSA ciri-ciri salmonella : terdapat garis hitam pada media.
46
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Petridish 1 : ada
SSA ciri (Positif)
bakteri salmonella
Petridish 2 : ada
ciri (Positif)
bakteri salmonella
Petridish 3 : ada
ciri (Positif)
bakteri salmonella
Petridish Blanko :
tidakada ciri bakteri
salmonella
• Tabung 1 : Positif
BSA salmonela dengan
garis hitam
• Tabung 2 : Positif
salmonela dengan garis
hitam.
• Tabung 3 : Positif
salmonela garis
hitam
Tabung blanko :
Negatifwarna tetap.
47
Tabung 1 :
positif,warna
TSIA
kuning, serta merah
pada lereng.
Tabung 2 : positif,
warna merah di
lereng, dasar
berwarna kuningdan
terdapat gas
Tabung 3 :positif,
warna merah di
lereng, dasar
berwarna kuningdan
terdapat gas.
Tabung blanko
:negatif,warna
Tetap.
• Tabung 1 : Positif
SIM salmonela dasar
Medium itemdengan atas
kuning.
• Tabung 2 : Positif
salmonela dasar
itemdengan atas
kuning.
• Tabung 3 : Positif
salmonela dasar
itemdengan atas
kuning.
• Tabung blanko :
Negatifwarna tetap.
48
PEMBAHASAN
E. KESIMPULAN
49
DAFTAR PUSTAKA
50
LAMPIRAN
Didihkan BSA 4,1 gr Panaskan SSA 5 gr Masukan 5 ml SIM ke 4 Masukan TSIA 4ml ke4
dengan 80 ml dengan 80 ml tabung reaksi tabung reaksi
51
Masukan BSA 15 ml Tunggu menjadi agar. Masukan SSA 15 ml
ke Petridish Ke petridish Tunggu menjadi agar
52
PRAKTIKUM V
Judul : Pemeriksaan Parasit Telur dan Kutu Manusia serta Kutu Kucing
Hari/tanggal : Rabu, 29 Maret 2023
Waktu : 08.00 – 10.00 WIB
Tempat : Laboratorium Jurusan Sanitasi Lingkungan
Tujuan : Agar mahasiswa dapat mengetahui bentuk dan morfologi Telur dan Kutu manusia
serta Kutu Kucing
A. TINJAUAN PUSTAKA
Pinjal adalah jenis serangga yang masuk dalam ordo Siphonaptera yang secara morfologis
berbentuk pipih kesamping dibanding dengan kutu manusia (Anoplura) yang berbentuk pipih,
tetapi rata atau khas horizontal, yakni berbentuk pipih horisontal, tidak pemanah, tanpa mata
majemuk, memiliki doa oseli, antena pendek tetapi kuat, alat-alat mulut dimodifikasi dalam
bentuk menusuk dan menghisap, bagian luar tubuh memiliki struktur seperti sisir dan duri-duri,
bersifat ektoparasit pada hewan-hewan berdarah panas.
Pinjal mempunyai panjang 1,5 4,0 mm, yang jantan biasanya lebih kecil dari yang betina.
Pinjal merupakan salah satu parasit yang paling sering ditemui pada hewan kesayangan baik
anjing maupun kucing. Meskipun ukurannya kecil dan terkadang tidak disadari pemilik hewan
karena tidak menyebabkan gangguan kesehatan hewan yang serius, namun perlu diperhatikan
bahwa dalam jumlah besar kutu dapat mengakibatkan kerusakan kulit yang parah bahkan menjadi
pembawa pembawa penyakit tertentu.
Pinjal termasuk ordo Siphonaptera yang awalnya dikenal sebagai ordo Aphniptera. Terdapat
sekitar 3000 spesies pinjal yang masuk ke dalam 200 genus. Sekarang baru 200 spesies pinjal
yang telah diidentifikasi (Zentko, 1997). Seringkali orang tidak dapat membedakan antara kutu
dan pinjal. Pinjal juga merupakan serangga cktoparasit yang hidup pada permukaan tubuh
inangnya. Inangnya terutama hewan peliharaan seperti kucing, dan anjing, juga hewan peliharaan
lainnya seperti tikus, unggas bahkan kelelawardan hewan berkantung (Soviana dkk, 2003).
Gigitan pinjal ini dapat menimbulkan rasa gatal yang hebat kemudian berlanjut hingga menjadi
radang kulit yang disebut flea bites dermatitis. Selain akibat gigitannya, kotoran dan air liur pinjal
pun dapat berbahaya karena dapat menyebabkan radang kulit (Zentko, 1997).
Pinjal masuk ke dalam ordo Siphonaptera yang pada mulanya dikenal sebagai ordo
Aphniptera. Ordo Siphonaptera terdiri atas tiga super famili yaitu Pulicoidea. Copysyllodea dan
53
Ceratophylloidea. Ketiga super famili ini terbagi menjadi Sembilan famili yaitu Pulicidae,
Rophalopsyllidac, Hystrichopsyllidac Pyglopsyllidae, Stephanocircidae, Macropsyllidae,
Ischnopsyllidae dan Ceratophilllidae. Dari semua famili dalam ordo Siphonaptera paling penting
dalam bidang kesehatan hewan adalah famili Pulicidae (Susanti,2001).
Morfologi Kutu menurut Sen & Fetcher (1962) pinjal yang masuk ke dalam sub spesies C.
felis formatipica memiliki dahi yang memanjang dan meruncing di ujung depan. Pinjal betina
tidak memiliki rambut pendek di belakang antena lekuk. Kaki belakang dari sub spesies ini terdiri
dari enam ruas punggung dan manubriumnya tidak melebar di apikal, sedangkan pinjal yang
masuk ke dalam sun spesies C. felis formatipica memiliki dahi yang pendek dan melebar serta
membulat di depan. Pinjal pada sub spesies ini memiliki jajaran rambut satu sampai delapan yang
pendek di belakang lekuk anten. Kaki belakang dari pinjal ini terdiri atas tujuh ruas punggung dan
manubrium melebar di apikal.
Pinjal merupakan insekta yang tidak memiliki sayap dengan tubuh berbentuk pipih bilateral
dengan panjang 1,5-4,0 mm, yang Jantan biasanya lebih kecil dari yang betina. Kedua jenis
kelamin yang dewasa menghisap darah. Pinjal memiliki kritik yang tebal. Toraks ruas tiga dikenal
sebagai pronotum, mesonotum dan metanotum (metatoraks). Segmen yang terakhir tersebut
berkembang, baik untuk pendukung kaki belakang yang mendorong pinjal tersebut saat meloncat.
Di belakang pronotum pada beberapa jenis terdapat sebaris duri yang kuat berbentuk sisir, yaitu
ktenedium pronotal. Sedangkan tepat diatas alat mulut pada beberapa jenis terdapat sebaris duri
kuat berbentuk sisir lainnya, yaitu ktenedium genal. Duri-duri tersebut sangat berguna untuk
membedakan jenis pinjal. (Wezzer,1997)
Pinjal betina mempunyai sebuah spermateka seperti kantung dekat ujung posterior perut
sebagai tempat menyimpan sperma, dan yang jantan punya alat seperti per melengkung, yaitu
acdagus atau penis berkitin di lokasi yang sama. Kedua jenis kelamin mmiliki struktur seperti
jarum kasur yang terletak di sebelah dorsal, yaitu pigidium pada tergit yang kesembilan.
Fungsinya tidak diketahui, tetapi mungkin sebagai alat sensorik, mulut pinjal bertipe penghisap
dengan tiga diam penusuk (epifaring dan stilet maksila). Pinjal memiliki antena yang pendek,
terdiri atas tiga ruas yang tersembunyi ke dalam lekuk kepala (Susanti, 2001)
1. Kutu Manusia
Kutu kepala adalah sejenis parasit penghisap darah yang biasanya hidup di bagian
kepala. Kutu betina mampu bertelur enam buah sehari. Telur ini selalu melekat dengan kuat
pada rambut. Telur-telur ini akan menetas setelah kurang lebih 8 hari. Kutu rambut ini
sangat senang tinggal di rambut yang lembab. Kutu berkembang menjadi nimfa (bentuk kutu
54
yang belum matang). Nimfa menjadi kutu dewasa setelah 9-12 hari, lalu bertahan hidup
sebagai kutu dewasa dalam kurun waktu 3-4 minggu.
2. Kutu Kucing
Kutu kucing (Ctenocephalides felis) merupakan ektoparasit serta termasuk jenis kutu
hewan yang paling banyak ditemukan pada kucing. Kutu yang ada pada kucing ini bisa
datang dari mana saja, bukan hanya dari hewan lain saja, tetapi bisa datang dari manusia.
Kutu kucing betina dewasa akan bertelur setelah menghisap darah dari korbannya, dan
mereka juga akan meletakan telurnya pada korbannya.
3. Kutu beras
Kutu beras (Sitophilus oryzae L.) merupakan salah satu hama yang dapat menyerang
berbagai komoditas sereal maupun kacang-kacangan yang disimpan. Sitophilus oryzae dapat
menyerang tanaman seperti gandum (Fourar-Belaifa et al., 2011), jagung (Zunjare et al.,
2014), maupun beras (Zhou dan Wang, 2016). Kutu ini berkembang biak sangat cepat. Kutu
betina bertelur 2 sampai 6 butir, setiap hari. Telurnya sangat kecil, sehingga tidak bisa
dilihat tanpa kaca pembesar. Untuk menyimpan telur-telurnya, kutu betina melubangi bulir
beras dengan rahangnya yang kuat.
• Alat
55
3 Deck glass Deck glass adalah alat
laboratorium yang
digunakan untuk menutup
objek/preparat yang akan
diamati dan diletakkan pada
kaca objek sehingga tidak
terkontaminasi dengan
media luar.
Bahan
56
C. PROSEDUR PRAKTIKUM
1. Masukan pinjal pada wadah kemudian tutup dengan kapas yg telah di beri chloroform
2. Tunggu beberapa menit sampai pinjal tidak bergerak
3. Pindahkan pinjal yang telah pingsan menggunakan pinset ke objek glass lalu amati dan
identifikasi pinjal dengan mikroskop
4. Amati dan identifikasi pinjal tersebut
Mengidentifikasi Teridentifikasi
pinjal bahwa pinjal manusia
berjenis kelamin
betina
Teridentifikasi
bahwa pinjal kucing
berjenis kelamin
jantan
Teridentifikasi
bahwa pinjal beras
berjenis kelamin
jantan
57
Teridentifikasi
bahwa ini adalah
telur pinjal manusia
PEMBAHASAN
1. Pinjal merupakan serangga kecil dan lincah yang hidup dengan memakan darah hewan lain. Jika
sudah berada di dalam rumah, serangga ini bisa tinggal di karpet dan menempel pada hewan
peliharaan.
2. Pinjal merupakan insekta yang tidak memiliki sayap dengan tubuh berbentuk pipih bilateral
dengan panjang 1,5-4,0 mm
3. Pinjal manusia betina memiliki bentuk alat kelamin seperti huruf V terbalik/ huruf W.
4. Pinjal kucing jantan di ruas ke-9 terdapat sepasang oragn clasper (alat kelamin pada jantan) yang
sedikit meruncing dan ujungnya dapat digerakkan.
5. Pinjal beras jantan pada ujung abdomennya berbentuk meruncing.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan Praktikum di kutu, kami dapat mengetahui jenis kutu jantan dan betina
58
DAFTAR PUSTAKA
59
LAMPIRAN
PRAKTIKUM VI
60
Judul : Pemeriksaan Cacing pada Feces Balita
Hari/tanggal : Selasa, 4 April 2023
Waktu : 10.00 – 12.00 WIB
Tempat : Laboratorium Jurusan Sanitasi Lingkungan
Tujuan : Agar mahasiswa dapat mengetahui bentuk cacing kremi pada faces balita
A. TINJAUAN PUSTAKA
Cacing kremi yang dalam bahasa ilmiah biasa disebut dengan Enterobius Vermicularis
adalah cacing yang yang panjangnya sekitar 1 cm berwarna putih, sangat halus dan bentuknya
seperti benang. Cacing ini dapat bertelur tepat di luar anus (Lubang pantat) dan menimbulkan rasa
gatal terutama pada malam hari (Warner dkk, 2010).
Enterobiasis atau penyakit cacing kremi merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Enterobius vermicularis yang ditemukan kosmopolit dan tersebar luas di seluruh dunia baik di
negara maju maupun negara berkembang. Cacing Enterobius vermicularis ini tidak hanya tersebar
pada daerah yang memiliki iklim tropis saja melainkan juga terdapat pada daerah yang beriklim
dingin (Hadhijaj, 2011).
Infeksi cacing kremi atau cacing Enterobius vermicularis pada anak usia sekolah memberi
efek yang buruk dalam pertumbuhan fisik anak dan mempengaruhi prestasi belajar sekolah anak
terutama pada anak-anak kelas pertama sekolah dasar (Celizsoz, dkk, 2010). Nama umum yang
dipakai untuk cacing ini ada banyak, seperti Enterobius vermicularis, Pinworm, Buttworm,
Seatworm, Threadworm, dan dalam bahasa Indonesia disebut Cacing Kremi. Kemudian penyakit
yang ditimbulkannya disebut Oxyuriasis atau Enterobiasis (Bernadus, 2007). \
Phylum : Nematoda
Class : Cecernentea
Sub class : Rhabditia
Order : Rhabditida
Sub order : Rhabditina
Super family : Oxyuroidea
Family : Oxyuridae
Genus : Oxyuris atau Enterobius
Spesies : Oxyuris vermicularis atau Enterobius vermicularis
(Gandahusada dkk, 2000)
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Enterobius vermicularis dan tidak
diperlukan hospes perantara. Cacing betina dewasa yang telah dibuahi akan mulai bermigrasi ke
61
anus untuk bertelur. Telur yang dihasilkan oleh cacing betina desawa per hari sekitar 11.000 butir
yang diletakkan di daerah perianal. Telur tersebut akan menjadi infeksius setelah berumur 6 jam.
Telur yang infeksius ini biasanya mengandung protein yang mudah mengiritasi dan mudah
lengket baik pada rambut, kulit atau pakaian. Telur akan tinggal disitu sampai 26 minggu
(Bernadus, 2007).
Cacing-cacing ini bertelur di daerah perinium dengan cara kontraksi uterus, kemudian telur
melekat didaerah tersebut. Telur dapat menjadi larva infektif pada tempat tersebut, terutama pada
temperatur optimal 23-26 ºC dalam waktu 6 jam (Soedarto, 1997). Waktu yang diperlukan untuk
daur hidupnya, mulai dari tertelan telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang
bermigrasi ke daerah perianal, berlangsung kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan. Mungkin daurnya
hanya berlangsung kira-kira 1 bulan karena telur-telur cacing dapat ditemukan kembali pada anus
paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan (Gandahusada, 2006).
Pada cacing Enterobius vermicularis ini tidak dikenal adanya reservoir host, jadi anjing
dan kucing bukan merupakan ancaman dalam hal penularan penyakit infeksi akibat cacing
Enterobius vermicularis ini. Penularan biasanya dari tangan ke mulut atau melalui makanan,
minuman dan debu (Bernardus, 2007).
Cara penularannya Dapat melalui tiga jalan :
1. Penularan dari tangan ke mulut penderita sendiri (auto infection) atau pada orang lain. Kalau
anak menggaruknya, telur-telur itu akan melekat di bawah kuku jari tangan dan akan terbawa
ke makanan serta benda-benda lain. Dengan cara ini, telur-telur cacing tersebut masuk ke
mulut anak itu sendiri atau mulut anak lain. Dengan demikian, terjadilah penularan cacing
kremi (Enterobius vermicularis).
2. Melalui pernafasan dengan menghisap udara yang tercemar telur yang infektif.
3. Penularan secara retroinfeksi yaitu penularan yang terjadi pada penderita itu sendiri, oleh
karena larva yang menetas di daerah perianal mengadakan migrasi kembali ke usus penderita
dan tumbuh menjadi cacing dewasa
(Warner dkk, 2010).
62
NO NAMA GAMBAR KETERANGAN
1 Gelas Beker Gelas beker adalah sebuah wadah
penampung yang digunakan untuk
mengaduk, mencampur, dan
memanaskan cairan yang biasanya
digunakan dalam laboratorium.
4 Mikroskop
Binokuler Mikroskop Binokuler adalah alat
yang digunakan untuk meneliti
benda-benda kecil yang tak kasat
mata atau transparan. Mikroskop
binokuler digolongkan ke dalam
kelompok mikroskop cahaya, karena
memiliki lensa okuler dan lensa
objektif.
63
5 Pipet Tetes Pipet Pasteur atau pipet tetes
merupakan jenis pipet yang
digunakan untuk memindahkan
larutan dari suatu wadah ke wadah
lain dengan jumlah yang sangat
sedikit dan dengan tingkat ketelitian
pengukuran volume yang sangat
rendah. Umumnya pipet tetes
digunakan untuk memindahkan
cairan dari suatu wadah ke wadah
yang lain.
Bahan
64
3 Aquades Akuades merupakan air hasil
100 ml penyulingan yang bebas dari
zat-zat pengotor sehingga
bersifat murni dalam
laboratorium. Akuades
berwarna bening, tidak
berbau, dan tidak memiliki
rasa. Akuades biasa
digunakan untuk
membersihkan alat- alat
laboratorium dari zat
pengotor.
C. PROSEDUR PRAKTIKUM
1. Pertama campurkan NaCl 3.301,9 mg di campurkan dengan Aquades sebanyak 100 ml ke
dalam Gelas Beker
2. Kemudian Ambil kira-kira 20 g Feces Balita dan masukan ke dalam Gelas berker yang berisi
larutan NaCl + Aquades
3. Tunggu 5-10 menit sampai Feces mengendap
4. Kemudian ambil cairan yang tersaring dengan pipet tetes
5. Lalu taruh cairan yang di pipet tadi ke atas objek glass dan tutup dengan deck glass
6. Selanjutnya amati dan identifikasi Feces tersebut di Mikroskop Finokuler
65
PEMBAHASAN
Adapun kesimpulan pada praktikum ini diantaranya sebagai berikut:
1. Feces Balita merupakan asil dari proses pembuangan kotoran yang dapat terjadi pada balita,
umumnya, feses bayi yang normal berwarna hijau kehitaman, hijau kecoklatan, dan kuning
emas.
2. Pada pemeriksaan feces balita, terdapat Cacing kremi yang dalam bahasa ilmiah biasa disebut
dengan Enterobius vermicularis adalah cacing yang yang panjangnya sekitar 1 cm berwarna
putih, sangat halus dan bentuknya seperti benang.
3. Cacing kremi (Enterobius vermicularis) dewasa berukuran kecil, berwarna putih. Ukuran
cacing betina jauh lebih besar daripada cacing jantan. Cacing betina berukuran 813 mm x
0,30,5 mm.
4. Cacing ini dapat bertelur tepat di luar anus (Lubang pantat) dan menimbulkan rasa gatal
terutama pada malam hari
E. KESIMPULAN
Berdasarkan Praktikum di feces balita, kami dapat mengetahui feces yang terdapat cacingnya
66
DAFTAR PUSTAKA
67
LAMPIRAN
Pipet cairan , kemudian taruh objek glass dan Identifikasi faces dengan mikroskop
tutup dengan deck glass
68