Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia menganut aliran positivisme hukum, prinsip utama aliran positivisme adalah,
hukum di tetapkan dalam undang-undang, maka hanya peraturan perundang-undangan yang
disebut hukum. Hukum kebiasaan tidak dapat diterima sebagai hukum yang sungguh-
sungguh. Dengan demikian aliran ini sangat mengagungkan hukum tertulis, dan beranggapan
tidak ada norma hukum di luar hukum tertulis, semua persoalan di dalam masyarakat diatur
dengan hukum
tertulis.1 Antara satu hukum dengan hukum lainya saling bertautan, saling pengaruh
memengaruhi serta saling mengisi.2

Di Indonesia berlaku berbagai hukum, salah satunya yang berlaku adalah hukum pidana.
Hukum pidana ialah suatu hukum yang mengatur tentang kejahatan atau perbuatan yang
dapat dihukum dengan pidana yang telah ditentukan oleh undang-undang, dan terhadap siapa
saja yang dikenakan pidana. Hukum pidana terdiri dari hukum pidana obyektif (jus punale)
dan hukum pidana subyektif (jus puniendi).Setiap kejadian baik kejadian alam maupun
kejadian sosial tidaklah terlepas dari rangkaian sebab akibat, peristiwa alam maupun sosial
yang terjadi adalah merupakan rangkaian akibat dari peristiwa alam atau sosial yang sudah
ada sebelumnya. Setiap peristiwa sosial menimbulkan satu atau beberapa peristiwa sosial
yang lain, demikian seterusnya, yang satu mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu
lingkaran sebab akibat. Hal ini disebut hubungan kausal yang artinya adalah sebab akibat atau
kausalitas.3

Untuk memberikan gambaran yang lebih khusus mengenai hukum pidana, maka
pengertian hukum pidana yang diungkapkan Simons dalam bukunya leerboek nederland
strafrecht,memberikan definisi sebagai berikut: “hukum pidana adalah kesemuanya perintah-
perintah dan larangan- larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu
nestapa (pidana) barang siapa yang tidak mentaatinya, kesemuanya aturan-aturan yang

1
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2006).
2
Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013).
3
Andi Hamzah, “Asass Asas Hukum Pidana” (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal 166.

1
menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk
mengadakan (menjatuhi) dan menjalakna pidana tersebut.”4

ada masyarakat modern, listrik merupakan alat vital yang paling serius dalam kehidupan
sehari-hari dikarenakan alat pendukung di jaman modern seluruhnya menggunakan listrik,
diantaranya digunakan sebagai pendukung suatu usaha. Perusahaan Listrik Negara (PLN)
tercatat mempunyai pelanggan se-Indonesia, tidak sedikit desa atau pelosok daerah telah
terjaring distribusi listrik. Faktor ini dikarenakan suatu kapasitas pembangkit listrik tersebut
masih sangat terbatas. Selain itu juga adanya suatu praktek sambungan gelap, baik yang
dilakukan oleh orang biasa maupun orang yang mengerti dibidang listrik yang biasanya
dilakukan oleh perorangan atau organisasi tertentu. yang menyebabkan susut jaringan (losses)
sehingga mempengaruhi penurunan pasokan listrik. Pencurian adalah perbuatan mengambil
barang. Kata mengambil (wegenemen) dalam arti sempit terbatas pada menggerakan tangan
dan jari- jari, memegang barangnya, dan mengalihkannya ketempat lain. Sudah lazim masuk
istilah pencurian apabila orang mencuri barang cair, seperti bir, dengan membuka suatu keran
untuk mengalirkannya kedalam botol yang ditempatkan dibawah keran itu. Bahkan, tenaga
listrik sekarang dianggap dapat dicuri dengan seutas kawat yang mengalirkan tenaga listrik
itu ke suatu tempat lain daripada yang dijanjikan.5

Menurut R.Soesilo elemen-elemen Pasal 362 KUHP adalah sebagai berikut:

a. Mengambil

b. Sesuatu barang

c.Seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain

d.Dilakukan dengan maksud untuk memiliki dengan cara melawan hukum.6

Penerapan pidana terhadap perbuatan pencurian tenaga listrik dengan menggunakan Pasal
362 KUHP yang dilakukan sejak tahun 1931, yaitu dengan adanya Arrest Hooge Raad
tanggal 9 November 1931, dimana listrik atau tenaga listrik disamakan dengan unsur suatu
barang, dimana pada pertimbangan hakim pada tanggal 9 November 1931 dikatakan: “Pada
pencurian aliran listrik tidaklah penting apakah orang yang menghidupkan aliran dan dengan
demikian mengambil energi, telah terbuat demikian untuk dipakai bagi kepentingannya
4
Moeljatno, “Asas Asas Hukum Pidana” (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal 7.
5
Wirjono Prodjodikoro, “Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia” (Bandung: Refika Aditama, 2003), hal
15.
6
R.Soesilo, “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal
Demi Pasal, Politeia” (Bogor: Politeia, 1993), hal 249.

2
sendiri ataupun untuk dikumpulkan bagi kepentingannya sendiri. Pencurian telah selesai pada
saat diambilnya aliran listrik itu.”7

Selain aturan yang terdapat pada pasal 362 KUHP, pencurian terhadap tenaga listrik ini
juga dikuatkan dengan adanya aturan sanksi pidana yang terdapat pada pasal 51 ayat (3)
Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang berbunyi: “Setiap
orang yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya secara melawan hukum dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah)”.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa listrik juga dapat menjadi objek
tindak pidana pencurian dan dapat dikenakan hukuman berupa sanksi pidana kepada siapapun
yang melakukan pencurian terhadap listrik tersebut. Berdasarkan asas “Lex Specialis Derogat
Legi Generalis” (aturan yang bersifat khusus mengenyampingkan aturan yang bersifat umum)
maka, ketentuan pidana yang dipakai apabila terjadi tindak pidana pencurian listrik adalah
ketentuan pidana yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan. Menurut sistem yang dianut oleh Kitab Undang – Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), untuk mengetahui apakah benar seseorang telah melakukan tindak pidana
dan dapat dihukum maka harus melewati tahapan – tahapan yang secara sistematis yaitu
diawali dengan tahap penyelidikan dan penyidikan, dilanjutkan dengan tahap penuntutan, lalu
tahap pemeriksaan di pengadilan, dan diakhiri dengan tahap pelaksanaan putusan (eksekusi).8

Penyelesaian terhadap tindak pidana pencurian tenaga listrik ini akan dilakukan oleh
PT.PLN terlebih dahulu. Berdasarkan Peraturan Direksi PT PLN (Persero) Nomor 088-Z.P /
DIR/ 2016 Tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL), Pelanggan yang
melakukan pencurian listrik terlebih dahulu dikenakan sanksi administratif dari PT. PLN
(Persero) berupa pemutusan sementara, pembongkaran sambungan, denda, pembayaran biaya
lainnya. Namun apabila pencurian listrik itu masih terjadi maka PLN akan melaporkan
kasusnya ke kepolisian dan Penyidik Kepolisian akan menjatuhkan sanksi pidana berdasarkan
hasil penyidikannya. Pentingnya penyidikan tidak lain untuk menangani suatu kasus pidana
yang terjadi. Maka, dalam penyidikan harus ada bukti permulaan yang cukup untuk
melakukan penangkapan. Penyidikan sebagai rangkaian dari proses penyelidikan, bermaksud
untuk menemukan titik terang siapa pelaku atau tersagkanya. Penyidikan menurut pasal 1
7
Soenarto Soerodibroto, “KUHP DAN KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung Dan Hoge Raad”
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal 221.
8
M. Yahya Harahap, “Pembahasan Dan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP; Penyidikan Dan Penuntutan,”
cetakan ke 2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 90.

3
angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang – undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Yang berwenang untuk melakukan penyidikan adalah Penyidik. Menurut pasal 1 angka 1
KUHAP, Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai
Negri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang – Undang untuk melakukan
penyidikan.

Kepentingan penindakan / penyidikan pencurian tenaga listrik dan tindak pidana usaha
ketenagalistrikan, pihak kepolisian akan selalu berkoordinasi dengan pihak Perusahaan Milik
Negara yang bertanggung jawab dalam pelayanan dan penyediaan tenaga listrik (PT.PLN
(Persero)9

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pandangan pencurian listrik didalam Undang Undang?

2. Bagaimana upaya penanggulangan pencurian listrik dari pihak PLN serta kepolisian?

1.3 Tujuan
1. Untuk menngetahaui bagaimana pengaturan pencurian listrik di dalam Undang

Undang

2. Untuk mengatahui cara penanggulangan pencurian listrik jika terjadi disekitar kita.

1.4 Kegunaan Makalah

1. Penelitian ini selain menambah pengalaman penulis yang membuat laporan ini, juga

dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dimasa akan datang.Untuk

menambah wawasan pemikiran tentang tindak pencurian listrik dan upaya

penanggulangan pencurian listrik jika terjadi sekitar kita

9
“Pasal 1 Ayat (2) Nota Kesepahaman Antara PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) Dengan Kepolisian
Negara Republik Indonesia Nomor 020 MoU/040/DIR/2011 Tentang Penyelenggaraan Pengamanan Instalasi,
Aset, Dan Penindakan Pencurian Tenaga Listrik Serta Tindak pidana usaha ketenaga listrikaan di lingkungan PT
perusahaan listrik negara (persero).

4
2. Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat teratasi masalah bagaimana pencurian

listrik dapat dipidanakan serta kita dapat menagatasi dari adanya pencurian lisrtik.

5
BAB II

TINJAUN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ketenagalistrikaan

Adapun pengertian ketenagalistrikan dapat dikemukakan sebagai berikut.Menurut Kamus


Besar Bahasa Indonesia, ketenagalistrikan berasal dari kata tenaga dan listrik yang diberi
awalan ke dan akhiranan sehingga menjadi ketenagalistrikan. Tenaga listrik adalah tenaga
yang dihasilkan oleh arus listrik yang diukur dengan watt (kekuatan listrik). 10 Ketenagaan
adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan tenaga. Kelistrikan adalah perihal listrik. Jadi
ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tenaga listrik. Menurut UU
Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, yang dimaksud denganTenaga listrik
adalah salah satu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan. ditransmisikan dan distribusikan
untuk segala macam keperluan dan bukan listrik yang dipakai untuk komunikasi atau isyarat
(Pasal 1 ke-2).Ketenagalistrikan adalah sesuatu yang menyangkut penyediaan dan
pemanfaatan tenaga listrik (Pasal 1 ke-1) Adapun penjelasan Pasal 1 ke-1.

Dalam UU ini digunakan istilah ketenagalistrikan, bukan listrik, kelistrikan ataupun tenaga
listrik karena :

a. listrik berarti meliputi ("electric power") dan juga untuk kepentingan komunikasi dan
elektronika ("electronics").
b. kelistrikan berarti hal-hal yang menyangkut listrik.
c. tenaga listrik berarti hanya terbatas pada pengertian tenaganya ("power").
d. ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan
pemanfaatan tenaga listrik termasuk usaha penunjangnya.

Sedangkan menurut RUU Ketenagalistrikan tahun 2001, yang dimaksud dengan tenaga listrik
adalah suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan.ditransmisikan dan didistribusikan
untuk segala macam keperluan, tidak termasuk listrik yang dipakai untuk komunikasi,
elektronika atau isyarat (Pasal 1 ke-2). Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang
menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik
(Pasal 1 ke-1).

2.2 Peraturan Ketenanga Listrikaan Di Indonesia

10
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Kedua” (jakarta: Balai Pustaka, 1996), 1035.

6
1. Pemberlakuan Wajib Standar Nasional Indonesia di Bidang Ketenagalistrikan
2018 Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2018
2. Tata Cara Akreditasi dan Sertifikasi Ketenagalistrikan 2018Permen ESDM Nomor 38
Thn 2018
3. UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan ( Pasal 44 ayat 1,2 dan 3)
2018 UU No. 30 Tahun 2009
4. Sistem Standardisasi Dan Penilaian Kesesuaian Nasional  2018 PP Nomor 34
Tahun 2018
5. UU Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian 2018 UU
No.20 Tahun 2014
6 PP 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional 2018 PP 102 Tahun 2000
7 PP 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (Pasal 42, 43,
44 dan 45) 2018 PP 14 Tahun 2012
8 PP 62 Tahun 2012 tentang Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik (Pasal 20 dan 21)
PP 62 Tahun 2012

2.3 Faktor yang mempengaruhi pencurian listrik

A, Faktor Prosedur

Pemasangan ListrikPelaku yang melakukan pencurian listrik tersebut mengaku bukan


pelanggan dari PLN, berdasarkan pernyataan dari pelaku Saikul tidak melakukan prosedur
pemasangan listrik kepada PLN untuk mendapatkan tenaga listrik. Hal ini sesuai dengan teori
anomie yaitu menggambarkan deregulation dalam masyrakat, keadaan
deregulasi di artikan tidak di taatinya aturan-aturan yang terdapat di dalam masyarakat.
Pelaku beranggapan bahwa menurut dirinya prosedur pemasangan listrik dari PLN baginya
terlalu berbelit-belit, oleh karenanya pelaku melakukan penggantolan dengan cara
menyambung kabel langsung dari tiang listrik untuk disalurkan ke rumahnya dan di kios-kios
yang ada di pasar. Sehingga kios-kios yang ada di pasar tersebut melakukan pembelian
tenaga listrik kepada pelaku tersebut dan tidak melewati prosedur dari PLN.

B. Faktor Ekonomi

Selain prosedur pemasangan listrik yang berbelit-belit menurut pelaku pencurian listrik
tersebut, dirinya juga merasa tidak mampu membayar tagihan listrik nantinya dan juga biaya

7
pendaftaran pemasangan baru, karena profesi pekerjaan yang serabutan bahkan kadang
menganggur. Biaya pemasangan baru dengan daya 1300 VA dikenai biaya Rp. 1.450.000
sedangkan untuk pemasangan 2200 VA dikenai biaya sekitar Rp. 2.200.000. 7 Faktor
ekonomi ini lah yang menyebabkan seseorang untuk melakukan kejahatan, untuk
menyambung hidup pelaku melakukan penjualan aliran tenaga listrik ke kios-kios pasar.
Sehingga kios- kios pasar tersebut membayar listrik langsung kepada pelaku tanpa melewati
prosedur PLN.

Faktor Lingkungan

Lingkungan merupakan salah satu penyebab pelaku melakukan tindak pidana


pencurian listrik.contohnya B merupakan (pelaku pencurian listrik), B melakukan hal tersebut
karena mengikuti tetangganya yang juga melakukan tindak pidana pencurian listrik, hal itu
dilakukan karena untuk menekan pembayaran rekening listrik. Di dalam kehidupan,
lingkungan memang faktor utama seseorang dalam bertingkah laku. Jika seseorang hidup di
dalam lingkungan yang buruk, kemungkinan besar juga seseorang tersebut akan melakukan
hal-hal yang menyimpang dari suatu peraturan.

2.4 Kriteria Tindak Pidana Pencurian Aliran Listrik

Berdasarkan klasifikasi tindakan pencurian aliran listrik yang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana pencurian aliran listrik, dapat dibedakan menjadi beberapa tindakan yakni:631.
Tindakan PI Tindakan PI ialah tindakan memperbesar pembatas antara lain pada MCBMini
circuit Breaker yang terdapat pada meter maupun pada NH Fuse (sekring), sehingga pelaku
bisa menggunakan daya yang melebihi dari yang dtetapkan (kerugian pada bea beban).64

2. Tindakan PII Tindakan yang dilakukan untuk memengaruhi kWh Kilo Watt Hour, yang
merupakan satuan ukur meter, dengan jalan menyambung langsung dari sambungan atas tofor
yang disambungkan langsung pada terminal kWh dari sisi masuk keluar (beban konsumen)
hal ini yang nantinya memengaruhi putaran KWh dan juga pada peralatan yang juga ada pada
kWh sehingga Sebagian terukur atau bahkan sama sekali tidak dapat terukur.65

3. Tindakan PIII Tindakan yang dilakukan untuk memperbesar pembatas antara lain pada
MCB Mini Circuit Breaker yang ada pada meter maupun pada NH Fuse (sekering), dan
mempengaruhi kWh meter dengan jalan menyambung langsun dari sambungan atas (tofor)
yang disambungkan langsung pada terminal kWh dari sisi masuk keluar (beban konsumen).
Bentuk kegiatan pengambilan ini merupakan gabungan tindakan PI dan tindakan PII.66

8
4. Tindakan PIV Tindakan yang dilakukan oleh non pelanggan PLN, digunakan tanda adanya
ha katas pemakaian tenaga listrik

BAB III

9
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Spesifikasi Penelitian

Metodelogi penelitian studi Pustaka,Penelitian ini merupakan jenis riset kepustakaan

(library research). Apa yang disebut dengan riset kepustakaan atau sering juga disebut studi

pustaka, ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data

pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Sedangkan menurut

Mahmud dalam bukunya Metode Penelitian Pendidikan menjelaskan bahwa penelitian

kepustakaan yaitu jenis penelitian yang dilakukan dengan membaca buku-buku atau majalah

dan sumber data lainnya untuk menghimpun data dari berbagai literatur, baik perpustakaan

maupun di tempat-tempat lain. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa penelitian

kepustakaan tidak hanya kegiatan membaca dan mencatat data-data yang telah dikumpulkan.

Tetapi lebih dari itu, peneliti harus mampu mengolah data yang telah terkumpul dengan

tahap-tahap penelitian kepustakaan. Dalam penelitian ini penulis menerapkan metode

penelitian kepustakaan karena setidaknya ada beberapa alasan yang mendasarinya

1. bahwa sumber data tidak melulu bisa didapat dari lapangan. Adakalanya sumber

data hanya bisa didapat dari perpustakaan atau dokumen-dokumen lain dalam

bentuk tulisan, baik dari jornal, buku maupun literatur yang lain.

2. studi kepustakaan diperlukan sebagai salah satu cara untuk memahami gejala-

gejala baru yang terjadi yang belum dapat dipahami, kemudian dengan studi

kepustakaan ini akan dapat dipahami gejala tersebut. Sehingga dalam mengatasi

suatu gejala yang terjadpenulis dapat merumuskan konsep untuk menyelasaikan

suatu permasalahan yang muncul.

3. ialah data pustaka tetap andal untuk menjawab persoalan penelitinya.

Bagaimanapun, informasi atau data empirik yang telah dikumpulkan oleh orang

10
lain, baik berupa buku-buku, laporan-laporan ilmiah ataupun laporan-laporan

hasil penelitian tetap dapat digunakan oleh peneliti kepustakaan. Bahkan dalam

kasus tertentu data lapangan masih kurang signifikan untuk menjawab

pertanyaan penelitian yang akan dilaksanakan.

3.2 Tahap Tahap Penelitian Kepustakaan

Adapun tahap-tahap yang harus ditempuh penulis dalam penelitian kepustakaan adalah

sebagai berikut:

a. Mengumpulkan bahan-bahan penelitian. Karena dalam penelitian ini adalah

penelitian kepustakaan, maka bahan yang dikumpulkan adalah berupa

informasi atau data empirik yang bersumber dari buku-buku, jurnal, hasil

laporan penelitian resmi maupun ilmiah dan literatur lain yang mendukung

tema penelitian ini.

b. Membaca bahan kepustakaan. Kegiatan membaca untuk tujuan penelitian

bukanlah pekerjaan yang pasif. Pembaca diminta untuk menyerap begitu saja

semua informasi “pengetahuan” dalam bahan bacaan melainkan sebuah

kegiatan ‘perburuan’ yang menuntut keterlibatan pembaca secara aktif dan

kritis agar bisa memperoleh hasil maksimal. Dalam membaca bahan

penelitian, pembaca harus menggali secara mendalam bahan bacaan yang

memungkinkan akan menemukan ide-ide baru yang terkait dengan judul

penelitian.

c. Membuat catatan penelitian. Kegiatan mencatat bahan penelitian boleh

dikatakan tahap yang paling penting dan barang kali juga merupakan puncak

yang paling berat dari keseluruhan rangkaianpenlitian kepustakaan. Kerena

11
pada akhirnya seluruh bahan yang telah dibaca harus ditarik sebuah

kesimpulan dalam bentuk laporan.

d. Mengolah catatan penelitian. Semua bahan yang telah dibaca kemudian

diolah atau dianalisis untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang disusun

dalam bentuk laporan penelitian.

2.3 Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sebab sumber data maupun hasil

penelitian dalam penelitian kepustakaan (library research) berupa deskripsi kata-kata dan

pendekatan yuridis normative.

Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang

mengandung makna. Penulis dalam penelitian ini akan menggali makna dari informasi

atau data empirik yang didapat dari buku-buku, hasil laporan penelitian ilmiah atau pun

resmi maupun dari literatur yang lain. Sedangkan pendekatan yuridis normative yaitu

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan

hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsepkonsep, asas-asas hukum serta

peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini

dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku,

peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian

ini.

2.4 Sumber Data

penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan atau library research. Maka

sumber data bersifat kepustakaan atau berasal dari berbagai literatur, di antaranya buku,

jurnal, surat kabar, dokumen pribadi dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya, maka

12
sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder,

dengan uraian sebagai berikut:

1. Sumber Primer

Sumber primer adalah sumber data pokok yang langsung dikumpulkan

peneliti dari objek penelitian. Adapun sumber primer dalam penelitian

ini adalah buku yang menjadi objek dalam penelitian ini, yakni buku

sebagai berikut

1. Asas asas hukum pidana

2. Sistem pertanggung jawaban pidana

3. Sistem hukum indonesia

4. Asas teori praktik hukum pidana

5. Dasar dasar hukum pidana Indonesia

6. Buku pedoman kuliah hukum pidana

7. Pengantar ilmu hukum

2. Sumber sekunder

1. UU no 20 tahun 2002 tentang ketenagalistrikaan

2. UU no 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikaan

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data berkaitan dengan sumber data.Teknik pengumpulan data yaitu

berupa cara yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan dan menggali data yang

bersumber dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Oleh karena sumber data

berupa data data tertulis, maka teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan

teknik dokumentasi. Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang berarti catatan peristiwa

yang sudah berlalu yang bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari

13
seseorang.Atau dengan kata lain, dokumen adalah tulisan, gambar atau karya-karya yang

monumental yang berisi suatu ide tertentu. Atau gampangnya adalah suatu pikiran atau

gagasan yang dituangkan dalam bentuk tulisan, gambar maupun dalam bentuk karya yang

lainKemudian, teknik dokumentasi adalah suatu cara yang dilakukan dengan mencari data

mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah,

prasasti, notulen rapat, leger, agenda, dan sebagainya.

Teknik dokumentasi berarti cara menggali dan menuangkan suatu pemikiran, ide atau

pun gagasan dalam bentuk tulisan atau dalam bentuk gambar maupun karya-karya yang lain.

Penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara dokumentasi karena jenis

penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang

sumber data empirik yang primer maupun sekunder berasal dari buku-buku, dokumen-

dokumen, jurnal, atau literatur-literatur yang lain. Teknik dokumentasi digunakan untuk

menggali dan mengumpulkan data dari sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan

permasalahan dalam penelitian ini. Data primer atau sumber utama adalah berasal dari buku .

Kemudian untuk pengumpulan data penunjang atau pelengkap, diperoleh dengan menggali

data dari buku-buku lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Dalam teknik

dokumentasi ini, penulis akan menerapkan beberapa langkah, yaitu sebagai berikut:

1. Membaca sumber data primer maupun sumber data sekunder

2. Membuat catatan yang berkaitan dengan penelitian dari sumber data primer maupun

sekunder tersebut.

3. Mengolah catatan yang sudah terkumpul

3.5 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif bersifat induktif, yaitu suatu

analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu

14
atau menjadi hipotesis, selanjutnya dicarikan data lagi secara berulang-ulang hingga hipotesis

diterima dan hipotesis tersebut berkembang menjadi teori. Adapun analisis induktif disini

dipakai setelah memahami buku yang kita baca sebelumnya . Dalam arti setelah memahami

konsep pendidikan berbasis pengalaman, kemudian penulis menggunakan teknik induktif ini

untuk mengorganisir hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan berbasis pengalaman.

15
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pencuriaan Listrik Di Dalam Undang-Undang

Perusahaan Listrik Negara (PLN) menyatakan bahwa banyak praktik pencurian dan
pelanggaran yang dilakukan dewasa ini tentang masalah ketenagalistrikan. Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2002 Tentang ketenagalistrikan, menyebutkan bahwa: “Ketenagalistrikan
adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta
usaha penunjang tenaga listrik.”11 Sedangkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009
Tentang Ketenagalistrikan menjelaskan yang dimaksud dengan energi listrik adalah suatu
bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala
macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika,
atau isyarat. encurian energi listrik sebagaimana yang diatur dalam undangundang Nomor 30
Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan pada pasal 51 ayat 3, menyebutkan bahwa “Setiap
orang yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya secara melawan hukum dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (duamiliar lima ratus juta rupiah).” 12Maksud dari pencurian energi listrik
dalam pasal tersebut adalah segala bentuk penggunaan/pemanfaatan energi listrik yang bukan
menjadi haknya dan dilakukan secara melawan hukum.

4.2 ketentuan Pencurian listrik Didalam Undang Undang

Dari ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 pasal 51 ayat 3, dapat diketahui
unsur-unsur delik pencurian ialah :

1. Setiap Orang;
2. Menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya;
3. Secara melawan hukum.

Mengenai unsur “setiap orang”, sebagian pakar hukum pidana berpendapat bahwa “setiap
orang” bukan merupakan unsur melainkan hanya untuk memperlihatkan bahwa si pelaku
adalah manusia. Akan tetapi, pendapat tersebut disangkal oleh pakar lainnya dengan
mengutarakan pendapat bahwa “setiap orang” tersebut benar adalah unsur, tetapi perlu
diuraikan siapa manusia dan berapa orang. 13 Apabila unsur setiap orang sudah terpenuhi
11
“Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan,”.
12
“Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan.,”.
13
Laden Marpaung, “Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana” (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal 9.

16
maka perlu diperhatikan unsur selanjutnya yaitu unsur menggunakan yang bukan haknya.
Koster Henker menjabarkan tentang unsur menggunakan yang bukan haknya yaitu apabila
dengan hanya mengambil barang hal tersebut belum merupakan pencurian, karena harus
seluruhnya atau sebagian kepunyaanorang lain. Pengambilan tersebut harus dengan maksud
untuk memilikinya hal tersebut bertentangan dengan hak pemilik. Jika seseorang mengambil
barang ternyata miliknya sendiri maka hal tersebut bukanlah delik pencurian. 14 Sedangkan
unsur perbuatan melawan hukum (wederechtelijk) bertentangan dengan peraturan atau tidak
sesuai dengan suatu kepentingan yang dilindungi hukum. Lamintang membedakan perbuatan
melawan hukum kedalam dua bagian yaitu perbuatan melawan hukum dalam arti formil
(wederrechtelijkheid) dan perbuatan melawan hukum dalam arti materiil (wederrechtelijk).
Menurut ajaran wederrechtelijkheid, suatu perbuatan hanya dapat dianggap sebagai
wederrechtelijkheid apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat dalam
rumusan suatu delik menurut undang-undang. Berdeda dengan ajaran wederrechtelijkheid,
dalam ajaran wederrechtelijk suatu perbuatan itu bukan hanya ditinjau sesuai dengan
ketentuan hukum yang tertulis melainkan juga harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum
dari hukum tidak tertulis.15

Berdasarkan putusan Hoge Raad pada tanggal 23 Mei 1921 pengambilan energi listrik
termasuk kedalam delik pencurian. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa ini
merupakan penafsiran luas (ekstensif) karena hanya pengertian aliran listrik diartikan barang
sesuai dengan zaman, yaitu adanya energi listrik. Jadi hanya perluasan makna barang sesuai
zaman (kemajuan teknologi). Sama halnya dengan pencurian gas, yang menurut Nieuwenhuis
dalam disertasinya tahun 1916, listrik dan gas juga termasuk barang karena untuk
mengadakannya diperlukan biaya (ada harganya), dapat dipindahkan (melalui kabel) dan
dapat dibagi. Di dalam KUHP Kanada disebut dalam penjelasan autentik, yang dimaksud
dengan barang termasuk aliran listrik, gas dan seterusnya, yang memiliki nilai. Menurut
Moch. Anwar suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila sesuatu perbuatan tersebut
telah bertentangan dengan rumusan undang-undang.16suatu perbuatan yang melanggar
undang-undang dalam hal ini bersifat melawan hukum, dapat dilihat dari segi pemakaian
tenaga listrik yang bukan haknya sehingga pelaku pencurian dapat dikatakan telah melakukan
pelanggaran terhadap suatu ketentuan pidana menurut UndangUndang Nomor 30 Tahun 2009
pada pasal 51 ayat (3) dan perbuatan tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling

14
Andi Hamzah, “Delik-Delik Tertentu Di Dalam KUHP” (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Hal 105.
15
Lamintang, “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia” (Bandung: Sumur Batu, 1983), hal 445.
16
Moch Anwar, “Hukum Pidana Bagian Khusus” (Bandung: Bandung Alumni, 1986), hal 31.

17
lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus
juta rupiah).17

Praktik pencurian yang sering dilakukan oleh masyrakat kita mengandung unsur
kesengajaan. Dilihat dari bentuknya, terdapat dua bentuk kesengajaan (dolus),yaitu dolus
malus dan dolus eventualis. Dolus malus merupakan gabungan dari teori pengetahuan
(voorstelling theorie) dan teori kehendak (wilstheorie). Menurut teori pengetahuan seseorang
sudah dapat dikatakan sengaja melakukan perbuatan pidana jika saat berbuat orang tersebut
mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya itu merupakanperbuatan yang dilarang
hukum.18Sedangkan teori kehendak menyatakan, bahwa seseorang dianggap sengaja
melakukan suatu perbuatan pidana apabila orang itu menghendaki dilakukannya perbuatan
itu. Dalam konteks ini, kesengajaan merupakan kehendak yang diarahkan pada terwujudnya
perbuatan seperti dirumuskan dalam undang-undang.19

Dolus eventualis adalah sengaja yang bersifat kemungkinan. Dikatakan demikian karena
pelaku yang bersangkutan pada waktu ia melakukan perbuatan untuk menimbulkan suatu
akibat yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari kemungkinan akan timbulnya
suatu akibat lain dari akibat yang ia kehendaki. Jika kemungkinan yang ia sadari itu
kemudian menjadi kenyataan, terhadap kenyataan tersebut ia katakan mempunyai suatu
kesengajaan. Berdasarkan uraian Dolus eventualis tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaku
perbuatan pidana menyadari bahwa perbuatannya itu sangat mungkin akan menimbulkan
terjadinya akibat tertentu yang dilarang hukum. 20 Namun meski ia menyadari hal tersebut,
sikap yang muncul bukannya menjauhi, melainkan justru tetap melakukannya dengan
berpendapat bahwa kalaupun akibat dari perbuatannya terjadi ia tetaptidak peduli. Dalam
hubungan inilah, Dolus eventualis disebut dengan inklauf nehmen theorie atau lebih dikenal
dengan teori apa boleh buat.13 Penjabaran kedua teori kesengajaan di atas membedakan
mados pencurian listrik yang sering dilakukan sebagai kesengajaan yang bersifat
kemungkinan atau disebut dolus malus karena bapak lasminto mengetahui akibat dari
tindakanya melakukan pencurian energi listrik dan kesengajaan yang dilakukan oleh bapak
andi adalah kesengajaan yang bersifat kemungkinan atau dolus eventualis karena bapak andi
tidak mengetahui akibat dari pencurian energi listrik yang dilakukannya.

17
“Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan".
18
M. Abdul Kholiq, “Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana” (yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 2002), hal 129.
19
Moeljatno, “Asas-Asas Hukum Pidana” (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal 186.
20
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, “Sistem Pertanggungjawaban Pidana” (Jakarta: Rajawali Press, 2015), hal 38.

18
4.3 Upaya yang dilakukan oleh pihak PLN dalam menangani tindak pidana pencurian
listrik

1. Menerima laporan Untuk mengetahui di tempat kejadian perkara tersebut sedang


terjadi pencurian listrik ataupun pelanggaran pemakaian tenaga listrik petugas P2TL
membutuhkanbantuan berupa informasi yang akurat, informasi yang diperoleh
petugas P2TL tersebut didapatkan biasanya dari warga sekitar yang bertempat tinggal
tidak jauh dari tempat kejadian tersebut.
2. Melakukan Pemeriksaan Setiap PLN terdapat bagian Penertiban Pemakaian Tenaga
Listrik yang disingkat P2TL. Tugas dan fungsi P2TL tersebut melakukan pemeriksaan
atau operasi pijar setiap bulannya untuk menertibkan pemakaian tenaga listrik.
Berdasarkan hasil informasi yang akurat tersebut petugas P2TL bersama dengan pihak
kepolisian turun untuk melakukan pemeriksaan lokasi tersebut apakah benar terdapat
pencurian listrik atau pelanggaran dalam pemakaian tenaga listrik.
3. Mengambil Barang Bukti Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan P2TL di lokasi
terjadinya tindak pidana pencurian tenaga listrik atau pelanggaran pemakaian tenaga
listrik tersebut terdapat hal-hal yang di duga untuk melakukan perbuatan curang
dalam pemakaian tenaga listrik seperti kabel penyambung, MCB ilegal, benda
tersebut yang diambil oleh petugas P2TL untuk dijadikan barang bukti bahwa orang
tersebut melakukan tindak pidana pencurian tenaga listrik atau pelanggaran dalam
pemakaian tenaga listrik. Kemudian petugas P2TL melakukan laporan dengan cara
menulis di BAP yang berasal dari PLN, pemeriksaan dan pengambilan barang bukti
tersebut disaksikan oleh petugas P2TL dan pelaku yang melakukan pencurian tenaga
listrik atau pelanggaran tenaga listrik, barang bukti dan BAP di ambil dan di simpan
di kantor PLN untuk dijadikan alat bukti dalam penyelesaian kasus tersebut.
4. Menyelesaikan Dengan Sanksi Administrasi Atau Melakukan Jalur Hukum Setelah
petugas P2TL melakukan pemeriksaan dan mendapatkan bukti yang menyatakan
pelaku melakukan pencurian tenaga listrik atau pelanggaran dalam pemakaian tenaga
listrik, kemudian pelaku dipanggil ke PLN untuk melakukan pemeriksaan kembali
dan untuk menyelesaikannya kasus tersebut itu bagian dari PLN apakah akan
diselesaikan secara perdata berupa sanksi administrasi atau membawa ke jalur hukum
dengan cara melapor ke pihak kepolisian dengan membawa alat bukti tersebut berupa
BAP dan barang bukti lainnya yang digunakan dalam melakukan pencurian tenaga
listrik atau pelanggaran pemakaian tenaga listrik

19
4.4 Upaya yang dilakukan pihak Kepolisian dalam menangani tindak pidana
pencurian listrik

1. Menerima Laporan Dari PLN Pihak kepolisian menerima laporan dari PLN apabila
terdapat tindak pidana pencurian listrik. Dalam laporannya tersebut sudah disertai
berupa BAP yang dibuat oleh PLN.
2. Melakukan Penyelidikan dan Penyidikan Penyelidikan menurut pasal 1 ayat 5 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidanaadalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang, sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Setelah pihak kepolisian melakukan
penyelidikan dengan mendampingi petugas P2TL dalam memeriksan di tempat
kejadian perkara dan menemukan alat bukti yang merupakan digunakan dalam
melakukan tindak pidana pencurian listrik, kemudian dilanjutkan dengan proses
penyidikan. Dalam kasus tindak pidana pencurian listrik ini pihak penyidik dari
reskrim yang mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan, setelah
menangkap pelaku dan mendapatkan BAP dari PLN serta alat bukti yang disita oleh
PLN, penyidik melakukan pemeriksaan untuk mendapatkan keterangan dari pelaku
melakukan tindak kejahatan tersebut yang didampingi oleh PLN sebagai saksi.
Apabila keterangan dan alat bukti yang sah sudah dapat dikumpulkan maka tersangka
dapat dilakukan penahanan. Setelah pemeriksaan selesai maka penyidik menyerahkan
berkas hasil pemeriksaan tersebut kepada jaksa, apabila berkas sudah lengkap maka
tersangka siap untuk disidang dan divonis oleh pengadilan.

BAB V

PENUTUP

20
5.1 Kesimpulan

Secara keseluruhan, kesimpulan yang diperoleh dari hasil dan pembahasan atau penelitian
terhadap 2 (dua) pokok permasalahan di atas, di uarikan di bawah ini:

a) Faktor-faktor penyebab masyarakat melakukan tindak pidana pencurian listrik di Kota


Malang dari perspektif kriminologis antara lain adalah yang pertama faktor prosedur
pemasangan listrik pelaku beranggapan bahwa menurut dirinya prosedur pemasangan
listrik dari PLN baginya terlalu berbelit-belit, oleh karenanya pelaku melakukan
penggantolan dengan cara menyambung kabel langsung dari tiang listrik. Faktor yang
kedua yaitu faktor ekonomi seseorang melakukan pelanggaran pemakaian tenaga
listrik atau pencurian listrik dengan berbagai modus seperti memperbesar pembatas
pada MCB (Mini Circuit Breaker) yang ada pada meteran maupun pada sekering,
menyambung kabel langsung dari tiang listrik tidak lain hanya ingin mendapatkan
biaya murah dalam penggunaan tenaga listrik. Dan yang terakhir adalah faktor
lingkungan pelaku melakukan tindak pidana pencurian listrik karena mengikuti
tetangganya yang juga melakukan tindak pidana pencurian listrik,di dalam kehidupan
lingkungan memang faktor utama seseorang dalam bertingkah laku. Jika seseorang
hidup di dalam lingkungan yang buruk, kemungkinan besar juga seseorang tersebut
akan melakukan halhal yang menyimpang dari suatu peraturan.
b) Upaya Yang Dilakukan Pihak PLN Rayon Kota Malang dan Pihak Kepolisian Dalam
Menangani Tindak Pidan Pencurian Listrik Upaya yang dilakukan oleh pihak PLN :
1. Menerima laporan
2. Melakukan Pemeriksaan
3. Mengambil Barang Bukti
4. Menyelesaikan Dengan Sanksi Administrasi Atau Melakukan Jalur Hukum

Upaya yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Resort Malang Kota :

1. Menerima Laporan Dari PLN


2. Melakukan Penyelidikan dan Penyidikan

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas sesuai dengan perumusan masalah yang ada maka peneliti
merekomendasikan saran-saran yang dapat berguna bagi Kepolisian maupun bagi :

21
1. Untuk terlaksananya pasal 362 KUHP dan Undang-undang Ketenagalistrikan No. 30
Tahun 2009 pasal 51 ayat 3, maka pihak PLN dan kepolisian menjalin kerjasama dan
komunikasi yang lebih baik lagi agar semua kasus pencurian listrik yang pernah ada
dapat masuk ke kepolisian sehingga memberikan efek jera kepada masyarakat yang
melakukan tindak pidana pencurian listrik.
2. Memberikan penyuluhan terhadap masyarakat akan bahayanya melakukan tindak
pidana pencurian listrik atau pelanggaran pemakaian tenaga listrik.
3. Mengerti dan sedia akan keluh kesah masyarakat yang kurang puas dalam pelayanan
yang dilakukan oleh PLN.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah. “Asass Asas Hukum Pidana,” hal 166. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

———. “Delik-Delik Tertentu Di Dalam KUHP,” Hal 105. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

22
Bahasa, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan. “Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Kedua,” 1035. jakarta: Balai Pustaka, 1996.

Hanafi Amrani dan Mahrus Ali. “Sistem Pertanggungjawaban Pidana,” hal 38. Jakarta:
Rajawali Press, 2015.

Ilhami Bisri. Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.

Laden Marpaung. “Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana,” hal 9. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Lamintang. “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,” hal 445. Bandung: Sumur Batu, 1983.

M. Abdul Kholiq. “Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana,” hal 129. yogyakarta: Fakultas
Hukum UII, 2002.

M. Yahya Harahap. “Pembahasan Dan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP; Penyidikan


Dan Penuntutan,” Cetakan ke., hal 90. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Moch Anwar. “Hukum Pidana Bagian Khusus,” hal 31. Bandung: Bandung Alumni, 1986.

Moeljatno. “Asas-Asas Hukum Pidana,” hal 186. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

———. “Asas Asas Hukum Pidana,” hal 7. Jakarta: Bina Aksara, 1987.

“Pasal 1 Ayat (2) Nota Kesepahaman Antara PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero)
Dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 020 MoU/040/DIR/2011
Tentang Penyelenggaraan Pengamanan Instalasi, Aset, Dan Penindakan Pencurian
Tenaga Listrik Serta Tinda,” n.d.

R.Soesilo. “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- Komentarnya


Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia,” hal 249. Bogor: Politeia, 1993.

Soenarto Soerodibroto. “KUHP DAN KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung


Dan Hoge Raad,” hal 221. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.

Titik Triwulan Tutik. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2006.

“Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan,” .

“Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan.,”.

“Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan.,”.

Wirjono Prodjodikoro. “Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia,” hal 15. Bandung:

23
Refika Aditama, 2003.

24

Anda mungkin juga menyukai