MODUL PRAKTIKUM
Mata Kuliah Pengendalian Mutu Hasil Perikanan
Disusun oleh:
TIM DOSEN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
hal. 2 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
BAHAN BACAAN
1. Gram, L. and Dalgaard, P. 2002. Fish spoilage bacteria – problems and solutions . Current Opinion in Biotechnology, 13:262–266.
2. Howgate, P. 2009. Traditional methods. In: Fishery products quality, safety, and authenticity. Edited by: Harmut Rehbein and Jörg
Oehlenschläger. Wiley-Blackwell. A John Wiley & Sons, Ltd, Publication, Chichester, UK. 19 – 41.
hal. 3 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
3. Huss, H.H. 1988. Fresh fish quality and quality changes.Food Agricultural Organization of The United Nation Danish International Development
Agency Rome. Pp. 134.
4. Huss, H.H. and Larsen. 1977. The post mortem changes in oxidation and reduction potentialof fish muscle and internal organs. In:
sebolenska_ceronik et al., (eds), ProceedingX Internatioanl Symposium IAMS. Polandia. Pp. 265 – 279.
5. Wijayanti, I., Swastawati, F. and Agustini, T. W., 2006 K-value dan Eh changes pattern in Katsuwonus pelamis on chilled storage. Jurnal Pasir
Laut, 2, (3): 1-12. (In Indonesia)
6. Agustini, T.W. Fronthea S., YS. Darmanto, and Eko Nurcahya Dewi. 2004. Uji mutu terpadu ikan dan produk perikanan di Indonesia. Research
Institute of Diponegoro University. (Research report). Unpublished.
hal. 4 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
Ikan merupakan bahan pangan sebagai substrat yang cocok bagi pertumbuhan
mikroorganisme. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada ikan adalah
pH, Aw, kadar garam dan bahan pengawet, serta oksidasi reduksi potensial (Huss and
Larsen, 1977).
Potensial redoks didefinisikan sebagai hubungan O2 dengan mikroba yang hidup dan
mungkin digunakan khusus pada lingkungan mikroorganisme untuk menghasilkan energi.
Oksidasi adalah proses pelepasan elektron dari suatu bahan dan reduksi adaah penambahan
elektron dari suatu bahan (Brown and Finskiger, 1980). Dengan demikian, ORP didefinisikan
sebagai perbandinagn kuantitatif dari sejumlah oksidan yang bertindak sebagai penerima
elektron dan sejumlah reduktan yang bertindak sebagai pendonor elektron dalam suatu
sistem oksidasi reduksi. Potensial redoks akan semakin positif pada saat rasio antara oksidan
dan reduktan meningkat (Fruton and Smond, 1958). Potensial redoks ini banyak kaitanyya
dengan kemampuan medium untuk dapat menangkap dan melepas elektron (Winarno, 1995).
Tujuan
Setelah menyelesaikan mata acara praktikum ini, mahasiswa mampu melakukan dengan benar
pengujian pH pada ikan dan produk perikanan.
Kompetensi
Prosedur Kerja
a. Bahan
Ikan kembung segar dan mundur mutu (@1 ekor per 20 praktikan)
Ikan lele segar dan mundur mutu (@1 ekor per 20 praktikan)
Ikan nila merah segar dan mundur mutu (@1 ekor per 20 praktikan)
Ikan bandeng segar dan mundur mutu (@1 ekor 20 praktikan)
Udang segar dan mundur mutu (@1 ekor per 20 praktikan)
Aquadest (50 mL per 5 praktikan)
hal. 5 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
hal. 6 dari 49
b. Alat
pH meter (1 buah per 20 praktikan)
Beaker glass 20 mL (1 buah per 5 praktikan)
Mortar (1 buah per 5 praktikan)
Timbangan elektrik (1 buah per 20 praktikan)
Piring sampel (1 buah per 5 praktikan)
Kertas label (1 lembar per 5 praktikan)
c. Metoda
c.1. Preparasi sampel
Fillet daging ikan kemudian haluskan semua daging ikan (hasil fillet) dalam mortar
sampai halus.
0 6,5
1 6,5
Suhu ruang, daging
1 Udang Vannamei
lembek, berlendir
2 6,6
3 6,7
0 6,9
1 6,9
Suhu dingin, daging
2 Udang Vannamei
lembek, berlendir
2 6,8
3 6,7
Pembahasan:
Udang vannamei atau udang putih merupakan spesies udang budidaya Indonesia
yang berasal dari perairan Amerika Tengah, tepatnya pada negara-negara Amerika Tengah
dan Selatan seperti Ekuador, Venezuela, Panama, Brazil, dan Meksiko yang sudah lama
membudidayakan jenis udang yang biasa disebut sebagai pacific white shrimp ini. Tubuh
udang vannamei dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala dan bagian badan.
Bagian kepala menyatu dengan bagian dada disebut cephalothorax yang terdiri dari 13 ruas,
yaitu 5 ruas di bagian kepala dan 8 ruas di bagian dada. Bagian badan dan abdomen terdiri
dari 6 ruas, tiap-tiap ruas (segmen) mempunyai sepasang anggota badan (kaki renang) yang
beruas-ruas pula. Ujung ruas keenam terdapat ekor kipas 4 lembar dan satu telson yang
berbentuk runcing. Udang vannamei termasuk genus Penaeus dicirikan oleh adanya gigi
pada rostrum bagian atas dan bawah, mempunyai dua gigi di bagian ventral dari rostrum
dan gigi 8-9 di bagian dorsal serta mempunyai antena panjang. Udang vannamei meupakan
salah satu komoditas utama dalam industri perikanan budidaya karena memiliki nilai
ekonomis tinggi (high economic value) serta permintaan pasar tinggi (high demand
product). Menurut Amin et al. (2022), udang putih (Litopenaeus vannamei) merupakan
salah satu produk dengan nilai ekonomi tertinggi di dunia termasuk Indonesia. Udang putih
sudah dibudidayakan secara komersial di Indonesia sejak tahun 2000 untuk menggantikan
udang windu. Budidaya udang meningkat secara dramatis dan menjadi spesies krustasea
yang didapatkan di penyimpanan suhu ruang pada jam ke 0, 1, 2, dan 3 secara berurutan
adalah 6,5; 6,5; 6,6; dan 6,7. Kondisi daging udang vannamei yang didapatkan pada suhu
ruang yaitu lembek dan berlendir. Perubahan pH yang didapatkan di penyimpanan suhu
dingin pada jam ke 0,1,2, dan 3 secara berurutan adalah 6,9; 6,9; 6,8; dan 6,7. Kondisi
daging udang vannamei yaitu lembek dan berlendir. Berdasarkan hasil yang didapatkan
dapat diketahui bahwa semakin lama waktu penyimpanan akan berbanding lurus dengan
perubahan pH pada sampel yang disimpan. Apabila sampel yang disimpan dalam jangka
waktu yang lama, maka perubahan pH pada sampel akan semakin tinggi. Hal ini
dikarenakan pada saat proses penyimpanan, sampel akan mengalami fase kemunduran mutu
sehingga akan terjadi proses autolysis. Proses autolysis akan menyebabkan perombakan
kerbohidrat oleh mikroba yang menyebabkan keadaan awal yang bermula dengan suasana
asam akan berubah menjadi basa. Menurut Afrianto et al. (2014) , nilai pH ditentukan oleh
kemampuan dari enzim yang ada pada ikan atau mikroba yang hidup pada tubuhnya. Enzim
yang tidak terdenaturasi karena proses pemasakan akan mengubah karbohidrat menjadi
vannamei yang disimpan pada suhu ruang dan suhu dingin. Perubahan pH terjadi setiap
satu jam sekali dari jam ke-1 sampai jam ke-3. Sampel udang vannamei yang disimpan
pada suhu ruang pada jam ke-0 dan jam ke-1 mempunyai pH yang sama yaitu 6,5.
Penyimpanan udang vannamei pada jam ke-2, pH-nya yaitu 6,6 sedangkan pada jam ke-3,
pH-nya yaitu 6,7. Udang vannamei yang disimpan pada suhu ruang mempunyai daging
yang lembek dan berlendir. Sampel udang vannamei yang disimpan pada suhu dingin pada
jam ke-0 dan jam ke-1 mempunyai pH yang sama yaitu 6,9. Penyimpanan udang vannamei
pada jam ke-2, pH-nya yaitu 6,8 sedangkan pada jam ke-3, pH-nya yaitu 6,7. Udang
vannamei yang disimpan pada suhu dingin mempunyai ciri-ciri yang sama dengan udang
vannamei yang disimpan pada suhu ruang dagingnya dapat berubah menjadi lembek dan
berlendir. Menurut Qumairoh et al. (2021), nilai derajat keasamaan (pH) merupakan salah
satu indikator yang digunakan untuk menentukan kesegaran udang secara kimiawi. Udang
akan mengalami kematian dalam kondisi pH 6,4. Adanya aktivitas bakteri dan proses
Pengujian pH pada sampel dengan suhu yang berbeda yaitu suhu ruang dan suhu
rendah mendapatkan hasil yang berbeda. Nilai pH pada suhu rendah memiliki hasil lebih
tinggi sedangkan pada suhu ruang memiliki hasil lebih rendah. Nilai pH yang rendah
disebabkan oleh akumulasi asam laktat. Kandungan senyawa organik yang terdapat didalam
ikan mati akan terdekomposisi oleh senyawa enzim yang masih aktif. Karbohidrat
merupakan jenis senyawa yang mengalami perubahan paling cepat. karbohidrat yang
berbentuk glikogen dirombak menjadi asam laktat dan terakumulasi di dalam tubuh ikan
penyebab penurunan nilai pH. Menurut Bawinto et al. (2015), tinggi rendahnya pH
dipengaruhi beberapa faktor salah satunya suhu. Daging ikan yang mempunyai pH tinggi
trimetilamin, dan senyawa- senyawa volatile lainnya, yang juga dapat menurunkan nilai
organoleptik dari produk. Nilai pH bahan pangan selama penyimpanan dapat berubah
karena adanya protein yang terurai oleh enzim proteolitik dan bantuan bakteri menjadi
Faktor yang mempengaruhi nilai pH pada produk perikanan salah satunya yaitu
proses kemunduran mutu ikan. Nilai pH merupakan salah satu indikator yang digunakan
untuk menentukan tingkat kesegaran ikan. Perubahan pH pada ikan menunjukkan adanya
proses pembusukan. Pembusukan ikan terjadi karena adanya proses autolisis dan
pertumbuhan bakteri. Glikogen pada tubuh ikan akan diuraikan menjadi asam laktat melalui
proses glikolisis, sehingga terjadi penumpukan asam laktat. Penumpukan tersebut dapat
menurunkan pH pada ikan. Faktor lainnya yang mempengaruhi nilai pH pada ikan antara
lain jenis ikan, kondisi ikan, suhu lingkungan, cara penangkapan, dan kondisi lainnya. Jenis
ikan yang berbeda, mengandung senyawa yang berbeda serta pH yang dihasilkan akan
berbeda juga. Cara penangkapan yang kurang baik akan mengakibatkan ikan mengalami
kerusakan atau stress, dan mengakibatkan proses kemunduran mutu yang lebih cepat.
Kecepatan perubahan nilai pH dipengaruhi kondisi ikan sesaat sebelum mati. Kondisi ikan
dibandingkan kondisi ikan yang tidak stress. Menurut Fan et al. (2014), variasi antara nilai
pH dikarenakan spesies, musim, tingkat aktivitas, dan faktor lainnya. Penurunan nilai pH
awal mungkin disebabkan oleh dekomposisi glikogen, ATP, dan kreatin fosfat dalam otot
ikan, sedangkan peningkatan selanjutnya disebabkan oleh produksi zat basa yang
disebabkan oleh degradasi protein baik oleh enzim endogen maupun mikroba.
hasil yang berbeda. Pengujian pH dilakukan dalam 4 waktu yaitu jam ke 0, 1, 2 dan 3.
Sampel pertama yaitu udang vannamei yang diletakkan pada suhu ruang memiliki daging
yang lembek dan berlendir. Nilai pH udang vannamei tersebut pada jam ke 0 dan 2 yaitu
6,5. Nilai pH udang vannamei tersebut pada jam ke 2 yaitu 6,6. Nilai pH udang vannamei
tersebut pada jam ke 3 yaitu 6,7. Udang vannamei yang diletakkan pada suhu ruang seiring
bertambahnya waktu, nilai pH nya semakin tinggi. Hal tersebut dikarenaka kerja enzim
metabolism yang cepat pada udang dan kandungan glikogen dalam daging ikan karena
proses kematian. Sampel kedua yaitu udang vannamei yang diletakkan pada suhu dingin
memiliki daging yang lembek dan berlendir. Nilai pH udang vannamei tersebut pada jam ke
0 dan 2 yaitu 6,9 Nilai pH udang vannamei tersebut pada jam ke 2 yaitu 6,8. Nilai pH
udang vannamei tersebut pada jam ke 3 yaitu 6,7. Udang vannamei yang diletakkan pada
suhu ruang seiring bertambahnya waktu, nilai pH nya semakin tinggi. Hal tersebut
dikarenakan adanya pembentukan amina oleh asam amino dekarboksilasi. Semakin lama
proses penyimpanan udang, maka semakin tinggi pH udang. Perubahan nilai pH terjadi
karena adanya proses autolisis dan aktivitas bakteri. Standar nilai pH dari udang segar
adalah sekita 7-8. Menurut Jannah et al. (2014), pH udang yang mengalami penurunan
selama penyimpanan dingin juga disebabkan oleh udang yang digunakan dalam penelitian
masih dalam keadaan segar langsung disimpan dalam suhu dingin, sehingga pH udang
mengalami penurunan pada saat memasuki masa rigor mortis. Efisiensi pengawetan dengan
Pendinginan yang dilakukan sebelum rigor mortis berlalu merupakan cara yang paling
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diberikan pada modul V topik 1 tentang materi pengujian
pH yaitu dalam pengujian pH ada beberapa tahapan yang harus dilakukan. Pertama yaitu
melakukan pengecekan elektroda gelas dengan larutan standar. Tahapan kedua yaitu
ketiga yaitu menempelkan langsung elektroda pada permukaan bahan uji yang akan
diukur sampai menembus kedalam kurang lebih setengah dari ketebalan cairan.
Selanjutnya yaitu mencatat nilai pH sampel yang tertera pada elektrometer. Pengukuran
sebanyak 2 kali pada tiap sampel. Apabila proses pengukuran telah selesai sebaiknya
elektroda dicuci dan direndam dalam aquades selama beberapa menit sebelum dilakukan
B. Saran
Saran yang dapat diberikan pada Modul V Topik I: Pengujian pH pada Ikan dan
2. Sebaiknya, diberikan sampel produk olahan untuk mengetahui perbedaan lain; dan
perbandingan.
Daftar Pustaka
Afrianto, E., E. Liviawaty, O. Suhara, dan H. Hamdani. 2014. Pengaruh Suhu dan Lama
Blansing Terhadap Penurunan Kesegaran Filet Tagih Selama Penyimpanan Pada
Suhu Rendah. Jurnal Akuatika, 5(1):45-54.
Bawinto, A. S., E. Mongi dan B. E. Kaseger. 2015. Analisa Kadar Air, pH, Organoleptik
dan Kapang pada Produk Perikanan Ikan Tuna (Thunnus Sp.) Asap di Kelurahan
Girian Bawah, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Jurnal Media Teknologi Hasil
Perikanan, 3(2): 55-65.
Fan, H., Y. Luo, X. Yin, Y. Bao dan L. Feng. 2014. Biogenic Amine and Quality Changes
in Lightly Salt-and Sugar-Salted Black Carp (Mylopharyngodon piceus) Fillets
Stored at 4°C. Food Chemistry, 159: 20-28.
Jannah, M., W. F. Ma'ruf dan T. Surti. 2014. Efektivitas Lengkuas (Alpinia galanga)
Sebagai Pereduksi Kadar Formalin pada Udang Putih (Penaeus merguiensis) selama
Penyimpanan Dingin. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 3(1) :
70-79.
Qumairoh, U., Sudarti dan T. Prihandono. 2021. Pengaruh Paparan Medan Magnet ELF
(Extremely Low Frequency) Terhadap Derajat Keasamaan (pH) Udang Vaname.
Jurnal Fisika Unand (JFU), 10(1): 55-61.
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
Pertanyaan:
1. Jelaskan proses perubahan pH pada ikan dan produk perikanan dari keadaan segar hingga
mundur mutu?
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan pH pada ikan dan produk
perikanan? Jelaskan?
3. Mengapa perubahan pH pada ikan dan produk perikanan selalu dikaikan dengan mutu suatu
produk?
4. Apakah terdapat perbedaan perubahan pH antara ikan yang berdaging putih dan berdaging
merah? Jelaskan? Cantumkan pustaka yang anda pakai?
5. Apakah terdapat perbedaan perubahan pH dengan perbedaan metode
pemotongan/penyembelihan ikan? Jelaskan? Cantumkan pustaka yang anda pakai?
6. Jelaskan kaitan nilai pH, nilai organoleptik, dan nilai tvbn ikan segar dan mundur mutu!
Cantumkan pustaka yang Anda pakai?
Jawaban:
1. Proses perubahan Eh pada ikan dan produk perikanan akan terjadi penurunan dari
ikan yang segar hingga ikan yang mengalami kemunduran mutu. Ikan yang sudah busuk
memiliki nilai Eh yang negatif karena aktivitas dari enzim yang telah bekerja pada bahan,
mikroorganisme yang berada didalam bahan serta proses dari oksidasi yang juga tidak bisa
dihindari selama masa penyimpanan. Menurut Hasanah et al. (2019), Ikan yang masih
dalam keadaan segar umumnya memiliki nilai pH netral. Hal ini dikarenakan ikan berada
2. Ikan dan produk perikanan merupakan bahan yang memiliki sifat sangat mudah
pH pada ikan adalah autolisis sedangkan pada produk perikanan adalah aktivitas
mikroorganisme. Reaksi autolisis yang terjadi pada ikan akan menghasilkan glikogen dan
dihidrolisa menjadi asam laktat yang akumulasinya didalam otot ikan menyebabkan
penurunan pH, besarnya penurunan pH tergantung pada otot ikan. Mikroorganisme yang
berperan dalam proses perubahan pH pada produk perikanan adalah bakteri. Sumber
protein yang terkandung dalam ikan dan produk perikanan akan merubah komponen
deaminasi dan dekarboksilasi membentuk senyawa yang lebih sederhana. Senyawa tersebut
hal. 15 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
yang berperan dalam perubahan pH. Menurut Jiang et al. (2020), senyawa nitrogen volatil
merupakan gas alkalin yang dapat menyebabkan peningkatan pH pada sampel ikan.
senyawa nitrogen yang mudah menguap pada ikan setelah penangkapan, meningkat karena
film indicator secara progresif berubah dari kuning menjadi hijau sebagai respon terhadap
sampel ikan.
3. Nilai pH sebagai indikator tingkat kesegaran ikan, maka perubahan pH pada ikan
dan produk perikanan sangat berkaitan dengan mutu produk. Ikan segar memiliki nilai pH
yang netral. pH pada ikan dapat mengalami peningkatan dan penurunan. Peningkatan nilai
pH karena enzim yang berasal dari daging dan mikroba melakukan perombakan terhadap
protein dan lemak sehingga menghasilkan senyawa-senyawa bersifat basa yang sudah
mundur mutu pH berubah menjadi asam. Menurut Liviawaty dan Eddy (2014), penurunan
pH merupakan salah satu indikator mulai masuknya fase rigor mortis. Fase rigor mortis
berlangsung singkat, yaitu sekitar satu hingga tujuh jam setelah ikan mati. Penurunan nilai
4. Terdapat perbedaan perubahan pH antara ikan yang berdaging putih dengan ikan
yang berdaging merah. Ikan yang berdaging putih memiliki nilai pH yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ikan yang berdaging merah. Ikan berdaging merah memiliki
kandungan glikogen yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan berdaging putih. Kadar
glikogen sangat menentukan fase rigormortis pada proses kemunduran mutu, dimana makin
rendah kadar glikogen ikan, akan semakin pendek fase rigormortis dan semakin cepat
pembusukan. Hal ini disebabkan karena asam laktat yang terbentuk dari glikogen kadarnya
sangat rendah dan pHnya tinggi. Menurut Poernomo et al. (2013), lkan layaran termasuk
ikan berdaging merah yang mempunyai kandungan glikogen tinggi yang digunakan untuk
berenang dan bermigrasi dalam waktu lama. Ikan berdaging merah pada umumnya
hal. 16 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
memiliki pH yang rendah hingga mencapai pH 5,6 – 5,8, sedangkan ikan berdaging putih
perubahan pH. Ikan yang disembelih secara cepat akan mengalami penurunan pH lebih
lambat dibandingkan dengan ikan yang tidak disembelih atau dibiarkan mati sendiri. Ikan
yang dibiarkan mati sendiri akan beresiko menyebabkan luka dan kerusakan yang lebih
menghasilkan asam laktat dan mengalami penurunan nilai pH. Ikan yang telah
disembelih akan menghentikan sirkulasi darah pada ikan. Hal ini akan menyebabkan
fungsi darah sebagai pembawa oksigen terhenti. Berhentinya proses respirasi maka akan
terjadi reaksi glikolisis yang anaerobik dan menghasilkan produksi asam laktat, sehingga
daging. Produksi asam laktat ini akan menyebabkan penurunan pH daging yang terjadi
bertahap dari pH normal menjadi pH akhir. Menurut Salim dan Rahmi (2017), penurunan
nilai pH dapat disebabkan oleh aktivitas metabolisme bakteri asam laktat. Berkurangnya
6. Nilai organoleptik, nilai pH, dan nilai TVBN memiliki hubungan dan
keterkaitan antar satu sama lain. Apabila penyimpanan semakin lama, maka nilai pH juga
akan meningkat khususnya pada suhu ruang. Hal ini akan memicu peningkatan dari
aktivitas bakteri pada sampel sehingga akan membuat senyawa volatil. Nilai organoleptic
akan menurun apabila senyawa basa volatile meningkat, karena aroma yang dihasilkan dari
sampel akan menyengat dan kurang sedap. Nilai TVBN juga mengalami peningkatan
berbandingan lurus dengan lama penyimpanan. Menurut Suradi (2012), semakin lama
penyimpanan pada suhu ruang akan semakin banyak basa yang dihasilkan akibat semakin
hal. 17 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
pembusukan. Proses pembusukan akan diikuti dengan peningkatan pH, dan keadaan ini
hal. 18 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
Daftar Pustaka
Jiang, G., X. Hou., X. Zeng., C. Zhang., H. Wu., G. Shen., S. Li., Q. Luo., M. Li., X. Liu.,
A. Chen., Z. Wang dan Z. Zhang. 2020. Preparation and Characterization of
Indicator Films from Carboxymethyl-cellulose/Starch and Purple Sweet Potato
(Ipomea batatas (L). lam) Anthocyanins for Monitoring Fish Freshness.
International Journal of Biological Macromolecules, 143: 359-372.
Liviawaty, E dan E. Afrianto. 2014. Penentuan Waktu Rigor Mortis Ikan Nila Merah
(Oreochromis Niloticus) Berdasarkan Pola Perubahan Derajat Keasaman. Jurnal
Akuatika, 5(1): 40-44.
Poernomo, D., S.H. Suseno dan B.P. Subekti. 2013. Karakteristik Fisika Kimia Bakso dari
Daging Lumat Ikan Layaran (Istiophorus orientalis). JPHPI, 16(1): 58-68.
Salim, R. dan N. Rahmi. 2017. Pengaruh Asap Cair Kayu Galam (Malaleuca leucadendra)
dalam Bentuk Biodegradable Film terhadap Pengawetan Ikan Gabus. Jurnal Riset
Industri Hasil Hutan, 9(2): 75-90.
Suradi, K. 2012. Pengaruh Lama Penyimpanan pada Suhu Ruang terhadap Perubahan Nilai
pH, TVB dan Total Bakteri Daging Kerbau. Jurnal Ilmu Ternak. 12(2): 9-12.
Nilai :……………………………………………….
Draft :……………………………………………….
Nama dan paraf asisten:……………………..
…………………………………………………………
…………………………………………………………
hal. 19 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
Sifat tekstur telah didefinisikan sebagai "bahwa kelompok karakteristik fisik yang timbul
dari unsur-unsur struktural makanan, yang dirasakan terutama oleh rasa sentuhan, terkait
dengan disintegrasi, deformasi, dan flow pangan dan diukur secara objektif dengan fungsi
massa, waktu dan jarak (Bourne 2002). Tekstur juga didefinisikan sebagai 'manifestasi sensori
dan fungsional dari struktur dan mekanikal makanan yang dapat dideteksi melalui indera
penglihatan, pendengaran, sentuhan, dan kaum kinestesis (Szczesniak 1963, 2002).
Kualitas sensoris ikan tergantung pada karakteristik tekstur, yang akhirnya akan
berhubungan dengan struktural ikan (Howgate 1977). Perubahan mutu ikan juga akan
mempengaruhi tekstur ikan.
Tujuan
Setelah menyelesaikan mata acara praktikum ini, mahasiswa mampu melakukan dengan benar
pengujian tekstur pada ikan dan produk perikanan.
Kompetensi
Prosedur Kerja
a. Bahan
Ikan salmon (1 ekor per 20 praktikan)
Ikan tuna (1 ekor per 20 praktikan)
Ikan asap (3 buah per 20 praktikan)
Terasi (3 buah per 20 praktikan)
hal. 20 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
b. Alat
Texture Analizer TA-TX (1 buah per 20 praktikan)
Talenan (1 buah per 5 praktikan)
Tisu (1 buah per 5 praktikan)
Wadah (1 buah per 5 praktikan)
Pisau (1 buah per 5 praktikan)
Penggaris (1 buah per 5 praktikan)
Timbangan (1 buah per 5 praktikan)
c. Metoda
Keterangan :
No Sampel
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
Pembahasan:
Sampel yang digunakan oleh kelompok 9 pada praktikum pengujian tekstur ikan dan
produk perikanan masing-masing adalah ikan kembung dan ikan asap. Ikan kembung
digunakan sebagai sampel pada pengujian tekstur karena ikan kembung mempunyai tekstur
daging yang bermacam-macam, mulai dari lembut sampai lebih padat sehingga penggunaan
ikan kembung dapat digunakan untuk mengetahui variasi atau perbedaan pada hasil tekstur.
Ikan kembung merupakan salah satu ikan yang termasuk kedalam kelompok epipelagis dan
neritik di daerah pantai dan laut. Ikan kembung dibagi menjadi dua spesies yaitu ikan
brachysoma). Ikan kembung termasuk ikan pelagis yang memiliki nilai ekonomis rendah.
Hal tersebut menjadikan ikan kembung terhitung sebagai komoditas yang cukup penting
bagi perikanan tangkap. Ikan asap digunakan sebagai sampel pada pengujian tekstur karena
ikan asap umumnya memiliki tekstur yang berbeda baik sebelum diasap maupun setelah
diasap. Ikan yang belum diasap memiliki tekstur yang bervariasi seperti lembut atau padat
sedangkan ikan yang telah diasap memiliki tekstur yang lebih padat dan kering keras yang
disebabkan oleh proses pengasapan. Menurut Yu et al. (2020), tekstur ikan dan produk
pengolahan produk. Ikan dan produk perikanan juga sensitif terhadap kerusakan tekstur
hal. 26 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan IV
bahkan dengan pendinginan. Pelunakan tekstur terjadi pada tahap awal penyimapanan
Pressure (HHP) dalam berbagai tahap memiliki dampak yang berbeda terhadap tekstur.
siapkan sampel dengan ukuran 3x3 cm. Ukuran sampel yang digunakan harus seragam.
Berikan kode pada masing-masing sampel kemudian letakkan sampel pada wadah. Langkah
selanjutnya mengoperasikan texture analyzer yaitu pasang kabel stabil isator pada stop
dengan menekan tombol hitam pada belakang alat. Lanjut klik start dan texture expert.
Amati hasil tekstur pada sampel. Pengujian sampel ini harus dilakukan agar mengetahui
keadaan sampel yang baik. Menurut Chandra dan Shamasundar (2015), tekstur
didefinisikan sebagai manifestasi sensorik dan fungsional dari struktur, mekanik, dan sifat
permukaan makanan yang dapat dirasakan oleh indera penglihatan (tekstur visual), suara
(pendengaran), sentuhan, dan kinestetik. Analisis profil tekstur adalah yang pertama
penerapan kekuatan terkontrol untuk produk dan merekam responsnya dengan waktu. TPA
adalah teknik yang umum digunakan dalam industri untuk evaluasi perilaku tekstur
Tekstur dari daging ikan dipengaruhi oleh kualitas dari ikan tersebut. Ikan yang
masih segar memiliki tekstur daging yang masih kenyal, hal tersebut ditandai saat daging
ikan ditekan maka bekasnya akan segera kembali. Daging ikan yang telah mati setelah
beberapa jam memiliki tekstur tubuh yang kaku ataupun elastis. Tekstur daging ikan yang
keras dikarenakan energi atau ATP pada tubuh ikan sudah mulai menipis dan terdapat
kerusakan pada jaringan dagingnya sehingga tidak dapat mempertahankan tekstur dari
tubuhnya dan daging kehilangan kekenyalan tekstur. Ikan yang telah mengalami
kemunduran mutu dapat memicu pertumbuhan mikrobia pembusuk. Degradasi protein dan
hal. 27 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan IV
derivatnya adalah penyebab pembentukan basa volatil yang mudah menguap yaitu amoniak,
histamin dan H2S sehingga memicu pertumbuhan bakteri yang menimbulkan bau busuk, hal
tersebut mengakibatkan tekstur daging yang kembali menjadi elastis tetapi tidak seperti saat
ikan segar. Menurut Kalista et al. (2018), pada fase pre rigor terjadi, otot ikan masih dalam
keadaan lembut dan lentur disebabkan adanya sisa ATP sehingga otot ikan masih bisa
ikan karena menurunnya ATP sehingga energi yang tersisa tidak cukup merombak
aktomiosin menjadi aktin dan miosin yang ditandai dengan tekstur yang mengeras dan kaku.
Fase post rigor terjadi pada awal pembusukkan ditandai dengan otot ikan menjadi kurang
elastis disebabkan oleh proses autolisis yang menghasilkan senyawa media pertumbuhan
mikroba.
Texture analyzer adalah alat yang menilai karakteristik mekanis suatu materi, alat ini
menentukan kekuatan materi dalam bentuk kurva. Alat texture analyzer digunakan untuk
menentukan sifat-sifat bahan yang berhubungan dengan daya tahan atau kekuatan suatu
bahan terhadap tekanan. Prinsip kerja texture analyzer adalah daya tahan produk oleh
adanya gaya tekan dari alat atau kemampuan kembalinya bahan pangan yang ditekan ke
kondisi awal setelah beban tekanan dihilangkan. Langkah dalam menggunakan texture
analyzer yaitu pertama-tama perangkat komputer dan texture analyzer dihidupkan terlebih
dahulu. Program texture prolite yang terhubung dengan alat texture analyzer dioperasikan.
Sampel yang telah disiapkan diukur ketebalannnya dengan penggaris. Nilai ukur ketebalan
pada sampel akan digunakan sebagai patokan target value. Target value diberi nilai
setengah dari ketebalan sampel yang akan diuji teksturnya agar probe tidak menembus
sampel hingga ke meja benda. Setelah semua telah selesai diatur pada program texture
prolite. Probe dipasang sesuai dengan jenis sampel dan kalibrasi pada ketinggian probe.
Probe dibiarkan turun hingga menyentuh permukaan atas meja objek untuk menentukan
titik nol setelah itu probe akan naik kembali. Sampel diletakkan di atas meja sampel dan
program dioperasikan. Probe akan menyentuh permukaan sampel lalu naik kembali sebagai
hal. 28 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan IV
persiapan. Probe kemudian turun kembali dan melakukan gaya deformasi pada sampel, gaya
yang dibutuhkan untuk melakukan penetrasi akan tercatat dan ditampilkan dalam kurva
texture prolite. Setelah proses selesai, probe akan kembali ke tempat semula sehingga kurva
kekerasan diperlukan untuk menentukan sifat fisik bahan yang berhubungan dengan daya
tahan atau kekuatan suatu bahan terhadap tekanan. Analisis ini menggunakan alat yaitu
texture analyzer. Texture analyzer adalah alat yang terkait dengan penilaian dari
karakteristik mekanis suatu materi, dimana alat tersebut diperlakukan untuk menentukan
Hasil yang didapatkan dari pengujian tekstur kesegaran ikan menggunakan alat
texture analyzer menggunakan sampel ikan kembung yaitu 1540,0 gf. Produk perikanan
ikan asap yang digunakan pada praktikum mendapatkan hasil tekstur kesegaran ikan sebesar
544,40 gf. Hasil tersebut didapatkan dari percobaan menggunakan TA-TX atau texture
analyzer. Daging ikan yang digunakan dalam proses pembuatan ikan asap sangat
mempengaruhi hasil akhir dari pengujian tekstur. Apabila daging ikan dalam keadaan segar,
maka akan memicu hasil yang tinggi pada hasil akhir, sehingga apabila daging ikan yang
digunakan dalam kondisi telah memasuki fase mundur mutu maka akan mendapatkan hasil
yang rendah. Selain itu, kandungan kadar air pada proses pengasapan juga mempengaruhi
tekstur. Menurut Agustina et al. (2013), tekstur suatu bahan pangan erat kaitannya dengan
kandungan air yang ada dalam bahan pangan tersebut. Semakin tinggi kandungan airnya
maka teksturnya semakin lunak atau lembek. Semakin rendah kandungan air maka
teksturnya semakin tinggi. Hal ini dikarenakan daging ikan akan semakin padat atau keras
Berdasarkan pengujian tekstur terdapat perbedaan antara hasil kelompok 9 dan hasil
kelompok lain. Sampel ikan kembung 1 yang digunakan oleh kelompok 9 (kelompok ganjil)
memiliki tekstur sebesar 1540,0 gf sedangkan sampel ikan kembung 1 yang digunakan oleh
kelompok genap memiliki tekstur sebesar 544,40 gf. Sampel produk perikanan yang
hal. 29 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan IV
digunakan oleh kelompok 9 yaitu ikan asap memiliki tekstur sebesar 1473,4 gf, sampel ikan
asap yang digunakan oleh kelompok 18 memiliki tekstur yang sama dengan sampel yang
digunakan oleh kelompok 9. Sampel yang digunakan oleh kelompok 1 dan 10 yaitu terasi
merek “Ennak” memiliki tekstur sebesar 4525,4 gf. Sampel yang digunakan oleh kelompok
2 dan 11 yaitu terasi merek “Juana” memiliki tekstur sebesar 2195,2 gf. Sampel yang
digunakan oleh kelompok 3 dan 12 yaitu bakso ikan merek “Bumifood” memiliki tekstur
sebesar 1707,3 gf. Sampel yang digunakan oleh kelompok 4 dan 13 yaitu bakso ikan merek
“So Good” memiliki tekstur sebesar 1840,8 gf. Sampel yang digunakan oleh kelompok 5
dan 14 yaitu pindang 1 memiliki tekstur sebesar 430,47 gf. Sampel yang digunakan oleh
kelompok 6 dan 15 yaitu pindang 2 memiliki tekstur sebesar 1036,7 gf. Sampel yang
digunakan oleh kelompok 7, 8, 16 dan 17 yaitu naget dengan merek yang sama “So Good”
dengan tekstur sebesar 994,79 gf yang dimiliki oleh kelompok 7 dan 16 serta sebesar 896,72
gf yang dimiliki oleh kelompok 8 dan 17. Perubahan tekstur pada produk perikanan dapat
terjadi karena penggaraman dan pengasapan. Menurut Sasongko et al. (2020), penggaraman
menyebabkan terjadinya penarikan air dan penggumpalan protein dalam daging ikan
sehingga mengakibatkan tekstur ikan menjadi lebih kompak. Perubahan tekstur yang terjadi
akibat pengasapan karena bereaksinya komponen asap dengan protein permukaan. Daerah
dibawah permukaan tetap tidak terasapi akan menjadi lunak dan cepat rusak karena
hal. 30 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
A. Kesimpulan
Pengujian Tekstur pada Ikan dan Produk Perikanan adalah sebagai berikut. Sampel ikan dan
dipasang pada kontak. Stabilisator, komputer dan texture analyzer TA-TX dihidupkan
dengan menekan tombol hitam pada bagian belakang alat. Klik start pada komputer, pilih
program, texture lalu klik texture expert english. Atur file program dan grafik dibuat.
Lakukan pemasangan probe dan letakkan sampel tepat ditengah plate alat. TA dipilih
kemudian klik run a test, klik OK saat pembacaan dan tunggu alat hingga selesai bekerja,
apabila akan melakukan pengulangan pada pembacaan klik TA kemudian pilih quick test
run. File hasil disimpan dan dicetak serta grafik hasil disimpan.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan pada Modul V : Pengujian Produk Perikanan Secara
Fisiko Kimia Topik II : Pengujian Tekstur pada Ikan dan Produk Perikanan adalah sebagai
berikut:
seragam semua;
2. Sebaiknya alat yang sebelum digunakan pada pengujian di cek terlebih dahulu agar
hal. 31 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
Daftar Pustaka
Agustina, R., H. Syah, dan M. Ridha. 2013. Kajian Mutu Ikan Lele (Clarias batrachus)
Asap Kering. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia, 5(3): 6-11.
Kalista, A., A. Redjo dan U. Rosidah. 2018. Analisis Organoleptik (Scoring Test) Tingkat
Kesegaran Ikan Nila Selama Penyimpanan. Jurnal FishtecH, 7(1): 98-103
Sasongko, L. W., A. Nofreeana dan L. Lasmi. 2020. Kajian Mutu dan Umur Simpan Produk
Pengasapan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) dengan Aplikasi Asap Cair.
MANFISH JOURNAL, 1(3): 168-173.
Yu, D., L. Wu., J. M. Regenstein., Q. Jiang., F. Yang., Y. Xu dan W. Xia. 2020. Recent
Advances in Quality Retention of Non-frozen Fish and Fishery Products: a Review.
Critical Reviews in Food Scince and Nutrition, 60(10): 1747-1759.
Nilai :……………………………………………….
Draft :……………………………………………….
Nama dan paraf asisten:……………………..
…………………………………………………………
…………………………………………………………
hal. 32 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
Kelompok : 9
MODUL V : PENGUJIAN PRODUK PERIKANAN
SECARA FISIKO KIMIA Tgl : 20 Mei 2022
TOPIK III : PENGUJIAN OKSIDASI REDUKSI POTENSIAL
PADA IKAN DAN PRODUK PERIKANAN
Ikan merupakan bahan pangan sebagai substrat yang cocok bagi pertumbuhan
mikroorganisme. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada ikan adalah
pH, Aw, kadar garam dan bahan pengawet, serta oksidasi reduksi potensial (Huss and
Larsen, 1977).
Potensial redoks didefinisikan sebagai hubungan O2 dengan mikroba yang hidup dan
mungkin digunakan khusus pada lingkungan mikroorganisme untuk menghasilkan energi.
Oksidasi adalah proses pelepasan elektron dari suatu bahan dan reduksi adaah penambahan
elektron dari suatu bahan (Brown and Finskiger, 1980). Dengan demikian, ORP didefinisikan
sebagai perbandinagn kuantitatif dari sejumlah oksidan yang bertindak sebagai penerima
elektron dan sejumlah reduktan yang bertindak sebagai pendonor elektron dalam suatu
sistem oksidasi reduksi. Potensial redoks akan semakin positif pada saat rasio antara oksidan
dan reduktan meningkat (Fruton and Smond, 1958). Potensial redoks ini banyak kaitanyya
dengan kemampuan medium untuk dapat menangkap dan melepas elektron (Winarno, 1995).
Tujuan
Setelah menyelesaikan mata acara praktikum ini, mahasiswa mampu melakukan dengan benar
pengujian ORP (Eh) pada ikan dan produk perikanan.
Kompetensi
Setelah
menyelesaikan praktikum topik ini mahasiswa mampu:
1.melakukan preparasi pengujian ORP (Eh) pada ikan dan produk perikanan.
2.melakukan pengujian ORP (Eh) pada ikan dan roduk perikanan.
3.mengetahui reaksi dan perubahan ORP (Eh) yang terjadi pada ikan dan produk
perikanan.
4. mengetahui hubungan antara pH dan ORP
Prosedur Kerja
c. Bahan
Ikan nila merah (1 ekor per 20 praktikan)
Kerang (25 g per 20 praktikan)
Cumi (1 ekor per 20 praktikan)
Udang (5 ekor per 20 praktikan)
hal. 33 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
hal. 34 dari 49
d. Alat
Eh meter (1 buah per 20 praktikan)
Beaker glass 20 mL (3 buah per 5 praktikan)
Mortar (1 buah per 5 praktikan)
Timbangan elektrik (1 buah per 20 praktikan)
Piring sampel (1 buah per 5 praktikan)
Lemari pendingin (1 buah per 20 praktikan)
Kertas label (1 lembar per 5 praktikan)
c. Metoda
Fillet daging ikan kemudian haluskan semua daging ikan (hasil fillet) dalam mortar sampai
halus. Setelah halus, letakkan semua sampel pada tempat yang telah disediakan baik
pada suhu ruangan maupun suhu dingin.
1. Elektroda platinum dicek terlebih dahulu dengan larutan standar quinhidron, yang
memiliki ORP: 0,26 Volt.
2. Timbang sebanyak 2 gram sampel kemudian larutan ke dalam 8 ml air. Tempelkan
langsung elektroda platinum pada permukaan bahan uji yang akan diukur sampai
menembus kedalam kurang lebih setengah dari ketebalan cairan (gambar 1).
3. Selama proses pengukuran, letakkan beaker glass diatas ...... dan masukkan magnetic
stirer sehingga kondisi larutan menjadi homogen.
4. Catat nilai ORP sampel yang tertera pada electrometer. Perhitungan ORP dinyatakan
sebagai berikut:
Dimana ORPo adalah potensial redoks pada pH 7, R adalah konstan gas (8,314
J/K.mol), T adalah temperature absolute (K), F adalah bilangan farady (96,496 J/volt),
n adalah jumlah electron yang dipindahkan di dalam proses, oksidant adalah bahan
yang bertindak sebagai penerima electron, reduktan adalah bahan yang bertindak
sebagai pelepas electron.
5. Kemudian cari nilai ORP dengan perhitungan sebagai berikut: (219,36 – 0,74 x suhu
terukur) + ORP terukur
6. Lakukan pengukuran sebanyak 3 kali pada tiap sampel.
7. Setelah pengukuran sebaiknya elektroda dicuci dan direndam dalam aquades selama
beberapa menit sebelum dilakukan pengukuran berikutnya.
8. Ukur nilai ORP tiap 2 jam sekali.
9. Buatlah grafik perubahan nilai ORP pada ikan dan produk perikanan.
Lembar Hasil pengamatan
Tabel 1. Hasil Pengukuran nilai ORP dan pH Sampel Udang Windu (Panaeus monodon) pada Suhu
Ruang
Jam ke- Deskripsi sampel ORP pH
0 Tidak ada bintik hitam, berwarna putih, tekstur 199 mV 6,5
cukup padat, aroma spesifik udang
1 Tidak ada bintik hitam, berwarna putih, tekstur 156 mV 6,5
cukup padat, sedikit aroma spesifik udang
2 Berwarna kusam, tekstur kurang padat, sedikit 152 mV 6,6
aroma spesifik udang
3 Berwarna abu kusam, tekstur kurang padat, 141 mV 6,7
berlendir, aroma netral
Tabel 2. Hasil Pengukuran nilai ORP dan pH Sampel Udang Windu (Panaeus monodon) pada
Suhu Rendah
Jam ke- Deskripsi sampel ORP pH
0 Tidak ada bintik hitam, berwarna putih, tekstur 157 mV 6,7
cukup padat, aroma spesifik udang
1 Berwarna putih kusam, tekstur cukup padat, 155 mV 6,8
sedikit aroma spesifik udang
2 Berwarna keabuan, tekstur kurang padat, aroma 145 mV 6,9
netral
3 Berwarna keabuan, tekstur kurang padat, aroma 143 mV 6,9
netral
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Gambar 1. Grafik Perubahan Nilai ORP Udang Windu ( Panaeus monodon ) pada
Suhu Ruang dan Suhu Rendah
hal. 38 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
Grafik perubahan Eh pada ikan dan produk perikanan dengan
penyimpanan yang berbeda
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Gambar 2. Grafik Perubahan Nilai ORP dan pH Udang Windu ( Panaeus
monodon) pada Suhu Ruang dan Suhu Rendah
Pembahasan:
Udang merupakan salah satu komoditas hasil perikanan yang banyak ditemukan di
Indonesia. Udang memiliki nama latin Penaeus sp, binatang yang hidup di berbagai
perairan. Udang biasa ditemukan di sungai, danau, dan laut. Udang memiliki berbagai jenis,
contohnya ada udang galah, udang vaname, dan udang windu. Udang windu merupakan
jenis ikan konsumsi air payau, badan beruas berjumlah 13 (5 ruas kepala dan 8 ruas dada)
dan seluruh tubuh ditutupi oleh kerangka luar yang disebut eksosketelon. Udang windu
adalah makanan berasal dari laut yang sangat digemari masyarakat. Udang windu memiliki
kandungan protein tinggi namun kandungan airnya juga tinggi sehingga udang mudah
rusak. Udang windu merupakan komoditas yang mudah mengalami kerusakan dengan masa
simpan yang terbatas karena adanya pembentukan melanin selama penanganan dan
penyimpanan, walaupun udang mudah mengalami kerusakan namun daya minat pada
hal. 39 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
udang sangat tinggi, oleh karena itu udang memilki nilai ekonomis penting di Indonesia.
permintaan pada udang, udang dibudidaya agar memenuhi kebutuhan permintaan. Menurut
Millard et al. (2020), pertumbuhan industri udang yang pesat dan intensifikasi metode
budidaya dibarengi dengan munculnya penyakit yang merusak, yang timbul sebagai akibat
dari interaksi yang kompleks antara inang, patogen dan lingkungan. Kerugian yang
signifikan di wilayah hingga 70% dari panen udang laut telah diperkirakan terjadi akibat
penyakit.
Metode pengukuran oksidasi reduksi potensial atau ORP pada praktikum kali ini
diawali dengan menyiapkan sampel dengan melumatkan sampel udang dalam mortar
hingga halus. Proses pengukuran nilai ORP dilakukan dengan menggunakan alat Eh meter.
Sebelum menggunakan alat Eh meter, dilakukan proses kalibrasi terlebih dahulu pada
elektroda platinum dengan menggunakan larutan standar quinhidron dengan nilai 0,26
milivolt. Setelah proses kalibrasi selesai, sampel lumatan dagin diletakkan kedalam gelas
Pengukuran nilai ORP pada sampel dilakukan dengan meletakkan probe Eh meter kedalam
larutan sampel. Pengukuran nilai ORP dilakukan 3 kali pengulangan. Setiap melakukan
pengukuran kembali pada sampel, probe pada Eh meter direndam dalam aquades selama
beberapa menit sebelum dilakukan pengukuran berikutnya. Catat nilai ORP dan buat grafik
perubahan nilai ORP sampel yang telah diukur. Menurut Tantra et al. (2012), potensial
redoks diukur menggunakan ORP Tester. Sebelum digunakan, elektroda dikalibrasi terlebih
dahulu dalam air keran bersih selama 30 menit dan dibilas dengan air suling. Saat
melakukan pengukuran, elektroda ditempatkan dalam botol berisi sampel, harus terdapat
sampel cairan yang cukup untuk menutupi elektrode. Output sinyal dibiarkan selama 5
menit sebelum pembacaan, "potensial medan". Pada titik ini, sinyal stabil dan tidak berubah
yang akan diamati dalam beberapa menit. Setelah pengukuran, elektroda dibersihkan
Berdasarkan hasil pengujian nilai ORP dan pH sampel udang windu yang disimpan
pada suhu ruang dan rendah memberikan hasil yang berbeda. Pengamatan dilakukan pada 4
waktu yaitu jam ke 0, 1, 2 dan 3. Pertama yaitu untuk sampel udang windu yang diletakkan
di suhu ruang pada jam ke 0 tidak memiliki bintik hitam, berwarna putih, tekstur cukup
padat, aroma spesifik udang dengan nilai ORP 199 mV dan pH 6,5. Sampel udang windu
yang diletakkan di suhu ruang pada jam ke 1 tidak memiliki bintik hitam, berwarna putih,
tekstur cukup padat, sedikit aroma spesifik udang dengan nilai ORP 156 mV dan pH 6,5.
Sampel udang windu yang diletakkan di suhu ruang pada jam ke 2 berwarna keabuan,
tekstur kurang padat, sedikit aroma spesifik udang dengan nilai ORP 152 mV dan pH 6,6.
Sampel udang windu yang diletakkan di suhu ruang pada jam ke 3 berwarna abu kusam,
tekstur kurang padat, berlendir, aroma netral dengan nilai ORP 141 mV dan pH 6,7. Kedua
yaitu untuk sampel udang windu yang diletakkan di suhu rendah pada jam ke 0 tidak
memiliki bintik hitam, berwarna putih, tekstur cukup padat, aroma spesifik udang dengan
nilai ORP 157 mV dan pH 6,7. Sampel udang windu yang diletakkan di suhu rendah pada
jam ke 1 berwarna putih kusam, tekstur cukup padat, sedikit aroma spesifik udang dengan
nilai ORP 155 mV dan pH 6,8. Sampel udang windu yang diletakkan di suhu rendah pada
jam ke 2 berwarna keabuan, tekstur kurang padat, aroma netral dengan nilai ORP 145 mV
dan pH 6,9. Sampel udang windu yang diletakkan di suhu rendah pada jam ke 3 berwarna
keabuan, tekstur kurang padat, berlendir, aroma netral dengan nilai ORP 143 mV dan pH
6,9. Menurut An et al. (2013), oxidation reduction potential (ORP) merupakan tegangan
ketika oksidasi terjadi pada anoda (positif) dan reduksi terjadi pada katoda (negatif) pada
sel elektrokimia. ORP diukur dengan satuan volt (V) atau millivolt (mV). Meningkatnya
nilai ORP, reaksi oksidasi semakin mudah terjadi dan semakin banyak membran sel dari
Hasil yang diperoleh dari pengujian oksidasi reduksi potensial pada ikan dan produk
perikanan dengan sampel udang windu (Panaeus monodon) sangat beragam. Nilai ORP
hal. 41 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
pada suhu ruang jam ke-0 adalah 199 mV dan pH sebesar 6,5 dengan kondisi sampel tidak
ada bintik hitam, berwarna putih, tekstur cukup padat, aroma spesifik udang. Hasil yang
didapatkan pada suhu ruang jam ke-2 yaitu nilai ORP 156 mV dan pH sebesar 6,5 dengan
kondisi sampel tidak ada bintik hitam, berwarna putih, tekstur cukup padat, sedikit aroma
spesifik udang. Hasil yang didapatkan pada suhu ruang jam ke-3 yaitu nilai ORP 141 mV
dan pH sebesar 6,7 dengan kondisi sampel berwarna abu kusam, tekstur kurang padat,
berlendir, aroma netral. Berdasarkan hasil yang didapatkan, nilai ORP pada penyimpanan
suhu ruang dan suhu rendah akan semakin menurun seiring berjalannya waktu. Hal ini akan
memicu dari fase kemunduran mutu ikan karena penurunan nilai ORP tersebut. Terjadinya
proses oksidasi pada proses penyimpanan akan lebih tinggi daripada proses reduksi meski
dikarenakan disimpan pada suhu rendah. Hal tersebut juga dikarenakan pertumbuhan
bakteri akan tetap berjalan. Selain pertumbuhan bakteri yang tetap berjalan, kenaikan pH
yang terjadi karena adanya kandungan asam laktat pada proses glikolisis juga akan
menyebabkan tingkat keasaman dari daging ikan menjadi naik. Menurut Srihari dan
Lingganingrum (2021), metode ORP meter dengan pengukuran yang dinyatakan dalam
skala mV memiliki tanda apabila ORP positif maka terdapat cairan yang telah teroksidasi.
Cairan yang bersifat asam akan mengandung radikal bebas yang menyebabkan adanya
reaksi oksidasi yang terjadi pada saat pengukuran menggunakan metode ORP.
Oksidasi reduksi potensial atau disebut juga dengan ORP adalah perbandingan
kuantitatif potensial dari substansi yang teroksidasi dengan substansi yang tereduksi dalam
suatu sistem reaksi. Adanya pengukuran ORP pada dapat digunakan untuk mengetahui
mutu pada sampel ikan dan produk perikanan. Ikan yang telah mati mengalami glikolisis,
menjadikan asam laktat menurun sehingga reaksi oksidasi reduksi NAD dan NADPH
terjadi. Bentuk hasil reduksi NAD dan NADP berupa NAD dan NADPH yang besar dalam
jaringan ikan menyebabkan kenaikan nilai ORP. Mutu sampel ikan dan produk perikanan
dapat diketahui dengan tinggi rendahnya nilai ORP. Sampel ikan dan produk perikanan
dengan mutu yang baik memiliki nilai ORP yang rendah sedangkan sampel yang telah
hal. 42 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
mengalami kemunduran mutu memiliki nilai ORP yang tinggi. Menurut Saubaki (2021),
protein yang terkandung dalam ikan yaitu peptide-peptida dan asam-asam amino bebas
Proses pembusukan pada ikan segar yang dipengaruhi oleh nilai ORP disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu kontaminasi dengan bakteri pembusuk dan terjadinya perkembangan
hal. 43 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
Kesimpulan dan saran
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diberikan pada Modul V Topik III : Pengujian Oksidasi
Reduksi Potensial pada Ikan dan Produk Perikanan yaitu mahasiswa mampu melakukan
dengan benar pengujian ORP (Eh) pada ikan dan produk perikanan. Metode pengukuran
ORP diawali dengan menyiapkan sampel udang dengan melumatkannya dalam mortar
hingga halus. Proses pengukuran nilai ORP dilakukan dengan menggunakan alat Eh meter.
Proses kalibrasi pada elektroda platinum dengan menggunakan larutan standar quinhidron
dengan nilai 0,26 milivolt. Setelah proses kalibrasi selesai, sampel lumatan dagin
diletakkan kedalam gelas beaker sebanyak 2 gram dan dihomogenkan dengan aquades
sebanyak 8 mililiter. Pengukuran nilai ORP pada sampel dilakukan dengan meletakkan
probe Eh meter kedalam larutan sampel. Proses pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali
pengulangan. Probe pada Eh meter direndam dalam aquades selama beberapa menit
sebelum dilakukan pengukuran berikutnya. Catat nilai ORP dan buat grafik perubahan nilai
B. Saran
Saran yang dapat diberikan pada Modul V Topik III : Pengujian Oksidasi Reduksi
1. Sebaiknya pada praktikum topik ini juga menggunakan sampel dari produk
hal. 44 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
Daftar Pustaka
AN, B. S., S. Nurjanah, S. dan A. Syakur. 2013. Peningkatan Kualitas Air Pantai menjadi
Air Bersih dengan Penerapan Teknologi Plasma Non-Thermal dan Multi-Step Filter.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Undip, 1(1) : 20-24.
Saubaki, M. Y. 2021. Aplikasi Asap Cair Metode Pencelupan untuk Memperpanjang Masa
Simpan Ikan Segar. Jurnal Vokasi Ilmu-Ilmu Perikanan (JVIP), 2(1): 14-20.
Srihari., E. M. dan F. S. Lingganingrum. 2021. Teh Hijau Bubuk Dari Daun Ashitaba
Mengggunakan Proses Spray Drying. Jurnal Teknik Kimia, 16(1): 22-28.
Tantra, R., A. Cackett, R. Peck, D. Gohil dan J. Snowden. 2012. Measurement of Redox
Potential in Nanoecotoxicological Investigations. Journal of Toxicology, 2012: 1-7.
hal. 45 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
Pertanyaan:
1. Jelaskan proses perubahan Eh pada ikan dan produk perikanan dari keadaan segar hingga
mundur mutu?
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan Eh pada ikan dan produk
perikanan? Jelaskan?
3. Apa kaitan antara perubahan Eh dan pH pada ikan dan produk perikanan? Jelaskan!
4. Apakah terdapat perbedaan perubahan Eh antara ikan yang berdaging putih dan berdaging
merah? Jelaskan? Cantumkan pustaka yang anda pakai?
5. Apakah ada hubungan antara Eh dan Aw? Jelaskan?
Jawaban:
1. Pengukuran nilai potensial redoks (ORP) merupakan metode yang dilakukan untuk
perubahan nilai potensial redoks (ORP) atau Eh adalah adanya proses kemunduran mutu
dari ikan. Ikan yang mengalami kemunduruan mutu akan mengalami proses oksidasi.
Meningkatnya nilai ORP, reaksi oksidasi semakin mudah terjadi dan semakin banyak
membran sel dari mikroorganisme yang rusak dan mati. Nilai ORP pada ikan dan produk
perikanan akan tergantung pada proses oksidasi dan reduksi. Nilai potensial redoks akan
semakin positif apabila rasio antara oksidan dan reduktan meningkat. Menurut LV et al.
(2019), potensi reduksi oksidasi (ORP) adalah parameter yang banyak digunakan untuk
pemantauan karakteristik yang mencerminkan banyak bahan kimia. Selain itu, nilai ORP ini
2. Perubahan yang terjadi pada nilai Eh meter akan berpengaruh terhadap nilai akhir
pada pH. Produk ikan segar dengan Eh 0,1 – 0,3 volt akan memiliki pH asam dan
cenderung akan mendekati netral. Semakin kecil nilai Eh maka nilai pH akan semakin
meningkat. Kenaikan pH akan dapat menunjukan sebagai tanda adanya proses autolysis
pada produk perikanan. Proses tersebut akan menghasilkan senyawa bersifat basa akibat
adanya enzim proteolitik dari bakteri pembusuk yang ada di suatu sampel. Enzim
proteolitik akan mengubah senyawa protein menjadi amoniak yang menimbulkan bau yang
kurang sedap dan bersifat basa. Semakin banyak amoniak yang dihasilkan, akan menaikan
nilai pH dan dapat dijadikan tanda bahwa sampel tersebut telah mengalami fase
pada spesies dan komposisi dari ikan tersebut. Umumnya saat setelah ikan mati maka pH
dan reduksi pada suatu reaksi. Ikan yang hidup di air laut mempunyai dua warna daging
yang berbeda, umumnya digolongkan menjadi daging putih dan daging merah. Daging
putih pada ikan memiliki kandungan lemak yang sedikit sebaliknya ikan berdaging merah
memiliki kandungan yang lebih banyak. Ikan berdaging putih tidak mengalami perubahan
Eh yang begitu signifikan karena memiliki kandungan lemak yang sedikit sehingga
terjadinya oksidasi tidak terlalu lama. Ikan berdaging merah akan mengalami perubahan Eh
secara signifikan oleh adanya kandungan lemak yang lebih banyak daripada ikan berdaging
putih sehingga oksidasi akan berlangsung lebih lama. Oksidasi yang terus berjalan akan
Menurut Kurniawan dan Mustikasari (2021), nilai potensial redoks (Eh) berkaitan erat
dengan nilai pH asam. Nilai Eh menunjukkan proses reduksi oksidasi dan aktivitas ion
hydrogen (H+) atau proton. Nilai Eh yang semakin tinggi menunjukkan aktivitas oksidasi,
4. Nilai ORP (Eh) pada ikan segar lebih besar dibandingkan nilai ORP pada ikan yang
telah mundur mutu. Ikan yang sudah mati mengalami penurunan pasokan oksigen pada
tubuhnya hingga terhenti sehingga proses metabolisme terjadi secara anaerob. Proses
glikolisis pada ikan yang telah mati akan mengakibatkan nilai pH menurun karena adanya
pembentukan asam laktat. Proses katepsin yang aktif akan menurunkan kadar asam laktat
sehingga menaikkan nilai pH yang menyebabkan reaksi oksidasi reduksi NAD dan NADP
berkurang. Berkurangnya reaksi oksidasi reduksi tersebut menyebabkan nilai ORP pada
ikan menurun. Saat proses pembusukan ikan terjadi, bakteri pembusuk akan mereduksi
TMAO menjadi TMA. Reaksi oksidai reduksi akan terhenti setelah TMAO habis
terekduksi, sehingga nilai ORP akan semakin menurun. Nilai ORP sendiri merupakan suatu
hal. 47 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
nilai untuk mengetahui kemampuan oksidasi suatu bahan. Menurut Cutter et al. (2012),
substrat kehilangan atau memperoleh elektron. Ketika suatu zat dioksidasi, zat akan
kehilangan elektron dan harus menerima elektron dari zat lain, yang kemudian menjadi
tereduksi. Mikroba aerobik membutuhkan nilai ORP positif (oxidized), maka dapat
dengan salah satu faktor kemunduran mutu ikan dan produk perikanan. Nilai Eh akan
menunjukkan bahwa Aw ikan dan produk perikanan semakin tinggi seiring dengan
penurunan nilai Eh karena Aw tinggi meningkatkan pertumbugan dari bakteri yang ada.
Menurut Romawati et al. (2014), mikroba tidak dapat tumbuh tanpa adanya air. Air dalam
substrat yang digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme dalam istilah water activity
(aw). Mikroba hanya dapat tumbuh pada kisaran aw tertentu oleh karena itu untuk
hal. 48 dari 49
Modul Praktikum Pengendalian Mutu Hasil Perikanan V
Daftar Pustaka
Botutihe, F. 2016. Penilaian Mutu Organoleptik dan pH Ikan Roa (Hemirhampus sp.)
sebagai Bahan Baku Ikan Asap. Jurnal Agropolitan, 3(3): 27-31.
Cutter, R.N. Senevirathne, V.P. Chang, R.B. Cutaia, K.A. Fabrizio, A.M. Geiger, A.M.
Valadez and S.F. Yoder. 2012. Major Microbiological Hazards Associated with
Packaged Fresh and Processed Meat and Poultry. Woodhead Publishing Series in
Food Science, 1(1): 1-8.
Lv, Y., K. Xiao, J. Yang, Y. Zhu, K. Pei, W. Yu, S. Tao, H. Wang, S. Liang, H. Hou, B.
Liu dan J. Hu. Correlation Between Oxidation-Reduction Potential Values and
Sludge Dewaterability During Pre-Oxidation. Water Research, 155 : 96-105.
Nilai :……………………………………………….
Draft :……………………………………………….
Nama dan paraf asisten:……………………..
…………………………………………………………
hal. 49 dari 49