2106709195
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga penulis dapat
menyelesaikan pembuatan Laporan Tugas Khusus Praktikum Farmakognosi ini dengan lancar
dan hasil yang baik. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tim
Dosen Praktikum Farmakognosi yang telah membantu dan memberikan bimbingan kepada
penulis dan mahasiswa lainnya selama pembuatan Laporan Tugas Khusus, rajangan, serbuk, dan
herbairum, khususnya kepada Ibu Dr. apt. Donna Maretta Ariestanti, M.Sc. dan Ibu apt.
Roshamur Cahyan Forestrania, M.Sc., Ph.D. selaku dosen di mata kuliah Paktikum Famakognosi
B 2022 serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam kelancaran praktikum
farmakognosi dan penyusunan Laporan Tugas Khusus ini.
Adapun penyusunan Laporan Tugas Khusus Praktikum Farmakognosi ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Praktikum Farmakognosi serta untuk memperdalam ilmu mengenai
tanaman Centella asiatica atau pegagan yang meliputi klasifikasi, tata nama, kandungan kimia,
manfaat, serta identifikasi mikroskopis dan makroskopisnya dengan simplisia berupa Centella
Herba atau Herba Pegagan.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis
memohon maaf jika terdapat kekurangan maupun kesalahan kata dalam penulisan laporan ini.
Penulis juga memohon saran dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki kekurangan-
kekurangan tersebut pada masa mendatang. Besar harapan penulis agar laporan ini dapat
bermanfaat bagi penulis maupun pembaca serta dapat digunakan sebagai sumber ilmu
pengetahuan dan bahan rujukan untuk penelitian dan pembuatan laporan selanjutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUA
Sebagai negara yang memiliki iklim tropis, secara geografis Indonesoa menjadi tempat
yang mendukung ketersediaan beragam macam tanaman untuk tumbuh. Manusia sendiri sudah
sejak lama mengetahui bahwa tanaman memiliki berbagai macam manfaat untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari manusia, baik dimanfaatkan untuk pangan ataupun dimanfaatkan sebagai
bahan obat. Pemanfaatan tanaman sebagai obat oleh masyarakat Indonesia dalam mengobati
berbagai penyakit secara tradisional sudah berlangsung sejak lama. Oleh sebab itu, Sebagian
besar dari masyarakat kita membudidayakan berbagai tanaman obat di lingkungan rumah
masing-masing.
Pegagan pertama kali ditemukan di Sri Lanka, Asia Tenggara, beberapa bagian China, di
kepulauan laut selatan bagian barat, Madagaskar, Afrika Selatan, bagian tenggara dari Amerika
Serikat, Meksiko, Venezuela, dan Columbia (Brinkhaus, et al., 2000). Sejak zaman prasejarah,
pegagan telah digunakan sebagai bahan obat. Pegagan telah terdaftar di dalam buku teks
pengobatan Sansekerta sekitar tahun 500-an Masehi sebagai pedoman pengobatan pada masa itu
karena secara luas digunakan di India dan wilayah di pulau Jawa sebagai bahan obat. (Brinkhaus,
et al., 2000)
Tanaman pegagan merupakan tanaman herba, oleh karena itu, bagian yang dapat
digunakan dari tanaman pegagan adalah seluruh bagian dari tanaman tersebut, sehingga kita
dapat menyebut simplisia dari tanaman ini adalah Herba Pegagan atau Centellae Herba. Di masa
sekarang, pegagan cukup banyak digunakan sebagai satu komposisi dalam produk skincare
ataupun produk kosmetika lainnya. Hal ini dikarenakan tanaman pegagan diketahui memiliki
kemampuan untuk melembabkan kulit serta dapat berfungsi sebagai antioksidan. Selain sebagai
produk kecantikan, tanaman ini juga sering digunakan untuk mengatasi berbagai macam
penyakit seperti demam, batuk, radang, dan lain-lain (Rabiatul, 2013).
Penulis akan menyajikan beberapa informasi tentang tanaman pegagan ini dari mulai
klasifikasi dan tata nama, morfologi, habitat, penyebaran, identifikasi makroskpis dan
mikroskopis, serta kandungan kimia yang terdapat pada Herba Pegagan sekaligus cara isolasi
dan kegunaannya.
BAB II
Divisi: Sphermatophyta
Kelas: Dikotiledone
Ordo: Umbellales
Famili: Umbellaferae
Genus: Centella
3.1.1. Daun
Daun tanaman pegagan (Gambar 3.2) memiliki warna hijau tua. Helaian daunnya
berbentuk seperti ginjal atau bulat dengan lebar sekitar 7 – 9 cm. Permukaan atas dan
bawah dari daunnya memiliki permukaan yang halus. Tangkai dari daunnya cukup
panjang, yaitu sekitar 10-15 cm. Bagian dari ujung daun memiliki bentuk yang membulat
dengan tepi yang beringgit hingga bergerigi (Susetyarini, 2020).
3.1.3. Akar
Tanaman pegagan memiliki sistem perakaran berupa akar tunggang (Gambar 3.4)
yang merupakan akar lembaga akan tumbuh terus menjadi akar pokok yang
bercabang-cabang menjadi akar-akar yang lebih kecil (Susetyarini, 2020).
3.1.4. Stolon
Pegagan merupakan terna menahun yang tidak memiliki batang. Akan tetapi, pegagan
memiliki rimpang pendek dan stolon-stolon yang merayap dengan panjang 10⸺80 cm
(Gambar 3.5). Stolon tersebut memiliki warna hijau kemerahan dengan tekstur berair dan
agak lunak atau tidak berkayu (Susetyarini, 2020)
Gambar 3.5. Stolon pegagan (C. asiatica) (Sumber: Dokumentasi pribadi)
3.1.5. Bunga
Tanaman pegagan memiliki bunga (Gambar 3.6)yang berbentuk payung tunggal
dengan panjang gagang sekitar 3 cm. Perbungaan umumnya terdiri atas 3 bunga dengan
daun pelindung sebanyak 2–3 helai dan daun mahkota berwarna kuning kehijauan dengan
lebar sekitar 1 mm–1,5 mm (Maruzy et al., 2020).
Pegagan dapat tumbuh di daerah subtropis dan tropis, seperti Indonesia. Namun,
pegagan tidak tahan terhadap tempat yang terlalu kering karena sistem perakarannya yang
dangkal. Tanaman pegagan akan tumbuh baik dengan intensitas cahaya 30⸺40 persen
(Januwati, 2005).
IDENTIFIKASI
SIMPLISIA
Rasanya mula-mula tidak berasa kemudian agak pahit serta memiliki bau yang lemah.
Stolon dan tangkai daunnya berwarna coklat kelabu, sedangkan helaian daunnya berwarna
hijau kelabu. Pegagan memiliki ukuran sekitar 5⸺15cm tiap ruasnya yang terdiri atas
akar, daun, dan tangkai daun, serta rimpang pendek dan stolon merayap sekitar 10⸺80
cm (Kemenkes RI, 2017).
Gambar 4.2. Ilustrasi penampang melintang Herba Pegagan yang terdiri atas kutikula (1),
epidermis atas (2), jaringan palisade (3), jaringan bunga karang (4), hablur kalsium oksalat (5),
stomata (6), berkas pembuluh (7), epidermis bawah (8), dan rambut penutup (9)
(Sumber:Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1977)
Gambar 4.3. Ilustrasi mikroskopis serbuk pegagan yang terdiri atas hablur kalsium oksalat (1),
epidermis (2), rambut penutup (3), serabut sklerenkim (4), epidermis atas dengan mesofil (5),
hablur kalsium oksalat pada tulang daun (6), pembuluh kayu dengan penebalan spiral dan jala
(7), jaringan kulit buah dengan idioblas berisi hablur kalsium oksalat berbentuk prisma (8)
(Sumber:Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1977)
Fragmen pengenalnya adalah epidermis atas (Gambar 4.4), urat daun dengan
kristal kalsium oksalat berbentuk roset (Gambar 4.5), mesofil daun (Gambar 4.6),
berkas pengangkut dengan penebalan tipe tangga (Gambar 4.7), dan epidermis bawah
dengan stomata (Gambar 4.8) (Kemenkes RI, 2017).
Gambar 4.4. Epidermis atas Gambar 4.5. Urat daun dengan
(Sumber: Kemenkes RI, 2017) kristal kalsium (Sumber:
Kemenkes RI, 2017)
Gambar 4.8. Epidermis bawah dengan stomata (10x40) (Sumber: Kemenkes RI, 2017)
BAB V
Kandungan senyawa kimia minyak atsiri pada tanaman pegagan pada penelitian ini
dikonfirmasi dengan analisis menggunakan dua kolom polaritas yang berbeda, yaitu
HP-5MS dan Innowax. Minyak atsiri didominasi oleh hidrokarbon seskuiterpen, seperti β-
caryophyllene (23,2%), α-humulene (23,1%), trans-β-farnesene (6,3%), dan germacrene-D
(5,4%). Sementara itu, hidrokarbon monoterpene yang mendominasi adalah α-pinene
(1,4%), β-myrecene (1,1%) dan p-cymene (1,3%) (Joshi et al, 2006).
Selain minyak atsiri, pegagan diketahui mengandung senyawa golongan saponin
triterpenoid yang merupakan komponen utama dari pegagan. Saponin merupakan bentuk
glikosida dari sapogenin. Saponin mencapai hingga 8% dari massa kering herbanya pada
pegagan (James dan Dubery, 2011). Tingkat saponin dan sapogenin sangat bervariasi
tergantung pada asal geografis, genetik, lingkungan dan kondisi pertumbuhan. Saponin
disintesis melalui jalur isoprenoid. Semua jalur biosintetik isoprenoid dimulai dengan
prekursor isomer 5-karbon, isopentenil difosfat dan dimetilalil difosfat (Gray et al, 2018).
Senyawa golongan saponin triterpenoid yang terdapat pada tanaman pegagan, antara
lain asiatikosida, brahmosida, brahminosida, thankunisida, dan isothankunisida (Kartnig &
Hoffmann-Bohm, 1992). Senyawa-senyawa terpenoid pada C. asiatica tersebut dinamakan
centelloid (James & Dubery, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh James dan
Dubery, diperoleh beberapa senyawa golongan saponin triterpenoid pada sampel pegagan
dengan menggunakan teknik TLC densitometri dengan fase geraknya adalah kloroform :
asam asetat glasial : methanol : H2O 60:32:12:8 (v/v). Kemudian, diperoleh adanya
kandungan asam asiatic 1,44%, asiatikosida 2,38%, asam madecassic 2,96%, dan
madecassoside 3,22%. Hal tersebut sesuai dengan Farmakope Herbal Indonesia edisi II
(2017) yang menyatakan bahwa herba pegagan mengandung asiatikosida tidak kurang dari
0,07% (Kemenkes RI, 2017).
C. asiatica juga mengandung fitosterol walaupun dalam jumlah yang sedikit. Ranjan
dan Kumar (2020) melakukan penelitian mengenai kandungan senyawa yang terdapat pada
C. asiatica, seperti saponin, flavonoid, tannin, fitosterol, asam amino, dan sebagainya.
Fitosterol dapat diidentifikasi dengan adanya hasil positif pada ekstrak aseton, petroleum
eter, dan benzena. Senyawa fitosterol tersebut merupakan stigmasterol. Namun, tidak ada
data pasti mengenai jumlahnya karena senyawa tersebut cukup sedikit ditemukan dalam
pegagan (Ranjan dan Kumar, 2020).
Sementara itu, senyawa golongan flavonoid dan tannin yang memberikan hasil positif
pada semua ekstrak dapat dikuantifikasi jumlahnya pada sampel tersebut karena berjumlah
cukup banyak dan signifikan. Flavonoid dapat diidentifikasi dengan adanya hasil positif
pada ekstrak etanol, air suling, benzene, petroleum eter, dan aseton. Flavonoid yang
teridentifikasi tersebut adalah senyawa quercetin. Sementara itu, tannin dapat diidentifikasi
dengan adanya
hasil positif pada ekstrak etanol, petroleum eter, aseton dan benzena dalam jumlah banyak.
Untuk ekstrak metanol dan air suling mengandung tanin total dalam jumlah yang relatif
rendah masing-masing 9,25 mg/gm dan 9,45 mg/gm. Tannin yang teridentifikasi tersebut
adalah senyawa catechin (Ranjan & Kumar, 2020).
Tabel 2. Daftar gambar struktur kimia senyawa yang ada pada simplisia Herba Pegagan
α-humulene
trans-β-farnesene
germacrene-D
α-pinene
β-myrcene
Asam asiatic
Asiatikosida
Asam madecassic
Madecassoside
Stigmasterol
Catechin
Bagian tanaman C. asiatica dibersihkan dan dikeringkan selama 24 jam pada suhu
50°C. Lalu, C. asiatica kering digiling menggunakan grinder dan saringan 60 mesh.
Serbuk
C. asiatica kering (20 g) diekstraksi dengan 100 mL etanol 95% dalam labu erlenmeyer
250 mL menggunakan penangas air dengan pengadukan menggunakan shaker. Setelah
proses ekstraksi, filtrat ditampung dan diekstraksi kembali sebanyak dua kali dengan
volume pelarut yang sama. Filtrat dikumpulkan dan dikeringkan dalam kondisi vakum
dengan rotary evaporator diikuti dengan pengeringan dalam oven udara panas pada suhu
50°C selama 24 jam. Larutan ekstrak metanol disaring dan disuntikkan ke dalam
instrumen KCKT. Lalu, kandungan masing-masing centelloids dihitung dari kurva
kalibrasi standar madecassoside, asiaticoside, madecassic acid, dan asiatic acid (Monton et
al., 2019).
Kesimpulan penelitian ini adalah metodologi response surface dapat digunakan untuk
mengoptimalkan maserasi dinamis C. asiatica untuk mendapatkan kandungan empat
centelloids yang tinggi secara simultan dengan hasil yang dapat diandalkan. Kandungan
madecassoside, asiaticoside, madecassic acid, dan asiatic acid yang tinggi dianalisis
dengan KCKT tervalidasi dengan hasilnya secara berurutan adalah 0,855%, 0,174%,
0,053%, dan 0,025%. Kondisi optimal ini dapat digunakan sebagai kondisi standar untuk
ekstraksi C. asiatica untuk memberikan kandungan tertinggi empat centelloids (Monton et
al., 2019).
Pada penelitian ini, diperoleh beberapa senyawa minyak atsiri yang terdiri atas
hidrokarbon mono dan seskuiterpen masing-masing sebanyak 6,3% dan 73,3%.
Kandungan senyawa kimia minyak atsiri pada tanaman pegagan pada penelitian ini
dikonfirmasi dengan analisis menggunakan dua kolom polaritas yang berbeda, yaitu
HP-5MS dan Innowax. Minyak atsiri didominasi oleh hidrokarbon seskuiterpen, seperti
β-caryophyllene (23,2%), α-humulene (23,1%), trans-β-farnesene (6,3%), dan
germacrene-D (5,4%). Sementara itu, hidrokarbon monoterpene yang mendominasi adalah
α-pinene (1,4%), β-myrecene (1,1%) dan p-cymene (1,3%) (Joshi et al, 2006).
Gambar 5.1. Kandungan stigmasterol dari sampel spesies pegagan yang berbeda-beda
daerahnya (Chowdhary et al., 2014)
6.1. Kesimpulan
Tanaman C. asiatica merupakan spesies Centella yang paling banyak ditemukan dan
berasal dari famili Apiaceae. Bagian tanaman ini terdiri atas daun, petiolus (tangkai), stolon,
akar, bunga, dan buah dengan warna hijau sampai hijau kemerahan. Simplisia yang
digunakan adalah herba atau seluruh bagian tumbuhannya yang berada di atas tanah
sehingga dinamakan Centellae Asiaticae Herba atau Herba Pegagan dengan rasa yang
mula-mula tidak berasa kemudian agak pahit serta memiliki bau yang lemah.. Pegagan dapat
tumbuh dengan baik di wilayah subtropis dan tropis yang tersebar cukup luas dari dataran
rendah sampai ketinggian
2.500 m di atas permukaan laut dengan sinar matahari yang cukup.
6.2. Saran
Saran dari penulis adalah perlunya masyarakat Indonesia untuk membudidayakan C.
asiatica lebih luas lagi supaya ia tidak hanya sekadar menjadi tanaman liar sehingga dapat
dimanfaatkan secara lebih luas lagi oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, perlunya
penelitian lebih lanjut di Indonesia mengenai aktivitas-aktivitas yang dimiliki oleh ekstrak
tanaman pegagan sehingga penggunaan tanaman pegagan sebagai obat tradisional dapat
lebih dikembangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adwiyah, R. (2013). Pengaruh ekstrak daun pegagan (Centella Asiatica (L.) Urban) terhadap
kadar antioksidan superoksida dismutase (SOD) dan glutation superoksida hidroksil (GSH) pada
ovarium mencit (Mus Musculus). Undergraduate thesis. Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim.
Arumugam, T., Ayyanar, M., Pillai, Y.J.K., & Sekar, T. (2011). Phytochemical screening and
antibacterial activity of leaf and callus extracts of Centella asiatica. Bangladesh J Pharmacol, 5,
55-60. Doi: 10.3329/bjp.v6i1.8555
Brinkhaus, B., Lindner, M., Schuppan, D., & Hahn, E. G. (2000). Chemical, pharmacological
And clinical profile of the east asian medical plant Centella Asiatica. Journal Phytomedicine,
7(5), 427–448. Doi: doi.org/10.1016/S0944-7113(00)80065-3
Cheng, C. L., & Koo, M. W. (2000). Effects of Centella asiatica on ethanol induced gastric
mucosal lesions in rats. Life sciences, 67(21), 2647–2653. Doi: https://doi.org/10.1016/s0024-
3205(00)00848-1
Chowdhary, A., Chaturvedi, P., & Memon, R. (2014). Stigmasterol variation in a medhya rasayan
plant (Centella asiatica L.: Apiaceae) Collected from Different Regions. Indian Drugs, 51(3),
44- 49.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1977). Materia medika Indonesia jilid I. Jakarta:
Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan.
Evans, W.C. (2009). Trease and evans pharmacognosy (16th ed.). USA: Elsevier Limited.
Gray, N.E., Alcazar Magana, A., & Lak, P. (2018). Centella asiatica: phytochemistry and
mechanisms of neuroprotection and cognitive enhancement. Phytochem Rev, 17(1), 161–194.
Doi: doi.org/10.1007/s11101-017-9528-y
Idris, F.N., & Nadzir, M.M. (2017). Antimicrobial activity of Centella asiatica on Aspergillus
niger and Bacillus subtilis. Chemical Engineering Transaction, 56, 1381-1386.
Januwati, M & Yusron, M. (2005). Budidaya tanaman pegagan. Bogor: Balai Penelitian Tanaman
Obat dan Aromatika.
James, J. & Dubery, I. (2011). Identification and quantification of triterpenoid centelloids in
Centella asiatica (L.) Urban by densitometric TLC. JPC - Journal of Planar Chromatography -
Modern TLC, 24, 82-87. Doi: 10.1556/JPC.24.2011.1.16.
Joshi, et al. (2006). Chemical composition of the essential oil of Centella asiatica (L.) Urb. from
Western Himalaya. Natural Product Communications, 2(5), 587-590.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Farmakope herbal Indonesia (2nd ed.).
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Latif, I.N.Y. (2016). Isolasi dan identifikasi senyawa flavonoid dalam daun tumbuhan pegagan.
Skripsi S-1 Pendidikan Kimia. Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo.
Lee, M.K., Kim, S.R., Sung, S.H., Lim, D., Kim, H., Choi, H., Park, H.K., Je, S., & Ki, Y.C.
(2000). Asiatic acid derivatives protect cultured cortical neurons from glutamate-induced
excitotoxicity. Research communications in molecular pathology and pharmacology, 108(1-2),
75–86.
Mariska, E., Sitorus, T.D., & Rachman, J.A. (2015). Effect of Centella asiatica leaves on gastric
ulcer in rats. Althea Medical Journal, 2(1), 114-118. Doi: 10.15850/amj.v2n1.444
Maruzy, A., Budiarti, M., & Subositi, D. (2020). Autentikasi Centella asiatica (L.) Urb.
(Pegagan) dan adulterannya berdasarkan karakter makroskopis, mikroskopis, dan profil kimia.
Jurnal Kefarmasian Indonesia, 10(1), 19–30. https://doi.org/10.22435/jki.v10i1.1830
Matsuda, H., Morikawa, T., Ueda, H., & Yoshikawa, M. (2001). Medicinal foodstuffs. XXVII.
(1) saponin constituents of gotu kola (2): structures of new ursane- and oleanane-type triterpene
oligoglycosides, centellasaponins B, C, and D, from Centella asiatica cultivated in Sri Lanka.
Chemical and Pharmaceutical Bulletin, 49(10), 1368-1371. Doi:10.1248/cpb.49.1368
Monton C., Settharaksa S., Luprasong C., & Songsak T. (2019). An optimization approach of
dynamic maceration of Centella asiatica to obtain the highest content of four centelloids by
response surface methodology. Braz. J. Pharmacogn, 29(2), 254–261. Doi:
10.1016/j.bjp.2019.01.001.
Ogunka-Nnoka, C.U., Igwe, F.U., Agwu, J., Peter, O.J., & Wolugbom, P.H. (2020). Nutrient and
phytochemical composition of Centella asiatica leaves. Med Aromat Plants (Los Angeles), 9(2),
1-7. Doi: 10.35248/2167-0412.20.9.346
Pittella, F., Dutra, R. C., Junior, D. D., Lopes, M. T., & Barbosa, N. R. (2009). Antioxidant and
cytotoxic activities of Centella asiatica (L) Urb. International Journal of Molecular Sciences,
10(9), 3713–3721. Doi: https://doi.org/10.3390/ijms10093713
Priyantiningrum, A.K., Kuswati, & Handayani, E.S. (2015). Pengaruh ekstrak etanol Centella
asiatica terhadap jumlah sel neuron di korteks prefrontalis tikus yang diberi perlakuan stres.
Jurnal Kedokterandan Kesehatan Indonesia, 6(4), 198-207.
Doi: https://doi.org/10.20885/JKKI.Vol6.Iss4.art5
Puspitasari, D. (2018). Pengaruh metode perebusan terhadap uji fitokimia daun mangrove
Excoecaria agallocha. Jurnal Penelitian Pendidikan Sosial Humaniora. 3(2), 423-428. Retrieved
from https://media.neliti.com/media/publications/288165-pengaruh-metode-perebusan-terhadap-
uji-f-3dd0108c.pd
Ranjan, R. & Kumar, M. (2020). Qualitative and quantitative analysis of phytochemicals in leaf
extracts of Centella asiatica L. IOSR Journal of Pharmacy and Biological Sciences, 15(5),
27-39. Doi: 10.9790/3008-1505062739
Ratz-Łyko, A., Arct, J., & Pytkowska, K. (2016). moisturizing and antiinflammatory properties
of cosmetic formulations containing Centella asiatica extract. Indian journal of pharmaceutical
sciences, 78(1), 27–33. Doi: https://doi.org/10.4103/0250-474x.180247
Reynaldi, M. & Mandariska, R.P. (2016). Daun pegagan mencegah pikun [Online]. Retrieved
from https://fkkmk.ugm.ac.id/daun-pegagan-mencegah-pikun/
Rosen, H., Blumenthal, A., & McCallum, J. (1967). Effect of asiaticoside on wound healing in
the rat. Society for Experimental Biology and Medicine (New York, N.Y.), 125(1), 279–280. Doi:
https://doi.org/10.3181/00379727-125-32070
Somboonwong, J., Kankaisre, M., Tantisira, B., & Tantisira, M. H. (2012). Wound healing
activities of different extracts of Centella asiatica in incision and burn wound models: an
experimental animal study. BMC Complementary and Alternative Medicine, 12, 103. Doi:
https://doi.org/10.1186/1472-6882-12-103
Somchit, M. N., Sulaiman, M. R., Zuraini, A., Samsuddin, L., Somchit, N., Israf, D. A., & Moin,
S. (2004). Antinociceptive and antiinflammatory effects of Centella asiatica. Indian Journal of
Pharmacology, 36(6), 377.
Susetyarini, E., Latifa, R., Wahyono, P., & Nurrohman, E. (2020). Atlas morfologi dan anatomi
pegagan (Centella asiatica (L.) Urban.) dilengkapi dengan pengamatan scanning electrone
microscope (SEM). Diakses
dari
https://eprints.umm.ac.id/71256/24/Susetyarini%20Latifa%20Wahyono%20Nurrohman%20-
%20Atlas%20Morfologi%20Dan%20Anatomi%20Pegagan.pdf
Sutardi, S. (2017). Kandungan bahan aktif tanaman pegagan dan khasiatnya untuk meningkatkan
sistem imun tubuh. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, 35(3), 121.
https://doi.org/10.21082/jp3.v35n3.2016.p121-130
Syarif, P., Suryotomo, B., & Soeprapto, H. (2011). Deskripsi dan manfaat tanaman obat di
pedesaan sebagai upaya pemberdayaan apotik hidup (studi kasus di Kecamatan Wonokerto).
Pena Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 21(1), 20-32. Doi:
http://dx.doi.org/10.31941/jurnalpena.v21i1.49
Tisserand, R. & Young, R. (2014). Essential oil safety a guide for health care professionals (2nd
ed.). Edinburgh: Churchill Livingstone Elsevier.
Utami, C.V., Pitinidhipat, N., & Yasurin, P. (2012). Antibacterial activity of Chrysanthemum
indicum, Centella asiatica, and Andrographis paniculata on Bacillus cereus and Listeria
monocytogenes under low pH Stress. Journal KMITL Sci, 12(1), 49-54.
Winarto, W.P., & Surbakti, M. (2003). Khasiat dan manfaat pegagan: tanaman penambah daya
ingat. Jakarta: Agromedia Pustaka.
LAMPIRAN