Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN PRAKTIKUM

MATA KULIAH
PANGAN FUNGSIONAL
SEMESTER GENAP 2021/2022

Disusun oleh:
Kelompok 4
RIFANTY PODESTA 26060119120002
ERMAWATI LESTARI 26060119120004
MITA DIANA SILSILIA 26060119120018
AKMAL GHAZA SAPUTRA 26060119130059

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS DIPONEGORO
2022
MODUL PRAKTIKUM

MATA KULIAH

PANGAN FUNGSIONAL
SEMESTER GENAP 2021/2022

Disusun oleh:
Prof. Dr. Ir. Tri Winarni Agustini, M.Sc. (19650821 199001 2 001)
Eko Susanto, S.Pi., M.Sc., Ph.d (19820913 200604 1 003)

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS DIPONEGORO
2022
Tim Praktikum

Mata Kuliah Pangan FungsionalTahun 2022

Koordinator Mata Kuliah : Eko Susanto, S.Pi, M.Sc., Ph.D

Anggota : Prof. Dr. Ir. Tri Winarni Agustini, M.Sc

Asisten Praktikum : Assegaf Gheri Beldi

Bhanu Baswara

Erena Nabila Zahra

Putri Auliani
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Resmi Praktikum Pangan Fungsional ini telah disetujui dan

disahkan pada:

Hari :

Tanggal :

Tempat :

Menyetujui,

Koordinator Asisten Asisten Pendamping

Bhanu Baswara Putri Auliani


NIM. 26060118130056 NIM. 26060118140047

Mengetahui,

Koordinator Mata Kuliah Koordinator Praktikum

Eko Susanto, S.Pi., M.Sc., Ph.D Eko Susanto, S.Pi., M.Sc., Ph.D
NIP. 19820913 200604 1 003 NIP. 19820913 200604 1 003

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan Praktikum Pangan Fungsional ini. Laporan ini dibuat untuk memudahkan
pemahaman mahasiswa dalam mengikuti praktikum pada Mata Kuliah Pangan
fungsional.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan penyusunan Laporan Praktikum


Pangan Fungsional ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Eko Susanto, S.Pi., M.Sc., Ph. D selaku koordinator mata kuliah Pangan
Fungsional;
2. Prof Dr. Ir. Tri Winarni Agustini, M.Sc. dan Bapak Eko Susanto, S.Pi., M.Sc.,
Ph.D selaku dosen pengampu mata kuliah Pangan Fungsional; dan
3. Tim Asisten Praktikum Mata Kuliah Pangan Fungsional dan semua pihak yang
telah membantu dalam pelaksanaan praktikum dan penyusunan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Laporan Praktikum Mata Kuliah
Pangan Fungsional ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan laporan ini.
Penulis berharap semoga laporan ini dapat berguna dan bermanfaat dalam menambah
pengetahuan bagi penulis pada khususnya dan pembaca padaumumnya.

Semarang, Mei 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... ii

KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv

MODUL I : METODE EKSTRAKSI BAHAN


TOPIK I : METODE EKSTRAKSI BAHAN
Pengantar Teori Praktikum ................................................................................. 1
Pelaksanaan Praktikum ....................................................................................... 2
Hasil dan Pembahasan ......................................................................................... 4
Kesimpulan dan Saran ......................................................................................... 8

MODUL I : METODE EKSTRAKSI BAHAN


TOPIK II : EKSTRAKSI HIJAU (GREEN EXTRACTION)
Pengantar Teori Praktikum ................................................................................. 9
Pelaksanaan Praktikum ....................................................................................... 10
Hasil dan Pembahasan ......................................................................................... 10
Kesimpulan dan Saran ......................................................................................... 14

MODUL II : IDENTIFIKASI SENYAWA FUNGSIONAL


TOPIK I : ANALISIS SENYAWA FUNGSIONAL DENGAN
HIGH PERFOMANCE LIDUID CHROMATOGRAPHY
Pengantar Teori Praktikum ................................................................................. 15
Pelaksanaan Praktikum ....................................................................................... 16
Hasil dan Pembahasan ......................................................................................... 16
Kesimpulan dan Saran ......................................................................................... 20

MODUL II : IDENTIFIKASI SENYAWA FUNGSIONAL


TOPIK II : ANALISIS SENYAWA FUNGIONAL DENGAN
GAS CHROMATOGRAPHY
Pengantar Teori Praktikum ................................................................................. 21
Pelaksanaan Praktikum ....................................................................................... 22
Hasil dan Pembahasan ......................................................................................... 23
Kesimpulan dan Saran ......................................................................................... 27

MODUL III : PENGUJIAN AKTIVITAS SENYAWA FUNGSIONAL


TOPIK I : ANALISIS TOTAL FENOL
Pengantar Teori Praktikum ................................................................................. 28
Pelaksanaan Praktikum ....................................................................................... 28
Hasil dan Pembahasan ......................................................................................... 29
Kesimpulan dan Saran ......................................................................................... 33

iv
MODUL III : PENGUJIAN AKTIVITAS SENYAWA FUNGSIONAL
TOPIK II : ANALISIS AKTIVITAS AKTIOKSIDAN METODE
DPPH RADIKAL SCAVENGING
Pengantar Teori Praktikum ............................................................................. 34
Pelaksanaan Praktikum ................................................................................... 35
Hasil dan Pembahasan ..................................................................................... 35
Kesimpulan dan Saran ..................................................................................... 39

MODUL IV : PENGUJIAN SENYAWA FUNGSIONAL


TOPIK I : TEKNIK IN VITRO (KULTUR SEL)
Pengantar Teori Praktikum ............................................................................. 40
Pelaksanaan Praktikum ................................................................................... 40
Hasil dan Pembahasan ..................................................................................... 41
Kesimpulan dan Saran ..................................................................................... 44

MODUL IV : PENGUJIAN SENYAWA FUNGIONAL


TOPIK II : UJI IN VIVO
Pengantar Teori Praktikum ............................................................................. 45
Pelaksanaan Praktikum ................................................................................... 45
Hasil dan Pembahasan ..................................................................................... 46
Kesimpulan dan Saran ..................................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 50

v
GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PRAKTIKUM

Mata Kuliah : Pangan Fungsional


Kode MK/SKS/Semester : IHP21338
Tim Pengampu : Prof. Ir. Tri Winarni Agustini, M.Sc., Ph.D
Waktu dan tempat Praktikum : Laboratorium Analisa Mutu Hasil Perikanan
Deskripsi Singkat Mata Kuliah : Pangan fungsional mencakup penjelasan tentang definisi,
sejarah dan karakteristik pangan fungsional, perkembangan
dan peraturan pangan fungsional, sumber, jenis, dan
aktivitas senyawa fungsional dari hasil perikanan, analisa
dan pengujian aktivitas senyawa fungsional,
pengembangan pangan fungsional berbasis bakteri,
enzyme, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral,
serat, antioksidan dan phytokimia dari organisme hasil
perikanan, efek berbagai pengolahan terhadap aktivitas dan
stabilitas senyawa fungsional, teknologi formulasi,
pengolahan dan pemasaran pangan fungsional.
Standar Kompetensi : Setelah mengambil mata kuliah ini, diharapkan mahasiswa
dapat menjelaskan definisi, sejarah dan karakteristik
pangan fungsional, perkembangan dan peraturan pangan
fungsional, sumber, jenis, dan aktivitas senyawa fungsional
dari hasil perikanan, analisa dan pengujian aktivitas
senyawa fungsional serta dapat mempraktekkan cara
menformulasi dan menguji pangan fungsional dengan
benar.
Indikator Kinerja Praktikum : Setelah menyelesaikan praktikum ini mahasiswa mampu :
1. Melakukan ekstraksi senyawa fungsional
2. Melakukan identifikasi senyawa fungsional
3. Melakukan pengujian aktivitas antioksidan senyawa
fungsional
4. Melakukan pengujian senyawa fungsional dengan
teknik in vitro
5. Melakukan pengujian senyawa fungsional dengan
teknik in vivo
MODUL I : METODE EKSTRAKSI BAHAN
TOPIK I. METODE EKSTRAKSI BAHAN

Pengantar Teori Praktikum


Ekstraksi adalah jenis pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan atau
cairan. Proses ekstrasi bermula dari penggumpalan ekstrak dengan pelarut kemudian
terjadi kontak antara bahan dan pelarut sehingga pada bidang antar muka bahan yang
diekstrak dan pelarut terjadi pengendapan masa secara difusi. Pemilihan metode ekstraksi
tergantung pada sifat bahan dan senyawa yang akan diekstrak.
1. Maserasi
Maserai merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan. Metode ini
dilakukan dengan memasukkan bahan yang akan diekstrak dalam bentuk kering ke
dalam wadah inert yang tertutup rapat pada suhu ruang. Proses ekstraksi dihentikan
Ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dan
konsentrasi bahan yang diekstrak. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari
sampel dengan penyaringan. Kelebihan dari metode ini adalah dapat menghindari
kerusakan senyawa-senyawa yang tidak stabil terhadap panas, sedangkan
kelemahannya adalah metode ini membutuhkan waktu yang lama, pelarut yang
banyak, dan besar kemungkinan beberapa senyawa hilang serta terdapat beberapa
senyawa yang tidak dapat terekstrak pada suhu ruang.
2. Ultrasonikasi
Ultrasonikasi adalah metode maserasi yang dimodifikasi dengan menggunakan
bantuan ultrasound (sinyal dengan frekuensi 20 kHz). metode ini dilakukan dengan
mengisi wadah dengan sampel serbuk dan ditempatkan pada ultrasonik dan
ultrasound. Hal ini dilakukan untuk memberikan tekanan pada sel hingga
menghasilkan rongga pada sampel. Kerusakan sel dapat menyebabkan peningkatan
kelarutan senyawa dalam pelarut dan meningkatkan hasil ekstraksi.
3. Sokhletasi
Metode ini dilakukan dengan menempatkan serbuk sampel dalam kertas saring dalam
slonsong yang ditempatkan di atas labu dan di bawah kondensor (sochlet apparatus).
Pelarut yang sesuai dimasukkan ke dalam labu dan suhu penangas diatur di bawah
suhu reflux. Kelebihan dari metode ini adalah proses ekstraksi dapat berlangsung

1
2

kontinyu, sampel terekstraksi oleh pelarut murni hasil kondensasi sehingga tidak
menumbuhkan banyak pelarut dan waktu yang lama. Kelemahan metode ini adalah
senyawa yang bersifat rusak terhadap suhu tinggi dapat terdegradasi karena ekstrak
yang diperoleh terus-menerus berada pada suhu titik didih pelarut.
(Mukhriani, 2014)

Pelaksanaan Praktikum
MASERASI
Bahan :
⚫ Simplisia daun sirih
⚫ Etanol 96%
Alat :
⚫ Toples kaca beserta tutupnya
⚫ Pengaduk
⚫ Corong pemisah
⚫ Kertas saring
Cara kerja :
⚫ Bahan atau sampel yang akan diekstrak dilakukan pengecilan ukuran dan diayak
sehingga diperoleh sampel bubuk dengan ukuran yang seragam.
⚫ Sampel dimasukkan ke dalam toples kaca, kemudian ditambahkan pelarut etanol
96% dengan perbandingan sampel dan pelarut 1:10, kemudian diaduk.
⚫ Campuran sampel dan pelarut kemudian disimpan pada suhu ruang dalam ruang
gelap selama 72 jam dan dilakukan pengadukan setiap 24 jam.
⚫ Maserat kemudian dipisahkan dari ampas dengan penyaringan menggunakan kertas
saring.
⚫ Hasil ekstrak kemudian disimpan pada botol kaca dilapisi alumunium foil dan
disimpan pada suhu ±5°C untuk dilakukan proses selanjutnya (penghilangan pelarut
dengan rotary evaporator).
Link video : https://www.youtube.com/watch?v=CxtcDNx31Tc&t=146s

ULTRASONIKASI
Bahan :
3

⚫ Rumput laut segar beku


⚫ Etanol 95%
Alat :
⚫ Erlenmeyer
⚫ Timbangan analitik
⚫ Gelas ukur
⚫ Alumunium foil
Cara kerja :
⚫ Bahan atau sampel yang akan diekstrak dilakukan pengecilan ukuran dan diayak
sehingga diperoleh sampel bubuk dengan ukuran yang seragam.
⚫ Sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan pelarut etanol
96% dengan perbandingan sampel dan pelarut 1:25 kemudian erlenmeyer ditutup
dengan alumunium foil.
⚫ Campuran sampel dan pelarut kemudian diletakkan pada alat ultrasonik atau
sonikator dan diatur suhu 40°C selama 10 menit.
⚫ Ekstrak yang diperoleh kemudian disimpan pada botol kaca dilapisi alumunium foil
dan disimpan pada suhu ±5°C untuk dilakukan proses selanjutnya (penghilangan
pelarut dengan rotary evaporator).
Link video : https://www.youtube.com/watch?v=lxM-gb4v52E&t=90s

SOKHLETASI
Bahan :
⚫ Simplisia kayu manis
⚫ Etanol 96%
Alat :
⚫ Seperangkat peralatan sokhlet
⚫ Pendingin balik
⚫ Kertas saring
⚫ Benang nilon
Cara kerja :
⚫ Bahan atau sampel yang akan diekstrak dilakukan pengecilan ukuran dan diayak
sehingga diperoleh sampel bubuk dengan ukuran yang seragam.
4

⚫ Sampel dimasukkan ke dalam selongsong yang dibuat dari kertas saring. Selongsong
yang telah diisi sampel, kemudian dimasukkan ke dalam tabung sokhlet, kemudian
ditambahkan pelarut etanol 96% sebanyak sepertiga volume labu alas bulat yang
digunakan.
⚫ Proses ekstraksi dilakukan dengan sirkulasi pelarut dalam tabung sokhlet.
⚫ Ekstraksi dihentikan apabila pelarut yang bersentuhan dengan sampel telah berwarna
bening.
⚫ Hasil ekstrak kemudian disimpan pada botol kaca dilapisi alumunium foil dan
disimpan pada suhu ±5°C untuk dilakukan proses selanjutnya (penghilangan pelarut
dengan rotary evaporator).
Link video : https://www.youtube.com/watch?v=_kRwTXeU0Tw

Hasil dan Pembahasan


Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan
sifat tertentu, terutama kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda.
Pada umumnya ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut yang didasarkan pada
kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam campuran, biasanya air dan yang
lainnya pelarut organik. Bahan yang akan diekstrak biasanya berupa bahan kering yang
telah dihancurkan, biasanya berbentuk bubuk atau simplisia. Ekstraksi sendiri memiliki
tujuan untuk melarutkan senyawa-senyawa yang terdapat dalam jaringan tanaman ke
dalam pelarut yang dipakai untuk proses ekstraksi tersebut. Tidak hanya itu, ekstraksi
juga bertujuan untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat dalam simplisia.
Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut
dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke
dalam pelarut. Menurut Wardani et al. (2019), ekstraksi menggunakan pelarut
merupakan salah satu cara untuk menarik bahan aktif suatu ekstrak. Keberhasilan proses
ekstraksi sangat erat kaitannya dengan rendemen, kualitas dan kandungan senyawa aktif
yang dihasilkan. Proses ekstraksi bertujuan untuk menarik komponen kimia yang
terkandung dalam simplisia.
Pemilihan jenis pelarut merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses
ekstraksi. Jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi dapat mempengaruhi jenis
komponen bahan aktif yang terekstrak serta mempengaruhi kecepatan ekstraksi. Jenis
5

pelarut juga mempengaruhi jumlah zat terlarut, hal ini dikarenakan masing-masing
pelarut mempunyai selektivitas yang berbeda untuk melarutkan komponen aktif dalam
bahan. Pelarut yang baik adalah pelarut dengan daya larut dan selektivitas tinggi. Pelarut
yang dipilih harus bersifat inert terhadap bahan, sehingga tidak bereaksi dengan
komponen yang akan diekstrak, selain itu pelarut yang baik memiliki titik didih rendah,
sehingga dalam proses ekstraksi tidak perlu menggunakan suhu tinggi untuk proses
penguapan agar ekstrak yang didapat tidak rusak. Menurut Ariyani et al. (2017), pelarut
yang baik adalah pelarut yang tidak merusak residu, harganya relatif murah, memiliki
titik didih rendah, murni dan tidak berbahaya. Suatu zat dapat larut dalam pelarut jika
mempunyai nilai polaritas yang sama, seperti zat polar dengan pelarut polar atau zat non
polar dengan pelarut non polar. Perbandingan antara massa pelarut dan massa padatan
yang akan diekstrak harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil ekstraksi yang terbaik.
Efektifitas ekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang
mempengaruhi yaitu perlakuan pendahuluan, temperatur, pengadukan, dan pemilihan
pelarut. Perlakuan pendahuluan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap rendemen
dan mutu ekstrak yang dihasilkan. Perlakuan pendahuluan ini meliputi terjadinya
pengecilan ukuran dan pegeringan bahan. Semakin kecil ukuran partikel bahan, maka
semakin besar luas kontak antara padatan dengan pelarut, tahanan menjadi semakin
berkurang dan lintasan kapiler dalam padatan menjadi semakin pendek, laju difusi
berbanding lurus dengan luas permukaan padatan dan berbanding terbalik dengan
ketebalan padatan. Hal ini menyebabkan proses ekstraksi menjadi lebih cepat dan
optimal. Faktor berikutnya yaitu pengadukan. Pengadukan dapat mempercepat pelarutan
dan meningkatkan laju difusi solute. Pergerakan pelarut di sekitar bahan baku akibat
pengadukan dapat mempercepat kontak bahan dengan pelarut dan memindahkan
komponen dari permukaan bahan ke dalam larutan dengan jalan membentuk suspensi
serta melarutkan komponen ke dalam media pelarut. Faktor selanjutnya yaitu
temperature. Suhu yang digunakan dalam proses ekstraksi harus sesuai, jika tidak sesuai
akan menyebabkan bahan baku akan menghancurkan senyawa Kelarutan bahan yang
diekstraksi dan difusivitas akan meningkat dengan meningkatnya temperatur. Namun
temperatur yang terlalu tinggi dapat merusak bahan yang diekstrak, sehingga perlu
menentukan temperatur optimum. Terakhir yaitu pemilihan pelarut, berbagai syarat
pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi yaitu memiliki daya larut dan selektivitas
6

terhadap solute yang tinggi. Reaktivitas pelarut tidak menyebabkan perubahan secara
kimia pada komponen bahan ekstraksi. Pelarut harus mampu melarutkan komponen yang
diinginkan sebanyak mungkin dan sesedikit mungkin melarutkan bahan pengotor. Pelarut
bersifat inert terhadap bahan baku, sehingga tidak bereaksi dengan komponen yang akan
diekstrak. Menurut Aziz et al. (2018), suhu ekstraksi yang tinggi menyebabkan
peningkatan energi kinetik larutan sehingga difusi pelarut ke dalam sel jaringan semakin
meningkat. Kenaikan suhu akan meningkatkan kelarutan sehingga menghasilkan laju
ekstraksi yang tinggi, secara umum suhu ekstraksi untuk ekstraksi pektin adalah antara
60 -90. Suhu yang semakin tinggi menyebabkan ion hidrogen yang dihasilkan akan
mensubtitusi kalsium dan magnesium dari protopektin semakin banyak, sehingga
protopektin yang terhidrolisis menghasilkan pektin juga semakin banyak.
Proses maserasi dilakukan dengan cara merendam bahan simplisia ke dalam
wadah, ditutup rapat, disimpan terlindung dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang
dikatalisis oleh cahaya atau perubahan warna yang disebabkan oleh cahaya) dan isinya
diaduk berulang-ulang selama 3 hari atau lebih. Pengadukan diulang kira-kira tiga kali
sehari. Pengocokan ini bertujuan untuk mempercepat suatu keseimbangan konsentrasi
bahan ekstrak ke dalam cairan penyari. Saat diam, maserasi menyebabkan turunnya
perpindahan zat aktif. Setelah maserasi, rendemen diperas dengan kain pemeras,
kemudian ampasnya dicuci dengan bahan pengekstrak. Pencucian ini dilakukan untuk
memperoleh sisa-sisa zat aktif yang belum sempat terekstrak selama proses ekstraksi
Proses ekstraksi dengan metode maserasi dilakukan dengan menyimpan toples di tempat
yang gelap bertujuan untuk mengurangi resiko terjadinya reaksi antara bahan di dalam
toples dengan sinar matahari. Menurut Azizah et al. (2020), proses maserasi ini dilakukan
dengan menggunakan botol kaca berwarna gelap dan ditempat yang terlindung cahaya.
Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya penguraian struktur zat aktif terutama
untuk senyawa yang kurang stabil terhadap cahaya.
Prinsip kerja metode sokhletasi yaitu penyaringan suatu komponen yang terdapat
dalam zat padat dengan cara berulang menggunakan pelarut tertentu, sehingga semua
komponen yang diinginkan akan terisolasi. Keuntungan dari penyaringan secara berulang
ini yaitu didapatkan hasil yang sempurna serta pelarut yang digunakan relatif sedikit.
Pelarut akan diuapkan kembali apabila penyaringan telah selesai, sedangkan sisanya
merupakan zat yang terekstrak. Pelarut yang digunakan dalam metode ini adalah jenis
7

pelarut yang mudah menguap dan dapat melarutkan senyawa organik yang terdapat pada
bahan, tetapi tidak melarutkan zat padat yang tidak diinginkan. Proses yang terjadi dalam
ekstraksi sokhletasi yaitu ketika pelarut dididihkan, uapnya naik melewati soklet menuju
ke pipa pendingin. Menurut Anam et al. (2014), saat pelarut dimasukkan ke dalam alat
soklet dan mulai dilakukan pemanasan maka pelarut akan menguap ke atas. Adanya
perlakuan pemanasan tersebut akan meningkatkan kemampuan pelarut untuk
mengekstraksi senyawa-senyawa yang tidak larut di dalam kondisi suhu kamar. Uap
pelarut saat sampai ruang pendingin maka pelarut tersebut akan menjadi cair dan menetes
ke biomassa serbuk yang berada dibawahnya. Proses tersebut sesuai dengan prinsip
metode sokletasi, yaitu penyaringan berulang-ulang sehingga senyawa bioaktif pada
biomassa akan terlarut secara sempurna.
Terdapat 3 metode ekstraksi, yaitu maserasi, ultrasonikasi dan sokhletasi. 3
metode ekstraksi tersebut memiliki kelebihan serta kelemahan. Metode maserasi tidak
memerlukan pemanasan dengan suhu yang tinggi, akan tetapi membutuhkan waktu yang
cukup lama. Metode ini juga dapat mencegah rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat
termolabil. Keuntungan perpindahan keseimbangan transfer dengan berulang kali
membawa pelarut segar kontak langsung dengan matriks padat, selain itu
mempertahankan suhu ekstraksi yang relatif tinggi dengan panas dari termos distilas.
Kelemahan dari metode sokhletasi yaitu waktu ekstraksi yang panjang, menggunakan
pelarut dalam jumlah banyak. Keuntungan metode ultrasonikasi adalah dapat
meningkatkan hasil ekstraksi, waktu ekstraksi yang singkat, menggunakan suhu rendah,
dan volume pelarut yang sedikit. Kekurangan metode ultrasonikasi yakni membutuhkan
energi dan biaya yang besar. Metode yang paling efektif untuk digunakan yaitu metode
ultrasonikasi karena memiliki efektivitas yang tinggi, yang dilihat dari lama waktu
ekstraksi dan rendemen yang dihasilkan pada masing-masing bahan. Sehingga efisiensi
pelarut dapat dimaksimalkan dan efektifitas proses ekstraksi menjadi lebih maksimal
karena waktu ekstraksi yang singkat. Menurut Rifkia dan Prabowo (2020), metode
ekstraksi dengan menggunakan ultrasonic memiliki efisiensi waktu hampir 50%
dibandingkan dengan metode konvensional seperti metode soxhlet. Penggunaan metode
ultrasonic bath dapat membuat senyawa flavonoid yang terekstrak semakin meningkat.
Hal ini karena semakin lama waktu ekstraksi maka kontak antara bahan dan pelarut akan
lebih lama sehingga senyawa flavonoid yang dihasilkan semakin meningkat.
8

Kesimpulan dan Saran


A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari praktikum Pangan Fungsional Modul 1
Metode Ekstraksi Bahan adalah sebagai berikut :
1. Proses ekstraksi bahan dapat dilakukan dengan berbagai metode antara lain metode
maserasi, ultrasonikasi, dan sokhletasi. Metode-metode ini memiliki prinsip kerja
masing-masing. Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling sederhana dan
paling banyak digunakan. Prinsip kerja metode maserasi adalah proses melarutnya
zat aditif beradasarkan sifat kelarutannya dalam satu pelarut serta proses tercapainya
kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam perlaut dan konsentrasi bahan
yang diekstrak. Ultrasonikasi merupakan metode maserasi yang sudah termodifikasi
menggunakan bantuan ultrasound. Metode ultrasonikasi memiliki prinsip kerja yakni
dengan memproduksi gelembung yang akan menghasilkan energi kavitasi ketika
pecah. Terakhir yaitu prinsip kerja metode sokhletasi adalah penyaringan suatu
komponen yang terdapat dalam zat padat dengan cara berulang-ulang menggunakan
pelarut tertentu, sehingga semua komponen yang diinginkan akan terisolasi.
2. Metode ultrasonikasi merupakan metode ekstraksi yang terbaik. Hal ini dapat dilihat
dari kelebihan metode ultrasonikasi yakni dapat meningkatkan hasil ekstraksi, waktu
ekstraksi yang singkat, menggunakan suhu rendah, dan volume pelarut yang sedikit.
Tidak hanya itu, metode ini juga memiliki nilai efektivitas yang tinggi sehingga
efisiensi pelarut dapat dimaksimalkan serta proses ekstraksi pun menjadi efektif
karena waktu yang butuhkan lebih singkat.

B. Saran
Saran yang dapat diberikan dari praktikum Pangan Fungsional Modul 1 Metode
Ekstraksi Bahan adalah sebagai berikut :
1. Sebaiknya dalam proses ekstraksi bahan harus memilih metode yang paling efektif
sesuai kebutuhan.
2. Sebaiknya proses ektraksi bahan harus dilakukan sesuai dengan tahapan supaya hasil
akhir esktraksi dapat sempurna.
3. Sebaiknya selalu menjaga kebersihan sebelum maupun sesudah praktikum
MODUL I : METODE EKSTRAKSI BAHAN
TOPIK 2. EKSTRAKSI HIJAU (GREEN EXTRACTION)

Pengantar Teori Praktikum


Metode ekstraksi bahan alam secara konvensional pada umumnya menggunakan
pelarut organik yang memiliki dampak negatif seperti adanya residu yang beracun,
perubahan kimia senyawa ekstrak, dan limbah yang sulit terdegradasi. Oleh karena itu
kebutuhan terhadap metode ekstraksi yang lebih bersih dan penggunaan pelarut yang
aman semakin meningkat. Metode ekstraksi yang lebih ramah lingkungan (green
extraction) seperti Ultrasound Assisted Extraction (UAE) dan Microwave Assisted
Extraction (MAE) diharapkan bisa menjadi solusi. Pelarut yang biasa digunakan dalam
ekstraksi hijau adalah seperti air dan minyak.
Lemak merupakan komponen yang hidrofobik (tidak larut dalam air). Lemak
tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organic dan juga lemak sendiri. Beberapa
senyawa dapat larut dalam lemak antara lain asam lemak, pigment (klorofil dan
karotenoid), phenol, dan vitamin.
Selama ini ekstraksi lemak dilakukan dengan menggunakan pelarut organic
seperti methanol, chloroform, air, dan ethanol. Apabila diterapkan di dalam pangan
fungsional, dikahawatirkan tidak aman karena tidak dimungkinkan masih ada sisa solvent
yang tertinggal. Senyawa organik yang digunakan saat ini untuk proses ekstraksi berasal
dari industry petrokimi dan memproduksi komponen toksik yang berbahaya apabila
dikonsumsi manusia (teramukai et al. 2020). Beberapa metode yang aman dan ramah
lingkungan digunakan untuk mengekstrak senyawa larut lemak tersebut antara lain
dengan enzymatic, microwave, dan ultrasound yang ramah lingkungan. Namun,
teknologi tersebut saat ini masih terbatas dan membutuhan biaya besar. Beberapa
alternatif dapat digunakan untuk mengekstrak senyawa bioaktif diaantaranya adalah
edible oil (minyak). Minyak dapat digunakan untuk mengekstrak senyawa bioaktif yang
berasal dari herbs, bumbu atau bahan lain yang dapat digunakan untuk kosmetik, obat dan
tujuan memberi tambahan rasa Syara-Varon et al. 2017). Saat ini penggunaan edible oil
untuk ekstraksi telah dilakukan oleh Teramukai et al 2020 untuk mengekstrak karotenoid
yang ada di rumput laut.
Pada praktikum pangan fungsional ini akan dilakukan ekstraksi dengan

9
10

menggunakan minyak untuk senyawa bioaktif yang larut dalam lemak.

Pelaksanaan Praktikum
Teknologi Ekstraksi Minyak
Bahan :
⚫ Mikroalga Bubuk seperti Chorella dan Skeletonema
⚫ Minyak kelapa (pelarut)

Alat :
⚫ Sonikator

Cara kerja :
⚫ Bahan atau sampel yang akan diekstrak ditimbang terlebih dahulu dan juga pelarut
yang akan digunakan ditimbang dulu.
⚫ Sampel dan pelarut akan dimasukan kedalam gelas ukur
⚫ Masukkan gelas ukur yang didalamnya sampel ke dalam alat sonikasi
⚫ Atur kekuatan dan lama waktunya
⚫ Hasil dari extraksi dimaserasi dengan suhu 60oC selama 24 jam
⚫ Sampel di sentrifuse selama 15 menit untuk menghasilkan hasil ekstraksi

Link video :

https://www.youtube.com/watch?v=IdXz-MZ49mo

Hasil dan Pembahasan


Ekstraksi hijau atau green extraction merupakan metode ekstraksi bahan yang
tidak menggunakan pelarut organik, akan tetapi menggunakan pelarut seperti minyak dan
air. Hal tersebut didasarkan atas tujuan untuk meminimalkan terjadinya dampak negatif
terhadap lingkungan. Dampak negatif ini dapat meliputi residu yang beracun, perubahan
kimia senyawa ekstrak, dan limbah yang sulit terdegradasi atau sulit terurai. Metode
ekstraksi hijau mulai banyak diketahui dan tidak sedikit yang menggunakan metode ini
karena dianggap lebih ramah lingkungan dan mampu mengurangi atau bahkan
11

menghilangkan penggunaan pelarut organik sehingga lebih aman untuk dikonsumsi.


Adapun contoh metode ekstraksi hijau yakni Ultrasound Assisted Extraction (UAE) dan
Microwave Assisted Extraction (MAE). UAE merupakan salah satu teknik ekstraksi hijau
atau metode non konvensional yang memanfaatkan bantuan gelombang ultrasonik,
sedangkan MAE merupakan teknik ekstraksi hijau yang memanfaatkan radiasi
gelombang mikro untuk memanaskan pelarut. Ekstraksi hijau ini bukan hanya karena
ramah lingkungan akan tetapi juga memiliki keunggulan seperti proses ekstraksi dapat
berlangsung secara cepat dan efisien, kandungan senyawa bioaktifnya mudah
terdegradasi, serta mampu memberikan hasil ekstraksi yang berkualitas dan aman
dikonsumsi. Menurut Ivanovs dan Blumberga (2017), ekstraksi hijau merupakan
pengembangan proses ekstraksi yang memungkinkan dalam penggunaan pelarut
alternatif atau non konvensional, bahan alami terbarukan, dan memberikan kualitas tinggi
yang aman terhadap hasil ekstraksi atau produk. Hal tersebutlah yang kemudian membuat
metode ekstraksi hijau ini dapat memenuhi prinsip bioekonomi sirkular. Tidak hanya itu,
metode ekstraksi hijau juga diakui sebagai metode alternatif yang menjanjikan untuk
pelarut organik dan minyak ekstraksi.
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan
menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai
kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel
tanaman. Ekstraksi ramah lingkungan atau green extraction, diharapkan bisa menjadi
solusi dari metode ekstraksi konvensional yang memiliki dampak negatif seperti adanya
residu yang beracun, perubahan kimia senyawa ekstrak, dan limbah yang sulit
terdegradasi. Tujuan dari ekstraksi sendiri merupakan untuk menarik semua komponen
kimia yang terdapat dalam simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa
komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar
muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut, namun pada green extraction ini
bahan pelarut yang memiliki efek negatif akan diganti dengan pelarut yang lebih ramah
lingkungan, contohnya minyak. Menurut Ali et al. (2014), ekstraksi merupakan suatu
proses yang bertujuan untuk memisahkan atau mengeluarkan satu atau beberapa
komponen dari suatu padatan atau cairan dengan bantuan dari pelarut. Ekstrak dengan
kualitas dan kuantitas yang tinggi, maka umumnya digunakan etanol atau aseton dengan
perbandingan volume air yang sebanding. Proses ekstraksi dapat dilakukan cara tunggal
12

atau bertahap sesuai kepentingan dan tujuan ekstraksi yang ingin dicapai.
Metode ultrasonik adalah metode yang menggunakan gelombang ultrasonik
dengan frekuensi lebih besar dari 16-20 kHz. Metode ini dilakukan dengan mengisi
wadah dengan sampel serbuk dan ditempatkan pada ultrasonik dan ultrasound. Hal ini
dilakukan untuk memberikan tekanan pada sel hingga menghasilkan rongga pada sampel.
Kerusakan sel dapat menyebabkan peningkatan kelarutan senyawa dalam pelarut dan
meningkatkan hasil ekstraksi. Prinsipnya yaitu dinding sel dari bahan dipecah dengan
getaran ultrasonik sehingga kandungan yang ada di dalamnya dapat keluar. Ultrasonik
bersifat non-destructive dan non-invasive, sehingga dapat dengan mudah diadaptasikan
ke berbagai aplikasi. Salah satu kelebihan metode ekstraksi ultrasonik adalah untuk
mempercepat proses ekstraksi, dibandingkan dengan ekstraksi termal atau ekstraksi
konvensional, metode ultrasonik ini lebih aman, lebih singkat, meningkatkan jumlah
rendemen kasar dan biasanya laju perpindahan masa lebih cepat dibandingkan ekstraksi
lainnya. Menurut Setyantoro et al. (2019), ekstraksi ultrasonik adalah modifikasi dari
metode maserasi. Ekstrak diproses menggunakan ultrasound berfrekuensi, dengan
getaran yang tinggi, yaitu 20 kHz. Prinsip kerja ini yaitu dengan mengamati sifat akustik
gelombang ultrasonik yang dirambatkan melalui medium yang dilewati. Saat gelombang
merambat, medium yang dilewati akan mengalami getaran. Medium perambatan dengan
cairan dikenal dengan nama ekstraksi ultrasonic bath. Getaran akan memberikan
pengadukan intensif terhadap proses ekstraksi. Pengadukan akan meningkatkan osmosis
antara bahan dengan pelarut sehingga akan meningkatkan proses ekstraksi.
Gelombang ultrasonik atau ultrasound merupakan suara atau getaran dengan
frekuensi yang lebih besar dari batas frekuensi tertinggi yang bisa didengar oleh telinga
manusia yakni lebih besar dari 20 kHz. Gelombang ultrasonik ini dapat digunakan dalam
metode ekstraksi yaitu dengan cara mengisi wadah dengan sampel serbuk dan
ditempatkan pada ultrasonik dan ultrasound. Gelombang ultrasonik dalam proses
ekstraksi dapat terbentuk dari pembangkitan ultrasound secara lokal yaitu kavitasi mikro
pada sekeliling bahan yang akan diekstraksi sehingga terjadi pemanasan pada bahan
tersebut yang mana pada akhirnya akan melepaskan senyawa ekstrak. Semakin lama
eksitasi gelombang ultrasonik maka suhu pada proses ekstraksi akan semakin meningkat.
Mekanisme ekstraksi berbasis ultrasonik ini diawali dengan adanya gelombang ultrasonik
yang membentuk gelembung kavitasi atau cavitation bubbles pada larutan. Proses
13

selanjutnya yakni gelembung kavitasi akan pecah dekat dengan dinding atau permukaan
sel kemudian akan terbentuk gelombang kejut dan pancaran cairan yang mengakibatkan
dinding sel pecah. Pecahnya dinding sel ini akan membuat komponen di dalam sel keluar
dengan larutan atau dengan kata lain kandungan yang ada di dalam dapat keluar dengan
mudah. Menurut Adhiksana (2017), getaran ultrasonik mampu memecah dinding sel dari
bahan sehingga kandungan yang ada di dalamnya dapat keluar dengan mudah. Secara
prinsip gelombang ultrasonik mampu melepaskan senyawa ekstrak dengan terdapat efek
ganda yang dihasilkan, yaitu pengacauan dinding sel sehingga membebaskan kandungan
senyawa yang ada di dalamnya dan pemanasan lokal pada cairan dan meningkatkan difusi
ekstrak. Efek mekanik yang ditimbulkan adalah meningkatkan penetrasi dari cairan
menuju dinding membran sel, mendukung pelepasan komponen sel, dan meningkatkan
transfer massa.
Ekstraksi ultrasonik adalah teknik yang disukai untuk mengisolasi senyawa
bioaktif dari tumbuhan. Sonikasi mencapai ekstraksi lengkap dan dengan demikian
unggul hasil ekstrak yang diperoleh dalam waktu ekstraksi yang sangat singkat.
Ultrasonik merupakan metode ekstraksi non termal yang efektif dan efisien. Efek
mekanik dari gelombang ultrasonik yang ditimbulkan akan meningkatkan penetrasi dari
cairan menuju dinding membran sel, mendukung pelepasan komponen sel dan
meningkatkan transfer massa. Penggunaan ultrasonik dapat menimbulkan efek kavitasi
yang dapat memecah dinding sel bahan sehingga komponen bioaktif keluar dengan
mudah dan didapatkan hasil ekstrak yang maksimal dengan proses ekstraksi yang jauh
lebih singkat. Ultrasonik dapat menurunkan suhu operasi pada ekstrak yang tidak tahan
panas, sehinga cocok untuk diterapkan pada ekstraksi senyawa bioaktif tidak tahan panas.
Keuntungan metode ultrasonik adalah dapat meningkatkan hasil ekstraksi, waktu
ekstraksi yang singkat, menggunakan suhu rendah, dan volume pelarut yang sedikit.
Kekurangan dari metode ultrasonik yaitu membutuhkan energi serta biaya yang relatif
besar. Menurut Sari et al. (2013), ekstraksi dengan gelombang micro yang dibantu dengan
gelombang ultrasonik dapat dijadikan sebagai metode alternatif. Hal ini dikarenakan
ekstraksi microwave yang dibantu ultrasonic memiliki yaitu berkurangnya waktu
ekstraksi dan penggunaan solven yang lebih sedikit. Namun, kelemahan yang dimiliki
dari ekstraksi ini yaitu biaya yang dibutuhkan lebih besar dibandingkan ekstraksi dengan
metode maserasi.
14

Kesimpulan dan Saran


A. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari praktikum Pangan Fungsional Modul I Topik II Green
Extraction adalah sebagai berikut:
1. Tujuan dari ekstraksi ramah lingkungan atau green extraction, diharapkan bisa
menjadi solusi dari metode ekstraksi konvensional yang memiliki dampak negatif
seperti adanya residu yang beracun, perubahan kimia senyawa ekstrak, dan limbah
yang sulit terdegradasi.
2. Prinsip kerja dari metode Ultrasonikasi yaitu dengan mengamati sifat akustik
gelombang ultrasonik yang dirambatkan melalui medium yang dilewati. Saat
gelombang merambat, medium yang dilewati akan mengalami getaran. Medium
perambatan dengan cairan dikenal dengan nama ekstraksi ultrasonic bath. Getaran
akan memberikan pengadukan intensif terhadap proses ekstraksi. pengadukan akan
menghasilkan osmosis antara bahan dengan pelarut sehingga akan meningkatkan
proses ekstraksi.

B. Saran
Saran yang dapat diberikan untuk praktikum Pangan Fungsional Modul I Topik II
Green Extraction adalah sebagai berikut:
1. Sebaiknya sampel dan pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi diukur sesuai
ketentuan.
2. Sebaiknya teliti dalam mengatur waktu dan suhu ekstraksi, agar dihasilkan ekstraksi
yang sempurna.
3. Sebaiknya selalu menjaga kebersihan alat dan ruangan ekstraksi, agar tidak
mempengaruhi hasil.
MODUL II : IDENTIFIKASI SENYAWA FUNGSIONAL
TOPIK 1. ANALISIS SENYAWA FUNGSIONAL DENGAN HIGH
PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY

Pengantar Teori Praktikum


Kromatografi cair adalah teknik untuk memisahkan ion atau molekul yang terlarut
dalam suatu larutan. Jika larutan sampel berinteraksi dengan fase stasioner, maka
molekul-molekulnya yang ada didalam berinteraski dengan fase stasioner. Tetapi
interaksinya berbeda disebabkan adanya perberdaan daya serap (adsorption), pertukaran
ion (ion exchange), partisi (partitioning) atau ukuran. Perbedaan tersebut menjadikan
komponen terpisah satu dengan yang lain dan bisa dilihat perbedaannya dari lamanya
waktu transit komponen tersebut melewati kolom.
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) atau sering disebut
Kromatografi Cair Kinerja tinggi (KCKT) adalah metode yang digunakan untuk
memisahkan senyawa non volatil yang tidak tahan terhadap pemanasan. Teknik
kromatografi ini menggunakan tekanan dan kecepatan yang cukup tinggi untuk revolusi
untuk menghasilkan resolusi yang lebih baik daripada jenis kromatografi lainnya.

Gambar 1. Kromatogram KCKT

Kromatogram KCKT merupakan hubungan antara waktu sebagai absis dan respon
detektor sebagai ordinat pada sistem koordinat Cartesian, dimana titik nol dinyatakan
sebagai saat dimulainya injeksi sampel. Molekul-molekul sampel yang diinjeksikan

15
16

menuju kolom analisis tidak akan berkumpul pada suatu titik secara serempak dalam
waktu yang sama. Demikian pula tiap-tiap molekul analit akan mengalami hambatan fase
diam di dalam kolom dengan waktu yang berbeda. Oleh karena itu semua molekul analit
tidak serempak keluar dari kolom. Selang waktu yang diperlukan oleh analit mulai saat
injeksi sampai keluar dari kolom dan sinyalnya secara maksimal ditangkap oleh detektor
disebut sebagai waktu retensi (retention time) (Dachriyanusus, 2017).

Pelaksanaan Praktikum
Link video : https://www.youtube.com/watch?v=8JRVvEgKs18

Hasil dan Pembahasan


HPLC atau High Performance Liquid Chromatography merupakan teknik
kromatografi cair yang digunakan untuk pemisahan berbagai komponen dalam campuran.
Penggunaan HPLC sangat luas yaitu dapat digunakan sebagai penelitian dan juga bidang
industri, namun HPLC fase normal lebih jarang digunakan dan HPLC fase terbalik lebih
sering digunakan karena lebih banyak memisahkan berbagai jenis sampel. HPLC dapat
digunakan pada berbagai aplikasi seperti penentuan berat molekul, pemeriksaan kadar,
uji klinis, forensi, analisis makanan, kimia lingkungan dan kimia analisis. HPLC
digunakan untuk identifikasi dan kuantifikasi senyawa dalam proses pengembangan obat
dan telah digunakan di seluruh dunia sejak beberapa dekade. Penggunaan HPLC dalam
berbagai bidang ini karena memiliki tujuan untuk memisahkan molekul dalam waktu
minimum, sehingga penting untuk meningkatkan hasil analisis dan mengurangi waktu
analisis. Metode yang digunakan untuk mempersingkat proses analisis yaitu dengan
mempersingkat panjang kolom dan meningkatkan kecepatan aliran, sedangkan untuk
mempersingkat waktu analisis dengan cara mengurangi ukuran – ukuran dari partikel -
partikel. Menurut Aissa dan Mohammed (2013), kromatografi cair performa tinggi
(HPLC) merupakan salah satu teknik kromatografi untuk zat cair yang biasanya disertai
dengan tekanan tinggi. HPLC dapat digunakan secara luas dalam berbagai bidang. HPLC
juga berguna dalam menganalisis asam-asam nukleat, protein dan karbohidrat. HPLC
digunakan karena memiliki resolusi tinggi dan akurasi yang sangat baik. Prinsip kerja
GC-MS adalah sampel yang diinjeksikan ke dalam Kromatografi Gas akan diubah
menjadi fasa uap dan dialirkan melewati kolom kapiler dengan bantuan gas pembawa.
17

Pemisahan senyawa campuran menjadi senyawa tunggal terjadi berdasarkan


perbedaan sifat kimia dan waktu yang diperlukan bersifat spesifik untuk masing-masing
senyawa. Pendeteksian berlangsung di dalam spektroskopi massa dengan mekanisme
penembakan senyawa oleh elektron menjadi molekul terionisasi dan pencatatan pola
fragmentasi yang terbentuk dibandingkan dengan pola fragmentasi senyawa standar yang
diindikasikan dengan prosentase Similarity Index (SI). Prinsip kerja HPLC adalah
pemisahan komponen analit berdasarkan kepolarannya, setiap campuran yang keluar
akan terdeteksi dengan detektor dan direkam dalam bentuk kromatogram. Dimana jumlah
peak menyatakan jumlah komponen, sedangkan luas peak menyatakan konsentrasi
komponen dalam campuran. Perbedaan utama yang dapat diketahui dari GC dan HPLC
adalah fase geraknya. Pada HPLC menggunakan fase gerak cair yang diberikan pressure
tinggi menggunakan pompa. Sedangkan pada GC menggunakan fase cair berupa gas yang
dilewatkan ke kolom oven tanpa pompa. Prinsip kerja KLT yaitu adsorpsi, desorpsi, serta
elusi. Adsorpsi terjadi ketika larutan sampel diteteskan ke fase diam (plat KLT)
menggunakan pipa kapiler, komponen– komponen dalam sampel akan terabsorbsi di
dalam fase diam. Menurut Kamar et al. (2021), prinsip kerja KLT yaitu adsorpsi, desorpsi,
dan elusi. Adsorpsi terjadi ketika larutan sampel diteteskan ke fase diam menggunakan
pipa kapiler, komponen–komponen dalam sampel akan terabsorbsi di dalam fase diam.
Desorbsi adalah peristiwa ketika komponen yang teradsorpsi di fase diam didesak oleh
fase gerak (eluen), terjadi persaingan antara eluen dan komponen untuk berikatan dengan
fase diam. Elusi adalah peristiwa ketika komponen ikut terbawa oleh eluen.
HPLC atau High Performance Liquid Chromatography pada dasarnya merupakan
perkembangan dari metode kromatografi kolom. HPLC mengizinkan penggunaan
pertikel dengan ukuran yang sangat kecil dengan luas permukaan yang lebih besar
sehingga dapat membuat interaksi akan semakin besar. Tidak hanya itu, hal tersebut juga
dapat membuat sistem pemisahan akan semakin bagus. HPLC atau High Performance
Liquid Chromatography sendiri memiliki prinsip kerja yakni dengan melihat waktu
retensi atau waktu yang dibutuhkan oleh senyawa komponen sampel untuk melewati
kolom menuju detektor. Waktu retensi ini diukur berdasarkan waktu dimana sampel
diinjeksikan sampai dengan sampel menunjukkan ketinggian puncak yang maksimum
dari suatu senyawa tersebut. Perlu diketahui bahwa senyawa-senyawa yang berbeda pasti
memiliki waktu retensi yang berbeda pula. Terdapat beberapa senyawa yang memiliki
18

waktu retensi sangat bervariasi dan bergantung pada tekanan yang digunakan, kondisi
dari fase diam, komposisi pelarut dan temperatur pada kolom. Senyawa-senyawa polar
dalam campuran melalui kolom akan melekat lebih lama pada silika yang bersifat polar
dibandingkan dengan senyawa-senyawa yang bersifat non polar. Hal tersebut mampu
menyebabkan senyawa yang bersifat non polar akan lebih cepat melewati kolom
dibandingkan dengan yang bersifat polar. Menurut Kusuma dan Raisha (2016), prinsip
kerja HPLC adalah pemisahan komponen analit berdasarkan kepolarannya. Setiap
campuran yang keluar akan terdeteksi dengan detektor dan direkam dalam bentuk
kromatogram. Jumlah puncak menyatakan jumlah komponen, sedangkan luas puncak
menyatakan konsentrasi komponen dalam campuran.
Fase diam atau stationary phase adalah salah satu jenis media pemisah yang
digunakan dalam kromatografi. Fase diam merupakan zat yang tetap di dalam kolom
berbentuk butiran padatan, butiran padatan berongga atau lapisan tipis cairan yang
disangga oleh padatan. Fase diam merupakan salah satu komponen yang penting dalam
proses pemisahan dengan kromatografi. Hal ini dikarenakan dengan adanya interaksi
dengan fase diamlah terjadi perbedaan waktu retensi (tR) dan terpisahnya komponen
senyawa analit. Fase diam dapat berupa bahan padat atau porous (berpori) yang berbentuk
molekul kecil atau cairan yang umumnya dilapiskan pada padatan - padatan bahan
pendukung. Menurut Anastasia (2012), kromatografi adalah suatu istilah umum untuk
berbagai teknik pemisahan yang didasarkan atas partisi sampel yang melewati kolom.
Kolom berisi fase diam (stationary phase) yang berfungsi memisahkan komponen sampel.
Fase diam adalah fase tetap didalam kolom berupa partikel dengan pori yang kecil dan
memiliki area surface tinggi. Fasa diam yang bisa berupa cairan ataupun padatan.
Pemisahan dengan HPLC selanjutnya dapat dilakukan dengan fase gerak. Fase
gerak merupakan pembawa analit (asam amino), dapat bersifat inert maupun berinteraksi
dengan analit tersebut. Fase gerak dapat berupa bahan cair dan dapat juga berupa gas inert
yang umumnya dapat dipakai sebagai carrier gas senyawa mudah menguap (volatil).
Kromator penukar ion dengan fase gerak air, retensi puncak dipengaruhi oleh kadar garam
total ata kekuatan ionic serta oleh pH fase gerak. Kenaikan kadar garam dalam fase gerak
menurunkan retensi solute, hal ini disebabkan oleh penurunan kemampuan ion sampel
bersaing dengan ion fase gerak untuk gugus penukar ion pada resin. Fase gerak atau eluen
biasanya terdiri dari atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara
19

keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Fase gerak sebelum digunakan harus
disaring terlebih dahulu untuk menghindari partikel – partikel kecil lain, selain itu adanya
gas dalam fase gerak juga harus dihilangkan, sebab adanya gas adalam fase gerak akan
berkumpul dengan komponen lain terutama di pompa dan detector sehingga akan
mengacaukan analisis dari senyawa itu sendiri. Fase gerak mengalir melalui fase diam
dan membawa komponen campuran tersebut. Komponen sampel akan melalui kolom
yang menampilkan interaksi kuat dengan fase diam bergerak lebih lambat dibanding
komponen dengan interaksi yang lebih lemah. Perbedaan ini menyebabkan pemisahan
antar komponen-komponen. Menurut Aulia dan Muchtaridi, (2016) kromatografi adalah
teknik pemisahan suatu campuran zat menggunakan fase gerak dan fase diam, dimana
pemisahan terjadi akibat adanya perbedaan daya adsorpsi, kelarutan, partisi, ukuran
molekul, ukuran ion dan tekanan uap pada komponen yang dibawa oleh fase gerak
melalui fase diam.
HPLC atau High Performance Liquid Chromatography dalam efektivitasnya
menganalisis senyawa fitokimia dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor ini
meliputi tekanan yang digunakan, kondisi dari fase diam, pH fase gerak, komposisi
pelarut, jenis kolom serta temperatur yang digunakan pada kolom. Jenis kolom dapat
dikatakan sebagai faktor yang mempengaruhi pemisahan senyawa. Hal ini dikarenakan
setiap jenis kolom memiliki ukuran (panjang dan diameter) serta kemampuan kinerja
yang berbeda-beda, sehingga penting untuk memilih jenis kolom yang sesuai kebutuhan
sebelum melakukan analisis senyawa. Pemilihan penggunaan jenis kolom ini dapat dilihat
dari jenis fasa diam dan fasa geraknya. Jenis kolom juga dapat mempengaruhi besar faktor
porositas dan faktor resistan kolom. Tidak hanya itu, terdapat juga faktor lain yang dapat
mempengaruhi efektivitas HPLC yakni laju alir. Laju alir mampu berpengaruh terhadap
cepat atau lambatnya waktu retensi. Apabila laju alir tinggi maka didapatkan waktu
retensi yang singkat, sedangkan untuk laju alir yang rendah akan didapatkan waktu retensi
yang lama. Menurut Rosydiati dan Saleh (2019), faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
pemisahan antara lain, pengaturan komposisi fase gerak, laju alir serta ada tidaknya
penambahan asam. Proses pada analisis HPLC seringkali ditemukan beberapa
permasalahan diantaranya puncak yang tidak terpisah sempurna pada sampel, terjadi
pelebaran puncak kromatogram, serta sulit mencari kondisi operasi yang optimum
sehingga waktu analisis menjadi lama dan penggunaan fase gerak lebih boros.
20

Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari praktikum Pangan Fungsional Modul I Topik I
Analisis Senyawa Fungsional dengan High Performance Liquid Chromatography adalah
sebagai berikut:
1. Prinsip kerja HPLC adalah pemisahan komponen analit berdasarkan kepolarannya,
setiap campuran yang keluar akan terdeteksi dengan detektor dan direkam dalam
bentuk kromatogram. Dimana jumlah peak menyatakan jumlah komponen,
sedangkan luas peak menyatakan konsentrasi komponen dalam campuran.
2. Faktor yang mempengaruhi efektifitas kerja HPLC dalam analisis senyawa fitokimia
yaitu tekanan yang digunakan, kondisi dari fase diam, pH fase gerak, komposisi
pelarut, jenis kolom serta temperatur yang digunakan pada kolom. Jenis kolom dapat
dikatakan sebagai faktor yang mempengaruhi pemisahan senyawa.

B. Saran
Saran yang didapat dari praktikum Pangan Fungsional Modul I Topik I Analisis
Senyawa Fungsional dengan High Performance Liquid Chromatography adalah sebagai
berikut:
1. Sebaiknya, sampel yang digunakan dalam proses analisis senyawa diukur sesuai
dengan ketentuan.
2. Sebaiknya, teliti dalam membaca kromatogram, agar hasil yang dihasilkan akurat.
3. Sebaiknya, selalu menjaga kebersihan alat dan ruangan, agar tidak ada kotoran atau
mikroorganisme yang dapat mempengaruhi hasil.
MODUL II : IDENTIFIKASI SENYAWA FUNGSIONAL
TOPIK 1I. ANALISIS SENYAWA FUNGSIONAL DENGAN GAS
CHROMATOGRAPHY

Pengantar Teori Praktikum


Asam lemak atau asam karboksilat adalah senyawa organik polar yang
mengandung 2 hingga 24 atam karbon (C) dengan gugus fungsional utamanya adalah
gugus karboksil (-COOH). Asam lemak dan gliserol merupakan komponen utama
penyusun lemak dan minyak. Pembentukan lemak dan minyak melalui proses esterifikasi.
Reaksi esterifikasi terjadi dimana gliserol direaksikan dengan asam lemak sehingga
dihasilkan monogliserida, digliserida, dan air. Reaksi esterifikasi dapat dipercepat dengan
katalis asam/basa dan pemanasan (210-230°C). Rasio atara gliserol dan asam lemak
dalam reaksi akan menentukan komposisi monogliserida dan digliserida dihasilkan dari
reaksi antara gliserol dan lemak atau minyak. Reaksi ini memerlukan proses pemanasan
suhu tinggi dan katalis basa (misalnya kalsium hidroksida) (Mamuaja, 2017). Asam
lemak yang terkandung di dalam suatu komponen lemak atau minyak dapat diidentifikasi
menggunakan kromatografi gas. Bahan yang akan dilakukan analisis asam lemak dengan
kromatografi gas terlebih dahulu dilakukan transesterifikasi sehingga terbentuk metil
ester yang bersifat volatil.
Kromatografi gas merupakan salah satu metode yang banyak digunakan untuk
mengukur jumlah dan jenis asam lemak atau komposisi campuran asam lemak.
Kromatografi gas ini dapat digunakan untuk tujuan analisis kualitatif dan kuantitatif serta
dapat digunakan untuk tujuan preparatif. Kromatografi gas menggunakan gas sebagai
fase geraknya, sedangkan fase diam dapat berupa zat padat (kromatografi gas-padat) atau
berupa zat cair (kromatografi gas-cair). dasar pemisahan dari kromatografi adalah
pendistribusian sampel antara dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Pemisahan terjadi
berdasarkan koefisien partisinya (tingkat volatilitas dan kelarutan relatifnya pada fase cair)
yang kemudian keluar dari kolom sebagai puncak-puncak konsentrasi. Komponen yang
diuapkan didorong oleh gas pembawa melewati kolom dengan kepolaran tinggi. Luas
area yang terdeteksi dapat dikonversi menjadi konsentrasi komponen pada fase gas
(Wirasnita, 2010).

21
22

Pelaksanaan Praktikum
Bahan :
⚫ Minyak
⚫ Metanol
⚫ Heksan
⚫ Kloroform
⚫ Natrium sulfat anhydrous
⚫ Aquades
Alat :
⚫ Tabung reaksi
⚫ Gelas ukur
⚫ Baker glass
⚫ Erlenmeyer
⚫ Mikropipet
⚫ Seperangkat alat kromatografi gas
Cara kerja :
⚫ Sampel sebanyak 0,03 gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 5
ml pelarut kloroform:metanol (1:1) kemudian diaduk. Setelah itu, ditambahkan 1 ml
larutan natrium metanolat (10 ml metanol dicampurkan dengan 0,2 gram NaOH).
Campuran kemudian diaduk selama 15 menit. Campuran kemudian bereaksi
menghasilkan metil ester yang dipisahkan dengan pelarut heksan:air (2:1).
Selanjutnya, lapisan atas diambil dan dikeringkan dengan natrium sulfat anhydrous.
Metil ester kemudian disimpan ke dalam botol untuk dilakukan pengujian asam
lemak dengan kromatografi gas.
⚫ Sampel dimasukkan ke dalam injektor. Sampel akan dipisahkan oleh kolom dalam
kromatografi gas dan dibaca oleh detektor.
⚫ Pembacaan hasil analisis.
Link video : https://www.youtube.com/watch?v=hOk4lGvKU8k dan
https://www.youtube.com/watch?v=KtiWK9QaHBk
23

Hasil dan Pembahasan


Lemak merupakan salah satu zat makanan yang paling penting untuk menjaga
kesehatan tubuh. Komponen lemak yang penting adalah trigliserida, fosfolipid,
kolesterol, asam-asam lemak dan gliserol serta vitamin-vitamin yang terlarut dalam
lemak. Terdapat beberapa fungsi lemak dalam tubuh, yaitu sebagai sumber energi yang
paling tinggi, pelindung organ dalam tubuh, berfungsi dalam pembentukan dinding sel,
membantu dalam melarutkan vitamin dan berfungsi dalam pembentukan jaringan
adiposa. Lemak menghasilkan 9 kkal untuk tiap gramnya, yaitu 2,25 kali lebih tinggi dari
energi yang dihasilkan oleh karbohidrat dan protein dalam jumlah yang sama. Asam
lemak merupakan asam organik yang terdiri atas rantai hidrokarbon lurus yang pada satu
ujungnya mempunyai gugus hidroksil (COOH) dan pada ujung lainnya memiliki gugus
metil (CH3). Asam lemak alami biasanya memiliki rantai dengan jumlah atom karbon
genap yang berkisar antara empat hingga dua puluh dua karbon. Asam lemak dapat
dibedakan berdasarkan tingkat kejenuhan, yaitu asam lemak jenuh (SFA) dan asam lemak
tak jenuh yang terdiri dari monounsaturated fatty acid (MUFA) dan polyunsaturated fatty
acid (PUFA). Perbedaan antara asam lemak tidak jenuh dan asam lemak jenuh juga
terdapat pada ikatan rangkapnya. Menurut Calder (2015), asam lemak adalah komponen
utama triasilgliserol, fosfolipid, dan lipid kompleks lainnya. Asam lemak adalah
kontributor lemak makanan pada manusia. Makanan yang berbeda mengandung jumlah
lemak yang berbeda dan jenis asam lemak yang berbeda, dan ini mungkin terpengaruh
oleh pemrosesan, penyimpanan, dan pemasakan. Asam lemak diangkut dalam aliran
darah sebagai komponen lipid yang lebih kompleks (misalnya triasilgliserol).
Metil ester merupakan ester asam lemak atau senyawa ester alkil yang berasal dari
minyak nabati dengan alkohol yang dapat dihasilkan melalui beberapa tahapan proses.
Mestil ester ini dapat diturunkan dari minyak atau lemak alami seperti minyak goreng,
minyak nabati, lemak hewan dan lainnya. Tujuan dibentuknya metil ester sendiri
sebenarnya adalah sebagai zat tambahan pada suatu formulasi, misalnya sebagai emolien.
Tidak hanya itu, dibentuknya metil ester juga dikarenakan terdapat beberapa kelebihan
dari metil ester yakni dapat diproduksi pada suhu reaksi yang lebih rendah, gliserol yang
dihasilkan adalah bebas air, serta pemurniannya lebih mudah karena titik didihnya
rendah. Metil ester dapat dibentuk melalui proses transesterifikasi dan esterifikasi dengan
katalis asam. Reaksi transesterifikasi merupakan suatu reaksi yang menghasilkan ester
24

dimana salah satu pereaksinya juga merupakan senyawa ester. Reaksi esterifikasi
merupakan proses konversi asam lemak bebas menjadi metil ester yang kemudian diikuti
oleh proses pemisahan sejumlah campuran tertentu. Sesuai dengan tujuan dari esterifikasi
yakni mengubah asam lemak menjadi metil ester yang diikuti adanya fraksinasi
menggunakan GC. Menurut Makalalag (2018), proses esterifikasi bertujuan untuk
mengubah asam-asam lemak dari trigliserida dalam bentuk metil ester atau etil ester
kemudian diikuti dengan fraksinasi yang dilakukan dengan kromatografi gas. Pembuatan
atau pembentukan metil ester asam lemak dari minyak dapat dilakukan melalui proses
esterifikasi atau transesterifikasi. Proses tersebut yakni dengan katalis asam misalnya
asam sulfat maupun katalis basa misalnya kalium hidroksida atau natrium hidroksida.
Gas Chromatography Mass Spectrometry merupakan alat yang dapat mengukur
jenis dan kandungan senyawa dalam suatu sampel baik secara kualitatif dan kuantitatif.
Alat ini merupakan perpaduan dari dua buah instrumen, yaitu kromatografi gas yang
berfungsi untuk memisahkan senyawa menjadi senyawa tunggal dan spektroskopi massa
yang berfungsi mendeteksi jenis senyawa berdasarkan pola fragmentasinya. Prinsip kerja
dari GC-MS yaitu sampel yang diinjeksikan ke dalam kromatografi gas akan diubah
menjadi fasa uap dan dialirkan melewati kolom kapiler dengan bantuan gas pembawa.
Pemisahan senyawa campuran menjadi senyawa tunggal terjadi berdasarkan perbedaan
sifat kimia dan waktu yang diperlukan bersifat spesifik untuk masing-masing senyawa.
Pendeteksian berlangsung di dalam spektroskopi massa dengan mekanisme penembakan
senyawa oleh elektron menjadi molekul terionisasi dan pencatatan pola fragmentasi yang
terbentuk dibandingkan dengan pola fragmentasi senyawa standar yang diindikasikan
dengan persentase Similarity Index (SI). Menurut Nurhaen et al. (2016), prinsip kerja dari
metode GC-MS adalah pemisahan komponen-komponen dalam campuran dengan
kromatografi gas. Setiap komponen dapat dibuat spektrum massa dengan ketelitian yang
lebih tinggi. Hasil pemisahan dengan gas dihasilkan kromatogram sedangkan hasil dari
spektrometri massa masing-masing senyawa disebut spektrum.
Reagen merupakan suatu bahan pereaksi kimia yang menyebabkan suatu proses
dalam reaksi kimia. Asam lemak merupakan komponen utama penyusun lemak. Preparasi
merupakan rangkaian kegiatan mempersiapkan contoh sesuai dengan jumlah dan ukuran
yang dikehendaki untuk dianalisis. Penambahan reagen pada preparasi analisis asam
lemak dilakukan untuk mempercepat preparasi reaksi dan mempermudah dalam
25

menganalisis sifat dari asam lemak. Reagen merupakan zat kimia yang digunakan dalam
suatu reaksi untuk mendeteksi, mengukur, memeriksa dan menghasilkan produk yang
lain. Aktivitas kimiawi reagen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, pH,
kadar substrat dan inhibitor. Kecepatan reaksi akan meningkat seiring dengan
peningkatan suhu, tetapi maksimal akan dicapai dan laju reaksi akan menurun dengan
peningkatan suhu. Salah satu reagen yang dapat digunakan dalam proses analisis asam
lemak yaitu metanol. Menurut Fajarullah et al. (2014), senyawa golongan terpenoid
umumnya larut dalam lemak dan terdapat pada sitoplasma sel tumbuhan. Sehingga sangat
mungkin bahwa senyawa ini larut dalam pelarut organik seperti kloroform. Senyawa
terpenoid dapat ditemukan pada ekstrak air, etanol, metanol, kloroform dan eter.
Hasil yang diperoleh dari analisis pengujian asam lemak terhadap sampel minyak
zaitun yakni mendapatkan asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) sebesar 46.13%, asam
lemak tak jenuh ganda (PUFA) sebesar 16.14% serta asam lemak jenuh (SFA) sebesar
16.95%. Hasil asam lemak terhadap sampel lemak sapi diperoleh hasil sebesar 21.93%
untuk MUFA, sebesar 1.17% untuk PUFA dan 65.53% untuk asam lemak SFA. Terakhir
untuk sampel minyak ikan diperoleh hasil analisis pengujian asam lemak sebesar 45.24%
untuk asam lemak MUFA, sebesar 30.24% untuk PUFA serta 14.02% untuk asam lemak
SFA. Perbedaan hasil asam lemak tersebut dikarenakan komposisi asam lemak pada
masing-masing sampel sangat bergantung pada sumber lemak tersebut. Hasil analisis
asam lemak dari masing-masing sampel dapat diketahui bahwa hasil MUFA dan PUFA
lebih tinggi dibandingkan SFA. Presentasi asam lemak dari MUFA dan PUFA yang lebih
besar inilah yang dapat menyebabkan kecenderungan untuk menghasilkan radikal bebas
yang semakin besar pula. Menurut Pandiangan et al. (2021), komponen asam lemak yang
lebih tinggi pada minyak ikan adalah asam lemak tak jenuh PUFA dan MUFA
dibandingkan asam lemak jenuh (SFA). Hal ini juga dapat ketahui dari analisis GC (Gas
Chromatography) bahwa asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh memiliki
perbedaan yang signifikan. Minyak ikan dapat diketahui apakah telah memenuhi PUFA,
MUFA, serta SFA adalah dengan melihat dari tingginya angka penyimpangan.
Hasil pengujian asam lemak tak jenuh terhadap fillet ikan segar dan ikan goreng
dapat dilihat dalam grafik. Fillet ikan segar dan ikan digoreng terdapat kandungan asam
arakidonat secara berturut-turut sebesar 2,15% dan 0,40%, sedangan kandungan FPA
sebesar 1,55% dan 0,36%. Hasil kandungan DHA di dalam fillet ikan segar sebesar
26

6,54%, sedangkan ikan digoreng sebesar 1,36%. Kandungan asam linoleat pada ikan
goreng lebih tinggi dari pada fillet ikan segar, ikan goreng mengandung 9,37% asam
linoleat sedangkan fillet ikan segar mengandung 0,36% asam linoleat. Kandungan asam
linoleat pada fillet ikan segar dengan ikan digoreng berturut-turut yaitu 0,09% dan 0,17%.
Hasil tersebut menyatakan bahwa ikan goreng mengandung asam linoleat lebih tinggi
dibandingkan ikan segar. Hal ini dikarenakan asam linoleat lebih banyak ditemukan pada
minyak, sehingga ikan goreng mengandung asam linolenat lebih tinggi karena adanya
minyak yang digunakan untuk menggoreng ikan. Asam linoleat merupakan jenis asam
lemak esensial artinya tubuh tidak dapat memproduksi asam linoleat sendiri, karena itu
tubuh memerlukan asam linoleat dari luar. Salah satu sumber asam linoleat yang dapat
ditemukan yaitu minyak ikan. Menurut Ngadiarti et al. (2013), minyak ikan termasuk
salah satu sumber asam linoleat yang potensial. Asam linoleat merupakan asam lemak
tidak jenuh berikatan rangkap. Asam linoleat dapat membantu menghambat risiko
trombosis, menurunkan tekanan darah, memelihara membran sel, dan lainnya.
Komposisi asam lemak pada ikan ditentukan oleh beberapa faktor yaitu spesies,
musim, letak geografis, tingkat kematangan (umur) dan jenis makanan yang dikonsumsi
ikan tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan ikan yang hidup di setiap daerah
memiliki perbedaan komposisi asam lemak. Komponen dasar lemak adalah asam lemak
dan gliserol yang diperoleh dari hasil hidrolisis lemak, minyak maupun senyawa lipid
lainnya. Asam lemak pembentuk lemak dapat dibedakan berdasarkan jumlah atom C
(karbon), ada atau tidaknya ikatan rangkap, jumlah ikatan rangkap serta letak ikatan
rangkap. Berdasarkan struktur kimianya, asam lemak dibedakan menjadi asam lemak
jenuh (SFA) yaitu asam lemak yang tidak memiliki ikatan rangkap. Sedangkan asam
lemak yang memiliki ikatan rangkap disebut sebagai asam lemak tidak jenuh yang
dibedakan menjadi MUFA memiliki 1 (satu) ikatan rangkap, dan PUFA dengan 1 atau
lebih ikatan rangkap. Penentuan asam lemak dalam minyak ditentukan terlebih dahulu
dengan mengubah lemak dalam minyak yang pada umumnya ada dalam bentuk
triasilgliserol atau trigliserida menjadi metil ester asam lemak dengan metode
derivatisasi. Menurut Rantawi et al. (2017), asam lemak bebas terbentuk karena proses
oksidasi dan hidrolisa enzim selama pengolahan dan penyimpanan. Dalam bahan pangan,
asam lemak dengan kadar lebih besar dair 0,2% dari berat lemak akan mengakibatkan
flavor atau rasa yang tidak diinginkan yang bisa juga justru meracuni tubuh.
27

Kesimpulan dan Saran


A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari praktikum Pangan Fungsional Modul 2 Topik
1I Analisis Senyawa Fungsional dengan Gas Chromatography sebagai berikut:
1. GC-MS atau Gas Chromatography Mass Spectrometry merupakan alat yang dapat
mengukur jenis dan kandungan senyawa dalam suatu sampel baik secara kualitatif
dan kuantitatif. GC-MS memiliki prinsip kerja yakni pemisahan komponen-
komponen dalam campuran dengan kromatografi gas atau dengan kata lain sampel
yang diinjeksikan ke dalam kromatografi gas akan diubah menjadi fasa uap dan
dialirkan melewati kolom kapiler dengan bantuan gas pembawa. Pemisahan senyawa
campuran menjadi senyawa tunggal terjadi berdasarkan perbedaan sifat kimia dan
waktu yang diperlukan bersifat spesifik untuk masing-masing senyawa.
2. Faktor yang mempengaruhi efektifitas GC-MS dalam pengujian senyawa fungsional
yaitu pH fase gerak, kondisi dari fase diam, pelarut yang digunakan serta
komposisinya, temperatur yang digunakan pada kolom dan jenis kolom yang
digunakan, serta koefisien partisinya (tingkat volatilitas dan kelarutan relatifnya pada
fase cair). Koefisien partisi ini dapat menjadi faktor yang mempengaruhi efektivitas
GC-MS yakni mempengaruhi dalam pemisahan senyawa.

B. Saran
Saran yang dapat diberikan dari praktikum Pangan Fungsional Modul 2 Topik 1
Analisis Senyawa Fungsional dengan Gas Chromatography sebagai berikut:
1. Sebaiknya harus selalu menjaga kebersihan ruangan baik sedang pelaksaanan
praktikum maupun setelah praktikum.
2. Sebaiknya sampel yang digunakan dalam pengujian terlebih dahulu diukur sesuai
ketentuannya.
3. Sebaiknya dalam menginjeksikan sampel harus berhati-hati dan teliti
MODUL III : PENGUJIAN AKTIVITAS SENYAWA FUNGSIONAL
TOPIK 1. ANALISIS TOTAL FENOL

Pengantar Teori Praktikum


Senyawa fenolat merupakan metabolit sekunder dari tanaman dan dibagi menjadi
dua kelas yaitu asam fenolat dan polifenol. Senyawa-senyawa ini memiliki aktivitas
antioksidan tinggi. Senyawa fenolat memainkan peran penting dalam berkontribusi
terhadap aktivitas antioksidan secara keseluruhan. Senyawa fenolat ini memiliki potensi
untuk melawan spesies oksigen reaktif (ROS) atau lebih dikenal sebagai spesies radikal
bebas, dengan menghambat inisiasi radikal bebas, memecah reaksi berantai dan menekan
pembentukan radikal bebas seperti ion superoksida, radikal hidroksil, oksigen singlet dan
hidrogen peroksida. Spesies radikal bebas reaktif ini dapat merusak sel tubuh jika terdapat
dalam jumlah tinggi. Penyakit kanker, ateriosklerosis, penuaan dan gangguan
serebrovaskular dapat terjadi jika radikal bebas tersebut tidak ditangkal oleh konstituen
selular, yaitu suatu senyawa antioksidan (Som et al., 2019). Antioksidan merupakan
senyawa yang dapat memperlambat, menghambat, atau mencegah oksidasi dari bahan
yang mudah teroksidasi dengan cara mengikat radikal bebas dan mengurangi stres
oksidatif (dai dan Mumper, 2010).
Salah satu metode untuk mengukur kandungan total fenol pada bahan adalah
dengan mereaksikan sampel dengan reagen Folin-Ciocalteau. Metode ini menggunakan
spektrofotometri UV/VIS yang banyak digunakan pada reaksi kolorimetri, karena mudah
dilakukan, cepat, biaya rendah, dan dapat dilakukan pada laboratorium biasa. Metode
spektrofotometri UV/VIS dengan prinsip kolorimetri membutuhkan standar baku untuk
menentukan konsentrasi total dari gugus hidroksil fenolat dalam sampel. Salah satu
pereaksi redoks (Pereaksi Folin-Ciocalteu) beraksi spesifik dengan polifenol dalam
sampel membentuk kompleks berwarna biru yang dapat diukur kadarnya menggunakan
spektrofotometri UV/VIS.

Pelaksanaan Praktikum
Link video : https://www.youtube.com/watch?v=szBbJyxBsz8
https://www.youtube.com/watch?v=JakpRV78VW8

28
29

Hasil dan Pembahasan


Senyawa fenol ini mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri atas cincin
benzene (C6) yang terikat pada ujung rantai karbon propane (C3),Kelompok senyawa
fenol ini banyak ditemukan didalam tumbuhan tingkat tinggi. Senyawa fenolik
merupakan kelompok senyawa terbesar yang berperan sebagai anti oksidan pada
tumbuhan. Senyawa fenolik memiliki satu (fenol) atau lebih (polifenol) cincin fenol, yaitu
gugus hidroksi yang terikat cincin aromatik sehingga mudah teroksidasi dengan
menyubangkan atom hidrogen pada radikal bebas. Senyawa fenolik alami umumnya
berupa polifenol yang membentuk senyawa eter, ester, atau glikosida, antara lain
flavonoid, tanin, tokoferol, kumarin, lignin, turunan asam sinamat dan asam organik
polifungsional. Senyawa fenolik merupakan senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan
sebagai respon terhadap stres lingkungan. Senyawa fenolik berfungsi sebagai pelindung
terhadap sinar UV-B dan kematian sel untuk melindungi DNA dari dimerisasi dan
kerusakan. Komponen dari senyawa ini diketahui memiliki peranan penting sebagai agen
pencegah dan pengobatan beberapa gangguan penyakit seperti arteriosiklerosis, disfungsi
otak, diabetes dan kanker.Terdapat lebih dari 8.000 jenis senyawa yang termasuk dalam
golongan senyawa fenolik. Anggota senyawa fenolik mulai dari yang paling sederhana
dengan berat molekul yang kecil, hingga senyawa kompleks dengan berat molekul lebih
dari 30.000 Da. Senyawa fenolik bertindak sebagai antioksidan, anti-penuaan, anti-
inflamasi, dan menghambat aktivitas proliferasi sel. Ageratum conyzoides (tapak liman),
dan Elephantopus scaber (bandotan) adalah anggota Asteraceae yang diketahui
mengandung bahan-bahan aktif sehingga orang menggunakan tanaman tersebut sebagai
obat. Menurut Rosa et al. (2019), senyawa fenolik (PC) memainkan peran penting dalam
potensi manfaat kesehatan. PC mewakili kelompok senyawa organik paling melimpah
kedua di kerajaan tumbuhan (tepat di belakang selulosa). Senyawa fenolik menunjukkan
aktivitas yang berbeda di tumbuhan seperti dukungan struktural, dan perlindungan
terhadap radiasi matahari ultraviolet (UV), stres biotik atau abiotik, patogen, herbivora,
dan lainnya. Senyawa fenolik PC memberikan perlindungan terhadap NTCD tidak hanya
melalui aktivitas antioksidannya, tetapi juga dengan mengatur banyak proses seluler pada
tingkat yang berbeda, termasuk penghambatan enzim, modifikasi ekspresi gen, fosforilasi
protein, dan lain-lain.
30

Mekanisme fenol sebagai antioksidan yaitu mengkelat ion logam yang terlibat
dalam produksi radikal bebas dan menekan pembentukan radikal bebas, salah satunya
yang dihasilkan dari peroksidasi lipid, dengan cara menghambat enzim. Peranan fenol
sebagai antioksidan digunakan sebagai perlindungan tubuh terhadap penyakit
kardiovaskuler dan degenerasi sel dengan meredam radikal bebas seperti radikal
superoksida dan hidroksi. Gugus fenol memiliki kemampuan untuk berpasangan dengan
radikal bebas. Kemampuan tersebut dilakukan dengan cara mendonorkan atom hidrogen
dari gugus fenol melalui transfer elektron. Proses ini dapat mengubah fenol menjadi
radikal fenoksi yang sifatnya dapat menstabilkan diri melalui proses resonansi, sehingga
tidak terbentuk reaksi berantai membentuk radikal. Hal inilah yang menyebabkan fenol
berperan terhadap aktivitas antioksidan. Semakin tinggi kandungan fenol, maka semakin
tinggi aktivitas antioksidannya. Tingginya antioksidan baik untuk menghambat radikal
bebas dalam tubuh manusia, sehingga terhindar dari penyakit seperti gangguan
serebrovaskular. Fenol bersifat polar karena memiliki gugus hidroksil yang tersubtitusi
gula sehingga larut dalam pelarut polar seperti air, metanol, etanol dan aseton. Pelarut
yang disarankan untuk ekstraksi fenol adalah campuran air dan metanol, etanol atau
aseton. Menurut Wungkana et al. (2013), senyawa fenol berpotensi sebagai antioksidan.
Antioksidan sendiri merupakan suatu inhibitor yang digunakan untuk menghambat
autIoksidasi. Efek antioksidan senyawa fenolik dikarenakan sifat oksidasi yang berperan
dalam menetralisasi radikal bebas. Berpotensinya senyawa fenil sebagai antioksidan ini
disebabkan oleh keberadaan gugus hidroksil pada senyawa fenol. Gugus hidroksil
berfungsi sebagai penyumbang atom hidrogen ketika bereaksi dengan senyawa radikal
melalui mekanisme transfer elektron, sehingga proses oksidasi dihambat.
Spektrofotometri UV/VIS merupakan salah satu metode analisis pengukuran
konsentrasi suatu senyawa yang berdasarkan kemampuan senyawa tersebut mengabsorbsi
berkas sinar yang menghasilkan sinar monokromatis. Spektrofotometri UV/VIS dapat
melakukan pengukuran di daerah tampak yakni 400 – 800 nm maupun ultra violet yakni
200 – 400 nm. Spektrofotometri sendiri memiliki beberapa metode yang mana di semua
metodenya didasarkan pada serapan sinar oleh senyawa yang ditentukan. Adapun yang
menjadi landasan dalam pengukuran menggunakan spektrofotometer yakni hukum
Lambert-Beer yaitu apabila suatu cahaya monokromatis dilewatkan suatu media yang
transparan maka intensitas cahaya yang ditransmisikan sebanding dengan tebal dan
31

kepekaan media larutan yang digunakan. Prinsip kerja dari spektrofotometri UV/VIS
yakni apabila cahaya monokromatis telah melewati suatu media (larutan), maka sebagian
cahayanya akan diserap, sebagian dipantulkan, dan sebagian dipancarkan.
Spektrofotometri UV/VIS dapat digunakan untuk informasi baik analisis kualitatif
maupun analisis kuantitatif. Data analisis kualitatif yang dihasilkan spektrofotometri UV-
VIS berupa panjang gelombang maksimal, intensitas, efek pH dan pelarut. Berbeda
dengan data analisis kualitatif, data analisis kuantitatif dapat diperoleh dengan cara
komparatif menggunakan kurva dengan data yang dihasilkan yakni berupa suatu berkas
radiasi dikenakan pada cuplikan (larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang
diteruskan diukur besarnya. Menurut Yanlinastuti dan Syamsul (2016), pengukuran
kuantitatif dilaksanakan dengan cara komparatif menggunakan kurva kalibrasi dari
hubungan konsentrasi deret larutan alat untuk analisa suatu unsur yang berkadar rendah
baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif, pada penentuan secara kualitatif
berdasarkan puncak-puncak yang dihasilkan spektrum dari suatu unsur tertentu pada
panjang gelombang tertentu, sedangkan penentuan secara kuantitatif berdasarkan nilai
absorbansi yang dihasilkan dari spektrum dengan adanya senyawa pengompleks sesuai
unsur yang dianalisisnya.
Kandungan fenolik total dalam suatu sampel dapat diukur secara kolorimetri
dengan metode Folin-Cioacalteu dan dinyatakan dengan massa ekivalen asam galat.
Pereaksi Folin-Ciocalteu merupakan suatu larutan kompleks yang terbentuk dari asam
fosfomolibdat dan asam heteropoli fosfotungstat. Pereaksi ini terbuat dari air, natrium
tungstat, natrium molibdat, asam fosfat, asam klorida, litium, sulfat, dan bromin. Prinsip
dasar untuk metode ini adalah oksidasi gugus fenolik-hidroksil. Pereaksi Folin-Ciocalteu
mengoksidasi fenolat serta mereduksi asam heteropoli menjadi suatu kompleks
molybdeum-tungsten (Mo-W). Selama reaksi berlangsung, gugus fenolik-hidroksil akan
bereaksi dengan pereaksi Folin-Ciocalteu membentuk kompleks fosfotungstat-
fosfomolibdat berwarna biru. Warna biru yang dihasilkan dari reaksi ini akan semakin
pekat setara dengan konsentrasi senyawa fenolik yang terdapat pada larutan uji dan
memiliki serapan kuat pada panjang gelombang 760 nm. Metode folin-Ciocalteu
merupakan metode yang sederhana, sensitif dan teliti. Metode ini terjadi dalam suasana
basa sehingga dalam penentuan kadar fenolik dengan pereaksi Folin-Ciocalteu digunakan
natrium karbonat untuk membentuk suasana basa. Menurut Salim et al. (2020), analisis
32

senyawa fenolat dalam tanaman menggunakan metode kolorimetri dengan pereaksi


Folin-Ciocalteu. Reaksi tersebut menghasilkan senyawa kompleks berwarna biru,
[(PMoW11O4) 4−], yang dapat diukur pada 760 nm. Kelebihan pereaksi Folin-Ciocalteu
ini adalah sederhana dan cepat, serta absorpsi dari kromofor berada di panjang gelombang
tinggi sehingga dapat mengurangi pengganggu dari matriks sampel. Namun, pereaksi
FolinCiocalteu ini kurang selektif karena dapat bereaksi dengan zat pereduksi lainnya,
seperti asam askorbat, gula, dan amin aromatik, yang mungkin terdapat dalam ekstrak
tanaman, sehingga mempertinggi kadar fenolat dari yang sesungguhnya.
Tanaman banyak mengandung senyawa fenol yang dapat digunakan sebagai
antioksidan dan baik untuk tubuh manusia. Perlu dilakukan proses ekstraksi untuk
mengeluarkan senyawa fenol pada tumbuhan. Faktor yang mempengaruhi efektivitas
pengujian fenol antara lain jenis pelarut yang digunakan, pemilihan pelarut harus sesuai
dengan senyawa apa yang akan diekstrak, sehingga mampu menarik senyawa dengan
baik. Jenis tanaman yang diekstrak mempengaruhi banyak sedikitnya senyawa fenol yang
dihasilkan, karena setiap tanaman mengandung senyawa fenol yang berbeda beda.
Kandungan fenolik dan flavonoid pada daun dewasa lebih tinggi. Metabolit sekunder
disintesis seiring dengan pertambahan usia daun, namun pada daun yang tua jumlah
sintesis metabolit sekunder akan semakin sedikit. Selain genetik, beberapa faktor yang
mempengaruhi banyaknya sintesis fenolik adalah cahaya, suhu, kekeringan, dan salinitas.
Metode ekstraksi berpengaruh pada hasil ekstraksi karena tidak semua zat dapat
diekstraksi menggunakan metode tertentu. Jenis pelarut mempengaruhi pengujian fenol,
selain itu konsentrasi pelarut juga mempengaruhi kadar fenol yang dihasilkan, dimana
semakin tinggi konsentrasi maka kadar fenol akan semakin banyak dan sebaliknya
semakin sedikit konsentrasi pelarut maka kadar fenol yang dihasilkan akan semakin
sedikit. Menurut Mu’nisa et al. (2013), pengujian fenol dipengaruhi oleh jenis pelarut.
Fenol merupakan senyawa yang bersifat polar. Pelarut yang bersifat polar mampu
melarutkan fenol lebih baik sehingga kadarnya dalam ekstrak menjadi tinggi. Salah satu
pelarut yang paling baik dalam mengekstrak senyawa fenol adalah metanol. Ekstrak
metanol menunjukkan aktivitas antioksidan paling tinggi yang ditunjukkan dengan
rendahnya nilai absorbansi dibandingkan ekstrak etanol.
33

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari Praktikum Pangan Fungsional Modul Analisis
Total Fenol adalah sebagai berikut :
1. Pengujian fenol dapat dilakukan dengan dua tahapan yakni ekstraksi dan analisis
kuantitatif dengan spektrofotometri UV/VIS. Pengujian fenol diawali dengan cara
larutan sampel dan larutan standar yang kemudian ditambahkan dengan reagen Folin-
Ciocalteu dan selanjutnya didiamkan selama beberapa menit. Langkah berikutnya
yaitu ditambahkan dengan larutan pereaksi. Campuran tersebut kemudian diinkubasi
selama waktu yang telah ditentukan pada suhu kamar dalam keadaan gelap. Terakhir
yakni pengukuran kadar fenol dilakukan dengan panjang gelombang maksimum.
2. Faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas pengujian fenol antara lain jenis pelarut
yang digunakan, konsentrasi pelarut, jenis tanaman yang diesktrak, cahaya, suhu,
kekeringan, dan salinitas. Tidak hanya itu, metode estraksi yang digunakan juga
dapat mempengaruhi efektivitas pengujian fenol. Hal ini dikarenakan tidak semua
zat dapat diekstraksi menggunakan metode tertentu.

A. Saran
Saran yang dapat diberikan pada praktikum Analisis Total Fenol adalah sebagai
berikut:
1. Sebaiknya praktikum dilakukan tepat waktu supaya mengefektifkan waktu yang ada
2. Sebaiknya praktikan mamahami video yang diberikan sebelum praktikum dimulai
3. Sebaiknya praktikan mempelajari terlebih dahulu materi praktikum
MODUL III : PENGUJIAN AKTIVITAS SENYAWA FUNGSIONAL
TOPIK 2. ANALISIS AKTIVITAS ANTIOKSIDAN
METODE DPPH RADICAL SCAVENGING

Pengantar Teori Praktikum


Antioksidan adalah zat yang dapat menghambat proses oksidasi, sehingga dapat
melindungi sel dari bahaya radikal bebas yang dihasilkan dari metabolisme tubuh maupun
faktor eksternal lainnya. Secara kimiawi antioksidan alami yang terdapat dalam tumbuh-
tumbuhan dan bahan pangan terutama berasal dari golongan senyawa turunan fenol
seperti flavonoid, turunan senyawa asam hidroksamat, kumarin, vitamin C (asam
askorbat), vitamin E (tokoferol) dan asam organik (Maesaroh et al., 2018).
Kemampuan senyawa antiradikal bebas dalam jumlah yang cukup tinggi di
dalamnya. Radikal bebas yang biasa digunakan sebagai model dalam mengukur daya
penangkapan radikal bebas adalah 1,1-difenil-2-pikrihidazil (DPPH). DPPH merupakan
senyawa radikal bebas yang stabil sehingga apabila digunakan sebagai pereaksi dalam uji
penangkapan radikal bebas cukup dilarutkan dan bila disimpan dalam keadaan kering
dengan kondisi penyimpanan yang baik dan stabil selama bertahun-tahun. Nilai
absorbansi DPPH berkisar antara 515-520 nm. Metode peredaman radikal bebas DPPH
didasarkan pada reduksi dari larutan methanol radikal bebas DPPH yang berwarna oleh
penghambatan radikal bebas. Ketika larutan DPPH yang berwarna ungu bertemu dengan
bahan pendonor elektron maka DPPH akan tereduksi, menyebabkan warna ungu akan
memudar dan digantikan warna kuning yang berasal dari gugus pikril.

Gambar 1. Reaksi DPPH dengan senyawa antioksidan


(Sumber : pubs.rsc.org dalam Tristantini et al., 2018)

34
35

Nilai konsentrasi efektif merupakan bilangan yang menunjukkan konsentrasi


ekstrak (mikrogram/mililiter) yang mampu menghambat 50% oksidasi. Perhitungan nilai
konsentrasi efektif atau IC50 menggunakan rumus (1) sebagai berikut:

𝐴𝑏𝑠 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 − 𝐴𝑏𝑠 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙


% 𝐴𝑛𝑡𝑖𝑜𝑘𝑠𝑖𝑑𝑎𝑛 = 𝑥 100%
𝐴𝑏𝑠 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙

Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang
dari 50, kuat (50-100), sedang (100-150), dan lemah (151-200). Semakin kecil nilai IC50
semakin tinggi aktivitas antioksidan (Badarinath, 2010).

Pelaksanaan Praktikum
Link video : https://www.youtube.com/watch?v=JaO7hrZ7b4Y
https://www.youtube.com/watch?v=xQH77p2izxA
https://www.youtube.com/watch?v=W-n-E-7ZTB8

Hasil dan Pembahasan


Antioksidan merupakan senyawa kimia yang dapat memberikan satu atau lebih
elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat dihambat.
Antioksidan juga dapat didefinisikan sebagai inhibitor proses oksidasi. Proses oksidasi
sendiri dapat menghasilkan radikal bebas yang mana hal tersebut dapat memicu reaksi
berantai, oleh karena adanya antioksidan ini reaksi berantai dapat dihambat maupun
diakhiri. Antioksidan dalam tubuh manusia yakni bekerja dengan memecah rantai reaksi
oksidasi. Tidak hanya memumpunyai kemampuan dalam menghambat radikal bebas,
antioksidan juga memiliki kemampuan memecah peroksida, menangkap oksigen singlet
dan kerja sinergis. Pertahanan antioksidan dalam tubuh manusia yakni berupa enzim
seperti katalase, asam askorbat, glutation, dan lainnya. Sumber antioksidan sendiri
dibedakan menjadi dua yakni antioksidan alami dan antioksidan sintetis. Antioksidan
alami dapat berasal dari tumbuhan dan antioksidan sintetik yakni dapat diperoleh dari
hasil sintesa reaksi kimia. Penggunaan antioksidan sintetik sebenarnya tidak disarankan
karena mengakibatkan efek toksik. Adapun beberapa antioksidan sintetik yang telah
diizinkan yaitu BHA, BHT, dan TBHQ. Menurut Li et al. (2014), antioksidan sintetik
memiliki efek toksik terhadap beberapa luasan. Oleh karena itu, pengambilan antioksidan
36

alami menjadi pilihan utama. Hal ini dikarenakan antioksidan alami bukan hanya
memainkan peran penting dalam pencegahan dan pengobatan penyakit, akan tetapi juga
dapat menghindari reaksi yang merugikan pada kesehatan manusia. Antioksidan alami
yang umum digunakan adalah (vitamin A, C, dan E), karotenoid, polifenol, flavonoid,
antasionin dan lainnya.
DPPH merupakan salah satu radikal nitrogen organik yang stabil yang berwarna
ungu. Adanya senyawa yang bersifat sebagai peredam radikal akan mereduksi radikal
DPPH dengan mendonasikan atom hidrogen membentuk senyawa non radikal yang dapat
ditandai dengan perubahan dari warna ungu radikal DPPH menjadi warna kuning
(golongan pikril). Metode DPPH berfungsi untuk mengukur elektron tunggal seperti
aktivitas transfer H sekalian juga untuk mengukur aktivitas penghambatan radikal bebas.
Prinsip kerja metode DPPH adalah adanya atom hidrogen dari senyawa antioksidan yang
berikatan dengan elektron bebas pada senyawa radikal sehingga menyebabkan perubahan
dari radikal bebas menjadi senyawa non-radikal. Metode uji aktivitas antioksidan dengan
DPPH dipilih karena metode ini sederhana, mudah, cepat, peka serta hanya memerlukan
sedikit sampel untuk evaluasi aktivitas antioksidan dari senyawa bahan alam sehingga
digunakan secara luas untuk menguji kemampuan senyawa yang berperan sebagai
pendonor elektron. Menurut Wanita (2018), metode DPPH dipilih karena sederhana,
mudah, cepat, dan peka serta hanya memerlukan sedikit sampel. Parameter yang
digunakan untuk uji penangkapan radikal DPPH adalah IC50 yaitu konsentrasi ekstrak
atau fraksi uji yang dibutuhkan untuk menangkap radikal DPPH sebanyak 50%.
Antioksidan merupakan substansi yang diperlukan untuk menetralisir radikal
bebas dan mencegah kerusakan sel normal, protein, dan lemak. Antioksidan pada produk
pangan khususnya produk perikanan sangat bermanfaat untuk kesehatan dan berperan
penting untuk mempertahankan mutu produk pangan dengan mencegah terjadinya
kerusakan seperti ketengikan, perubahan warna dan aroma serta kerusakan fisik lainnya.
Salah satu contoh produk perikanan yang mengandung antioksidan yaitu rumput
laut. Jenis rumput laut yang banyak mengandung antioksidan yaitu Ulva lactuca atau
biasa disebut dengan selada laut. Ulva lactuca merupakan salah satu jenis alga hijau yang
dapat dimakan. Ulva lactuca mengandung antioksidan, antibakteri, antijamur dan
antitumor. Ulva lactuca biasanya dimanfaatkan dalam bentuk segar sebagai bahan
tambahan salad dan diolah menjadi nori. Ulva lactuca merupakan rumput laut hijau yang
37

mengandung 4,59% fenol dan 0,59% flavonoid. Komponen fenolik dapat menghambat
oksidasi lipid dengan menyumbangkan atom hidrogen pada radikal bebas. Senyawa
flavonoid memiliki potensi sebagai antioksidan karena memiliki gugus hidroksil yang
terikat pada karbon cincin aromatik sehingga dapat menangkap radikal bebas yang
dihasilkan dari reaksi peroksidasi lemak. Senyawa flavonoid akan menyumbangkan satu
atom hidrogen untuk menstabilkan radikal peroksida lemak. Kandungan lain dari Ulva
lactuca sehingga dikatakan sebagai antioksidan karena di dalam rumput laut ini terdapat
senyawa melatonin. Menurut Widyaningsih et al. (2015), tanaman ganggang hijau (Ulva
lactuca L.) mengandung senyawa melatonin. Senyawa ini berfungsi sebagai antioksidan,
yaitu melalui aksi penangkapan radikal bebas secara langsung dan meningkatkan enzim
antioksidan. Mekanisme melatonin sebagai antioksidan meliputi penangkapan secara
langsung terhadap radikal bebas, menstimulasi enzim antioksidan, meningkatkan
efisiensi fosforilasi oksidatif di mitokondria, dan meningkatkan efisiensi antioksidan lain.
Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode DPPH.
Prosedur pengujian dilakukan dengan dibuat beberapa larutan sampel dengan beberapa
konsentrasi ppm dan trolox dengan beberapa konsentrasi. Sampel dipipet dan
ditambahkan larutan DPPH (200 ppm) dengan perbandingan 1:4 ke dalam 96-well clear
polystyrene microplate lalu dihomogenkan. Campuran diinkubasi selama 30 menit pada
suhu 37˚C, kemudian serapan diukur dengan microplate reader pada panjang gelombang
520 nm. Trolox sebagai kontrol positif diperlakukan sama dengan sampel. penetapan
aktivitas antioksidan dengan metode DPPH digunakan parameter IC50 yaitu konsentrasi
sampel yang dibutuhkan untuk menangkap radikal DPPH sebanyak 50%. Hal ini ditandai
dengan perubahan warna dari ungu menjadi kuning (senyawa radikal bebas tereduksi oleh
adanya antioksidan). Menurut Setiawan et al. (2018), prinsip kerja metode DPPH adalah
adanya atom hidrogen dari senyawa antioksidan yang berikatan dengan elektron bebas
pada senyawa radikal sehingga menyebabkan perubahan dari radikal bebas
(diphenylpicrylhydrazyl) menjadi senyawa non-radikal (diphenylpicrylhydrazine). Hal ini
menyebabkan terjadinya perubahan warna dari ungu menjadi kuning. Dimana hasil nilai
DPPH dengan IC50 semakin kecil nilai IC50 maka aktivitas antioksidan semakin kuat.
Prinsip dari metode uji aktivitas antioksidan ini adalah pengukuran aktivitas
antioksidan secara kuantitatif yaitu dengan melakukan pengukuran penangkapan radikal
DPPH oleh suatu senyawa yang mempunyai aktivitas antioksidan dengan menggunakan
38

spektrofotometri UV-Vis sehingga dengan demikian akan diketahui nilai aktivitas


peredaman radikal bebas yang dinyatakan dengan nilai IC50 (Inhibitory Concentration),
Nilai IC50 merupakan parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian DPPH. Nilai
IC50 didefinisikan sebagai besarnya konsentrasi senyawa uji yang dapat meredam radikal
bebas sebanyak 50%. Semakin kecil nilai IC50 maka aktivitas peredaman radikal bebas
semakin tinggi. IC50 merupakan konsentrasi larutan substrat atau sampel yang mampu
mereduksi aktivitas DPPH sebesar 50% atau IC50 dapat dikatakan bilangan yang
menunjukkan konsentrasi ekstrak (ppm) yang mampu menghambat proses oksidasi
sebesar 50%. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan.
Secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50
kurang dari 50 ppm (IC50 < 50 ppm), kuat (50 ppm < IC50 < 100 ppm), sedang (100 ppm
< IC50 < 150 ppm), lemah (150 ppm < IC50 < 200 ppm), dan sangat lemah (IC50 > 200
ppm). Menurut Kadji et al. (2013), secara spesifik, suatu senyawa dikatakan sebagai
antioksidan yang sangat kuat bila nilai IC50 < 50 ppm, kuat bila nilai IC50 bernilai 50-
100 ppm, sedang bila nilai IC50 bernilai 100-150 ppm, dan lemah bila nilai IC50 bernilai
151-200 ppm. Menurut klasifikasi ini, kedua ekstrak memiliki aktivitas antioksidan yang
sangat kuat, karena nilai IC50-nya lebih kecil dari 50 ppm.
Metode DPPH digunakan dalam pengujian antioksidan dikarenakan dapat
mengevaluasi antioksidan dalam meredam radikal bebas. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi pengujian antioksidan dengan metode DPPH diantaranya jenis pelarut
yang digunakan. DPPH hanya larut dalam pelarut organik seperti methanol dan etil asetat,
juga digunakan untuk pengujian antioksidan yang bersifat polar. Apabila dalam pengujian
DPPH menggunakan pelarut yang tidak sesuai maka pengujian antioksidan dipastikan
tidak berjalan sempurna. Selain itu karena sifatnya sebagai radikal bebas, uji DPPH
dipengaruhi juga oleh cahaya, pH, lama proses, suhu, ion organik dan garam. Lama proses
dan penggunaan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
antioksidan. Suhu yang terlalu tinggi akan meningkatkan degradasi antioksidan.
Pengujian sampel yang mengandung antosianin akan mempengaruhi kandungan
antioksidan pada sampel. Menurut Prasetyo dan Winardi (2020), penurunan aktivitas
antioksidan dipengaruhi oleh kadar antosianin yang terdapat di dalam bahan. Selain itu
bahan yang dipanaskan mencapai suhu 70oC, akan kehilangan senyawa antioksidan.
Faktor lain yang mempengaruhi pengujian antioksidan yaitu pH, cahaya dan lama proses.
39

Kesimpulan dan Saran


A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari Praktikum Pangan Fungsional Modul V Topik
II adalah sebagai berikut:
1. Antioksidan sendiri memiliki banyak peran khususnya bagi kesehatan tubuh yaitu
untuk melindungi sel-sel dari kerusakan akibat radikal bebas. Radikal bebas sendiri
dapat menyebabkan kerusakan pada sel - sel.
2. Prosedur pengujian dilakukan dengan dibuat beberapa larutan sampel dengan
beberapa konsentrasi ppm, kemudian larutan diinkubasi dan dihitung panjang
gelombangnya. Mekanisme ini berhasil dengan ditandai adanya perubahan warna
dari ungu menjadi kuning (senyawa radikal bebas tereduksi oleh adanya
antioksidan).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengujian antioksidan dengan metode DPPH
diantaranya jenis pelarut yang digunakan. DPPH hanya larut dalam pelarut organik
seperti methanol dan etil asetat, juga digunakan untuk pengujian antioksidan yang
bersifat polar.

B. Saran
Saran yang dapat diberikan dari Praktikum Pangan Fungsional Modul V Topik II
adalah sebagai berikut:
1. Sebaiknya selalu menjaga kebersihan ruangan baik saat pelaksanaan praktikum
maupun sesudah praktikum
2. Sebaiknya dalam melakukan pergitungan nilai konsentrasi efektif IC50 harus secara
cermat dan teliti agar hasil yang diperoleh akurat.
3. Sebaiknya pengujian antioksidan dengan metode DPPH harus dilakukan sesuai
dengan tahapan proses.
MODUL IV : PENGUJIAN SENYAWA FUNGSIONAL
TOPIK 1. TEKNIK IN VITRO (KULTUR SEL)

Pengantar Teori Praktikum


Kultur sel merupakan proses penghilangan atau perpindahan sel dari manusia,
hewan, atau tanaman ke dalam medium terkontrol yang sesuai untuk menumbuhkan sel
tersebut. Sel-sel tersebut dapat diambil secara langsung dari jaringan atau dengan proses
enzimatik maupun mekanik, sebelum kemudian dikultivasi (dibiakkan). Sel-sel tersebut
juga dapat diperoleh dari cell line maupun cell strain yang telah ada.
Kultur sel primer adalah kultivasi (penanaman) pertama sel pada kondisi sintetik.
Kultur sel primer merupakan kultur sel langsung dari jaringan tubuh. Ada dua teknik
dalam kultur sel primer, yaitu teknik enzimatik dan teknik eksplan langsung. Untuk teknik
enzimatik, telah dilaporkan mengenai tingkat keberhasilan isolasi keratinosit manusia
dengan berbagai variasi konsentrasi, termasuk tripsin dan dispase, kondisi enzimatiknya,
serta konsentrasi kalsium dalam medianya. Sedangkan untuk teknik eksplan langsung,
prosedurnya lebih sedikit bila dibandingkan dengan teknik enzimatik. Selain itu, dalam
teknik eksplan langsung diperoleh hasil keratinosit pertama lebih cepat dibandingkan
dengan teknik enzimatik.
Salah satu keuntungan utama dari kultur sel adalah dapat dilakukannya manipulasi
fisikokimia (seperti suhu, pH, tekanan osmotik, kadar O2 dan CO2), serta manipulasi
lingkungan fisiologis (seperti hormon dan konsentrasi nutrien) dimana sel berkembang
biak. Lingkungan saat kultur sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan
sel. Keuntungan besar lainnya dari kultur sel adalah homogenitas sel dan kontrol penuh
pada myogenesis. Beberapa masalah yang sering terjadi pada saat kultur sel yaitu,
kesalahan identifikasi cell line, adanya kontaminasi dari mikroorganisme, seperti
Mycoplasma yang dapat berasa dari lingkungan laboratorium maupun lingkungan kultur
selnya, dan ketidakstabilan genotip dan fenotip dari sel (Khumairoh et al., 2016).

Pelaksanaan Praktikum
Link video : https://www.youtube.com/watch?v=9BvTFowr0rI
https://youtu.be/y4hvWTJ44jY

40
41

Hasil dan Pembahasan


Kultur sel (culture cell) merupakan suatu sel yang dapat mengalami pengulangan
siklus atau berpoliferisasi pada media kultur secara in vitro. Kultur sel juga diartikan
sebagai suatu proses penghilangan atau perpindahan sel dari manusia, hewan, maupun
tanaman ke dalam medium terkontrol yang sesuai untuk menumbuhkan sel tersebut.
Kultur sel dapat diambil dari jaringan asal atau memperbanyak sel yang sudah ada. Kultur
sel dapat dilakukan dengan proses yang kompleks yakni isolasi sel dan jaringan atau
organ yang diperoleh langsung dari organisme asalnya atau disebut sebagai kultur sel
primer. Proses ini dapat dilakukan baik secara enzimatik, mekanik maupun disosiasi
kimia. Tidak hanya itu, kultur sel juga dapat dilakukan dengan cell line maupun cell strain
dan dilakukan di bawah kondisi laboratorium yang steril serta lingkungan yang terkendali
melibatkan suhu, gas, dan tekanan. Adanya kultur sel ini sangat bermanfaat dalam
penelitian yang dilakukan secara in vitro. Penting untuk memperhatikan dan memilih
medium kultur sel yang tepat, hal ini dikarenakan medium kultur sel yang beragam
dengan spesifik masing-masing. Tidak hanya itu, dalam penggunaan medium kultur sel
juga perlu ditambahkan antibiotik. Penambahan antibiotik ini dikarenakan kultur sel
harus dalam keadaan aseptik, sehingga adanya antibiotik dapat menghindari pertumbuhan
bakteri. Menurut Rosdiana dan Handisaputri (2016), kultur sel harus dengan keadaan
aseptik maka penambahan antibiotik dan antijamur pada medium kultur sel diperlukan.
Tujuan penambahan tersebut yaitu untuk menghindari adanya bakteri ataupun jamur yang
dapat tumbuh pada medium sehingga yang tumbuh hanya sel yang diinginkan. Kultur sel
sendiri digunakan untuk memperbanyak sel.
Kultur sel primer dapat diperoleh melalui dua metode, yaitu metode enzimatik
dan metode eksplan langsung. Kultur sel primer memiliki sifat yang dapat hidup setelah
dilakukan disagregasi. Kultur sel primer juga bersifat adhesif yang mampu melekat pada
substrat. Metode kultur sel primer dengan enzimatik dilakukan untuk mengetahui
keberhasilan dalam mengisolasi keratinosit dengan berbagai variasi. Metode dalam kultur
sel primer dapat dilakukan dengan cara menumbuhkan sel dari potongan jaringan atau
fragmen jaringan atau dapat disebut dengan eksplan primer atau dapat juga dengan
enzimatik yang diperoleh secara mekanik. Metode kultur sel dengan eksplan langsung
juga dapat dilakukan karena memiliki prosedur yang lebih sedikit dibandingkan metode
enzimatik. Penggunaan metode eksplan langsung lebih disukai karena hasil keratinosit
42

pertama yang diperoleh lebih cepat. Menurut Khumairoh et al. (2016), terdapat dua teknik
dalam kultur sel primer, yaitu teknik enzimatik dan teknik eksplan langsung. Teknik
enzimatik digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan isolasi keratinosit manusia
dengan berbagai variasi, seperti konsentrasi enzimatik serta konsentrasi kalsium dalam
media. Teknik eksplan langsung merupakan teknik yang memiliki prosedur lebih sedikit
serta hasil yang diperoleh berupa keratinosit lebih cepat dibandingkan teknik enzimatik.
Prinsip teknik enzimatik adalah teknik pemisahan sel epitel dengan menggunakan
enzim (tripsin), sehingga disebut metode enzimatik, untuk mendapatkan keratinosit dan
sekaligus mencegah sel-sel tersebut kehilangan viabilitas dan potensi kulturnya.
Meskipun beberapa penelitian yang diterbitkan dari kedua metode (enzimatik dan eksplan
langsung) yang digunakan dalam budidaya keratinosit, masih ada keraguan tentang mana
yang akan menjadi pilihan terbaik dalam memperoleh jumlah sel klonogenik terbesar,
kinerja sel, dan rentang hidup kultur terbaik. Metode teknik enzimatik diawali dengan
memotong fragmen kecil-kecil sebesar 0,5 x 0,5 mm dan direndam dalam larutan tripsin
0,05%/EDTA 0,02% di bawah pengadukan rendah pada suhu 37 C. Larutan supernatan
dengan sel diambil dalam interval 30 menit dan aksi tripsin dinetralkan dengan media
kultur yang mengandung 10% serum janin sapi. Campuran ini disentrifugasi selama 5
menit pada 1.500 rpm. Setelah itu, supernatan diaspirasi dan sel-sel disuspensikan
kembali dalam media kultur keratinosit. Untuk teknik enzimatik, telah dilaporkan
mengenai tingkat keberhasilan isolasi keratinosit manusia dengan berbagai variasi
konsentrasi, termasuk tripsin dan dispase, kondisi enzimatiknya, serta konsentrasi
kalsium dalam medianya. Menurut Restuti, (2013) biakan sel adalah biakan yang diambil
dari dispersi sel organ tertentu yang dilakukan dengan cara enzimatik, mekanik dan
disagregasi secara kimiawi. Biakan keratinosit memiliki rentang waktu yang pendek dan
hendaknya diwaspadai tercampur dengan fibroblas. Keratinosit memiliki waktu paruh
replikasi yang terbatas dan terdapat hubungan antara usia dengan penurunan jumlah
generasi. Hal ini dikaitkan dengan usia, perubahan membran sel dan komponen matriks.
Proses kultur jaringan dimulai dengan memotong bagian tanaman yang akan
dibiakkan dalam media kultur. Bagian tanaman yang akan dikulturkan ini disebut sebagai
eksplan. Prinsip teknik eksplan yaitu eksplan yang diambil berasal dari bagian daun, akar,
mata tunas, serbuk sari (anther) kuncup, ujung batang dan umbi yang dijaga
kesterilannya. Apabila perlu dapat diambil dari bagian yang masih terlindung secara
43

alamiah seperti tertutup rapat oleh sisik, daun pelindung, dan sebagainya. Eksplan yang
diambil dari jaringan yang masih muda (bila ditusuk pisau akan terasa lunak sekali),
karena mempunyai kemampuan untuk membelah sehingga bersifat meristematik, pada
prinsipnya, seluruh bagian tumbuhan dapat digunakan sebagai eksplan, namun agar suatu
kultur dapat berhasil sebaiknya digunakan eksplan yang masih bersifat meristematis,
seperti misalnya daun dan batang di bagian pucuk tanaman, hipokotil, epikotil, kotiledon,
atau ujung akar. Beberapa ciri jaringan yang bersifat meristematis antara lain dinding
selnya tipis, bentuk selnya isodiametris, inti selnya lebih besar, dan plastidanya masih
dalam bentuk proplastida. Menurut Fathurrahman et al. (2012), secara umum bagian
tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah jaringan muda yang sedang tumbuh
aktif, bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan seperti biji atau bagian biji (aksis
embrio atau kotiledon), tunas pucuk, potongan batang satu buku (nodal eksplan),
potongan akar, potongan daun dan bagian bunga. Faktor yang menyebabkan eksplan
terganggu diantaranya disebabkan oleh ketidakcocokan media kultur dengan berbagai
komponen bahan kimia (unsur makro, mikro, vitamin, zat pengatur tumbuh, dan asam
amino) faktor suhu, lamanya penyinaran dan teknik kultur jaringan yang tidak piawai.
Penggunaan kultur sel memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungan dari kultur
sel antara lain adalah dapat dilakukannya manipulasi fisikokimia, manipulasi fisiologis
dimana sel berkembangbiak serta dapat memilih medium kultur sel yang dibutuhkan.
Tidak hanya itu, kultur sel ini memiliki juga kelebihan yakni waktu yang dibutuhkan
untuk memperbanyak sel dapat dilakukan secara cepat atau hemat waktu, serta sel yang
dihasilkan memiliki sifat morfologi dan fisiologi sama persis dengan induknya. Terlepas
dari keuntungan dan kelebihan tersebut, kultur sel juga memiliki keterbatasan yang
menyebabkan kerugian seperti terjadinya ketidakstabilan genotip dan fenotip dari sel,
terjadi kesalahan dalam identifikasi saluran sel, dan adanya kontaminasi dari
mikroorganisme yang berasal dari lingkungan kultur sel. Menurut Ha et al. (2022), faktor
atau permasalahan yang dapat terjadi pada teknik kultur sel adalah lingkungan kultur,
kimia aditif, dan juga protein sel inang. Faktor tersebut tentu menyebabkan kerugian
dalam penggunaan kultur sel. Kultur sel memiliki keuntungan yaitu meningkatkan
produksi protein dengan cara mengoptimalkan parameter lingkungan seperti suhu, pH,
dan tingkat oksigen terlarut (DO).
44

Kesimpulan dan Saran


A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari modul 4 topik 1 mengenai teknik in vitro
kultur sel adalah sebagai berikut:
1. Kultur sel merupakan proses penghilangan sel dari manusia. Terdapat dua teknik yang
dapat dilakukan dalam kultur sel yaitu teknik enzimatik dan teknik eksplan langsung.
Teknik enzimatik dapat dilakukan untuk mengisolasi keratinosit manusia dengan
berbagai variasi, sedangkan teknik eksplan langsung dilakukan karena menghasilkan
keratinosit pertama yang lebih cepat dibandingkan teknik enzimatik.
2. Kultur sel memiliki kelebihan maupun kekurangan dalam penggunaannya.
Keuntungan dari kultur sel yaitu dapat dilakukannya manipulasi fisikokimia serta
manipulasi lingkungan fisiologis. Keuntungan lainnya yaitu terletak pada
homogenitas sel dan kontrol penuh pada myogenesis. Kelemahan kultur sel yaitu
adanya kontaminasi dari mikroorganisme, adanya kesalahan saat identifikasi cell line
serta ketidakstabilan genotip dan fenotip dari sel.

B. Saran
Saran yang dapat diperoleh dari modul 4 topik 1 mengenai teknik in vitro kultur sel
adalah sebagai berikut:
1. Sebaiknya praktikan memahami materi terlebih dahulu sebelum mengikuti
praktikum.
2. Sebaiknya praktikum dilakukan tepat waktu agar dapat berjalan efektif.
3. Sebaiknya praktikan memahami video yang diberikan saat praktikum.
MODUL IV : PENGUJIAN SENYAWA FUNGSIONAL
TOPIK 2. UJI IN VIVO

Pengantar Teori Praktikum


Pengujian secara in vivo biasanya menggunakan hewan coba untuk membantu
menjalankan penelitian-penalitian yang tidak bisa secara langsung dilakukan dalam
tubuh manusia dengan asumsi semua jaringan, sel-sel penyusun tubuh, serta enzim-
enzim ada dalam tubuh hewan coba tersebut memiliki kesamaan dengan manusia.
Hewan coba yang paling banyak digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus).
Terdapat lima macam jenis tikus putih yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan
di laboraturium, yaitu Long evans, Osborne mendel, Shermon, Sporgue dawley, dan
Wistar. Selain tikus putih terdapat hewan-hewan lain yang dapat digunakan sebagai
hewan coba untuk evaluasi nilai gizi makanan, antara lain, mencit (Mus musculus),
marnot (Guinea pig, Cavia porcellus), kelinci (Oryctolagus cinuculus), hamster: syrian
hamster (Mesocricetus auratus), Chinese/ gray hammster (Cricetulus grisuseus), anjing
(Canis familiaris), dan monyet (Rhesus monkey, Macaca Mulatta).
Umumnya tikus yang digunakan untuk percobaan adalah tikus-tikus yang baru
disapih (umur kurang lebih 21 hari). Sebelum percobaan dimulai harus dilakukan masa
adaptasi selama 4-5 hari untuk membiasakan tikus pada lingkungan laboratorium. Selain
itu, pada masa adaptasi ini dapat dilakukan pengamatan apakah tikus dapat terus
digunakan dalam percobaan (tidak sakit). Pada masa adaptasi ini biasanya diberikan
ransum semi sinthetic diet atau ransum yang digunakan sebagai control, yaitu kasein
dan laktalbumin sebagai sumber proteinnya, dicampur dengan bahan- bahan lain
(karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral). Bahan-bahan makanan tersebut hanya boleh
dicampurkan apabila akan digunakan dan untuk menjaga agar tidak terjadi perubahan
akibat pengaruh fisik, kimia atau mikrobiologis dan sebaiknya bahan-bahan tersebut
disimpan pada suhu 4°C (https://lordbroken.wordpress.com/2011/05/08/pengujian-in-
vivo-uji-biologi/).

Pelaksanaan Praktikum
Link video : https://www.youtube.com/watch?v=zh9D2Vf1SsY&t=336s
https://www.youtube.com/watch?v=utkGRf-QcBs

45
46

Hasil dan Pembahasan


In vivo adalah studi di mana efek dari berbagai entitas biologis diuji secara
keseluruhan, organisme atau sel hidup, biasanya hewan, termasuk manusia, dan
tumbuhan, sebagai lawan dari ekstrak jaringan atau organisme mati. In vivo berbeda
dengan eksperimen yang dilakukan secara in vitro, yaitu, di lingkungan laboratorium
menggunakan tabung reaksi, cawan Petri, dll. Pengujian secara in vivo biasanya
menggunakan hewan coba untuk membantu menjalankan penelitian-penelitian yang
tidak bisa secara langsung dilakukan dalam tubuh manusia dengan asumsi semua
jaringan, sel-sel penyusun tubuh, serta enzim-enzim ada dalam tubuh hewan coba
tersebut memiliki kesamaan dengan manusia. Contoh penyelidikan in vivo meliputi
patogenesis penyakit dengan membandingkan efek dari infeksi bakteri dengan efek
racun bakteri yang dimurnikan, pengembangan non-antibiotik, obat antivirus, dan obat
baru pada umumnya; dan prosedur bedah baru. Konsekuensinya, pengujian hewan dan
uji klinis adalah elemen utama penelitian in vivo. Pengujian in vivo sering dilakukan
secara in vitro karena lebih cocok untuk mengamati efek keseluruhan percobaan pada
subjek yang hidup. Menurut Senditya et al. (2014), uji in vivo merupakan uji yang
dilakukan pada hewan laboratorium untuk mengetahui metabolisme suatu senyawa yang
terdapat dalam tubuh. Hewan yang digunakan dalam eksperimen in vivo harus dari
kategori mamalia, karena hasilnya dapat diterapkan pada manusia. Ciri-ciri mamalia
adalah menyusui air susu ibunya, berbulu, berdarah panas, memiliki empat ruang
jantung, dan melahirkan.
Pengujian in vivo merupakan suatu eksperimen yang dilakukan dalam sel atau
organisme hidup. Uji in vivo dilakukan di dalam sel dengan kondisi yang asli yakni
tidak dapat dimanipulasi maupun dikendalikan. Penting untuk diketahui bahwa
pengujian in vivo dilakukan dengan menggunakan hewan coba atau hewan uji. Sesuai
dengan tujuan dari uji vivo sendiri yakni untuk mendapatkan pengetahuan tentang
sistem biologi yang dilihat dari perilaku hewan coba atau hewan uji. Uji in vivo
memiliki prinsip yakni suatu eksperimen yang dilakukan dengan mengaplikasikan
bahan uji dalam tubuh organisme hidup dengan asumsi bahwa semua jaringan, sel
penyusun tubuh, serta enzim-enzim yang terdapat dalam organisme tersebut memiliki
kesamaan dengan manusia. Penggunaan hewan coba ini adalah sebagai organisme
model untuk mengidentifikasi gejala-gejala pada manusia karena hewan coba memiliki
47

karakteristik genetik, biologis, dan perilaku sama dengan manusia. Hewan coba yang
biasa digunakan dalam pengujian in vivo ini adalah mencit (Mus musculus), marmut
(Guinea pig, Cavia porcellus), kelinci (Oryctolagus cuniculus), syrian hamster
(Mesocricetus auratus), gray hamster (Cricetulus griseus), anjing (Canis familiaris),
dan monyet (Rhesus monkey, Macaca Mulatta). Menurut Hairunnisa (2019), hewan
yang biasa digunakan dalam uji in vivo adalah hewan dengan galur tertentu yakni
mencit, tikus, kelinci, marmut, hamster, anjing. Hewan-hewan tersebut sangat dicari
untuk menjadi hewan percobaan pada uji in vivo. Hal ini dikarenakan tujuan utama dari
eksperimen in vivo adalah dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan tentang biologis
yang dilihat dari perilaku hewan uji.
Pengujian secara in vivo biasanya menggunakan hewan coba untuk membantu
menjalankan penelitian-penelitian yang tidak bisa secara langsung dilakukan dalam
tubuh manusia dengan asumsi semua jaringan, sel-sel penyusun tubuh, serta enzim-
enzim ada dalam tubuh hewan coba tersebut memiliki kesamaan dengan manusia. Uji
coba pada hewan perlu dilakukan sesuai etik antara lain cara memperoleh hewan
percobaan, transportasi, perkandangan, kondisi lingkungan, makanan, perawatan,
pengawasan oleh dokter hewan, dan teknik pelaksanaan uji coba dengan anestesi agar
tidak menimbulkan rasa nyeri. Biasanya hewan yang digunakan pada animal testing
merupakan hewan utuh atau hanya bagian tertentu dari tubuh hewan tersebut. Namun
demikian, tidak jarang juga hewan hidup sehat digunakan sebagai objek. Hewan yang
dapat dijadikan sebagai objek pengujian adalah hewan yang bebas dari mikroorganisme
patogen, memiliki reaksi imunitas yang baik, kepekaan pada suatu penyakit, dan
performa atau anatomi tubuh hewan percobaan dikaitkan dengan sistem genetiknya atau
dikenal dengan galur tertentu seperti mencit, tikus, kelinci, marmut, babi, anjing atau
primata. Menurut Untari et al. (2017), hewan yang dipelihara khusus sebagai hewan
percobaan, penelitian, pengujian, pengajaran, dan penghasil bahan biomedik ataupun
dikembangkan menjadi hewan model untuk penyakit manusia yaitu mencit, tikus,
marmot, kelinci, kucing, anjing, kera, unggas dan hewan yang relatif kecil yang
disiapkan untuk eksperimentasi. Hewan harus bebas dari rasa lapar dan haus; bebas dari
rasa tidak nyaman; bebas dari rasa nyeri, luka, dan sakit; bebas dari rasa takut dan
ketakutan; dan bebas untuk mengekspresikan perilaku normalnya.
48

Salah satu aplikasi dalam pengujian in vivo bidang perikanan yaitu untuk
menguji aktivitas minyak ikan sebagai antidepresan. Minyak ikan merupakan salah satu
produk perikanan yang mengandung asam lemak kaya manfaat karena mengandung
sekitar 25% asam lemak jenuh dan 75% asam lemak tak jenuh. Omega-3 merupakan
salah satu asam lemak tak jenuh yang terkandung dalam minyak ikan dan memiliki
peran penting bagi tubuh. Pengujian minyak ikan secara in vivo ini menggunakan
mencit jantan putih yang diinduksi depresi kronik dengan metode Forced Swimming
Test (FST) sebagai alat bantu uji. Metode pengujian in vivo dilakukan dengan hewan
uji coba berupa mencit putih jantan dan dibagi ke dalam 4 kelompok dengan masing-
masing kelompok terdapat 5 ekor mencit. Kelompok hewan coba terdiri dari kelompok
kontrol negatif (emulsi span dan tween 5% secara P.O), kontrol positif (fl uoxetin 20
mg secara intraperitoneal), dosis 1 (minyak ikan 250 mg/Kg BB secara P.O) dan dosis
2 (minyak ikan 500 mg/kg BB secara P.O). Perlakuan diberikan selama 15 hari dan
dilakukan pengamatan. Menurut Faizah et al. (2018), uji in vivo merupakan salah satu
pengujian biologis dengan menggunakan makhluk hidup berupa hewan tertentu sebagai
alat uji. Salah satu aplikasi uji in vivo yaitu pengujian terhadap minyak ikan. Tujuan
dari uji in vivo minyak ikan ini yaitu untuk mengetahui apakah minyak ikan dapat
digunakan sebagai antidepresan atau tidak.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dalam keberhasilan pengujian in vivo
antara lain pemilihan spesies hewan coba atau hewan uji, galur dan jumlah hewan, cara
pemberian sediaan uji, pemilihan dosis uji, efek samping sediaan uji, teknik dan
prosedur pengujian termasuk bagaimana cara penanganan hewan selama waktu
percobaan berlangsung seperti kondisi hewan yang terkendali tidak mengalami sakit,
akibat faktor lain diluar pemberian sediaan seperti daya tahan dan kerentanan mencit
yang optimal, faktor mencit yang tidak mengalami stress, tidak bertikai dengan sesama
hewan uji dalam satu kandang, kondisi kandang yang sudah efektif, pemberian pakan
dan minum yang sesuai standar, dan lain-lain. Menurut Dersjant‐Li (2015), banyak
faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas in vivo, termasuk faktor yang berhubungan
dengan fitase seperti kisaran pH optimal dan ketahanan terhadap protease. Faktor yang
berhubungan dengan hewan termasuk spesies, usia hewan dan waktu retensi. Faktor
yang berhubungan dengan makanan seperti kandungan fitat, kadar kalsium.
49

Kesimpulan dan Saran


A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari Praktikum Pangan Fungsional Modul 4
Topik 2 Uji In Vivo adalah sebagai berikut:
1. Pengujian in vivo dilakukan dengan mengaplikasikan bahan uji dalam tubuh
organisme hidup dengan asumsi bahwa semua jaringan, sel penyusun tubuh,
serta enzim-enzim yang terdapat dalam organisme tersebut memiliki kesamaan
dengan manusia. Tujuan uji in vivo adalah untuk mendapatkan pengetahuan
tentang sistem biologi yang dilihat dari perilaku hewan coba atau hewan uji,
untuk melihat adanya gambaran reaksi biokimia, fisiologik, dan patologik pada
manusia terhadap suatu sediaan uji.
2. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dalam keberhasilan pengujian in vivo
antara lain pemilihan spesies hewan coba atau hewan uji, galur dan jumlah hewan,
cara pemberian sediaan uji, pemilihan dosis uji, efek samping sediaan uji, teknik
dan prosedur pengujian termasuk bagaimana cara penanganan hewan selama
waktu percobaan berlangsung.

B. Saran
Saran yang dapat diperoleh dari modul 4 topik 2 mengenai teknik in vivo adalah
sebagai berikut:
1. Sebaiknya praktikan memahami materi terlebih dahulu sebelum mengikuti
praktikum.
2. Sebaiknya praktikum dilakukan tepat waktu agar dapat berjalan efektif.
3. Sebaiknya praktikan memahami video yang diberikan saat praktikum
DAFTAR PUSTAKA

Adhiksana, A. 2017. Perbandingan Metode Konvensional Ekstraksi Pektin Dari Kulit


Buah Pisang dengan Metode Ultrasonik. Journal of Research and Technology.
3(1): 80-88.

Aissa, A. A dan M. Aider. 2013. Lactose isomerization into lactulose in an electro-


activation reactor and high-performance liquid chromatography (HPLC)
monitoring of the process. Journal of Food Engineering, 119: 115-124.

Ali, F., D. Saputri dan R. F. Nugroho. 2014. Pengaruh Waktu Perendaman dan
Konsentrasi Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava, Linn) sebagai Inhibitor
terhadap Laju Korosi Baja SS 304 dalam Larutan Garam dan Asam. Teknik
Kimia, 1 (20): 28 – 37.

Anastasia, Y. 2012. Teknik Analisis Residu Golongan Tetrasiklin dalam Daging Ayam
secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Buletin Teknik Pertanian, 16(2): 68-
73.

Anam, C., T. W. Agustini dan Romadhon. 2014. Pengaruh Pelarut yang Berbeda pada
Ekstraksi Spirulina platensis Serbuk sebagai Antioksidan dengan Metode
Soxhletasi. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 3(4): 106-112.

Ariyani, F., L. E. Setiawan dan F. E. Soetaredjo. 2017. Ekstraksi Minyak Atsiri dari
Tanaman Sereh dengan Menggunakan Pelarut Metanol, Aseton dan n-heksana.
Widya Teknik, 7(2): 124-133.

Aulia, S. S., dan M. Muchtaridi. 2016. Penetapan Kadar Simvastatin Menggunakan


Kromatorafi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Farmaka, 14(4):70-78.

Aziz, T., M. E. G. Johan dan D. Sri. 2018. Pengaruh Jenis Pelarut, Temperatur dan Waktu
terhadap Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Kulit Buah Naga
(Hylocereuspolyrhizus). Jurnal Teknik Kimia, 1 (24) : 17 – 27.

Azizah, Z., F. Elvis, Z. Zulharmita, S. Misfadhila, B. Chandra dan Yetti, R. D. 2020.


Penetapan Kadar Flavonoid Rutin pada Daun Ubi Kayu (Manihot Esculenta
Crantz) Secara Spektrofotometri Sinar Tampak. Jurnal Farmasi Higea,
12(1):90-98.

Calder, C. P. 2015. Functional Roles of Fatty Acids and Their Effects on Human Health.
Journal of Parenteral and Enteral Nutrition, 20(10):1-15.

Dersjant‐Li, Y., Awati, A., Schulze, H., dan Partridge, G. 2015. Phytase in non‐ruminant
animal nutrition: a critical review on phytase activities in the gastrointestinal
tract and influencing factors. Journal of the Science of Food and Agriculture,
95(5), 878-896.

50
51

Faizah, A. K., Y. Andhiarto dan N. Wijayanti. 2018. Uji Aktivitas Minyak Ikan sebagai
Antidepresan pada Depresi Kronik secara In Vivo. Jurnal Sainmed, 10(2): 56-
58.

Fajarullah, A., H. Irawan., dan A. Pratomo. 2014. Ekstraksi Senyawa Metabolit Sekunder
Lamun Thalassodendron ciliatum Pada Pelarut. Jurnal Researchgate, 1(10): 1-
15.

Fathurrahman., Mellisa dan S. Sutriana. 2012. Pemberian Benzil Amino Purin (BAP)
Terhadap Eksplan Adenium (Adenium obesum) Secara In Vitro. Jurnal
Agroteknologi, 2 (2) : 1 - 10.

Ha, T. K., D. Kim, C. L. Kim, L. M. Grav dan G. M. Lee. 2022. Factors Affecting the
Quality Therapeutic Proteins in Recombinant Chinese Hamster Ovary Cell
Culture. Biotechnology Advances, 54: 1-16.

Hairunnisa. 2019. Sulitnya Menemukan Obat Baru Di Indonesia. Majalah Farmasetika,


4(1): 16-21.

Ivanovs, K. dan D. Blumberga. 2017. Extraction of Fish Oil Using Green Extraction
Methods: A Short Review. Energy Procedia. 128: 477-483.

Kadji, M. H., Runtuwene, M. R., dan Citraningtyas, G. 2013. Uji fitokimia dan aktivitas
antioksidan dari ekstrak etanol daun soyogik (Saurauia bracteosa DC).
Pharmacon, 2(2):13-17.

Kamar, I., F. Zahara dan D. Yuniharni. 2021. Identifikasi Parasetamol dalam Jamu Pegal
Linu Menggunakan Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT). QUIMICA: Jurnal
Kimia Sains dan Terapan, 3(1):24-29.

Khumairoh, I., M. Irma dan Puspitasari. 2016. Kultur Sel. Jurnal Farmaka, 14(2): 98-110.

Kusuma, A. S. W. dan R. M. H. Ismanto. 2016. Penggunaan Instrumen High-


Performance Liquid Chromatography Sebagai Metode Penentuan Kadar
Kapsaisin Pada Bumbu Masak Kemasan “Bumbu Marinade Ayam Special”
Merek Sasa. Farmaka. 14(2): 41-46.

Li, S., G. Chen, C. Zhang, M. Wu, S. Wu dan Q. Liu. 2014. Research Progress of Natural
Antiokxidants In Foods For The Treatment of Diseases. Food Science and
Human Wellness. (3): 110-116.

Makalalag, A. 2018. Pembuatan Metil Ester dari Minyak Kelapa. Jurnal Penelitian
Teknologi Industri. 10(2): 67-74.

Mu’nisa, A., T. Wresdiyati., N. Kusumorini dan W. Manalu. 2013. Aktivitas Antioksidan


Ekstrak Daun Cengkeh. Jurnal Veteriner, 13(3): 272-277.
52

Ngadiarti, I., C. M. Kusharto., D. Briawan., S. A. Marliyati dan D. Sayuthi. 2013.


Kandungan Asam Lemak dan Karakteristik Fisiko-Kimia Minyak Ikan Lele dan
Minyak Ikan Lele Terfermentasi. Penelitian Gizi dan Makanan, 36(1): 82-90.

Nurhaen., D. Winarsi dan A. Ridhay. 2016. Isolasi dan Identifikasi Komponen Kimia
Minyak Atsiri dari Daun, Batang dan Bunga Tumbuhan Salembangu (Melissa
sp.). Online Journal of Nature Science, 5(2): 149-157.

Pandiangan, M., D. Panjaitan dan A. D. Bangun. 2021. Analisis Kandungan Asam Lemak
Pada Minyak Ikan Belut. Jurnal Riset Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian.
2(1): 102-109.

Prasetyo, H. A dan R. R. Winardi. 2020. Perubahan Komposisi Kimia dan Aktivitas


Antioksidan pada Pembuatan Tepung dan Cake Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas
L). Jurnal Agrica Ekstensia, 14(1): 25-32.

Rantawi, A. B., A. Mahfud dan R. E. Situmorang. 2017. Korelasi Antara Kadar Air pada
Kernel Terhadap Mutu Kadar Asam Lemak Bebas Produk Palm Kernel Oil Yang
Dihasilkan (Studi Kasus pada PT XYZ). Industrial Engineering Journal,
6(1):36-42.

Restuti, R. D. 2013. Metode biakan jaringan kolesteatoma pasien otitis media supuratif
kronik tipe bahaya. Oto Rhino Laryngologica Indonesiana, 43(1): 13-18.

Rifkia, V dan I. Prabowo. 2020. Pengaruh Variasi Suhu dan Waktu terhadap Rendemen
dan Kadar Total Flavonoid pada Ekstraksi Daun Moringa oleifera Lam. dengan
Metode UltrasonikPengaruh Variasi Suhu dan Waktu terhadap Rendemen dan
Kadar Total Flavonoid pada Ekstraksi Daun Moringa oleifera Lam. dengan
Metode Ultrasonik. PHARMACY: Jurnal Farmasi Indonesia, 17 (2) : 387 – 395.

Rosa, L. A, J. O. M. Escamilla., J. R. Garcia dan E. A. Parrilla. 2019. Phenolic


Compounds. Postharvest Physiology and Biochemistry of Fruits and Vegetables,
123 : 253–271.

Rosdiana, A. dan Y. E. Handisaputri. 2016. Review Artikel: Studi Pustaka Tentang


Prosedur Kultur Sel. Farmakologi, 14(1): 236-249.

Rosydiati dan E. K. Saleh. 2019. Karakterisasi Puncak Kromatogram dalam HPLC


Terhadap Perbedaan Fase Gerak, Laju Alir dan Penambahan Asam. KANDAGA.
1(2): 65-73.

Salim, S. A., F. A. Saputri., N. M. Saptarini dan J. Levita. 2020. Review Artikel:


Kelebihan dan Keterbatasan Pereaksi Folinciocalteu dalam Penentuan Kadar
Fenol Total pada Tanaman. Farmaka, 18 (1) : 46-57.

Sari, D. K., D. H. Wardhani dan A. Prasetyaningrum. 2013. Kajian Isolasi Senyawa


Fenolik Rumput Laut Euceuma Cottonii berbantu Gelombang Microwave
dengan Variasi Suhu dan Waktu. Jurnal Teknik Kimia, 3 (19) : 38 – 43.
53

Senditya, M., Hadi, M. S., Estiasih, T., dan Saparianti, E. 2014. Efek Prebiotik dan
Sinbiotik Simplisia Daun Cincau Hitam (Mesona palustris BL) secara In Vivo:
Kajian Pustaka (In Press Oktober 2014). Jurnal Pangan dan Agroindustri, 2(3),
141-150.

Setyantoro, M. E., H. Haslina dan B. S. Wahjuningsih. 2019. Pengaruh Waktu Ekstraksi


Dengan Metode Ultrasonik Terhadap Kandungan Vitamin C, Protein, dan
Fitokimia Ekstrak Rambut Jagung (Zea mays L.). Jurnal Teknologi Pangan dan
Hasil Pertanian, 14(2):53-67.

Setiawan, F., O. Yunita dan A. Kurniawan. 2018. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak
Etanol Kayu Secang (Caesalpinia sappan) Menggunakan Metode DPPH, ABTS,
dan FRAP. Media Pharmaceutica Indonesiana, 2 (2) : 1 - 13.

Untari, H. D., B. R. Suryanto. Z. Famia dan Suprihatin. 2017. Kebijakan Penerapan


Kesejahteraan Hewan di BBVET Wates serta Keterkaitannya dengan Peternakan
Rakyat dalam Pengambilan Sampel untuk Uji Laboratorium. Jurnal STPP, 1 (1)
: 385 - 395.

Wardani, E., Y. Harahap, A. Mun’im dan A. Bahtiar. 2019. Influence of Extraction on


the Yield, Phytochemical and LCMS Profile from Standardized Kemuning Leaf
(Murraya paniculata (L.) Jack). Pharmacognosy Journal, 11(6):1455-1462.

Wanita, D. 2018. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Beluntas (Pluchea
indica L.) Dengan Metode DPPH (2, 2-Difenil-1-Pikrilhidrazil). Indonesian
Chemistry and Application Journal, 2(2):25-28.

Widyaningsih, W., R. Sativa dan I. Primardiani. 2015. Efek Antioksidan Ekstrak Etanol
Ganggang Hijau (Ulva lactuca L) terhadap Kadar Melondialdehid dan Aktivitas
Enzim Superoksida Dismutase Hepar Tikus yang Diinduksi CCL4. Media
Farmasi, 12(2): 163-175.

Wungkana, I., E. Suryanto dam L. Momuat. 2013. Aktivitas Antioksidan dan Tabir Surya
Fraksi Fenolik dari Limbah Tongkol Jagung (Zea mays L.). Jurnal Ilmiah
Farmasi, 2(4): 149-155.

Yanlinastuti dan S. Fatimah. 2016. Pengaruh Konsentrasi Pelarut Untuk Menentukan


Kadar Zirkonium Dalam Paduan U-Zr dengan Menggunakan Metode
Spektrofotometri UV-Vis. Pengolahan Instalasi Nuklir. 9(17): 22-33.

Anda mungkin juga menyukai