DEMAM TIFOID
Oleh:
dr. Muhammad Dodi Fakhirin
Pendamping:
dr. Sylvia Agestie
Presentasi Kasus
Judul
Demam Tifoid
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program
Dokter Internsip Indonesia di wahana RS Pelabuhan Palembang periode November
2021-November 2022.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah atas karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ”Demam Tifoid”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Program
Dokter Internsip Indonesia di wahana RS Pelabuhan Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Sylvia Agestie selaku
pendamping yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
BAB I
PEND
AHUL
UAN
iv
500-600 ribu kematian tiap tahunnya. Demam tifoid merupakan
penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun
dewasa.Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid,
walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di
hampir semua daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak
terjadi pada anak usia 5-19 tahun.
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia
yang cenderung meningkat pada masyarakat dengan standar hidup
dan kebersihan yang rendah. 96 % kasus demam tifoid disebabkan
oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh Salmonella
paratyphi. 91 % kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun,
kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Penyakit demam tifoid
termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang
nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular
ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang
banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.3
Penyebaran bakteri Salmonella ke dalam makanan atau
minuman bisa terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih
setelah buang air besar maupun setelah berkemih. Lalat bisa
menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan ( oro-
fecal ).2
Penegakan diagnosis Demam Tifoid dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan laboratorium. Adapun metoda
pemeriksaan yang dilakukan antara lain pemeriksaan darah rutin,
pemeriksaan serologis dan metoda biakan kuman.
v
BAB II
STATUS
PASIEN
I. IDENTIFIKASI
a. Nama : WND
b. Umur : 11 tahun
c. Alamat : Jl. Cendana RT 061 RW 017 Lima belas ulu Kec. Jakabaring
d. Suku : Sumatera
e. Bangsa : Indonesia
f. Agama : Islam
g. Pendidikan : SD
h. Pekerjaan : Pelajar
i. MRS : 22 April 2022
j. No. MR : 225143
6
bintik-bontik merah di badan (-), BAB (-) dan ibu os mengeluhkan nafsu makan
anaknya mulai menurun.
Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, anak muntah dengan frekuensi 3x
sehari, isi apa yang dimakan, berwarna kuning dan tidak menyemprot. Pasien
masih mengalami demam yang naik turun pegal di seluruh tubuh dan batuk
kering. Anak mulai mengeluhkan nyeri perut. BAB masih tidak ada semenjak 2
hari yang lalu.
Sekitar 5 jam sebelum masuk rumah sakit, anak merasa mual dan muntah
dengan frekuensi 5x, isi apa yang dimakan, tidak menyemprot. Demam masih
tinggi, pegal di seluruh tubuh dan batuk kering masih ada. Anak juga belum bisa
BAB sejak 3 hari yang lalu. BAK tidak ada keluhan, lancar, banyak, kuning, dan
tidak nyeri.
Sebelum sakit anak makan banyak 3 kali sehari atau lebih, porsi cukup dan
bervariasi. Anak suka jajan makanan dan minuman di luar rumah, seperti bakso
dan chiki-chikian. Namun, saat sakit nafsu makan pasien berkurang.
Pasien sudah sering mengalami sakit seperti ini sebelumnya. Ibu pasien
menyebutkan bahwa anaknya biasa dirawat dengan keluhan yang sama lebih
kurang 2 kali setahun. Di keluarga dan lingkungan pasien juga sudah sering
mengalami penyakit dengan keluhan yang sama dengan pasien.
PB : 47 cm
Lingkar kepala : Ibu tidak ingat
7
2. Riwayat Makanan
ASI : 0 bulan – 2 tahun
Susu botol : 12 bulan – sekarang
Bubur Nasi : 12 -24 bulan
Nasi Tim/lembek : 6 – 12 bulan
Nasi Biasa : 24 bulan – sekarang
Daging : 3-4x/minggu
Tempe : 3-4x/minggu
Tahu : 3-4x/minggu
Sayuran : Hampir setiap hari
Buah : Jarang
Kesan : anak diberikan makanan sesuai dengan
usianya Kualitas : baik
3. Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR
Umur Umur Umur
BCG 1 bln
DPT 1 2 bln DPT 2 4 bln DPT 3 6 bln
HEPATITIS B 1 2 bln HEPATITIS B 2 4 bln HEPATITIS B 3 6 bln
Hib 1 2 bln Hib 2 4 bln Hib 3 6 bln
POLIO 1 0 bln POLIO 2 2 bln POLIO 3 4 bln
CAMPAK 9 bln POLIO 4 6 bln
4. Riwayat Keluarga
Perkawinan : Perkawinan pertama
Umur : Ayah 44 tahun, Ibu 40 tahun
Pendidikan : SMA
5. Riwayat Perkembangan
Gigi Pertama : Ibu tidak ingat Berdiri : 10 bulan
Berbalik : 4 bulan Berjalan: 14 bulan
8
Tengkurap : 5 bulan Berbicara: 14 bulan
Merangkak : 7 bulan Kesan : Perkembangan baik
9
Duduk : 7 bulan
7. Riwayat Kebiasaan
Pasien sering tidak sarapan sebelum pergi sekolah. Sering jajan di pinggir jalan
dan tidak mencuci tangan sebelum makan. Pasien tidak menggunakan sabun
setiap kali mencuci tangan. Pasien sering jajan minuman es yang dijual di depan
sekolah.
8. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
- Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Ibu pasien mengaku
lebih kurang 2 kali dalam setahun anaknya dirawat dengan keluhan yang sama
dengan diagnosis demam typhoid
- Riwayat keluar cairan dari telinga disangkal
- Riwayat bepergian ke daerah endemik (-)
- Riwayat sering jajan, tidak sarapan pagi di rumah
- Riwayat nyeri saat BAK (-)
- Riwayat kejang disangkal
- Riwayat alergi makanan dan obat di sangkal
- Riwayat batuk lama dengan pengobatan selama 6 bulan disangkal
- Riwayat kontak dengan penderita batuk lama disangkal
Pedigree
10
Keterangan:
Laki-laki sehat Perempuan sehat
Laki-laki sakit
BB : 32 kg
TB : 137 cm
BB/U : 32/37*100%=86,4%
TB (PB)/U : 137/147*100%=93%
Edema (-), sianosis (-), dispneu (-), anemia (-), ikterus (-), dismorfik (-)
Suhu : 38.1oC
Respirasi : 28x/menit
Regularitas : Reguler
11
Kulit : pucat (-), ikterik (-)
b. Pemeriksaan Khusus
Kepala : Normocephali
Mata : palpebra superior tidak edema, mata tidak cekung, konjungtiva tidak
anemis, sclera tidak ikterik, pupil bulat isokor, diameter 3mm, refleks
cahaya +/+
Hidung : bentuk normal, tidak ada septum deviasi, tidak ada sekret, tidak ada
pernapasan cuping hidung
Mulut : bentuk normal, bibir tidak kering, tidak ada sianosis, tidak keluar darah
dari mulut
Lidah :lidah kotor di bagian tengah, tepi lidah hiperemis, tidak ada
tremor lidah
12
- Perkusi : redup, batas jantung kiri: sela iga V linea midclavicula sinistra,
batas jantung kanan: parasternal, batas jantung atas: sela iga II
linea parasternal sinistra
- Auskultasi : BJ I dan II murni, murmur (-), Gallop (-)
ABDOMEN
- Inspeksi : tampak datar
- Palpasi : lemas, hepar dan lien tidak teraba, defans muskular (+)
- Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
Fungsi motorik N N N N
Kekuatan 5 5 5 5
Klonus - - - -
Reflek patologis - - - -
Gejala rangsang - - - -
meningeal
Fungsi sensorik Normal Normal Normal Normal
13
Reflek primitif - - - -
V. DAFTAR MASALAH
14
1. Demam
2. Mual
3. Muntah
4. Batuk kering
5. Pegal di seluruh tubuh
6. Nyeri kepala
7. Konstipasi
15
X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
XI. FOLLOW UP
Tanggal Keterangan
22 November S : Keluhan : Demam (+), mual (+), muntah (+) frekuensi >5x sehari,
2019 pukul isi apa yang dimakan dan tidak menyemprot, batuk kering (+), nyeri
07.30 WIB kepala (+), pegal di seluruh tubuh (+), BAB (-).
O : KU: Tampak sakit sedang
Sens: CM
N: 105x/menit RR :26x/menit T : 37.9oC
Kepala : nafas cuping hidung (-), konjungtiva anemis (-),
sklera ikterik (-), mata cekung (-), typhoid tongue
(+)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal, nyeri tekan (+), hepar
dan lien tidak teraba, cubitan kulit perut kembali
cepat
Ekstremitas : akral hangat, CRT <3 detik
A : Demam tifoid
P:
IVFD KAEN 3B gtt XVI/mnt
Ceftriakson 1x2 gr IV drip dalam D5% 50 cc
Omeprazole 1x1 amp IV
Sucralfat syrup 3x1 cth PO
Ambroxol 3x1 cth
Paracetamol 3x500 mg PO
16
23 November S : Keluhan : Demam (+), mual (-), muntah (-), batuk kering (+), nyeri
2019 pukul kepala (+), pegal di seluruh badan (+), BAB (-).
07.30 WIB O : KU: Tampak sakit sedang
Sens: CM
N: 120x/menit RR :28x/menit T : 38.3oC
Kepala : nafas cuping hidung (-), konjungtiva anemis (-),
sklera ikterik (-), mata cekung (-), typhoid tongue(+)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal, nyeri tekan (+), hepar
dan lien tidak teraba, cubitan kulit perut kembali
cepat
Ekstremitas : akral hangat, CRT >3 detik
A : Demam tifoid
P:
IVFD KAEN 3B gtt XVI/mnt
Ceftriakson 1x2 gr IV drip dalam D5% 50 cc
Omeprazole 1x1 amp IV
Sucralfat syrup 3x1 cth PO
Ambroxol 3x1 cth
Paracetamol 3x500 mg PO
24 November S : Keluhan : Demam (-), mual (-), muntah (-), batuk kering (+), nyeri
2019 pukul kepala (-), pegal di seluruh badan (-), BAB (+).
07.30 WIB O : KU: Tampak sehat
Sens: CM
N: 98x/menit RR :24x/menit T : 37.1oC
17
Kepala : nafas cuping hidung (-), konjungtiva anemis (-),
sklera ikterik (-), mata cekung (-), typhoid tongue(-)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal, nyeri tekan (-), hepar
dan lien tidak teraba, cubitan kulit perut kembali
cepat
Ekstremitas : akral hangat, CRT >3 detik
A : Demam tifoid
P:
IVFD KAEN 3B gtt XVI/mnt
Ceftriakson 1x2 gr IV drip dalam D5% 50 cc
Omeprazole 1x1 amp IV
Sucralfat syrup 3x1 cth PO
Paracetamol 3x500 mg PO
Rencana Pulang
18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enteric
serovar typhi (S typhi), bakteri gram negatif.1,2 Salmonella enteric serovar paratyphi A, B (S.
schottmuelleri), dan C (S. hirschfeldii) juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam
paratifoid. Gejala klasik yang timbul meliputi demam, malaise, sakit perut, dan gangguan
BAB berupa konstipasi atau diare.3
2. Epidemiologi
Demam tifoid terjadi di seluruh dunia, terutama di negara berkembang yang kondisi
saniternya buruk. Demam tifoid bersifat endemik di Asia, Afrika, Amerika Latin, Karibia,
dan Oceania, namun 80% kasus berasal dari Bangladesh, China, India, Indonesia, Laos,
Nepal, Pakistan, atau Vietnam. Di negara-negara tersebut, demam tifoid paling sering terjadi
di daerah terbelakang. Demam tifoid menginfeksi sekitar 21,6 juta orang (kejadian 3,6 per
1.000 penduduk) dan membunuh sekitar 200.000 orang setiap tahun. 3 Sebagian besar kasus
terjadi pada usia 3-19 tahun.2
Antara tahun 1999 dan 2006, 79% kasus demam tifoid di USA terjadi pada pasien
yang pernah berada di luar negeri dalam 30 hari sebelumnya. Dua pertiga dari orang-orang
ini baru saja melakukan perjalanan dari anak benua India. Wabah demam tifoid yang
diketahui di Amerika Serikat dinilai berasal dari makanan impor atau makanan yang
diproduksi dari daerah endemik.3
Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa dengan
ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai saat ini belum dimiliki
oleh sebagian besar negara berkembang.1 Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan
menyebabkan 21,6 juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000. Insidens demam
tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan Selatan,
Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong sedang (10-100 kasus per
100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali
Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi
per tahun) di bagian dunia lainnya.1
19
3. Etiologi
Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir untuk
Salmonella typhi.1 Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-hari di air tanah, air
kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah terkontaminasi atau
tiram yang dibekukan.1 Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim
kemarau atau permulaan musim hujan.1 Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang
tertelan secara oral.1 Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi
oleh feses. Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia
3-19 tahun. Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu
adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk
mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat
buang air besar dalam rumah.4
4. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa
tahapan.5 Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap
asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di
usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan
mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola
intraseluler.5 Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk
ke dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik. 5,6 Bakteremia primer terjadi pada tahap ini
dan biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang
negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 8-14 hari.6
Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi
dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang.6
Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman
akan disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia
sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder
menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen. 5
20
Gambar 1. Patogenesis demam tifoid
Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan
antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung
empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Peyer’s patches dapat
terjadi melalui proses inflamasi yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi
perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi.5
Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem
retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella
dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier.5
5. Manifestasi Klinis
Setelah 8-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan atau gejala yang
bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak tinggi, malaise, dan batuk kering
sampai dengan gejala yang berat dengan demam yang berangsur makin tinggi setiap harinya,
rasa tidak nyaman di perut, serta beraneka ragam keluhan lainnya.7
Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian keluhan
klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan obstipasi. Dapat disertai dengan lidah
kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa
atau kedua-duanya.5 Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian
dilanjutkan dengan konstipasi.7 Konstipasi pada permulaan sering dijumpai pada orang
dewasa.1 Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi dapat
dijadikan indikator demam tifoid.1,5,7 Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau
makulopapular
21
(rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit putih, dan terlihat
pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta menetap selama 2-3 hari.7
6. Diagnosis Banding
1. Stadium dini: influenza, gastroenteritis, bronchitis, infeksi Dengue,
bronkopneumonia.
2. Tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, malaria.
3. Demam tifoid berat: sepsis, leukemia.8
7. Diagnosis
Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat untuk
mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi.
Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting untuk membantu mendeteksi
22
dini penyakit ini. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari
laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis.
Klasifikasi diagnosis demam tifoid:
Demam Tifoid Klinis (probable)
Panas lebih dari 7 hari, didukung klinik lain: gangguan GIT (typhoid tongue, rhagaden,
anoreksia, konstipasi/diare), hepatomegali, dan tidak ditemukan penyebab lain dari panas
(disertai hasil uji deteksi antigen atau diagnosis serologis positif).
Demam Tifoid Pasti (confirmed)
Demam tifoid klinis + Salmonella tyhphi (+) pada biakan darah, urine atau feses.
Demam Tifoid Berat
Demam tifoid + keadaan: lebih dari minggu kedua sakit, toksik, dehidrasi, delirium jelas,
hepatomegali dan/atau splenomegali, leukopenia <2000/ul, aneosinofilia, SGOT/SGPT
meningkat.
Gambaran darah tepi pada permulaan penyakit dapat berbeda dengan pemeriksaan
pada keadaan penyakit yang lanjut. Pada permulaan penyakit, dapat dijumpai pergeseran
hitung jenis sel darah putih ke kiri, sedangkan pada stadium lanjut terjadi pergeseran darah
tepi ke kanan (limfositosis relatif). Ciri lain yang sering ditemukan pada gambaran darah tepi
adalah aneosinofilia (menghilangnya eosinofil).5
Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium didasarkan pada
3 prinsip, yaitu:9
Isolasi bakteri
Deteksi antigen mikroba
Titrasi antibodi terhadap organisme penyebab
Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya positif pada
60- 80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah yang diperlukan 15 mL untuk
pasien dewasa).6,9 Untuk daerah endemik dimana sering terjadi penggunaan antibiotic yang
tinggi, sensitivitas kultur darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi).5
Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen Salmonella
typhi) masih kontroversial.9 Biasanya antibodi antigen O dijumpai pada hari 6-8 dan antibody
terhadap antigen H dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit. 9 Pada orang yang telah sembuh,
antibodi O masih tetap dapat dijumpai setelah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan. 5
Karena itu, Widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Diagnosis
23
didasarkan atas kenaikan titer sebanyak 4 kali pada dua pengambilan berselang beberapa hari
atau bila klinis disertai hasil pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat
setempat. Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibody IgM. Hasil pemeriksaan yang positif
menunjukkan adanya infeksi terhadap Salmonella. Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini
adalah O9 dan hanya dijumpai pada Salmonella serogroup D.5,9
Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidot yang dapat mendeteksi IgM dan IgG.
Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid, sedangkan terdeteksinya IgG dan
IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase pertengahan. Antibodi IgG dapat menetap
selama 2 tahun setelah infeksi, oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara kasus
akut dan kasus dalam masa penyembuhan.5,6,9 Yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang
hanya digunakan untuk mendeteksi IgM saja. Typhidot M memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot. Pemeriksaan ini dapat menggantikan
Widal, tetapi tetap harus disertai gambaran klinis.5,9
8. Tatalaksana
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting adalah
eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier.1
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi
setempat. Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik
(kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2
kategori resistensi antibiotic yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol,
ampicillin, dan trimethoprimsulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap
antibiotik fluoroquinolone.5 Nalidixic acid resistant Salmonella typhi (NARST) merupakan
petanda berkurangnya sensitivitas terhadap fluoroquinolone.5 Terapi antibiotik yang
diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003:
24
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin)
merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten
terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan
demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%.1
Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh
S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam
kandung empedu dibandingkan antibiotik lain. Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai
efektivitas fluoroquinolone dan salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan
memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin.
Namun, fluoroquinolone tidak diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan
gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi.1,5,7 Chloramphenicol sudah sejak lama
digunakan dan menjadi terapi standar pada demam tifoid namun kekurangan dari
chloramphenicol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier
juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang. Azithromycin dan cefixime memiliki angka
kesembuhan klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi
pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal carrier terjadi pada kurang
dari 4%.1
Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran
menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai
pasien demam tifoid yang berat. Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat
menurut WHO tahun 2003:
25
Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime untuk terapi demam tifoid tetapi sayangnya
di Indonesia sampai saat ini tidak terdapat laporan keberhasilan terapi demam tifoid dengan
cefotaxime. Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi suportif.
Yang diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
dan antipiretik.5 Nutrisi yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang
lembut dan mudah dicerna secepat keadaan
mengizinkan.
26
27
dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan
memberikan efi kasi perlindungan 67-82%.
Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan efikasi
perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap selama 46
bulan dengan efi kasi perlindungan sebesar 89%.
10. Komplikasi
Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sudah
sakit selama lebih dari 2 minggu.1,5 Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif hepatitis,
perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan pada sistem
tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen. 5,6 Perubahan status
mental pada pasien tifoid dikaitkan dengan angka kasus kematian tinggi. Pasien tersebut
umumnya mengalami delirium, jarang dengan koma. Meningitis tifoid, encephalomyelitis,
sindrom Guillain-Barré, neuritis kranial atau perifer, dan gejala psikotik, walaupun jarang, telah
dilaporkan. Komplikasi serius lainnya yang tercatat dengan demam tifoid termasuk diantaranya
perdarahan (menyebabkan kematian yang cepat pada beberapa pasien), hepatitis, miokarditis,
pneumonia, koagulasi intravaskular diseminata, trombositopenia dan sindrom uraemik
hemolitik.
11. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotic yang
adekuat, angka mortalitas <1 %. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10 %, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endocarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3 bulan
setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak-anak rendah
dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.
27
28
BAB IV
ANALISIS KASUS
Demam typhoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimptomatis. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi, namun gejala yang timbul setelah
inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, (3) gangguan
kesadaran.
Pada pasien ini di tegakkan diagnosa demam typhoid tanpa komplikasi. Diagnosa
ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis:
Pasien demam 3 hari yang remitten. Demam menjelang sore hari dan demam turun pagi
harinya sehingga pasien dapat bersekolah pada pagi harinya (aktivitas pasien tidak
terganggu)
Demam disertai dengan gangguan pencernaan berupa mual dan muntah dan anoreksia
Pasien mengeluhkan nyeri pada sendi dan nyeri kepala
Pasien mengeluh batuk kering
Pasien biasa jajan makanan dan minumam di luar rumah, yang tidak jelas
kebersihannya
Pada demam tifoid biasanya ditemukan gejala-gejala yang khas pada anamnesis, yaitu
berupa demam remitten pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat pada malam hari. Dalam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan
demam (continue) yang turun secara berangsur-angsur pada minggu ketiga. Gejala yang
juga biasa ditemukan adalah malaise, letargi, nyeri kepala, dan keluhan gastrointestinal
berupa anoreksia, nyeri perut, kembung, diare, muntah dan konstipasi. Biasanya pasien
demam tifoid memiliki kualitas hygine yang buruk.
Didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, selain suhu yang meningkat,
keadaan umum yang sedang, tanpa gangguan kesadaran,
28
29
Pada lidah pasien ditemukan kotor pada tengahnya dan hiperemis pada pinggirnya,
tremor (-)
Nyeri tekan abdomen (+)
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan serologis dan didapatkan hasil positif pada tes
widal Salmonella typhi O sebesar 1/320, Salmonella thypi H sebesar 1/320. Walaupun uji
serologi Widal untuk menunjang diagnosis demam typhoid telah luas digunakan namun
manfaatnya masih menjadi perdebatan.
Penatalaksanaan penderita dengan demam typhoid, terutama pada pasien ini dengan
perawatan bed rest, pemberian diet yang lunak yang mudah dicerna dengan kalori dan protein
yang cukup dan rendah serat. Pemberiaan obat-obatan diberikan antibiotik ceftriaxone
sebesar 2 g perkali pemberian 1 x sehari IV drip dalam D5% 50 cc (30 menit) sebagai
pengobatan kausalnya. Selain itu diberikan antipiretik (paracetamol), sebagai pengobatan
simptomatis demam, pegal di seluruh tubuh dan nyeri kepala. Omeprazole dan sucralfat
diberikan sebagai pengobatan simptomatis gastrointestinal berupa mual dan muntah. Pada
pasien ini juga ditemukan batuk kering sehingga diberikan Ambroxol.
Pasien diperbolehkan pulang setelah perawatan di rumah sakit karena tidak ada keluhan
dan ada perbaikan klinis. Namun pasien tetap dianjurkan untuk istirahat dan mobilisasi
bertahap, diet makanan lunak, dan melanjutkan antibiotik sampai 5 hari bebas demam.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan tatalaksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update.
Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. H 2-20
2. Manangazira P, Glavintcheva I, Mutukwa-Gonese G, Bara W, Chimbaru A, dan Ameda I, editor.
Guidelines for the Management of Typhoid Fever. Ministry of Health and Child Welfare 2011.
3. Brusch JL. Typhoid Fever. Medscape 2018.
4. Vollaard AM, Ali S, Van Asten HAGH, Widjaja S, Visser LG, Surjadi C, et. al. Risk factors for
typhoid and paratyphoid fever in Jakarta, Indonesia. JAMA 2004; 291: 2607-15.
5. World Health Organization. Background Document: the Diagnosis, Treatment and Prevention
of Typhoid Fever. World Health Organization 2003.
6. RHH Nelwan. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. CDK 2012; 39(4): 247-250.
7. Bhutta ZA. Typhoid fever: current concepts. Infect Dis Clin Pract 2006; 14: 266-72.
8. Panduan Praktik Klinik (PPK) Divisi Infeksi Departemen Kesehatan Anak RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang 2016.
30