Anda di halaman 1dari 41

PENGARUH FAKTOR PERILAKU INDIVIDU DAN PENGAWASAN

YANG MEMPENGARUHI PENYIMPANGAN ANGGARAN


PENDAPATAN BELANJA DAERAH (APBD) PEMERINTAHAN
KABUPATEN JEMBER TAHUN 2020

(STUDI EMPIRIS DIINSPEKTORAT DAN DINAS KESEHATAN


KABUPATEN JEMBER)

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh

Ainun Nisa Wahyu Widian Ningrum

NIM 170910201043

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA

UNIVERSITAS JEMBER

2021

i
HALAMAN PERSETUJUAN

Proposal berjudul “Pengaruh Faktor Perilaku dan Pengawasan Yang


Mempengaruhi Penyimpangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
Pemerintahan Kabupaten Jember 2020 (Studi Empiris Di Inspektorat Dan Dinas
Kesehatan Kabupaten Jember)“
Nama Peneliti : Ainun Nisa Wahyu Widian Ningrum

Program Studi : Ilmu Administrasi Negara

Jurusan : Ilmu Administrasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jember, 30 Juli 2021


Peneliti

Ainun Nisa Wahyu W.N

NIM 170910201043

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Utama, Dosen Pembimbing Anggota,

Suji, S.sos., M.Si Abul HarisSuryo N ,S.IP.M.Si

NIP 197006152008121002 NIP 198210292015041001

Mengetahui,
Wakil Dekan 1

Prof. Dr. Zarah Puspitaningtyas, S.sos., S.E., M.Si., QIA.


NIP. 197902202002122001

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL......................................................................................i
ABSTRAK..........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah................................................................................. 5
1.3. Batasan Masalah....................................................................................5
1.4. Tujuan Penelitian.................................................................................. 6
1.5. Manfaat Penelitian................................................................................ 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Administrasi Publik.............................................................................. 7


2.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.......................................... 12
2.3. PenyimpanganAnggaran..................................................................... 18
2.4. Penelitian Terdahulu............................................................................. 23
2.5. Kerangka Konseptual............................................................................24
2.6. Hipotesis Penelitian.............................................................................. 25

BAB III METODE PENELITIAN


3.1. Jenis Penelitian......................................................................................28
3.2. Jenis dan Sumber Data..........................................................................28
3.3. Metode Pengumpulan Data...................................................................28
3.4. Populasi dan Sampel Penelitian............................................................ 29
3.5. Variabel Penelitian................................................................................29
3.6. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel....................................30
3.7. KerangkaPemecahanMasalah..............................................................32
3.8. Metode Analisis Data............................................................................32

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kabupaten Jember merupakan salah satu kabupaten yang berada di
provinsi Jawa Timur, tentu Kabupaten Jember sendiri memiliki potensi yang
cukup besar mulai dari segi budaya, pertanian, perkebunan, dan pariwisata. Selain
itu, Kabupaten Jember juga memiliki permasalahan yang perlu diteliti seperti
kemiskinan, pengangguran, kesehatan, dan birokrasi. Dalam kesempatan ini,
peneliti tertarik untuk melakukan pengujian sejauh mana tingkat keberhasilan para
birokrat dalam merealisasikan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)
dan sejauh mana penyimpangan anggaran yang dilakukan para birokrat di
Kabupaten Jember.
Menurut data Badan Pemeriksa Keuangan Jawa Timur, anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten Jember tahun 2020 dinilai
tidak wajar. Sebelumnya APBD 2019 dinilai disclaimer atau tidak memenuhi
kelayakan akuntansi pengelolaan anggaran.
Menurut Badan Pemeriksa Keuangan Jawa Timur ada tujuh hal bersifat
material yang menyebabkan LKPD Kabupaten Jember tidak disajikan secara
wajar.Pertama, tidak ada pengesahan DPRD atas Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Tahun Anggaran 2020.
Kedua, jumlah penyajian belanja pegawai sebesar Rp 1.302,44 miliar serta
belanja barang dan jasa sebesar Rp 937,97 miliar tidak sesuai dengan penjabaran
APBD dan merupakan hasil pemetaan (mapping) yang dilakukan untuk
menyesuaikan dengan penyajian beban pada laporan operasional. Akibatnya,
belanja pegawai disajikan lebih rendah, sedangkan belanja barang dan jasa
disajikan lebih tinggi, masing-masing sebesar Rp 202,78 miliar.
Ketiga, terdapat realisasi pembayaran senilai Rp 68,80 miliar dari angka Rp
1.302,44 miliar yang disajikan dalam belanja pegawai, yang tidak
menggambarkan substansi belanja pegawai sebagaimana diatur dalam Standar
Akuntansi Pemerintahan. Realisasi tersebut merupakan pembayaran yang terjadi
karena kesalahan penganggaran dan realisasi belanja pegawai yang tidak sesuai
dengan ketentuan.

1
Keempat, dari jumlah Rp 126,08 miliar yang disajikan sebagai kas di
bendahara pengeluaran per 31 Desember 2020, di antaranya terdapat sebesar Rp
107,09 miliar yang tidak berbentuk uang tunai dan/atau saldo simpanan di bank,
sesuai ketentuan di dalam Standar Akuntansi Pemerintahan dan berpotensi tidak
dapat dipertanggung jawabkan.
Kelima, terdapat utang jangka pendek lainnya sebesar Rp 31,57 miliar dari
jumlah sebesar Rp 111,94 miliar yang tidak didukung dokumen sumber yang
memadai.
Keenam, tim manajemen Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan
Penyelenggaraan Pendidikan Gratis (PPG) tidak melakukan rekapitulasi realisasi
belanja sebesar Rp 66,59 miliar atas mutasi persediaan dan saldo akhir persediaan
yang bersumber dari belanja barang dan jasa yang berasal dari dana BOS dan
PPG. Atas realisasi belanja tersebut, tidak diperoleh bukti pemeriksaan yang
cukup dan tepat untuk dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap
nilai beban persediaan.
Terakhir, pada penyajian nilai perolehan akumulasi penyusutan dan beban
penyusutan atas aset tetap – jalan, irigasi,dan jaringan masing-masing sebesar Rp
3.470,53 miliar, Rp 2.007,36 miliar, dan Rp 141,46 miliar, terdapat aset tetap –
jalan, irigasi, dan jaringan berupa rehabilitasi, renovasi, dan/atau pemeliharaan
yang belum dan/atau tidak diatribusikan secara tepat ke aset induknya. Ini
mempengaruhi akurasi perhitungan beban dan akumulasi penyusutan.
Semenjak dikeluarkan peraturan tentang otonomi daerah yakni Undang -
Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah serta Undang - Undang
No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat serta
Daerah, hingga kekuasaan ataupun tanggung jawab yang dibebankan kepada
pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya secara optimal jadi lebih besar.
Perihal ini diperuntukan agar distribusi serta pemanfaatan sumber energi alam
nasional bisa menyeluruh serta terciptanya penyeimbang keuangan antara
pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Manajemen keuangan daerah dikelola
secara sosial hingga dibutuhkan komponen pokok yang wajib dilaksanakan serta
dipatuhi oleh pemerintah daerah yakni pengelolaan keuangan daerah (APBD)
secara transaparan , akuntabel, efisien.

2
Pada alinea keempat pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 bisa dilihat kalau tujuan bangsaIndonesia untuk melindungi
segenap bangsa indonesia dengan tumpah darah serta untuk memajukan serta
mencerdaskan kehidupan bangsa pula turut melakukan kedisiplinan dunia,
sementara itu bertitik tolak dari tujuan negara tersebut, bisa kita simpulkan kalau
bangsa Indonesia menuju pada negeri welfare start. Welfare startmerupakan
negara dengan otoritas yang dipunyai harus melakukan tanggung jawab supaya
bangsa Indonesia sejahtera (Asshiddiqie, 1994), terbentuknya pergantian ini yang
membuat paradigma pemerintah dari sentralisasi jadi desentralisasi yang diisyarati
dengan lahirnya Undang Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
yang setelah itu diganti jadi undang– undang no 23 tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah, jadi momentum besar untuk bangsa Indonesia serta
pemerintahan daerah buat meyakinkan kesanggupannya dalam melakukan
urusan– urusan pemerintahan lokal cocok dengan suasana pemerintahan setempat,
lewat konsep ini pemerintah daerah diharapkan sanggup jadi mandiri, ataupun self
local government, desentralisasi sendiri bermakna local government wajib jadi
instrumen buat menghasilkan nilai-nilai liberty, responsive dalam membagikan
pelayanan untuk publik pula masyarakat.
Pada hakikatnya desentralisasi bagaikan nilai utama di dalam
penyelenggaraan pemerintahan sebetulnya ialah sesuatu konsekuensi politik dari
dianutnya sistem demokrasi. Nilai- nilai ini setelah itu jadi ketentuan untuk
terwujudnya good governance. Secara teoritis, prinsip good governance dicirikan
dengan sebagian aspek misalnya transparansi, partisipasi, serta
akuntabilitas(Smith, 1985).
Partisipasi dimaksud dengan keterlibatan aktif masyarakat dalam proses
pengambilan kebijakan. Sedangkan transparansi menyangkut keterbukaan proses
politik serta administrasi, dimana data berkaitan kepentingan publik bisa diakses
oleh siapapun serta kapanpun. Adapun partisipasi yang dimaksud menyangkut
beberapa peraturan, modul ataupun substansi yang diatur, penerapan serta
pengelolaan anggaran dan implikasi kebijakan. Sebaliknya akuntabilitas dimaksud
bagaikan perlunya pertanggungjawaban kebijakan kepada warga bagaikan owner
kedaulatan(Wildavsky, 2004). Selain itu, prinsip transparansi yang dimaknai

3
bagaikan keterbukaan data publik jadi berarti untuk local government buat
mewujudkan pemerintahan yang akuntabel kepada locality lewat prosedur yang
demokratis(Smith, 1985).
Transparansi merupakan bentuk sikap keterbukaan dalam rangka
menghasilkan pemerintahan yang akuntabel serta bebas dari korupsi. Pimpinan
Dewan Transparency International, Peter Eigen menarangkan kalau minimnya
transparansi bisa menimbulkan korupsi administratif. Sebab itu, transparansi serta
buahnya administratif yang sehat, merupakan ketentuan absolut good
governance(Kim, Halligan, Cho, serta Oh, 2005). Pada tataran empiris, proses
pelembagaan nilai transparansi dalam birokrasi mengarah tata kelola pemerintah
yang baik hadapi hambatan.
Birokrasi merupakan suatu institusi publik malah pada dasarnya birokrasi
mempunyai nilai yang bertentangan ialah: nilai esoteric ataupun secret 1.
Pertentangan prinsip birokrasi serta demokrasi inilah yang membuat para penulis
semacam Albrow(1989), Bethan(1990), Blau serta Meyer(2002) memandang
kalau keduanya, birokrasi serta demokrasi, ialah 2 perihal yang susah
dipertemukan. Apabila dipaksakan, keduanya berpotensi konflik(Denhardt serta
Denhardt, 2006). Di ranah instan, fenomena benturan antara nilai sekresi serta
transparansi terjalin kala birokrasi menjunjung prinsip“ rahasia negara” sedangkan
publik menghendaki terdapatnya“ transparansi” dalam pengelolaan keuangan
negara serta wilayah. Pertentangan ini terus bersinambung yang dirasakan oleh
birokrasi di dalam negara demokrasi, tidak terkecuali dengan Indonesia. Konflik
nilai demokrasi(transparency) serta birokrasi(esoteric) seakan menggeser bandul
pada suatu garis dari sisi demokrasi ke birokrasi ataupun sebaliknya
Pada prinsipnya, baik pemerintah pusat serta pemerintah daerah
mempunyai ikatan timbal balik yang sinergis. Pemerintah Pusat dalam
membentuk kebijakan wajib mencermati kearifan lokal dan pemerintah daerah
ketika membentuk kebijakan wilayah baik dalam wujud peraturan daerah maupun
kebijakan lain yang wajib dicermati dalam kepentingan nasional, permasalahan ini
berhubungan denganUndang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang menjelaskan tentang implementasi peraturan daerah Kabupaten

4
Jember itu bahwa apakah ada indikasi permasalahan transparansi anggaran di
dalam penyusunananggaran pendapatan dan belanja daerah di Kabupaten Jember.
Oleh karena itu, faktor- faktor yang menjadi penghambat dalam
pelaksanaan peraturan daerah Kabupaten Jember antara lain faktor perilaku
individu, faktor organisasi pemerintahan, faktor pertaturan perundang – undangan,
dan faktor pengawasan.Maka dalam penelitian ini hanya dibatasi melakukan
analisis terhadap faktor perilaku individu dan faktor pengawasan.
Penelitian terkait telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, Fitriah (2018)
yang berjudul Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyimpangan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah pada Pemerintahan Daerah Kabupaten
Sumbawa Barat. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat empat hipotesis yang
diuji dengan menggunakan regresi linear. Dari pengujian dengan regresi linier
dapat disimpulkan bahwa persepsi atas aspek pengawasan berpengaruh terhadap
terjadinya penyimpangan APBD di Kabupaten Sumbawa Barat. Koefisien
determinasi (R2) diperoleh sebesar 0,293, artinya model yang digunakan dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa variabel independen hanya mampu
menjelaskan variabel dependen sebesar 29,3%, sedangkan sisanya sebesar 70,3%
dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini.
Syamsul Bahri (2008) dengan judul Analisis Faktor – Faktor yang
Mempengaruhi Korupsi dan Modus Korupsi Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah di Malang Raya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku individu
tidak berpengaruh terhadap korupsi APBD, sedangkan organisasi pemerintah,
peraturan perundang – undangan, dan pengawasan berpengaruh terhadap korupsi
APBD di Malang Raya.

Penelitian terdahulu dilakukan oleh Fitriah (2018) dengan judul Analisis


Faktor – Faktor yang mempengaruhi Penyimpangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Sumbawa Barat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa semua variabel berpengaruh positif signifikan terhadap
penyimpangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten
Sumbawa Barat. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Aliamin, dan Gadeng
(2015) dengan judul Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi terjadinya
Penyimpangan Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di

5
Provinsi Aceh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua variabel baik perilaku
individu, peraturan perundang – undangan, dan pengawasan sangat berpengaruh
terhadap korupsi APBD di Provinsi Aceh.

Peneliti terdorong untuk melakukan penelitian ini oleh beberapa alasan


yakni : (1) adanya problematika Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) tahun Anggaran 2020. (2) adanya hasilyang tidak konsisten dari
penelitian terdahulu pada variabel independen yang sejenis, sehingga penelti ingin
melakukan penelitian ulang terkaitdigunakannya variabel independen tersebut. (3)
penyempurnaan atas keterbatasan dari penelitian terdahulu terkait dengan variabel
independenyang digunakan, rentang periode penelitian, dan jumlah sampel yang
diteliti supaya dapat menghasilkan hasil penelitian yang lebih handal.

Berdasarkan latar belakang diatas serta penelitian-penelitian sebelumnya,


maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Pengaruh
FaktorPerilaku Individu dan Pengawasan yang Mempengaruhi
PenyimpanganAnggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Pemerintahan
Kabupaten Jember Tahun 2020”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah faktor perilaku individu berpengaruh terhadap terjadinya
penyimpanganAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di
Kabupaten Jember tahun 2020 ?
2. Apakah faktor pengawasan berpengaruh terhadap terjadinya
penyimpanganAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di
Kabupaten Jember tahun 2020 ?
1.3 Batasan Masalah
Masalah yang diangkat dalam penelitian ini terlalu luas jika diteliti secara
menyeluruh. Maka dari itu agar masalah tidak melebar kemana-mana penulis
hanya membatasi pada ruang lingkup penelitian adalah sebagai berikut :
1. Obyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Inspektorat dan
Dinas Kesehatan di Kabupaten Jember.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) di Kabupaten Jember yang digunakan dalam

6
penelitian ini adalah perilaku individu dan pengawasan. Faktor tersebut dipilih
karena baik faktor perilaku individu dan pengawasan rentan terjadi
penyimpangan anggaran di Kabupaten Jember.
1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh faktor perilaku individu terhadap terjadinya
penyimpanganAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di
Kabupaten Jember tahun 2020
2. Untuk mengetahui pengaruh faktor pengawasan terhadap terjadinya
penyimpanganAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di
Kabupaten Jember tahun 2020
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
1. Bagi penulis, penelitian merupakan wahana latihan pengambangan kemampuan
dalam bidang penelitian yang diperoleh di bangku kuliah.
2. Bagi Civitas Akademik, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
kontribusi dalam disiplin ilmu administrasi negara untuk mengembangkan teori
serta dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya dan diharapkan dapat
memberikan sumbangan ilmu bagi khasanah kepustakaan pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember.
3. Bagi pemerintah daerah, dapat mengambil manfaat setidaknya dapat digunakan
untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan daerah Kabupaten Jember serta
justifikasi dalam perencanaan dan evaluasi program khususnya sistem
penganggaran dan pengendalian di Kabupaten Jember.
4. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukan bagi peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian yang berkaitan
dengan penyimpangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)
pemerintah Kabupaten Jember.

7
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Administrasi Publik
2.1.1. Definisi Administrasi Publik

Menurut Maksudi (2018:27) administrasi merupakan proses kerja sama


dalam penyelenggaraan suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang
secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efisien
dan efektif. Robbins dalam Indradi (2016:9) menyatakan administrasi adalah
keseluruhan proses dari aktivitas-aktivitas dalam pencapaian tujuan secara
efisien melalui orang lain. Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tersebut, dapat
disimpulkan bahwa administrasi adalah suatu kegiatan kerjasama yang
melibatkan dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya secara efisien dan efektif.

Frederickson dalam Maksudi (2018:219) membedakan kata publik dengan


berbagai perspektif, yaitu publik sebagai kelompok kepentingan, publik sebagai
pemilih rasional, publik sebagai pihak yang diwakili, publik sebagai pelanggan,
serta publik sebagai warga negara. Dari penjabaran tersebut, publik sebagai
warga negara dirasa lebih sesuai dengan topik yang dibahas peneliti dalam
kaitannya dengan pelayanan administrasi kependudukan.

Menurut Syafri (2012:25) administrasi publik adalah suatu proses kerja


sama sekelompok orang dalam merumuskan dan melaksanakan berbagai
kebijakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pencapaian tujuan negara
secara efisien dan berkeadilan sosial. Menurut Maksudi (2018:225) administrasi
publik didefinisikan sebagai bentuk hubungan pemerintah dengan masyarakat
dalam rangka meningkatkan daya tanggap melalui penyelenggaraan pelayanan
kepada masyarakat dengan menyediakan barang-barang yang menjadi kebutuhan
masyarakat, serta membentuk lembaga pemerintah yang efisien dan efektif.

Menurut Keban (2008:4) terdapat tiga variasi makna dalam administrasi


publik. Pertama administrasi of public, yang menunjukkan bagaimana
pemerintah berperan sebagai agen tunggal yang aktif dan selalu berisiniatif
dalam mengatur masyarakat. Kedua, administration for public yang

8
menunjukkan pemerintah lebih berperan dalam mengemban misi pemberian
pelayanan publik. Pemerintah lebih tanggap terhadap apa yang dibutuhkan
masyarakat dan lebih mengetahui cara terbaik dalam memberi pelayanan publik
kepada masyarakat. Ketiga, administration by public yakni pemerintah lebih
berorientsi kepada pemberdayaan masyarakat, dan mengutamakan kemandirian
dan kemampuan masyarakat. Makna administration for public dirasa lebih
sesuai dengan topik yang dibahas oleh peneliti, yakni pemerintah lebih berperan
dalam pemberian pelayanan publik.

Fungsi pelayanan publik menjadi salah satu tugas pemerintah dalam


mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik sebagaimana yang terjadi
dalam pelayanan administrasi kependudukan.

2.1.2. Paradigma Administrasi Publik

Menurut Kuhn dalam Keban (2008:31) paradigma merupakan suatu cara


pandang mengenai nilai, metode, prinsip dasar atau cara dalam memecahkan
suatu permasalahan. Administrasi publik dalam perkembangannya telah
mengalami beberapa pergeseran paradigma. Denhardt & Denhardt (2003)
mengungkapkan bahwa terdapat tiga perspektif dalam administrasi publik yaitu
old public administration (OPA), new public management (NPM), dan new
public service (NPS). Menurut Chemma dalam Keban (2008:37) terdapat 4 fase
perkembangan paradigma dalam administrasi publik yaitu fase Tradisional
Publik Administration, Public Management, New Public Management, dan
Paradigma Governance. Berdasarkan berbagai pendapat tersebut dapat dilihat
bahwa administrasi publik mengalami pergeseran paradigma dari Old Public
Administration (OPA), New Public Management (NPM), dan New Public
Service (NPS) hingga sampai pada Good Governance yang berkembang sejak
pertengahan 1990-an.

1. Paradigma Old Public Administration (OPA)

Paradigma ini berpandangan bahwa organisasi publik beroperasi paling


efisien sebagai suatu sistem tertutup sehingga keterlibatan warga negara dalam
pemerintahan dibatasi. Selain itu berpandangan pula bahwa segala kepentingan

9
publik harus dijelaskan dalam aturan hukum. Pemerintah menganggap dirinya
sebagai satu-satunya institusi yang mengetahui, memiliki sumberdaya,
sertamempunyaikemampuan dalam memecahkan masalah
publik(Maksudi,2018:255).

Menurut Nicholas Henry dalam Maksudi (2018:255) administrasi negara


berkembang sebagai bidang akademis melalui rangkaian pergantian lima
paradigma yang tumpang tindih. Tiap tahap dapat dicirikan berdasarkan lokus
dan fokusnya. Lokus merupakan tempat “dimana” bidang itu berada, sedangkan
fokus adalah kekhususan dari bidang tersebut.

Paradigma OPA menekankan prinsip administration of public, yang


cenderung pemerintah sebagai pihak yang berkuasa dalam mengatur dan
mengetahui yang penting bagi masyarakat. Masyarakat diperlakukan sebagai
pihak pasif, kurang mampu dan harus tunduk dan menerima apa saja yang
diputuskan pemerintah.

2. Paradigma New Public Management (NPM)

Paradigma selanjutnya yaitu administrasi publik baru (New Public


Management) yang timbul sebagai dampak dari kurang efektifnya paradigma
administrasi sebelumnya dalam memecahkan masalah dan memberikan
pelayanan publik. Paradigma ini dipelopori oleh Frederickson dimana lebih
menekankan peran dan segi institusi dari negara dan sektor publik menuju
manajemen pelayanan yang lebih pro-pasar. Paradigma ini muncul karena
adanya keluhan bahwa sektor publik selama ini terlalu besar, boros, inefisien,
merosotnya kinerja pelayanan publik, serta kurangnya perhatian terhadap
pengembangan dan kepuasan kerja pegawai pemerintah.

Paradigma New Public Management (NPM) menganut nilai-nilai dan


praktek sektor privat untuk diterapkan ke dalam administrasi publik. New Public
Management (NPM) banyak mendapat kritikan karena para birokrat cenderung
berkompetisi untuk memperjuangkan kepentingan dirinya dari pada kepentingan
umum. Selain itu, dalam paradigma ini publik diposisikan sebagai pelanggan
(customers) sedangkan pemerintah berperan sebagai pihak yang mengarahkan

10
(sterring) (Keban,2008:40). Fokus perhatian New Public Management (NPM)
adalah pada pelaksanaan desentralisasi, devolusi, dan modernisasi pelayanan
publik. Dalam perkembangannya, NPM lebih berfokus dalam meningkatkan
efisiensi, efektivitas dan produktivitas sehingga kurang memperhatikan keadilan
sosial.

3. Paradigma New Public Service (NPS)

Maksudi (2018:304) menjelaskan bahwa persepektif New Public Service


(NPS) menghendaki peran administrator publik untuk melibatkanmasyarakat
dalam pemerintahan dan bertugas dalam melayani masyarakat. Paradigma ini
menempatkan masyarakat sebagai warga negara dalam konteks penyelenggaraan
pemerintahan. Warga negara tidak hanya dipandang sebagai customers yang
perlu dilayani dengan standard tertentu saja, tetapi lebih dari warga negara
adalah pemilik pemerintah yang memberikan pelayanan tersebut. Pelayanan
kepada masyarakat merupakan tugas utama bagi administrator publik sekaligus
fasilitator bagi perumusan kepentingan publik serta partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan.

New Public Service juga mengakui bahkan menuntut adanya partisipasi


masyarakat dalam berbagai jenjang pemerintahan, dimana dalam
penyelenggaraan pemerintahan partisipasi masyarakat merupakan unsur yang
terpenting. Dengan demikian, kepentingan publik merupakan hasil dan proses
dialog tentang nilai-nilai yang disetujui bersama oleh masyarakat dan bukan
agregrasi kepentingan pribadi atau kelompok. Kebijakan publik tidak hanya
sekedar memenuhi tuntutan pasar, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai dan
kepentingan masyarakat.

Paradigma NPS memiliki beberapa prinsip yang dijalankan diantaranya:

1. Melayani warga negara bukan hanya sebagai pelanggan, tetapi fokus pada
membangun hubungan kepercayaan dan kolaborasi yang dilakukan
bersama warga negara
2. Kepentingan publik yang menciptakan kepentingan dan tanggung jawab
bersama

11
3. Memberikan nilai pada pelayanan publik dan warga negara yang
berkomitmen untuk membuat kontribusi bagi masyarakat
4. Berpikir strategis serta bertindak demokratis
5. Mengakui bahwa akuntabilitas tidaklah sederhana
6. Bukan sekedarmelayani,tetapi juga mengarahkan dengan membantu
memenuhi kepentingan mereka berrsama
7. Produktivitas memanglah penting, tetapi menghargai orang lain adalah
yang utama

Inti dari paradigma New Public Service adalah merubah peran negara dan
pemerintah untuk dapat memberikan pelayanan publik yang terbaik kepada
masyarakat. Pemerintah seharusnya memusatkan perhatian pada tanggung jawab
melayani dan memberdayakan warga negara (Maksudi,2018:304). Dalam hal ini
dapat diketahui bahwa perspektif NPS mengedepankan posisi masyarakat
sebagai warga negara dalam konteks governance. Perspektif New Public Service
dilakukan sebagai upaya menciptakan pemerintahan yang baik (good
governance). Dalam kaitannya dengan inovasi, New Public Service memegang
peranan yang sentral dalam inovasi. Hal ini dikarenakan untuk memenuhi
kepentingan publik yang bersifat luas dan kompleks dibutuhkan cara-cara
yang inovatif.

4. Good Governance

Menurut Maksudi (2018:325) good governance merupakan sebuah teori


yang menghendaki terciptanya relasi sejajar antara tiga aktor yang dianggap
penting dalam pengelolaan dan pembangunan sebuah negara, yakni state
(negara), privat sector (sektor swasta), dan civil society (masyarakat). Ketiganya
melakukan fungsinya masing-masing, yaitu negara atau pemerintah harus
mampu menciptakan lingkungan ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan
keamanan yang kondusif. Sektor swasta berperan aktif dalam membangun dan
menumbuhkan kegiatan perekonomian yang akan memperluas lapangan kerja
dan meningkatkan pekerjaan, sedangkan masyarakat harus mampu berinteraksi
secara aktif dengan berbagai aktivitas perekonomian, sosial, politik, termasuk
bagaimana melakukan pengawasan terhadap jalannya aktivitas-aktivitas tersebut.

12
Menurut Syafri (2012:178) arti good dalam good governance mengandung
dua pengertian. Pertama, nilai yang menunjang tinggi keinginan atau kehendak
rakyat dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai
tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan, dan berkeadilan
sosial. Kedua, aspek fungsional atas pemerintahan yang efektif dan efisien
dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut. Good governance
sesungguhnya merupakan upaya melakukan reformasi ke arah yang lebih baik
terhadap sistem administrasi publik yang berlaku pada suatu negara secara
menyeluruh. Oleh karena itu, good governance dapat diartikan sebagai tata
kelola pemerintahan yang baik, dan memenuhi kaidah tertentu sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar good governance.

Pelayanan publik yang optimal dalam mewujudkan good governance akan


mendapatkan kepercayaan dari masyarakat luas, atau bahkan bisa mendapat
kepercayaan untuk melakukan kerjasama antar lembaga, dengan demikian
pemerintah akan mendapatkan respon positif dari masyarakat. “Dengan
menjadikan praktik pelayanan publik sebagai pintu masuk dalam membangun
good governance, maka diharapkan toleransi terhadap praktik bad governance
yang semakin meluas dapat dihentikan” (Dwiyanto, 2008:22).

2.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah


2.2.1 Pengertian APBD
Menurut Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Republik Indonesia
menyelenggarakan pemerintahan Negara dan pembangunan nasional untuk
mencapai masyarakat adil,makmur, dan merata berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan
daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan
berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang
memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas
korupsi, kolusi, dan nepotisme (Djaenuri, 2012).

13
Menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 8 tentang
Keuangan Negara, APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah
yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun dalam
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 Pasal 1 ayat 7 tentang Dana
Perimbangan. APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang
dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan
dengan peraturan daerah. Pengertian APBD juga terdapat dalam PP No. 58 Tahun
2005 Pasal 20 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang menyebutkan bahwa
APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:
a. Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah meliputi sama penerimaan uang yang melalui Rekening
Kas Umum Daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan
hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali
oleh daerah.
b. Belanja Daerah
Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum
Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban
daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak diperoleh kembali
pembayarannya oleh daerah.
c. Pembiayaan Daerah
Pembiayaan daerah meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar
kembali atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran
berikutnya.
Selain pengertian APBD secara yudisial di atas, beberapa orang
mengeluarkan pendapatnya masing-masing tentang pengertian APBD. Halim, dkk
(2012: 10) mengatakan APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah
daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD.
Sedangkan Badrudin (2012: 97) dalam Bukunya Ekonomika Otonomi
daerah berpendapat bahwa:
“APBD adalah suatu rencana kerja pemerintah daerah yang mencakup
seluruh pendapatan atau penerimaan dan belanja atau pengeluaran

14
pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten, dan kota dalam rangka
mencapai sasaran pembangunan dalam kurun waktu satu tahun yang
dinyatakan dalam satuan uang dan disetujui oleh DPRD dalam peraturan
perundangan yang disebut Peraturan Daerah”.
Halim (2012: 22) menyatakan bahwa suatu anggaran daerah, termasuk
APBD, memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
a. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci.
b. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk
menutupi biaya-beban sehubungan dengan aktivitas-aktivitas tersebut,
dan adanya biaya-beban yang merupakan batas maksimal pengeluaran-
pengeluaran yang akan dilaksanakan.
c. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka.
d. Periode anggaran, yaitu biasanya 1 (satu) tahun.
Berdasarkan beberapa pengertian APBD yang telah disebutkan diatas,
dapat disimpulkan bahwa APBD adalah suatu rencana kerja tahunan pemerintah
daerah dalam satuan uang yang disusun berdasarkan intruksi materi dalam negeri
serta berbagai pertimbangan lainnya dimana dibahas dan disetujui bersama oleh
pemerintah daerah dan DPRD dalam peraturan daerah, mencakup seluruh
pendapatan atau penerimaan dan belanja atau pengeluaran pemerintah daerah,
baik provinsi,kabupaten dan kota dalam rangka mencapai sasaran pembangunan
yang merata tiap daerah.
2.2.2 Urgensi APBD
APBD yang merupakan program kerja suatu daerah sangat penting
dirumuskan karena APBD dapat menjadi acuan kerja pemerintah daerah dalam
satu tahun anggaran. Menurut Mardiasmo (2004: 121) Anggaran sektor publik
penting karena beberapa alasan, yaitu:
a. Anggaran merupakan alat terpenting bagi pemerintah untuk mengarahkan
pembangunan sosial-ekonomi, menjamin kesinambungan dan meningkatkan
kualitas hidup masyarakat.
b. Anggaran dibutuhkan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat
yang tidak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada

15
terbatas. Anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber
daya (scarcity of resources), pilihan (choice) dan trande-offs.
c. Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah
bertanggung jawab terhadap rakyat. Dalam hal ini anggaran publik
merupakan instrument pelaksanaan akuntabilitas publik oleh lembaga-
lembaga publik yang ada.
Mardiasmo (2012: 103) mengatakan bahwa Anggaran Daerah atau
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrument kebijakan
yang utama bagi pemerintah daerah. Lanjutnya, Anggaran Daerah juga digunakan
sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu
pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di
masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar
evaluasi kinerja, alat bantu untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi
bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa APBD yang
merupakan anggaran sektor publik penting karena adanya kebutuhan dan
keinginan masyarakat yang tidak terbatas dan terus berkembang, sedangkan
sumber daya yang ada terbatas, sehingga APBD menjadi suatu acuan kerja
pemerintah daerah dalam rangka pembangunan daerah dan merupakan suatu
bentuk pertanggung jawaban pemerintah daerah kepada rakyat.
2.2.3 Prinsip – Prinsip APBD
Penyelenggaraan pemerintah daerah sebagai subsistem pemerintah negara
dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintah dan pelayanan masyarakat, sehingga sebagai daerah otonomi, daerah
mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan
masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan
pertanggung jawaban kepada masyarakat (Djaenuri, 2012: 42).
Berarti APBD merupakan salah satu alat yang memegang peran penting
dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan kesejahtraan masyarakat sesuai
dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Dengan
demikian maka APBD harus benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan
masyarakat dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

16
Badrudin (2012: 76) mengatakan bahwa untuk mengukur penyelenggaraan
pemerintah yang good governance maka pemerintah harus mampu memenuhi
prinsip dasar atau asas- asas pengelolaan keuangan daerah, yaitu:
a) Transparansi
Transparansi mengisyaratkan adanya keterbukaannya pemerintah
(birokrasi) didalam proses pembuatan kebijakan tentang APBD sehingga
publik dan DPRD dapat mengetahui, mengkaji, dan memberikan masukan
serta mengawasi pelaksanaan kebijakan publik yang berkaitan dengan
APBD didalam perumusan kebijakan pengelolaan APBD.
b) Efisien
Efisien dalam pengelolaan APBD didasarkan pada suatu pemikiran
bahwa setiap pengeluaran anggaran daerah harus diupayakan seefisien
mungkin guna menghasilkan output yang memadai. Penghematan
anggaran yang sangat diperlukan dalam rangka mencapai efesiensi.
Berdasarkan segi pendapatan/penerimaan, efisiensi berarti dalam upaya
memperoleh setiap pendapatan daerah/beban biaya yang dikeluarkan harus
lebih kecil dibandingkan dengan hasil penerimaannya.
c) Efektif
Efektif dalam proses pelaksanaan kebijakan dan pengelolaan
APBD berarti anggaran harus tepat sasaran. Pemikiran lama dengan
mengabaikan apakah sasaran yang akan dicapai dari anggaran, belanja
tepat atau tidak karena yang penting realisasi anggaran sesuai rencana dan
habis terpakai harus diganti dengan pemikiran baru yang menggunakan
pendekatan anggaran berbasis kinerja yang berorientasi pada hasil.
Berdasarkan segi pengeluaran/belanja, efektif artinya segala jenis
pengeluaran dalam APBD harus mampu menghasilkan manfaat langsung
dan tepat sasaran sesuai yang direncanakan dalam APBD.
d) Akuntabilitas
Akuntabilitas dalam pengelolaan APBD dituntut adanya
pertanggung jawaban secara institusional kepada DPRD karena DPRD-lah
yang menilai apakah kinerja pemerintah dalam mengelola APBD baik atau
buruk dengan menggunakan kriteria yang sesuai. Pertanggung jawaban

17
publik merupakan keharusan dalam upaya perwujudan good governance.
Akuntabilitas dalam pengelolaan APBD harus bersifat komprehensif yang
mencakup aspek kebijakan dalam penggunaan anggaran.
e) Partisipasif
Partisipasif berarti dalam pengelolaan APBD harus melibatkan
peran serta publik secara langsung maupun tidak langsung yang dijamin
dalam bentuk kritikan yang konstruktif terhadap cara-cara pengelolaan
APBD yang benar. Di samping itu, kebijakan pembangunan dalam APBD
juga harus mengkomodasikan aspirasi publik dan mengikutsertakan
masyarakat secara langsung dalam bentuk keterlibatan publik dalam
membangun daerah melalui proyek-proyek pembangunan dalam APBD.
2.2.4 Fungsi APBD
Menurut Mardiasmo (2004: 122) APBD mempunyai beberapa fungsi
utama, yaitu:
a. Sebagai alat perencanaan
APBD dibuat oleh Pemerintah Daerah untuk merencanakan tindakan apa
yang akan dilakukan, biaya yang dibutuhkan, serta hasil yang diperoleh dari
belanja yang dilakukan pemerintah. Hal ini berarti dalam APBD, setidak-tidaknya
tergambar tiga komponen utama yaitu:
a) Tindakan atau kegiatan yang akan dilakukan,
b) Biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut,
c) Hasil yang akan diperoleh dari suatu kegiatan tersebut.
b. Sebagai alat pengendalian
APBD dapat memberikan detail atas pendapatan yang diperoleh Pemda
serta pengeluaran (belanja) yang dilakukan Pemeintah Daerah. Dengan demikian,
maka APBD dapat dipertanggung jawabkan kepada publik. Dengan demikian
setiap kegiatan atau program dalam APBD, hanya jelas sumber pembiayaannya,
misal berapa dana bersumber dari PAD, dan berapa besar dari DAU, atau mana
kegiatan yang dilakukan dengan biaya dari PAD murni dan mana dari DAU
murni.
c. Sebagai alat kebijakan fiskal

18
Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal digunakan untuk menstabilkan dan
mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan mempergunakan APBD. Pemda dapat
melakukan prediksi-prediksi serta estimasi ekonomi. Kegiatan-kegiatan atau
program dalam APBD harus juga dipertimbangkan sebagai suatu estimasi atau
prediksi perkembangan ekonomi daerah yang pada akhirnya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
d. Sebagai alat politik
APBD adalah political tool yang berfungsi sebagai bentuk komitmen
eksekutif dan kesepakatan legislatif atas penggunaan dana publik untuk
kepentingan tertentu.
e. Sebagai alat koordinasi dan komunikasi
APBD merupakan alat koordinasi antar bagian dalam sistem kerja
pemerintah. APBD yang disusun dengan baik akan mampu mendeteksi terjadinya
inskonsistensi suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi. Di samping itu
anggaran publik juga berfungsi sebagai alat komunikasi antar unit kerja dalam
lingkaran eksekutif. Dalam hal ini APBD berfungsi sebagai alat publik dalam
bentuk penerapan dan aktualisasi komitmen eksekutif dan legislatif sebagaimana
diikrarkan dalam bentuk visi dan misinya pada saat kampanye.
f. Sebagai alat penilaian kinerja
APBD merupakan komitmen dari budget holder (eksekutif) kepada
pemberi wewenang (legislatif). Kinerja eksekutif akan dinilai berdasarkan
pencapaian target anggaran dan efisiensi pelaksannaan anggaran.
g. Sebagai alat motivasi
APBD dapat digunakan sebagai alat memotivasi manajer dan stafnya agar
bekerja secara ekonomis, efektif, dan efisien, dalam mencapai target dan tujuan
organisasi yang lebih ditetapkan.
2.3. Penyimpangan Anggaran

Emile Durkheim (1964:64). Memberikan penjelasan pada “normlessness,


lessens social control”, bahwa kemerosotan moral yang terjadi sebagai akibat
berkurangnya pengawasan dan pengendalian sosial, sehingga menyebabkan
individu sulit untuk menyesuaikan diri dalam perubahan norma, bahkan seringkali
terjadi konflik norma dalam pergaulan. Menurut Durkheim perilaku individu tidak

19
hanya dipengaruhi oleh diri individu itu sendiri,tetapi juga dipengaruhi oleh
kelompok ataupun organisasi sosial lainnya, mempengaruhi perilaku seseorang.

Teori Durkheim ini dipandang sebagai kondisi yang mendorong sifat


individualistis yang cenderung melepaskan pengendalian sosial. Keadaan ini juga
akan diikuti dengan perilaku menyimpang dari individu dalam pergaulan di
lingkungan masyarakat. Durkheim memandang bahwa suatu masyarakat yang
sederhana atau berada komunitas, suatu ketika berkembang menuju suatu
masyarakat modern, maka kedekatan (intimacy) yang diperlukan untuk
melanjutkan seperangkat norma-norma umum (common set of rules) juga akan
merosot ke perubahan, maka seseorang secara perilaku termotivasi hal-hal yang
baru. Dalam sebuah ketentuan dalam masyarakat, tindakan serta harapan individu
akan bertentangan dengan harapan dan tindakan individu lainnya.

Hal ini jika terjadi secara berkelanjutan maka tidak mungkin sistem yang
dibangun dalam masyarakat akan rusak atau sudah cap, sehingga masyarakat
tersebut berada pada kondisi anomi atau ketika anggota komunitas berinteraksi
sosial dengan kelompok lain. Kurangnya hubungan suatu masyarakat dengan
masyarakat lain, sehinggga ketersingan hidup anggota terpengaruh dengan polah
trade kebudayaan.

Analisis tentang pemberian cap itu dipusatkan pada reaksi orang lain.
Artinya ada orang-orang yang memberi definisi, julukan, atau pemberi label
(definers/labelers) pada individu-individu atau tindakan yang menurut penilaian
orang tersebut adalah negatif. Disebut penipu, pencuri, wanita nakal, orang gila,
dan sebagainya, maka si pelaku akan terdorong untuk melakukan penyimpangan
sekunder. Misalnya, Sebagai tanggapan terhadap pemberian cap oleh orang lain
maka si pelaku penyimpangan primer mendefinisikan dirinya sebagai penyimpang
dan mengulangi lagi perbuatan menyimpangnya melakukan penyimpangan
sekunder sehingga mualai menganut suatu gaya hidup menyimpang (deviant life
style) yang menghasilkan suatu karier menyimpang (deviant carieer) dalam
kelompok atau komunitas tertentunya.

20
Menurut teori Robert K Merton, dalam (Cullen & Agnew,1980:171), akar
penyimpangan sosial, tidak seperti kebanyakan teori yang mengemukakan bahwa
kejahatan dan penyimpangan timbul dari sebab-sebab individu yang melanggar
norma- norma dan nilai-nilai dalam masyarakat pada umumnya. Merton
mengemukakan bahwa penyimpangan perilaku itu terjadi karena masyarakat
mempunyai struktur budaya dengan sistem nilai yang berbeda-beda dalam sosial
atau tidak ada satu standar nilai yang dijadikan suatu kesepakatan untuk dipatuhi
bersama. Sehingga masyarakat akan berubah perilaku yang tidak wajar.

Menurut Prasetija, (2009) konsep dasar teori adaptasi muncul dari dunia
biologi, dimana ada 2 yang penting yaitu evaluasi genetika, yang berfokus pada
umpan balik dari interaksi lingkungan dan adaptasi biologi yang berfokus pada
perilaku menyimpang dari organisme selama masa hidupnya. Organisme tersebut
baru menguasai fokus lingkungan, tidak fokus umpan balik lingkungan. Adaptasi
juga merupakan proses penyesuaian diri dilingkungan pergaulan pertemanan, dan
aktivitas seseorang yang dilakukan dimana mereka tinggal, yang mengalami
perubahan-perubahan sikap dan tingkah laku terhadap dalam masyarakat. Maka
Teori ini berpandangan bahwa munculnya perilaku menyimpang yang
menyebakan serta melaggar suatu hukum sosial yang berlaku kehidupan
masyarakat pada umumnya.

Merton menggambarkannya ke dalam lima kemungkinan adaptasi untuk


mencapainya tujuan-tujuan budaya yang ada di kalangan masyarakat sebagai
berikut:

1. Konformitas (conformity) menerima tujuan masyarakat dan sarana sosial


dapat diterima untuk mencapainya suatu kesuksesan. Merton mengklaim
bahwa sebagian besar masyarakat kelas menengah telah mampu
mengakses peluang di dalam masyarakat seperti pendidikan, kesehatan
yang lebih baik untuk mencapai kesuksesan moneter melalui kerja keras.
Konformitas menerima baik tujuan budaya yang ditetapkan maupun cara
untuk mencapai tujuan tersebut.
2. Inovasi (inovation) merupakan respon karena ketegangan yang dihasilkan
oleh penekanan budaya kita pada kekayaan dan kurangnya kesempatan

21
untuk menjadi kaya, yang menyebabkan orang menjadi "inovator" dengan
terlibat mencuri dan menjual obat- obatan. Inovator menerima atau
mengikuti tujuan yang ditentukan oleh masyarakat, tetapi ia memakai cara
yang dilarang sosial (termasuk tindakan kriminal).
3. Ritualisme (ritualism) mengacu pada ketidakmampuan untuk mencapai
tujuan budaya sehingga merangkul aturan ke titik di mana mereka
melupakan tujuan mereka yang lebih besar untuk merasa terhormat.
Ritualis cenderung menghindari risiko (seperti pelanggaran hukum), dan
hidup nyaman dalam batas-batas dari rutinitas sehari-hari.
4. Retretisme(retreatism) merupakan respon yang menunjukkan
ketidakmampuan seseorang untuk menolak baik tujuan budaya maupun
tujuan yang ditetapkan oleh masyarakat, dengan cara membiarkan orang
yang menolak tujuan masyarakat dan sarana yang sah untuk mencapai
tujuan mereka contah respon pencadu, peminum alkohol dan orang yang
bakal menjadi sakit mental, dan tidak dimobilisir dapat dilihat sebagai
retreating. Merton melihat hal yang demikian sebagai suatu penyimpangan
sosial, karena mereka melakukan tindakan penyimpangan untuk mencapai
hal-hal yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai masyarakat yang
dipatuhi.
5. Pemberontakan (Rebellion) mirip dengan retreatisme, karena
pemberontakan juga menolak tujuan budaya dan cara mencapainya, tetapi
mereka melangkah lebih jauh dan tandingan" yang mendukung tatanan
sosial lain yang sudah ada (melanggar aturan)." Pemberontak menolak
tujuan masyarakat dan tidak mengakui struktur yang ada dan menciptakan
struktur sosial yang baru.

Merton mengambarkan beberapa pemikiran diatas maka, yang menjawab


dalam pokok permasalahan penelitian ini adalah Retretisme, (retreatism)
menunjukan bahwa untuk menolak tujuan masyarakat terhadap memengaruhi
perilaku penyimpangan sosial dalam mengkonsumsi minuman alkohol. Sehingga
komunitas mahasiswa Papua sekarang sedang mengalami hal yang sama dalam
perilaku penyimpangan terhadap melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang
berlaku dalam sosial.

22
Menurut Kartono (1988:93) mengatakan perilaku menyimpang sosial
disebut pula sebagai anak cacat sosial. Artinya perilaku yang tidak sesuai dengan
aturan atau norma yang berlaku di masyarakat. Teori- teori umum tentang
penyimpangan berusaha menjelaskan semua contoh penyimpangan sebanyak
mungkin dalam bentuk apapun misalnya kejahatan, gangguan mental, bunuh diri,
pencuri dan penyalagunaan alkohol. Sehingga menimbulkan gangguan-gangguan
kejiwaan seorang pelaku minum keras karena sistem pencernaan tubuh sangat
mengakibatkan oleh minuman beralkohol. Situasi ini pada akhirnya menimbulkan
banyak perilaku yang menyimpang dari norma agama dan adat yang dilakukan
oleh seseorang yang tidak sesuai hukum masyarakat

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (1999) mengidentifikasi


faktor-faktor penyebab korupsi di Indonesia yang terdiri atas 4 (empat) aspek,
yaitu

1. Aspek Perilaku Individu


Perilaku individu merupakan hasil daripada segala macam
pengalaman serta interaksi birokrat dengan lingkunganya yang terwujud
dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan dalam hal ini di lingkungan
pemerintahan. Perilaku merupakan respon/reaksi seorang birokrat
terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.
2. Aspek Organisasi
Organisasi pada dasarnya digunakan sebagai tempat atau wadah
bagi orang-orang untuk berkumpul, bekerjasama secara rasional dan
sistematis, terencana, terpimpin dan terkendali dalam memanfaatkan
sumber daya, sarana-prasarana, data, dan lain sebagainya yang
digunakansecara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi.
3. Aspek Peraturan Perundang-undangan
Perundang-undangan merupakan proses pembentukan atau proses
membentuk peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
Daerah. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang
merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di tingkat pusat maupun
tingkat Daerah.

23
4. Aspek Pengawasan
Di dalam birokrasi, pengawasan sebagai upaya kontrol birokrasi
ataupunorganisasi harus dilaksanakan dengan baik, karena apabila
tidakdilaksanakan, cepat atau lambat akanmengakibatkan mati/hancurnya
suatuorganisasi atau birokrasi itu sendiri.

2.4 Penelitian Terdahulu

Penelitian terkait telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, Fitriah (2018)


yang berjudul Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyimpangan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah pada Pemerintahan Daerah Kabupaten
Sumbawa Barat. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat empat hipotesis yang
diuji dengan menggunakan regresi linear. Dari pengujian dengan regresi linier
dapat disimpulkan bahwa persepsi atas aspek pengawasan berpengaruh terhadap
terjadinya penyimpangan APBD di Kabupaten Sumbawa Barat..

Syamsul Bahri (2008) dengan judul Analisis Faktor – Faktor yang


Mempengaruhi Korupsi dan Modus Korupsi Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah di Malang Raya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku individu
tidak berpengaruh terhadap korupsi APBD, sedangkan organisasi pemerintah,
peraturan perundang – undangan, dan pengawasan berpengaruh terhadap korupsi
APBD di Malang Raya.

Penelitian terdahulu dilakukan oleh Fitriah (2018) dengan judul Analisis


Faktor – Faktor yang mempengaruhi Penyimpangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Sumbawa Barat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa semua variabel berpengaruh positif signifikan terhadap
penyimpangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten
Sumbawa Barat.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Aliamin, dan Gadeng (2015) dengan
judul Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi terjadinya Penyimpangan
Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di Provinsi Aceh. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa semua variabel baik perilaku individu, peraturan

24
perundang – undangan, dan pengawasan sangat berpengaruh terhadap korupsi
APBD di Provinsi Aceh.

2.5 Kerangka Konseptual

Kerangka konsep dari penelitian ini merupakan pernyataan mengenai


hubungan antara variabel yang diciptakan berdasarka pustaka yang telah
dijelaskan dengan didukung penelitian terdahulu. Aspek empiris yang
dihubungkan dengan aspek teoritis, dikembangkan untuk membentuk hubungan
antara variabel dependen dengan variabel independen yang kemudian akan
mencipatakan sebuah hipotesis. Penelitian ini akan melakukan analisis terhadap
Faktor Perilaku Individu dan Pengawasan yang Mempengaruhi Penyimpangan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Pemerintahan Kabupaten Jember
Tahun 2020.
Wawan (2011) Perilaku merupakan suatu tindakan yang dapat diamati dan
mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun
tidak.Perilaku adalah kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi.
Terry mengungkapkan bahwa dalam rangka pencapaian tujuan suatu
organisasi, termasuk negara sebagai organisasi kekuasaan terbesar seyogyanya
menjalankan fungsi-fungsi manajemen yang terdiri dari: perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), memberi dorongan (actuating), dan pengawasan
(controlling) (Terry, 2007:15). Pengawasan sebagai upaya kontrol birokrasi
ataupun organisasi harus dilaksanakan dengan baik, karena apabila tidak
dilaksanakan, cepat atau lambat akan mengakibatkan mati/hancurnya suatu
organisasi atau birokrasi itu sendiri (Terry, 2007:137).
Oleh karena itu, faktor perilaku individu dapat mempengaruhi
penyimpangan anggaran karena faktor perilaku individu tersebut dapat
menggambarkan seberapa besar tingkat penyimpangan yang dilakukan
pemerintah, dimana kedua hal tersebut mempengaruhi penyimpangan anggaran.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat dibuat kesimpulan bahwasannya faktor
perilaku individu dan faktor pengawasan berpengaruh terhadap penyimpangan
anggaran.

25
H1
X1 Perilaku Individu

Y Penyimpangan APBD

H2
X2 Pengawasan

2.6 Hipotesis Penelitian

Menurut Sugiyono (2013) hipotesisadalah jawaban yang masih


bersifatsementara terhadap rumusan masalah penelitian, yang mana rumusan
masalah penelitian sudah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Hipotesis
maka dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan
pada teori.Berdasarkan penjelasan mengenai kerangka konseptual penelitian
dan penelitian sebelumnya, maka hipotesis penelitian yang diajukan sebagai
jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai
berikut :
A.Pengaruh Faktor Perilaku Individu terhadap Penyimpangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Perilaku adalah segenap manifestasi hayati individu dalam
berinteraksi dengan lingkungan, mulai dari perilaku yang paling nampak
sampai yang tidak tampak, dari yang dirasakan sampai paling yang tidak
dirasakan (Okviana, 2015).Perilaku merupakan hasil daripada segala macam
pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkunganya yang terwujud
dalambentukpengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku merupakan
respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar
maupun dari dalam dirinya (Notoatmojo, 2010).

26
Sedangkan menurut Wawan (2011) Perilaku merupakan suatu
tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan
tujuan baik disadari maupun tidak.Perilakuadalah kumpulan berbagai faktor
yang saling berinteraksi.

Berdasarkan uraian di atas, maka disusun hipotesis dalam konteks


pemerintah daerah, sebagai berikut :

H1 =Aspek Perilaku Individu berpengaruh terhadap Penyimpangan


Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

B.Pengaruh Faktor Pengawasan terhadap Penyimpangan Anggaran


Pendapatan dan Belanja Daerah
Pengawasan merupakan fungsi manajemen yang sangat berkaitan
eratdengan pencapaian tujuan organisasi, sehingga pengawasan dalam
organisasiapapun menjadi mutlak dilakukan. Terry mengungkapkan bahwa
dalam rangka pencapaian tujuan suatuorganisasi, termasuk negara sebagai
organisasi kekuasaan terbesarmenjalankan fungsi-fungsi manajemen yang
terdiri dari: perencanaan(planning), pengorganisasian (organizing),
memberi dorongan (actuating),danpengawasan (controlling) (Terry,
2007:15).Menurutnya, pengawasan sebagai upaya kontrol birokrasi
ataupunorganisasi harus dilaksanakan dengan baik, karena apabila
tidakdilaksanakan, cepat atau lambat akanmengakibatkan mati/hancurnya
suatuorganisasi atau birokrasi itu sendiri (Terry, 2007:137).
Hal tersebut juga didukung oleh Situmorang dalam bukunya
AspekHukum Pengawasan Melekat dalam Lingkungan Aparatur
Pemerintah, yangmengatakan bahwa sebagai salah satu fungsi manajemen,
mekanismepengawasan suatu organisasi memang mutlak diperlukan.
Pelaksanaan suaturencana dan program tanpa diiringi dengan suatu sistem
pengawasan yangintensif dan berkesinambungan jelas akan mengakibatkan
lambatnya, ataubahkan tidaktercapainya sasaran dan tujuan yang telah
ditentukan.(Situmorang, 2005:8).
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disusun hipotesis penelitian
sebagai berikut :

27
H2 = Aspek Pengawasan berpengaruh terhadap Penyimpangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

28
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini dapat digolongkan


dalam jenis penelitian kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif merupakan
salah satu jenis penelitian yang spesifikasinya adalah sistematis, terencana
dan terstruktur dengan jelas sejak awal hingga pembuatan desain
penelitiannya. Menurut Sugiyono (2013) Metode penelitian kuantitatif
merupakan penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme,
digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu,
pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data
bersifat kuantitatif/statistik,dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang
telah ditetapkan.
3.2 Jenis dan Sumber data
Sumber data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan
informasi berupa data (Ghozali, 2011). Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer merupakan
sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli
(Indriantoro dan Supomo, 2014: 146-147). Data Sekunder merupakan
sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul
data, misalnya melalui orang lain atau lewat dokumen (Sugiyono, 2013).
Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari wawancara dan jawaban
responden terhadap pernyataan kuesioner yang disebarkan kepada instansi
Inspektorat dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. Sedangkan data
sekunder diperoleh dari dokumentasi, jurnal, dan sejenisnya.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah langkah yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan
data (Sugiyono, 2013). Pengumpulan data yang di gunakan menggunakan
metode survei dengan menyebarkan kuesioner kepada masing-masing
pegawai Inspektorat dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. Selain itu
peneliti juga menggunakan metode wawancara dan dokumentasi untuk
memperkuat data penelitian.

29
Menurut Sugiyono (2013) skala yang digunakan dalam
penyusunan kuesioner dalam penelitian ini menggunakan 5 poin
skalalikert, variabel yang diukur dengan skala likert.Pengukuran
yangdilakukanmenggunakan skala Likert dengan penilaian skor 5= sangat
setuju, skor 4= setuju, skor 3=cukupsetuju, skor 2 = tidak setuju, skor 1=
sangat tidak setuju.
3.4 Populasi dan Sampel

A. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau


subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Ghozali, 2013). Jadi populasi sebenarnya bukan hanya
orang tetapi juga objek atau subjek beserta karakteristiknya
(IndriantoroN, 2009)

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pegawai negeri di


Inspektorat dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jember.

B. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah atau karakteristik tertentu yang


diambil di suatu populasi yang akan diteliti secara rinci (Indriantoro N.,
2009). Teknik pengambilan sampel merupakan cara yang diambil atau
ditempuh seseorang peneliti untuk memperoleh sampel atau populasi
(Sugiyono, 2013).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Purposive


Sampling Method yaitu pengambilan sampel dengan cara mengambil
subjek bukan didasarkan dari strata atau tingkatan, random atau daerah,
melainkan didasarkan pada kriteria tertentu (Sugiyono, 2013).

Sampel yang diambil dari penelitian ini adalah pegawai yang ada
di Inspektorat dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jember yang meliputi
Kepala, Sekretaris, kepala bagian, hingga staff pegawai Inspektorat dan
Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. Total ada 100 pegawai dengan porsi

30
50 pegawai Inspektorat dan 50 pegawai Dinas Kesehatan Jember, sehingga
sampel yang diambil berjumlah100 responden

3.5 Variabel Penelitian


Dalam melakukan sebuah penelitian tidak mungkin lepas
darivariabel – variabel yang meliputi variabel dependen dan variabel
independen. Menurut Arikunto (2006: 118) variabel adalah suatu objek
penelitian atau sesuatu yang menjadi titik perhatian dalam suatu penelitian.
Berdasarkan judul penelitian yang kemudiandipaparkan melalui latar
belakang masalah, maka variabel - variabel yang akan digunakan di dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Variabel Dependen (Variabel Terikat)
Variabel terikat merupakan tipe variabel yang dijelaskan atau
dipengaruhi oleh variabel inndependen (Indriantoro dan Supomo,
2014: 63). Variabel Dependen (Variabel Terikat) dalam penelitian ini
adalah penyimpangananggaran.
2. Variabel Independen (Variabel Bebas)
Variabel Independen (Variabel bebas) merupakan tipe variabel
yang menjelaskan atau mempengaruhi variabel yang lain (Indriantoro
dan Supomo, 2014: 63). Variabel independen dalam penelitian ini
adalah, faktor perilaku individu, dan faktor pengawasan.
3.6DefinisiOperasional Variabel
Variabel independen pada penelitian ini yaitu faktor perilaku individu,
dan pengawasan. Untuk variabel dependen pada penelitian ini adalah
penyimpangan anggaran. Berikut tabel 3.1 menjelaskan definisi operasional
variabel :
Tabel 3.1
Definisi Operasional Variabel

No Variabel Definisi Variabel Peng Pernyata


. ukura an
n kuisione
r
1. Perilaku Perilaku individu merupakan hasil Skala Likert

31
Individu dari pada segala macam dengan skor 1 Nomer
1
pengalaman serta interaksi sampai 5
Nomer
birokrat dengan lingkunganya 2
yang terwujud dalam bentuk Nomer
3
pengetahuan, sikap dan tindakan Nomer
dalam hal ini di lingkungan 4
Nomer
pemerintahan 5

2. Pengawas Pengawasan sebagai upaya Skala Likert Nomer


1
an kontrol birokrasi ataupun denganskor 1
Nomer
organisasi harus dilaksanakan sampai 5 2
dengan baik, karena apabila tidak Nomer
3
dilaksanakan, cepat atau lambat Nomer
akan mengakibatkan 4
Nomer
mati/hancurnya suatu organisasi 5
atau birokrasi itu sendiri.
3. Penyimpa Penyimpangan anggaran Skala Likert Nomer
1
ngan merupakan upaya penyelewengan denganskor 1
Nomer
Anggaran suatu rencana kerja pemerintah sampai 5 2
daerah yang mencakup seluruh Nomer
3
pendapatan atau penerimaan dan Nomer
belanja atau pengeluaran 4
Nomer
pemerintah daerah, baik provinsi, 5
kabupaten, dan kota dalam rangka
mencapai sasaran pembangunan
dalam kurun waktu satu tahun
yang dinyatakan dalam satuan
uang dan disetujui oleh DPRD
dalam peraturan perundangan
yang disebut Peraturan Daerah

3.7. Kerangka Pemecahan Masalah

32
3.8. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
analisis data kuantitatif yang menggunakan alat ukur IBM SPSS Statistic 23 untuk
menguji data. Menurut Ghozali (2011) IBM SPSS Statistic 23 menyediakan menu
untuk membuat berbagai macam grafik. Penyajian data dalam bentuk grafik ini
dapat digunakan untuk melengkapi analisis data antara lain jenis Bar, Pie, Line,
Area. Berikut ini adalah langkah-langkah analisis data pada penelitian ini.
3.8.1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif berfungsi untuk menganalisa data
dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah
terkumpul sebagimana adanya, tanpa berkmaksud membuat
kesimpulan yang berlaku untuk umum (Sugiyono, 2004:169)
3.8.2 Uji Instrumen Data
Menurut Ghozali (2011) Uji Instrumen data adalah menguji
data yang diperoleh apakah data tersebut akurat dari subjek peneliti
sehingga dapat mewakili keadaan sesuatu yang diukur dan dapat
dipertanggungjawabkan. Uji Interumen data dalam penelitian ini
terdiri dari uji validitas dan uji reliabilitas
1. Uji Validitas
Arikunto (2010:211) menyatakan validitas adalah suatu
ukuran yang menunjukkan ingkat-tingkat kevalidan. Uji
validitas sebuah data bertujuan untuk mengetahui sejauh mana
validitas data yang diperoleh dari penyebaran kuesioner.
Sebuah instrument dikatakan valid apabila mampu mengukur
apa yang hendak diukur serta dapat mengungkapkan data dan
variable yang akan diteliti secara tepat. Uji validitas digunakan
untuk mereduksi metode yang secara umum dipakai yaitu
dengan mengkorelasikan antara skor individu yang diperoleh
masing-masingitem atau butir pertanyaan dengan skor total
masing-masing item. Teknik korelasi yang digunakan
memakai rumus korelasi Product Moment Pearson
Correllations. Validitas dapat dilihat dari nilai signifikasi, jika

33
nilai signifikasi < 0,05, maka instrument dapat dikatan valid
(Ghozali, 2011).
2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas merupakan alat untuk mengukur suatu
kuesioner yang merupakan indicator dari variable. Suatu
instrument dikatan reliable (andal) jika jawaban seseorang
terhadap pertanyaan tersebut konsisten atau stabil dari waktu
ke waktu. Teknik yang digunakan memakai uji statistic
Cronbach Alpha. Pengujian dengan teknik ini untuk menguji
tingkat keandalan atau reliability dari masing-masing angket
variable. Suatu konstruk atau variable dikatakan reliable jika
memberikan nilai Cronbach Alpha>0,60 (Ghozali, 2011)
3.8.3 Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik adalah analisis yang digunakan penilai untuk
mengetahui apakah didalam sebuah model regresi linier yang
digunakan dalam penelitian ini berdistribusi normal, bebas dari
masalah multikolineritas dan heterokedstisitas. Dalam penelitian ini
uji asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut (Ghozali, 2011) :
1. Uji Normalitas
Uji normalitas adalah uji yang dilakukan pada distribusi
data untuk menilai kenormalan suatu distribusi data. Tujuan uji
normalitas sendiri untuk menguji apakah sebuah model regresi
variable terikat dan variable bebas mempunyai distribusi
normal atau tidak (Ghozali, 2011). Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan uji statistik Kolmogorv-Smirnov dengan melihat
tingkat signifikansinya. Regresi dikatakanmemiliki distribusi
data residual normal apabila hasil pengujian dari Kolmogorv-
Smirnov memiliki tingkat signifikansi > 0,05.
2. Uji Multikolinieritas
Uji Multikolinieritas bertujuan untuk menemukan apakah
terdapat korelasi antar variabel bebas (independen) pada suatu
model regresi. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi

34
korelasi diantara variabel bebas (independen) (Ghozali,2011).
Pada penelitian ini uji multikolinieritas dilihat dari nilai
Tolerance dan lawannya Variance Inflation Factor (VIF). Suatu
model regresi dikatakan terdapat multikolinieritas apabila nilai
tolerance ≤ 0,10 sedangkan nilai VIF ≥ 10
3. Uji Heteroskedastisitas
Tujuan dari pengujian heteroskedasitas adalah untuk
mengetahui apakah dalam suatu model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke
pengamatan yang lain (Ghozali,2011). Apabila variance dari
residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka
disebut sebagai homokedastisitas dan apabila berbeda maka
disebut sebagai heteroskedastisitas.
Menurut Ghozali (2011) model regresi yang baik adalah
tidak terjadi Heterokedastisitas. Pada penelitian ini, uji
heteroskedastisitas peneliti menggunakan grafik Scatterplot.
Dasar yang digunakan peneliti dalam analisis grafik Scatterplot
untuk melihat apakah terdapat atau tidak heteroskedastisitas
dalam model regresi adalah sebagai berikut (Ghozali, 2011) :
1. Apabila ada pola tertentu, seperti titik-titik yang
membentuk pola tertentu secara teratur maka
teridentifikasi terjadinya heteroskedatisitas.
2. Apabila tidak ada pola yang terlihat jelas serta titik-titik
menyebar di atas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y,
maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
3.8.4 Uji Regresi Linear Berganda
Menurut Ghozali (2011), Analisis regresi linear berganda adalah
suatu analisis asosiasi yang digunakan secara bersamaan untuk
meneliti pengaruh dua atau lebih variabel bebas terhadap satu
variabel tergantung dengan skala interval. Tahapan selanjutnya
setelah uji asumsi klasik dilakukan yaitu melakukan uji regresi

35
linier.Dalam penelitian ini uji regresi linier yang dapat dilakukan
dengan persamaan sebagai berikut :

Y = a + b1X1 + b2X2 + e
Dimana :
Y = Penyimpangan Anggaran
X1 = Faktor Perilaku Individu
X2 = Faktor Pengawasan
a = Konstanta
b = Koefisien Regresi
e = Error

3.8.5. Koefisien Determinasi (R2)


Menurut Ghozali (2011) Koefisien determinasi pada intinya
mengukur besarnya sumbangan variable bebas terhadap variable
terikat. Nilai koefisien determinasi antara 0 dan 1. Apabila nilai
koefisien determinasinya kecil maka hal ini menunjukkan bahwa
variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen sangat
terbatas. Begitu sebaliknya, apabila nilai koefisien determinasinya
tinggi atau hampir mendekati 1 maka variabel independen
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk
memprediksi variabel dependen (Ghozali, 2011).
3.8.6. Uji F
Menurut Ghozali (2011) tujuan pengujian ini adalah untuk menguji
hipotesis bersama, bahwa dan secara simultan sama
dengan 0. Uji hipotesis seperti ini dinamakan ujisignifikansi secara
keseluruhan pada garis regresi yang diobservasi maupun diestimasi
(Ghozali, 2011).

36
DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo. 2002. Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit ANDI.


Yogyakarta. Agustino, Leo.2014. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Penerbit
Alfabeta. Bandung
Abdul Wahab, Solichin. 1990. Pengantar Analisis Kebijakan Negara. Rineka
Cipta. Jakarta.
Effendi, Sofian. 1990. Kebijakan Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam
Menghadapi Era Tinggal Landas. Solo.
Mustopadidjaja, AR, 2003, Manajemen Proses Kebijakan Publik: Formulasi,
Implementasi dan Evaluasi Kinerja. Lembaga Administrasi Negara RI.
Jakarta.
Caiden and Wildavsky (1974). Planning and Budgeting in Poor Countries, Google
Books. www.Google.com.
Saragih, Juli Panglima, 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam
Otonomi, Cetakan Pertama. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Abidin. (2017). Menguak penyimpangan DD Kejari Ponorogo Bidik Proyek di
Babadan, Faktualnews.co.Diaksestanggal 16 Oktober 2017.
Agusti. (2012). Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran Terhadap Kinerja
Aparatur Pemerintah Daerah Dengan Dimoderasi Oleh Variabel
Desentralisasi Dan Budaya Organisasi (Studi Kasus Pada Pemerintah
Kabupaten Bengkalis), Jurnal Ekonomi Volume 20, Nomor 3 September
2012.
Anthony, Robert N dan Vijay Govindarajan. (2005). Sistem Pengendalian
Manajemen buku dua, Terjemahan Kurniawan Tjakrawala, Jakarta:
Salemba Empat.
Kaho, Josef Riwu.(2003). ProspekOtonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,
Rajawali Press, Jakarta
Santoso, Singgih. 2012. Analisis SPSS pada Statistik Parametrik. Jakarta: PT.
Elex Media Komput Indo.
Sudarmanto. 2009. Kinerja dan Pengembangan Kompetensi Sumber Daya
Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

37
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta Sugiyono. 2015.
Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

38

Anda mungkin juga menyukai