Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN TUGAS KHUSUS PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI

Centellae Herba (Herba Pegagan)/Centella asiatica (L.) Urban (Tanaman


Pegagan)

Achmad Afdal Razzaq F.

2106709195

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga penulis dapat
menyelesaikan pembuatan Laporan Tugas Khusus Praktikum Farmakognosi ini dengan lancar
dan hasil yang baik. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tim
Dosen Praktikum Farmakognosi yang telah membantu dan memberikan bimbingan kepada
penulis dan mahasiswa lainnya selama pembuatan Laporan Tugas Khusus, rajangan, serbuk, dan
herbairum, khususnya kepada Ibu Dr. apt. Donna Maretta Ariestanti, M.Sc. dan Ibu apt.
Roshamur Cahyan Forestrania, M.Sc., Ph.D. selaku dosen di mata kuliah Paktikum Famakognosi
B 2022 serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam kelancaran praktikum
farmakognosi dan penyusunan Laporan Tugas Khusus ini.

Adapun penyusunan Laporan Tugas Khusus Praktikum Farmakognosi ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Praktikum Farmakognosi serta untuk memperdalam ilmu mengenai
tanaman Centella asiatica atau pegagan yang meliputi klasifikasi, tata nama, kandungan kimia,
manfaat, serta identifikasi mikroskopis dan makroskopisnya dengan simplisia berupa Centella
Herba atau Herba Pegagan.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis
memohon maaf jika terdapat kekurangan maupun kesalahan kata dalam penulisan laporan ini.
Penulis juga memohon saran dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki kekurangan-
kekurangan tersebut pada masa mendatang. Besar harapan penulis agar laporan ini dapat
bermanfaat bagi penulis maupun pembaca serta dapat digunakan sebagai sumber ilmu
pengetahuan dan bahan rujukan untuk penelitian dan pembuatan laporan selanjutnya.

Depok, xx Desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I

PENDAHULUA

Sebagai negara yang memiliki iklim tropis, secara geografis Indonesoa menjadi tempat
yang mendukung ketersediaan beragam macam tanaman untuk tumbuh. Manusia sendiri sudah
sejak lama mengetahui bahwa tanaman memiliki berbagai macam manfaat untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari manusia, baik dimanfaatkan untuk pangan ataupun dimanfaatkan sebagai
bahan obat. Pemanfaatan tanaman sebagai obat oleh masyarakat Indonesia dalam mengobati
berbagai penyakit secara tradisional sudah berlangsung sejak lama. Oleh sebab itu, Sebagian
besar dari masyarakat kita membudidayakan berbagai tanaman obat di lingkungan rumah
masing-masing.

Berdasarkan literatur, penelitian memperlihatkan bahwa pengobatan dengan


menggunakan tanaman obat lebih mengasilkan efek yang nyata dalam proses penyembuhan
dibandingkan dengan menggunakan obat kimia modern. Hal ini dikarenakan bahan dasar obat
tradisional masih berupa bahan alam yang alami, sehingga efek samping yang timbul lebih
sedikit. Akan tetapi, tetap ada kemungkinan bahwa sebagian orang dapat mengalami alergi
ketika menggunakan tanaman obat secara langsung. (Agromedia, 2008). Oleh sebab itu, dengan
mempertimbangkan hasil penelitian dan data empiris secara tradisional, saat industri farmasi
yang menggunalan bahan dasar dari tanaman obat semakin berkembang dan berinovasi agar
dapat menghasilkan produk yang lebih besar manfaatnya daripada efek sampingnya. Pegagan
merupakan salah satu tanaman obat yang sudah banyak digunakan di industri farmasi karena
manfaatnya yang sangat beragam

Pegagan pertama kali ditemukan di Sri Lanka, Asia Tenggara, beberapa bagian China, di
kepulauan laut selatan bagian barat, Madagaskar, Afrika Selatan, bagian tenggara dari Amerika
Serikat, Meksiko, Venezuela, dan Columbia (Brinkhaus, et al., 2000). Sejak zaman prasejarah,
pegagan telah digunakan sebagai bahan obat. Pegagan telah terdaftar di dalam buku teks
pengobatan Sansekerta sekitar tahun 500-an Masehi sebagai pedoman pengobatan pada masa itu
karena secara luas digunakan di India dan wilayah di pulau Jawa sebagai bahan obat. (Brinkhaus,
et al., 2000)
Tanaman pegagan merupakan tanaman herba, oleh karena itu, bagian yang dapat
digunakan dari tanaman pegagan adalah seluruh bagian dari tanaman tersebut, sehingga kita
dapat menyebut simplisia dari tanaman ini adalah Herba Pegagan atau Centellae Herba. Di masa
sekarang, pegagan cukup banyak digunakan sebagai satu komposisi dalam produk skincare
ataupun produk kosmetika lainnya. Hal ini dikarenakan tanaman pegagan diketahui memiliki
kemampuan untuk melembabkan kulit serta dapat berfungsi sebagai antioksidan. Selain sebagai
produk kecantikan, tanaman ini juga sering digunakan untuk mengatasi berbagai macam
penyakit seperti demam, batuk, radang, dan lain-lain (Rabiatul, 2013).

Penulis memperoleh tanaman pegagan yang digunakan untuk Praktikum Farmakognosi


dari penjual tanaman yang memanennya di daerah Kelurahan Srengseng sawah, Kecamatan
Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tanggal 5 Desember 2022.
Untuk detail dari titik koordinat lokasi pemanenan tanaman tersebut adalah pada 6°20’59”S
106°49’56”E. Penjual dari tanaman tersebut memberikan beberapa saran dalam merawat
tanaman pegagan, ia berpesan bahwa lingkungan yang basah dan lembab merupakan lingkungan
yang baik untuk tanaman pegagan. Oleh karena itu, tanah di dalam pot harus selalu dalam
kondisi basah dengan menambahkan air ke dalam pot sesuai kebutuhan.

Penulis akan menyajikan beberapa informasi tentang tanaman pegagan ini dari mulai
klasifikasi dan tata nama, morfologi, habitat, penyebaran, identifikasi makroskpis dan
mikroskopis, serta kandungan kimia yang terdapat pada Herba Pegagan sekaligus cara isolasi
dan kegunaannya.
BAB II

KLASIFIKASI DAN TATA NAMA

2.1. Klasifikasi Tanaman


Di bawah ini adalah taksonomi tanaman Centella asiatica (L.)

Urban: Kingdom: Plantae

Divisi: Sphermatophyta

Kelas: Dikotiledone

Ordo: Umbellales

Famili: Umbellaferae

Genus: Centella

Spesies: Centella asiatica (L.) Urban

(Sumber: Pujowati (2006) dalam Susetyarini, et al.)

2.2. Tata Nama


Tanaman Centella asiatica ini pada umumnya dikenal oleh masyarakat Indonesia
dengan nama pegagan. Hingga saat ini, tanaman ini cukup jarang dibudidayakan oleh
masyarakat dan pada umumnya hanya ditemukan sebagai tanaman di liar di daerah yang
lembab dan subur, seperti di daerah perkebunan, di pinggir jalan, dan lain-lain.
Sedangkan, persebaran tanaman ini cukup luas dan tersebar merata di seluruh wilayah
Indonesia. Bagian yang dapat digunakan agar mendapatkan manfaat dari tanaman ini ialah
seluruh bagian tanamannya baik dari pucuk hingga ke ujung akarnya. Oleh karena itu,
simplisia dari tanaman ini dikenal juga dengan nama Herba Pegagan atau Centellae Herba.

Di Indonesia, tanaman pegagan juga mempunyai berbagai macam penyebutan nama


yang khas di hampir setiap daerah, contohnya seperti di daerah Jawa tanaman ini memiliki
nama kaki kuda, pegagan, antanan gede, gagan-gagan, kerok batok, panegowan, rendeeng,
calingan rambat, dan kos rekos; kemudian di daerah Sumatera tanaman ini memiliki sebutan
kaki kuda; lalu di daerah Sulawesi tanaman ini mempunyai nama pagaga dan
tungke-tungke; kemudian di daerah Bali tanaman ini sering disebut dengan nama papaiduh,
pepiduh, atau piduh; lalu di daerah Madura tanaman pegagan dikenal dengan nama koloditi
menorah dan saeroeti; lalu di daerah Maluku dikenal dengan nama kos-tekosan; serta di
daerah Flores dikenal dengan nama puhe beta, kaki kuta, tete karo, dan tete kadho (Maruzy
et al., 2020).
BAB III

MORFOLOGI TANAMAN, HABITAT, DAN PENYEBARAN

3.1. Morfologi Tanaman


Tanaman pegagan (Gambar 3.1) terdiri dari beberapa bagian, mulai dari atas daun,
petiolus, akar, stolon, bunga.

Gambar 3.1. Tanaman pegagan (C. asiatica) (Sumber: Dokumentasi pribadi )

3.1.1. Daun
Daun tanaman pegagan (Gambar 3.2) memiliki warna hijau tua. Helaian daunnya
berbentuk seperti ginjal atau bulat dengan lebar sekitar 7 – 9 cm. Permukaan atas dan
bawah dari daunnya memiliki permukaan yang halus. Tangkai dari daunnya cukup
panjang, yaitu sekitar 10-15 cm. Bagian dari ujung daun memiliki bentuk yang membulat
dengan tepi yang beringgit hingga bergerigi (Susetyarini, 2020).

Gambar 3.2. Daun pegagan (C. asiatica) (Sumber: Dokumentasi pribadi )


3.1.2. Petiolus (Tangkai)
Tanaman pegagan (Gambar 3.3) memiliki tangkai yang teksturnya berair, agak
lunak, tidak berkayu, berwarna sedikit kemerahan di bagian pangkalnya dan berwarna
hijau di bagian ujung yang lebih dekat ke bagian helaian daun. (Susetyarini, 2020).

Gambar 3.3. Tangkai pegagan (C. asiatica) (Sumber: Dokumentasi pribadi )

3.1.3. Akar
Tanaman pegagan memiliki sistem perakaran berupa akar tunggang (Gambar 3.4)
yang merupakan akar lembaga akan tumbuh terus menjadi akar pokok yang
bercabang-cabang menjadi akar-akar yang lebih kecil (Susetyarini, 2020).

Gambar 3.4. Akar pegagan (C. asiatica) (Sumber: Dokumentasi pribadi )

3.1.4. Stolon
Pegagan merupakan terna menahun yang tidak memiliki batang. Akan tetapi, pegagan
memiliki rimpang pendek dan stolon-stolon yang merayap dengan panjang 10⸺80 cm
(Gambar 3.5). Stolon tersebut memiliki warna hijau kemerahan dengan tekstur berair dan
agak lunak atau tidak berkayu (Susetyarini, 2020)
Gambar 3.5. Stolon pegagan (C. asiatica) (Sumber: Dokumentasi pribadi)
3.1.5. Bunga
Tanaman pegagan memiliki bunga (Gambar 3.6)yang berbentuk payung tunggal
dengan panjang gagang sekitar 3 cm. Perbungaan umumnya terdiri atas 3 bunga dengan
daun pelindung sebanyak 2–3 helai dan daun mahkota berwarna kuning kehijauan dengan
lebar sekitar 1 mm–1,5 mm (Maruzy et al., 2020).

Gambar 3.6. Bunga pegagan (C. asiatica) (Sumber: Dokumentasi pribadi )

3.2. Habitat Tanaman


Tanaman pegagan dapat tumbuh pada lingkungan yang lembab dengan sinar matahari
yang cukup. Umumnya berada di daerah dengan ketinggian antara 0⸺2500 meter di atas
permukaan laut. Tanaman pegagan masih dapat tumbuh pada daerah yang tidak
mendapatkan sinar matahari langsung atau sedikit mendapatkan cahaya matahari. Namun,
tanaman pegagan dapat tumbuh optimum pada ketinggian 200⸺800 mdpl dan menyukai
tanah yang agak lembab (Brinkhaus et al., 2000).

Pegagan dapat tumbuh di daerah subtropis dan tropis, seperti Indonesia. Namun,
pegagan tidak tahan terhadap tempat yang terlalu kering karena sistem perakarannya yang
dangkal. Tanaman pegagan akan tumbuh baik dengan intensitas cahaya 30⸺40 persen
(Januwati, 2005).

3.3. Penyebaran Tanaman


Centella asiatica merupakan spesies pegagan yang sangat umum dan cukup sering
ditemukan dari Centella. Tanaman ini banyak ditemukan di wilayah Asia Tenggara, Sri
Lanka, China, Kepulauan Laut Selatan bagian barat, Madagaskar, Afrika Selatan, USA
bagian tenggara, Meksiko, Venezuela, Columbia, dan di Amerika Selatan bagian timur
(Gambar 3.7).
Pegagan dapat tumbuh di daerah subtropis dan tropis, seperti Indonesia. Oleh karena
itu, pegagan dapat ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, tetapi sebagai tanaman liar,
terutama di daerah dengan tanah yang lembab dan subur, seperti tegalan, padang rumput,
tepi parit, di antara batu-batu, tepi jalan, dan tembok yang berada pada ketinggian 2500 m di
atas permukaan laut. Namun, persebarannya paling banyak di Pulau Sumatera dan Pulau
jawa. Tanaman ini masih belum banyak dibudidayakan, tetapi pernah digunakan di daerah
Jawa untuk mencegah erosi dan sebagai penutup tanah (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1977).

Gambar 3.8. Peta Persebaran C. asiatica (Sumber: Robert, 2016)


BAB IV

IDENTIFIKASI

SIMPLISIA

4.1. Identifikasi Makroskopis


Secara makroskopis, simplisia Herba Pegagan (Gambar 4.1) dapat diidentifkasi
dengan beberapa ciri, yaitu memiliki batang, helaian daun, bunga dan buah. Batangnya
beruas-ruas pendek, berupa stolon, berambut halus dengan helaian daun yang menggulung
dan berkeriput disertai stolon dan tangkai daun terlepas, bentuk ginjal atau bulat telur,
pertulangan daun menjari, pangkal daun berlekuk, tepi beringgit sampai bergerigi, ujung
daun membulat atau tumpul, permukaan daun umumnya licin, tulang daun pada permukaan
bawah agak berambut (Kemenkes RI, 2017). Selain itu, pegagan juga memiliki tipe akar
tunggang.

Rasanya mula-mula tidak berasa kemudian agak pahit serta memiliki bau yang lemah.
Stolon dan tangkai daunnya berwarna coklat kelabu, sedangkan helaian daunnya berwarna
hijau kelabu. Pegagan memiliki ukuran sekitar 5⸺15cm tiap ruasnya yang terdiri atas
akar, daun, dan tangkai daun, serta rimpang pendek dan stolon merayap sekitar 10⸺80
cm (Kemenkes RI, 2017).

Gambar 4.1. Simplisia Herba Pegagan (Sumber: Kemenkes RI, 2017)

4.2. Identifikasi Mikroskopis


Secara mikroskopis (Gambar 4.2 & 4.3), tanaman pegagan dapat diidentifikasi sebagai
berikut (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1977):
1. Epidermis atas yang terdiri dari satu lapis sel jernih berbentuk poligonal, dinding
antiklinal lurus, kutikula bergaris. Sementara itu, epidermis bawahnya kurang lebih
sama seperti sel epidermis atas, tetapi dengan ukuran yang lebih kecil.
2. Stomatanya merupakan tipe anisositik dengan bentuk corong yang terdapat lebih
banyak pada epidermis bawah.
3. Rambut penutupnya berbentuk kerucut ramping dengan panjang sekitar 100⸺200
μm yang terdiri atas dua sel, yaitu sel ujung dan sel pangkal dengan sel ujung memiliki
ukuran lebih panjang dan berdinding lebih tebal daripada sel pangkal.
4. Jaringan palisadenya terdiri atas dua lapis sel dengan lapisan pertama selnya lebih
panjang daripada lapisan keduanya.
5. Jaringan bunga karangnya terdiri atas 5⸺7 lapis sel
6. Idioblasnya berisi hablur kalsium oksalat berbentuk roset yang tersebar di dalam
mesofil, terutama di dalam jaringan palisade lapisan kedua
7. Buahnya berupa merikarp yang terdiri atas:
a. Epikarp berupa sel kecil dengan dinding antiklinal agak berombak, kutikula
bergaris, stmata dan rambut penutup yang serupa dengan yang ada di daun.
b. Mesokarp bagian luar berupa saluran minyak pipih dengan berkas pembuluh
kolateral berada di rusuk. Sementara itu, mesokarp bagian dalam terdiri atas
beberapa jaringan, yaitu parenkim dengan sel kecil berdinding berlignin dan
bernoktah jelas serta jaringan sklerenkim yang terdiri atas sel batu berbentuk bulat
panjang, saluran noktah yang jelas, lumen sempit, dan tersusun membujur. Pada
batas dua jaringan tersebut, terdapat lapisan sel idioblas berisi hablur kalsium
oksalat berbentuk prisma berukuran kurang lebih 20 μm.
c. Endokarpnya serupa dengan sklerenkim mesokarp serta tersusun melintang.
8. Endospermnya berupa sel parenkim berdinding tebal, tidak berlignin, mengandung
butir- butir minyak dan hablur kalsium oksalat berbentuk roset.
9. Stolon dan tangkai daunnya terdiri atas sel epidermis berkutikula tebal dan bergaris
serta jaringan kolenkimnya yang terdapat di bawah epidermis.
10. Korteksnya merupakan jaringan parenkim dengan saluran minyak yang tersebar;
beberapa berkas pembuluh kolateral, terpisah satu dengan yang lain oleh parenkim,
tersusun dalam lingkaran; empulur parenkim; empulur tangkai daun sering rusak dan
berongga; pembuluh kayu dengan penebalan spiral, cincin bernoktah sempit berupa
celah. Di sebelah luar floem terdapat lengkungan serabut sklerenkim.
11. Rimpangnya berupa jaringan parenkim berisi pati kecil; pembuluh kayu terutama terdiri
dari pembuluh jala dan pembuluh bernokta sempit; di permukaan akar terdapat
periderm.

Gambar 4.2. Ilustrasi penampang melintang Herba Pegagan yang terdiri atas kutikula (1),
epidermis atas (2), jaringan palisade (3), jaringan bunga karang (4), hablur kalsium oksalat (5),
stomata (6), berkas pembuluh (7), epidermis bawah (8), dan rambut penutup (9)
(Sumber:Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1977)

Gambar 4.3. Ilustrasi mikroskopis serbuk pegagan yang terdiri atas hablur kalsium oksalat (1),
epidermis (2), rambut penutup (3), serabut sklerenkim (4), epidermis atas dengan mesofil (5),
hablur kalsium oksalat pada tulang daun (6), pembuluh kayu dengan penebalan spiral dan jala
(7), jaringan kulit buah dengan idioblas berisi hablur kalsium oksalat berbentuk prisma (8)
(Sumber:Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1977)

Fragmen pengenalnya adalah epidermis atas (Gambar 4.4), urat daun dengan
kristal kalsium oksalat berbentuk roset (Gambar 4.5), mesofil daun (Gambar 4.6),
berkas pengangkut dengan penebalan tipe tangga (Gambar 4.7), dan epidermis bawah
dengan stomata (Gambar 4.8) (Kemenkes RI, 2017).
Gambar 4.4. Epidermis atas Gambar 4.5. Urat daun dengan
(Sumber: Kemenkes RI, 2017) kristal kalsium (Sumber:
Kemenkes RI, 2017)

Gambar 4.7. Berkas


Gambar 4.6. Mesofil daun
pengangkut dengan penebalan
(Sumber: Kemenkes RI, 2017)
tipe tangga (Sumber:
Kemenkes RI, 2017)

Gambar 4.8. Epidermis bawah dengan stomata (10x40) (Sumber: Kemenkes RI, 2017)
BAB V

KANDUNGAN KIMIA, CARA ISOLASI, DAN PENGGUNAAN SECARA


TRADISIONAL DAN BERDASARKAN PENELITIAN

5.1. Kandungan Kimia


C. asiatica telah diidentifikasi selama jangka waktu yang lama dan banyak
konstituennya telah dicatat (Tabel 1 dan 2), di antaranya yang paling aktif adalah saponin
triterpenoid, terutama asiaticoside, bersama dengan brahmoside, brahminoside, centelloside
dan medecasside. Kandungan minimal minyak atsiri terutama terdiri dari seskuiterpen.
Kandungan senyawa kimia lainnya dalam C. asiatica adalah flavonoid (quercetin,
kaempferol, dll.) fitosterol, asam amino dan sumber rasa pahit yaitu vallerin (Evans, 2009).

Menurut Kartnig dan Hoffmann-Bohm (1992), C. asiatica mengandung minyak atsiri


sebanyak 0,1% yang terdiri atas terpene acetate, germacrene, caryophyllene, dan pinene
sebagai konstituen paling banyak. Minyak atsiri adalah campuran senyawa organik yang
mudah menguap yang berasal dari sumber botani tunggal dan berkontribusi pada rasa dan
aroma tanaman (Tisserand, R. & Young, R., 2014).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Joshi et al (2006), C. asiatica segar


mengandung minyak berwarna kuning pucat dan diperoleh rendemen 0,03% (v/b) yang
diisolasi dengan hidrodistilasi. Kemudian, minyak atsiri tersebut teridentifikasi mengandung
beberapa senyawa yang terdiri atas hidrokarbon mono dan seskuiterpen masing-masing
sebanyak 6,3% dan 73,3%. Terpenoid pada tanaman dibiosintesis dari isopentyl diphosphate
(IPD) dan isomernya dimethylallyl diphosphate (DMAD) yang dikenal dengan “unit
isoprena aktif”. Kedua senyawa tersebut berasal dari jalur biosintetik asam mevalonat dan
metileritritol fosfat (Tisserand, R. & Young, R., 2014).

Kandungan senyawa kimia minyak atsiri pada tanaman pegagan pada penelitian ini
dikonfirmasi dengan analisis menggunakan dua kolom polaritas yang berbeda, yaitu
HP-5MS dan Innowax. Minyak atsiri didominasi oleh hidrokarbon seskuiterpen, seperti β-
caryophyllene (23,2%), α-humulene (23,1%), trans-β-farnesene (6,3%), dan germacrene-D
(5,4%). Sementara itu, hidrokarbon monoterpene yang mendominasi adalah α-pinene
(1,4%), β-myrecene (1,1%) dan p-cymene (1,3%) (Joshi et al, 2006).
Selain minyak atsiri, pegagan diketahui mengandung senyawa golongan saponin
triterpenoid yang merupakan komponen utama dari pegagan. Saponin merupakan bentuk
glikosida dari sapogenin. Saponin mencapai hingga 8% dari massa kering herbanya pada
pegagan (James dan Dubery, 2011). Tingkat saponin dan sapogenin sangat bervariasi
tergantung pada asal geografis, genetik, lingkungan dan kondisi pertumbuhan. Saponin
disintesis melalui jalur isoprenoid. Semua jalur biosintetik isoprenoid dimulai dengan
prekursor isomer 5-karbon, isopentenil difosfat dan dimetilalil difosfat (Gray et al, 2018).

Senyawa golongan saponin triterpenoid yang terdapat pada tanaman pegagan, antara
lain asiatikosida, brahmosida, brahminosida, thankunisida, dan isothankunisida (Kartnig &
Hoffmann-Bohm, 1992). Senyawa-senyawa terpenoid pada C. asiatica tersebut dinamakan
centelloid (James & Dubery, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh James dan
Dubery, diperoleh beberapa senyawa golongan saponin triterpenoid pada sampel pegagan
dengan menggunakan teknik TLC densitometri dengan fase geraknya adalah kloroform :
asam asetat glasial : methanol : H2O 60:32:12:8 (v/v). Kemudian, diperoleh adanya
kandungan asam asiatic 1,44%, asiatikosida 2,38%, asam madecassic 2,96%, dan
madecassoside 3,22%. Hal tersebut sesuai dengan Farmakope Herbal Indonesia edisi II
(2017) yang menyatakan bahwa herba pegagan mengandung asiatikosida tidak kurang dari
0,07% (Kemenkes RI, 2017).

C. asiatica juga mengandung fitosterol walaupun dalam jumlah yang sedikit. Ranjan
dan Kumar (2020) melakukan penelitian mengenai kandungan senyawa yang terdapat pada
C. asiatica, seperti saponin, flavonoid, tannin, fitosterol, asam amino, dan sebagainya.
Fitosterol dapat diidentifikasi dengan adanya hasil positif pada ekstrak aseton, petroleum
eter, dan benzena. Senyawa fitosterol tersebut merupakan stigmasterol. Namun, tidak ada
data pasti mengenai jumlahnya karena senyawa tersebut cukup sedikit ditemukan dalam
pegagan (Ranjan dan Kumar, 2020).

Sementara itu, senyawa golongan flavonoid dan tannin yang memberikan hasil positif
pada semua ekstrak dapat dikuantifikasi jumlahnya pada sampel tersebut karena berjumlah
cukup banyak dan signifikan. Flavonoid dapat diidentifikasi dengan adanya hasil positif
pada ekstrak etanol, air suling, benzene, petroleum eter, dan aseton. Flavonoid yang
teridentifikasi tersebut adalah senyawa quercetin. Sementara itu, tannin dapat diidentifikasi
dengan adanya
hasil positif pada ekstrak etanol, petroleum eter, aseton dan benzena dalam jumlah banyak.
Untuk ekstrak metanol dan air suling mengandung tanin total dalam jumlah yang relatif
rendah masing-masing 9,25 mg/gm dan 9,45 mg/gm. Tannin yang teridentifikasi tersebut
adalah senyawa catechin (Ranjan & Kumar, 2020).

Tabel 1. Daftar senyawa yang ada pada simplisia Herba Pegagan

Nama senyawa Referensi


β-caryophyllene (Joshi et al, 2006)
α-humulene
trans-β-farnesene
germacrene-D
α-pinene
β-myrcene
p-cymene
Asiatikosida (James & Dubery, 2011), (Kemenkes RI, 2017)
Asam asiatic (James & Dubery, 2011)
Asam madecassic
Madecassoside
Brahmosida (Kartnig & Hoffmann-Bohm, 1992)
Brahminosida
Thankunisida
Isothankunisida
Quercetin (Ranjan & Kumar, 2020)
Stigmasterol (Ranjan & Kumar, 2020)
Catechin (Ranjan & Kumar, 2020)

Tabel 2. Daftar gambar struktur kimia senyawa yang ada pada simplisia Herba Pegagan

Nama Senyawa Kimia Struktur Kimia


β-caryophyllene

PubChem. (2021). beta-Caryophyllene. Retrieved from


https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/substance/348291839

α-humulene

PubChem. (2020). alpha-Humulene. Retrieved from


https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/substance/438482712

trans-β-farnesene

PubChem. (2021). beta-Farnesene. Retrieved from


https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/substance/438482712

germacrene-D

PubChem. (2021). Germacrene D. Retrieved from


https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/6436582

α-pinene

PubChem. (2021). alpha-Pinene. Retrieved from


https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/6654

β-myrcene

PubChem. (2021). B-Myrcene. Retrieved from


https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/substance/442835349
p-cymene

PubChem. (2021). p-Cymene. Retrieved from


https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/7463

Asam asiatic

PubChem. (2021). Asiatic acid. Retrieved from


https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/119034

Asiatikosida

PubChem. (2021). Madecassol. Retrieved from


https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/11954171

Asam madecassic

PubChem. (2021). Madecassic acid. Retrieved from


https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/73412

Madecassoside

PubChem. (2021). Madecassoside. Retrieved from


https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/161823
Brahmosida Tidak ditemukan
Brahminosida Tidak ditemukan
Thankunisida Tidak ditemukan
Isothankunisida Tidak ditemukan
Quercetin

PubChem. (2021). Quercetin. Retrieved from


https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/5280343

Stigmasterol

PubChem. (2021). Stigmasterol. Retrieved from


https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/5280794

Catechin

PubChem. (2021). Cianidanol. Retrieved from


https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/9064

5.2. Cara Isolasi


5.2.1. Isolasi Senyawa Saponin
Kandungan senyawa kimia yang terdapat pada C. asiatica dapat diisolasi atau
diekstraksi dengan berbagai macam metode. Seiring berkembangnya zaman, metode yang
digunakan pun semakin berkembang dan semakin baik sehingga dapat menghasilkan
ekstrak senyawa yang diinginkan dengan maksimal. Metode esktraksi dengan
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) sangat sering dilakukan dalam mengekstrak
zat-zat aktif pada tanaman, salah satunya adalah tanaman pegagan. Teknik ini selalu
dikembangkan untuk
menghasilkan hasil ekstrak yang semakin tinggi kandungan zat aktifnya, seperti penelitian
yang dilakukan oleh Manton et al. (2019) yang mengoptimalkan maserasi dinamis C.
asiatica untuk mendapatkan kandungan tertinggi dari empat centelloids, yaitu
madecassoside, asiaticoside, madecassic acid, dan asiatic acid dengan menggunakan
metodologi response surface. Selanjutnya, digunakan metode KCKT untuk penentuan
kandungan empat centelloids serta divalidasi untuk mengonfirmasi keandalan analisis
(Manton et al., 2019).

Bagian tanaman C. asiatica dibersihkan dan dikeringkan selama 24 jam pada suhu
50°C. Lalu, C. asiatica kering digiling menggunakan grinder dan saringan 60 mesh.
Serbuk
C. asiatica kering (20 g) diekstraksi dengan 100 mL etanol 95% dalam labu erlenmeyer
250 mL menggunakan penangas air dengan pengadukan menggunakan shaker. Setelah
proses ekstraksi, filtrat ditampung dan diekstraksi kembali sebanyak dua kali dengan
volume pelarut yang sama. Filtrat dikumpulkan dan dikeringkan dalam kondisi vakum
dengan rotary evaporator diikuti dengan pengeringan dalam oven udara panas pada suhu
50°C selama 24 jam. Larutan ekstrak metanol disaring dan disuntikkan ke dalam
instrumen KCKT. Lalu, kandungan masing-masing centelloids dihitung dari kurva
kalibrasi standar madecassoside, asiaticoside, madecassic acid, dan asiatic acid (Monton et
al., 2019).

Kesimpulan penelitian ini adalah metodologi response surface dapat digunakan untuk
mengoptimalkan maserasi dinamis C. asiatica untuk mendapatkan kandungan empat
centelloids yang tinggi secara simultan dengan hasil yang dapat diandalkan. Kandungan
madecassoside, asiaticoside, madecassic acid, dan asiatic acid yang tinggi dianalisis
dengan KCKT tervalidasi dengan hasilnya secara berurutan adalah 0,855%, 0,174%,
0,053%, dan 0,025%. Kondisi optimal ini dapat digunakan sebagai kondisi standar untuk
ekstraksi C. asiatica untuk memberikan kandungan tertinggi empat centelloids (Monton et
al., 2019).

5.2.2. Isolasi Minyak Atsiri


Minyak atsiri pada tanaman pegagan dapat diekstraksi dengan metode kromatografi
gas. Persiapan proses ekstrak didahului dengan hidrodistilasi tanaman segar selama sekitar
3 jam menggunakan alat jenis Clevenger hingga menghasilkan minyak berwarna kuning
pucat sebanyak 0,03% (v/b). Minyak tersebut saat dikeringkan di atas natrium sulfat
anhidrat diketahui memiliki bau aromatik yang samar (Joshi et al, 2006).
Analisis GC dilakukan menggunakan kromatografi gas seri 6890 yang dilengkapi
dengan kolom HP-5 dan detektor ionisasi nyala (FID) dengan N2 sebagai gas pembawa
pada laju alir 1,2 mL/menit dan rasio split 1:100. Suhu oven diprogram awalnya pada
50ºC selama 1 menit, naik pada 4ºC/menit menjadi 240ºC dan dari 240ºC menjadi 270ºC
pada 15ºC/menit, kemudian ditahan secara isotermal selama 15 menit. pada 270ºC.
Konstituen minyak atsiri diidentifikasi dengan perbandingan indeks retensi yang diperoleh
dengan nilai-nilai pada literatur dan data spektral massa yang diperoleh dengan database
spektral massa dari literatur (Joshi et al, 2006).

Pada penelitian ini, diperoleh beberapa senyawa minyak atsiri yang terdiri atas
hidrokarbon mono dan seskuiterpen masing-masing sebanyak 6,3% dan 73,3%.
Kandungan senyawa kimia minyak atsiri pada tanaman pegagan pada penelitian ini
dikonfirmasi dengan analisis menggunakan dua kolom polaritas yang berbeda, yaitu
HP-5MS dan Innowax. Minyak atsiri didominasi oleh hidrokarbon seskuiterpen, seperti
β-caryophyllene (23,2%), α-humulene (23,1%), trans-β-farnesene (6,3%), dan
germacrene-D (5,4%). Sementara itu, hidrokarbon monoterpene yang mendominasi adalah
α-pinene (1,4%), β-myrecene (1,1%) dan p-cymene (1,3%) (Joshi et al, 2006).

5.2.3. Isolasi Senyawa Flavonoid


Latif (2016) melakukan isolasi senyawa flavonoid dari tanaman pegagan yang
dimaserasi sebanyak 312,2 gram dan menghasilkan ekstrak kental 30,08 gram. Uji
fitokimia ekstrak kental metanol daun pegagan memberikan hasil yang positif terhadap
senyawa flavonoid. Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa yang diperoleh dari
daun pegagan berwarna kekuningan dan berbentuk seperti kristal jarum. Isolat diuji KLT
dua dimensi dengan dua perbandingan campuran eluen, yaitu kloroform : metanol (9:1)
untuk isolat 1 dan n-heksan:etilasetat (9:1) untuk isolat 2 menghasilkan noda tunggal
dengan harga Rf 0,30 untuk elusi pertama dan 0,94 untuk elusi kedua. Identifikasi
spektroskopi UV-Vis memberikan 2 pita serapan pada panjang gelombang 271 nm dan
207nm, yang diperkuat dengan hasil IR yaitu adanya gugus O-H, C-H alifatik ulur, C=O
ulur, C=C aromatik, O-H tekuk, C-H tekuk, C-O alcohol ulur, dan C-H aromatik. Dari data
tersebut disimpulkan bahwa pegagan mengandung senyawa flavonoid, yaitu quercetin
(Latif, 2016).
5.2.4. Isolasi Senyawa Fitosterol
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chowdhary et al (2014), senyawa
fitosterol yang terdapat dalam tanaman pegagan, yaitu stigmasterol, dapat dieskstraksi
dengan menggunakan metode HPTLC (High Performance Thin Layer Chromatogarphy).
Sampel dibuat ekstrak etanol dingin serta senyawa referensi standar stigmasterol. Silica
gel digunakan sebagai fase diam, sedangkan toluena: etil asetat: metanol (7:1:0.5)
digunakan sebagai fase gerak. Camag Scanner IV digunakan untuk studi spektral HPTLC
pada panjang gelombang 366 nm. 10% asam sulfat metanol digunakan sebagai agen
derivatisasi, sedangkan nitrogen digunakan sebagai gas pembawa (Chowdhary et al.,
2014).

Pada penelitian tersebut, Chowdhary et al (2014) membandingkan kandungan


stigmasterol antarspesies pegagan yang berbeda-beda daerah tumbuhnya di India
(Gambar 5.1). Rentang stigmasterol yang didapatkan dari ekstraksi tersebut adalah
0,0288⸺0,0582% seperti yang terlihat pada gambar berikut (Chowdhary et al., 2014).

Gambar 5.1. Kandungan stigmasterol dari sampel spesies pegagan yang berbeda-beda
daerahnya (Chowdhary et al., 2014)

5.3. Penggunaan Simplisia secara Tradisional


Menurut LIPI, obat tradisional merupakan obat-obatan yang diolah secara tradisional,
turun temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan
setempat, baik bersifat magis atau pengetahuan tradisional. Penggunaan obat tradisional ini
didapatkan dari data empiris yang diperoleh dari warisan pengetahuan turun temurun
mengenai manfaat tanaman obat. Salah satu tanaman yang telah digunakan sejak lama
sebagai obat tradisional adalah pegagan (Tabel 3). Pegagan sering digunakan karena tidak
menimbulkan efek samping yang besar, mudah dicerna oleh tubuh, dan memiliki toksisitas
yang rendah. Pegagan sudah lama dijadikan jamu maupun ramuan obat tradisional (Sutardi,
2017).

Tabel 3. Daftar pemanfaatan simplisia Herba Pegagan secara tradisional

Kegunaan Bagian yang Masyarakat yang Cara Menggunakan Referensi


Digunakan Menggunakan
Menyehatkan Herba Beberapa Mengeringkan herba (Winarto &
badan, daerah India pegagan, lalu Surbakti,
mempertajam membuatnya menjadi 2003)
ingatan, serbuk. Setelah itu,
dan membuat diseduh
awet muda dengan menggunakan
air
mendidih dan dicampur
dengan susu
Menyembuhkan Herba Wonokerto, Ambil segenggam herba (Syarif et
gangguan saraf, Indonesia pegagan segar, lalu al., 2011)
ambeien, direbus dengan tiga gelas
malaria, air hingga tersisa hanya
kencing nanah, dua gelas saja. Konsumsi
peradangan air tersebut sebanyak dua
usus, dan batuk kali sehari.
Mencegah Herba Yogyakarta, Cara pengolahannya (Reynaldi &
pikun Indonesia adalah pertama dengan Mandariska,
mengeringkannya, misal 2016)
dijemur atau dioven.
Kemudian 1⸺2 sendok
teh daun pegagan kering
diseduh dengan air panas
selama 10⸺15 menit.
Konsumsi daun pegagan
bisa dilakukan sebanyak 3
kali sehari dan
diperuntukkan bagi usia
lebih dari 18 tahun

5.4. Penggunaan Simplisia Pegagan secara Ilmiah


Pegagan memang memiliki banyak manfaat yang membuatnya dimanfaatkan menjadi
salah satu bahan obat tradisional. Dari banyaknya manfaat pegagan yang diketahui melalui
data empiris inilah yang membuat para ilmuwan meneliti lebih lanjut mengenai manfaat
pegagan (Tabel 4) sehingga bisa digunakan secara lebih luas lagi dalam menghadapi
berbagai permasalahan di bidang kesehatan.

Tabel 4. Daftar pemanfaatan simplisia Herba Pegagan secara ilmiah

Aktivitas yang Bagian yang Ekstrak yang Hasil Referensi


Diteliti Digunakan Digunakan
Neuroprotektif Herba Etanol Jumlah sel neuron rerata di (Priyantiningrum
korteks prefrontalis pada 12 tikus , et al., 2015),
dewasa spesies Rattus (Lee et al, 2000)
norvegicus yang dijadikan
subyek penelitian setelah
pemberian ekstrak etanol
pegagan tampak lebih banyak
dibandingkan kelompok kontrol
yang menunjukkan bahwa
ekstrak etanol C. asiantica
memiliki efek neuroprotektif
dengan mencegah kematian sel
neuron akibat stres restrain (stres
yang diakibatkan
keterbatasan gerak)
Penyembuhan Herba Heksana, etil Kekuatan tarik dari luka sayatan (Somboonwong,
luka asetat, pada semua tikus yang diberi et al.,
metanol, ekstrak pegagan secara 2012),
dan signifikan (Sunilkumar
ekstrak air lebih tinggi dibandingkan dengan et
kontrol yang diberikan Tween al., 1998), (Rosen
20. Derajat penyembuhan luka et al., 1967).
bakar juga secara signifikan
lebih tinggi dibandingkan dengan
kontrol tersebut. Hal
tersebut
menunjukkan bahwa ekstrak C.
asiatica dapat memudahkan
proses penyembuhan luka baik
pada luka sayatan maupun luka
bakar.
Hidrasi Herba Etanol Kosmetik berbentuk emulsi dan (Ratz-Łyko et al.,
dan hidrogel dengan ekstrak C. 2016),
antiinflamasi asiatica yang diujikan kepada 25 (Somchit
sukarelawan berusia 18⸺55 et al., 2004)
tahun dapat berpengaruh nyata
terhadap peningkatan hidrasi
stratum korneum karena adanya
kandungan triterpen saponin
dengan rantai gula hidrofilik
(glikon) terutama glukosa dan
rhamnosa yang memiliki
kemampuan untuk mengikat air
dalam lapisan oklusif. Selain itu,
ekstrak pegagan juga dapat
bermanfaat dalam mengurangi
iritasi kemerahan pada kulit
Antibakteri Daun Metanol, Aktivitas antibakteri dari ekstrak (Arumugam,
dan kalus aseton, C. asiatica yang diuji et al., 2011),
kloroform, menunjukkan penurunan yang (Utami
dan air signifikan dalam pertumbuhan et al., 2012),
(Idris & Nadzir,
bakteri dalam hal zona hambat. 2017)
Semua ekstrak daun dan kalus
menunjukkan aktivitas yang
bergantung pada dosis, yaitu saat
peningkatan konsentrasi ekstrak,
zona hambat juga meningkat.
Dalam penelitian ini,, bakteri
yang diuji adalah E. coli, B.
cereus, P. aeruginosa, dan S.
aureus. Namun, ekstrak methanol
memperlihatkan hasil yang lebih
signifikan.
Penurunan Herba Etanol Ekstrak C. asiatica dapat (Mariska et al.,
kadar mukus menghambat penurunan kadar 2015), (Cheng &
pada mukus pada tukak lambung Koo, 2000)
tukak disebabkan oleh pemberian
lambung etanol pada tikus karena ekstrak
tersebut dapat memperkuat
penghalang
mukosa lambung.
Antioksidan Herba Air C. asiatica menunjukkan adanya (Pittella et al.,
dan sitotoksik peningkatan kognitif dan sifat 2009),
antioksidan dari pada tikus (Brinkhaus et al.,
normal. Aktivitas antioksidan 2000)
dilihat dari penangkapan radikal
dengan metode DPPH dan
didapatkan nilai
IC50 (konsentrasi substrat yang
menyebabkan hilangnya 50%
aktivitas DPPH) yang tinggi
pada ekstrak pegagan. Sementara
itu, pada aktivitas sitotoksiknya
diuji
dengan beberapa sel tumor, yaitu
sel melanoma tikus (B16F1),
kanker payudara manusia (MDA
MB-231), glioma tikus (C6),
karsinoma paru-paru manusia
(A549), dan ginjal bayi hamster
(BHK-21) dengan uji MTT.
Hasilnya adalah ekstrak pegagan
dapat menghambat pertumbuhan
sel-sel tumor tersebut.
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Tanaman C. asiatica merupakan spesies Centella yang paling banyak ditemukan dan
berasal dari famili Apiaceae. Bagian tanaman ini terdiri atas daun, petiolus (tangkai), stolon,
akar, bunga, dan buah dengan warna hijau sampai hijau kemerahan. Simplisia yang
digunakan adalah herba atau seluruh bagian tumbuhannya yang berada di atas tanah
sehingga dinamakan Centellae Asiaticae Herba atau Herba Pegagan dengan rasa yang
mula-mula tidak berasa kemudian agak pahit serta memiliki bau yang lemah.. Pegagan dapat
tumbuh dengan baik di wilayah subtropis dan tropis yang tersebar cukup luas dari dataran
rendah sampai ketinggian
2.500 m di atas permukaan laut dengan sinar matahari yang cukup.

C. asiatica mengandung banyak senyawa metabolit sekunder, seperti minyak atsiri,


saponin triterpenoid, fitosterol, flavonoid, dan tannin. Kandungan senyawa tersebut
membuat pegagan memiliki banyak manfaat sehingga sudah cukup lama digunakan sebagai
obat tradisional, seperti bagi masyarakat India yang menjadikan pegagan sebagai obat
tradisional untuk menyehatkan badan, mempertajam ingatan, membuat awet muda dan
masih banyak lagi. Berdasarkan data empirisnya tersebut, C. asiatica pun akhirnya banyak
diteliti oleh para ilmuwan untuk membuktikan manfaat tersebut. Hingga kini, sudah cukup
banyak penelitian yang meneliti lebih lanjut mengenai khasiat pegagan, baik secara in vitro,
in vivo, maupun uji klinis. Manfaat-manfaat yang diketahui dimiliki oleh pegagan
berdasarkan penelitian, antara lain adalah manfaatnya sebagai neuroprotektif, penyembuhan
luka, hidrasi, antiinflamasi, antibakteri, penurunan kadar mukus pada tukak lambung,
antioksidan, dan sitotoksik

6.2. Saran
Saran dari penulis adalah perlunya masyarakat Indonesia untuk membudidayakan C.
asiatica lebih luas lagi supaya ia tidak hanya sekadar menjadi tanaman liar sehingga dapat
dimanfaatkan secara lebih luas lagi oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, perlunya
penelitian lebih lanjut di Indonesia mengenai aktivitas-aktivitas yang dimiliki oleh ekstrak
tanaman pegagan sehingga penggunaan tanaman pegagan sebagai obat tradisional dapat
lebih dikembangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Adwiyah, R. (2013). Pengaruh ekstrak daun pegagan (Centella Asiatica (L.) Urban) terhadap
kadar antioksidan superoksida dismutase (SOD) dan glutation superoksida hidroksil (GSH) pada
ovarium mencit (Mus Musculus). Undergraduate thesis. Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim.

Arumugam, T., Ayyanar, M., Pillai, Y.J.K., & Sekar, T. (2011). Phytochemical screening and
antibacterial activity of leaf and callus extracts of Centella asiatica. Bangladesh J Pharmacol, 5,
55-60. Doi: 10.3329/bjp.v6i1.8555

Brinkhaus, B., Lindner, M., Schuppan, D., & Hahn, E. G. (2000). Chemical, pharmacological
And clinical profile of the east asian medical plant Centella Asiatica. Journal Phytomedicine,
7(5), 427–448. Doi: doi.org/10.1016/S0944-7113(00)80065-3

Cheng, C. L., & Koo, M. W. (2000). Effects of Centella asiatica on ethanol induced gastric
mucosal lesions in rats. Life sciences, 67(21), 2647–2653. Doi: https://doi.org/10.1016/s0024-
3205(00)00848-1

Chowdhary, A., Chaturvedi, P., & Memon, R. (2014). Stigmasterol variation in a medhya rasayan
plant (Centella asiatica L.: Apiaceae) Collected from Different Regions. Indian Drugs, 51(3),
44- 49.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1977). Materia medika Indonesia jilid I. Jakarta:
Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan.

Evans, W.C. (2009). Trease and evans pharmacognosy (16th ed.). USA: Elsevier Limited.

Gray, N.E., Alcazar Magana, A., & Lak, P. (2018). Centella asiatica: phytochemistry and
mechanisms of neuroprotection and cognitive enhancement. Phytochem Rev, 17(1), 161–194.
Doi: doi.org/10.1007/s11101-017-9528-y

Idris, F.N., & Nadzir, M.M. (2017). Antimicrobial activity of Centella asiatica on Aspergillus
niger and Bacillus subtilis. Chemical Engineering Transaction, 56, 1381-1386.

Januwati, M & Yusron, M. (2005). Budidaya tanaman pegagan. Bogor: Balai Penelitian Tanaman
Obat dan Aromatika.
James, J. & Dubery, I. (2011). Identification and quantification of triterpenoid centelloids in
Centella asiatica (L.) Urban by densitometric TLC. JPC - Journal of Planar Chromatography -
Modern TLC, 24, 82-87. Doi: 10.1556/JPC.24.2011.1.16.

Joshi, et al. (2006). Chemical composition of the essential oil of Centella asiatica (L.) Urb. from
Western Himalaya. Natural Product Communications, 2(5), 587-590.

Kartnig, T. & Hoffmann-Bohm, K. (1992). Centella.In: hager 's hand-buch der


pharmazeutischen praxis. Band 4. Eds. Berlin: Springer Ver-lag.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Farmakope herbal Indonesia (2nd ed.).
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Latif, I.N.Y. (2016). Isolasi dan identifikasi senyawa flavonoid dalam daun tumbuhan pegagan.
Skripsi S-1 Pendidikan Kimia. Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo.

Lee, M.K., Kim, S.R., Sung, S.H., Lim, D., Kim, H., Choi, H., Park, H.K., Je, S., & Ki, Y.C.
(2000). Asiatic acid derivatives protect cultured cortical neurons from glutamate-induced
excitotoxicity. Research communications in molecular pathology and pharmacology, 108(1-2),
75–86.

Mariska, E., Sitorus, T.D., & Rachman, J.A. (2015). Effect of Centella asiatica leaves on gastric
ulcer in rats. Althea Medical Journal, 2(1), 114-118. Doi: 10.15850/amj.v2n1.444

Maruzy, A., Budiarti, M., & Subositi, D. (2020). Autentikasi Centella asiatica (L.) Urb.
(Pegagan) dan adulterannya berdasarkan karakter makroskopis, mikroskopis, dan profil kimia.
Jurnal Kefarmasian Indonesia, 10(1), 19–30. https://doi.org/10.22435/jki.v10i1.1830

Matsuda, H., Morikawa, T., Ueda, H., & Yoshikawa, M. (2001). Medicinal foodstuffs. XXVII.
(1) saponin constituents of gotu kola (2): structures of new ursane- and oleanane-type triterpene
oligoglycosides, centellasaponins B, C, and D, from Centella asiatica cultivated in Sri Lanka.
Chemical and Pharmaceutical Bulletin, 49(10), 1368-1371. Doi:10.1248/cpb.49.1368

Monton C., Settharaksa S., Luprasong C., & Songsak T. (2019). An optimization approach of
dynamic maceration of Centella asiatica to obtain the highest content of four centelloids by
response surface methodology. Braz. J. Pharmacogn, 29(2), 254–261. Doi:
10.1016/j.bjp.2019.01.001.
Ogunka-Nnoka, C.U., Igwe, F.U., Agwu, J., Peter, O.J., & Wolugbom, P.H. (2020). Nutrient and
phytochemical composition of Centella asiatica leaves. Med Aromat Plants (Los Angeles), 9(2),
1-7. Doi: 10.35248/2167-0412.20.9.346

Pittella, F., Dutra, R. C., Junior, D. D., Lopes, M. T., & Barbosa, N. R. (2009). Antioxidant and
cytotoxic activities of Centella asiatica (L) Urb. International Journal of Molecular Sciences,
10(9), 3713–3721. Doi: https://doi.org/10.3390/ijms10093713

Priyantiningrum, A.K., Kuswati, & Handayani, E.S. (2015). Pengaruh ekstrak etanol Centella
asiatica terhadap jumlah sel neuron di korteks prefrontalis tikus yang diberi perlakuan stres.
Jurnal Kedokterandan Kesehatan Indonesia, 6(4), 198-207.
Doi: https://doi.org/10.20885/JKKI.Vol6.Iss4.art5

Puspitasari, D. (2018). Pengaruh metode perebusan terhadap uji fitokimia daun mangrove
Excoecaria agallocha. Jurnal Penelitian Pendidikan Sosial Humaniora. 3(2), 423-428. Retrieved
from https://media.neliti.com/media/publications/288165-pengaruh-metode-perebusan-terhadap-
uji-f-3dd0108c.pd

Ranjan, R. & Kumar, M. (2020). Qualitative and quantitative analysis of phytochemicals in leaf
extracts of Centella asiatica L. IOSR Journal of Pharmacy and Biological Sciences, 15(5),
27-39. Doi: 10.9790/3008-1505062739

Ratz-Łyko, A., Arct, J., & Pytkowska, K. (2016). moisturizing and antiinflammatory properties
of cosmetic formulations containing Centella asiatica extract. Indian journal of pharmaceutical
sciences, 78(1), 27–33. Doi: https://doi.org/10.4103/0250-474x.180247

Reynaldi, M. & Mandariska, R.P. (2016). Daun pegagan mencegah pikun [Online]. Retrieved
from https://fkkmk.ugm.ac.id/daun-pegagan-mencegah-pikun/

Robert, A. (2016). Chemical structures, production, and enzymatic transformations of sapogenins


and saponins from Centella asiatica (L.) Urban. Fitoterapia. 114, 168-187. Doi:
https://doi.org/10.1016/j.fitote.2016.07.011

Rosen, H., Blumenthal, A., & McCallum, J. (1967). Effect of asiaticoside on wound healing in
the rat. Society for Experimental Biology and Medicine (New York, N.Y.), 125(1), 279–280. Doi:
https://doi.org/10.3181/00379727-125-32070
Somboonwong, J., Kankaisre, M., Tantisira, B., & Tantisira, M. H. (2012). Wound healing
activities of different extracts of Centella asiatica in incision and burn wound models: an
experimental animal study. BMC Complementary and Alternative Medicine, 12, 103. Doi:
https://doi.org/10.1186/1472-6882-12-103

Somchit, M. N., Sulaiman, M. R., Zuraini, A., Samsuddin, L., Somchit, N., Israf, D. A., & Moin,
S. (2004). Antinociceptive and antiinflammatory effects of Centella asiatica. Indian Journal of
Pharmacology, 36(6), 377.

Sunilkumar, Parameshwaraiah, S., & Shivakumar, H. G. (1998). Evaluation of topical


formulations of aqueous extract of Centella asiatica on open wounds in rats. Indian journal of
experimental biology, 36(6), 569–572.

Susetyarini, E., Latifa, R., Wahyono, P., & Nurrohman, E. (2020). Atlas morfologi dan anatomi
pegagan (Centella asiatica (L.) Urban.) dilengkapi dengan pengamatan scanning electrone
microscope (SEM). Diakses
dari
https://eprints.umm.ac.id/71256/24/Susetyarini%20Latifa%20Wahyono%20Nurrohman%20-
%20Atlas%20Morfologi%20Dan%20Anatomi%20Pegagan.pdf

Sutardi, S. (2017). Kandungan bahan aktif tanaman pegagan dan khasiatnya untuk meningkatkan
sistem imun tubuh. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, 35(3), 121.
https://doi.org/10.21082/jp3.v35n3.2016.p121-130

Syarif, P., Suryotomo, B., & Soeprapto, H. (2011). Deskripsi dan manfaat tanaman obat di
pedesaan sebagai upaya pemberdayaan apotik hidup (studi kasus di Kecamatan Wonokerto).
Pena Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 21(1), 20-32. Doi:
http://dx.doi.org/10.31941/jurnalpena.v21i1.49

Tisserand, R. & Young, R. (2014). Essential oil safety a guide for health care professionals (2nd
ed.). Edinburgh: Churchill Livingstone Elsevier.

Utami, C.V., Pitinidhipat, N., & Yasurin, P. (2012). Antibacterial activity of Chrysanthemum
indicum, Centella asiatica, and Andrographis paniculata on Bacillus cereus and Listeria
monocytogenes under low pH Stress. Journal KMITL Sci, 12(1), 49-54.
Winarto, W.P., & Surbakti, M. (2003). Khasiat dan manfaat pegagan: tanaman penambah daya
ingat. Jakarta: Agromedia Pustaka.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai