Anda di halaman 1dari 16

1.

Game online menjadi tren baru yang banyak diminati karena seseorang tidak lagi
bermain sendirian (single), tetapi memungkinkan bermain bersama puluhan orang sekali-
gus dari berbagai lokasi (multiplayer). Pada jaringan komputer yang berdekatan (Lokal
Area Network). Kini pemain game sudah dapat bermain dengan pemain-pemain lain dari
tempat yang berbeda, bahkan antar bangsa dan antar negara. Berbagai game yang tersam-
bung dengan jaringan internet (online games) ini ternyata lebih banyak diminati dan
mempunyai penggemar luar biasa banyak. Jika kita melihat di tempat-tempat persewaan
game (game centre), maka kita akan menemukan tempat-tempat yang tidak pernah sepi,
siang ataupun malam dari para penggemar game. Bahkan pada jam-jam tertentu terdapat
banyak user yang rela mengantri.
Game online ini memberikan nuansa baru dimana interaksi sosial dengan orang lain se-
makin intensif, yang dibarengi dengan keasikan bermain game. Seiring dengan pesatnya
perkembangan teknologi internet, game online juga mengalami perkembangan yang pe-
sat. Terlihat dari munculnya berbagai jenis permainan online seperti Word Of Warcraft,
Ragnarok Online, Risk Your Life, dan GunBond.
Perkembangan teknologi informasi menyebabkan masuknya budaya- budaya baru den-
gan nilai-nilai dan norma-norma baru memberikan pillihan lebih banyak bagi para remaja
dalam berinteraksi sosial (bergaul). Terutama di perkotaan yang mengalami perkemban-
gan lebih cepat akibat globalisasi. Remaja perkotaan lebih rentan terhadap permasalahan-
permasalahan remaja. Mereka seakan dituntut untuk mengikuti tren, jika tidak mau
dikatakan kuno atau ketinggalan jaman. Kehadiran video game di tengah-tengah laju
teknologi telah membawa pengaruh besar terhadap perkembangan pribadi dan adaptasi
remaja, bahkan tidak sedikit remaja yang berubah menjadi pecandu game sehingga lupa
pada jati diri mereka yang sesungguhnya. Waktu yang semestinya dipergunakan untuk
bermain dengan teman sebaya atau belajar, telah disita demi bisa duduk berlama-lama
untuk bermain game. Banyak anak-anak yang gemar bermain game mengalami penu-
runan prestasi, mengalami masalah dengan kepribadiannya, menderita penyakit, dan
bahkan terjerumus untuk melakukan tindak kriminal.
Fenomena maraknya game online juga bisa dilihat dengan maraknya warung internet
(warnet) yang melengkapi fasilitas game online dalam tiap komputer yang mereka sedi-
akan yang ada di kota-kota besar. Hanya dengan membayar biaya yang relatife murah,
yaitu sebesar Rp. 2.000 per jamnya seorang individu betah menghabiskan waktu berjam-
jam terlibat dalam kesenangannya bermain game online.
Seorang pecandu game dari belanda bernama Tim mengaku tidak mempunyai seorang
kawan pun akibat menghabiskan waktunya untuk bermain playstation. Hubungan
dengan keluarga juga berantakan. Ia hidup di dalam sebuah kamar yang dilengkapi
dengan 4 buah televise, mesin console X-Box 360, playstation 2, X-Box 1, dan sebuah
leptop untuk bermain game online. Ia hidup sebagai pecandu game selama 17 tahun dan
hanya memiliki teman-teman di dunia maya2.
Ketergantungan game online yang dialami pada masa remaja, menyebabkan adanya sifat-
sifat yang berhubungan dengan ketidakmampuannya dalam mengatur emosi dan
perasaan. Dalam hal ini memicu individu untuk melakukan hal-hal yang negatif seperti
pemarah, periang, malu, pemalas, pembohong, dan lain sebagainya. Akibatnya mempen-
garuhi aspek sosial remaja dalam menjalani kehidupan sehari-hari, karena banyaknya
waktu yang dihabiskan di dunia maya mengakibatkan remaja kurang berinteraksi dengan
orang lain dalam dunia nyata. Hal ini tentunya mempengaruhi kegiatan sosial yang biasa
dilakukan oleh kebanyakan orang lain.
Seiring perkembangan game, akan membawa pengaruh terhadap pengguna game. Game
online memberikan kepuasan dan penghormatan dari orang lain yang mungkin tidak di-
dapatkan oleh para pemain di dunia nyata. Game online akan membuat para pemain jadi
kecanduan. Karena para gamers mampu duduk berlama-lama demi game online dan
bertahan disana tanpa menginginkan suatu gangguan yang mampu mengganggu konsen-
trasinya dalam bermain game online tersebut. Walaupun terwujud dalam bentuk yang da-
pat bernilai positif ataupun negatif.
Maraknya game online di Indonesia membuat fenomena baru di kalangan penggemar
game dari berprilaku agresif yang hidupnya kacau, hingga anak sekolah atau anak kuliah
yang tidak lulus. Bermain game mempunyai dua sisi yaitu negatif dan positif. Game on-
line ini berbahaya karena ketergantungan pada aktivitas pemain game. Banyak remaja
yang menyisihkan uang jajan mereka demi bisa bermain game online. Ketergantungan
pada aktivitas gamers pada game akan mengurangi aktivitas yang seharusnya dijalani
oleh perkembangan anak untuk bermain dengan teman mereka.
Remaja yang mengalami ketergantungan pada aktivitas game akan mengurangi waktu be-
lajar dan waktu bersosialisasi dengan teman sebaya mereka. Jika ini berlangsung terus-
menerus dalam waktu lama, diperkirakan remaja akan menarik diri pada pergaulan
sosial, tidak peka dengan lingkungan, bahkan bisa membentuk kepribadian asosial, di-
mana anak tidak mempunyai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Re-
maja dalam perkembangan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola peri-
laku. Masa remaja penuh dengan masalah-masalah karena ketidakstabilan emosi.
Dengan intensitas tertentu game dapat mempengaruhi mental anak terutama persepsinya
terhadap lingkungan. Misalnya berkata-kata kasar, perilaku agresif, pandangan social
karena meniru karakter yang ditampilkan pada game. Hal itu pada dasarnya karena pada
taraf perkembangan anak-anak dalam pembelajaran melakukan imitasi atau peniruan.
Peneliti di Amerika game genre kekerasan ini memiliki korelasi terhadap tindakan kek-
erasan. Saat memainkan game jenis ini pemain akan ikut berpatisipasi dan secara mental
akan memengaruhi cara berpikir. Kasus kekerasan yang dilakukakn oleh gamers genre
kekerasan ini sempat menggegerkan public seperti kasus yang terjadi di Amerika pada
tahun 2003 lalu, seorang remaja yang masih berusia 18 bernama Devin Moore nekat mere-
but senjata api dari polisi yang menahannya karena kasus pencurian kendaraan. Akibat-
nya tiga polisi tewas seketika, ia mengklaim dirinya terinspirasi dari game Grand Theft
Auto III.3
Situasi seperti ini memiliki masalah terhadap dinamika kehidupan manusia terutama re-
maja. Saat ini remaja sedang berada pada masa mencari jati diri. Remaja adalah mereka
yang sedang mengalami perubahan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Perubahan
tersebut mencakup perubahan fisik dan perubahan emosional yang kemudian akan tercer-
min dari sikap dan tingkah laku. Situasi kehidupan dewasa ini sudah semakin kompleks.
Kompleksitas kehidupan seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, se-
bagian demi sebagian akan bergeser atau bahkan mungkin hilang sama sekali karena di-
gantikan oleh pola kehidupan yang baru. Kecenderungan yang muncul dewasa ini, ditun-
jang oleh laju perkembangan tekhnologi dan arus kehidupan global yang sulit atau tidak
mungkin dibendung, mengisyaratkan bahwa manusia akan semakin didesak kearah ke-
hidupan yang sangat kompetitif. Andersen memprediksi situasi kehidupan semacam ini
dapat menyebabkan manusia menjadi serba bingung atau bahkan larut ke dalam situasi
baru tanpa dapat menyeleksi lagi jika tidak memiliki ketahanan hidup yang memadai. Hal
ini disebabkan tata nilai lama yang telah mapan ditantang oleh nilai-nilai baru yang belum
banyak di pahami.4
Game memberikan kenyataan dimana para pemainnya memiliki dua dunia yang berbeda
yaitu dunia offline dan dunia online. Dunia offline yaitu ketika orang berada di lingkun-
gan seperti lingkungan kampung, sekolah, keluarga, pasar, jalan raya yang nyata, sedan-
gkan dunia online adalah ketika orang berada di depan pesawat komputer yang tersam-
bung dengan jaringan internet – dimana dengan jaringan komputer tersebut mereka
berinteraksi dengan teman-teman virtual-nya. Kenyataan yang terjadi didunia internet
tersebut membuat semakin kompleknya kajian yang dihadapi oleh ilmuan sosial, karena
ada dua macam konteks kenyataan yaitu kehidupan sehari-hari dan ruang vitual yang
mempunyai efek yang nyata dalam kehidupan sehari- hari.
Bermain game online, game masuk dalam dunia-dunia fantasi yang mungkin saja berbeda
jauh dengan dunia nyata. Mereka dapat memilih peran- peran sosialnya sendiri yang
mereka gunakan dalam berbagai interaksi di dunianya (dunia maya). Dunia di dalam se-
buah game online bisa menjadi sebuah alam mimpi (fantasi) yang kita dapat bergerak
sesuai kemampuan kita. Dunia yang mempunyai aturan-aturan mereka sendiri dalam
menjalani interaksi dengan orang lain. Pada umumnya memang aturan-aturan di dalam
dunia game tersebut didasarkan pada tujuan kesenangan bersama. Tidak mengherankan
jika banyak yang lebih senang berada di dunia game online dari pada dunia offline-nya
sendiri.
Mereka yang kecanduan bermain game selalu terdorong untuk bermain dan bermain lagi.
Mereka bahkan rela mengorbankan berbagai hal seperti waktu dan uang yang tidak
sedikit. Berada di depan komputer berjam-jam, tidak mengenal waktu, siang ataupun
malam. Bahkan remja yang kecanduan bermain game sering membolos dari sekolahnya
agar bisa melanjutkan petualangannya di dunia maya. Game juga menimbulkan efek yang
tidak baik bagi kesehatan. Bahkan bermain game juga dapat menyebabkan kematian.
Seperti yang terjadi di Korea tahun 2005, ditemukan beberapa kasus orang meninggal
dikarenakan terlalu lama duduk di depan komputer, setelah bermain game. Kenyataan-
kenyataan yang terjadi di dalam dunia game online tidak bisa dilepaskan dari dunia nyata
karena fenomena game online sendiri mempunyai hubungan erat dengan kenyataan-
kenyataan di dunia nyata. Keasikan bermain game ataupun kesibukan-kesibukan dalam
dunia online sering kali mengabaikan kegiatan-kegiatan di dunia nyatanya sendiri. Apa-
bila kehadiran game online ini tidak ditanggapi secara serius, dikhawatirkan akan menim-
bulkan berbagai masalah baru dalam kehidupan dunia nyata di kemudian hari.
Fenomena game online yang sampai saat ini belum banyak dibahas di Indonesia dapat
menjadi sebuah bahaya bagi para remaja khususnya mahasiswa. Mahasiswa yang umum-
nya bertempat tinggal di daerah perkotaan ini lebih rentan terhadap bahaya kecanduan
game ini. Ditambah lagi mahasiswa ini kebanyakan adalah urbanis-urbanis dengan gejo-
lak muda dan jauh dari pengawasan keluarga. Memang mahasiswa yang telah masuk
masa remaja akhir ini lebih mendapat kebebasan dalam menentukan sebagai aktifitas
dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja banyak alasan yang mendasari mengapa para re-
maja mau berlama-lama duduk didepan komputer, lebih menyukai menjalani kehidupan
dalam dunia nyata maya mereka dari pada dunia nyatanya sendiri. Karena banyaknya
waktu yang tersita untuk bermain game online.
Bangsa manapun di dunia ini, suatu saat akan menyerahkan kemudi bangsanya pada gen-
erasi mudanya yang ada sekarang. Remaja adalah harapan bangsa, sehingga tidak berlebi-
han jika dikatakan masa depan bangsa yang akan datang ditentukan pada keadaan remaja
saat ini. Oleh karna itu, pembentukan generasi muda yang baik merupakan suatu upaya
untuk menjadikan suatu bangsa yang lebih baik di masa depan. Upaya membentuk gen-
erasi muda yang siap di masa depan seakan-akan terasa berat mengingat generasi muda
atau bisa juga di kenal dengan istilah remaja ini selalu mempunyai berbagai masalah yang
sering kali menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

dapus : Ayu Rini. 2011. Menanggulangi Kecanduan Game On-Line Pada Anak. Jakarta:
Pustaka Mina.
2. Rumor yang beredar di masyarakat kurang-lebih merefleksikan bagaimana pemerintah
mengantisipasi kekhawatiran publik terkait COVID-19. Komunikasi publik pemerintah
belum efektif dalam sosialisasi upaya pemantauan, perkembangan terbaru, maupun up-
aya pencegahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Padahal, keterbukaan informasi
adalah kunci dalam membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah dan menekan
risiko terjadinya misinformasi dan kekacauan di masyarakat. Dalam kasus gawat darurat
dan epidemi, media berperan penting sebagai penyambung lidah antara pemerintah
ataupun tenaga kesehatan dengan masyarakat dengan melaporkan berita terbaru dan in-
formasi penting terkait penanganan maupun pencegahan yang dapat dilakukan di tingkat
individu. Tidak kalah penting, media juga berperan sebagai faktor pemungkin (enabling
factor) untuk mendorong kebijakan berwawasan kesehatan dan perubahan perilaku
masyarakat lewat informasi dan ajakan promosi kesehatan.
Kebijakan media dalam memutuskan berita yang layak dipublikasikan juga berkontribusi
membentuk perbincangan publik. Media dapat mengarahkan terhadap hal-hal apa saja
yang sepatutnya menjadi perhatian bersama. CISDI memonitor lebih dari 150 berita yang
ditulis oleh media konvensional dan digital terkait perkembangan virus Korona dalam ku-
run waktu sebulan terakhir. Beberapa perspektif berita yang tampaknya digemari
masyarakat di antaranya terkait pernyataan pemerintah yang berupaya meredam
kepanikan masyarakat. Berikut adalah beberapa poin amatan saya menyoal pemberitaan
COVID-19 oleh media.
Menangkis Misinformasi
Literasi digital masyarakat Indonesia yang masih rendah, khususnya dalam penggunaan
media sosial, dapat memperburuk penyebaran rumor yang tidak bisa dipertanggung
jawabkan. Salah satu misinformasi yang beredar melalui media sosial adalah smartphone
yang diimpor dari Tiongkok dapat menularkan virus Corona. Untungnya beberapa media
di Indonesia, seperti Tempo, Detik, dan CNBC, kemudian meluruskan rumor hoaks terse-
but. Kita juga patut mengapresiasi ulasan-ulasan informasi komprehensif dan tajam
seperti Kompas dan Tirto sebagai sumber informasi yang dapat diandalkan manakala infor-
masi dari pemerintah kurang jelas. Di Tiongkok sendiri, sebagai upaya untuk meredam
potensi kemunculan rumor dan misinformasi, WHO telah bermitra dengan Twitter, Face-
book hingga TikTok.
Stigma dan diskriminasi
Media dapat berperan penting dalam membentuk stigma dan mengubah persepsi
masyarakat serta mengedukasi bagaimana memandang suatu permasalahan maupun
pasien terdampak. Hal ini terjadi ketika beberapa media Barat memotret virus ini dengan
nada menyudutkan dan menstigma penduduk Tiongkok. Di halaman utama koran lokal
Prancis menuliskan “Yellow Alert” sebagai judul besar. Majalah Der Spiegel di Jerman juga
menggambarkan seorang pria Asia dengan masker berjudul “Made in China: When global-
ization becomes a deadline danger.” Hal ini berdampak pada diskriminasi terhadap pen-
duduk Tiongkok ataupun warga keturunan Tionghoa di berbagai belahan bumi. Penyebu-
tan nama wabah sebagai virus Wuhan oleh media juga turut menebalkan stigma terhadap
etnis Tionghoa. Stigma ini yang membuat WHO segera merespon dengan senetral
mungkin memberi nama penyakit tersebut COVID-2019, tidak seperti MERS (Middle East
Respiratory Syndrome) yang mencantumkan nama regional. Untuk itu, penting bagi media
untuk menggunakan bahasa yang lebih manusiawi dan berempati dalam memberitakan
kasus ini.
Perspektif pemberitaan
Hampir semua media membicarakan soal virus Corona setiap hari. Yang kurang terberi-
takan dalam pemberitaan lokal adalah penyebaran virus ini yang berdampak luas secara
global, di mana kelemahan satu negara dapat berdampak ke negara lain. Tekanan untuk
masyarakat dan pemerintah masih kurang terasa. Beberapa media di negara lain lebih
banyak memberikan informasi dan perspektif yang berbeda dalam pemberitaan virus
Corona, contohnya soal memanusiakan korban dan adanya skema pembiayaan kasus
darurat. Sementara media lokal masih lebih banyak mengulas informasi dasar soal jumlah
penderita, bahkan cinta lokasi yang terjadi antar WNI yang dikarantina. Sayangnya, me-
dia lokal pun kerap menekankan pada pendapat-pendapat pejabat yang “nyeleneh” atau
click-bait dibanding menyajikan fakta-fakta dan informasi penting yang dikelu-
arkan. Pembahasan yang masih minim adalah pentingnya komunikasi risiko dalam situ-
asi seperti ini. Komunikasi risiko mengacu pada pertukaran informasi faktual, rekomen-
dasi dan opini antar ahli dan masyarakat yang menghadapi ancaman kesehatan, ekonomi
maupun kesejahteraan sosial.
Tujuan utama dari komunikasi risiko adalah untuk memastikan orang yang berisiko
memperoleh informasi yang tepat sehingga memungkinkan mereka mengambil keputu-
san yang dapat melindungi diri dan orang sekitarnya. Komunikasi risiko melibatkan
berbagai elemen medium komunikasi massa seperti media dan media sosial, serta komu-
nitas yang membutuhkan identifikasi dini serta manajemen rumor dan misinformasi. Pe-
merintah telah memiliki pusat komunikasi dan informasi yang berpusat di Kantor Staf
Presiden. Namun nampaknya belum ada strategi komunikasi risiko yang efektif dengan
pelibatan berbagai sektor. Media memegang peranan krusial dalam melakukan komu-
nikasi risiko. Sayangnya, pemerintah belum secara efektif memberikan informasi secara je-
las dan rutin kepada media untuk disampaikan ke masyarakat, sehingga berita dan infor-
masi yang didapatkan oleh masyarakat menjadi simpang siur. Sebuah survey menemukan
72 persen responden di Indonesia menganggap COVID-19 sebagai ancaman besar untuk
kesehatan masyarakat, meski Indonesia belum memiliki kasus terkonfirmasi. Kepanikan
di masyarakat tergambar melalui fenomena habisnya stok masker dan melambungnya
harga beberapa waktu lalu. Komunikasi risiko juga berarti memanusiakan kesengsaraan
orang dan menghindari komunikasi yang menyudutkan, mendiskriminasi dan mencip-
takan stigma. Dalam manajemen epidemi dan kasus gawat darurat, media dapat mem-
bantu mewujudkan pemberitaan dan persepsi masyarakat yang lebih baik untuk dapat
meminimalisir dampak buruk serta melakukan manajemen dan distribusi informasi den-
gan lebih cermat. Dalam kasus COVID-19 ini, peran media sangat krusial untuk terus
menekan pemerintah melakukan upaya-upaya optimal dalam deteksi, pemantauan dan
manajemen penanganan kasus secara keseluruhan. Pemerintah sejauh ini terlihat lambat
dalam merespon dan terkesan menggampangkan hingga akhirnya memberikan komentar-
komentar tidak perlu. Ketimbang menadah komentar-komentar rak perlu itu, media da-
pat menjadi wadah aspirasi masyarakat dalam menuntut pemerintah bekerja lebih baik
lagi. Karena pencegahan dan penanganan penyakit menular untuk 260 juta jiwa tidak bisa
dilakukan hanya dengan memanjatkan doa saja.

dapus: https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/107769900408100209?
casa_token=eSctI63JIFkAAAAA:7t9XLkZxcJO4KbMMBDotn3bK_yKLRTXOmkElSvtt5J4X
57YrQmeyIq_qa88LJ7sL_V17Tsqp68-V2w
3. Berdasarkan hasil dari penelitian-penelitian mengenai fenomena media sosial tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa media sosial dapat menyebabkan kecanduan atau keter-
gantungan yang berlebih dan sulit untuk ditinggalkan oleh penggunanya.
Pada penelitian ini sampel penelitian yang dipilih adalah siswa dan siswi SMA/SMK atau
sederajat, yang mana sedang dalam perkembangan masa remaja. Berdasarkan hasil
pengamatan dari fenomena-fenomena yang terjadi, remaja saat ini sangat ketergantungan
atau kecanduan terhadap media sosial. Tidak sedikit dari remaja begitu identik dengan
smartphone yang hampir 24 jam berada pada genggaman tangan dan sangat sibuk berse-
lancar di dunia online yang seolah-olah tidak pernah berhenti. Berdasarkan fenomena ini,
Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN) bersama Yahoo! melakukan riset mengenai penggu-
naan internet di kalangan remaja, yang hasilnya menunjukkan kalangan remaja usia 15-19
tahun mendominasi pengguna internet di Indonesia sebanyak 64% (Hanafebria, 2014).
Berdasarkan hasil riset tersebut dapat disimpulkan bahwa media sosial online sangat
menarik perhatian terutama kalangan remaja.
Pada masa remaja terdapat masa negatif yaitu masa dimana remaja bersikap anti terhadap
kehidupan. Salah satu gejala yang mencirikan masa negatif pada remaja adalah rendah-
nya rasa percaya diri pada dirinya sendiri (lack of confidence). Kepercayaan diri ini dapat
disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya perubahan fisiknya (Sri Rumini & Siti Sun-
dari, 2004: 60-61).
Menurut Lauster (2002:4) kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau keyakinan atas
kemampuan diri sendiri sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas,
merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai keinginan dan tanggung jawab atas
perbuatannya, sopan dalam berinteraksi dengan orang lain,memiliki dorongan prestasi
serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Lauster menggambarkan
bahwa orang yang mempunyai kepercayaan diri memiliki ciri-ciri tidak mementingkan
diri sendiri (toleransi), tidak membutuhkan dorongan orang lain, optimis dan gembira.
Menurut Lauster (dalam Ghufron, 2014: 35) berpendapat bahwa kepercayaan diri yang
sangat berlebihan, bukanlah sifat yang positif. Pada umumnya akan menjadikan orang
tersebut kurang berhati-hati dan akan berbuat seenaknya sendiri. Hal ini menjadi tingkah
laku yang menyebabkan konflik dengan orang lain.
Media sosial online dapat mempengaruhi kepercayaan diri pengunanya dan juga dapat
mempengaruhi perasaan seseorang terutama wanita terhadap penampilannya. Meng-
habiskan waktu dimedia sosial dan memajang foto selfie membuat seseorang akan menu-
run rasa percaya dirinya terhadap bentuk tubuhnya. Foto selfie adalah jenis foto potret
diri yang diambil sendiri dengan menggunakan kamera digital maupun telepon kamera.
Seperti penelitian yang menghubungkan antara percaya diri dan media sosial yang per-
tama kali dilakukan di university of Strathcylde, Ohio University dan University of lowa
melakukan survey atas 881 pelajar di Amerika Serikat (Pikiran Rakyat, 2014). Berdasarkan
penelitian tersebut ditemukan hubungan antara waktu yang dihabiskan di media sosial
dengan perbandingan negatif mengenai kesan tubuh.
Sebuah studi menemukan bahwa situs jejaring sosial seperti twitter dan facebook mem-
buat penggunanya merasa cemas dan tidak percaya diri. Penelitian, yang dilakukan oleh
The Business School Salford di University of Salford, Manchester, menemukan bahwa 50%
lebih dari 298 responden yang ditanya merasa bahwa situs jaringan sosial telah
berdampak negatif pada pola perilaku responden (Viva News, 2012). Hasil dari penelitian
tersebut adalah responden menyatakan kepercayaan diri mereka menurun setelah mem-
bandingkan prestasinya dengan teman online-nya di jejaring sosial, sementara 60% men-
gaku bahwa jaringan sosial telah mengganggu pola tidurnya. Selain itu, lebih dari 50%
mengaku merasa 'khawatir atau tidak nyaman' apabila mereka tidak bisa mengakses
jaringan sosial mereka atau account email. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dike-
tahui bahwa media sosial mempengaruhi kepercayaan diri penggunanya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prayoga dan Akmal (2014) menyatakan adanya
keterkaitan antara kecemasan sosial dan ketergantungan media sosial, individu yang
memiliki kecemasan sosial akan menggunakan media sosial secara berlebihan untuk
mengatasi hambatan yang ada pada dirinya. Hasil penelitian tersebut (Prayoga &
Akmal, 2014) menunjukkan adanya dampak negatif ketergantungan media sosial ter-
hadap kehidupan sosial individu tersebut dalam hal fungsi interpersonalnya. Penelitian
lain yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kecemasan sosial dengan keter-
gantungan media sosial, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Soliha (2015) yang
menyatakan bahwa kecemasan sosial, depresi, dan rasa kesepian secara signifikan
berpengaruh terhadap timbulnya ketergantungan pada media sosial. Pada mahasiswa
yang menjadi subjek dalam penelitian ini ditemukan bahwa mereka yang mengalami
kecemasan sosial secara lisan merasa sangat cemas jika berkomunikasi dan bertatap
muka secara langsung, yang akibatnya adalah mereka bergantung kepada media ko-
munikasi yang dapat dilakukan secara tulisan dalam hal ini yaitu media sosial. Hal ini
mengindikasikan bahwa dengan melalui komunikasi secara online membuat individu
tersebut merasa didengarkan, mereka juga merasa lebih mudah dalam mengekspre-
sikan dirinya. Situasi ini juga
yang membuat penggunaan media sosial mengalami peningkatan secara pesat dan
signifikan belakangan ini. Mahasiswa dengan kecemasan sosial cenderung melakukan
komunikasi secara
online dengan mempresentasikan dan mencitrakan dirinya sebaik mungkin agar menda-
patkan kesan dan citra yang positif dari pihak lain, bahkan terkadang kesan yang dita-
mpilkan tidak sesuai dengan diri aslinya. Kondisi ini membuat mahasiswa yang memi-
liki kecemasan sosial semakin mengalami ketergantungan media sosial. Mahasiswa den-
gan ketergantungan pada media sosial selain kurang memiliki kontrol dalam penggu-
naan media sosial-nya, berakibat juga pada berkurangnya interaksi langsung secara
tatap muka, selain karena disebabkan oleh kurangnya interaksi secara langsung terda-
pat sebab lain yang memengaruhi ketergantungan media sosial, yaitu kesulitan waktu
maha-siswa untuk berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan.

dapus : Soliha, S. F. (2015). Tingkat ketergantungan pengguna media sosial dan kece-
masan sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi, 4(1), 1–10. /doi.org/10.14710/INTERAKSI,4,1,1-
10
4. Secara umum audiens didefinisikan sebagai pengguna media. Namun dalam perkem-
bangannya pemaknaan audiens berubah seiring dengan makin beragamnya pemanfaatan
media untuk berbagai tujuan; tidak hanya untuk penyebaran informasi, tetapi juga kam-
panye politik dan pemasaran produk. Virginia Nightingale memetakan empat posisi audi-
ens berdasarkan hubungannya dengan media, yaitu publik, pasar, komunitas dan fans
(Nightingale, 2004). Audiens dipandang sebagai publik ketika komunikator melihat audi-
ens memiliki beragam kepentingan politik. Sedangkan audiens dipandang sebagai target
pasar ketika mereka menjadi sasaran iklan produk yang ada di media. Ketika audiens dili-
hat sebagai bagian dari budaya yang mengekspresikan identitasnya melalui teks media,
maka mereka disebut sebagai komunitas. Terakhir, kata fans berasal dari asal kata ‚fana-
tik‘ yang artinya seseorang yang sikap dan perilakunya sangat dipengaruhi oleh orang
lain yang menjadi idolanya (Sullivan, 2013).
Jika dirunut dari sejarah perkem- bangan teknologi komunikasi, Abercrombie &
Longhurst (1998) membagi audiens dalam dalam tiga tahap: simple audience, mass audience
dan diffusion audience. Simple audience atau audience sederhana adalah audience dalam ko-
munikasi langsung (face to face communication) seperti audience dalam pertunjukan konser
atau opera. Kajian ini paling banyak dilakukan pada saat teknologi media belum banyak
digunakan masyarakat pada abad 19. Mass audience ditujukan pada audience yang mem-
baca surat kabar, mendengarkan radio dan menonton televisi. Dalam perkembangan be-
ragam teknologi media yang semakin pesat saat ini, audience cenderung mengakses lebih
dari satu media sekaligus dalam satu waktu yang disebut sebagai audience yang tersebar
(diffusion audience). Misalnya seseorang membaca surat kabar sambil menonton siaran
berita di televisi, atau browsing internet bersamaan dengan mendengarkan radio. Tradisi
penelitian tentang audiens mulai berkembang sejak tahun 1920-an, ketika media radio
diciptakan dan mulai digunakan secara massal. Beberapa ilmuwan mencoba
mengklasifikasikan tradisi penelitian audiens ini, seperti Jensen & Rosengren (1990),
Webster (1998) dan Marie Gillespie (2005). Jensen & Rosengren (1990) mengklasifikasikan
tradisi penelitian audiens menjadi lima, yaitu: penelitian efek media, uses & gratifications,
penelitian yang mengkritisi text media, cultural studies dan reception analysis.
Di sisi lain, James G Webster (1998) berpendapat bahwa relasi antara media-audience bisa
dilihat dalam tiga model dasar, yaitu audiens sebagai tujuan (audience as outcome), audiens
sebagai massa (audience as mass) dan audiens sebagai agen (audience as agen) (Webster,
1998). Pada model pertama, media memiliki peran kuat dalam mempengaruhi audiens,
sehingga termasuk dalam model ini adalah teori efek, propaganda, perubahan sikap dan
film theory. Pada model kedua, audiens dilihat sebagai kumpulan banyak orang,
anonim,dan tersebar luas dan tidak saling kenal satu sama lain. Studi yang termasuk
dalam kategori ini di antaranya rating dan komoditas audiens, perilaku massa dan media
events. Model terakhir, audiens sebagai agen, melihat audiens memiliki kebebasan
memilih media, juga menginterpretasikan isi media berdasarkan pengetahuan dan pen-
galamannya sendiri(Sullivan, 2013).
Selanjutnya, Marie Gillespie (2005) menyederhanakan pembagian tradisi relasi media-au-
diens ini menjadi dua, yaitu tradisi efek media (media effect tradition) dan tradisi
penggunaan serta interpretasi media (media use and interpretation). Penelitian dalam tradisi
pertama menekankan pada efek media terhadap audience. Dalam hal ini audience dianggap
pasif (passive audience). Sedangkan penelitian pada tradisi kedua menekankan peran aktif
audience (active audience) dalam memilih dan mengkonsumsi isi media serta aktif dalam
menginterpretasi isi media (Gillespie, 2005).
Ditinjau dari jenis tradisi penelitian di atas, penelitian audiens framing termasuk dalam
tradisi penelitian efek, yaitu efek dari media frames (Scheufele, 1999). Dennis McQuail
membagi penelitian efek media ini menjadi empat tahap, yaitu diawal abad 20 hingga
tahun 1930-an, tahun 1930-an hingga akhir 1960-an, dekade 1970-an, dan awal 1980-an
hingga saat ini (McQuail, 1994). Pada tahap pertama, yaitu pada masa Perang Dunia I,
penelitian didominasi pada strategi propaganda perang yang mengakibatkan munculnya
ketakutan terhadap kuatnya pengaruh media terhadap perilaku audiens. Tahap kedua,
penelitian cenderung kebalikan dari tahap pertama, yaitu perubahan perilaku publik
tidak disebabkan oleh pengaruh media melainkan oleh pengaruh orang lain. Klapper
(1960) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa pengaruh perilaku memilih seseorang
dalam pemilu tidak dipengaruhi oleh kampanye melalui media, tetapi oleh pengaruh
orang-orang di sekelilingnya (Klapper, 1960). Tahap ketiga dimulai pada awal tahun
1970an, ketika fokus penelitian tidak lagi pada perubahan perilaku audiens, namun pada
efek kognisi atau pengetahuan audiens. Tahap keempat adalah penelitian yang didomi-
nasi oleh term ‘konstruksi sosial’. Pada tahap ini hubungan antara media- audiens
bercampur antara efek kuat dan terbatas dari media. Pada satu sisi, media memiliki keku-
atan dalam mengkonstruksi realitas yang dituangkan dalam teks media. Namun di sisi
lain, audiens juga tidak semata-mata ‘menerima’ teks media sebagaimana adanya. Audi-
ens juga akan ‘mengkonstruk’ makna berdasarkan tidak hanya apa yang ada dalam teks
media, namun juga mempertimbangkan

nilai, keyakinan dan pengalaman yang dia miliki serta pengetahuan yang dia peroleh dari
kelompok referensi (Scheufele, 1999).

Audiens framing sebagai ranah kajian efek merupakan pengembangan dari kajian teori
framing itu sendiri. Di awal penelitian tentang framing tahun 1980-an, fokus penelitian
masih bertumpu pada media framing dalam kajian komunikasi politik dan opini publik.
Hingga pada akhir tahun 1990-an Dietram Scheufele melihat teori framing dalam pen-
dekatan yang lebih komprehensif, dengan tidak hanya menjelaskan teori framing dari dua
dimensi- media frames dan audiens frames – namun juga menjelaskan bagaimana kedua
dimensi tersebut berinteraksi sebagai variabel dependen dan independen (Scheufele,
1999). Bab ini akan menjelaskan tentang audiens framing, beberapa penelitian tentang au-
diens framing, serta beberapa model proses framing di media dan audiens. Selain itu bab
ini juga akan menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi proses terbentuknya
frames di benak audiens.

Teori Framing

Studi tentang framing dalam media dan komunikasi tiga dekade terakhir ini menjadi tren
di antara ilmuwan sosial. Menurut SSCI index dibawah kategori ‘ilmu komunikasi’, jum-
lah artikel yang memuat kata ‘frame’ atau ‘framing’ bertambah secara drastis. Pada tahun
1977 sampai 1991 jumlah artikel yang terindex kurang dari 10, kemudian meningkat men-
jadi 20 artikel pada tahun 1995 dan mencapai puncaknya pada tahun 2009 sejumlah 90 ar-
tikel (R. V. L. v. Zoonen, 2011). Konsep framing telah digunakan dalam bidang sosiologi
sejak pertengahan th 1950 oleh Bateson, dan pertama kali. dipopulerkan dalam studi ko-
munikasi oleh Goffman pada tahun 1974. Setelah artikel Entman berjudul ‘Framing as a
Fracture Paradigm’ yang dipublikasikan pada tahun 1993, penggunaan term ‘frame’ atau
‘framing’ menjadi semakin luas sejak saat itu (Kitzinger, 2007). Framing berarti proses
menseleksi dan memberi perhatian lebih pada suatu bagian peristiwa. Istilah frame dan
framing telah digunakan dalam beragam bidang seperti sosiologi, politik, linguistik,
psikologi dan seni murni (Kitzinger, 2007). Dalam bidang Sosiologi, Erving Goffman
(1974) mendefinisikan frame sebagai ‘schemata of interpretation’ atau ‘bagian yang menda-
pat perhatian lebih untuk diinterpretasi’. Dalam proses ini individu menentukan, mem-
persepsi, mengidentifikasi dan memberi label pada suatu peristiwa atau
informasi(Kosicki, 1993). Dalam bidang Psikologi, istilah framing berhubungan dengan
proses kognitif individu dalam memproses informasi. Sedangkan di bidang politik, Ent-
man mendefinisikan framing sebagai ‘opini publik’ dimana dalam proses demokrasi, fram-
ing ini dikontrol oleh elit politik (Entman, 1993).

Proses framing pada intinya adalah menseleksi dan menonjolkan suatu fakta. Robert Ent-
man (1993) mendefinisikan framing adalah menseleksi beberapa aspek dari realitas yang
ada dan membuatnya menjadi lebih menonjol ketika dikomunikasikan kedalam teks (Ent-
man, 1993). Tahapan dalam proses framing adalah: menentukan masalah, mendiagnosa se-
bab timbulnya masalah, membuat penilaian moral dan menawarkan solusi terhadap
masalah tersebut. Proses framing ini terjadi pada unsur-unsur komunikasi; seperti komu-
nikator, teks, audiens dan budaya. Komunikator yang memutuskan framing dari suatu is-
sues. Issue tersebut kemudian dituangkan ke dalam teks berita, yang menampilkan atau
tidak menampilkan suatu fakta, diberi istilah, imej stereotipe, sumber informasi dan juga
kalimat- kalimat yang dibuat untuk menonjolkan fakta atau penilaian terhadap suatu is-
sue. Frame yang ada dalam media teks kemudian menggiring pemikiran dan kesimpulan
audiens terhadap suatu issue, atau bahkan tidak merefleksikan frame di dalam teks atau
frame yang diinginkan komunikator. Terakhir adalah konteks latar belakang budaya yang
mempengaruhi komunikator dan audiens dalam melakukan proses framing (Entman,
1993).

Dari penjelasan diatas tampak bahwa proses framing terjadi tidak hanya pada komunika-
tor, tapi juga pada teks, audiens dan budaya, karena memahami framing berarti
memahami bagaimana proses mempresentasikan suatu berita serta bagaimana
memahaminya. Oleh sebab itu dalam framing dikenal adanya dua konsep: media framing
atau framing yang dibuat di media dan audience framing atau framing yang dilakukan oleh
audiens. Secara umum, proses pemaknaan yang terjadi pada media framing dan audience
framing sejalan dengan yang dijelaskan oleh Hall dalam model encode/decode (Hall, 1980).
Komunikator atau pengelola media me- encode pesan yang akan dimuat di media, dengan
menseleksi dan menekankan titik berat pada fakta yang sekiranya akan menarik perhatian
audiens. Audiens mengakses media dan me-decode teks yang telah dikemas tadi sesuai
dengan latar belakang pengetahuan, nilai, budaya juga referensi dari orang-orang yang
berpengaruh terhadap audiens. Sehingga isi teks media bisa mengandung banyak makna
atau polisemy, tergantung siapa yang memaknainya.

dapus : http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20302056-T30608%20-%20Superioritas
%20media.pdf

Anda mungkin juga menyukai