Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN KASUS

FAMILY HEALTH CARE PROJECT

Pria Berusia 64 Tahun dengan Insomnia Kronis, Skizofrenia, Hipertensi Grade I, serta
Bell’s Palsy

Oleh:
Muhamad Irfan Dzihni
190070200011101

Periode:
18 – 31 Januari 2021

Pembimbing:

dr. Thareq Barasabha, M.T

DEPARTEMEN KEDOKTERAN KELUARGA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
JANUARI 2021
LEMBAR PENGESAHAN
FAMILY HEALTH CARE PROJECT

Pria Berusia 64 Tahun dengan Insomnia Kronis, Skizofrenia, Hipertensi Grade I, serta
Bell’s Palsy

Nama: Muhamad Irfan Dzihni


NIM: 190070200011101

Periode: 18 – 31 Januari 2021

Dokumen ini telah diperiksa dan mendapat persetujuan untuk diujikan:

Malang, 13 Juli 2022

Mengetahui Pembimbing,

dr. Thareq Barasabha, M.T


NIP. 198607192019031007

i
DAFTAR HADIR BIMBINGAN

TELAAH KASUS FAMILY HEALTH CARE PROJECT

ROTASI KLINIK ILMU KEDOKTERAN KELUARGA

Nama : Muhamad Irfan Dzihni

NIM : 190070200011101

Periode : 18 – 31 Januari 2021

Pembimbing : dr. Thareq Barasabha, M.T

Tanggal Tanda Tangan


No. Topik Keterangan
Bimbingan Dokter Muda

28 Januari Penyerahan
1. Revisi bab I,II, dan III
2021 karya

10 Juni
2. Revisi Revisi bab II dan III
2022 pertama

Revisi:
• Penulisan family
assessment
14 Juni Revisi • Diagnosis holistik
3.
2022 kedua dan intervensi
komprehensif
• Penulisan family dan
community focused
• Revisi diagnosis
18 Juni Revisi holistik dan
4.
2022 ketiga intervensi
komprehensif

ii
• Revisi intervensi
23 Juni Revisi komprehensif
5
2022 keempat • Revisi family dan
community focused

Revisi • Revisi intervensi


6 1 Juli 2022
kelima komprehensif

Revisi • Revisi intervensi


7 11 Juli 2022
keenam komprehensif

Malang, 13 Juli 2022


Mengetahui Pembimbing,

dr. Thareq Barasabha, M.T


NIP. 198607192019031007

iii
1

BAB I
RESUME KASUS

Tn. S, 67 tahun, datang dengan keluhan sulit tidur sejak 2 minggu yang
lalu, sejak pasien kehabisan obat risperidon dan clobazam yang ia dapatkan dari
rumah sakit islam Unisma. Pasien biasanya dapat memulai tidur, namun akan
terbangun 2 jam setelah tidur, dan setelah itu pasien tidak tidur kembali dan akan
merasa lelah sepanjang esok harinya. Pasien juga terkadang mengeluh
mengalami mimpi buruk saat ia terbangun dari tidurnya. Ia juga sering mendengar
bisik-bisikkan dan suara-suara mengerikan tidak jelas di telinganya, walaupun
tidak ada sumber suara. Keluhan sulit tidur berhalusinasi sudah dirasakan pasien
sejak tahun 1995 dan biasanya pasien meminta obat dari rumah sakit untuk
keluhannya ini.

Pasien diketahui memiliki riwayat konsumsi obat-obatan psikosis


(haloperidol, TDH, gabapentin) tanpa diketahui efektifitas pengobatannya.
Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa. Pasien merupakan pensiunan
TNI AU di bagian bengkel radio dan kalibrasi. Kemudian, pasien bekerja menjadi
supir mikrolet. Bekerja dari pagi hingga malam, sejak itu cenderung tidur kurang
dari enam jam sehari. Setelah 2 tahun, pasien memutuskan untuk pensiun dan
melakukan seluruh aktivitas sendiri dan sehari-hari bekerja di rumah menonton
televisi.

Pada wawancara psikiatri, pasien memiliki mood hipotim dan afek datar,
mengaku mengalami halusinasi auditorik (mendengar suara yang tidak ada). Pada
pemeriksaan tilikan, pasien mengaku sakit dan memerlukan pengobatan dan
memiliki kepribadian yang pendiam. Pemeriksaan lain dalam batas normal.

Pada pemeriksaan fisik, pasien mengalami hipertensi tipe I.pemeriksaan


lain dalam batas normal. Pada pemeriksaan nervus kranialis, didapatkan Bell’s
sign positif pada pemeriksaan N. VII. Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
pada pasien.

Pasien memiliki total empat anak dan sepuluh cucu. Pasien tinggal di
sebuah rumah dengan istri, dua anaknya, dan empat cucunya, juga dua orang
menantunya. Pasien tinggal pada rumah berukuran 90 m 2 dengan kondisi secara
umum baik.
2

Keluarga pasien merupakan extended family dengan jenis tahap VII dari
Duvall’s life cycle. Sosiogenogram, familiy apgar score, family screem, dan
mandala of health dapat dilihat pada subab 2.3. pasien merasakan adanya
ketidakharmonisan dalam keluarga, dengan skor apgar 2.
3

BAB II
TELAAH KASUS

2.1 Anamnesis

KASUS TELAAH

Identitas Pasien

• Nama : Tn. S Identitas pasien sudah lengkap

• Umur : 67 tahun

• Jenis kelamin : Laki-laki

• Alamat : Jalan Joyoraharjo gang III no


191

• Agama : Islam

• Pendidikan : SMA

• Pekerjaan : Pensiunan tentara

• Status perkawinan : Menikah

Keluhan Utama dan Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Puskesmas Dinoyo Riwayat penyakit kurang lengkap.


dengan keluhan sulit tidur sejak 2 Ada beberapa hal yang absen, di
minggu yang lalu, sejak pasien antaranya adalah kurangnya riwayat
kehabisan obat risperidon dan adanya gangguan pernafasan saat
clobazam yang ia dapatkan dari rumah tidur, apakah didapatkan keluhan
sakit islam Unisma. Pasien biasanya mendengkur, apakah terdapat
dapat memulai tidur, namun akan gangguan berupa tidur berjalan,
terbangun 2 jam setelah tidur, dan banyak bergerak, dan seperti apa
4

setelah itu pasien tidak tidur kembali mimpi buruk yang dialami (Schwartz,
dan akan merasa lelah sepanjang esok 2020). Hal ini penting untuk
harinya. Pasien juga terkadang menyeleksi diagnosis banding lalin.
mengeluh mengalami mimpi buruk saat
Perlu digali riwayat merot pada wajah
ia terbangun dari tidurnya. Ia juga sering
pasien, sejak kapan, apakah terjadi
mendengar bisik-bisikkan dan suara-
sewaktu atau terus menerus, apakah
suara mengerikan tidak jelas di
dirasakan nyeri, apakah kesulitan
telinganya, walaupun tidak ada sumber
tersenyum, menutup mata, berbicara,
suara. Keluhan sulit tidur berhalusinasi
apakah disertai nyeri di telinga, suara
sudah dirasakan pasien sejak tahun
yang mengganggu, gangguan
1995 dan biasanya pasien meminta
pengecapan.
obat dari rumah sakit untuk keluhannya
ini. Kemudian, penulis tidak menuliskan
bagaimana kiranya persepsi pasien
terhadap penyakit yang dialaminya,
juga kekhawatiran pasien terhadap
penyakitnya. Hal ini berguna untuk
mengetahui aspek pendidikan
(kecerdasan kognitif) guna
memberikan edukasi pada pasien.

Riwayat Penyakit Terdahulu

Pasien pernah mengalami kedutan di - Sebaiknya ditanyakan


wajahnya pada tahun 1987 mengenai diagnosis penyakit
yang dialami pasien
Pasien pernah beberapa kali
sebelumnya
mengalami gatal di wajahnya dan
- Perlu digali riwayat halusinasi
diberikan terapi dengan menaruh abu
yang pasien keluhkan di awal.
panas di wajahnya
Apakah pernah melakukan
Pasien mengaku sering bolak-balik pengobatan kepada psikiater
opname di rumah sakit (RS Kepanjen sebelumnya? kalau pernah,
dan RS Soepraoen) apa kesimpulan penyakit
pasien? apakah juga dengan
Riwayat pengobatan yang pernah
pengobatan membaik
diterima pasien :
keluhannya. Apakah ada efek
5

• 09/09/2013 = Haloperidol 0.5 mg, samping dari obat yang


2x1, kalxetin 10mg 1x1 diterimanya? Bagaimana
• 16/09/2013 = THD 6, 2x1 perjalanan penyakitnya, sejak
• 19/09/2013 = Chlorpromazine 25mg awal terdiagnosis? Apakah
0-0-1, THD 2mg, 2x1 pada pasien ada hal yang

• 02/09/2013 = THD 2mg, 2x1, menunjukkan mood depresif?


Kalxetin 10mg 1x1 o Apakah pasien kehilangan

• 09/10/2013 = Kalxetin 10mg 1x1, minat atau kebahagiaan?

chlorpromazine 100mg 0-0-1/2 Apakah kehilangan energi

• 25/11/2013 = Sohobion 30, 1x1, untuk melakukan kegiatan

THD 2mg, 2x1, Kalxetin 10mg, 1-0- sehari-hari?

0, Chlorpromazine 100mg, 0-0-1/2


• 23/12/2013 = Meloxicam 15mg, 1x1
• 25/12/2013 = Graha 1x1, THD 2mg,
2x1, Kalxetine 10mg, 1-0-0,
chlorpromazine 100mg, 0-0-1/2,
risperidon 1x1/4
• 26/05/2016 = Gabapentin 1x1,
alprazolam 0-0-1, ibuprofen (7 hari)
1x1, ranitidine 1x1
• 01/06/2016 = Natrium diclofenac
50mg (15 hari), 2x1, Diazepam 5mg
(15 hari) 1x1
• 10/01/17 = Risperidon 2x1/2,
chlorpromazine 0-0-1/2
• 21/02/17 = Risperidon 2x1,
chlorpromazine 0-0-1/2, ranitidine
2x1
• 30/03/18 = risperidone, clobazam

Riwayat penyakit keluarga

• Riwayat keluarga dengan Perlu digali mengenai riwayat


keluhan serupa (-) penyakit kejiwaan dalam keluarga.
6

• Riwayat hipertensi (-), riwayat Perlu juga digali riwayat keluarga


diabetes mellitus (-) dengan keluhan wajah merot.
Riwayat Sosial

• Pasien merupakan pensiunan Riwayat sosial sudah ditanyakan


TNI AU, mulai bekerja pada cukup lengkap, tetapi dinilai baik jika
tahun 1971 – 1984 di bagian penulis menuliskan bagaimana pola
bengkel radio, 1984 – 2006 di interaksi pasien dalam keluarga,
bagian kalibrasi. apakah seluruhnya harmonis,
• Tahun 2006 – 2008 pasien apakah pasien merasa ada
bekerja sebagai supir mikrolet, penghalang interaksi antaranggota
bekerja dari pagi hinnga malam, keluarga, dan ditulis data tentang
jam tidur cenderung kurang hubungan sosial pasien dengan
(kurang dari 6 jam) masyarakat di luar keluarga. Juga
• Tahun 2008 pasien sudah sebaiknya ditanyakan apakah pasien
berhenti bekerja karena mengonsumsi zat terlarang, atau
penglihatan pasien sudah mulai merokok.
berkurang, tetapi masih
melakukan seluruh aktivitas
sehari-hari sendiri
• Sehari-hari pasien biasanya
menghabiskan waktunya
sendirian di rumah menonton
televisi

Review of system

(tidak dituliskan review of system) Perlu diketahui untuk menilai apakah


pasien mengalami sesuatu yang lain
yang belum diucapkan atau
terdeteksi. Perlu ditanyakan kembali
keluhan berdasarkan organnya:
7

Keadaan umum: apakah ada lelah,


penurunan berat badan, demam,
menggigil, dan berkeringat.

Kulit: apakah ada rash, gatal, luka,


tumor.

Kepala dan leher: apakah ada sakit


kepala, nyeri, kaku leher, dan trauma.

Mata: apakah pasien memakai


kacamata, ada gatal, kuning, merah,
nyeri, penglihatan ganda.

Telinga: apakah ada keluhan


pendengaran, nyeri, dan berputar.

Hidung: apakah ada ingus, kering,


berdarah, nyeri, buntu, berbau,
halusinasi, dan bersin-bersin.

Mulut dan tenggorok: apakah ada


nyeri, kering, suara serak kesulitan
menelan, sakit menelan, keluhan gigi,
gusi, dan infeksi.

Pernafasan: apakah ada batuk, riak,


nyeri, mengi, sesak nafas, batuk
darah, nyeri saat menarik nafas.

Jantung: apakah ada nyeri dada kiri,


sesak nafas, sesak malam, sesak
saat berbaring, bengkak di tangan
dan kaki, berdebar, dan darah tinggi.

Vaskuler: apakah ada nyeri di kaki


atau tangan, luka, dan varises.

Abdomen: apakah ada penurunan


nafsu makan, tidak nafsu makan,
8

mual, muntah, perdarahan, melena,


nyeri, diare, sulit BAB, BAB berdarah,
hernia, kuning.

Alat kelamin laki-laki: apakah ada


nyeri, gatal, sekret, penyakit kelamin,
luka, gatal, kesulitan ereksi.

Ginjal dan saluran kencing: apakah


tidak ada produksi kencing, kencing
nyeri, berdarah, sering ke belakang,
berkemih saat malam, nyeri
pinggang.

Hematologi: apakah ada lemas, lesu,


pusing, dan perdarahan.

Endokrin: apakah ada perubahan


berat badan, mata melotot,
kedinginan.

Muskuloskeletal: apakah ada trauma,


nyeri, kaku, bengkak, lemah, nyeri
punggung, dan keram.

Sistem saraf: apakah ada pingsan,


kejang, bergtetar, nyeri, perasaan
terbakar, kesemutan, ditanya tentang
kekuatan tangan dan kaki, dan daya
ingat.

2.2 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

KASUS TELAAH
9

• Keadaan Umum : tampak sakit ringan Pemeriksaan


• GCS 456 fisik sudah
• Tekanan darah : 150/90 lengkap, pasien
• Nadi : 84 x/menit mengalami

• RR : 20 x/menit hipertensi

• Tax : 36,1 ° C grade I.

• TB : 166 cm GCS
• BB : 52kg seharusnya
• BMI : 18.8 dituliskan GCS
• Status gizi : Cukup 15 = E4V5M6

Status Generalis
Kepala Pupil : Bulat, isokor, 3mm/3mm, Status
refleks cahaya (+), Konjungtiva generalis
anemis (-), Sklera ikterik (-) sudah lengkap.
Leher Pembesaran kelenjar getah bening (- Seluruhnya
) dalam batas
JVP R + 2 cm H2O normal.
Thoraks Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Jantung Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS
V, MCL Sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan :
Sternal Line Dextra

Batas jantung kiri: Ictus

Auskultasi : S1S2 tunggal, regular,


murmur (-), gallop (-)
Paru Inspeksi:
Statis D=S Dinamis D=S

Palpasi:
Ekspansi Dinding Dada D
=S
10

Stemfremitus = N N
N N
N N
Perkusi S S
SS
S S

Aus V V Rh - - Wh - -
VV -- --
VV -- --
Abdomen Flat, Soefl
Bising usus (+) normal
Meteorismus (-), pekak hepar (+),
shifting dullness (-)
hepar, lien : Dalam batas normal,
Liver span = 9 cm
Nyeri tekan (-)
Ekstremitas Akral hangat + +
+ +

Edema - -
- -

Wawancara Psikiatri

- Deskripsi umum: penampilan, Wawancara psikiatri menunjukkan


perilaku dan aktivitas psikomotor, pasien memiliki kelainan halusinasi
sikap terhadap pemeriksa. : auditorik, mood hipotim, afek datar,
Pasien berpenampilan sesuai dan pasien pendiam
dengan usianya, tampak tenang,
Perlu juga diketahui stresor yang
aktivitas psikomotor menurun.,
menyebabkan gejala halusinasi
sikap terhadap pemeriksaan
timbul. Apakah dari lingkungan,
kooperatif
11

- Mood, afek, dan keserasian afek. ataukah dari pola penyesuaian yang
: Mood pasien hipotim, afek datar, kurang adaptif dari pasien.
keserasian afek baik
- Pembicaraan pasien :
Pembicaraan pasien baik, fasih,
tidak berbicara terlalu cepat atau
lambat.
- Persepsi atau pencerapan :
Pasien mengalami halusinasi
auditorik, yaitu mendengar suara
bisik-bisikan yang sebenarnya
tidak ada
- Isi pikir dan proses pikir: Pasien
tidak memiliki gangguan proses
pikir dan isi pikir
- Kesadaran :Pasien dalam kondisi
compos mentis
- Orientasi : Pasien dapat
menjawab orientasi waktu,
tempat, dan orang secara tepat
- Daya ingat : Pasien memiliki daya
ingat jangka pendek, menengah,
dan panjang yang baik
- Konsentrasi : Pasien dapat
menghitung 100 dikurangi 7
sebanyak 3 kali
- Perhatian : Pasien dapat mengeja
suatu kata dari belakang
- Kemampuan membaca dan
menulis : Pasien dapat menulis
suatu kalimat sederhana dan
membacanya
- Kemampuan visuospasial :
Pasien dapat menggambarkan
jam analog pada pukul 04.00
12

- Kemampuan pikiran abstrak :


Pasien dapat menyebutkan
persamaan dari apel dan jeruk
- Kemampuan informasi dan
intelegensi : Pasien dapat
menjawab nama presiden saat ini
- Pengendalian impuls : Pasien
tenang dan kooperatif saat
dilakukan pemeriksaan
- Daya nilai : Pasien dapat
menjawab dengan tepat
ditanyakan mengenai
menemukan dompet yang
terjatuh di jalan
- Tilikan : Pasien mengaku sakit
dan memerlukan pengobatan
- Kepribadian : Berdasarkan orang
disekitarnya pasien adalah orang
yang pendiam
- Kemampuan menilai realita :
Pasien mampu menilai realita
dengan baik
Pemeriksaan Nervus Cranialis

N. I : normal pemeriksaan sudah lengkap dan


menunjukkan bahwa pasien memilki
N. II : (tidak dievaluasi)
kelainan pada N.VII (N. Facialis)
N. III, IV, VI : Ptosis (-), gerak bola mata berupa paralisis tipe LMN pada
(Normal), akomodasi (Normal) N.VII. dan Bell’s sign

N. V : sensoris (Normal), Motoris


(Normal), Refleks kornea (tidak
dievaluasi), Masseter (dbn)
13

N. VII : Motoris: parasilis tipe LMN pada


sisi kiri wajah, Bell’s sign (+) sinistra,
Hiperakusis (-)

pengecapan 2/3 anterior lidah (dbn),


penurunan lakrimasi (-)

N. VIII, IX, X, XI, XII : dalam batas normal

Refleks fisiologis : Data sudah lengkap, seluruh


pemeriksaan refleks fisiologis,
BPR +2|+2
patologis, dan motorik dalam batas
TPR +2|+2 normal.

KPR +2|+2

APR +2|+2

Refleks patologis:

Tromner -|-

Hoffman -|-

Babinski -|-

Chaddock -|-

Oppenheim -|-

Gordon -|-

Schaeffer -|-

Gonda -|-

Motorik :

MMT :
14

Power : 5l5

5l5

Tonus : NlN

NlN

Sensoris : dbn

ANS : dbn

Pemeriksaan Penunjang

(tidak dilakukan pemeriksaan penunjang) Pada keadaan akut (empat bulan


atau kurang), tidak diperlukan
pemeriksaan penunjang pada
keluhan insomnia. Pada keadaan
paralisis NVII, diperlukan
pemeriksaan penunjang berupa
MRI kepala, pemeriksaan CSF,
Atau pemeriksaan lab, tetapi
dilakukan oleh dokter spesialis
saraf.

2.3 Family Assessment

2.3.1 Bentuk dan Tahapan Keluarga, Serta Family Coping Score

KASUS TELAAH

Bentuk keluarga: extended family Extended family adalah keluarga inti


(nuclear family) ditambah dengan
sanak saudara lain baik dari ibu
maupun ayah.

Tahapan keluarga : keluarga senja Teori ini menyatakan bahwa terdapat


(tahap VII) tujuh fase family life cycle: 1) keluarga
baru, 2) keluarga dengan anak
15

pertama, 3) keluarga dengan anak


prasekolah, 4) keluarga dengan anak
usia sekolah, 5) keluarga dengan anak
remaja, 6) keluarga dengan anak
terakhir meninggalkan rumah, dan 7)
keluarga senja. Keluarga senja (fase
ketujuh) ditandai dengan adanya:
kemandirian anggotanya, generasi
tengah memegang peranan penting,
kakek nenek diminta pendapatnya dan
dilihat kebijaksanaannya, dan adaptasi
terhadap lingkungan sosial yang lebih
besar. Dari paparan tersebut, keluarga
Tn. S berada pada tahap ini
(Goldenberg, 2012).

2.3.2 Sosiogenogram

Kasus:
16

Telaah:

Pasien memiliki empat orang anak, seluruhnya perempuan dan sudah


menikah. Dua dari keempatnya tinggal bersama pasien. Pasien tinggal dengan
empat cucunya. Pasien memiliki insomnia dan Bell’s Palsy, dan hal serupa dialami
oleh anak wanitanya yang paling muda.

Genogram sudah dibuat dengan baik. Salah satu kritik saya di sini adalah
tidak adanya lembaga (keterangan) bagi pembaca untuk mempermudah
pembacaan genogram ini. Juga tidak didapatkan tanggal pada genogram. Pada
genogram ini, tidak diketahui juga kepala keluarga dalam keluarga ini. Selain itu,
perlu diketahui juga siapa di dalam keluarga yang memiliki hipertensi.

12 April 2018

Tn.S
Ny.E
67 Thn
65 Thn

Ny.T Ny.S Ny.N Ny.S


42 Thn 39 Thn 36 Thn 34 Thn

An. I An. I An. J An. D An. R An. R An. U An. A An. B An. A
11 thn 8 thn 11 thn 8 thn

Laki-laki Kepala
Bell’s Palsy Keluarga

Perempuan Meninggal
Insomnia

Tinggal
Pasien serumah
Gejala
skizoafektif
17

2.3.3 Family APGAR

Kasus

No Pertanyaan sering Kadang- Jarang


kadang

1. Saya puas karena saya dapat √


bercerita kepada keluarga saat
saya memiliki masalah

2. Saya puas dengan cara √


keluarga bermusyawarah untuk
memecahkan masalah

3. Saya puas karena diberikan √


kesempatan bertumbuh sesuai
arah kehidupan yang saya
inginkan

4. Saya puas dengan kasih √


sayang yang terjalin di antara
keluarga saya

5. Saya puas dengan keluarga √


membagi antara waktu pribadi
dan waktu Bersama

Total: 2 (severely disfunctional family)

Telaah:

Kuisioner family APGAR merupakan salah satu upaya untuk mengukur


kepuasan anggota keluarga terhadap lima komponen dasar dari fungsi sebuah
keluarga, yaitu Adaptation, Partnership, Growth, Affection, dan Resolve. Skor
family APGAR 0-3 berarti disfungsi keluarga berat. Barangkali, dalam sebuah
keluarga nilai APGAR tinggi pada seluruh anggota keluarga, kecuali satu atau dua
anggota. Mungkin juga skor tinggi pada beberapa anggota keluarga.
18

Pada keluarga disfungsional, harus kembali digali komponen APGAR,


dengan menggunakan pertanyaan terbuka dengan harapan diperoleh data
kualitatif dari pasien terkait Adaptation, Partnership, Growth, Affection, dan
Resolve. Contohnya, pada pasien ini dapat ditanyakan perihal bagaima dalam
keluarga ini memecahkan masalah, apakah keputusan didasari musyawarah atau
bukan, dan bagaimana komunikasi dalam keluarga (partnership). Pada keadaan
keluarga yang tidak disfungsional, beberapa tindakan harus ditempuh seorang
dokter keluarga, seperti melakukan family conference untuk membicarakan lebih
lanjut tentang peran masing-masing anggota dan pembagian tugas-tugas dalam
keluarga, dengan pengawasan dari dokter diharapkan terdapat peningkatan skor
APGAR dan hasilnya peningkatan dalam kesehatan pasien. (Smilkstein, 1978)

2.3.4 Family Screem

Kasus

Sosial -

Kultural -

Religi Pasien memeluk agama islam, sholat lima waktu. Pasien biasa
tidak berdoa sebelum tidur (tidak membaca ayat kursi)

Ekonomi Pasien sekarang sudah tidak bekerja

Edukasi Pasien lulusan sma

Medik - Pasien sudah memiliki motivasi untuk berobat dan mencari tahu
penyakit yang diderita.

- Pasien tidak memiliki asuransi kesahatan dalam bentuk


apapun.

Telaah:

Penulis menuliskan tabel family screem dengan menyatukan aspek-aspek


yang dinilai normal dan patologis. Hanya keadaan patologis yang ditulis dalam
Family Screem:
19

Parameter Patologis

Sosial Pasien lebih sering menghabiskan waktunya sendiri di rumah


menonton televisi dan jarang berkomunikasi dengan orang-
orang di sekitarnya

Kultural -

Religi Pasien biasa tidak berdoa sebelum tidur (tidak membaca ayat
kursi) (Pasien beragama islam)

Ekonomi Pasien sekarang sudah tidak bekerja

Edukasi Pasien lulusan SMA, pasien tidak memiliki asuransi kesehatan


(kurang edukasi)

Medik -

Kemampuan sebuah keluarga untuk dapat beradaptasi atau


menyelesaikan masalah yang ada dipengaruhi oleh sumber atau resource yang
dimiliki oleh keluarga tersebut. Family SCREEM merupakan suatu akronim yang
dapat digunakan untuk membantu menilai sumber yang dimiliki sebuah keluarga
untuk mampu mencari pelayanan kesehatan dan menghadapi sebuah krisis. Pada
pasien ini, terdapat masalah pada aspek sosial, religi, ekonomi, dan edukasinya.
20

2.3.5 Mandala of health

Kasus
21

Telaah

Culture

Personal behaviour Lifestyle

Pasien pendiam dan Menghabiskan waktu dengan


tidak pandai Psikososial
menonton TV
bersosialisasi, riwayat
kurang tidur di masa Keluarga tidak
muda, pasien kurang harmonis dan kurang
edukasi terkait asuransi Keluarga Pasien tinggal dengan 2 kasih sayang dalam
kesehatan anak, 2 menantu, dan 4 cucu keluarga

Pasien laki-laki, 64
Sick care system tahun dengan Work
gangguan tidur
- pasien tidak bekerja

Human biology
Physical
environment
laki-laki, 67
tahun,
hipertensi, dan
riwayat Human made environment
skizofrenia.

Biosfer

2.4 Diagnosis Holistik

KASUS TELAAH

Aksis 1: Aspek Personal

- Alasan kedatangan: kesulitan


tidur, halusinasi
- Harapan: Mendapatkan obat
tidur, mengetahui penyebab
penyakitnya.
- Persepsi: pasien memiliki
persepsi bahwa sulit tidurnya
disebabkan oleh kehabisan
obat.
22

- Kekhawatiran: kekhawatiran
sulit tidur terus berlanjut.
- Upaya: datang ke dokter untuk
mendapatkan medikasi dan
berkonsultasi

Aksis 2: Klinis

1. insomnia kronik

- Diagnosis:
o Insomnia (nonorganik)
(F51.0)
- Diagnosis banding
o 1.2 inadequate sleep
hygiene (Z72.821)

2. Skizofrenia tidak terinci


berkelanjutan (F.25.31) on treatment

3. Hipertensi grade I (I10)

4. Paralisis NVII tipe LMN

- Diagnosis:
o 4.1 Bell’s palsy (G51.0)
- Diagnosis banding:
o 4.2 Infection related
NVII paralysis (G51.8)
o 4.3 Autoimmune related
NVII paralysis

Aksis 3: Faktor Resiko Internal

- - Personal behavior: pendiam,


tidak pandai bersosialisasi,
tidak berdoa sebelum tidur.
- Lifestyle: menghabiskan
waktu dengan menonton TV,
23

riwayat kurang tidur di masa


muda.
- Work: pasien tidak bekerja,
pensiunan tantara, pensiunan
sopir mikrolet.
- Human biology: laki-laki, 67
tahun, hipertensi, dan riwayat
skizofrenia.

Aksis 4: faktor resiko eksternal

- Psikososial: hubungan dalam


keluarga kurang harmonis.
- Ekonomi: -
- Edukasi: pasien lulusan SMA,
pasien tidak memiliki BPJS
- Medik: -

Aksis 5: Derajat Fungsional

Derajat fungsional 2 (mampu


melakukan pekerjaan ringan di dalam
dan luar rumah, tidak dapat melakukan
pekerjaan berat)

2.5 Intervensi Komprehensif

KASUS TELAAH

Aksis 1: Aspek Personal

- - Alasan kedatangan:
melakukan pemeriksaan
lengkap dan intervensi kepada
pasien sesuai hasil
pemeriksaan.
24

- Harapan: memberikan pasien


obat, menjelaskan bahwa
keluhan sulit tidur pasien
merupakan akibat gabungan
antara penyakit mental yang
dialaminya, gaya hidup, dan
masalah sosial dan keluarga.
- Persepsi:menjelaskan bahwa
sulit tidur pasien bukan hanya
karena kekurangan obat,
namun juga faktor-faktor
internal dan eksternal yang
dimilikinya.
- Kekhawatiran: empati dengan
keadaan pasien, memberikan
pengertian kepada pasien
bahwa kesulitan tidur dapat
teratasi jika diobati dengan
betul.
- Upaya: menjelaskan kepada
pasien bahwa upaya yang
ditempuhnya sudah benar,
juga mengapresiasi langkah
yang ditempuhnya.

Aksis 2: Klinis

- Nonfarmakologis:
o Menjelaskan kepada
pasien tentang sleep
hygiene
o Rujuk pasien ke
psikiatri untuk:
▪ Menatalaksana
farmakologis
25

▪ melakukan
konseling CBT
Insomnia.
o Meminta pasien untuk
menerapkan pola
makan dengan Diet
DASH, berolahraga
secara teratur (minimal
30 menit, 3-5 kali
seminggu), dan
meminum obat secara
teratur.
o Pasien diminta kembali
setelah 7 hari.
- Farmakologis:
o Diazepam 5 mg sehari
sekali (malam hari
sebelum tidur)
o Risperidone 1 mg
sekali sehari (pagi hari)
o Captopril 25 mg 2x
sehari (pagi dan
malam)
o Amlodipine 5 mg sekali
sehari (pagi hari)
o Prednisone 40 mg
sekali sehari selama 10
hari (pagi)
o Cendo Lyteers 3-4 kali
sehari 2-3 tetes sekali
pakai.

Aksis 3: Faktor Resiko Internal

- Personal behavior:
26

o Perilaku pendiam:
meminta pasien untuk
melakukan psikoterapi
dengan psikolog.
o Tidak pandai
bersosialisasi:
menyarankan pasien
untuk meningkatkan
sosialisasi dengan
lingkungan sekitar dan
keluarga.
o Tidak berdoa sebelum
tidur: menganjurkan
pasien berdoa sebelum
tidur, menyarankan
redaksi doa kepada
pasien, menganjurkan
pasien mendekatkan
diri kepada tuhan, dan
menganjurkan pasien
untuk sholat malam
ketika tidak dapat tidur.
o Riwayat kurang tidur di
masa muda: edukasi
kepada pasien tentang
sleep hygiene,
termasuk jangan
menjadikan tempat
tidur sebagai tempat
beraktivitas, jangan
berusaha untuk tidur,
jika pasien sulit tidur
lakukan kegiatan ringan
seperti membaca,
namun jangan di
27

tempat tidur, dan


hindari olahraga
sebelum tidur.
- Lifestyle:
o Pasien menghabiskan
waktu menonton
televisi: menjelaskan
efek mengurangi
menonton televisi
terhadap tidur pasien,
meminta keluarga
pasien untuk
memasang sistem lock-
out pada sekering listrik
di saat malam hari,
meminta pasien
memotong 50 persen
durasi menonton
televisi dengan sistem
lock-out
o Sedentary lifestyle:
Edukasi kepada pasien
terkait bahaya
sedentary lifestyle,
keuntungan
beraktivitas fisik, dan
mencari kesulitan
pasien untuk
beraktivitas fisik
o Pasien diminta untuk
melakukan aktivitas
fisik yang ringan,
seperti berjalan kaki,
bersepeda, belanja ke
pasar, dan pekerjaan
28

rumah ringan (mencuci,


menyapu, dan
bercocok tanam),
o Membuatkan pasien
jurnal harian yang
mencatat jumlah screen
time, lama duduk, dan
olahraga..
- Work:
o Tidak bekerja:
Menyarankan pasien
untuk mencari
kesibukan, seperti
memelihara binatang,
bermain dengan
cucunya, dan
membersihkan rumah
dan memperbanyak
waktu di luar rumah.

Aksis 4: Faktor Resiko Eksternal

- Psikososial: melakukan family


converence dengan
menyertakan pasien serta
anggota keluarga untuk
mengklarifikasi kondisi pasien,
serta menyelesaikan masalah
dalam keluarga.
- Ekonomi: -
- Edukasi: - meminta pasien
untuk mendaftar BPJS serta
menjelaskan manfaat memiliki
BPJS bagi pasien.
- Medik:
29

Aksis 5: Derajat Fungsional

- Menyarankan pasien untuk


mengikuti program rehabilitasi
psikososial di rumah sakit jiwa.
- Follow up pasien memastikan
derajat fungsional tidak
menjadi derajat tiga.

Family Focused

o Mengadakan Family converence untuk mengklarifikasi kondisi


pasien, peran dalam keluarga, memeriksa skor FAPGAR anggota
keluarga lainnya, serta mengetahui secara pasti letak kekurangan
serta masalah dalam keluarga.
o Mengingatkan keluarga tentang resiko terjadinya gangguan jiwa
pada anggota keluarga lainnya.
o Keluarga juga diingatkan bahwa anak-anak pasien juga memiliki
resiko terkena hipertensi yang tinggi, sehingga pola hidup dan
intervensi yang diberikan kepada pasien juga berlaku bagi anak-
anak pasien.
o Meminta keluarga agar meningkatkan komunikasi setiap anggota
keluarga.
o Membiasakan anggota keluarga agar menghentikan tayangan
televisi di atas jam 22.00
o Meminta keluarga untuk menciptakan kondisi aman, nyaman, dan
tenang di keluarga.
o Meminta keluarga untuk memodifikasi lingkungan tempat tinggal
agar tidak mendukung gaya hidup sedentary (seperti
memindahkan sofa dari depan televisi).

Community Oriented

o Edukasi terkait insomnia dan sleep hygiene melalui media


elektronik (social media, video, dan pelatihan daring).
o Promosi kesehatan pada masyarakat mengenai manfaat pola
30

hidup sehat dan penyakit-penyakit metabolisme.


o Sosialisasi tentang GPH (Gerakan Peduli Hipertensi) dan
GERMAS (Gerakan Masyarakat Sehat), kepada masyarakat
melalui media daring dan seminar.
o Pemeriksaan gratis yang dilakukan secara berkala dapat berperan
sebagai bentuk pencegahan sekunder untuk mendeteksi kasus
hipertensi, termasuk populasi yang memiliki faktor resiko seperti
obesitas dan individu yang memiliki riwayat keluarga hipertensi.
o Edukasi melalui pekerja sosial pada keluarga yang memiliki
anggota keluarga orang dengan gangguan jiwa untuk melakukan
pengobatan ke rumah sakit.
o Edukasi kepada masyarakat terkait kesehatan mental dan untuk
menghilangkan “stigma rumah sakit jiwa” pada pasien penderita
gangguan jiwa.
31

BAB III
DISKUSI

3.1 Analisis Penegakan Diagnosis

3.1.1 Aksis I

Alasan kedatangan pasien adalah kesulitan tidur dan kehabisan obat


tidurnya, didapatkan dari anamnesis. Harapan pasien didapatkan dari anamnesis
adalah untuk mendapatkan kembali obat tidurnya. Didapatkan bahwa pasien
memiliki persepsi bahwa kesulitan tidurnya disebabkan oleh habisnya obat yang
biasa dikonsumsinya. Ini didapatkan dari anamnesis dan alasan kedatangan
pasien.

3.1.2 Aksis II

Pasien datang dengan keluhan utama sulit tidur. Sulit tidur sudah dialami
sudah dua minggu sejak obat yang dikonsumsinya sudah habis. Namun, keluhan
sulit tidur berulang dialaminya sudah sejak 12 tahun yang lalu, gangguan tidur ini
merupakan insomnia tidur kronik (yang terjadi lebih dari empat minggu). Insomnia
adalah gangguan memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal tiga
malam seminggu dan terdapat gangguan di siang hari (Sateia,2016).

Gangguan tidur menurut ICD-10 hanya dibagi menjadi dua, gangguan tidur
organik dan gangguan tidur nonorganik akibat emosi. Pada kasus ini, paling
mungkin pasien mengalami gangguan tidur nonorganik yang disebabkan oleh
skizofrenia. Hal ini didapatkan dari anamnesis (sulit memulai tidur, terbangun di
malam hari), riwayat penyakit sebelumnya (terdiagnosis skizofrenia), serta
pemeriksaan kejiwaan (halusinasi auditorik). Skizofrenia dapat menimbulkan
hyperarousal yang berakibat kepada skizofrenia (gambar 3.1) (Sateia, 2016)

Skizofrenia Peningkatan aktivitas Hyperarousal


saraf simpatik

Gambar 3. 1 Hyperarousal pada Pasien Skizofrenia

Pasien datang dengan gejala psikosis lebih dari enam bulan, tanpa
penyakit umum yang jelas dan penggunaan obat. pada pemeriksaan kejiwaan,
pasien memiliki mood hipotim dan afek datar, keduanya menunjukkan bahwa
32

pasien bukanlah pasien psikosis dengan afek yang menonjol. Semua ini
mendukung diagnosis skizofrenia menurut kriteria diagnosis ICD-10 (APA, 2013).

Selanjutnya, gejala dan tanda pasien lebih mengarah kepada subklasifikasi


skizofrenia tak terinci (F20.3) karena tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia
paranoid, hebefrenik, ataupun katatonik, juga bukan skizofrenia residual atau
skizofrenia yang menyebabkan depresi. Pasien skizofrenia juga diklasifikasi
berdasarkan perjalanan penyakitnya. Pasien ini telah terdiagnosis pada tahubn
1995, telah diberikan obat, dan tanpa perbaikan. Ini adalah skizofrenia
berkelanjutan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pasien ini mengalami skizofrenia
tidak terinci berkelanjutan (F20.30) (APA, 2013).

Kemudian, pada pemeriksaan fisik, pasien didapatkan mengalami


hipertensi grade I. Ini sesuai dengan kriteria yang cocok dengan konsensus
penatalaksanaan hipertensi 2021 (PDHI, 2021). Pasien menderita hipertensi tanpa
riwayat sebelumnya. Hipertensi merupakan kondisi tekanan darah sistolik ≥140

mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Klasifikasi hipertensi dapat

dilihat pada tabel 3.1 (PDHI, 2021).

Tabel 3. 1 Klasifikasi Tekanan Darah menurut International Society of


Hypertension Global (Unger, 2020)

Kategori TDS TDD


(mmHg) (mmHg)
Normal <130 dan 85
Normal-tinggi 130- dan/atau 85-89
139
Hipertensi 140- dan/atau 90-99
derajat 1 159
Hipertensi ≥ 160 dan/atau ≥ 100
derajat 2

Pada pasien, terdapat dua faktor resiko hipertensi, yaitu usia dan
sedentary lifestyle, dengan TDS 150 sehingga termasuk ke dalam hipertensi grade
I resiko sedang. Klasifikasi hipertensi berdasarkan resikonya dapat dilihat pada
tabel 3.2
33

Tabel 3. 2 Klasifikasi Resiko Hipertensi Berdasarkan Derajat Tekanan Darah,


Faktor Resiko Kardiovaskular, HMOD atau Komorbiditas Darah Menurut
International Society of Hypertension Global (Unger, 2020)

Derajat Tekanan Darah (mmHg)


Faktor
Normal Tinggi Derajat 1 Derajat 2
Resiko Lain,
TDS 130-139 TDS 140-159 TDS ≥ 160
HMOD, atau
TDD 85-89 TDD 90-99 TDD ≥ 100
Penyakit

Tidak ada faktor Resiko rendah Resiko rendah Resiko


resiko lain sedang

1 atau 2 faktor Resiko rendah Resiko Resiko tinggi


resiko sedang

≥ 3 faktor resiko Resiko Resiko Resiko tinggi Resiko tinggi


rendah sedang

HMOD, PGK
derajat 3, atau Resiko tinggi Resiko tinggi Resiko tinggi
DM tanpa
kerusakan organ

Pada anamnesis juga didapatkan pasien pernah mengalami kedutan di


wajah pada tahun 1987, pasien juga pernah mengalami gatal di wajah dan diobati
dengan menaruh abu panas di wajah. Pasien tidak memiliki riwayat sklerosis
multipel, autoimun, malignansi, dan riwayat paralisis yang progresif dan nyeri.
Pada pemeriksaan neurologis, didapatkan paralisis pada NVII dengan tipe LMN.
Pada pasien seperti ini, diagnosis yang paling mungkin adalah Bell’s palsy
(paralisis idiopatik) (Owusu, 2018)

3.1.3 Aksis III

Sebuah model bernama model 3P menunjukkan bahwa insomnia


dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor predisposisi (predisposing), faktor
pencetus (precipitating), dan faktor pemelihara (perpetuating). Faktor predisposisi
terbagi menjadi tiga, yaitu faktor biologis (seperti peningkatan terus menerus
hormon kortisol), sosial (seperti jam kerja yang terlalu malam), dan psikologis
(seperti kepribadian cemas). Faktor pencetus dapat mendahului adanya insomnia,
seperti trauma, dan dapat menghilang seiring berjalannya waktu. Faktor
34

pemelihara adalah faktor yang dapat melanggengkan insomnia, seperti sleep


hygiene yang buruk. Model 3P divisualisasi pada gambar 3.2 (Sateia, 2016).

Gambar 3. 2 Model 3P. Faktor predisposisi sendiri dapat menimbulkan insomnia.


Faktor pencetus dan pemelihara dapat memperparah kejadian insomnia. Ketiga
faktor sekaligus dapat terjadi pada satu orang

Personal behaviour:

Dari pemeriksaan kejiwaan, pasien mengaku bersifat pendiam dan tidak


pandai bersosialisasi yang terbukti memiliki hubungan dengan kejadian skizofrenia
(Newbury, 2018). Pasien juga tidak berdoa sebelum tidur. Seseorang dengan
Spiritual coping kurang cenderung memiliki hyperarousal ()

Sedentary lifestyle difahami sebagai gaya hidup dengan durasi duduk pasif
yang tinggi. Sedentary lifestyle berhubungan juga dengan rendahnya tingkat
metabolisme tubuh, namun harus dibedakan dengan kurangnya aktivitas fisik.
Seseorang dengan sedentary lifestyle (berlama-lama duduk) boleh jadi aktif
secara fisik. Duduk pasif diartikan sebagai duduk tanpa mengerjakan sesuatu yang
aktif. Seseorang bisa saja duduk tetapi melakukan latihan, seperti mengangkat
beban, mengayunkan kaki, dan lain-lain. Orang yang seperti ini tidak dapat
diartikan sebagai seseorang dengan sedentary lifestyle. Sedentary lifestyle
merupakan faktor predisposisi pada model 3P (Owen, 2011).

Pekerjaan pasien sebagai pensiunan sopir mikrolet dan tentara merupakan


faktor pencetus pada model 3P. Pekerjaan pasien sebagai seorang sopir mikrolet
35

yang sering pulang malam merupakan faktor predisposisi sosial pada model 3P
Seorang veteran tentara memiliki kecenderungan memiliki trauma yang
didapatnya ketika bertugas dahulu, juga menyebabkan hyperarousal (Crawford,
2019)

Terakhir, pasien adalah seorang berusia 67 tahun, dengan hipertensi, dan


riwayat pengobatan skizofrenia tidak terkontrol, yang merupakan faktor
predisposisi pada model 3P yang memiliki resiko mengalami sulit tidur (Cho,
2018).

Selain sulit tidur, hipertensi juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya
paralisis NVII (Apparicio, 2018). Adapun hipertensi sebagai resiko berbagai
keadaan medis sudah dijelaskan sebelumnya. Beberapa literatur menyebutkan
bahwa gejala psikosis dapat mendahului insomnia, dapat juga sebaliknya (Goder,
2021).

3.1.4 Aksis IV

Pada aksis keempat, faktor resiko eksternal terbagi lagi menjadi faktor
psikososial, faktor ekonomi, keluarga, dan faktor medik. Faktor psikososial dari
pasien merupakan kurang harmonisnya hubungan dalam keluarga. Hal ini
didapatkan dari skor family APGAR yang rendah yang menjelaskan keadaan
keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis. Keluarga disfungsional
dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan medis dan kesehatan mental
(Prazeres, 2016). Pada model 3P, kekurangharmonisan dalam keluarga termasuk
ke dalam faktor predisposisi (lihat bahasan aksis III pada diagnosis holistik)

Pada bagian edukasi, pasien cenderung kurang memiliki pengetahuan


terkait asuransi Kesehatan. Seseorang yang memiliki edukasi yang kurang kerap
merasakan kurangnya keperluan untuk berlangganan kepada asuransi kesehatan
(Nobles, 2019). Namun, Savitha membuktikan bahwa hal ini tidak begitu signifikan.
Seseorang dengan edukasi terkait asuransi kurang boleh jadi adalah yang memiliki
pengetahuan yang baik tentang kesehatan, dan bersedia untuk membayar
asuransi (Savitha, 2021).

3.1.5 Aksis V

pasien memberi tahu bahwa pada tahun 2008 pasien sudah berhenti dari
pekerjaannya, tetapi pasien masih dapat melakukan pekerjaan ringan seperti
36

menonton televisi. Oleh karena itu, pasien tergolong dalam derajat fungsional
kedua (tidak dapat melakukan pekerjaan seperti sebelum sakit, dapat melakukan
pekerjaan ringan).

3.2 Analisis Intervensi Komprehensif

3.2.1 Aksis I

Alasan kedatangan: pasien datang karena sulit tidur dan gejala halusinasi.
Kedua gejala ini merupakan gejala (symptom) yang pasien keluhkan, didapatkan
dari anamnesis. Intervensi untuk alasan kedatangan ini merupakan anamnesis
serta pemeriksaan fisik untuk mendapatkan gejala dan tanda (sign) yang lebih
spesifik dari pasien.

Harapan: karena pasien datang ingin mendapatkan obat tidur, maka pasien
diberikan obat tidur dengan efek sedasi kuat. Pasien juga ingin mengetahui
penyebab kurang tidurnya, maka dijelaskan bahwa kurang tidur pasien
berhubungan dengan banyak faktor yang mendasarinya, seperti gangguan
skizofrenianya, banyaknya waktu menonton televisi, and nilai FAPGAR yang
rendah.

Persepsi: karena pasien memiliki persepsi yang salah tentang kurang


tidurnya, pasien diberikan penjelasan yang benar bahwa kesulitan tidur bukan
hanya akibat kekurangan obat. Obat memang dapat mengurangi gejalanya, tetapi
ada hal yang mendasari kurang tidurnya, yaitu gabungan beberapa faktor, seperti
gejala psikosisnya, kepribadian, dan kurangnya sleep hygiene yang baik pada
pasien.

Kekhawatiran: kekhawatiran pasien adalah jika sulit tidur terus berlanjut,


maka dokter memberikan empati terhadap kekhawatiran pasien dan menjelaskan
bahwa dengan pemeriksaan dan pengobatan yang baik keluhan ini dapat teratasi.

Upaya: karena pasien datang ke dokter untuk mengobati gejalanya, maka


hal ini perlu diapresiasi dan diberi tahu bahwa langkah yang ditempuhnya sudah
benar.

3.2.2 Aksis II

Nonfarmakologis
37

Algoritma tatalaksana insomnia menurut European Guideline for Diagnosis


and Treatment of Insomnia dapat dilihat pada gambar 3.3. Pasien dengan
komorbid harus ditangani penyakit komorbidnya (dalam kasus ini skizofrenia) dan
insomnia. Terapi nonfarmakologis utama untuk insomnia adalah dengan CBT
(cognitive based therapy) untuk insomnia. Terapi ini terdiri dari 4-8 sesi tatap muka
dengan seorang psikolog terlatih privat atau beregu (Riemann, 2017). Terapi ini
terdiri dari tiga bagian, yaitu:

- Terapi psikoedukasi: berisi terapi tentang sleep hygiene


- Terapi relaksasi: berguna untuk mengurangi tekanan somatik yang dialami
pasien.
- Terapi perilaku: seperti mengatur sleep window, jumlah waktu di atas
ranjang, dan membuat jurnal tidur.

Gambar 3. 3 Algoritma Tatalaksana Insomnia (Riemann et al., 2017)

Diagnosis selanjutnya adalah skizofrenia. Menurut Maramis (Maramis,


2012), unsur terapi skizofrenia ada tiga: psikoterapi, terapi somatis, dan
psikoterapi. psikoterapi dan terapi somatik dilakukan oleh psikiater.
38

Menurut Maramis (2012), psikoterapi adalah “suatu cara pengobatan


terhadap masalah emosial seorang pasien yang dilakukan oleh seorang yang
terlatih dalam hubungan professional secara sukarela, dengan maksud hendak
menghilangkan, merngubah, atau menghambat gejala-gejala yang ada,
mengoreksi perilaku yang terganggu dan mengembangkan pertumbuhan
kepribadian secara positif”.

Edukasi hipertensi dilakukan untuk mengatur tekanan darah dan


mengurangi resiko yang dapat terjadi akibat hipertensi. Pada edukasi hipertensi
dilakukan upaya berikut (James, 2014):

- Memberikan edukasi kepada pasien untuk melakukan DASH (dietary


approaches to stop hypertension), yaitu dengan membatasi konsumsi
garam. Konsumsi garam berlebih dapat meningkatkan tekanan darah,
sehingga direkomendasikan untuk mengonsumsi garam tidak lebih dari 2
gram/hari atau sebanyak 1 sendok teh.
- Memberikan edukasi pada pasien untuk mengonsumsi makanan yang
seimbang, yaitu dengan memperbanyak konsumsi sayur- sayuran, buah-
buahan, susu rendah lemak, ikan, dan gandum, serta membatasi konsumsi
daging merah dan asam lemak jenuh. Pola makan yang direkomendasikan
dapat menggunakan piring
- Makan model T berdasarkan rekomendasi Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, dimana separuh dari piring terisi sayur-sayuran dan
buah-buahan, sementara seperempat yang pertama terisi makanan
sumber karbohidrat, dan seperempat yang kedua terisi makanan sumber
protein (gambar 3.4).
- Memberikan edukasi pada pasien untuk olahraga atau aktivitas fisik secara
teratur. Olahraga selama minimal 30 menit yang dilakukan 3-5 kali/pekan.
Olahraga yang dianjurkan adalah jenis aerobic dengan intensitas sedang
- Memberikan edukasi pada pasien untuk menurunkan berat badan dan
menjaga berat badan ideal. Pasien diberikan informasi mengenai berat
badan ideal menurut tinggi badan (IMT 18.5-22.9 kg/m2) dengan lingkar
pinggang < 80 cm pada perempuan dan < 90 cm pada laki-laki. Berat
badan ideal pada pasien adalah 44-55 kg
- Memberikan edukasi kepada pasien bahaya daripada merokok terhadap
dampak jangka panjang bagi kesehatan. Apabila pasien tidak merokok,
39

maka pasien diingatkan untuk memberikan edukasi kepada anggota


keluarga pasien apabila ada yang merokok tentang bahaya daripada rokok
bagi kesehatan.

Gambar 3. 4 Panduan Pola Makan Seimbang dengan Piring Makan Model T


Rekomendasi Kemenkes RI

Terapi Farmakologis

Pada insomnia dengan komorbid, maka ditentukan terlebih dahulu penyakit


yang akan diterapi terlebih dahulu (Riemann, 2017). apakah insomnianya terlebih
dahulu atau keduanya. Menurut Riemann (gambar 3.2), pada kasus seperti ini,
keduanya diterapi secara bersamaan. Maka, ditetapkan bahwa pasien akan
diberikan terapi keduanya, skizofrenia dan insomnia. Terapi insomnia dengan
benzodiazepine dianjurkan menurut European Guideline for Diagnosis and
Treatment of Insomnia. Maka, pasien diberikan terapi diazepam sehari sekali
sebanyak 5 mg yang diminum saat malam (Riemann, 2017).
40

Pasien diterapi baik gejala sulit tidurnya maupun psikosisnya. Bagi


skizofrenia pasien, pasien tetap diberikan risperidone dengan dosis 25 mg sekali
sehari pada saat pagi hari. Risperidone merupakan antipsikotik atipikal (memiliki
efek ekstrapiramidal rendah) dan tidak begitu sedatif, sehingga aman diberikan
pagi hari (Keeper, 2016). Efek samping dari risperidon yang paling menonjol
adalah hipotensi ortostatik, hiperglikemia, dan hiperlipidemia, sehingga diperlukan
kontrol terhadap profil lipid, glukosa, dan tekanan darah (Keeper, 2016).

Pasien diberikan terapi captopril 25mg 2x sehari dan amlodipin 5 mg sekali


sehari sesuai dengan petunjuk konsensus hipertensi Indonesia 2021 (PDHI,
2022). Captopril merupakan ACEi yang menghambat kerja sistem Renin-
angiotensin-aldosteron, sedangkan amlodipin merupakan golongan calcium
channel blocker yang menghambat konstriksi pembuluh darah. Konsensus
tersebut menyarankan pada pasien dengan hipertensi baru teridentifikasi tanpa
indikasi spesifik, misalnya angina, pasca IMA, gagal jantung, dan untuk kontrol
denyut jantung agar diberikan gabungan RAS blocker (bisa ACEi atau AEB)
dengan CCB (calcium channel blocker).

Steroid dan antivirus selama 10 hari mungkin berguna bagi pengobatan


Bell’s palsy, meskipun terkadang berhasil diberikan steroid saja, antivirus saja,
atau bahkan tidak diberikan apa-apa (Reich, 2017). De Almeida melarang
penggunaan antivirus saja dan menganjurkan pemberian kortikosteroid pada
seluruh pasien (de Almeida dkk, 2012).
41

3.2.3 Aksis III

Pada bagian personal behaviour, pasien mengaku pendiam (sehingga


sukar bersosialisasi), dan tidak suka berdoa sebelum tidur. Seseorang dengan
kepribadian pendiam merupakan cluster A dari teori kepribadian. Beck dan
Freeman menyatakan bahwa terapi kognitif berguna untuk mengurangi efek sosial
dan kognitif pada pasien pendiam (Beck, 1990).

Gambar 3. 5 sistem lockout untuk memutus aliran listrik

Pasien juga menghabiskan waktunya dengan menonton televisi. Pada


sebuah penelitian, pembatasan menonton televisi dengan sistem lock out (gambar
3.5) terbukti menurunkan jumlah waktu menonton televisi (Otten, 2009).
Pemasangan sistem lock out ini dilakukan dengan mempertimbangkan 50%
jumlah durasi pasien menonton televisi sebelumnya. Sistem ini juga dipasang
malam hari untuk menghindari pasien menonton sehingga mengganggu waktu
tidurnya.

Pasien juga diberikan edukasi tentang sleep hygiene, yang berisi: (Vitale,
2019):
42

- Tidur dan bangun secara reguler/kebiasaan


- Hindari tidur pada siang hari/sambilan
- Mengindari mengonsumsi kafein pada malam hari atau menggunakan
obat-obat stimulan seperti dekongestan
- Hindari makan beberapa saat sebelum tidur, tetapi jangan tidur dengan
perut kosong.
- Segera bangun dari tempat bila tidak dapat tidur (15-30 menit)
- Hindari rasa cemas atau frustasi.
- Buat suasana ruang tidur yang sejuk, sepi, aman, dan nyamman, dan
- Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
- Jika kesulitan tidur, lakukan kegiatan ringan seperti membaca, namun
jangan di tempat tidur.
- Hindari berolah raga sebelum tidur.

Pada kasus ini, pasien juga diberikan edukasi tentang kerugian gaya hidup
banyak duduk (sedentary lifestyle), di antaranya adalah bertambahnya resiko
banyak penyakit, seperti penyakit metabolik, low back pain, dan penyakit mental.
Keuntungan mengganti gaya hidup dengan aktivitas fisik adalah berkurangnya
kemalasan, berkurangnya resiko penyakit-penyakit yang sudah disebutkan, dan
meningkatkan hubungan sosial (jika aktifitas fisik dilakukan bersama). Halangan
pasien dalam kasus ini adalah mudahnya akses kepada televisi, kurangnya
bantuan dari keluarga, serta kelelahan akibat insomnia (Zhu, 2017).

Target intervensi sedentary lifestyle secara umum adalah mengurangi


duduk sampai dua jam sehari. Pada pasien ini target tersebut direncanakan
tercapai secara bertahap. Dengan asistensi keluarga, pasien diminta membuat
jurnal kegiatan hariannya, yang dapat memonitor jumlah jam duduk pasien dalam
sehari. Dokter melakukan follow-up seminggu sekali. Pasien juga diminta untuk
melakukan aktivitas fisik yang ringan, seperti berjalan kaki, bersepeda, belanja ke
pasar, dan pekerjaan rumah ringan (mencuci, menyapu, dan bercocok tanam),
hindari mengangkat beban berat dan aktivitas fisik terlalu berat. Aktivitas fisik,
dalam sebuah penelitian memengaruhi berkurangnya sedentary lifestyle.
Seseorang yang diminta melakukan aktivitias fisik akan cenderung mengurangi
jumlah durasi duduknya (Zhu, 2017)

Di lingkungan pasien, pasien atau keluarga diminta untuk memodifikasi


lingkungan rumahnya, seperti meniadakan sofa di depan televisi, dan
43

menyediakan sarana transportasi untuk mendukung mobilitas pasien. Pasien


dengan mobilitas yang tinggi akan menurunkan gaya hidup sedentary dan
meningkatkan sosialisasi (Zhu, 2017)

Pada bagian human biology, terdapat satu faktor resiko yang dapat
dirubah, yaitu hipertensi. Harapannya, dengan mengontrol hipertensi, dapat
berkurang gejala kurang tidurnya. Adapun cara mengontrol hipertensi telah
dibahas pada aksis II intervensi komprehensif.

3.2.4 Aksis IV

Pada aspek psikososialnya, kurang adanya suasana harmonis di keluarga.


Pasien diminta lebih terbuka terhadap keluarganya tentang apa yang dialaminya,
begitu juga keluarga, lewat family converence diminta untuk lebih proaktif
memperhatikan pasien dan menciptakan kondisi aman, nyaman, dan tentram di
dalam rumah, sebagaimana ditulis dalam bagian family focused. Therapy. Selain
itu, pasien juga diberikan edukasi terhadap pentingnya aspek spiritual dalam
kehidupan, agar tercipta hati yang damai dan tentram. (Akbari, 2018)

Pada masalah edukasi pasien, pasien kurang teredukasi tentang BPJS.


Oleh karena itu, pasien diberikan penjelasan mengenai BPJS, apa saja
keuntungan menjadi anggota BPJS. Ketika pasien sudah dapat menerima
kelebihan BPJS, pasien diminta untuk mendaftarkan diri kepada BPJS. Adapun
manfaat BPJS, adalah:

- Pelayanan medis tingkat pertama


- Perawatan jalan tingkat pertama atau RJTP
- Perawatan inap tingkat pertama atau RITP
- Layanan medis rujukan tingkat lanjutan
- Perawatan inap tingkat lanjutan atau RITL
- Rawat jalan tingkat lanjutan atau RJTL

3.2.5 Aksis V

Pasien diminta mengunjungi rehabiltasi psikososial. Rehabilitasi


psikososial adalah rehabilitasi untuk meningkatkan kemandirian pasien dan
kemampuan sosial, dengan cara:
44

- Mengembalikan potensi pasien,


- Mengembalikan kemampuan kognitif pasien,
- Mengembalikan kemampuan pasien bekerja,

Pada akhirnya, pasien akan mencapai kualitas hidup yang lebih baik, yang
dapat dinilai dengan derajat fungsional (Bogor, RSMM; 2019). Kemudian,
mengingat pasien sudah mencapai derajat fungsional kedua, maka seluruh
intervensi yang diberikan, termasuk aktivitas fisik dan olahraga bukanlah
merupakan hal yang berat bagi orang dengan derajat fungsional kedua. Kemudian,
pasien difollow-up secara rutin untuk mengetahui jika suatu saat derajat
fungsionalnya naik menjadi derajat fungsional ketiga atau lebih dari itu.
45

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dengan dibuatnya Family Healthcare Project, dapat disimpulkan keadaan


pasien secara universal, mulai dari keadaan pasien itu sendiri, kondisi biologis,
kejiwaan, lingkungan, sampai aspek keluarga dan sosial pasien. Family
Healthcare Project juga mengandung beberapa instrumen pembantu untuk
mengetahui keadaan keluarga pasien. Adanya informasi-informasi ini dapat
menunjang pembuatan diagnosis yang holistik dan menunjang intervensi yang
komprehensif. Intervensi melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang
berhubungan dengan pasien. Mulai dari keluarga sampai lingkungan sosial pasien.
Terakhir, intervensi komprehensif juga mencakup pencegahan primer, sekunder,
dan tersier (pencegahan, deteksi dini, diagnosis akurat, dan rehabilitasi). Pada
pasien dengan gangguan jiwa, penting bagi seluruh lapisan masyarakat untuk ikut
bergabung dalam pencegahan, deteksi dini, dan rehabilitasi. Partisipasi kecil
sangat dibutuhkan. Dengan memperhatikan sekitar, sanak saudara, tetangga,
atau kolega, berarti bagi deteksi orang dengan gangguan jiwa. Bagi pekerja medis,
diagnosis serta rehabilitasi yang lengkap penting untuk pasien mendapatkan
pengobatan yang baik. Juga bagi pekerja sosial, edukasi masyarakat sangat
penting agar mengurangi stigma masyarakat yang buruk pada orang dengan
gangguan jiwa. Pada akhirnya, dapat tercapai kualitas hidup yang baik,
masyarakat sehat secara fisiologis dan kejiwaan, juga promosi, edukasi, dan
penyuluhan terus berjalan.

4.2 Saran

Tidak ada sebuah karya yang luput dari kesalahan, termasuk yang
disajikan dalam Family Healthcare Project ini. Terdapat beberapa kekeliruan yang
ditemukan, baik dari redaksi maupun muatan tulisan, dan itu berpengaruh kepada
kurangnya informasi yang diperlukan oleh pembaca. Sebagai contoh, kurangnya
anamnesis mengenai paralisis nervus facialis membuat sulit untuk menentukan
diagnosis dan intervensi bagi pasien. Setelah itu, instrumen family assessment
hendaknya dibuat sesuai kaidah yang berlaku, skor Family APGAR dibuat
berdasarkan adaptation, partnership, growth, affection, resolve, Family SCREEM
46

dengan mencantumkan aspek patologis pasien, dan menentukan poin mandala of


health dengan benar. Kemudian, hendaknya karya serupa disertai dengan
diagnosis holistik dan intervensi komprehensif dengan kelima aksisnya. Pada
akhirnya, karya ini ditulis dengan baik dan diharapkan berguna bagi kalangan
medis dan profesional untuk memahami pasien dan menentukan intervensi secara
menyeluruh.
47

BAB V
REFERENSI

Akbari, M. and Hossaini, S.M., 2018. The relationship of spiritual health with quality
of life, mental health, and burnout: The mediating role of emotional
regulation. Iranian journal of psychiatry, 13(1), p.22.

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of


mental disorders (DSM-5®). American Psychiatric Pub.

Aparicio, L., Campohermoso, R., Arostegui, C., Quispe, H., Churqui, M.,
Campohermoso, R. and Félix, O., 2018. Arterial hypertension as a risk
factor for severe facial paralysis. Cuadernos Hospital de Clínicas, 59(2),
pp.9-16.

Beck AT, Freeman A. Cognitive therapy of personality disorders. New York:


Guilford Press, 1990.

Cho, Y.W., Kim, K.T., Moon, H.J., Korostyshevskiy, V.R., Motamedi, G.K. and
Yang, K.I., 2018. Comorbid insomnia with obstructive sleep apnea: clinical
characteristics and risk factors. Journal of Clinical Sleep Medicine, 14(3),
pp.409-417.

Crawford, J.N., Talkovsky, A.M., Bormann, J.E. and Lang, A.J., 2019. Targeting
hyperarousal: Mantram Repetition Program for PTSD in US
veterans. European journal of psychotraumatology, 10(1), p.1665768.

DASH, W. W. K. B. (2004). The DASH diet for high blood pressure: from clinical
trial to dinner table. Cleveland Clinic journal of medicine, 71(9), 745.

Dennison, C.A., Legge, S.E., Hubbard, L., Lynham, A.J., Zammit, S., Holmans, P.,
Cardno, A.G., Owen, M.J., O’Donovan, M.C. and Walters, J.T., 2021. Risk
factors, clinical features, and polygenic risk scores in schizophrenia and
schizoaffective disorder depressive-type. Schizophrenia bulletin, 47(5),
pp.1375-1384.

Duvall EM. Family Development. Philadelphia: Lippincott; 1967.


48

Engstrom, E.J., 2018. Clinical psychiatry in imperial Germany. Cornell University


Press.

Freudenreich, O. and Goff, D.C., 2002. Antipsychotic combination therapy in


schizophrenia. A review of efficacy and risks of current combinations. Acta
Psychiatrica Scandinavica, 106(5), pp.323-330.

Gieselmann, A., Ait Aoudia, M., Carr, M., Germain, A., Gorzka, R., Holzinger, B.,
... & Pietrowsky, R. (2019). Aetiology and treatment of nightmare disorder:
State of the art and future perspectives. Journal of sleep research, 28(4),
e12820.

Goldenberg, H., & Goldenberg, I. (2012). Family therapy: An overview.

Haslam, C., Jetten, J., Cruwys, T., Dingle, G., & Haslam, S. A. (2018). The new
psychology of health: Unlocking the social cure. Routledge.
Indonesia, P. D. H. (2019). Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi.

James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Dennison-Himmelfarb C, Handler


J, et al. 2014 evidence-based guideline for the management of high blood
pressure in adults: report from the panel members appointed to the Eighth
Joint National Committee (JNC 8). JAMA. 2014 Feb 5. 311(5):507-20.
[Medline].

Keepers, G.A., Fochtmann, L.J., Anzia, J.M., Benjamin, S., Lyness, J.M., Mojtabai,
R., Servis, M., Walaszek, A., Buckley, P., Lenzenweger, M.F. and Young,
A.S., 2020. The American Psychiatric Association practice guideline for the
treatment of patients with schizophrenia. American Journal of
Psychiatry, 177(9), pp.868-872.

Kubo, H., Aida, N. and Kato, T.A., 2021. Psychodynamic group psychotherapy for
hikikomori: The case of a socially withdrawn male with schizoaffective
disorder. Journal of Clinical Psychology, 77(8), pp.1851-1864.

Maramis. 2014. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University


Press

Newbury, J., Arseneault, L., Caspi, A., Moffitt, T.E., Odgers, C.L. and Fisher, H.L.,
2018. Cumulative effects of neighborhood social adversity and personal
49

crime victimization on adolescent psychotic experiences. Schizophrenia


bulletin, 44(2), pp.348-358.

Nei.nih.gov. 2022. How to Put in Eye Drops | National Eye Institute. [online]
Available at: <https://www.nei.nih.gov/learn-about-eye-health/eye-
conditions-and-diseases/glaucoma/glaucoma-medicines/how-put-eye-
drops> [Accessed 4 July 2022].

Owen, N., Sugiyama, T., Eakin, E.E., Gardiner, P.A., Tremblay, M.S. and Sallis,
J.F., 2011. Adults' sedentary behavior: determinants and
interventions. American journal of preventive medicine, 41(2), pp.189-196.

Prazeres, F. and Santiago, L., 2016. Relationship between health-related quality


of life, perceived family support and unmet health needs in adult patients
with multimorbidity attending primary care in Portugal: a multicentre cross-
sectional study. Health and quality of life outcomes, 14(1), pp.1-11.

Reich, S.G., 2017. Bell’s palsy. CONTINUUM: Lifelong Learning in Neurology,


23(2), pp.447-466

Riemann, D., Baglioni, C., Bassetti, C., Bjorvatn, B., Dolenc Groselj, L., Ellis, J.G.,
Espie, C.A., Garcia‐Borreguero, D., Gjerstad, M., Gonçalves, M. and
Hertenstein, E., 2017. European guideline for the diagnosis and treatment
of insomnia. Journal of sleep research, 26(6), pp.675-700.

Rsmmbogor.com. 2022. RSMM Bogor. [online] Available at:


<https://www.rsmmbogor.com/apps-rsmm/news-detail.do?id=581>
[diakses pada 4 Juli 2022].
Rudnick, K. V., Sackett, D. L., Hirst, S., & Holmes, C. (1977). Hypertension in a
family practice. Canadian Medical Association Journal, 117(5), 492.
Sateia, M.J. and Buysse, D. eds., 2016. Insomnia: Diagnosis and treatment. CRC
Press.
Sethi, R., & Vasudeva, S. (2012). Doxazosin for the treatment of nightmares: does
it really work? A case report. The primary care companion for CNS
disorders, 14(5).
Shamim, S.A., Warriach, Z.I., Tariq, M.A., Rana, K.F. and Malik, B.H., 2019.
Insomnia: risk factor for neurodegenerative
50

diseases. Cureus, 11(10).Owusu, J.A., Stewart, C.M. and Boahene, K.,


2018. Facial nerve paralysis. Medical Clinics, 102(6), pp.1135-1143.

Smilkstein G. The family APGAR: a proposal for a family function test and its use
by physicians. J Fam Pract. 1978 Jun;6(6):1231-9. PMID: 660126.

Swartz, M. H. (2020). Textbook of physical diagnosis E-book: history and


examination. Elsevier Health Sciences.

Unger T, Borghi C, Charchar F, Khan NA, Poulter. NR, Prabhakaran D, et al. 2020
International Society of Hypertension Global Hypertension Practice
Guidelines. Hypertension. 2020;75(6):1334–57.
Vitale, K.C., Owens, R., Hopkins, S.R. and Malhotra, A., 2019. Sleep hygiene for
optimizing recovery in athletes: review and recommendations. International
journal of sports medicine, 40(08), pp.535-543.

Zhu, W. and Owen, N., 2017. Sedentary behavior and health: Concepts,
assessments, and interventions. Human Kinetics.

Anda mungkin juga menyukai