Anda di halaman 1dari 14

Bab 1

Pendahuluan

K
ita semua pasti pernah melihat orang menari, baik menontonnya
secara langsung, secara sambil lalu, atau melalui siaran tele­
visi. Bahkan mungkin kalian pernah menari, baik untuk diper­
tontonkan, ataupun hanya bertujuan senang­senang bersama teman; atau
sekedar menggoyang­goyangkan badan sambil menyanyi dan bertepuk
tangan. Jadi, sesungguhnya tari bukanlah hal yang asing bagi kehidupan
kita semua. Tapi apakah berjingkrak­jingkrak termasuk menari? Apakah
gerak jalan atau baris­berbaris dengan iringan musik juga termasuk tari?
Apa bedanya menari untuk tujuan bersuka ria bersama teman, dengan
menari untuk dipertontonakan di atas panggung? Apakah semua tari
harus diatur? Haruskah ada penciptanya? Apakah gerak tari harus indah?
Bagaimana ukurannya? Kriteria apa yang harus dimiliki seseorang untuk
bisa disebut penari? Tentu masih banyak lagi pertanyaan yang tampaknya
sederhana tapi kita perlu merenung untuk menjawabnya.
Secara umum, buku Tari Tontonan ini akan membahas banyak hal
yang bertujuan untuk membuka kesadaran, wawasan, atau kepekaan kita
dalam melihat suatu jenis kesenian yang terdapat di dunia, dimiliki oleh
segenap kelompok masyarakat, dengan cara yang berbeda­beda. Lebih
khusus, buku ini akan membicarakan jenis tarian yang dipertunjukkan. Jika
ada tarian untuk ditonton, pasti ada tarian yang bukan untuk ditonton.
Karena itu, buku ini akan menjelaskan pula jenis­jenis tarian lain.
 — TARI TONTONAN

Tari adalah jenis kesenian yang terkait langsung dengan gerak tubuh
manusia. Tubuh menjadi alat utama, dan gerak tubuh merupakan media
dasar untuk mengungkapkan ekspresi seni tari. Media adalah sesuatu atau
bahan-bahan yang mewujudkan karya seni. Misalnya, media pokok seni
lukis adalah garis, warna, dan tekstur (halus-kasarnya permukaan) yang
dilukiskan di atas kanvas, kertas, kain, tembok, dan sebagainya. Alat yang
dipakai untuk mewujudkan media tersebut adalah kuas, sendok-lukis, dan
lain-lain. Dalam tari, alatnya adalah tubuh dan medianya adalah gerak
tubuh. Dengan demikian, alat dan media dalam tari (tubuh dan gerak)
merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah, tidak seperti cat dan kuas
yang memang berbeda seperti halnya antara suara (vokal) dan organ tubuh
yang memproduksi suara.
Gerak dan suara adalah pertanda hidup. Ketika bayi lahir, ia
bergerak dan bersuara (tangis). Karena itu pula, banyak orang berpendapat
bahwa tari dan musik merupakan kesenian yang secara alamiah tumbuh
bersamaan dengan sejarah kehidupan (manusia). Akan tetapi, tidak semua
gerak tubuh dapat dikategorikan sebagai tari. Tentu ada beberapa hal
yang membedakan antara gerak tari dan gerak yang bukan tari. Lalu
apa perbedaannya? Bagaimana cara membedakannya? Dalam banyak
hal, perbedaan itu mudah di­terangkan, tapi dalam beberapa hal lainnya
tidaklah mudah untuk dirumuskan.

1.1 Gerak Tubuh Alamiah


Ada dua aspek pokok dalam tari, yakni gerak dan irama. Kedua hal ini
sudah mulai dikenal sejak usia balita, katakanlah pada usia setengah sampai
satu tahun. Gerakan-gerakan anggota tubuh, seperti tangan dan kepala,
biasanya dapat terangsang oleh bunyi-bunyian, seperti tepukan tangan
yang ritmis atau nyanyian yang sederhana sekali­pun. Peristiwa semacam
ini biasa terjadi dalam ruang keluarga dengan suasana keceriaan.
Fenomena ini menunjukkan dua hal. Pertama, tari merupakan jenis
kesenian yang relatif mudah direspons oleh anak-anak sejak dini. Coba
saja amati perkembangan adik-adik kalian, atau anak-anak lain yang masih
balita. Benarkah bayi-bayi yang belum bisa bicara lebih cepat merespons
gerakan?
Pemahaman kedua, secara mendasar peristiwa yang terjadi di ruang
keluarga tersebut sesungguhnya merupakan suatu peristiwa tontonan
walau­pun dalam situasi informal dan dalam tingkatan yang sederhana.
Artinya, terdapat dua pihak dalam ruang keluarga itu, yaitu pihak yang
ditonton dan yang menonton. Pihak yang ditonton adalah si anak balita
PENDAHULUAN — 

yang mengekspresikan perasaan lewat gerakan-gerakannya. Sedangkan


penontonnya adalah anggota keluarga yang memperhatikan tingkah laku
yang lucu dan menyenangkan dari si anak balita tersebut. Anak balita meng­
ekspresikan perasaan dan kebanggaannya karena menjadi obyek tontonan.
Penonton juga merasa senang karena terhibur oleh ‘kepintaran’ si balita
yang meres­pons rangsangan. Pada
saat itu terjadi interaksi antara
yang menonton dan yang ditonton.
Dengan demikian, betapapun seder­
hana­nya, di ruang keluarga itu telah
terjadi “per­tunjukan tari tontonan,”
yang bersifat spontan.
Ungkapan-ungkapan spon­tan
lewat gerak tubuh yang eks­presif
dan ritmis tersebut juga sering
terjadi pada orang dewasa. Ketika
seseorang secara tiba-tiba mendapat Gbr. 1-1: Bayi sudah bisa merespons dan berekspresi melalui
gerakan tubuhnya.
berita menggembira­kan misalnya
ketika memperoleh hadiah undian
atau juara perlom­baan kemung­
kinan orang terse­but mengungkap­
kan perasaan kegembiraannya
lewat gerakan-gerakan, seperti
ber­jingkrak-jingkrak, tepuk tangan,
dan sebagainya. Orang itu seringkali
tidak menyadari dirinya menjadi
tontonan. Yang “menonton” pun
secara emosional seringkali ikut
larut dengan ungkapan kegembira­ Gbr. 1-2: Balita belajar duduk dengan riang.
an orang tersebut.
Dua contoh kasus di atas
meng­awali pelajaran kita tentang
tari tontonan. Hakikat dari seni ton­
tonan adalah adanya dua pihak yang
memiliki peranan ber­beda, yakni
yang ditonton dan yang menonton.
Dalam pertun­jukan tari tontonan,
pihak yang ditonton adalah penari,
sedangkan yang menon­ton adalah
Gbr. 1-3: Balita belajar berdiri dan melatih keseimbangan sambil
yang memper­hati­kan­nya. bersuara.
 — TARI TONTONAN

Gbr. 1-4: Anak seorang dalang wayang di Bali. Meski Gbr. 1-5: Anak balita sedang menari-nari.
belum bisa bicara, tapi ia sudah mampu menirukan ayahnya
dengan menyuarakan wayangnya.

Gbr. 1-6: Anak balita bermain-main dengan gerakan lincah seperti menari. Gbr. 1-7: Dua anak laki-laki sedang “berlatih” silat atau
tinju.

Gbr. 1-8: Seorang anak sedang berdeklamasi dengan gerak-gerak yang variatif.
PENDAHULUAN — 

Gbr. 1-9: Seorang anak berpakaian seperti pemimpin adat atau Gbr. 1-10: Anak-anak di Bali sedang berlatih tari dengan
dukun, menari dengan iringan gondang sembilan di Mandailing, mengikuti petunjuk gurunya.
Sumatera Utara.

Gbr. 1-11: Seorang anak dari masyarakat Dayak di Kalimantan


Timur menarikan tari perang .

Gbr. 1-13: Tari Baris di Bali, merupakan tarian pertama yang


harus dipelajari oleh anak laki-laki. Banyak anak usia 9-10 tahun Gbr. 1-12: Pertunjukan tarian anak-anak di Jawa.
yang sudah pandai menarikannya.
 — TARI TONTONAN

Gbr. 1-14: “Gerakan meloncat pada saat Gbr. 1-15: Atlet olah raga terlatih mengatur keseimbangan tubuh secara
menyeberang sungai.” Tanpa disadari, tubuh mengatur otomatis. (Foto penjaga gawang hokey, sejenis permainan bola di atas es
keseimbangan badan. dengan tongkat.

Tari tontonan dipertunjukkan dalam berbagai konteks sosial,


tidak saja dalam bentuknya yang sederhana sebagaimana yang terjadi
di ruang keluarga, melainkan juga di berbagai forum sosial, seperti:
hiburan umum, ritual, festival, propaganda produk, kampanye politik,
dan lain-lain. Tempat pertunjukannya bisa di gedung pertunjukan, di
pendopo, di halaman rumah, di pasar, di lapangan terbuka, di atas kapal,
dan sebagainya.
Sampai saat ini, tari tontonan berkembang dalam berbagai bentuk
dan gaya, baik dari sisi teknik gerak, komposisi, pemanggungan, dan
lain sebagainya. Pertumbuhan ini selaras dengan perubahan budaya
atau kebutuhan masyarakatnya masing-masing, serta seiring dengan
perkembangan peradaban secara keseluruhan.

1.2 Kehidupan Tari


Selama berabad-abad tari telah memainkan peranan yang penting di
dalam kehidupan manusia. Tari dipertunjukkan pada berbagai peristiwa,
seperti yang berkaitan dengan upacara (ritual) dan pesta untuk merayakan
kejadian-kejadian penting pada suatu masyarakat. Walaupun kita tidak
mengetahui secara persis kapan orang mulai menari, namun tari telah
dikenal sejak manusia mengenal peradaban. Beberapa sumber tertulis
PENDAHULUAN — 

menjelaskan bahwa tari telah berperan penting dalam sistem sosial sejak
zaman pra­sejarah. Data­data arkeologis menunjukkan adanya gambar­
gambar manusia sedang menari yang terdapat di dinding­dinding goa.
Budaya menari hidup dan berkembang di dalam berbagai kelompok
masyarakat. Hal inilah yang tampaknya melahirkan tarian­tarian tradisi
hingga kini. Tradisi menari, yang mulanya hanya diperuntukkan bagi
kepentingan ritus sosial dan keagamaan, kemudian berkembang menjadi
suatu seni pertunjukan.
Tari sebagai bagian dari kebudayaan manusia dengan mudah
dapat dijumpai di berbagai belahan bumi ini, dalam berbagai bentuk
dan fungsinya. Dengan mengamati bentuk dan gerak, kita dapat belajar
mengenali keragaman budaya tari dari berbagai kelompok masyarakat
yang tersebar di berbagai pelosok dunia, termasuk di Nusantara ini.
Lihatlah misalnya tarian dari Papua dengan hentakan­hentakan kaki yang
kuat; tarian dari Bugis (Pakarena) dengan gerak yang sangat lambat; tarian
dari Aceh yang mengutamakan kekompakan kelompok seperti dalam tari
Saman; tarian dari Minangkabau yang banyak mengandung gerakan­
gerakan Pencak­silat; tari Jawa dengan gerakan mengalir seolah tanpa
titik henti; tari Bali dengan dasar posisi tubuhnya yang meliuk asimetris;
dan sebagainya.
Demikian juga tari­tarian dari berbagai belahan dunia, yang sangat
beragam coraknya. Tarian dari Muangthai (Thailand) dan Kamboja
banyak terdapat tekukan­tekukan tangan menyiku bersamaan dengan
tekukan kakinya yang mengangkat ke belakang. Tarian bertopeng di
Jepang, yang disebut Noh, bergerak sangat lamban. Tarian itu kontras
dengan tarian dalam opera Peking dari Cina yang sangat gesit dan
akrobatis. Tari­tari Bharatanatyam dari India Selatan dengan banyak ker­
lingan mata, suara kerincing dari gelang kaki yang dihentak­hentakkan
ke lantai dengan irama yang cepat, disertai posisi­posisi tangan dan jari
yang memiliki arti seperti kata (mudra). Tari­tarian suku Indian di benua
Amerika yang lebih menekankan pada gerak­gerak ritmis yang lembut
pada kaki berjengket. Kontras dengan tari­tarian dari Afrika yang dominan
hentakan kakinya, liukan tubuh bagian dada yang seperti ulat, dengan
teriakan­teriakan penarinya dalam volume yang lebih keras.
Itu hanya berupa contoh yang sangat sedikit dari keragaman tari di
dunia ini. Juga perlu diingat, bila di atas disebutkan kekhasan, yang boleh
dikatakan sebagai identitas lokal dari suatu suku, wilayah, negara, atau
benua, tidak berarti bahwa tarian di daerah tersebut semuanya demikian.
Jika di Indonesia terdapat ribuan jenis tari yang sangat berbeda­beda, di
negara lain pun mungkin memiliki hal yang sama.
 — TARI TONTONAN

(a) (b) (c)

(d)

Gbr. 1-16:
(a) Posisi tubuh penari
perempuan di Bali banyak meliuk
asimetris.
(b) Tari Bharatanatyam dari India
Selatan, menampakkan sikap
tubuh meliuk asimentris.
(c) Pemain akrobat Cina yang
menunjukkan kemampuan
pengaturan tenaga,
keseimbangan, dan kelenturan
tubuh yang luar biasa.
(d) Tarian dari Thailand dengan
tekukan tangan dan kaki yang
menyiku.
(e) Gerak tari Saman dari Aceh
terbentuk oleh kebersamaan.

(e)
PENDAHULUAN — 

(f)

(h)

(g)

(f) Tarian dari Tiongkok, yang mengeksplorasi


bentuk-bentuk dari selendang panjang.
(g) Tarian Noh dari Jepang, yang memakai
topeng, dengan gerakan yang amat lambat.
(h) Tari dari masyarakat Dayak yang
membentuk gerakan dengan menggunakan
kain dan menari di atas gong.
(i) Tarian anak-anak di Afrika Selatan, kreasi
baru, yang membuat gerakan-gerakan kuat
dengan kakinya.

(i)
10 — TARI TONTONAN

1.3 Batasan Tari


Jika bentuk tarian bermacam-macam di setiap budaya, mungkin kita akan
bertanya: adakah ukuran atau kriteria umum sehingga suatu gerakan bisa
disebut tari? Kalau seseorang yang menari disebut penari, haruskah tari
dilakukan oleh penari profesional saja, bisakah petani, siswa, orang tua,
peminta-minta, atau presiden termasuk di dalamnya? Kalau boleh, atau
tidak boleh, adakah persyaratan untuk menjadi penari? Apakah gerakan
tari harus indah? Apakah tarian harus menggambarkan sesuatu? Haruskah
tarian disusun atau dipikirkan sebelumnya, atau bisa dilakukan secara
spontan saja? Apakah menari harus dengan penuh perasaan? Perasaan
seperti apakah yang harus dimunculkan?
Sejumlah pertanyaan di atas menuntut kita untuk membuat suatu
batasan atau definisi. Akan tetapi, sampai sekarang pun belum ada satu
definisi tari yang bisa menjelaskan secara tuntas. Jika definisi ketat,
seluruh tari tidak akan terangkum. Sebaliknya, jika definisi tari longgar,
gerakan-gerakan yang bukan termasuk tari akan terangkum sebagai tari.
Misal, ada suatu definisi yang mengatakan, tari adalah “gerakan-gerakan
indah yang berirama, untuk mengungkapkan perasaan, baik untuk dirinya
sendiri, maupun untuk orang lain.” Yang menjadi pertanyaan dari definisi
ini adalah apa yang disebut “gerakan indah.” Bukan saja bahwa keindahan
itu relatif ukurannya, melainkan tidak semua gerakan tari diwujudkan
secara “indah.” Gerakan mencangkul dalam tari Tani, umpamanya, belum
tentu lebih indah dari gerakan orang yang sedang mencangkul di sawah
atau ladang. Sebaliknya, jika kata indah dihilangkan dari definisi di atas,
seorang anak yang menangis sambil menghentak-hentakkan kakinya (dan
itu berirama) akan dianggap tari.
Dengan demikian, suatu definisi singkat tapi jelas dan benar,
merupakan suatu hal yang tidak mungkin dapat dirumuskan. Karena itu,
untuk memahami sesuatu, yang terpenting bukanlah adanya satu kalimat
definisi, melainkan adanya sudut-sudut pandang yang lebih terfokus
pada berbagai aspek yang berkenaan dengan subjeknya, sehing­ga cara
pandang kita makin meluas dan tajam. Dengan itu, kepekaan kita dalam
melihat tari pun akan makin meningkat. Demikian halnya dalam berbagai
bidang ilmu, para ahli hampir tidak ada yang berlomba untuk membuat
suatu definisi singkat, karena yang dipentingkan adalah pemahamannya.
Tidaklah mungkin ada satu kalimat definisi yang membuat kita memahami
sesuatu dengan baik.
Daripada merumuskan suatu kalimat definisi, lebih baik kita
melihat suatu kenyataan, atau suatu pengalaman. Misalnya, jika kalian
pernah menari atau melihat tari, pertanyakan: Bagaimana perasaan
PENDAHULUAN — 11

kalian waktu mempertunjukkannya? Reaksi atau kesan apa yang muncul


ketika menonton tari? Ingatan apa yang melekat setelahnya? Coba
renungkan pertanyaan ini, dan carilah jawabannya. Jawaban-jawaban
itu akan membantu untuk membuat suatu definisi. Meskipun jawaban-
jawaban tersebut tidak jelas dan tumpang-tindihnya, namun jika hal itu
mengacu pada pengalaman personal pasti akan lebih bermakna ketimbang
berpegang pada rumusan satu kalimat.
Misalnya saja, di antara jawaban kalian ada yang seperti berikut:
1. “Ketika menonton tari, saya tidak mengerti artinya. Tetapi saya
melihat tubuh penari seolah ringan sekali, sepertinya penari dengan
mudah dan leluasa untuk bergerak.”
2. “Dari suatu pertunjukan tari, saya menangkap sesuatu yang baru, padahal
saya telah berkali-kali melihat tarian dengan penari yang ber­beda; tubuh
penari yang kecil, ketika menari kelihatan seperti besar.”
3. “Ketika menarikan suatu tarian yang jelas ceritanya, gerakan tubuh
saya merasa mampu mengungkapkan suasana batin yang saya
bayang­kan. Saya merasa lega karena berhasil menyampaikannya
pada penonton.”
4. “Saya tak pernah mengetahui maksud tarian itu, tapi saya suka
mempertunjukkannya, karena dalam melakukan setiap gerakannya
saya merasa nikmat. Tubuh saya pun kadang-kadang seperti berjalan
dengan sen­dirinya, seperti terbawa oleh irama musiknya; walaupun
harus mengeluar­kan tenaga yang banyak tapi saya tidak merasa
kelelahan.”
Tentu akan ada seribu-satu kemungkinan jawaban dari kalian, baik
yang serupa maupun yang bertolak-belakang dengan yang di atas. Akan
tetapi, dengan adanya jawaban-jawaban tersebut, timbul pertanyaan
“Apakah yang dimaksud dengan tari?” akan menjadi makin bermakna,
makin jelas apa yang dipertanyakannya.
Dari keempat jawaban di atas, sesungguhnya kita telah mendapat
beberapa acuan untuk memahami apa itu tari. Ada 5 aspek yang terungkap:
pertama adalah gerak tubuh (uraian nomor 1-4), kedua adalah irama (4),
ketiga adalah tenaga (4), keempat adalah perasaan (1-4), dan kelima adalah
makna (3). Jawaban-jawaban itu, satu sama lain telah menunjukkan lima
aspek yang terkandung di dalam tari..
Dalam kajian tari, aspek gerak secara wujud atau bentuknya disebut
ruang, iramanya disebut waktu, dan tenaganya disebut energi. Ketiganya
(ruang, waktu, dan energi) disebut elemen dasar dalam tari, karena aspek
fisik dalam tari akan menyangkut ketiga elemen ini. Sedangkan aspek
rasa dan maknanya adalah isi yang terkandung di dalam aspek-aspek
12 — TARI TONTONAN

fisik tersebut. Atas dasar itu untuk memahami apa itu tari, mari kita
membicarakannya secara lebih jauh dari aspek-aspek ini. Kita mulai
dengan melihat elemen-elemen dasarnya.

1.3.1 Ruang
Tari diwujudkan dengan gerak tubuh. Tubuh membutuhkan ruang,
seperti halnya semua benda, yang mengisi suatu volume di dalam suatu
ruang. Namun demikian, dalam tari tubuh bukan hanya mengisi ruang,
melainkan juga menciptakan ruang. Ketika seseorang merentang­kan
tangan, misalnya, maka dengan sendirinya suatu ruang akan tercipta.
Ruang dan imajinasi seperti apakah yang tercipta oleh suatu gerakan
tari, akan dibicarakan lebih lanjut dalam Bab 3. Yang penting diutarakan di
sini adalah yang berhubungan dengan batasan tari, serta gerakan-gerakan
apa saja yang bisa dikategorikan tari.
Tentu saja, gerak tari itu boleh dikata tak terhingga bentuknya.
Banyak penari yang melatih tubuhnya sampai dapat melakukan gerakan-
gerakan di luar kemampuan anatomis orang normal. Akan tetapi, gerak
tari itu, seberapa pun sederhananya, dimaksudkan untuk “menari,” bukan
untuk bekerja atau melakukan kegiatan lain-lainnya. Misalnya, ketika
bangun pagi kalian meng­ge­liat. Gerak menggeliat itu belum menjadi
tari karena kalian tidak bermaksud
untuk menari, walau­pun di situ
ada juga perasaan yang disalurkan
melalui gerakannya. Jadi suatu gerak,
walau mungkin tampak “bagus” dan
terasa enak, be­lum menjadi tari jika
dilakukan bukan untuk menari.
Lain halnya jika kalian melakukan
ge­rakan yang hampir sama dengan
meng­geliat itu pada saat pertunjuk­
kan di panggung. Jadi, gerak tari,
adalah gerak yang dilakukan oleh
seseorang untuk menari. Ada­pun
gerakan seperti apa ben­tuk­nya,
indah atau tidaknya, itu merupakan
persoalan lain, dan akan bermacam-
macam pula kriterianya sesuai
Gbr. 1-17 (a) dan (b): Ketika tangan merentang ke atas, ruang dengan ukuran masing-masing.
tambahan secara imajiner pun akan tercipta, apalagi keduanya
pada arah yang sama.
PENDAHULUAN — 13

Gbr. 1-18: Posisi gerak sembah dalam tari Sunda, dengan gerak Gbr. 1-19: Dalam gerakan tertutup dan lembut, terbentuk pula
yang menutup. ruang yang kecil, dan ekspresi yang meditatif menumbuhkan
adanya suatu pergolakan di dalamnya.

Gbr. 1-20: Tari Lumense dari Buton, Sulawesi Tenggara: ruang Gbr. 1-21: Tari Perang dari Dayak: properti tari, perisai dan
tercipta oleh hubungan penari dengan properti di luar dirinya pedang, turut menciptakan ruang tersendiri.
(pohon pisang).
14 — TARI TONTONAN

1.3.2 Waktu
Suatu gerakan akan memakan waktu, berapapun singkatnya. Untuk
menggeliat, kalian butuh waktu sekitar 5 detik. Dalam menari, aspek waktu
ini amat penting, dan inilah pula yang diatur. Suatu gerakan yang sama
jika dilakukan dalam waktu yang berbeda, akan berbeda pula efek dan
rasanya, baik bagi pelakunya, maupun bagi yang melihatnya. Walau tidak
selalu, aspek waktu dalam tari sering terkait dengan musik pengiringnya,
yang memang secara bersama-sama menjalani waktu tersebut. Istilah yang
banyak dipakai yang berkaitan dengan waktu adalah irama. Jadi, gerakan
tari adalah gerakan yang berirama, yang diatur waktunya. Irama pada
dasarnya adalah suatu pengorganisasian atau penyusunan waktu.
Akan tetapi, gerak bekerja atau gerak sehari-hari pun banyak yang
terorganisasi waktunya. Ketika kalian berjalan, bersepeda, menulis, dan
lain-lain, sesungguhnya juga berirama. Pengaturan waktunya, cepat
lambatnya diatur sesuai dengan kebutuhan atau keadaannya. Kecepatan
kalian berse­peda, akan
berbeda ketika lapar, ada
yang di­buru, bersantai-
santai bersama teman,
atau berlomba. Dengan
demi­kian, waktu bergerak
yang teratur atau yang
berirama itu pun belum
tentu merupakan tari.
Jadi, seperti halnya aspek
ruang, waktu atau irama
dalam menari diatur.
Jika dalam menari kalian
melakukan gerakan yang
lambat, bukanlah karena
santai atau lapar atau
sebaliknya ketika ber­
gerak cepat bukan karena
tergesa-gesa melainkan
karena itulah waktu yang
cocok untuk melakukan
tariannya.

Gbr. 1-22: Tari pemimpin adat dari Batak Toba, membawa tongkat pusaka (tunggal
panaluan). Dalam gambar ini kita mendapatkan imaji waktu, bukan hanya ruang.

Anda mungkin juga menyukai